Anda di halaman 1dari 33

Representasi Subjektivitas Perempuan dalam Dua Cerita Pendek Bahasa Inggris

Aquarini Priyatna Prabasmoro,


Ekaning Krisnawati,
Eva Tuckyta Sari Suyatna

Abstract

In the Western normative thinking of subjectivity as reflected in the Cartesian


idea of mind and body, subjectivity lies primarily in the mind while the body is regarded
to be a mere container. Looking at the six short stories of three women writers (Enough
Rope, Hair Jewellery, The Blush) and three men writers (Pinkland, Nude on the Moon,
A Rose for Emily), only two of which are delineated in this article, we find that
subjectivity as represented by the women/”women” characters are not determined
merely by the mind. The short stories show that the body plays a significant role in the
construction of the subjectivity of the women characters’ subjectivity. We also find that
in all novels, all women characters’ subjectivity is always in transformation as signified
by the travellling, the clothing, the ever-changing identities and the resistance to the
[hetero]normative construction imposed on them.
In comparing the idea of women’s subjectivity as reflected in the short stories by
the women and men writers, we find that basically there is no “inherent” tendency in
picturing women, or those identitified as women as stereotypes in the six short stories
that we analysed,. Rather, we find that some men writers are actually capable of writing
women in feminist perspective.

Keywords : woman, subjectivity, feminist/feminism, literatutre

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Gagasan subjektivitas pada pemikiran Barat menurut Weedon (2001)

mengasumsikan bahwa inti, ke-subjek-kan seorang individu ada pada daya nalar,

keunikan, keterpisahan dan perbedaannya dengan yang lain. Yang paling dominan

dalam pembentukan gagasan subjektivitas dalam kebudayaan Barat adalah pemikiran

Descartes yang terkenal dengan gagasan “Cogito Ergo Sum.” Dalam pandangan ini,

1
esensi subjek ada pada daya nalar dan pemikirannya sedemikian sehingga tubuh

cenderung untuk dikonstruksi sebagai suatu kontainer yang tidak memainkan peran

signifikan dalam subjektivitas seseorang.

Gagasan subjektivitas juga dibangun dengan menormalisasikan/me-norma-kan

tubuh laki-laki yang tidak pernah berubah (un-altering) sedemikian sehingga tubuh

perempuan yang mengalami perubahan (menstruasi, tumbuh payudara, hamil,

menyusui, menopause) adalah suatu penyimpangan, atau bahkan ketidaknormalan. Hal

ini menjadi isu penting dalam feminisme yang melihat bahwa gagasan keterpisahan

antara tubuh dengan nalar sebagai sesuatu yang tidak mungkin terutama jika melihat

fakta bahwa tubuh perempuan selalu berubah sedemikian sehingga subjektivitas

perempuan juga tidak pernah ajeg (Weedon 2001). Beauvoir (1997) menulis bahwa

perempuan selalu ada di dalam proses menjadi (becoming). Oleh karena itu, persepsi

terhadap tubuh

merupakan bagian penting dalam membangun subjektivitas atau rasa menjadi

Subjek/Diri. Dalam pemikiran feminis, misalnya menurut Battersby (1998), tubuh adalah

Diri yang menubuh (embodied Self).

Persoalan Subjek dan tubuh menjadi lebih signifikan dalam konteks ideologi

gender yang mengatribusikan fakta biologis tubuh (laki-laki atau perempuan) sebagai

atribusi sosial kultural. Dalam hal ini, seorang bertubuh perempuan harus menunjukkan

identitas feminin termasuk melakukan tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang

dianggap/berada di ranah feminin. Demikian pula mereka yang bertubuh laki-laki harus

menunjukkan identitas maskulin dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap

maskulin dan/atau berada di ranah maskulin/publik. Sejalan dengan perkembangan

pemikiran feminis, resistensi terhadap ideologi gender terlihat dari berkembangnya teori

queer. Dalam pemikiran teori queer, identitas gender bahkan identitas seks bukan

merupakan suatu hal yang ajeg. Lebih dari itu, identitas seks dan identitas gender

2
dipertanyakan.

3
Identitas, dalam hal ini, bukan merupakan subjektivitas, melainkan bagian dari

subjektivitas. Seperti dikatakan Braidotti (1994), “identity bears a privileged bond to

unconscious processes, whereas political subjectivity is a conscious and willful

position”(418). Dengan demikian, identitas menurut Braidotti adalah suatu keterikatan

yang menguntungkan dari proses tidak sadar sementara subjektivitas politis adalah suatu

posisi yang sadar dan penuh kesadaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

subjektivitas merupakan konstruksi yang disadari oleh seorang subjek. Konstruksi

tersebut, seperti dikatakan Kristeva, merupakan suatu proses yang terus menerus yang

menempatkan subjek dalam suatu “pengadilan”, karena identitas kita dalam hidup terus

menerus dipertanyakan, diadili, dan diabaikan (1986, 351). Braidotti mengatakan bahwa

pada dasarnya “perempuan” tidak lagi merupakan suatu model preskriptif dari

subjektivitas perempuan karena subjektivitas perempuan lebih merupakan suatu topos

yang dapat diidentifikasi untuk keperluan analisis. Dengan perkataan lain, subjektivitas

perempuan tidak selalu berarti ditubuhi perempuan karena, dengan menyingkat

pemikiran teoris lain, Braidotti, subjektivitas perempuan merupakan “konstruk (De

Lauretis), topeng (Butler); esensi positif (Irigaray), atau jebakan ideologis (Wittig)” (1994,

417).

