Tim Penyunting:
Editor:
Drs. Sudartomo Macaryus, M.Hum.
Desain Layout:
Moh Rifai
Penerbit
Pusat Studi Pancasila UGM
Jl. Podocarpus II, Blok D-22 Bulaksumur
Yogyakarta 55281
Telp./Faks. (0274) 553149
email: psp.ugm@gmail.com
website: http://psp.ugm.ac.id
2
Daftar Isi
Kata Pengantar..................................................................................................................................2
Daftar Isi...........................................................................................................................................6
BAGIAN I
MAKALAH NARASUMBER
BAGIAN II
MAKALAH PENDAMPING
1. Pendidikan sebagai Sarana Peneguhan Karakter Bangsa di Era Global Oleh Ariefa Efianingrum
2. Penerapan Pendidikan Pluridisipliner Di Universitas Untuk Membangun Masa Depan Ideal Oleh
Dani Aufar
3. Pendidikan Dalam Formasi Budaya Globalisasi; Rekonstruksi Menuju Pendidikan
Berbasis Budaya Oleh Fathul Mujib
4. Urgensi, Tereduksi, Dan Rejuvenasi Pendidikan Nasional Dalam Membangun Jati Diri Bangsa
Oleh Dwi Siswoyo
5. “Home Schooling” Sedulur Sikep: Tradisi dan Visi Kemanusiaan dalam Pendidikan Karakter
dalam Pondok Pasinaon Komunitas Samin di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah Oleh Munawir
Aziz
6. Ancaman Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi (Kebijakan dan Strategi Pendidikan) Oleh
Rafif Pamenang Imawan
7. Pendidikan Karakter dalam Konteks Masyarakat Multikultur Oleh Jozef Mepibozef Nelsun
Hehanussa
8. Revitalisasi Pendidikan Wawasan Kebangsaan Guna Menghadapi Tantangan Globalisasi Oleh
Hartanto
9. Bahaya Homogenisasi Pendidikan via Sekolah Oleh Grendi Hendrastomo
10. Prejudice Reduction dalam Pendidikan Multikultural sebagai Peranti Membangun Karakter Anak
Bangsa Oleh Agustina Reni Suwandari
11. Penggunaan Subject Specific Pedagogy (SSP) berbasis Domain Aplikasi dalam
Pembelajaran Sains untuk Menanamkan Karakter Siswa SMP Oleh Widodo Setiyo Wibowo
6
ANCAMAN GLOBALISASI TERHADAP PEMBENTUKAN
KARAKTER BANGSA1
Oleh:
Rafif Pamenang Imawan
Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM
Bulaksumur B 13, Yogyakarta 55281
Email: rafif.imawan@gmail.com
Abstrak:
Paling tidak ada tiga faktor yang turut berperan dalam mempengaruhi pembentukan
pendidikan dan karakter manusia Indonesia, yakni peran negara, peran masyarakat sipil
dan kepentingan bisnis. Jika diklasifikasikan, terdapat dua arus besar terhadap dunia
pendidikan dari tiga peran diatas. Arus pertama berasal dari atas yang didorong oleh
negara dan kepentingan bisnis. Negara berperan dalam membuat kebijakan/regulasi
sedangkan bisnis memiliki kekuatan modal/capital. Hal ini dimungkinkan karena
globalisasi membuka peluang arus modal bergerak secara cepat dari satu negara lain dan
memperlemah peran negara. Didalam dunia pendidikan, kapital memiliki pengaruh
kuat dan kehadiran kapital telah menggantikan peran ideologi. Akibatnya desain
pendidikan hanya mengakomodasi kepentingan bisnis dengan acuan standar global.
Desain dunia pendidikan berubah bukan untuk kepentingan nasional atau menjawab
persoalan masyarakatnya, melainkan untuk menciptakan kelas pekerja siap pakai bagi
kepentingan bisnis. Arus kedua berasal dari bawah yang didorong oleh masyarakat sipil.
