Representasi Subjektivitas Perempuan Dalam Dua Cerita Pendek Bahasa Inggris
Representasi Subjektivitas Perempuan Dalam Dua Cerita Pendek Bahasa Inggris
Abstract
1. Pendahuluan
mengasumsikan bahwa inti, ke-subjek-kan seorang individu ada pada daya nalar,
keunikan, keterpisahan dan perbedaannya dengan yang lain. Yang paling dominan
Descartes yang terkenal dengan gagasan “Cogito Ergo Sum.” Dalam pandangan ini,
1
esensi subjek ada pada daya nalar dan pemikirannya sedemikian sehingga tubuh
cenderung untuk dikonstruksi sebagai suatu kontainer yang tidak memainkan peran
tubuh laki-laki yang tidak pernah berubah (un-altering) sedemikian sehingga tubuh
ini menjadi isu penting dalam feminisme yang melihat bahwa gagasan keterpisahan
antara tubuh dengan nalar sebagai sesuatu yang tidak mungkin terutama jika melihat
perempuan juga tidak pernah ajeg (Weedon 2001). Beauvoir (1997) menulis bahwa
perempuan selalu ada di dalam proses menjadi (becoming). Oleh karena itu, persepsi
terhadap tubuh
Subjek/Diri. Dalam pemikiran feminis, misalnya menurut Battersby (1998), tubuh adalah
Persoalan Subjek dan tubuh menjadi lebih signifikan dalam konteks ideologi
gender yang mengatribusikan fakta biologis tubuh (laki-laki atau perempuan) sebagai
atribusi sosial kultural. Dalam hal ini, seorang bertubuh perempuan harus menunjukkan
dianggap/berada di ranah feminin. Demikian pula mereka yang bertubuh laki-laki harus
pemikiran feminis, resistensi terhadap ideologi gender terlihat dari berkembangnya teori
queer. Dalam pemikiran teori queer, identitas gender bahkan identitas seks bukan
merupakan suatu hal yang ajeg. Lebih dari itu, identitas seks dan identitas gender
2
dipertanyakan.
3
Identitas, dalam hal ini, bukan merupakan subjektivitas, melainkan bagian dari
yang menguntungkan dari proses tidak sadar sementara subjektivitas politis adalah suatu
posisi yang sadar dan penuh kesadaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tersebut, seperti dikatakan Kristeva, merupakan suatu proses yang terus menerus yang
menempatkan subjek dalam suatu “pengadilan”, karena identitas kita dalam hidup terus
menerus dipertanyakan, diadili, dan diabaikan (1986, 351). Braidotti mengatakan bahwa
pada dasarnya “perempuan” tidak lagi merupakan suatu model preskriptif dari
yang dapat diidentifikasi untuk keperluan analisis. Dengan perkataan lain, subjektivitas
Lauretis), topeng (Butler); esensi positif (Irigaray), atau jebakan ideologis (Wittig)” (1994,
417).
subjektivitas perempuan tidak selesai, tidak uniter, tidak selalu rasional, tidak
mengabaikan tubuh, tidak individual dan tidak tunduk pada gagasan “universal” tentang
subjek. Lebih dari itu, meskipun ada perdebatan mengenai persoal esensi dan
konstruksi, kami berpendapat bahwa ada bagian “esensial” yang memainkan peran
tidak selalu berarti bahwa kami percaya esensialisme. Seperti dikatakan Kristeva,
meskipun identitas [dan karena itu subjektivitas] tidak stabil, tetapi selalu ada “a certain
4
type of stability” (1986, 352)., Dalam hal ini, tubuh sangat mungkin menawarkan
5
Persoalan subjektivitas ini akan kami analisis dalam enam cerita pendek yang
dalam enam cerita pendek yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan (tiga laki-laki dan
tiga perempuan). Pertanyaan yang ingin kami jawab dalam penelitian ini adalah :
tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh tersebut dan tokoh lain
Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek yang terdiri dari tiga
karya penulis perempuan dan tiga karya penulis laki-laki. Pemilihan ini kami maksudkan
untuk dapat memberikan gambaran perbedaan atau tidak adanya perbedaan antara
penulis perempuan dan laki-laki. Tiga karya penulis perempuan tersebut adalah : Enough
Rope (Poppy Z Brite), Hair Jewellery (Margaret Atwood), The Blush (Elizabeth Taylor).