Dengan demikian, tidak seperti subjektivitas dalam pemikiran

[tradisional/konvensional] Barat seperti direspresentasi pemikiran Cartesian,

subjektivitas perempuan tidak selesai, tidak uniter, tidak selalu rasional, tidak

mengabaikan tubuh, tidak individual dan tidak tunduk pada gagasan “universal” tentang

subjek. Lebih dari itu, meskipun ada perdebatan mengenai persoal esensi dan

konstruksi, kami berpendapat bahwa ada bagian “esensial” yang memainkan peran

penting dalam pembentukan subjektivitas perempuan/”perempuan” dan pemahaman itu

tidak selalu berarti bahwa kami percaya esensialisme. Seperti dikatakan Kristeva,

meskipun identitas [dan karena itu subjektivitas] tidak stabil, tetapi selalu ada “a certain

4
type of stability” (1986, 352)., Dalam hal ini, tubuh sangat mungkin menawarkan

stabilitas temporal itu.

5
Persoalan subjektivitas ini akan kami analisis dalam enam cerita pendek yang

menjadi objek penelitian kami.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini kami membahas representasi subjektivitas perempuan di

dalam enam cerita pendek yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan (tiga laki-laki dan

tiga perempuan). Pertanyaan yang ingin kami jawab dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana subjektivitas perempuan disajikan, dalam bentuk deskripsi fisik

tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh tersebut dan tokoh lain

terhadap Diri tokoh utama.

2. Bagaimana persepsi tokoh terhadap tubuh dalam membentuk subjektivitasnya?

3. Apa perbedaan representasi subjektivitas perempuan yang ditampilkan

oleh penulis laki-laki dan penulis perempuan.

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek yang terdiri dari tiga

karya penulis perempuan dan tiga karya penulis laki-laki. Pemilihan ini kami maksudkan

untuk dapat memberikan gambaran perbedaan atau tidak adanya perbedaan antara

penulis perempuan dan laki-laki. Tiga karya penulis perempuan tersebut adalah : Enough

Rope (Poppy Z Brite), Hair Jewellery (Margaret Atwood), The Blush (Elizabeth Taylor).

Tiga karya penulis laki-laki adalah Pinkland (Graham Joyce), Nude on the Moon (Paul

Magrs), A Rose for Emily (William Faulkner). Meskipun demikian, karena keterbatasan

ruang, kami hanya membahas dua cerita pendek saja, yakni Hair Jewellery (Margaret

Atwood), dan A Rose for Emily (William Faulkner).

6
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menunjukkan bagaimana subjektivitas perempuan disajikan, dalam

bentuk deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh

tersebut dan tokoh lain terhadap Diri tokoh utama.

2. Memperlihatkan bagaimana persepsi tokoh terhadap tubuh

dalam membentuk subjektivitasnya?

3. Mengetahui perbedaan representasi subjektivitas perempuan

yang ditampilkan oleh penulis laki-laki dan penulis perempuan.

1.4 Kontribusi Penelitian

Kontribusi yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lainnya yang sejenis;

2. Dapat dijadikan model untuk mengetahui representasi subjektivitas

perempuan dalam karya sastra lain.

1.5 Metode Penelitian

Kami melakukan penelitian dengan cara menganalisis teks dengan

mempergunakan kritik sastra dengan menganalisis struktur karya sastra melalui

perwatakan, sudut pandang dan latar dengan pendekatan feminis. Kami juga

mencermati pendekatan feminis terhadap subjektivitas perempuan untuk melihat

representasi subjektivitas perempuan terutama dalam konteks tubuh dan

seksualitas.

7
2. Contoh Pembahasan Karya Penulis Perempuan

2.1 Hair Jewellery

2.1.1 Ringkasan Cerita

Hair jewellery merupakan cerita seorang perempuan dalam perjalanan hidupnya

dari miskin hingga menjadi seorang terpelajar dan kaya. Perjuangan hidupnya ditandai

dengan subjektivitasnya yang berubah sejalan dengan apa yang dialaminya. Secara

keseluruhan, cerita dalam Hair Jjewellery adalah flashback yang berkembang secara

kronologis. Pada awal cerita, narator bercerita bahwa ia ingin menulis sesuatu tentang

masa lalu dan ia menyadari bahwa tindakan itu dapat menyakitkan hatinya, atau paling

tidak akan menghidupkan lagi kesakitan yang pernah diterimanya di masa lalu. Pada

awal narasinya, “I” mengatakan betapa subjektivitasnya sangat erat berkaitan dengan

penampilannya, terutama dengan pakaian yang dikenakannya. Bahwa keseluruhan

memorinya bekerja dalam hubungannya dengan pakaian yang dikenakannya pada waktu

peristiwa tertentu terjadi. Lebih dari itu, pakaian merupakan aspirasinya terhadap

transformasi serta kehidupan yang baru. Selama ini ia membeli baju dari gudang yang

menjual baju kualitas bagus dengan harga murah, tetapi bukan merupakan ukuran yang

tepat untuknya.

Melalui narasinya, diketahui pula bahwa ia seorang mahasiswa Sastra [Inggris]

di suatu universitas dan ia hidup dari uang beasiswa yang diterimanya. Ia juga bercerita

tentang hubungan cintanya yang bertepuk sebelah tangan dan penampilannya yang

seringkali membuat orang memandangnya dengan pandangan yang aneh.