Peran pendidikan yang selama ini seharusnya diperankan oleh negara, justru diambil
alih oleh organisasi masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
(NU). Tantangannya pun cukup besar. Sebagai contoh, pondok pesantren yang
mendapatkan tantangan serius dari standarisasi yang dicanangkan negara yang membuat
banyak santri menempuh pendidikan formal. Akibatnya Pondok Pesantren mengalami
krisis dalam mereproduksi Kyai. Paper ini hendak melihat: bagaimana karakter manusia
Indonesia yang terbentuk dari pengaruh negara, masyarakat sipil dan kepentingan
pasar? Paper ini bertujuan agar dapat memberikan deskripsi dari tantangan eksternal
maupun internal dalam membentuk karakter manusia Indonesia dan ancaman
pendidikan Indonesia di era globalisasi.
1
Dipresentasikan pada Kongres Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Tahun 2012: Pembangunan
Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Dalam Menghadapi Globalisasi
pada tanggal 7-8 Mei 2012 bertepat di Balai Senat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
Pendahuluan
Tulisan ini hendak membahas bagaimana aktor-aktor yang beragam seperti
negara, masyarakat sipil dan kepentingan bisnis memiliki kepentingan masing-masing
yang saling tarik menarik di Indonesia. Disadari atau tidak, tarik menarik kepentingan
inilah yang menentukan karakter manusia Indonesia yang terbentuk. Apakah untuk
kepentingan negara, kepentingan bisnis atau untuk memperkuat masyarakat. Tantangan
pada arena tarik menarik ini semakin besar di era globalisasi saat ini yang didorong oleh
perkembangan teknologi. Era globalisasi ini telah mendorong banyak perubahan di
negara-negara dunia termasuk dalam ranah pendidikan negara tersebut.2
Pendidikan memegang peranan penting bagi semua aktor (negara, masyarakat
sipil, kelompok bisnis) dan memegang peranan penting pada segala jaman.3
Persoalannya adalah, pendidikan saat ini didesain untuk kepentingan siapa? Apakah
aktor-aktor yang memiliki kepentingan dan logika sendiri-sendiri ini saling
mengunci/non-kolaboratif atau bersifat kolaboratif? Inilah salah satu pertanyaan dan
tantangan besar bagi pendidikan di Indonesia.
Ranah pendidikan selama ini banyak berfokus pada kapabilitas negara untuk
menyelenggarakan pendidikan.4 Padahal disisi lain, kapabilitas negara tidak begitu kuat
2
Perkembangan teknologi memiliki dampak yang luar biasa didalam dunia pendidikan. Sebagai contoh,
perkuliahan di universitas Harvard (USA) misalnya, dapat diikuti oleh mahasiswa di Indonesia dengan
menggunakan teknologi. Cara mendidik seperti ini sudah dapat kita jumpai di program dual degree yang
mulai bermunculan di universitas-universitas di Indonesia. Contoh lain, di luar negeri mulai marak
pendidikan jarak jauh dengan menggunakan internet. Mahasiswa tidak perlu untuk datang ke kampus,
cukup mengunduh materi dari internet. Model perkuliahan semacam ini sedang digodok didalam RUU
Perguruan Tinggi (RUU PT) yang saat ini sedang disusun. Model pembelajaran ini ada untung dan
ruginya. Keuntungannya kita dapat mengetahui perkembangan dunia pengetahuan secara lebih masif,
namun kerugiannya barang kali lebih besar. Kita tidak mampu menjawab persoalan riil di masyarkat.
Universitas berpotensi tidak lagi menjadi rujukan bagi masyarakatnya sendiri.
3
Pendidikan memegang peranan yang sangat besar bahkan untuk segala jaman. Sebagai contoh: Kraton
Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I telah mendesain sistem pendidikannya sendiri
dengan mendirikan sekolah bernama Tamani. Pelajaran yang diajarkan antara lain naek kuda, menari,
latihan berperang, latihan memanah, memilih kuda, menunggang kuda, gamelan (pelajaran harmonisasi),
seni bangunan, memelihara pekarang, sawah dan ladang. Tujuannya untuk mengolah jiwa dari calon didik
yang kelak kan jadi pemimpin (lihat materi oleh KRT. Jatiningrat dalam seminar Sinergi UGM dan
Kraton untuk Kemajuan Bangsa diselenggarakan oleh KAGAMA di University Club (UC) UGM, 19
April 2012). Sehingga tidak salah apabila di kerajaan-kerajaan sebelum Indonesia hadir telah ada sistem
pendidikan sendiri, hanya saja sistem pendidikan ini tidak banyak digali dan langsung disubstitusi oleh
pendidikan barat melalui politik etis. Pendidikan politik etis-pun memiliki pengaruh besar, karena
menghasilkan kelompok terdidik yang kemudian menjadi pelopor kemerdekaan Indonesia.
