Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :

Kelompok 6

Anggota : Kalsum
St. Lenny Lidya Mulya
Nursarfida sweet

STIKES MARENDENG MAJENE

TAHUN AJARAN 2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang


Trauma capitis adalah suatu gangguaan traumatik dari fungsi otak disertai perdarahan interstitial
dalam substansi otak tanpa terputusnya kontinuitas dari otak (Purnama Junadi dkk, 1992).
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang
menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik,
fungsi tingkah laku dan emosional (Widagdo, Wahyu, 2008).
Trauma capitis atau cedera kepala diakibatkan karena benturan pada kepala, kecelakaan lalu
lintas, berupa tabrakan kendaraan bermotor, terjatuh dari ketinggian (misalnya pohon, gedung,
dan rumah), tertimpa benda (misalnya: alat-alat berat, batang pohon, kayu, dan sebagainya),
olahraga, trauma kelahiran, dan korban kekerasan (misalnya senjata api, golok, parang, balik,
palu dan sebagainya).
Insiden trauma kapitis karena kecelakaan di Indonesia adalah 30% meninggal dalam satu minggu
perawatan, 40% meninggal dalam satu hari perawatan dan 50% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit (Sidharta, 2003).
Menurut data Medical Record Rumah Sakit Stella Maris Makassar pasien yang dirawat dengan
trauma kapitis sepanjang tahun 2009 berjumlah 31 orang ( 0,36%) dari 8574 pasien di Rumah
Sakit Stella Maris Makassar. Kasus terbanyak pada usia dewasa muda-tua sebanyak 16 orang
(0,19%) disusul kemudian pada kelompok usia remaja 12 orang (0,14%) dan kassus terendah
pada kelompok usia lanjut yaitu 3 orang (0,03%). Berdasarkan jenis kelamin, ditentukan kasus
trauma kapitis lebih banyak di alami oleh Laki-laki yaitu 19 jiwa (0,22%) sedangkan perempuan
sebanyak 12 jiwa (0,14%). Tercatat pula angka kematian pad kasus ini sebanyak 1 pasien
(0,01%).
Penyebab kematian pada pasien trauma kapitis yaitu adanya penekanan pada otak menyebabkan
pembuluh darah pecah sehingga menyebabkan hematoma. Efek utama sering lambat sampai
hematoma tersebut cukup besar dan akan menimbulkan edema otak. Edema otak ini dapat
menyebabkan peningkatan intracranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang
otak. Herniasi ini dapat menibulkan iskemik, infark, kerusakan otak irreversible dan kematian
(Selekta Kapita, 2007).
Kasus cedera kepala mempunyai beberapa aspek khusus penyembuhan, antara lain kemampuan
regenerasi sel otak yang sangat terbatas, kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau
menyebabkan kecacatan, juga karena terutama mengenai pria dalam usia produktif yang
biasanya merupakan kepala keluarga. Adanya tingkat kesulitan dalam pengobatan dan
penanganan menyebabkan tingginya angka kematian sehingga pragnosa pasien cedera kepala
akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.

B.       Tujuan Penulisan


1.    Tujuan umum
Untuk memperoleh pengalaman nyata tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan system neurology. Di ruangan ICU-ICCU Rumah Sakit Stella Maris Makassar
pada tanggal 19-21 Maret 2010.
2.    Tujuan Khusus
1)   Memperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan proses pengkajian dan analisis data
pada pasien dengan Trauma Capitis.
2)   Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Trauma Capitis.
3)   Menetapkan perencanaan terhadap pasien Trauma Capitis.
4)   Memperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan rencana asuhan keperawatan pada
pasien dengan Trauma Capitis.
5)   Menyusun dokumentasi keperawatan terhadap pasien dengan Trauma Capitis.
6)   Memperoleh pengalaman nyata dalam penilaian terhadap pasien dengan Trauma Capitis
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.      Definisi
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan
traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi, 2003
B.       Etiologi
1.    Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2.    Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3.    Cedera akibat kekerasan
C.      Patofisiologi :
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.Dalam keadaan normal cerebal blood flow (CBF)
adalah 50–60 ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar
(Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998)

D.      Manifestasi Klinis


1.    Cedera Kepala Ringan
1)   cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tadak pingsan, tidak muntah,
tidak ada tanda-tanda neurology.
2)   Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah, nyeri kepala, tidak
ada tanda-tanda neurology.
2.    Cedera Kepala Sedang
Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda neurology.
3.    Cedera Kepala Berat
1)   laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan, kelumpuhan
anggota gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.
2)   Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar lagi namun
beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi, tekanan darah dan suhu
meningkat.
3)   Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK meningkat,
lumpuh

E.       Pemeriksaan Penunjang


1.    CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran
cairan otak.
2.    MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
3.    Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan dan trauma.EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan
gelombang.
4.    Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
5.    BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
6.    PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
7.    Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
8.    Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
9.    GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
10.     Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
11.     Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang.