Tiga karya penulis laki-laki adalah Pinkland (Graham Joyce), Nude on the Moon (Paul
Magrs), A Rose for Emily (William Faulkner). Meskipun demikian, karena keterbatasan
ruang, kami hanya membahas dua cerita pendek saja, yakni Hair Jewellery (Margaret
6
1.3 Tujuan Penelitian
perwatakan, sudut pandang dan latar dengan pendekatan feminis. Kami juga
seksualitas.
7
2. Contoh Pembahasan Karya Penulis Perempuan
dari miskin hingga menjadi seorang terpelajar dan kaya. Perjuangan hidupnya ditandai
dengan subjektivitasnya yang berubah sejalan dengan apa yang dialaminya. Secara
keseluruhan, cerita dalam Hair Jjewellery adalah flashback yang berkembang secara
kronologis. Pada awal cerita, narator bercerita bahwa ia ingin menulis sesuatu tentang
masa lalu dan ia menyadari bahwa tindakan itu dapat menyakitkan hatinya, atau paling
tidak akan menghidupkan lagi kesakitan yang pernah diterimanya di masa lalu. Pada
awal narasinya, “I” mengatakan betapa subjektivitasnya sangat erat berkaitan dengan
memorinya bekerja dalam hubungannya dengan pakaian yang dikenakannya pada waktu
peristiwa tertentu terjadi. Lebih dari itu, pakaian merupakan aspirasinya terhadap
transformasi serta kehidupan yang baru. Selama ini ia membeli baju dari gudang yang
menjual baju kualitas bagus dengan harga murah, tetapi bukan merupakan ukuran yang
tepat untuknya.
di suatu universitas dan ia hidup dari uang beasiswa yang diterimanya. Ia juga bercerita
tentang hubungan cintanya yang bertepuk sebelah tangan dan penampilannya yang
dan karir akademiknya juga menanjak sehingga ia cukup kaya untuk dapat membeli
pakaian bagus yang membuatnya lebih percaya diri. Ketika ia tanpa sengaja bertemu lagi
Pandangan laki-laki itu kepadanya menyiratkan kekecewaan karena, tidak seperti yang
8
diduganya, “I” tidak menjadi menderita karena perpisahan itu bahkan sebaliknya “I”
telah menjadikan dirinya lebih baik daripada masa ketika mereka bersama.
2.1.2 Pembahasan
Dengan narasi yang bertutur “I” kepada petutur “You”, cerita ini seolah-olah
Cerita pendek ini bahkan seperti diary dengan kesadaran bahwa diary ini akan dibaca. “I”
There must be some approach to this, a method, a technique, that’s the word I
want, it kills germs. Some technique then, a way of thinking about it that would be
bloodless and therefore painless; devotion recollected in tranquility. I try to conjure
up an image of myself at that time, also one of you, but it’s like conjuring the dead.
How do I know I’m not inventing both of us, and if I’m not inventing then it really is
like conjuring the dead, a dangerous game… The usual explanation is that they
have something to tell us. I’m not sure I believe it; in this case it’s more likely that I
have something to tell them. Be careful, I want to write, there is a future…. (1994,
379)
Bagian pendahuluan ini tampaknya menjelaskan mengapa karakter “I” perlu menulis
cerita ini. Dari kutipan di atas terlihat adanya kebutuhan untuk menghidupkan kembali
citra dirinya dan juga citra bekas kekasihnya. Ada kebutuhan dari “I” yang sekarang
untuk melakukan retrospeksi terhadap cerita hidupnya, untuk menemukan “I” yang dulu
sehingga ia dapat memahami “I” yang sekarang. Cerita pendek ini melingkupi
perjalanan “I” kini yang mencoba memahami rasa sakit dan kebahagiaanya, untuk
melakukan flashback yang disertai dengan perenungan atas apa yang terjadi pada
waktu suatu peristiwa terjadi. Narator dalam cerita ini mengambil sudut pandang orang
karya autobiografis.