4
Dibanyak seminar mengenai pendidikan, banyak sekali pembahasan mengenai pendidikan yang
mengedepankan kapasitas dari negara, dalam hal ini pemerintah/kementrian terkait. Padahal kapasitas
pemerintah dalam hal menyediakan pendidikan masih sangat rendah, kita dapat melihat banyaknya
infrastuktur pendidikan yang belum memadai dan kapasitas guru yang rendah. Pendidikan karakter yang
2
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
dicoba untuk dimasukkan melalui desain negara, namun disisi lain pendidikan karakter tersebut tidak
mendapatkan kekuatan dari masyarakat. Masyarakat dan Keluarga yang menjadi salah satu elemen
konsep Tri Pusat oleh Ki Hadjar Dewantara tidak lagi kuat (modal sosial lemah). Di beberapa daerah
justru pendidikan yang didorong oleh masyarakat sipil, baik berbasis oleh agama maupun tradisi. Gagasan
pendidikan karakter dengan memajukan pendidikan dan kebudayaan mendapatkan tantangan besar seiring
dengan melemahnya peran keluarga, masyarakat dan kebijakan negara yang lalai menggunakan konsep
Tri Pusat Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pengelolaan dunia pendidikan tidak
lepas dari konsensi elite politik.
5
Tantangan pendidikan cukup serius paska kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Kapabilitas
untuk mendapatkan guru berada pada tataran pemerintah daerah. Di Papua bisa jadi jumlah guru sangat
sedikit dan juga infrastruktur tidak memadai bagi dunia ajar mengajar. Namun di Kalimantan Timur
terdapat sekolah yang jumlah gurunya melebihi jumlah murid. Kapasitas/kualitas guru yang rendah juga
menjadi catatan penting dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Rendahnya kapasitas guru ini
disampaikan sendiri oleh Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional dalam keynote speech
seminar “Membudayakan Pancasila Melalui Pendidikan” pada tanggal 1 Mei 2012 bertempat di
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta.
3
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
6
Globalisasi telah menjadi fenomena yang ada sejak berabad-abad yang lalu, mulai dari ekspansi budaya
hingga perdagangan. Sebagai contoh, budaya makan menggunakan sumpit yang ada di Indonesia sebagai
bagian dari globalisasi pada masa lampau. Globalisasi yang dibahas di paper ini adalah globalisasi yang
berdiri diatas fondasi pasar bebas. Globalisasi ini dipengaruhi oleh ideologi ekonomi-politik Neo Klasik
sejak tahun 1980an yang memaksa pemerintah nasional untuk menyesuaikan kebijakan dalam negeri dan
luar negeri.
7
Perlu dibedakan antara Globalisasi dan Globalisme. Kata Globalisasi merujuk pada proses, sedangkan
Globalisme merujuk pada paham global. Sehingga dapat dikatakan bahwa Globalisme adalah cara
pandang melihat segala sesuatu dengan tolak ukur global. Sebagai contoh: fenomena globalisme adalah
fenomena standarisasi global yang saat ini sedang marak, ambil contoh ISO (International Organization
for Standardization).
8
Perlu untuk dibedakan antara regionalisme ekonomi dan regionalisme politik, keduanya berbeda sama
sekali. Regionalisme ekonomi belum tentu menganut regionalisme politik. Sebagai contoh, North
American Free Trade Association (NAFTA) yang terdiri dari United State of America (USA), Canada
dan Mexico, hanya menekankan pada pembentukan regionalisme ekonomi tanpa ada keinginan
membentuk regionalisme politik (baca: membangun identitas bersama). Hal ini berbeda dengan European
Union (UE) yang tidak hanya membangun regionalisme ekonomi, tetapi juga mencoba membangun
identitas bersama (regionalisme politik) meskipun pembentukan regionalisme politik mendapatkan
kendala yang sangat besar.
9
IMF memiliki fungsi untuk mempromosikan stabilitas moneter international dan kerjasama.