Setelah penghianatan kekasihnya, ia kemudian menikah dengan seorang arsitek,

dan karir akademiknya juga menanjak sehingga ia cukup kaya untuk dapat membeli

pakaian bagus yang membuatnya lebih percaya diri. Ketika ia tanpa sengaja bertemu lagi

dengan bekas kekasih yang meninggalkannya, “I” menghampiri bekas kekasihnya.

Pandangan laki-laki itu kepadanya menyiratkan kekecewaan karena, tidak seperti yang

8
diduganya, “I” tidak menjadi menderita karena perpisahan itu bahkan sebaliknya “I”

telah menjadikan dirinya lebih baik daripada masa ketika mereka bersama.

2.1.2 Pembahasan

Dengan narasi yang bertutur “I” kepada petutur “You”, cerita ini seolah-olah

menghadirkan percakapan antara “I” dengan bekas kekasihnya yang menghianatinya.

Cerita pendek ini bahkan seperti diary dengan kesadaran bahwa diary ini akan dibaca. “I”

menyadari proses penulisan yang dilakukannya, seperti ditulisnya di awal cerita,

There must be some approach to this, a method, a technique, that’s the word I
want, it kills germs. Some technique then, a way of thinking about it that would be
bloodless and therefore painless; devotion recollected in tranquility. I try to conjure
up an image of myself at that time, also one of you, but it’s like conjuring the dead.
How do I know I’m not inventing both of us, and if I’m not inventing then it really is
like conjuring the dead, a dangerous game… The usual explanation is that they
have something to tell us. I’m not sure I believe it; in this case it’s more likely that I
have something to tell them. Be careful, I want to write, there is a future…. (1994,
379)

Bagian pendahuluan ini tampaknya menjelaskan mengapa karakter “I” perlu menulis

cerita ini. Dari kutipan di atas terlihat adanya kebutuhan untuk menghidupkan kembali

citra dirinya dan juga citra bekas kekasihnya. Ada kebutuhan dari “I” yang sekarang

untuk melakukan retrospeksi terhadap cerita hidupnya, untuk menemukan “I” yang dulu

sehingga ia dapat memahami “I” yang sekarang. Cerita pendek ini melingkupi

perjalanan “I” kini yang mencoba memahami rasa sakit dan kebahagiaanya, untuk

memahami perkembangan subjektivitasnya. Secara keseluruhan, narator banyak

melakukan flashback yang disertai dengan perenungan atas apa yang terjadi pada

waktu suatu peristiwa terjadi. Narator dalam cerita ini mengambil sudut pandang orang

pertama yang sesungguhnya memungkinkan dibacanya cerita ini sebagai semacam

karya autobiografis.

Yang paling menarik dari penggambaran konstruksi subjektivitas karakter dalam

9
cerita ini adalah keterikatan karakter dengan penampilannya, terutama pakaiannya,

yang

10
menurutnya merupakan “teknik untuk menegakkan diri”. Lebih dari itu, pakaian baginya

merupakan identitas yang melekat pada dirinya, tetapi pada saat yang sama,

penghubungan pakaian dengan identitas juga memungkinkan adanya ruang untuk

berganti-ganti identitas sejalan dengan berubahnya pakaian yang dikenakan, yang

dapat dimaknai sebagai ketidakajegan subjektivitasnya. Pada awal cerita,”I”

menerangkan :

That’s my technique, I resurrect myself through clothes. In fact it’s impossible for
me to remember what I did, what happened to me, unless I can remember what I
was wearing, and every time I discard a sweater or a dress I am discarding a
part of my life. I shed identities like a snake, leaving them pale and shrivelled
behing me, a trail of them, and if I want any memories at all I have to collect, one
by one, those cotton and wool fragments, piece them together, achieving at last
a patchwork self… (1994, 379)

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa pakaian bukanlah semata-mata memiliki

karakter fungsional sebagai penutup tubuh atau pelindung dari cuaca panas ataupun

dingin, melainkan sebagai lapisan identitas diri, yang seperti ditulis “I” merupakan

bagian dari bagian-bagian dirinya yang lain. Subjektivitasnya tidak terdiri dari satu

elemen semata melainkan kombinasi dari berbagai jenis identitas diri. “I” sendiri

menggambarkan dirinya sebagai pecinta pakaian yang bermutu baik, meski ia tidak

mampu membelinya dengan harga normal. Filene’s Basement adalah tempatnya

membeli pakaian dengan harga murah, tetapi tidak mudah baginya menemukan ukuran

yang cocok dengannya yang di satu sisi membuatnya “hilang”, di sisi lain dengan

pakaian yang kedodoran justru ia menjadi perhatian orang lain justru karena ia menjadi

“menarik perhatian” dalam pengertian ia “berbeda” dari “yang seharusnya”.

Selain pakaian, persoalan subjektivitasnya juga berkaitan dengan uang yang

[tidak] dimilikinya. Filene's Basement menjadi pilihan karena dengan keuangannya yang

sangat terbatas sehingga ia tidak mempunyai pilihan lain. Lebih dari itu, “I” berpendapat

bahwa setiap orang yang pergi ke Filene's Basement berkeinginan untuk melakukan

11
perubahan

terhadap hidupnya, dan pakaian menjadi semacam penanda [tidak] adanya perubahan itu,

12
“No one went there who did not aspire to a shape change, a transformation, a new life,

but the things never did quite fit.”

Under the black coat I wear a heavy tweed skirt, grey in colour, and brown
sweater with only one not very noticeable hole, valued by me because it was
your cigarette that burned it. Under the sweater I have a slip (too long), a
brassiere (too small), some panties with little pink roses on them, also from
Filene's Basement, only twenty-five cents, five for a dollar, and a pair of nylon
stockings held up by a garter belt which, being too large, is travelling around my
waist, causing the the seams at the backs of my legs to spiral like barbers’ poles.
I am lugging a suitcase which is far too heavy – no one carried packsacks then
except a summer camp – as it contains another set of my weighty, oversized
clothes as well as six nineteenth- century Gothic novels and a sheaf of clean
paper. (1994, 380)

Seperti terlihat dalam kutipan di atas, “I” secara mendetail menggambarkan

pakaian serta barang yang dikenakan dan dibawanya, dan itu menandai betapa

pentingnya penampilan (termasuk pakaian, pakaian dalam dan tas serta barang-

barang lain) dalam pembentukan subjektivitasnya. Peristiwa ini juga dapat

diparalelkan dengan keinginannya untuk melarikan diri dari “kenyataan” [bahwa ia

tidak diinginkan/cintanya ditolak]. Di balik pakaian ia bersembunyi dan menampilkan

semacam “subjektivitas” diri yang lain, yang berbeda dengan diri ketika ia bebas dari

pakaian yang dikenakannya, seperti dikatakannya, “My platonic version of myself

resembled an Egyptian mummy, a mysteriously wrapped object that might or might

not fall into dust if uncovered” (1994, 381).

Sejalan dengan subjektivitasnya yang ditampilkan melalui keterikatannya

dengan pakaian, perkembangan subjektivitas “I” juga ditampilkan melalui karirnya

sebagai mahasiswa yang kehidupannya bergantung pada beasiswa yang diterimanya.

Beasiswa itu sendiri dapat merupakan penanda subjektivitasnya sebagai orang yang

mempunyai kemampuan dan intelektualitas tinggi serta berkemauan keras, seperti

dinarasikan “I”,

13
the academic paper required for my survival as a scholar would emerge, like a
stunted dandelion from a crack in the sidewalk… shocking into action my critical
faculties, my talent for word-chopping and the construction of plausible footnotes

14
which had assured so far the trickle of scholarship money on which I subsisted.
(1994, 381)

Di satu sisi “I” menyadari potensi dirinya, tetapi di sisi lain, dan hal ini menarik

menurut kami, “I” menyadari bahwa potensi itu sebenarnya merupakan suatu

“pertunjukan” semata. Intelektualitasnya, yang tampil dalam tulisan akademiknya,

sebenarnya hanyalah merupakan citra yang sengaja dibangun untuk memastikan

keberlangsungan hidupnya melalui beasiswa (yang jumlahnya tidak banyak) yang

diterimanya, “the construction of plausible footnotes which had assured so far the

trickle of scholarship money on which I subsisted” (1994, 381).

Yang lebih menarik, cinta, penelitian (kehidupan akademik/kehidupan publik)

dan pakaian sebenarnya merupakan elemen yang memiliki kesamaan dan saling

berkait dalam pembentukan subjektivitasnya. Kesadarannya akan potensi kesakitan

dari hubungan cinta dikaitkannya dengan pengalamannya melakukan penelitian,

My academic researches had made me familiar with the moment at which one’s
closest friend and most trusted companion grows fangs or turns into a bat; this
moment was expected, and held few terror for me. (1994, 381)

Penelitian akademis, menurut “I” berpotensi untuk menampilkan keaslian seseorang,

seorang teman terpercaya dapat saja berubah menjadi serigala yang atau berubah

menjadi kelelawar. Potensi kekecewaan ini sejak awal diantisipasi oleh “I” dalam

hubungannya dengan laki-laki.

Ketika akhirnya cintanya bersambut, “I” menerangkan bahwa “You” – yang

bekas kekasihnya – adalah jenis manusia berbeda dari yang telah diceritakan

sebelumnya. “I” mengatakan “You were, of course, the perfect object” (382). Tetapi

hubungan itu tidak dapat dengan mudah diwujudkan dalam suatu hubungan seksual

karena menurut “I” mahasiswa pascasarjana perempuan “were supposed to be like

nuns, dedicated and

15
unfleshly” (1994, 387). Dengan perkataan lain, sebagai seorang yang berpendidikan

16
tinggi, subjektivitasnya diatur untuk berdedikasi kepada pekerjaan “otak’nya yang salah

satu konsekuensinya adalah penegasian terhadap tubuh, “unfleshly” – tidak bertubuh.

Pembaca sendiri selalu diingatkan “I” akan posisinya sebagai seorang mahasiwa

pascasarjana dengan referensinya yang terus menerus mengenai tugas menulisnya.

Subjektivitasnya sebagai perempuan, meski berkaitan dengan hubungannya

dengan laki-laki, tidak sepenuhnya bergantung dari itu. Lebih daripada itu, dengan

selalu dibayangkannya perpisahan serta pakaian yang akan dikenakannya ketika itu

terjadi, “I” melihat perpisahan itu sebagai semata-mata kegiatan berganti pakaian.