9
cerita ini adalah keterikatan karakter dengan penampilannya, terutama pakaiannya,
yang
10
menurutnya merupakan “teknik untuk menegakkan diri”. Lebih dari itu, pakaian baginya
merupakan identitas yang melekat pada dirinya, tetapi pada saat yang sama,
menerangkan :
That’s my technique, I resurrect myself through clothes. In fact it’s impossible for
me to remember what I did, what happened to me, unless I can remember what I
was wearing, and every time I discard a sweater or a dress I am discarding a
part of my life. I shed identities like a snake, leaving them pale and shrivelled
behing me, a trail of them, and if I want any memories at all I have to collect, one
by one, those cotton and wool fragments, piece them together, achieving at last
a patchwork self… (1994, 379)
karakter fungsional sebagai penutup tubuh atau pelindung dari cuaca panas ataupun
dingin, melainkan sebagai lapisan identitas diri, yang seperti ditulis “I” merupakan
bagian dari bagian-bagian dirinya yang lain. Subjektivitasnya tidak terdiri dari satu
elemen semata melainkan kombinasi dari berbagai jenis identitas diri. “I” sendiri
menggambarkan dirinya sebagai pecinta pakaian yang bermutu baik, meski ia tidak
membeli pakaian dengan harga murah, tetapi tidak mudah baginya menemukan ukuran
yang cocok dengannya yang di satu sisi membuatnya “hilang”, di sisi lain dengan
pakaian yang kedodoran justru ia menjadi perhatian orang lain justru karena ia menjadi
[tidak] dimilikinya. Filene's Basement menjadi pilihan karena dengan keuangannya yang
sangat terbatas sehingga ia tidak mempunyai pilihan lain. Lebih dari itu, “I” berpendapat
bahwa setiap orang yang pergi ke Filene's Basement berkeinginan untuk melakukan
11
perubahan
terhadap hidupnya, dan pakaian menjadi semacam penanda [tidak] adanya perubahan itu,
12
“No one went there who did not aspire to a shape change, a transformation, a new life,
Under the black coat I wear a heavy tweed skirt, grey in colour, and brown
sweater with only one not very noticeable hole, valued by me because it was
your cigarette that burned it. Under the sweater I have a slip (too long), a
brassiere (too small), some panties with little pink roses on them, also from
Filene's Basement, only twenty-five cents, five for a dollar, and a pair of nylon
stockings held up by a garter belt which, being too large, is travelling around my
waist, causing the the seams at the backs of my legs to spiral like barbers’ poles.
I am lugging a suitcase which is far too heavy – no one carried packsacks then
except a summer camp – as it contains another set of my weighty, oversized
clothes as well as six nineteenth- century Gothic novels and a sheaf of clean
paper. (1994, 380)
pakaian serta barang yang dikenakan dan dibawanya, dan itu menandai betapa
pentingnya penampilan (termasuk pakaian, pakaian dalam dan tas serta barang-
semacam “subjektivitas” diri yang lain, yang berbeda dengan diri ketika ia bebas dari
Beasiswa itu sendiri dapat merupakan penanda subjektivitasnya sebagai orang yang
dinarasikan “I”,
13
the academic paper required for my survival as a scholar would emerge, like a
stunted dandelion from a crack in the sidewalk… shocking into action my critical
faculties, my talent for word-chopping and the construction of plausible footnotes
14
which had assured so far the trickle of scholarship money on which I subsisted.
(1994, 381)
Di satu sisi “I” menyadari potensi dirinya, tetapi di sisi lain, dan hal ini menarik
menurut kami, “I” menyadari bahwa potensi itu sebenarnya merupakan suatu
diterimanya, “the construction of plausible footnotes which had assured so far the
dan pakaian sebenarnya merupakan elemen yang memiliki kesamaan dan saling
My academic researches had made me familiar with the moment at which one’s
closest friend and most trusted companion grows fangs or turns into a bat; this
moment was expected, and held few terror for me. (1994, 381)
seorang teman terpercaya dapat saja berubah menjadi serigala yang atau berubah
menjadi kelelawar. Potensi kekecewaan ini sejak awal diantisipasi oleh “I” dalam
bekas kekasihnya – adalah jenis manusia berbeda dari yang telah diceritakan
sebelumnya. “I” mengatakan “You were, of course, the perfect object” (382). Tetapi
hubungan itu tidak dapat dengan mudah diwujudkan dalam suatu hubungan seksual
15
unfleshly” (1994, 387). Dengan perkataan lain, sebagai seorang yang berpendidikan
16
tinggi, subjektivitasnya diatur untuk berdedikasi kepada pekerjaan “otak’nya yang salah
Pembaca sendiri selalu diingatkan “I” akan posisinya sebagai seorang mahasiwa
dengan laki-laki, tidak sepenuhnya bergantung dari itu. Lebih daripada itu, dengan
selalu dibayangkannya perpisahan serta pakaian yang akan dikenakannya ketika itu
terjadi, “I” melihat perpisahan itu sebagai semata-mata kegiatan berganti pakaian.