IBRD/World Bank memiliki fungsi untuk mempromosikan pemulihan ekonomi dan pembangunan. WTO
memiliki fungsi untuk mengawasi dan mempromosikan perdagangan international. WTO bertugas
menyelesaikan konflik antar anggota dan mendorong pengurangan tarif dan hambatan perdagangan
lainnya (Hague, et, al, 1998:42).
4
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
10
Hal yang dimaksud dengan Etno-Escape adalah orang modern yang terus menerus memperbaharui
kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang menurutnya terbelakang. Sebagai contoh: orang
Eropa yang berlibur ke Kupang, NTT. Capital-Escape adalah perputaran uang pada ranah global sehingga
uang itu sendiri tidak memiliki “kewarganegaraan” lagi. Ideo-Escape, artinya ide yang dapat melewati
batas trans-national. Sebagai contoh, gejala terorisme yang ada di Timur Tengah dapat merembet ke
Indonesia. Media-Escape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran kita. Saat ini kita tidak dapat
membendung arus informasi yang semakin kuat paska adanya teknologi, seperti internet.
11
Beberapa persoalan yang muncul dalam RUU Perguruan Tinggi antara lain: Bab 1, pasal 2 mengenai
rumpun ilmu yang mengkategorisasikan ilmu menjadi tiga, yakni ilmu agama, ilmu humaniora dan ilmu
terapan. Banyak kalangan mengatakan bahwa pembagian ini secara epistemologis (teori pengetahuan)
tidak sesuai. Bab 6, pasal 30 mengenai pendidikan jarak jauh. Hal ini bertentangan dengan filosofi
pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara yang menekankan budaya sebagai salah satu bagian dari
pendidikan itu sendiri. Pendidikan jarak jauh dinilai tidak melibatkan budaya dalam unsur pendidikan dan
hanya berorientasi pada bisnis. Pendidikan moral menjadi tidak perlu karena yang dikedepankan adalah
ijasah. Pasal 94 yang menekankan bahwa perguruan tinggi asing dapat melakukan pendidikan di
Indonesia. Persoalan terakhir ini mendapatkan payung hukum dalam UU Sisdiknas 20/2003. Desain
pendidikan ini tidak sesuai dengan filosofi Pancasila, jika hendak membangun pendidikan yang dapat
menjawab persoalan masyarakat. Maka Pancasila tidak dapat dikesampingkan karena Pancasila adalah
jiwa masyarakat Indonesia dan menjadi rujukan hukum serta Philosophie Grondslag (dasar falsafah)
negara.
5
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
karenanya media menjadi alat untuk memacu daya konsumtif masyarakat agar modal
tetap dapat berputar.12
Secara tidak langsung, logika kompetisi (logika pasar) menjadi dasar
pengelolaan pendidikan kita sekarang ini.13 Logika ini didukung dengan logika
standarisasi global yang lahir melalui globalisme. Hal ini bertentangan dengan nilai-
nilai yang ada di masyarakat, terutama nilai nilai Pancasila. Kita dapat melihat proses
pendidikan yang menyamakan kemampuan anak ini dengan menggunakan alat penilaian
(assesment)/standar yang sama, yakni Ujian Nasional (UN). Visi dan kepentingan
negara dalam dunia pendidikan menjadi tidak perlu dikarenakan hal yang terpenting
adalah bagaimana agar modal tetap dapat berputar di Indonesia.
12
Media massa memiliki peran ganda di masyarkat. Media dapat menjadi alat bagi kepentingan bisnis
dengan menciptakan image konsumerisme agar modal tetap dapat berputar. Namun disisi lain media
dapat menjadi alat pemersatu bangsa disebabkan isu-isu nasional secara terus menerus dibicarakan oleh
media. Sehingga public issue dan pikiran bahwa ini adalah persoalan bangsa dan negara dapat terus
terpelihara. Sebagai contoh, isu korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat yang diberitakan oleh media secara
stimultan mendorong agar public issue tetap terpelihara. Inilah dua wajah media tersebut.
13
Globalisasi membawa 4 ciri utama, yakni Dunia-Tanpa-Batas (Borderless World), Kemajuan Ilmu dan
Teknologi, Kesadaran terhadap HAM serta Kewajiban Asasi Manusia dan Masyarakat Mega Kompetisi
(Tilaar, 2009:2-3). Karakter masyarkaat mega kompetisi yang memungkinkan persaingan maupun
kerjasama antar bangsa dan negara masuk kedalam logika pendidikan. Persaingan tidak hanya dengan
bangsa lain, akan tetapi sesama siswa didik itu sendiri.