Dengan perkataan lain, perpisahan itu hanyalah sebuah peristiwa biasa yang

dialaminya sebagaimana ia memilih baju tertentu untuk acara tertentu. Meskipun

demikian, perpisahan tetap menyisakan kesakitan apalagi karena hal itu disebabkan

tersingkirkannya ia oleh perempuan lain. Alih-alih ketenangan yang ditampilkannya,

pembaca dapat merasakan kesakitan “I” :

The soles of my feet turned cold, my legs went numb. I had realized suddenly that
she was not just an old friend, as you had told me. He had been a lover, she was
still a lover, she was serious, she had taken pills because she found out I was
arriving that day and she was trying to stop you; yet all this time you were calmly
writing down the room number, the phone number, that I was just calmly giving
you. We arranged to meet the next day. I spent the night lying on the bed with my
coat on. (1994, 389)

Seperti yang sudah diceritakan “I” pada awal cerita, ia tidak dapat mengingat

suatu peristiwa kecuali ia dapat mengingat pakaian yang dikenakannya. Dalam narasinya

yang pahit tentang peristiwa di New York itu, “I” dapat secara akurat mengingat apa yang

terjadi dengan sepatunya dan apa yang dipakainya sepanjang malam. Rasa sakit “I”

direpresentasi dengan perasaan dingin yang dialaminya, “The soles of my feet turned

cold”, “my legs went numb” dan ia memakai jaket sepanjang malam. Perhiasan rambut

(hair jewellery) yang dilihatnya di perpustakaan di Salem menjadi pertanda akan

datangnya perpisahan yang menyakitkan ini. Perhiasan rambut, seperti dijelaskan oleh

17
pegawai perpustakaan, digunakan untuk tamu yang datang ke suatu pemakaman di

jaman Victoria. Itulah barangkali yang seharusnya dikenakan “I” ketika ia pergi ke New

York; perhiasan untuk datang ke pemakaman, perhiasan untuk sebuah perpisahan.

Secara fisik, perjalanan subjektivitas “I” telah melampaui transformasi yang

signifikan. Transformasi itu sendiri, meski tampak dalam hal-hal yang bersifat fisik, tidak

terlepas dari transformasi lain yang dialaminya, misalnya keputusannya untuk menikah

dengan seorang arsitek, meningkatnya karir akademiknya serta secara keseluruhannya

meningkatnya kemampuan finansialnya. Dengan kemampuan finansial yang meningkat,

“I” tidak lagi harus pergi ke Filene's Basement untuk mendapatkan pakaian berkualitas

baik (meski dengan ukuran yang salah). Ia kini dapat memilih pakaian yang sesuai

dengan ukurannya dan itu mengubah bukan saja cara pandang dirinya terhadap

tubuhnya dan keseluruhan subjektivitasnya melainkan juga pada cara pandang orang

lain terhadap dirinya. “I” yang sangat sadar diri misalnya mengingat ketika orang-orang

memandangnya sebagai makhluk aneh, “they stared at me like frogs in a pond” (1994,

384) atau “the waitress and the proprietor… stood with folded arms, watching me

suspiciously while I ate as though expecting me to leap up and perform some act of

necromancy with the butter knife” (1994, 385).

Dalam narasinya mengenai peristiwa ketika ia bertemu lagi dengan kekasihnya,

“I” menceritakan transformasi itu.

The drab, defiantly woolen wardrobe you may remember vanished little by little
into the bins of the Salvation Army as I grew richer, and was replaced by a
moderately chic collection of pantsuits and brisk dresses… My coats no longer
flap, and when I attend academic conferences nobody stares. (1994, 390-391)

Dengan narasinya itu, “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian penting dari

subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama penampilan juga

penting karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri. Respon serta

reaksi

18
karakter lain terhadapnya atau terhadap penampilannya adalah juga unsur pembangun

19
subjektivitasnya sebagai perempuan. ketika ia dianggap sebagai si buruk rupa,

begitulah ia melihat dirinya, dan ketika ia tidak lagi menjadi objek cemoohan, ia dapat

menghargai dirinya lebih baik. Pada akhirnya, “I” dapat sungguh-sungguh

mengenyahkan bayang- bayang bekas kekasihnya itu ketika ia melihat bahwa bekas

kekasihnya itu sama sekali tidak menghargainya, baik itu penampilan fisiknya yang jauh

lebih menarik, karir akademiknya yang menanjak, ataupun lompatan finansial yang

telah dilakukannya serta kesuksesannya sebagai ibu rumah tangga.

2.2Contoh Pembahasan Karya Penulis Laki-laki

2.21 A Rose for Emily

2..21.1 Ringkasan Cerita

A Rose for Emily adalah cerita mengenai seorang perempuan bernama Emily

yang eksentrik dan bahkan gila. Ia lahir dari keluarga bangsawan dan setelah kematian

ayahnya ia hidup sendirian dengan ditemani seorang laki-laki kulit hitam pembantunya.

Sebagai keluarga bangasawan, keluarga Emily Grierson menjadi semacam pusat

perhatian warga kota. Warga, misalnya menunggu saat-saat Emily menikah karena

waktu itu Emily sudah berusia di atas tiga puluh tahun dan mereka ikut bergembira

ketika Emily tampak dekat dengan seorang laki-laki pendatang bernama Homer Barron.

Warga kemudian ikut bersedih untuk Emily ketika akhirnya diketahui bahwa Homer

sesungguhnya adalah seorang homoseksual. Ketika suatu waktu Emily membeli

pakaian pengantin laki-laki lengkap dengan segala peralatannya serta memesan toilet

set bagi laki-laki dari perak, warga gembira karena mengira bahwa Emily akhirnya akan

menikah dengan Homer Barron. Kegembiraan mereka berganti menjadi rasa kaget

karena setelah itu Homer Barron menghilang. Warga mengira menghilangnya Homer

merupakan strategi agar kedua sepupu yang tinggal bersama Emily setelah kematian

ayahnya segera meninggalkan rumah Emily. Tiga hari setelah kedua sepupu itu pergi,

20
Homer Barron

21
kembali ke kota itu. Beberapa warga melihatnya diterima oleh pembantu laki-laki kulit

hitam yang bekerja di rumah Emily. Setelah itu, warga tidak pernah lagi melihat Homer

Barron dan hanya sesekali melihat Emily. Hanya sang laki-laki kulit hitam yang

melakukan aktivitas keluar masuk rumah.

Ketika warga melihat lagi Emily, ia sudah menjadi sangat gemuk dan rambutnya

sudah mulai beruban. Setelah itu, warga tidak pernah melihatnya lagi kecuali selama

enam atau tujuh tahun ketika ia berusia sekitar empat puluh tahun. Waktu itu Emily

memberikan kursus melukis keramik kepada keturunan perempuan Kolonel Sartoris,

walikota yang memerintahkan remiten pajak baginya.

Tahun berganti tahun, warga hanya melihat laki-laki kulit hitam itu keluar masuk

rumah dan hanya sesekali melihat Emily di lantai bawah rumahnya. Ia kemudian

diketahui meninggal. Adalah pembantu kulit hitamnya yang membuka pintu bagi warga

untuk menengok jasad Emily dan mengurusnya. Ia sendiri kemudian menghilang dan

hingga akhir cerita tidak diketahui identitasnya, bahkan tidak namanya pun sekalipun.

Tapi kematian Emily itu membawa kegemparan baru bagi warga kota karena mereka

menemukan mayat Homer Barron dengan sejumput rambut uban di sampingnya di

sebuah kamar di atas yang tidak pernah dilihat siapapun. Cerita ditutup dengan tidak

menggambarkan reaksi warga atas penemuan mayat dan uban itu.

.22..1.2 Pembahasan

Cerita ini dinarasikan dari sudut pandang orang pertama jamak, “We”. “We”

dalam hal ini menyuarakan penduduk kota yang menceritakan apa yang dilihat mereka

dari kehidupan Emily Grierson. Yang menarik dari sudut pandang ini adalah ketika

objek narasi mereka adalah Emily Grierson yang tumbuh dan bertambah umur, “We” itu

sendiri seolah-olah tidak bertambah umur. Tidak ada perubahan sudut pandang yang

berarti

22
dalam narasi narator seolah-olah warga kota adalah orang yang sama yang tetap berusia

sama sepanjang hidup Emily.

Ketika Emily meninggal, warga kota diceritakan sangat antusias untuk datang ke

pemakamannya., dan lebih dari itu, warga sebenarnya lebih antusias lagi untuk melihat

rumah yang selama ini ditinggalinya sendiri dengan ditemani seorang pembantu laki-

laki kulit hitam. Dengan banyaknya orang yang merasa berkaitan dengan Emily, narator

menceritakan posisi sosial Emily bagi kota itu dan warganya. Seperti dinarasikan

narator, Emily adalah suatu tradisi, suatu tugas dan kewajiban kota. Emily mempunyai

privilese tertentu yang diberikan kepadanya oleh walikota Sartoris, termasuk

keringanan pajak.

Kekerasan hati serta gambaran fisik Emily pertama kali dinarasikan ketika perwakilan

dari dewan kota menemuinya di rumahnya yang kotor dan berdebu untuk menagih pajak

kepadanya..

They rose when she entered – a small, fat woman in black, with a thin gold chain
descending to her waist and vanishing into her belt, leaning on an ebony cane
with a tranished gold head. Her skeleton was small and spare; perhaps that was
why what would have been merely plumpness in another was obesity in her. She
looked bloated, like a body long submerged in motionless water, and of that pallid
hue. Her eyes, lost in the fatty ridges of her face, looked like two small pieces of
coal pressed into a lump of dough as they moved from one face to another while
the visitors stated their errand. (341)

Gambaran fisik Emily menunjukkan bahwa pada dasarnya Emily tidak mempunyai

sosok yang menarik, tetapi sebagai seorang bangsawan, Emily mempunyai karakter

yang kuat. Dalam kunjungan itu, Emily sama sekali tidak mengijinkan tamunya duduk.

Ia juga berbicara dengan nada yang dingin dan menolak apapun yang diungkapkan

oleh tamunya itu. Akhirnya, Emily mengusir tamunya, dan sikap seperti itu telah

ditunjukkannya selama tiga puluh tahun. Ia telah mengusir paling tidak dua generasi

23
dewan kota yang datang hendak menuntut pembayaran pajak darinya. Dari sikapnya

itu

24
dapat dikatakan bahwa Emily sangat keras dan tidak mau berkompromi. Ini menjadi

karakter penting dalam membangun cerita pendek ini.

Warga sendiri menganggap bahwa ada suatu keanehan dalam diri Emily. Ketika

usianya mencapai tiga puluh tahun, ia belum juga menikah. Warga merasa bahwa Emily

telah bersikap sombong dan menganggap dirinya terlalu tinggi, “People in our town…

believed that the Grierson held themselves a little too high for what they really were.

None of the young men were quite good enough for Miss Emily and such” (342). Emily

menjadi semacam mitos, suatu sosok yang tidak nyata. Barulah ketika ayahnya

meninggal dan Emily menjadi yatim piatu, miskin dan sendirian, Emily menjadi manusia

nyata, “she became humanized”. Meskipun demikian, bagi warga Emily semakin

menunjukkan kecenderungan gilanya karena ia tidak mengakui kematian ayahnya dan

tidak mengijinkan warga untuk mengurus jenazah ayahnya. Ia bahkan berdandan seperti

biasa dan tidak menunjukkan kesedihan sama sekali.

Sampai tahap ini, seperti diungkapkan narator, warga masih belum

menganggap Emily gila melainkan bahwa Emily menderita kesedihan dan rasa

kehilangan mendalam yang membuatnya tidak mau kehilangan [jenazah] ayahnya.

Emily, yang pada bagian lebih awal merupakan Emily yang lebih tua,

digambarkan sebagai perempuan gemuk yang tidak menarik, pada periode hubungannya

dengan Homer Barron digambarkan sebagai “anak gadis” dan “malaikat”. Kedua citra itu

merupakan citra positif dan feminin. Dengan demikian, pada periode Homer Baron,

subjektivitas Emily sebagai perempuan dianggap berterima oleh masyarakat yang juga

tercermin dari kebahagiaannya yang juga dirasakan oleh warga kota, “At first we were

glad that Miss Emily would have an interest,…” (343).

Subjektivitas Emily sebagai perempuan yang berbahagia dengan hubungannya

dipaksa berhadapan dengan identitas sosialnya sebagai bangsawan. Subjek

bagaimanapun selalu berhadapan dengan pengobjekkan. Seperti diceritakan narator

25
“But

26
there were still others, older people, who said that even grief could not cause a real lady

to forget noblese oblige – without calling it noblise oblige” (343). Ungkapan para

pemuka masyarakat dan para tetua itu menunjukkan bahwa subjektivitas Emily tidak

dapat secara didefinisi oleh dirinya sendiri karena sebagian subjektivitasnya merupakan

keterikatannya dengan status sosialnya sebagai seorang bangsawan. Dalam hal ini,

Emily bukanlah seorang subjek melainkan objek dari konstruk sosial yang

melingkupinya (dalam Bahasa Inggris, she is subject to social construct).

Subjektivitas Emily juga terganggu karena pilihannya terhadap Homer Barron

menjadikan dirinya, sekali lagi, objek rasa kasihan karena Homer Barron diketahui

warga sebagai seorang homoseksual, “Homer himself had remarked – he liked men”

(344).

Narator sendiri tidak menceritakan episode ini dengan jelas, ia mengimplikasinya

melalui bisikan-bisikan yang dilakukan warga atas hubungan Emily dan Homer Barron.

Pembaca harus menebak-nebak apa makna bisikan-bisikan itu. Kemampuan pembaca

membaca makna di balik bisikan-bisikan yang tidak jelas itu mengimplikasi adanya

kesamaan pandangan atas norma-norma yang berlaku di masyarakat Emily dan

masyarakat pembaca/kami. Narator memberikan petunjuk persoalan homoseksualitas

Homer Barron dalam paragraf berikut, “And as soon as the old people said, ‘Poor

Emily,’ the whispering began. ‘Do you suppose it’s really so?’ they said to one another.

‘Of course it is…’ …. ‘Poor Emily.’” (343)

Yang perlu diperhatikan dari kutipan di atas adalah bahwa homoseksualitas

Homer Barron dipersepsi sebagai ketidakberuntungan Emily. Warga sendiri tidak begitu

memedulikan homoseksualitas Homer Barron kecuali bahwa hal itu menyedihkan bagi

Emily.

Paparan ini menarik karena “partisipasi” aktif warga dalam kehidupan Emily

tidak disertai empati terhadap perasaan Emily. Emily seolah-olah hidup di dunianya

27
sendiri.

Pembacaan yang empatik terhadap karakternya akan melihat bahwa kegilaan Emily

28
sesungguhnya merupakan produk dari ketidakpedulian warga atau orang-orang di

sekitarnya terhadap apa yang menimpa Emily. Warga hanya tertarik untuk menjadi

penonton episode tragis yang dibintangi Emily tanpa berniat menjadikan episode yang

dimainkannya tidak berakhir tragis.

Hubungannya dengan Homer Barron terus berlangsung dengan terbuka meski

mendapat kecaman banyak orang. Sekali lagi tampak bahwa Emily memiliki kekerasan

hati yang luar biasa, tetapi juga tampak bahwa warga kota menempatkannya sebagai

objek semata dan bukan sebagai subjek dengan subjektivitas sendiri yang dapat saja

berbeda dengan warga lain. Emily dituntut untuk menjadi “normal”, “biasa-biasa saja”

yang patuh pada aturan dan norma di dalam masyarakat. Kenormalan serta ke-biasa-an

itu yang layak dipertanyakan karena pada prinsipnya, Emily bukan orang biasa. Dengan

demikian, subjektivitas yang dibangun Emily sangat mungkin berbeda dengan warga

atau lebih spesifik perempuan-perempuan lain, termasuk kedua sepupu dan istri

pendeta yang memrotes perilakunya.

Setelah kedua sepupu Emily meninggalkan rumahnya, Homer Barron diketahui

warga memasuki rumah Emily, dan sejak itu warga tidak pernah lagi melihat Homer

Barron. Warga mengira Homer Barron meninggalkan Emily. Misteri ini baru jelas

terungkap ketika jenazah Homer Barron ditemukan terbaring di kamar atas, pada

bantal di sebelahnya terserak uban panjang. Narator menghentikan ceritanya di sini.