Dengan perkataan lain, perpisahan itu hanyalah sebuah peristiwa biasa yang
demikian, perpisahan tetap menyisakan kesakitan apalagi karena hal itu disebabkan
The soles of my feet turned cold, my legs went numb. I had realized suddenly that
she was not just an old friend, as you had told me. He had been a lover, she was
still a lover, she was serious, she had taken pills because she found out I was
arriving that day and she was trying to stop you; yet all this time you were calmly
writing down the room number, the phone number, that I was just calmly giving
you. We arranged to meet the next day. I spent the night lying on the bed with my
coat on. (1994, 389)
Seperti yang sudah diceritakan “I” pada awal cerita, ia tidak dapat mengingat
suatu peristiwa kecuali ia dapat mengingat pakaian yang dikenakannya. Dalam narasinya
yang pahit tentang peristiwa di New York itu, “I” dapat secara akurat mengingat apa yang
terjadi dengan sepatunya dan apa yang dipakainya sepanjang malam. Rasa sakit “I”
direpresentasi dengan perasaan dingin yang dialaminya, “The soles of my feet turned
cold”, “my legs went numb” dan ia memakai jaket sepanjang malam. Perhiasan rambut
datangnya perpisahan yang menyakitkan ini. Perhiasan rambut, seperti dijelaskan oleh
17
pegawai perpustakaan, digunakan untuk tamu yang datang ke suatu pemakaman di
jaman Victoria. Itulah barangkali yang seharusnya dikenakan “I” ketika ia pergi ke New
signifikan. Transformasi itu sendiri, meski tampak dalam hal-hal yang bersifat fisik, tidak
terlepas dari transformasi lain yang dialaminya, misalnya keputusannya untuk menikah
“I” tidak lagi harus pergi ke Filene's Basement untuk mendapatkan pakaian berkualitas
baik (meski dengan ukuran yang salah). Ia kini dapat memilih pakaian yang sesuai
dengan ukurannya dan itu mengubah bukan saja cara pandang dirinya terhadap
tubuhnya dan keseluruhan subjektivitasnya melainkan juga pada cara pandang orang
lain terhadap dirinya. “I” yang sangat sadar diri misalnya mengingat ketika orang-orang
memandangnya sebagai makhluk aneh, “they stared at me like frogs in a pond” (1994,
384) atau “the waitress and the proprietor… stood with folded arms, watching me
suspiciously while I ate as though expecting me to leap up and perform some act of
The drab, defiantly woolen wardrobe you may remember vanished little by little
into the bins of the Salvation Army as I grew richer, and was replaced by a
moderately chic collection of pantsuits and brisk dresses… My coats no longer
flap, and when I attend academic conferences nobody stares. (1994, 390-391)
Dengan narasinya itu, “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian penting dari
subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama penampilan juga
penting karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri. Respon serta
reaksi
18
karakter lain terhadapnya atau terhadap penampilannya adalah juga unsur pembangun
19
subjektivitasnya sebagai perempuan. ketika ia dianggap sebagai si buruk rupa,
begitulah ia melihat dirinya, dan ketika ia tidak lagi menjadi objek cemoohan, ia dapat
mengenyahkan bayang- bayang bekas kekasihnya itu ketika ia melihat bahwa bekas
kekasihnya itu sama sekali tidak menghargainya, baik itu penampilan fisiknya yang jauh
lebih menarik, karir akademiknya yang menanjak, ataupun lompatan finansial yang
A Rose for Emily adalah cerita mengenai seorang perempuan bernama Emily
yang eksentrik dan bahkan gila. Ia lahir dari keluarga bangsawan dan setelah kematian
ayahnya ia hidup sendirian dengan ditemani seorang laki-laki kulit hitam pembantunya.
perhatian warga kota. Warga, misalnya menunggu saat-saat Emily menikah karena
waktu itu Emily sudah berusia di atas tiga puluh tahun dan mereka ikut bergembira
ketika Emily tampak dekat dengan seorang laki-laki pendatang bernama Homer Barron.
Warga kemudian ikut bersedih untuk Emily ketika akhirnya diketahui bahwa Homer
pakaian pengantin laki-laki lengkap dengan segala peralatannya serta memesan toilet
set bagi laki-laki dari perak, warga gembira karena mengira bahwa Emily akhirnya akan
menikah dengan Homer Barron. Kegembiraan mereka berganti menjadi rasa kaget
karena setelah itu Homer Barron menghilang. Warga mengira menghilangnya Homer
merupakan strategi agar kedua sepupu yang tinggal bersama Emily setelah kematian
ayahnya segera meninggalkan rumah Emily. Tiga hari setelah kedua sepupu itu pergi,
20
Homer Barron
21
kembali ke kota itu. Beberapa warga melihatnya diterima oleh pembantu laki-laki kulit
hitam yang bekerja di rumah Emily. Setelah itu, warga tidak pernah lagi melihat Homer
Barron dan hanya sesekali melihat Emily. Hanya sang laki-laki kulit hitam yang
Ketika warga melihat lagi Emily, ia sudah menjadi sangat gemuk dan rambutnya
sudah mulai beruban. Setelah itu, warga tidak pernah melihatnya lagi kecuali selama
enam atau tujuh tahun ketika ia berusia sekitar empat puluh tahun. Waktu itu Emily
Tahun berganti tahun, warga hanya melihat laki-laki kulit hitam itu keluar masuk
rumah dan hanya sesekali melihat Emily di lantai bawah rumahnya. Ia kemudian
diketahui meninggal. Adalah pembantu kulit hitamnya yang membuka pintu bagi warga
untuk menengok jasad Emily dan mengurusnya. Ia sendiri kemudian menghilang dan
hingga akhir cerita tidak diketahui identitasnya, bahkan tidak namanya pun sekalipun.
Tapi kematian Emily itu membawa kegemparan baru bagi warga kota karena mereka
sebuah kamar di atas yang tidak pernah dilihat siapapun. Cerita ditutup dengan tidak
.22..1.2 Pembahasan
Cerita ini dinarasikan dari sudut pandang orang pertama jamak, “We”. “We”
dalam hal ini menyuarakan penduduk kota yang menceritakan apa yang dilihat mereka
dari kehidupan Emily Grierson. Yang menarik dari sudut pandang ini adalah ketika
objek narasi mereka adalah Emily Grierson yang tumbuh dan bertambah umur, “We” itu
sendiri seolah-olah tidak bertambah umur. Tidak ada perubahan sudut pandang yang
berarti
22
dalam narasi narator seolah-olah warga kota adalah orang yang sama yang tetap berusia
Ketika Emily meninggal, warga kota diceritakan sangat antusias untuk datang ke
pemakamannya., dan lebih dari itu, warga sebenarnya lebih antusias lagi untuk melihat
rumah yang selama ini ditinggalinya sendiri dengan ditemani seorang pembantu laki-
laki kulit hitam. Dengan banyaknya orang yang merasa berkaitan dengan Emily, narator
menceritakan posisi sosial Emily bagi kota itu dan warganya. Seperti dinarasikan
narator, Emily adalah suatu tradisi, suatu tugas dan kewajiban kota. Emily mempunyai
keringanan pajak.
Kekerasan hati serta gambaran fisik Emily pertama kali dinarasikan ketika perwakilan
dari dewan kota menemuinya di rumahnya yang kotor dan berdebu untuk menagih pajak
kepadanya..
They rose when she entered – a small, fat woman in black, with a thin gold chain
descending to her waist and vanishing into her belt, leaning on an ebony cane
with a tranished gold head. Her skeleton was small and spare; perhaps that was
why what would have been merely plumpness in another was obesity in her. She
looked bloated, like a body long submerged in motionless water, and of that pallid
hue. Her eyes, lost in the fatty ridges of her face, looked like two small pieces of
coal pressed into a lump of dough as they moved from one face to another while
the visitors stated their errand. (341)
Gambaran fisik Emily menunjukkan bahwa pada dasarnya Emily tidak mempunyai
sosok yang menarik, tetapi sebagai seorang bangsawan, Emily mempunyai karakter
yang kuat. Dalam kunjungan itu, Emily sama sekali tidak mengijinkan tamunya duduk.