6
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
suka tidak suka harus menyesuaikan dengan format negara. Disadari atau tidak,
dinamika negara-masyarakat yang cukup kuat ini memudahkan kepentingan bisnis
untuk menguasai dunia pendidikan.
Terdapat perbedaan desain pendidikan di pesantren dan sekolah formal. Pada
sekolah formal, pendidikan mengedepankan aspek pengembangan kognisi siswa didik,
sedangkan penekanan pengembangan pendidikan di pondok pesantren mengedepankan
aspek ilmu dan perilaku/ilmu dan amal. Artinya pengembangan ilmu harus memiliki
kegunaan kepada masyarkat.
Purwo Santoso (2012) mengutip perkataan Yudian Wahyudi yang mengatakan
bahwa terdapat krisis Kyai dikarenakan banyak anak pondok Pesantren yang takut tidak
mendapatkan pekerjaan apabila menjadi Kyai. Akibatnya banyak santri yang memilih
untuk mengambil pendidikan formal di universitas. 14 Standarisasi yang dilakukan oleh
pemerintah memaksa pondok pesantren untuk melakukan penyesuaian dengan merubah
kurrikulum dan membentuk lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan formal
negara.
Desain pendidikan dari negara yang mengedepankan aspek kognisi tanpa
mengidahkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat berpotensi menimbulkan gesekan
sosial. Tarikan antara negara dan masyarakat menjadi tarikan antara modern dan
tradisional. Pengaruh dari globalisme muncul ketika nilai-nilai lokal masyarkat tidak
terakomodasi dalam desain pendidikan. Pendidikan lebih mengedepankan aspek kognisi
dari peserta didik, sedangkan nilai-nilai lokal sebagai dasar moralitas tidak
mendapatkan perhatian.
Desain pendidikan yang dibangun menempatkan masyarakat kita pada
kerentanan sosial yang tinggi, ditambah lagi dengan tantangan global dengan pengaruh
Ideo-Escape dan Media-Escape. Sebagai contoh fundamentalisme Islam dapat masuk
melewati batas negara, ini menjadi potensi konflik horizontal apabila tidak segera
diantisipasi karena dapat berbenturan dengan masyarakat tradisi. Media-Escape dapat
berpengaruh terhadap kerentanan sosial masyarakat (risk society) disebabkan
masyarakat mendapatkan banyak informasi dari banyak sumber (menjadi manusia
multidimensional). Masyarakat dalam era global berada pada kerentanan konflik sosial
14
Universitas menjadi tempat mencetak individu yang bertugas menjaga kapital, tapi disisi lain modal
sosial yang selama ini dijaga oleh Kyai menjadi rapuh.
7
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
horizontal dan vertikal yang luar biasa. Apabila persoalan ini tidak dapat ditanggulangi,
maka kepentingan bisnis akan dengan mudahnya memainkan modalnya, dalam konteks
ini di dunia pendidikan.
15
Akibat lainnya, siswa didik menjadi berorientasi individulistis dan mencari untung, seperti logika
dalam bisnis. Karakter inilah yang menjadi perhatian banyak kalangan pemerhati pendidikan dan
nampaknya hal ini sudah terjadi.
16
Semangat ini yang nampaknya luntur, padahal di UU no 4 tahun 1950 disebutkan bahwa pendidikan
disiapkan untuk menjadikan warga negara yang sejati, yakni warga negara yang sepenuhnya memiliki
komitmen untuk mengabdi kepada negara (Wuryadi:2012).
17
Konsep Tri Pusat Pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara menekankan pada proses pendidikan yang
dilakukan di Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. Proses pendidikan yang menekankan pada kognitif
dilakukan di sekolah, sedangkan pembentukan kepribadian dan moralitas ada di masyarakat dan keluarga.
Konsep Tri Pusat ini berpijak pada frame berfikir bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
kebudayaan. Pendidikan memberikan pengetahuan sedangkan kebudayaan membangun peradaban yang
menjadi dasar dari pembangunan moralitas.
8
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
informasi ini telah masuk ke ranah domestik/keluarga hingga individu. Situasi ini
berbeda dengan pada masa Ki Hadjar Dewantara dahulu.
Saat ini masyarakat dan keluarga tidak lagi menjadi institusi yang kuat, padahal
melalui keluarga dan masyarakat inilah landasan moral diletakkan. Hal ini seiring juga
dengan melemahnya peranan ibu dalam mendidik meski secara insting, seorang ibu
memiliki naluri mendidik anaknya. Tidak jarang peran ibu yang mendidik dan
meletakkan fondasi moral digantikan oleh pembantu rumah tangga dalam keluarga
modern (Wuryadi:2012).
Untuk keluar dari jerat industrialisasi pendidikan, maka diperlukan sinergi
antara negara dan masyarakat sipil. Sinergi strategis ini menekankan bahwa persoalan
pendidikan bukan hanya ada pada ranah negara yang juga pada saat ini terbatas
kemampuannya. Akan tetapi ranah pendidikan juga merupakan wilayah dari masyarakat
sipil yang menghadapi problema kehidupan sehari-hari. Kolaborasi keduanya akan
menjadi counter terhadap penguasaan pendidikan oleh kepentingan bisnis.
Hal yang tidak kalah penting dari sinergi negara-masyarakat dalam membangun
pendidikan adalah pembangunan strategi pendidikan dan strategi kebudayaan. Tidak ada
bentuk perkembangan pendidikan yang keluar dari akar budaya peradabannya, oleh
karena itu budaya merupakan bagian yang melekat dengan pendidikan itu sendiri
(Wuryadi:2012).
Strategi Pendidikan
Menggunakan fram sinergi dari negara-masyarakat ini, kita perlu menyusun
pendidikan dan terutama sekali materi pendidikan yang terkait dengan kepentingan
nasional. Kita harus mengubah kurrikulum pembelajaran disamping memperkuat
kapabilitas aktor pelaksana pendidikan seperti guru. Untuk itu kita perlu menyadari
terlebih dahulu bahwa pengembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari kekuasaan
(Samuel:2010, Santoso: 2011, Nugroho:2012). Ilmu pengetahuan seharusnya
dikembangkan dalam desain kepentingan dan dalam hal ini kepentingan bangsa dan
negara.
Studi yang dilakukan oleh Hanneman Samuel (2010) menunjukkan bahwa ilmu
lekat dengan kekuasaan dan digunakan untuk menguasai dari jaman kolonialisme
9
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
hingga masa orde lama.18 Ilmu tidak hanya dikembangkan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan saja, namun juga harus dikembangkan untuk kepentingan bangsa dan
negara (Sukarno:1951). Pendidikan yang ada sekarang mendidik siswa didik menjadi
“kuli” dengan menimpor dan meniru-niru pengetahuan tanpa ada proses refleksi
(Santoso:2012). Sinergi antara negara-masyarakat menjadi krusial disini, dimana
negara melalui sekolah turut serta dalam mengakomodasi nilai-nilai luhur (local
wisdom) yang ada didalam masyarakat sebagai desain dari pendidikan itu sendiri.
Desain pembelajaran yang dikembangkan masuk dalam kerangka bangsa dan
negara dan ditujukan untuk mengatasi persoalan yang ada di masyarakat. Jika
pengeloaan dan pengembangan pendidikan dengan cara ini tidak segera dilakukan,
maka kita akan terus menerus berada pada kondisi ketergantungan dengan negara lain.
Contoh kongkritnya, kita harus dapat mengembangkan industri nasional dan
menciptakan teknologi yang dapat menopang kemajuan bangsa Indonesia. Jika tidak,
kita akan dalam lingkaran ketergantungan (dalam hal ini teknologi) secara terus
menerus. Titik terang ini sebenarnya sudah ada dengan produk mobil SMK yang cukup
menghebohkan beberapa waktu yang lalu.