Pembaca kemudian harus menyelesaikan cerita ini dengan mengingat gambaran yang

beberapa kali ditekankan narator akan rambut Emily yang semakin kelabu. Dengan

ditemukannya mayat Homer Barron, pembaca dan warga yang selalu ingin tahu, dapat

menyatukan potongan-potongan informasi yang diketahuinya; bahwa Emily membunuh

Homer Barron dengan menggunakan arsenik dan bahwa selama ini Emily tidur

bersama mayat Homer Barron. Penemuan itu menutup subjektivitas Emily sebagai

orang gila.

29
3. Simpulan

30
Subjektivitas perempuan dalam keenam cerita pendek yang diteliti dilakukan

melalui pemaparan bentuk deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh

tersebut dan tokoh lain terhadap diri tokoh utama. Secara keseluruhan tokoh-tokoh

perempuan, atau tokoh yang ditandai sebagai perempuan, memersepsi tubuhnya

sebagai bagian penting subjektivitasnya.

Cerita pendek Hair Jewellery dinarasikan melalui sudut pandang orang pertama,

“I”. Tokoh utama yang juga narator “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian

penting dari subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama

penampilan juga penting karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri.

Subjektivitas perempuan dalam cerita ini dibangun saling berkaitan antara fungsi dan

unsur domestik/feminin (pakaian, perkawinan) serta unsur-unsur publik (karir,

kemampuan finansial).

Melalui karakter Emily dalam A Rose for Emily, kami menginterpretasi bahwa

subjektivitas perempuan memang bukan proyek perempuan itu sendiri melainkan suatu

bentuk dialog dengan elemen-elemen lain, termasuk di antaranya hubungannya dengan

kekasihnya, tubuh dan penampilannya, serta konstruk sosial budaya yang

melingkupinya. Subjektivitas tokoh Emily yang paling menonjol tampaknya dibentuk

melalui kebangsawanannya yang membangun rasa harga dirinya yang tinggi. Karakter

itu kemudian menyebabkannya menjadi orang yang keras, dan dalam hal ini dapat

dikatakan tidak feminin, jika feminin dimaknai sebagai lemah lembut, tunduk dan pasif.

Kegilaannya itu sendiri dapat diinterpretasi sebagai konsekuensi logis dari cara

hidupnya yang terpencil dan menyendiri atau juga merupakan konsekuensi dari sifat-

sifat yang diturunkan secara genetis, seperti pendapat yang dicoba ditawarkan oleh

narator bahwa cara Emily hidup mirip dengan ayahnya atau bahwa keanehan Emily

mengingatkan warga akan salah satu bibinya yang gila.

31
Pembacaan empatik mungkin akan melihat subjektivitas Emily memang distingtif

karena Emily ingin melepaskan diri dari konstruk sosial yang selama ini

membelenggunya. Menjadi gila, dengan perkataan lain, merupakan bentuk penegasian

atau bahkan merupakan bentuk perlawanan terhadap konstruk yang memenjarakan

perempuan dalam ruang sempit; rumah [tangga]. Pembacaan akan kegilaan perempuan

seperti ini merupakan salah satu pembacaan feminis seperti yang telah dilakukan oleh

Sandra Gilbert dan Susan Gurbar dalam bukunya The Madwoman in the Attic : The

Woman

Writer and the Nineteenth=Century Imagination (1979).

Dengan membandingkan gagasan mengenai subjektivitas perempuan

sebagaimana terefleksi dalam cerita pendek yang ditulis oleh penulis perempuan dan

laki- laki tersebut, kami berpendapat bahwa pada dasarnya tidak ada kecenderungan

“inheren” dalam penggambaran perempuan, atau mereka yang dianggap perempuan,

sebagai semata-mata stereotipe tertentu. Lebih jauh, kami berpendapat bahwa

beberapa penulis laki-laki bahkan mempunyai kemampuan untuk menulis dengan

menggunakan perspektif feminis.

Daftar Pustaka

Atwood, Margaret, “Hair Jewellery”, The Oxford Book of Modern Women’s Stories,
Oxford, New York, Oxford University Press, 1994

Battersby, Christine (1998), The Phenomenal Woman – Feminist Metaphysics and the
Patterns of Identity, Polity Press, Oxford.

Beauvoir, Simone de (1997), H.M. Parshley, terj., ed., The Second Sex, Vintage Book
Edition

Braidotti, Rosi, “Nomadic Subjects : Embodiment and Sexual Difference in


Contemporary Feminist Theory” dalam Mary Eagleton ed., Feminist Literary Theory- A
Reader, Second Edition, Blackwell Publishers, 1996.
32
Butler, Judith, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, Routledge, 1990.

Faulkner, William, “A Rose for Emily” in Sylvan Barnet, Morton Berman, William Burto
eds., Literature for Composition, 2nd edition, Scott, Foresman and Company, Boston,
London, 1988.

Gilbert, Sandra dan Susan Gurbar, The Madwoman in the Attic : The Woman Writer and
the Nineteenth=Century Imagination¸New haven and London, Yale University Press,
1979.

Kristeva, Julia, “A Question of Subjectivity : An Interview’ Women’s Review” dalam


dalam Mary Eagleton ed., Feminist Literary Theory- A Reader, Second Edition,
Blackwell Publishers, 1996.

Roberts, Edgar V., (1983) Writing Themes about Literature, Edisi ke-5, Prentice Hall
inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Weedon, Chris (1997), Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Blackwell


Publishers, Oxford, Massachusetts.

33

Anda mungkin juga menyukai