Ia juga berbicara dengan nada yang dingin dan menolak apapun yang diungkapkan
oleh tamunya itu. Akhirnya, Emily mengusir tamunya, dan sikap seperti itu telah
ditunjukkannya selama tiga puluh tahun. Ia telah mengusir paling tidak dua generasi
23
dewan kota yang datang hendak menuntut pembayaran pajak darinya. Dari sikapnya
itu
24
dapat dikatakan bahwa Emily sangat keras dan tidak mau berkompromi. Ini menjadi
Warga sendiri menganggap bahwa ada suatu keanehan dalam diri Emily. Ketika
usianya mencapai tiga puluh tahun, ia belum juga menikah. Warga merasa bahwa Emily
telah bersikap sombong dan menganggap dirinya terlalu tinggi, “People in our town…
believed that the Grierson held themselves a little too high for what they really were.
None of the young men were quite good enough for Miss Emily and such” (342). Emily
menjadi semacam mitos, suatu sosok yang tidak nyata. Barulah ketika ayahnya
meninggal dan Emily menjadi yatim piatu, miskin dan sendirian, Emily menjadi manusia
nyata, “she became humanized”. Meskipun demikian, bagi warga Emily semakin
tidak mengijinkan warga untuk mengurus jenazah ayahnya. Ia bahkan berdandan seperti
menganggap Emily gila melainkan bahwa Emily menderita kesedihan dan rasa
Emily, yang pada bagian lebih awal merupakan Emily yang lebih tua,
digambarkan sebagai perempuan gemuk yang tidak menarik, pada periode hubungannya
dengan Homer Barron digambarkan sebagai “anak gadis” dan “malaikat”. Kedua citra itu
merupakan citra positif dan feminin. Dengan demikian, pada periode Homer Baron,
subjektivitas Emily sebagai perempuan dianggap berterima oleh masyarakat yang juga
tercermin dari kebahagiaannya yang juga dirasakan oleh warga kota, “At first we were
25
“But
26
there were still others, older people, who said that even grief could not cause a real lady
to forget noblese oblige – without calling it noblise oblige” (343). Ungkapan para
pemuka masyarakat dan para tetua itu menunjukkan bahwa subjektivitas Emily tidak
dapat secara didefinisi oleh dirinya sendiri karena sebagian subjektivitasnya merupakan
keterikatannya dengan status sosialnya sebagai seorang bangsawan. Dalam hal ini,
Emily bukanlah seorang subjek melainkan objek dari konstruk sosial yang
menjadikan dirinya, sekali lagi, objek rasa kasihan karena Homer Barron diketahui
warga sebagai seorang homoseksual, “Homer himself had remarked – he liked men”
(344).
melalui bisikan-bisikan yang dilakukan warga atas hubungan Emily dan Homer Barron.
membaca makna di balik bisikan-bisikan yang tidak jelas itu mengimplikasi adanya
Homer Barron dalam paragraf berikut, “And as soon as the old people said, ‘Poor
Emily,’ the whispering began. ‘Do you suppose it’s really so?’ they said to one another.
Homer Barron dipersepsi sebagai ketidakberuntungan Emily. Warga sendiri tidak begitu
memedulikan homoseksualitas Homer Barron kecuali bahwa hal itu menyedihkan bagi
Emily.
Paparan ini menarik karena “partisipasi” aktif warga dalam kehidupan Emily
tidak disertai empati terhadap perasaan Emily. Emily seolah-olah hidup di dunianya
27
sendiri.