Strategi Kebudayaan
Pada dasarnya kebudayaan seharusnya tumbuh secara natural. Namun sejarah
Indonesia mencatat bahwa pembangunan peradaban di Indonesia tidak pernah tuntas
(Wuryadi:2012). Pembangunan kebudayaan dapat dilakukan dengan memperkuat
ketahanan masyarakat19 dan membuka ruang bagi ekspresi-ekspresi budaya dalam
18
Ilmu pengetahuan menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Studi yang dilakukan oleh Hanneman
Samuel (2010) memperlihatkan secara runtut bagaimana keterkaitan antara pendidikan untuk
kepentiangan pemerintah kolonial. Pada masa kolonial, peran misionaris Belanda yang bertugas
memahami masyarakat Indonesia digantikan oleh ilmuwan disertai oleh berdirinya KITLV (The Royal
Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) yang disokong oleh negara. Sehingga
dapat dikatakan bahwa agenda dari KITLV adalah agenda Belanda. Kebijakan politik etis-pun tidak lepas
dari kepentingan Belanda tersebut untuk menghasilkan birokrat sekaligus ilmuwan untuk observasi
Indonesia. Oleh karena itu kajian Indologi menjadi kajian pokok bagi pemerintahan kolonial pada waktu
itu. Pada masa orde lama muncul pusat studi Indonesia di Yale University, Massachusetts Institute of
Technology (MIT), Cornel Univesity dan Monash University yang berafiliasi dengan univesitas di
Amerika. Tujuan pendirian pusat studi Indonesia tersebut untuk mengkaji Indonesia sebagai negara yang
baru. Amerika Serikat tidak memiliki informasi apapun tentang Indonesia dan pusat studi tersebut
menjadi institusi untuk memahami Indonesia, selain sebagai antisipasi Amerika Serikat terhadap
persebaran komunisme di Asia Tenggara. Pada masa Orde Baru, banyak lulusan Amerika Serikat yang
menjadi penasehat bagi pemerintahan seperti Emil Salim dan Widjodjo Nitisastro.
19
Didalam pengertian ini, kebudayaan tidaklah dimaknai sebagai seni melainkan interaksi antara
masyarakat yang berbeda budaya dan latar belakang.
1
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
interaksi sosial masyarakat. Untuk membangun ini, maka logika industri pendidikan
harus dihilangkan karena hal ini mengasingkan manusia dari kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan menjadi pionir dari pembentukan peradaban yang kemudian
menjadi dasar dari moralitas. Oleh karena itu perlu untuk dibangun ruang-ruang sosial
untuk pengembangan budaya. Dengan kata lain, pembangunan sudah seharusnya tidak
terpaku pada pembangunan ekonomi an sich tapi juga mengembangkan pembangunan
menggunakan pendekatan budaya (Joesoef:2012). Barangkali pendekatan budaya ini
dapat memberikan ruang bagi pembangunan perabadan Indonesia melalui terbukanya
ruang interaksi sosial. Mengingat tantangan globalisasi akan budaya sangat nyata, yakni
mensubsitusi budaya lokal dengan budaya global sehingga masyarakat menjadi
masyarakat global/beridentitas global (Abdurrahman:2012, Tilaar, 2009:4).
Kembali ke penjabaran awal dalam paper ini, dominasi dari kepentingan bisnis
dalam dunia pendidikan telah melahirkan keterjarakan antara siswa didik dengan
realitas masyarakatnya. Hal ini disebabkan pendidikan mendesain siswa didik menjadi
market minded. Sekolah menjadi tempat pendidikan yang mudah dikuasai karena
memiliki dasar pengaturan (Wuryadi:2012), karakter yang dibangunpun adalah karakter
cari untung karena pendidikan didesain untuk membangun kompetensi mencari uang
(Santoso:2012).
Oleh karena itu, modal sosial (social capital) masyarakat menjadi kata kunci
untuk memperkuat kebudayaan. Masyarakat harus dijamin penghidupannya termasuk
dalam ranah pendidikan. Apabila landasan moral yang diletakkan melalui kebudayaan
ini gagal, tidak heran banyak sekali orang cerdas di negeri ini yang perilakunya negatif
seperti melakukan korupsi.
Kesimpulan
Sinergi negara dan masyarakat perlu dikedepankan untuk mengatasi
industrialisasi pendidikan di Indonesia. Karakter manusia Indonesia yang terbentuk
berorientasi pada kepentingan bisnis (market oriented) yang disebabkan oleh dominasi
kepentingan bisnis dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, manusia
yang terbentuk dari pola didik ini tercerabut dari akar sosial masyarkatnya sendiri.
