Anda di halaman 1dari 11

MA’ANIL HADITS

Sunnah Ghairu Tasyri’

Disusun oleh :

Alpi Juwita

Siti Makkhiah (2030304096)

Dosen Pengampu :

Hedhri Nadhiran,M.Ag.

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM RADEN FATTAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul yang membawa risalah dari Allah
SWT kepada manusia. Sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau merupakan Uswatun Hasanah.
Beliau wajib untuk dita’ati sehingga apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan
ketaatan sepenuh hati. Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar beriman dan
mencintai Allah adalah dengan cara mentaati dan mengikuti perintah Rasulullah SAW dan
menjauhi larangannya..

Dalam praktiknya, sunnah merupakan tafsir Al-Qur’an dan suri teladan bagi umat Islam.
Pengertian ini telah diketahui oleh ummul mukminin Siti Aisyah r.a. berdasarkan ilmu fikih yang
dikuasainya dan pandangan hatinya yang terang, serta pergaulannya sebagai istri Rasulullah
SAW, sehingga dapat mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang fasih dan sarat makna.

Rasulullah SAW adalah orang yang menjelaskan makna Al-Qur’an dan memperagakan
Islam melalui ucapan dan perbuatannya serta semua tindakannya, baik secara individu maupun
berkelompok, berada di tempat maupun dalam perjalanan, atau dalam keadaan bangun maupun
tidur.Begitu pula mengenai hubungannya dengan Allah dan manusia, seperti hubungan dengan
kaum kerabat, orang lain, oSrang-orang yang dikasihinya dan musuh-musuhnya, baik dalam
keadaan damai maupun perang, dan keadaan suka maupun duka.Itulah akhlak beliau yang
merupakan teladan bagi kita semua.

Disamping itu Nabi Muhammad SAW juga sebagai manusia biasa sebagaimana manusia
yang lain sebagaimana banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskannya. Beliau juga
memiliki kebutuhan jasmani dan ruhani, memiliki keinginan dan selera dan memiliki kebiasaan-
kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari beliau. Ketetapan beliau dalam kapasitas beliau sebagai
Rasul merupakan sumber syariat yang tidak diperdebatkan, namun apakah segala yang datang
dari beliau sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa sebagian perbuatan dan perkataan beliau
yang muncul dari sifat kemanusiannya (Jibillatul Basyariyah)juga merupakan sumber syari'at
yang mengikat? Banyak umat Islam, yang tidak memahami secara utuh tentang perbuatan
Rasulullah SAW.Mereka menganggap bahwa setiap yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW wajib
atau disunnahkan untuk diikuti. Padahal kalau kita kaji secara seksama masalah tersebut, ternyata
para ulama merincinya dan sampai pada kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, kita serta harus mengikutinya, baik yang bersifat wajib maupun sunnah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian sunnah ghoiru tasyri’?

2. Apa sajakah kriteria sunnah ghoiru tasyri’?

3. Apa problematika sunnah ghoiru tasyri’?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian sunnah ghoiru tasyri’.

2. Mengetahui apa saja kriteria sunnah ghoiru tasyri’.

3. Mengetahui problematika ghoiru tasyri’.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnha Ghairu Tasyri’

Al-Qaradhawi mendefinisikan Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah Sunnah yang tidak ada
maksud untuk diteladani.1 Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah sunnah yang tidak mengandung
unsur syariat karena terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana NabiMuhammad
SAW mengeluarkan sabda tersebut (ghairu Tasyri’iyah) bersifat temporal (khas) dan situasional
(hal mu’ayyan).

Sunnah Ghairu Tasyri’iyah, yaitu Sunnah yang tidak mesti diikuti dan tidak
mengikat.Misalnya ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW yang timbul dari hajat insani
dalam kehidupan keseharian beliau, seperti makan, cara berpakaian, urusan pertanian dan
lainnya. Kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara makan dan minum,
berpakaian dan lainnya, maka menurut pendapat jumhur ulama hukum mengikutinya adalah
sunnat.

Menurut Musa Syahin, pencetus dari pemetaan Sunnah Tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah
adalah Syaikh Muhammad Syaltut. Beliau membahas permasalahan ini secara khusus sehingga
menjadi rujukan ulama dan pemikir setelahnya. Syaltut adalah orang pertama yang membuat
diskusi tasyri’iyyah dan ghairu tasri’iyyah ini.2

Menurut Dr. Tarmizi M. Ja'far, dalam memahami pendapat Abdul Wahhab Khallaf tentang
hadis atau sunnah nabi yang tidak termasuk kedalam katagori sunnah Ghairu Tasyri’iyah yang
wajib untuk di ikuti adalah sebagai berikut:

1. Apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berasal dari tabi'at kemanusiaan, seperti
duduk, berjalan, tidur, makan, minum, semua itu bukan merupakan Tasyri’iyah. Kenapa? Karena
ia berasal dari sumber kemanusiaannya bukan risalah. Namun apabila ia datang dari sifat
kemanusiaan dan ada dalil yang menunjukkan sebagai teladan, ia berubah menjadi Tasyri’iyah
disebabkan adanya dalil ini.

1
Mahmud Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Dar al-Qalam, l966), hlm. 508-509.

2
Musa Syahin Lasyin, Assunnah Kulluha Tasyri’, (Qatar:Qatar University, t. Th), hlm. 38.
2. Apa yang datang dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-insaniyyah), keahlian, dan
eksperimen dalam urusan keduniawian, misalnya adalah perdagangan, pertanian, pengaturan
pasukan tentara dan peperangan, pemberian resep obat-obatan tertentu bagi orang sakit dan
sejenisnya, semua itu juga bukan Tasyri’iyah, karena ia berasal dari bukan ruang lingkup risalah,
melainkan hasil dari pengetahuan keduniawian dan penilaian Nabi Muhammad SAW yang
bersifat pribadi.

3. Apa yang berasal dari Nabi dan ada dalil syari'at yang menunjukkan bahwa itu khusus berlaku
baginya, maka itu bukan tasyri'iyyah umum.3

B. Kriteria Sunnah Ghairu Tasyri’

Berangkat dari perkataan Nabi “‫أمر دنيكم‬DD‫” أنتم أعلم ب‬, (kalian lebih mengetahui dengan
urusan dunia kalian), mengindikasikan bahwa hanya persoalan dunia saja yang termasuk
sunnahGhairu Tasyri’iyah. Menurut Tarmizi M. Jakfar sebagaimana hasil telaah dari buku Al-
Qardhawi bahwasanya ada 5 (lima) kriteria yang termasuk kedalam sunnah Ghairu Tasyri’iyah,
yaitu:

a. Perbuatan dan perkataan Nabi berdasarkan keahlian eksperimental dan aspek-aspek


teknisnya.

Kriteria ini sebagaimana yang terdapat dalam hadis tentang penyerbukan kurma diatas.
Nabi menjelaskan kepada penduduk Madinah mengenai pendapatnya yang bersifat dugaan tidak
perlu menyerbuki kurma yang beliau tidak memiliki pengalaman tentangnya, yang kemudian
menyebabkan kualitas hasil kurma penduduk madinah menjadi rendah, karena mengikuti anjuran
Rasul yang mereka anggap sebagai agama dan hokum syari'at yang harus mereka ikuti. Karena
itu, Nabi bersabda, "Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian".4

Jadi yang termasuk ke dalam persoalan eksperimental ini, misalnya pertanian, industri,
kedokteran, persoalan perang dan penemuan-penemuan lain yang bersifat teknis dan tergolong
kedalam urusan dunia, bukan persoalan religius.

3
Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non Tasyri'iyyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi,(Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 122.
Lihat juga, Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 43-44.

4
Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas..., hlm. 278-279.
b. Perbuatan dan perkataan Nabi sebagai kepala Negara dan hakim

Kriteria untuk membedakan sunnah yang lahir dari Nabi Muhammad sebagai seorang
penyampai risalah dan sunnah yang muncul dari beliau sendiri sebagai pemimpin Negara hanya
dengan memahami konteks dan konsideran yang melatarbelakangi lahirnya sunnah tersebut. Di
samping itu, topik masalah dalam sunnah itu merupakan kemaslahatan yang berkaitan dengan
dengan urusan politik, ekonomi, militer, administrasi dan sebagainya. Diantara bukti yang
menunjukkan suatu pesan hadis merupakan keputusan seorang kepala Negara adalah adanya
sebuah teks (nash) lain, atau beberapa teks lain yang bertentangan dengan teks yang ada karena
perbedaan tempat, waktu atau keadaan yang menunjukkan bahwa hal itu dilakukan untuk
menjaga kemaslahatan parsial dan temporer yang sifatnya kondisional, tidak dimaksudkan
sebagai hukum syari'ah yang abadi dan berlaku umum.5 Untuk mengetahui tentang hadis tersebut
sangat diperlukan mempelajari asbabul wurud dari suatu hadis.

c. Perintah dan larangan Nabi yang bersifat Anjuran

Perintah atau larangan tersebut harus berkaitan dengan kemaslahatan atau kemanfaatan
duniawi.Hal ini dapat dilihat dimana para sahabat tidak merasa keberatan meninggalkan sebagian
perintah Nabi manakala perintah atau larangan tersebut menurut mereka hanya bersifat anjuran
atau penyuluhan untuk mencari kemaslahatan atau kebaikan duniawi. Seperti: perintah nabi
untuk menyemir uban.6

d. Perbuatan Murni Nabi (al-fi'l al-mujarrad)

Perbuatan murni Nabi yang dimaksudkan disini adalah perbuatan yang tidak ada indikasi
ibadahnya, seperti masalah makan, Nabi makan dengan tangan kanan dan tidak menggunakan
sendok, makan pun dengan menggunakan tiga jari serta duduk lesehan di lantai, maka jika tidak
ada sunnah qauliyah yang menegaskan harus makan demikian, berarti ia tergolong sebagai
perbuatan murni dan bukan syari'at yang harus diikuti (Ghairu Tasyri’iyah).7 Maka dalam hal ini
5
Lihat penjelasan Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas..., hlm. 284. dalam mengutip pendapat al-Qardhawi, lihat juga Al-Qardhawi, as-
Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadharh,(Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), hlm. 60.

6
Ibid., hlm. 258.

7
Ibid., hlm. 286-287.
bukanlah bid'ah (melawan sunnah) jika kita makan dengan sendok dan duduk di meja makan.
Akan tetapi makan dan minum dengan tangan kanan itu adalah syari'at yang harus di ikuti karena
ada hadis qauliyah mengenai hal ini, yaitu Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kalian makan
hendaknya ia makan dengan tangan kanan dan minum hendaknya ia minum dengan tangan
kanan, karena sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan
kirinya." Riwayat Muslim.

e. Perbuatan Nabi sebagai Manusia (al-fi'l al-jibillyy)

Beberapa contoh perbuatan Nabi sebagai manusia yang disebutkan oleh al-Qardhawi
sebagai mana yang disebutkan oleh Dr. Tarmizi M. Ja'far adalah adanya riwayat shahih bahwa
beliau senang makan sampil kamping dan suka kepada sayur dubba' (sejenis sayuran buah labu).

Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.:

"Seorang penjahit mengundang Rasulullah SAW. untuk menghadiri suatu jamuan makan.
Kata Anas: Aku berangkat bersama Rasulullah SAW. menghadiri jamuan makan tersebut.
Kepada Rasulullah SAW. tuan rumah menghidangkan roti dari gandum serta kuah berisi labu
dan dendeng. Anas berkata: Aku melihat Rasulullah SAW. Mencari labu dari seputar mangkuk
kuah itu. (Shahih Muslim No.3803)

Dengan demikian lanndasan utama dari adanya sunnahGhairu Tasyri’iyah ini adalah
sunnah Nabi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa dan alasan
pendukung adalah amalan atau praktik para sahabat, kebolehan Nabi untuk berijtihad sunnah
nabi sebagai Ijtihad atau sunnah atau hadis nabi yang bukan berasal dari wahyu.

C. Problematika Ghairu Tasyri

Istilah sunah ghairu tasyri’ memang masih diperdebatkan. Ada yang pro yang
memberikan beberapa definisi dan ada yang kontra yang menganggap istilah sunnah ghairu
tasyri’iyyah itu tidak dikenal pada masa salaf al-salih.

.
Sebagian Ulama menganggap bahwa hal tersebut merupakan rekayasa kaum modernis
dan rasionalis. Namun, setelah dilakukan kajian yang mendalam, ada beberapa ulama yang
mendukung pemahaman tentang adanya sunnah ghairu tasyri’iyyahiyyah.

Namun, mereka berbeda-beda dalam mendefinisikan sunnah ghairu tasri’iyah itu sendiri.
Sebab, tidak ada rambu-rambu yang jelas yang bisa dijadikan pedoman untuk distingsi antara
sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyah.

Maka dari itu, masing-masing memiliki standar yang berbeda dan tidak ada kesepakatan
bersama dalam memberikan satu definisi yang jelas (jami’ mani’) (Imam, 2013)

Ada beberapa istilah yang dipakai para ulama yang dapat di katagorikan sunnah ghairu
tasyri’iyyah yaitu sunnah yang tidak harus diteladani (sunnah laisa fihi uswah), sunnah yang
tidak harus ditiru (laisa fihi ta’assin) sunnah yang tidak harus diikuti (la biha Iqtida’), sunnah
yang tidak mengandung taqarrub kepada Allah (laisat bi qurbah), la istimsaka bih dan lain-lain.

Dari berbagai definisi yang sudah dikaji dan ditinjau dari berbagai aspeknya bahwa
sunnah ghairu tasyri’iyah adalah sunnah Nabi yang tidak memiliki ketetapan hukum yang
mengikat, yang berkaitan dengan perintah dan larangan Nabi yang bersifat anjuran (al-Irsyad),
perbuatan Nabi murni (al- Fi’l al- Mujarrad) tanpa ada indikasi (qarinah) ibadah, perbuatan nabi
sebagai manusia (al-Fi’l al-Jibilly), perbuatan dan perkataan Nabi yang berdasarkan pengalaman
(at-Tajribah), Hadits-hadits nabi terkait dengan resep-resep kedokteran (at- Tibb an-Nabawy),
Haditshadits nabi terkait dengan transaksi niaga dan bisnis yang tidak tersebut dalam Al-Qur’an
dan perbuatan dan perkataan Nabi dalam kapasitas sebagai kepala Negara dan Hakim (al-Imam
wa al-Qadhi).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah Sunnah ghairu tasyri’iyyah masih diperdebatkan (ada yang pro dan ada yang
kontra) dan tidak dikenal pada masa salaf al-shalih. Munculnya istilah sunnah ghairu tasri’iyyah
pada akhir abad 14 H, di antara pencetusnya adalah Syeikh Muhammad Syaltut.

Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah sunnah yang tidak mengandung unsur syariat karena
terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana Nabi SAW mengeluarkan sabda tersebut
(ghairu Tasyri’iyah) bersifat temporal (khas) dan situasional (hal mu’ayyan). Apa yang datang
dari Nabi Muhammad SAW yang berasal dari tabi'at kemanusiaan, seperti duduk, berjalan, tidur,
makan, minum, Apa yang datang dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-insaniyyah),
keahlian, dan eksperimen dalam urusan keduniawian, misalnya adalah perdagangan, pertanian.
Bahkan ada perkara yang (khususiat), yaitu tertentu bagi Nabi Muhammad Saw sendiri dan
bukan merupakan undang-undang yang berlaku bagi seluruh umat Islam, seperti Rasulullah Saw.
diperbolehkan mengawini wanita lebih dari 4 orang, wajib shalat Tahajud bagi Rasul dan
lainnya.

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang spengertian dan kriteria sunnah ghoiru
tasyri’. Makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin
dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang
pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terima kasih.

Daftar Pustaka

Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung:Pustaka, 1984.


Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyyah, 1991.

Imam An-Nawawi, Matn-Arba'in, Jakarta: Cahaya Ummat: 2008..

Mahmud Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, l966.

Syahin Lasyin, Musa, Assunnah Kulluha Tasyri’, Qatar:Qatar University, t. Th.

Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: kencana, 2008.

Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tasyri’iyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi, Jokjakarta:
Ar Ruzz Media, 2011.

Yusuf Al-Qardhawi, as-Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadharh, Kairo: Dar al-Syuruq,


1998.

Anda mungkin juga menyukai