Pembacaan yang empatik terhadap karakternya akan melihat bahwa kegilaan Emily
28
sesungguhnya merupakan produk dari ketidakpedulian warga atau orang-orang di
sekitarnya terhadap apa yang menimpa Emily. Warga hanya tertarik untuk menjadi
penonton episode tragis yang dibintangi Emily tanpa berniat menjadikan episode yang
mendapat kecaman banyak orang. Sekali lagi tampak bahwa Emily memiliki kekerasan
hati yang luar biasa, tetapi juga tampak bahwa warga kota menempatkannya sebagai
objek semata dan bukan sebagai subjek dengan subjektivitas sendiri yang dapat saja
berbeda dengan warga lain. Emily dituntut untuk menjadi “normal”, “biasa-biasa saja”
yang patuh pada aturan dan norma di dalam masyarakat. Kenormalan serta ke-biasa-an
itu yang layak dipertanyakan karena pada prinsipnya, Emily bukan orang biasa. Dengan
demikian, subjektivitas yang dibangun Emily sangat mungkin berbeda dengan warga
atau lebih spesifik perempuan-perempuan lain, termasuk kedua sepupu dan istri
warga memasuki rumah Emily, dan sejak itu warga tidak pernah lagi melihat Homer
Barron. Warga mengira Homer Barron meninggalkan Emily. Misteri ini baru jelas
terungkap ketika jenazah Homer Barron ditemukan terbaring di kamar atas, pada
Pembaca kemudian harus menyelesaikan cerita ini dengan mengingat gambaran yang
beberapa kali ditekankan narator akan rambut Emily yang semakin kelabu. Dengan
ditemukannya mayat Homer Barron, pembaca dan warga yang selalu ingin tahu, dapat
Homer Barron dengan menggunakan arsenik dan bahwa selama ini Emily tidur
bersama mayat Homer Barron. Penemuan itu menutup subjektivitas Emily sebagai
orang gila.
29
3. Simpulan
30
Subjektivitas perempuan dalam keenam cerita pendek yang diteliti dilakukan
melalui pemaparan bentuk deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh
tersebut dan tokoh lain terhadap diri tokoh utama. Secara keseluruhan tokoh-tokoh
Cerita pendek Hair Jewellery dinarasikan melalui sudut pandang orang pertama,
“I”. Tokoh utama yang juga narator “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian
penting dari subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama
penampilan juga penting karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri.
Subjektivitas perempuan dalam cerita ini dibangun saling berkaitan antara fungsi dan
kemampuan finansial).
Melalui karakter Emily dalam A Rose for Emily, kami menginterpretasi bahwa
subjektivitas perempuan memang bukan proyek perempuan itu sendiri melainkan suatu
melalui kebangsawanannya yang membangun rasa harga dirinya yang tinggi. Karakter
itu kemudian menyebabkannya menjadi orang yang keras, dan dalam hal ini dapat
dikatakan tidak feminin, jika feminin dimaknai sebagai lemah lembut, tunduk dan pasif.
Kegilaannya itu sendiri dapat diinterpretasi sebagai konsekuensi logis dari cara
hidupnya yang terpencil dan menyendiri atau juga merupakan konsekuensi dari sifat-
sifat yang diturunkan secara genetis, seperti pendapat yang dicoba ditawarkan oleh
narator bahwa cara Emily hidup mirip dengan ayahnya atau bahwa keanehan Emily
31
Pembacaan empatik mungkin akan melihat subjektivitas Emily memang distingtif
karena Emily ingin melepaskan diri dari konstruk sosial yang selama ini
perempuan dalam ruang sempit; rumah [tangga]. Pembacaan akan kegilaan perempuan
seperti ini merupakan salah satu pembacaan feminis seperti yang telah dilakukan oleh
Sandra Gilbert dan Susan Gurbar dalam bukunya The Madwoman in the Attic : The
Woman
sebagaimana terefleksi dalam cerita pendek yang ditulis oleh penulis perempuan dan
laki- laki tersebut, kami berpendapat bahwa pada dasarnya tidak ada kecenderungan
Daftar Pustaka
Atwood, Margaret, “Hair Jewellery”, The Oxford Book of Modern Women’s Stories,
Oxford, New York, Oxford University Press, 1994
Battersby, Christine (1998), The Phenomenal Woman – Feminist Metaphysics and the
Patterns of Identity, Polity Press, Oxford.
Beauvoir, Simone de (1997), H.M. Parshley, terj., ed., The Second Sex, Vintage Book
Edition
Faulkner, William, “A Rose for Emily” in Sylvan Barnet, Morton Berman, William Burto
eds., Literature for Composition, 2nd edition, Scott, Foresman and Company, Boston,
London, 1988.
Gilbert, Sandra dan Susan Gurbar, The Madwoman in the Attic : The Woman Writer and
the Nineteenth=Century Imagination¸New haven and London, Yale University Press,
1979.
Roberts, Edgar V., (1983) Writing Themes about Literature, Edisi ke-5, Prentice Hall
inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
33