Negara harus kembali kuat didalam pengelolaan pendidikan dengan sinergi
dengan masyarakat sipil agar manusia Indonesia yang dihasilkan benar-benar mengatasi
1
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
masalah di masyarakatnya. Pendidikan harus dilepaskan dari jerat industri dan kembali
kedalam bingkai kepentingan bangsa dan negara. Pendidikan harus kembali menjadi
sektor yang tidak diperjualbelikan karena fungsi pendidikan merupakan salah satu
amanat berdirinya Republik Indonesia, yakni “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Untuk itu sekali lagi, sinergi antara negara dan masyarakat harus kokoh.
Terutama kontrol masyarakat kepada pemerintah untuk mendorong de-industrialisasi
pendidikan. Masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan20 dan negara yang
memiliki kesadaran untuk mengembalikan pendidikan dalam bingkai kepentingan
bangsa dan negara sangat diperlukan untuk pendidikan kita. Agenda yang tidak kalah
penting adalah pembahasan bersama strategi pendidikan dan strategi kebudayaan
sebagai desain besar pendidikan di Indonesia.
Karakter manusia Indonesia yang berorientasi pada bisnis terjadi disebabkan
oleh kekuatan bisnis yang cukup besar. Argumentasi dalam paper ini hendak
mengatakan bahwa dominasi dari kekuatan bisnis harus segera dihentikan dengan
menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor yang tidak diperjualbelikan karena
menjadi amanah berdirinya Republik Indonesia, perlunya sinergi antara negara-
masyarakat untuk mendukung pengembangan pendidikan dan kebudayaan, perlunya
pengembangan keilmuan21 yang menjawab persoalan riil di masyarakat dan perlunya
kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sinergi dan kontrol
dari masyarakat ini menjadi penting karena selama ini masyarakat hanya dijadikan
obyek dari pendidikan.
Tulisan ini hanya berhenti pada tahap deskripsi permasalahan yang ditemui
didalam dunia pendidikan di Indonesia pada masa globalisasi sekarang ini. Tulisan ini
20
Di Sydney Australia terdapat daerah pertambangan yang pendidikanya didesain untuk kepentingan
industri tambang. Oleh karena itu materi yang diajarkan seputar pertambangan. Ada rapat yang
melibatkan pihak keluarga, masyarakat, tambang dan sekolah dengan topik bahasan gugatan siswa terkait
pengetahuan yang diberikan. Mereka jenuh dengan pengetahuan tambang yang selalu diberikan dan
mengingingkan ilmu lain seperti kesehatan hingga seni. Kesehatan dan kesenian merupakan tuntutan dari
masyarakat karena terdapat problema kesehatan dan kesenian. Masyarkat merasa kering akan seni
sehingga jika ingin mencari hiburan harus keluar kota. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarkat
dan sinergi negara-masyarakat bahkan bisnis dalam contoh kasus menunjukkan justru menjawab
persoalan masyarakat (Wuryadi:2012).
21
Pada saat ini gagasan ilmu profetik yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo mulai mendapatkan tempat.
Ilmu profetik mengedepankan kelekatan ilmu dan amal menjadi satu, dalam artian Islam sebagai ilmu.
Jalur pengembangan ilmu lainnya sebenarnya sudah coba dilakukan oleh Notonagoro dengan
menggunakan Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu. Namun nampaknya usaha yang
dilakukan oleh Notonagoro tersebut belum mendapatkan respon cukup baik dari komunitas akademik.
1
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
masih jauh dari sempurna dan kita masih perlu untuk mendiskusikan lebih lanjut terkait
pendidikan di Indonesia. Terutama terkait dengan strategi pendidikan dan strategi
kebudayaan yang membutuhkan elaborasi dan kajian lebih dalam lagi. Semua untuk
kemajuan dan kebangkitan pendidikan yang berkarakter Indonesia.
Daftar Pustaka
Wawancara
Purwo Santoso, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (NU) Yogyakarta.
Wawancara pada tanggal 20 April 2012
Wuryadi, Guru Besar FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Ketua Dewan Pendidikan
Yogyakarta. Wawancara pada tanggal 22 April 2012
1
Membangun Pendidikan di
Indonesia: Membedah Ancaman Terhadap Dunia Pendidikan di
Satria Aji Imawan, lahir di Sleman, Yogyakarta, 4 Agustus 1990. Saat ini tercatat aktif
sebagai mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, angkatan 2008. Saat ini menjabat sebagai Kepala Litbang SKM UGM
Bulak sumur. Email: aji.imawan@gmail.com