F.       Penatalaksanaan
1.    Penaganan terhadap 5B yaitu :
1)   Breathing : Bebaskan obstruksi, suction, intubasi, trakeostomi
2)   Blood : Monitor TD, pemeriksaan Hb, leukosit
3)   Brain : Ukur GCS
4)   Bladder : Kosongkan bladder karena urine yang penuh dan merangsang mengedan.
5)   Bower : Kosongkan dengan alasan dapat meningkatkan TIK

2.    Penatalaksanaan Medik


1)   Konservatif
a)    Istirahat baring di tempat tidur.
b)   Analgetik untuk mengurangi rasa sakit.
c)    Pemberian obat penenang
d)   Pemberian obat gol osmotic diuretic ( manitol). Untuk mengatasi edema serebral.
e)    Setelah keluhan-keluhan hilang, maka mobilisasi dapat dilakukan secara bertahap, dimulai
dengan duduk di tempat tidur, berdiri lalu berjalan.
2)   Operatif
Operasi hanya dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti pada perdarahan epidural dan
perdarahan subdural dengan maksud menghentikan perdarahan dan memperbaiki fraktur terbuka
jaringan otak yang menonjol keluar, atau pada fraktur dimana fragmen-fragmen tulang masuk ke
jaringan otak
G.      Komplikasi
1.    Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau
dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2.    Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3.    Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan
penghentian sekresi hormone antidiupetik
BAB III
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A.      Pengkajian:
1.    Aktivitas/ Istirahat
Gejala  :   Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda    : Perubahan kesehatan, letargi, Hemiparase, quadrepelgia, Ataksia cara berjalan tak
tegap, Masalah dalam keseimbangan, Cedera (trauma) ortopedi, Kehilangan tonus otot, otot
spastic.
2.    Sirkulasi
Gejala    :   Perubahan darah atau normal (hipertensi), Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi bradikardia disritmia).
3.    Integritas Ego
Gejala    :   Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda    :   Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.
4.    Eliminasi
Gejala    :   Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.
5.    Makanan/ cairan
Gejala    :   Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda    :   Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
6.    Neurosensoris
Gejala    :   Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus
kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Tanda    :   Perubahan kesadaran bisa sampai koma, Perubahan status mental, Perubahan pupil
(respon terhadap cahaya, simetri, Wajah tidak simetris, Genggaman lemah, tidak seimbang,
Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, Apraksia, hemiparese, Quadreplegia
7.    Nyeri/ Kenyamanan
Gejala  :   Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tanda   :   Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
8.    Keamanan
Gejala    :   Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda    :   Fraktur/ dislokasi, Gangguan penglihatan, Gangguan kognitif, Gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis, Demam, gangguan dalam
regulasi suhu tubuh

B.       Diagnosa Keperawatan


1.    Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
2.    Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernafasan otak).
3.    Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi/ interpasi trauma atau defisit
neurologis.
4.    Perubahan Proses Pikir Berhubungan Dengan Perubahan Fisiologis

C.      Intervensi dan Rasional


DX I :
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan, kognisi dan fungsi motorik/ sensori.
Intervensi :
1)   Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan
koma/ penurunan perfusi jaringan otak.
Rasional: Menentukan pilihan intervensi. Penurunan tanda dan gejala neurologis atau kegagalan
dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu perlu
dipindahkan ke perawatan intensif.
2)   Pantau/ catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
Rasional: Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan perkembangan kerusakan
sistem saraf pusat.
3)   Evaluasi kemampuan membuka mata.
Rasional: Menentukan tingkat kesadaran.
4)   Kaji respon verbal: catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang, tempat dan waktu
baik/ malah bingung, menggunakan kata-kata yang tidak sesuai.
Rasional: Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menunjukkan tingkat kesadaran.
5)   Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, catat gerakan anggota tubuh dan catat
sisi kiri dan kanan suara terpisah.
Rasional: Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuan untuk berespon terhadap
rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang
matanya tertutup sebagai akibat dari trauma atau pasien afasia.
DX II :
Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernafasan otak).
Tujuan :
Pasien dapat mempertahankan pola pernapasan normal/ efektif,

Intervensi :
1)   Pantau frekuensi, irama kedalaman perbafasan. Catat ketidak teraturan pernafasan.
Rasional: Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal umumnya mengikuti
cedera otak.
2)   Catat kompetensi refleks menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas
sendiri. Pasang jalan nafas sesuai indikasi.
Rasional: Kemampuan mobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk memelihara jalan
nafas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunya jalan nafas buatan atau
intubasi.
3)   Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
Rasional: Untuk memudahkan ekspansi paru/ ventilasi paru dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah batu yang menyumbat jalan nafas.
4)   Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
Rasional: Mencegah atau menurunkan atelektasis.
5)   Auskultasi suara nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara tambahan
yang tidak normal (seperti ronchi, mengi).
Rasional: Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti atau
obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi serebral dan menandakan terjadinya
infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi dari cedera kepala).
DX III :
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi/ interpasi trauma atau defisit
neurologis.
Tujuan :
Pasien melakukan kembali/ mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
Intervensi :
1)   Evaluasi/ pantau secara teratur perubahan orientasi kemampuan berbicara. Dalam perasaan
efektif sensorik dan proses pikir.
Rasional: Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan
sirkulasi, oksigenasi kerusakan dapat terjadi saat trauma awal akibat dari pembengkakan atau
pendarahan.
2)   Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan panas, dingin, benda tajam/ tumpul terhadap
gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
Rasional: Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh
dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensivitas atau
kehilangan sensasi/ kemampuan untuk menerima dan merespons sesuai pada simulasi.

3)   Hilangkan suara bising/ stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan.


Rasional: Menurunkan asientasi, respon emosi yang berlebihan/ bingung yang berhubungan
dengan sensorik yang berlebihan.
4)   Bicara dengan suara lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang pendek dan sederhana.
Perhatikan kontak mata.
Rasional: Pasien mungkin mengalami keterbataasan perhatian pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan dan tindakan ini dapat membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
5)   Berikan simulasi yang bermanfaat verbal (berbincang-bincang dengan pasien), dan
pendengaran (dengan tape, televisi, radio, pengunjung dan sebagainya).
Rasional: Pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk menstimulasi pasien koma
dengan baik selama melatih kembali fungsi kognitifnya.
DX IV :
Perubahan Proses Pikir Berhubungan Dengan Perubahan Fisiologis
Tujuan :
Dapat mempertahankan /melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya,
berpartisipasi dalam aturan terpeutik.
Intervensi:
1)   Kaji rentang perhatian, kebingunan, dan catat tingkat ansientas pasien.
Rasional: rentang perhatian/ kemampuan untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam
yang menyebabkan dan mempengaruhi proses pikir pasien.
2)   Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan kepribadian/ tingkah laku pasien
sebelum mengalami trauma dengan respons pasien sekarang.
Rasional: Masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi respons marah, dan berbicara
proses pikir yang kacau. Munculnya halusinasi dan perubahan pada interpretasi simulus dapat
berkembang tergantung dari keadaan trauma atau tergantung dari berkembangnya bagian tertentu
dari otak yang mengalami trauma tersebut.
3)   Usahakan untuk menghadirkan realitas secara konsisten dan jelas, hindari pikiran-pikiran
yang tidak masuk akal.
Rasional: Pasien mungkin tidak menyadari adanya trauma secara total (ammnesia) atau dari
perluasaan trauma dan karena itu pasien perlu dihadapkan pada kenyataan terhadap terjadinya
cidera pada dirinya.
4)   Berikan penjelasan mengenai prosedur-prosedur dan tekankan kembali penjelasan yang
diberikan itu oleh sejawat lain. Berikan informasi tentang proses penyakit yang ada hubungannya
dengan gejala yang muncul.
Rasional: Kehilangan struktur internal (perubahan dalam memori alasan dan kemampuan untuk
membuat konseptual) menimbulkan ketakutan baik terhadap pengaruh proses yang tidak
diketahui manapun retensi terhadap informasi, ansietas yang kompleks, kebingunan, dan
disorientasi.
BAB IV
KESIMPULAN

Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala
meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme
cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi.
Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan
autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah
dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak
menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan
pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika
pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi
serta tindakan pembedahan.
Pengkajian :
1.    Aktivitas/ Istirahat
2.    Sirkulasi
3.    Integritas Ego dan Eliminasi
4.    Makanan/ cairan
5.    Neurosensoris
6.    Nyeri/ Kenyamanan
7.    Keamanan
Diagnosa Keperawatan
1.    Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
2.    Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernafasan otak).
3.    Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi/ interpasi trauma atau defisit
neurologis.
4.    Perubahan Proses Pikir Berhubungan Dengan Perubahan Fisiologis
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2001). Keperawatan medical bedah edisi 8. vol 2. EGC Jakarta.
Boughman Diane. E (2001). Buku saku keperawatan medical bedah. EGC : Jakarta.
Evelyn C. Peace (1998). Anatomo fisiologi untuk paramedic. PT Gramedia: Jakarta.
Marlyn Doenges (1993). Rencana asuhan keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian pasien. EGC :Jakarta.
Syaifudin (1997). Anatomi fisiologi. EGC : Jakarta.
Guyton& hall (1997). Buku ajar fisiologi kedoteran . EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai