Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS KUALITAS PELAYANAN DINAS LINGKUNGAN HIDUP DALAM

PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BATANG PROVINSI JAWA


TENGAH DENGAN PENDEKATAN MODEL POST-BUREAUCRATIC

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekologi Adminitrasi Publik

Dosen Pengampu: Nyi Raden Ruyani., S.Sos., M.Si

Disusun Oleh:

Kelas C - Kelompok 3

Anggie Nurfalah D (192010126) Alika Raddyta P S (192010128)

Nur Fitriani A (192010113) Maudy Dwi Jannati (192010131)

Gilang Thaufik F (192010121) Irmawati Hutapea (192010136)

Bima Satria P K (192010124) Qomari Thariq (192010137)

Syifa Aulia (192010125) Bintang Sugiarto (192010139)

Yulianti Khoirina (192010127) Mohammad Dicky D (192010169)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun
hingga selesai. Penulis panjatkan puja, puji, serta syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah kepada penulis sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Analisis
Kualitas Pelayanan Dinas Lingkungan Hidup Dalam Pengelolaan Sampah Di Kabupaten Batang
Provinsi Jawa Tengah Dengan Pendekatan Model Post-Bureaucratic”.

Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan dari berbagai sumber sehingga dapat
mempelancar pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penulis masih banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu penulis memohon maaf apabila ada kekurangan didalam makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah tentang “Analisis Kualitas Pelayanan Dinas
Lingkungan Hidup Dalam Pengelolaan Sampah Di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah Dengan
Pendekatan Model Post-Bureaucratic” ini dapat membantu dan memberikan pengetahuan tambahan
kepada para pembaca, terlebih dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu khususnya di
lingkungan prodi Administrasi Publik Fisip Unpas.

Bandung, Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................................................2


DAFTAR ISI .........................................................................................................................................................3
BAB I .....................................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang .....................................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah................................................................................................................................6
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................................................................6
BAB II ...................................................................................................................................................................7
KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................................................................7
2.1.Pelayanan Publik........................................................................................................................................7
2.2.Pengertian Sampah ....................................................................................................................................7
BAB III ..................................................................................................................................................................9
METODE PENELITIAN ....................................................................................................................................9
3.1. Pendekatan Penelitian ..............................................................................................................................9
3.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data.................................................................................................9
BAB IV ................................................................................................................................................................10
PEMBAHASAN .................................................................................................................................................10
4.1. Pengelolaan Sampah di Kabupaten Batang..........................................................................................10
4.2. Kualitas Pelayanan Dinas Lingkungan Hidup dengan Pendekatan Model Post-Bureaucratic di
Kabupaten Batang .........................................................................................................................................13
BAB V..................................................................................................................................................................28
PENUTUP ...........................................................................................................................................................28
5.1.Kesimpulan ...............................................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kabupaten Batang, kalau orang Batang sendiri dengan logatnya yang khas sering mengucap
dengan sebutan ” mBatang” ini merupakan kota kecil di Jawa Tengah bagian utara atau banyak orang
bilang daerah Pantura tepatnya dengan koordinat pada 6° 51′ 46″ sampai 7° 11′ 47″ Lintang Selatan
dan antara 109° 40′ 19″ sampai 110° 03′ 06″ Bujur Timur dengan Luas daerah 78.864,16 Ha. Kabupaten
Batang diapit oleh beberpa Kabupaten disekitarnya sebelah timur Kabupaten Kendal, sebelah selatan
Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, sebelah barat Kota dan Kabupaten Pekalongan.

Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun tentu akan berdampak terhadap peningkatan
volume sampah yang dihasilkan. Permasalahan sampah menjadi isu utama bagi sebuah kota. Kabupaten
Batang setiap tahun selalu mengalami kenaikan jumlah volume sampah. Apabila dalam pelayanan
pengelolaan sampah tidak dilakukan dengan baik, maka dikhawatirkan akan terjadi penumpukan
timbunan sampah.

Sampah merupakan limbah produksi yang dihasilkan setiap hari oleh rumah tangga maupun
industri. Manusia tidak akan terlepas dari sampah, baik di rumah, di kantor maupun ditempat lainnya.
Sampah akan menjadi masalah apabila tidak dikelola dengan baik dalam hal penanganan dan
pengelolaannya. Hal tersebut akan menyebabkan kota menjadi bau, tidak menarik dan timbulnya
penyakit. Namun, jika penanganan dan pengelolaan sampah baik, maka akan terwujud kota yang bersih
dan indah. Selain itu, pemanfaatan kembali suatu barang yang sudah tidak digunakan lagi dengan
metode pemilahan kembali, pengumpulan, dan pengangkutan ke tahap pemrosesan akhir dengan tujuan
agar barang yang tidak bernilai dapat digunakan kembali. Sampah dapat bernilai ekonomis ketika
dilakukan upaya terhadap pemanfaatannya, sampah bisa menjadi sumber energi baru ketika panas dari
pembakaran sampah diubah menjadi energi listrik dan sampah organik dapat dioleh lebih lanjut agar
supaya menjadi pupuk kompos.

Di Indonesia, permasalahan sampah menjadi salah satu isu utama dalam Pemerintah Daerah.
Sampah merupakan masalah untuk sebuah kota, jika dilihat dari banyaknya jumlah timbunan sampah
yang tidak terangkut. Pemerintah Daerah dituntut untuk mengatasi masalah sampah tersebut dengan
sebaik-baiknya. Pemerintah hendaknya mencermati kebijakan pengelolaan sampah, sebab dalam
penanganan dan pengelolaan sampah Pemerintah harus menganggarkan biaya yang tentunya tidak
sedikit. Semakin tingginya penghasilan penduduk daerah tersebut, maka akan semakin tinggi biaya
pengelolaan sampah. Oleh sebab itu, Pemerintah wajib memberikan perhatian terhadap permasalahan
penanganan dan pengelolaan sampah agar sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Adapun kebijakan terkait sampah, Pemerintah telah mengatur didalam UU No. 18/ 2008 tentang
pengelolaan sampah dimana semula bertumpu pada pendekatan akhir pengelolaan sampah yang
meliputi pengumpulan sampah, pengangkutan sampah dan pembuangan sampah ke tempat pemrosesan
akhir dan sekarang bergeser pada paradigma baru yaitu pengelolaan sampah yang dilakukan dari
aktifitas pengurangan sampah dan penanganan sampah yang benar dan baik. Aktifitas penanganan
sampah yaitu berupa pengumpulan, pemilihan kembali, dan pengangkutan ke tempat pemrosesan akhir,
sedangkan aktifitas pengurangan sampah yaitu berupa pembatasan sampah, pemanfaatan kembali dan
daur ulang sampah.

Dijelaskan dalam UU No. 18/ 2008 tentang Pengelolaan Sampah Pasal 11, bahwa pelayanan
pengelolaan sampah dilakukan secara baik dan dengan berwawasan lingkungan dari Pemerintah, Pemda
atau pihak ketiga berhak didapatkan oleh setiap orang. Hal ini dapat diartikan bahwa seluruh masyarakat
berhak mendapatkan pelayanan kebersihan khususnya penanganan dan pengelolaan sampah.

Kabupaten Batang dengan tagline “Batang Berkembang” merupakan sebuah kota berkembang
yang tidak luput juga dari permasalahan sampah. Sampah yang ada di Kabupaten Batang merupakan
hasil dari kegiatan rumah tangga, pasar, perkantoran dan pertokoan. Jumlah sampah yang dihasilkan
setiap hari apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan lingkungan menjadi tidak bersih dan
tidak nyaman.

Pengelolaan sampah di Kabupaten Batang masih menggunakan model konvensional. Sampah


dikumpulkan di TPS yang telah disediakan, kemudian dilanjutkan dengan pengangkutan ke TPA.
Sampah yang terdiri dari organik dan organik semua diangkut dan dimusnahkan di TPA. Model seperti
ini tentunya membutuhkan sarana prasarana yang banyak mulai dari gerobak, truk dan lahan yang luas
untuk digunakan sebagai TPS dan TPA.

Kabupaten Batang dalam setiap hari menghasilkan timbulan sampah mencapai 40 ton dengan
rata-rata pengangkutan sampah per hari hanya mencapai 15 ton, sedangkan daya tampung TPS di
Kabupaten Batang mencapai 35 ton per hari. Sampah tersebut sebagian besar terdiri dari sampah
organik sebesar 78,34% dan sampah anorganik sebesar 21,66% (Darmasaputra, 2020). Padahal TPA
yang dimiliki Kabupaten Batang yaitu TPA Randukuning yang terletak di Desa Tegalsari dengan luas
3 hektar sudah overload dipenuhi sampah setinggi 20 meter. Apalagi saat ini di Kabupaten Batang
sendiri sedang di bangun Kawan Industri Terpadu yang tentunya akan menambah jumlah volume
produksi sampah setiap harinya. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup
dituntut untuk mengantisipasi adanya kenaikan jumlah volume produksi sampah setiap hari dari
Kawasan Industri Terpadu tersebut (Lukmono, 2021).

Mengacu pada Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, Kabupaten
Batang juga mengeluarkan kebijakan terkait sampah berupa Perda No. 3 tahun 2016 tentang
pengelolaan sampah. Dalam Peraturan Daerah No. 3/ 2016 tentang pengelolaan sampah di Kabupaten
Batang tersebut, dijelaskan hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat. Untuk
pemenuhan hak setiap masyarakat untuk mendapatkan layanan pengelolaan sampah oleh Pemda
Kabupaten Batang dan pemenuhan kewajiban setiap masyarakat untuk mengelola sampah yang
dihasilkan juga masih belum berjalan dengan baik. Selain itu, pada Bab II Pasal 3 dijelaskan bahwa
tujuan adanya pengelolaan dan penanganan sampah adalah berguna untuk mewujudkan lingkungan
yang bersih dan sehat dari masalah persampahan serta memanfaatkan sampah menjadi sumber daya.
Akan tetapi, masih dijumpai timbunan sampah yang tidak terangkut dan masyarakat yang buang sampah
di sembarang tempat.

Permasalahan sampah yang terjadi saat ini dilihat sebagai tanggung jawab Dinas Lingkungan
Hidup sebagai Pemerintah Daerah Kabupaten Batang. Dengan adanya biaya retribusi sampah yang
diminta, masyarakat menganggap sebagai pihak penerima pelayanan. Selain berkaitan dengan teknis
terhadap pengelolaan sampah, juga diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat untuk membantu
program Pemerintah Daerah dalam hal penanganan dan pengelolaan sampah.

Kabupaten Batang setiap tahun selalu mengalami kenaikan jumlah sampah. Apabila kenaikan
tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan menyebabkan ketidaknyamanan lingkungan dan
masalah lainnya. Jika hal ini dibiarkan terjadi terus menerus tanpa ada perubahan dalam penanganan
dan pengelolaan yang lebih baik, maka dikhawatirkan akan terjadi penumpukan timbunan sampah di
Kabupaten Batang. Dengan adanya pelayanan publik yang berkualitas dalam hal pengelolaan sampah,
diharapkan berimbas pada penilaian dan persepsi publik terhadap kinerja Pemerintah Kabupaten
Batang.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengelolaan sampah di Kabupaten Batang?
2. Bagaimana analisis kualitas pelayanan dinas lingkungan hidup dalam pengelolaan sampah di
Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah dengan pendekatan model post-bureaucratic?

1.3.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan sampah di Kabupaten Batang.
2. Untuk mengetahui bagaimana analisis kualitas pelayanan dinas lingkungan hidup dalam
pengelolaan sampah di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah dengan pendekatan model
post-bureaucratic.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.Pelayanan Publik
Menurut Poerwadarminta (1995, p. 571) pengertian dari pelayanan berasal dari kata “layan”
yang berarti membantu menyiapkan atau mengurus apapun yang diperlukan seseorang. Sedangkan
menurut Sampara (2000, p. 6) pengertian pelayanan memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau urutan
kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara
fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa pelayanan publik merupakan upaya
pemerintah untuk mempersiapkan dan memberikan layanan untuk segala kebutuhan dari semua aspek
kehidupan yang ditujukan kepada masyarakat.Pelayanan publik juga dapat disimpulkan sebagai usaha
yang dilakukan pemerintah dalam pemberian pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat melalui suatu
tata layanan yang berdasarkan nilai dan norma yang telah ditetapkan.

2.2.Pengertian Sampah
Menurut definisi World Health Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia
dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2006). Undang-Undang Pengelolaan Sampah Nomor 18
tahun 2008 menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam
yang berbentuk padat.

Soemirat (1994) berpendapat bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang
punya dan bersifat padat. Azwar (1990) mengatakan yang dimaksud dengan sampah adalah sebagian
dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal
dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk kegiatan industri) tetapi bukan biologis karena kotoran
manusia (human waste) tidak termasuk kedalamnya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas dan
Kualitas Sampah Menurut Slamet (2004) sampah baik kualitas maupun kuantitasnya sangat dipengaruhi
oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain :

a. Jumlah Penduduk

Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk semakin banyak pula
sampahnya. Pengelolaan sampah pun berpacu dengan laju pertambahan penduduk.
b. Keadaan sosial ekonomi

Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat, semakin banyak jumlah perkapita
sampah yang dibuang. Kualitas sampahnya pun semakin banyak bersifat tidak dapat membusuk.
Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta
kesadaran masyarakat akan persoalan persampahan. Kenaikan kesejahteraan ini pun akan
meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan bangunan-bangunan, transportasi pun
bertambah, dan produk pertanian, industri dan lain-lain akan bertambah dengan konsekuensi
bertambahnya volume dan jenis sampah.

c. Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah, karena pemakaian
bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk manufaktur yang semakin
beragam pula.

d. Tingkat pendidikan

Menurut Hermawan (2005) Untuk meningkatkan mutu lingkungan, pendidikan mempunyai


peranan penting karena melalui pendidikan, manusia makin mengetahui dan sadar akan bahaya
limbah rumah tangga terhadap lingkungan, terutama bahaya pencemaran terhadap kesehatan
manusia dan dengan pendidikan dapat ditanamkan berpikir kritis, kreatif dan rasional. Semakin
tinggi tingkat pendidikan selayaknya semakin tinggi kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam
pengelolaan sampah.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2010,p. 5) bahwa
penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh
sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.
Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya penting seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara
induktif mulai dari tema yang khusus ke tema yang umum dan menafsirkan data. Dengan menggunakan
metode kualitatif peneliti dapat mendeskripsikan secara benar dan mendalam tentang bagaimana
analisis kualitas pelayanan dinas lingkungan hidup dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Batang
Provinsi Jawa Tengah dengan pendekatan model post-bureaucratic.

3.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder ini meliputi
berbagai hal, antara lain visi dan misi, tujuan dan sasaran, arah kebijakan, tugas pokok dan fungsi,
rencana keja, struktur organisasi dan bidang tugas unsur organisasi.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena
tujuan penelitian utama dari suatu penelitian adalah memperoleh data. Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Studi pustaka. Studi pustaka adalah suatu studi atau kajian mengenai
sumbersumber tertulis yang berupa naskah, buku-buku, serta jurnal yang diterbitkan.

Teknik analisis data merupakan proses mencari dan menyusun ke dalam pola, menjabarkan ke
unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang paling penting dan yang
akan dipelajari, serta membuat kesimpulan, sehingga mudah untuk dipahami oleh diri sendiri maupun
orang lain (Sugiyono, 2017, p. 224).
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Pengelolaan Sampah di Kabupaten Batang


Pemerintah Kabupaten Batang berdasarkan Perda tersebut sudah melakukan beberapa hal dalam
usaha penanganan sampah. Salah satunya adalah pengelolaan sampah yang merangkul elemen
masyarakat melalui program Bank Sampah. Itu merupakana tugas pemerintah daerah sesuai ayat a Pasal
6 Perda No. 3 tentang Pengelolaan Sampah yang berbunyi, “menumbukembangkan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah” serta didukung oleh ayat 3 pasal 27 yang berbunyi,
“ Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan bank sampah oleh masyarakat sesuai dengan
kebutuhan”.

Sementara itu, Kabupaten Batang sudah memiliki 72 buah bank sampah yang berasal dari
instansi, perusahaan dan kelompok masyarakat. Ke72 bank sampah tersebut dihimpun dalam satu forum
yaitu Forum Komunikasi Bank Sampah (FKBS) yang dinaungi pemerintah Kabupaten Batang melalui
lembaga terkait yaitu Badan Lingkungan Hidup. Berdasarkan penelitian dari Anih Sri Suryani (Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, 2014) tentang peran
bank sampah dalam efektivitas pengelolaan sampah di Kota Malang, menjelaskan bahwa sekitar 186
ton sampah perhari dikelola melalui program-program berbasis masyarakat yang salah satu programnya
adalah bank sampah.

Pemerintah Kabupaten Batang melalui Badan Lingkungan Hidup selaku lembaga yang
menaungi seluruh Bank Sampah yang ada di Kabupaten Batang bertugas mendampingi dan
memberikan sarana prasarana dalam pelaksanaan bank sampah sesuai kebutuhan sesuai Perda No. 3
tahun 2016 tentang pengelolaan sampah.

Implementasi kebijakan Perda No. 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah yang dilakukan
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Batang dalam pelaksanaan program bank sampah di Kecamatan
Batang dalam perspektif teori George C. Edward III dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Komunikasi yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup dilakukan dalam sosialisasi yang
dilakukan di RW 4 Perum Korpri Desa Pasekaran, Perumahan Citra Harmoni Desa
Rowobelang, Kelurahan Sambong dan Desa Kalipucang Wetan.
b. Sumber daya manusia pelaksanaan bank sampah di Kecataman Batang masih kurang memadai,
karena ada lima bank sampah di Kecamatan Batang berhenti beroperasi karena tidak ada
reorganisasi dan ditinggal pengurusnya, yaitu bank sampah Makmur, Gemah Ripah, Lestari
Wuguna, Pengayoman, dan Nyiur hijau. Kemudian BLH Kabupaten Batang sudah berusaha
meningkatkan SDM dengan melakukan beberapa pelatihan yaitu pelatihan pengolahan sampah
skala rumah tangga, pembuatan kerajinan dari sampah, pelatihan pemanfaatan lubang resapan
biopori, pembuatan kompos, pelatihan keterampilan pengelolaan limbah anorganik dan
pelatihan pengembangan limbah ternak menjadi pupuk. Begitu pula sumber daya pedukung
yaitu sarana dan prasarana, Badan Lingkungan Hidup sudah memberikan beberapa fasilitas
kepada bank sampah seperti timbangan, becak angkut, motor viar, tempat komposer tetapi
belum merata ke seluruh bank sampah yang ada di Kecamatan Batang.
c. Komitmen Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Batang dalam pelaksanaan program bank
sampah terlihat dari pengadaan baik sosialisasi, pelatihan dan pemberian sarana dan prasarana.
Sementara itu, komitmen dari pengurus bank sampah, walaupun tanpa upah ataupun insentif
dari pemerintah, mereka tetap giat dalam pelaksanaan bank sampah.
d. Standar Operating Prosedur (SOP) yang digunakan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Batang adalah mengacu pada Permen LH No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah. Namun, SOP tersebut merupakan posisi
ideal bank sampah, sehingga dalam pelaksanaanya yang terpenting bank sampah bisa jalan tidak
terlalu terikat dengan SOP. Kemudian, struktur organisasi pelaksana itu sendiri. Program bank
sampah merupakan tanggung jawab dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Batang. Jadi
dalam hal apapun menyangkut bank sampah larinya ke BLH Kabupaten Batang.

Kontribusi modal sosial dalam pengelolaan sampah melalui bank sampah dapat dilihat dari
unsur modal sosial yaitu jaringan, norma dan kepercayaan. Jaringan, norma, dan kepercayaan ini
memberikan sumbangan positif dalam menjaga keberlangsungan bank sampah di Kecamatan Batang.
Jaringan sosial terwujud dalam terhimpunnya bank sampah dalam Foum Komunikasi Bank Sampah se-
Kabupaten Batang. Jaringan sosial juga terwujud dalam kerjasama yang terjalin antara bank sampah
dengan pemerintah, pengepul, dan nasabah. Norma terwujud dalam kesepakatan antara pengurus bank
sampah dengan nasabah yang mengatur tentang pengumpulan sampah dan waktu pengambilan
tabungan. Terakhir wujud kepercayaan pemerintah kepada bank sampah Resik Assik dan Mandiri
Sejahtera untuk mendampingi 15 bank sampah yang ada di Kecamatan Batang serta keteladanan
pengurus yang ikhlas tanpa digaji juga termasuk peran penting dalam mempengaruhi kepercayaan
masyarakat. Modal sosial yang ada saling berkaitan satu sama lain dan tak dapat dipisahkan dalam
pelaksanaan bank sampah. Karena apabila salah satu saja unsur itu tidak ada maka bank sampah tidak
akan berjalan dengan maksimal.

Kabupaten Batang merupakan salah satu daerah yang memiliki pekerjaan rumah terkait tugas
pengelolaan sampah. Sampah di Kabupaten Batang sendiri dapat terbilang banyak. Adanya sampah
tersebut pula akhirnya menimbulkan inisiatif dari pemerintah beserta legislatif Kabupaten Batang.
Produksi sampah di Kabupaten Batang sendiri tidak sebanding dengan sarana dan prasarana pengelola
kebersihannya. Sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Randu Kuning Tegalsari volumenya
setiap tahun bertambah.

Menurut World Health Organization (WHO), definisi sampah adalah sesuatu yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia
dan tidak terjadi dengan sendirinya (Candra, 2007 dalam Subarna, 2014: 7). Sementara menurut
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menyatakan sampah adalah sisa
kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat.

Besarnya sampah yang dihasilkan dalam suatu daerah tertentu sebanding dengan jumlah
penduduk, jenis aktivitas, dan tingkat konsumsi penduduk tersebut terhadap barang ataupun material.
Pertambahan jumlah penduduk merupakan faktor utama terjadinya permasalahan sampah karena
manusia merupakan penghasil utama sampah. Seperti yang diungkapkan oleh Undang Subarna sebagai
berikut:

“Pertambahan jumlah penduduk yang tidak imbangi dengan pengelolan sampah yang baik akan
menyebabkan bertambahnya tumpukan sampah di berbagai tempat. Adanya kecenderungan jumlah
penduduk yang semakin meningkat serta diikuti kegiatan kota yang makin berkembang akan
menimbulkan dampak adanya buangan/ limbah yang meningkat dan bervariasi.” (Subarna, 2014: 58).

Menurut Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batang timbulan sampah yang dihasilkan per
harinya mencapai sekitar 40 ton/hari dan rata-rata yang dapat terangkut ke TPA hanya sekitar 15 /hari
dengan daya tampung TPA sekitar 35 ton/hari. Adapun jenis sampah yang banyak dihasilkan oleh
masyarakat Kabupaten Batang adalah sampah permukiman atau rumah tangga dengan persentase
sebesar 77.89% sampah organik yang pengangkutannya dilaksanakan 2-4 kali sehari menuju TPA
Randu Kuning Tegalsari. Kemudian, berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kabupaten Batang, komposisi sampah di dominasi oleh sampah organik dengan persentase sebesar
78,34%, sedangkan sisanya 21,66% merupakan sampah anorganik.

Pengurangan sampah termasuk pembatasan sampah, daur ulang sampah dan pemanfaatan
kembali sampah di Kabupaten Batang saat ini belum bisa sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah
daerah. Karena pengelolaan dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan ada yang dikelola oleh
perusahaan (swasta) dan pemulung. Dalam mengurangi jumlah timbulan sampah Dinas terkait
mendirikan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) yang ada sekitar 15 TPST yang aktif
beroperasi di Kabupaten Batang. Cara lain yang dilakukan untuk mengurangi timbulan sampah adalah
dengan metode 3R (Reduce, Reuse dan Recycle). Metode 3R dilakukan untuk mengurangi sampah dan
sebagai salah satu cara dalam hal pendaur ulangan dan pemanfaatan kembali sampah yang ada.
Sedangkan untuk metode bank sampah, dinas memberikan bantuan peralatan teknis berupa tong
sampah, becak sampah dan alat timbangan untuk setiap Kecamatan. Sedangkan untuk pendauran ulang
sampah, pemerintah hanya dapat melakukannya pada sampah organik dengan membuat pupuk kompos
sedangkan untuk sampah anorganik belum ada tindak lanjutnya.

Menurut hasil observasi, masih banyak terdapat sampah-sampah kemasan yang ada di TPS. Hal
ini menunjukan bahwa masyarakat belum sepenuhnya melakukan perannya dalam mendukung
berhasilnya implementasi kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Batang. Selanjutnya yaitu tahap
penanganan sampah yang meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan sampai
pengolahan akhir sampah. kegiatan tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah dan juga dapat dibantu
oleh masyarakat.

Sistem pengolahan sampah yang ada di Kabupaten Batang adalah dengan menggunakan metode
control landfill yaitu dengan menimbun sampah dengan lapisan tanah setiap tujuh harinya. Pengelolaan
sampah di Kabupaten Batang tentunya mempunyai hambatan atau kendala-kendala dalam hal
pelaksanaan implementasinya. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan implemenatsi pengelolaan
sampah selain minimnya sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah adalah pola pikir masyarakat
yang belum bisa sepenuhnya melakukan pola hidup yang bersih dan sehat. Selain itu, sistem
pengelolaan sampah di Kabupaten Batang dapat dikatakan masih tergolong menggunakan konsep
tradisional yang menganut konsep kumpul, angkut dan buang. Sistem ini masih terus digunakan karena
masyarakat belum mengetahui cara pengelolaan sampah dengan baik. Tumpukan sampah yang ada di
pinggir jalan akan mengakibatkan penyempitan jalan dan menyebabkan kemacetan. Belum lagi bau
yang tidak sedap dan pemandangan Kabupaten yang kotor menyebabkan ketidaknyamanan. Sampah
menjadi permasalahan jika kemudian tidak diolah dengan baik dan tidak termanfaatkan. Pengolahan
sampah yang tidak efektif akan menimbulkan masalah pada kesehatan manusia dan kerusakan alam.

4.2. Kualitas Pelayanan Dinas Lingkungan Hidup dengan Pendekatan Model Post-Bureaucratic
di Kabupaten Batang
Permasalahan sampah di Kabupaten Batang menjadi prioritas utama dan keseriusan bagi
Pemerintah Daerah dalam melakukan penanganan dan pengelolaan sampah. Permasalahan sampah
yang terjadi disebabkan oleh perilaku dan pola hidup masyarakat. Selain itu, permasalahan sampah juga
dipicu adanya pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Batang yang meningkat dari tahun ke tahun.

Diketahui bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten Batang cenderung selalu


mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kenaikan jumlah penduduk yang terjadi dari tahun 2017-2019
dinilai masih relatif kecil. Pada tahun 2017 terjadi peningkatan jumlah penduduk sebanyak 6.630 jiwa
(0,89%), pada tahun 2018 sebanyak 12.657 jiwa (1,68%) dan pada tahun 2019 sebanyak 6.206 jiwa
(0,81%). Namun, peningkatan jumlah penduduk yang terjadi pada tahun 2020 dinilai cukup tinggi
karena peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Batang mencapai 3x lipat dari tahun 2018, yaitu
mencapai 34.145 (4,44%). Hal ini diprediksi akan selalu mengalami peningkatan jumlah penduduk dari
tahun ke tahun.

Dampak adanya peningkatan jumlah penduduk tersebut tentu akan berbanding lurus dengan
produksi sampah yang dihasilkan. Tentunya hal tersebut akan menambah beban pengelolan kebersihan.
Disamping itu adanya keterbatasan sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran, sarana
prasarana berupa kendaraan untuk melayani pengangkutan sampah yang dihasilkan. Dalam pengelolaan
sampah, terdapat 5 (lima) aspek yang berkaitan erat yaitu teknis operasional, kelembagaan, pembiayaan,
peraturan hukum dan peran serta masyarakat (Setyaningrum, 2015).

Pemerintah sebagai aktor dalam menjalankan pelayanan publik dihadapkan dengan berbagai
macam masalah yang timbul di masyarakat. Untuk menjawab atas permasalahan itu, maka Pemerintah
harus memberikan kualitas pelayanan publik yang baik dalam pengelolaan sampah, agar mampu
menangani masalah sampah yang ada di Kabupaten Batang. Namun kenyataannya tidak semudah yang
diharapkan dan menemui berbagai permasalahan.

Diketahui bahwa meskipun selama 3 tahun terakhir mulai dari tahun 2017 hingga tahun 2019
mengalami penurunan, akan tetapi volume rata-rata sampah yang diproduksi dari tahun 2010 hingga
tahun 2019 cenderung mengalami kenaikan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di
Kabupaten Batang yang semakin meningkat. Produksi sampah yang dihasilkan di Kabupaten Batang
tersebut harus diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik berupa pelayanan pengangkutan ke
tempat akhir pemrosesan sampah agar tidak terjadi penumpukan sampah.

Dapat dikatakan bahwa Dinas Lingkungan Hidup selaku Pemerintah Kabupaten Batang harus
serius dalam memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat terkait pengelolaan sampah. Tentu ini akan
berdampak terhadap kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Padahal kualitas
pelayanan merupakan hal utama yang sangat penting dan selalu fokus terhadap kepuasan pelanggan.
Oleh karena itu, guna mengetahui dan menganalisis kualitas pelayanan, dalam penelitian ini
menggunakan teori dari Fitzsimmons. Menurut teori Fitzsimmons dalam Mukarom (2016) terdapat 5
(lima) dimensi untuk menentukan kualitas pelayanan Dinas Lingkungan Hidup dalam pengelolaan
sampah. Adapun 5 (lima) dimensi tersebut yaitu dimensi tangibles, dimensi reliability, dimensi
responsiveness, dimensi assurance dan dimensi emphaty.

a. Tangibles
Tangibles merupakan kualitas pelayanan publik berupa sarana fisik yang terlihat dan bisa
dirasakan oleh semua pihak, baik pemberi maupun penerima pelayanan. Sarana fisik tersebut berupa
sarana prasarana, peralatan atau perlengkapan untuk menunjang pelayanan publik. Hal tersebut
menjadi faktor penting guna mendukung pelayanan pengelolaan sampah. Berikut ini merupakan
data sarpras pengelolaan sampah di Kabupaten Batang.
Prasarana yang digunakan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah sudah disediakan dengan
baik, namun belum mampu mengatasi permasalahan sampah yang ada. Hal ini disebabkan karena
sarana dan prasarana yang ada masih kurang memadai. Kapasitas kemampuan dari Dump Truk
dalam mengangkut sampah sebanyak 8 ton per hari. Apabila dump truk yang dimiliki sejumlah 17
unit, maka jumlah volume sampah yang dapat terangkut dalam sehari sebanyak 136 ton. Sedangkan
pengangkut sampah lainnya yaitu truk arm roll dengan kapasitas kemampuan mengangkut sampah
sebanyak 6 ton per hari. Adapun jumlah truk arm roll yang dimiliki sejumlah 4 unit, maka jumlah
volume sampah yang dapat terangkut dalam sehari sebanyak 24 ton. Hal ini tentunya sangat sedikit
jika dibandingkan dengan volume sampah yang diproduksi.

Terkait sampah yang seharusnya ditangani dan dikelola dengan baik, justru mengalami
penurunan dalam pengangkutan sampah dengan presentase terendah terjadi pada tahun 2017 hingga
tahun 2019. Apabila hal tersebut terjadi terus menerus tanpa ada perubahan dalam penanganan dan
pengelolaan yang lebih baik, maka dikhawatirkan akan terjadi penumpukan timbunan sampah di
Kabupaten Batang.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diasumsikan bahwa kualitas pelayanan DLH dalam
pengelolaan sampah dilihat dari dimensi tangibles masih belum baik dari segi sarana prasarana yang
kurang memadai. Selain itu, terdapat sarana prasarana yang tidak layak untuk dipakai dan tidak
terawat tentu akan menjadi penghambat dalam memberikan pelayanan pengangkutan sampah.

b. Reliability
Reliability yaitu salah satu dimensi yang berkaitan dengan kehandalan atau kemampuan dari
petugas sebagai pemberi layanan publik dalam melayani seluruh lapisan masyarakat sebagai
penerima pelayanan publik sesuai dengan kapasitas petugas. Selain kemampuan, konsistensi dari
petugas juga menjadi tolak ukur dalam dimensi ini. Jika dilihat dari sisi konsistensi petugas dalam
melakukan pelayanan pengangkutan sampah dinilai belum konsisten.
Masih terjadi penumpukan sampah di TPS wilayah Kabupaten Batang. Hal ini dikarenakan
oleh sampah yang tidak terangkut oleh petugas. Selain itu, hasil dari pengamatan, pelayanan
pengangkutan sampah tidak dilakukan setiap hari. Sampah dilakukan pengangkutan setiap 3 hari
sekali. Oleh karena itu, dalam hal konsistensi, pelayanan pengangkutan sampah dinilai belum
konsisten.
Selain itu, apabila, dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan
pengangkutan sampah dinilai masih kurang. Dapat diketahui bahwa jumlah sampah yang terangkut
sejak tahun 2010 hingga tahun 2019 cenderung mengalami penurunan. Meskipun selama tahun
2013 hingga 2016 mengalami kenaikan jumlah sampah yang terangkut, namun hal tersebut
berbanding lurus dengan kenaikan jumlah sampah yang diproduksi. Pengangkutan sampah hanya
berkisar 50-60% dari produksi sampah yang dihasilkan. Pengangkutan sampah paling sedikit terjadi
pada tahun 2017, tahun 2018 dan tahun 2019 yang hanya mencapai 20,86%, 33,45% dan 35,40%.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diasumsikan bahwa kualitas pelayanan DLH dalam
pengelolaan sampah dilihat dari dimensi realibility masih belum baik dari segi kemampuan petugas
dalam memberikan pelayanan atas kebutuhan masyarakat akan pengelolaan sampah dan dari segi
konsistensi dinilai belum cukup baik karena pelayanan pengangkutan sampah tidak dilakukan setiap
hari.
c. Responsiveness
Responsiveness merupakan dimensi yang berkaitan dengan kecepatan dan respon petugas
dalam memberikan pelayanan, baik merespon atas setiap keluhan masyarakat, memberikan
pelayanan secara cepat, cermat dan tepat.
Jika dilihat dari segi respon terhadap keluhan masyarakat akan timbunan sampah yang
terjadi akibat adanya sampah yang tidak terangkut bisa dinilai belum cukup baik. Meskipun terdapat
upaya atas respon Dinas Lingkungan Hidup sebagai Pemerintah Kabupaten Batang dalam
meminimalkan timbunan sampah dengan membentuk lembaga bank sampah, yang mana setiap
sampah yang disetorkan akan ditukar dengan uang sesuai dengan berat sampah tersebut.
Respon baik juga datang dari masyarakat. Sampai saat ini lembaga bank sampah tersebut
telah ternbentuk sebanyak 80 (delapan puluh) yang tergabung dalam forum komunikasi bank
sampah Kabupaten Batang. Akan tetapi, timbunan sampah masih sering terlihat akibat tidak
terangkut ke pembuangan akhir.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diasumsikan bahwa kualitas pelayanan DLH dalam
pengelolaan sampah dilihat dari dimensi resposiveness dapat dikategorikan belum baik. Timbunan
sampah masih sering akibat dari sampah yang tidak terangkut.
d. Assurance
Assurance atau jaminan merupakan kemampuan, keramahan dan sopan santun petugas
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Assurance adalah sebuah kepastian yang akan
diperoleh masyarakat dari sikap sopan santun petugas pemberi pelayanan, baik dari sisi komunikasi
maupun pengetahuan. Menurut teori Fitzsimmons dalam Mukarom (2016), indikator yang
digunakan guna mendukung kualitas pelayanan adalah jaminan waktu, legalitas dan biaya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan yang diberikan oleh petugas kepada masyarakat tidak hanya sebatas penanganan
dan pengelolaan sampah saja, tetapi juga himbauan, sosialisasi dan deklarasi gerakan bersama untuk
menjaga kebersihan, tidak buang sampah sembarangan dan membuang sampah pada tempatnya.
Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pihak Dinas Lingkungan Hidup saja sebagai Pemerintah
Kabupaten Batang, tetapi dibutuhkan keterlibatan masyarakat agar lebih peduli dengan lingkungan.
Tentunya pelayanan tersebut dilakukan oleh petugas dengan penuh tanggung jawab, keramahan dan
kesopanan karena petugas merupakan bagian dari aparatur pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diasumsikan bahwa dimensi assurance dalam
pelayanan pengelolaan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batang dinilai sudah
cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari sikap petugas yang ramah dan sopan santun dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
e. Emphaty
Empathy merupakan sebuah wujud bentuk kemauan dari Pemerintah Daerah untuk
melakukan pendekatan, memberikan perlindungan dan mengetahui keinginan dan kebutuhan di
masyarakat. Menurut teori Fitzsimmon dalam Mukarom (2016) menjelaskan bahwa indikator yang
dapat mendukung guna tercipta kualitas pelayanan yang baik yaitu mendahulukan kepentingan
masyarakat, tidak membeda-bedakan dan menghargai setiap masyarakat dalam memberikan
pelayanan. Disisi lain, kesabaran juga perlu dimiliki oleh setiap petugas sebab keluhan masyarakat
akan selalu ada. Sikap tersebut sangat diperlukan oleh setiap petugas agar mampu dalam
meningkatkan kualitas pelayanan.
Dinas Lingkungan Hidup sebagai Pemerintah Kabupaten Batang sendiri mengetahui
keinginan dan kebutuhan masyarakat akan penanganan dan pengelolaan sehingga tidak terjadi
penumpukan sampah. Petugas tetap sabar terhadap setiap keluhan masyarakat. Namun
kenyataannya di lapangan menemui berbagai macam masalah dan faktor yang mempengaruhi tidak
terpenuhinya pengelolaan sampah seperti pengangkutan ke tempat akhir pengolahan, sehingga
sering terjadi penumpukan sampah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya masyarakat
yang masih buang sampah sembarangan. Petugas di lapangan pasti selalu menyampaikan dan
memberikan himbauan kepada masyarakat. Bahkan sikap tegas dari petugas kepada masyarakat
telah dijalankan bagi yang melanggar aturan buang sampah. Tetapi, tentunya hal itu perlu adanya
dukungan dan partisipasi masyarakat. Akan tetapi setidaknya sudah ada rasa emphaty dari petugas
dengan berusaha agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat meskipun belum maksimal.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diasumsikan bahwa dimensi emphaty dalam
pelayanan pengelolaan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batang dinilai sudah
cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari usaha yang telah dilakukan petugas dalam memberikan
pelayanan akan kebutuhan masyarakat meskipun belum maksimal karena menemui berbagai
macam faktor masalah yang mempengaruhinya seperti minimnya sarana prasarana yang dimiliki.
Campur tangan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan merupakan hal yang sudah dianggap
lazim dan bisa ditemukan sehingga campur tangan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang semestinya
ada. Campur tangan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan dapat terlihat dari adanya berbagai
macam regulasi mengenai pengelolaan lingkungan termasuk regulasi tentang berbagai macam baku
mutu, atau berupa kewajiban perizinan, termasuk pesyaratan pemberian izin atau berupa pengawasan
penegakan hukum. Pembenaran campur tangan pemerintah di atas dapat dikategorikan sebagai
pembenaran berdasarkan perspektif public interest. Dalam arti bahwa campur tangan pemerintah
berupa regulasi dan instrumen yang dijalankan oleh pemerintah dapat dibenarkan karena hal campur
tangan ini berguna bagi kepentingan publik, yaitu misalnya dalam rangka memperbaiki kegagalan
pasar.
Namun demikian, perlu pula kiranya di sini dijelaskan pula kemungkinan munculnya berbagai
campur tangan pemerintah tersebut ditinjau dari perspektif teori pilihan publik (public choice theory).
Seperti dijelaskan oleh Ogus, teori pilihan publik berupaya menjelaskan bagaimana preferensi individu
terefleksikan di dalam sistem pemungutan suara (voting) atau prosedur lain yang diadopsi oleh institusi
publik untuk menghasilkan pilihan kolektif, atau untuk mengevaluasi konsekuensi dari pilihan tersebut
terhadap kesejahteraan sosial. Teori ini mengasumsikan bahwa perilaku dalam dunia politik sebenarnya
tidak jauh berbeda dari perilaku individu di pasar. Keduanya bertindak untuk memaksimalkan
keuntungan dari individu. Teori pilihan publik ini setidaknya dapat diterangkan dalam tiga kelompok
inim yaitu kelompok yang melihat regulasi sebagai perpanjangan kepentingan interest groups,
kelompok yang melihat regulasi sebagai perwujudan kepentingan birokrat, dan kelompok yang melihat
regulasi sebagai alat regulator untuk mencari pemasukan.
Penjelasan berikut ini akan memperlihatkan bagaimana masing-masing tingkatan campur
tangan tersebut dijumpai dalam pengelolaan lingkungan, khususnya di Indonesia.
1) Regulasi Informasi
Regulasi mengenai informasi (information regulation) merupakan bentuk campur tangan
yang paling sedikit (rendah), karena Pemerintah hanya mewajibkan individu untuk menyediakan
informasi, misalnya berupa laporan, kepada aparat Pemerintah atau kepada publik. Pemerintah
tidak mengatur perilaku dari individu, kecuali perilaku yang terkait dengan penyediaan informasi.
Regulasi tentang informasi dapat dibenarkan karena beberapa alasan. Alasan pertama berangkat
dari pandangan bahwa ketiadaan informasi merupakan sebuah bentuk kegagalan pasar (market
failure) berupa ketidakseimbangan informasi (information asymmetry). Ditinjau dari perspektif
pengendalian information asymmetry, regulasi tentang informasi ini semakin diperlukan ketika
publik semakin tidak memiliki kemampuan untuk menguji kualitas informasi yang tersedia.
Sebaliknya, jika konsumen memiliki kemampuan untuk menguji informasi tentang kualitas sebuah
barang, maka peraturan tentang informasi menjadi tidak begitu penting.
2) Standar/Baku Mutu
Seperti terlihat dalam spektrum yang diberikan oleh Ogus, standar secara garis besar terdiri
dari tiga kelompok, yaitu standar target, standar kinerja (output), dan standar spesifikasi (proses).
Meski demikian pengarang lain, seperti Bell dan McGillivra, mengelompokkan standar ke dalam
dua kelompok besar, yaitu standar yang terkait dengan target kualitas yang ingin dicapai atau
dilindungi, yang disebut dengan target-based standards; serta standar yang terkait dengan sumber
pencemaran, yang disebut dengan source- based standards. Oleh Bell dan McGillivray, standar
output dan standar proses dimasukkan ke dalam kelompok source-based standards.
Standar target yang lazim digunakan adalah standar kualitas lingkungan (environmental
quality standards). Standar ini sering juga disebut sebagai standar ambien (ambient standards).
Standar ini memfokuskan diri pada efek dari standar terhadap target tertentu, dalam hal ini target
tersebut adalah kualitas lingkungan. Artinya, dalam konteks pengelolaan lingkungan, standar target
biasanya ditentukan dengan memperhatikan efek dari polutan terhadap media lingkungan tertentu,
misalnya air, udara, atau tanah.
Dengan demikian, standar kualitas lingkungan menggambarkan ukuran bagi kondisi media
lingkungan tertentu serta sejauh mana media lingkungan itu dapat menenggang masuknya atau
dimasukkannya sebuah bahan/limbah. Dalam standar target atau standar kualitas, Pemerintah hanya
menentukan kualitas akhir yang ingin dicapai, tetapi tidak menentukan output atau kinerja dari tiap
individu yang seperti apa yang dapat mencapai kualitas tersebut. Standar kualitas memusatkan
perhatiannya pada efek yang diterima oleh target tertentu. Di sini, penaatan diukur dengan merujuk
pada efek yang ditimbulkan oleh polutan bagi lingkungan hidup.

3) Perizinan
Bentuk campur tangan Pemerintah yang paling besar adalah prior approval, atau perizinan.
Dalam konteks ini, pada dasarnya individu dilarang untuk melakukan kegiatan, kecuali mereka
telah memperoleh izin atau persetujuan dari Pemerintah. Untuk dapat memperoleh izin atau
persetujuan Pemerintah, individu diharuskan untuk memenuhi berbagai persyaratan, yang di
dalamnya biasanya termasuk persyaratan untuk mematuhi berbagai kewajiban dan standar.
Persetujuan pemerintah dapat mengambil berbagai macam bentuk, di antaranya izin, lisensi, atau
sertifikasi. Selain ketiga bentuk tersebut, bentuk persetujuan lain yang dikenal dalam hukum
administrasi negara di Indonesia adalah konsesi dan dispensasi. Di samping itu, perlu pula
dinyatakan di sini bahwa sebuah persetujuan tertulis dari aparat Pemerintah yang berwenang juga
dianggap sebagai sebuah izin.
Selain itu juga ada beberapa cara pemerintah menjalankan seluruh program dalam mengatasi
persoalan yang berkaitan dengan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Salah satunya yaitu
adanya kolaborasi antara pemerintah dengan pihak pihak lain atau collaborative governance. Ansell
and Gash menjelaskan strategi baru dari pemerintahan disebut sebagai pemerintahan kolaboratif
atau collaborative governance. Bentuk dari governance yang melibatkan berbagai stakeholders atau
pemangku kepentingan secara bersamaan di dalam sebuah forum dengan aparatur pemerintah untuk
membuat keputusan bersama. (Ansell dan Alison, 2007) O’Flynn dan Wanna mengartikan
kolaborasi sebagai bekerja bersama atau bekerja sama dengan orang lain. Hal tersebut menyiratkan
bahwa seorang aktor atau seorang individu, kelompok atau organisasi melakukan kerjasama dalam
beberapa usaha. Setiap orang yang melakukan kerjasama dengan yang lainnya memiliki ketentuan
syarat dan kondisi tertentu, dimana hal tersebut sangat bervariasi. Kata “collaboration” pada
awalnya digunakan pada abad 19 dalam perkembangan industrialisasi, munculnya organisasi yang
lebih kompleks, dan pembagian kerja dan tugas yang meningkat. Kondisi tersebut merupakan
norma dasar utilitarianisme, liberalism sosial, kolektivisme, saling membantu dan kemudian
manajemen ilmiah dan teori organisasi hubungan manusia. (O’Flynn dan John, 2008:) Ansell dan
Gash menjelaskan collaborative governance adalah suatu pengaturan pemerintahan dimana satu
atau lebih lembaga publik secara langsung melibatkan para pemangku kepentingan non-pemerintah
dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi pada konsensus,
deliberatif yang bertujuan untuk membuat dan menerapkan kebijakan publik serta mengelola
program ataupun aset publik. (Afful-Koomson dan Kwabena, 2013:13) Donahue dan Zeckhauser
mengartikan “collaborative governance can be thought of a form of agency.
a. Isi Kebijakan (Content of policy)
 Kepentingan Kelompok Sasaran

Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan
banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh
terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut. Hasil penelitian
menunjukan bahwa tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 3
tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah adalah agar tercapai kesejahteraan masyarakat dengan
mengelola sampah sehingga terciptanya lingkungan sehat dan bersih di sekitar masyarakat.

Hal tersebut telah disesuaikan dengan penjelasan dari Peraturan Daerah Nomor 3 tahun
2016 tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu, Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2016
tentang Pengelolaan Sampah juga menjelaskan hal yang sama bahwa: “Pengelolaan sampah
bertujuan untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih dari sampah serta menjadikan
sampah sebagai sumber daya”. Pencapaian tujuam tersebut merupakan tugas dari Pemerintah
Daerah seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2016
tentang Pengelolaan Sampah bahwa “pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya
pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 3”.

Penelitian juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat terhadap implempelaksanaan


kebijakan Peraturan Daerah Tahun 2016 tentang pengelolaan sampah sangat mendukung.
Kegiatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah seperti pemilahan sampah organik
dan anorganik serta kegiatan pemulungan yang dilakukan beberapa masyarakat dapat membantu
petugas pengelola sampah. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah sebenarnya sudah
disinggung dalam Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah
yang menyatakan bahwa “setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang
berwawasan lingkungan”. Selain itu, pengaruh diterapkannya kebijakan pengelolaan sampah
hanya dirasakan pada masyarakat yang ditunjuk sebagai petugas TPA Randu Kuning Tegalsari
Kabupaten Batang serta masyarakat yang bekerja di TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten
Batang sebagai pemilah sampah karena adanya kebijakan tersebut masyarakat dapat
menghasilkan penghasilan dari kegiatan pemilahan sampah namun untuk masyarakat biasa tidak
ada pengaruh apapun pada kebijakan tersebut, karena masyarakat berperan sebanya 30% dalam
pengelolaan sampah di Kabupaten Batang sendiri dan sisanya yaitu 70% merupakan tugas dinas
dan pengelola terkait.

 Tipe manfaat

Indikator ini berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu
kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang
dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Hasil penelitian
menemukan bahwa manfaat yang didapatkan oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah
atas diterapkannya kebijakan pengelolaan sampah di TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten
Batang adalah TPA dapat dijadikan penampungan akhir sampah di Kabupaten Batang selain itu
pemerintah daerah dapat memperdayakan masyarakat di sekitara TPA Randu Kuning dalam
kegiatan yang positif seperti memilah sampah. Selain itu, manfaat yang didapatkan masyarakat
di sekitar TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang dalam penerapan kebijakan
Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2016 tentang pengelolaan sampah adalah masyarakat sekitar
dapat menambah penghasilan dengan memulung dan memilah sampah yang dapat diolah
kembali serta beberapa masyarakat ditunjuk sebagai petugas TPA sehingga dapat mengurangi
angka pengangguran, namun hal tersebut belum membantu pengurangan sampah yang ada di
TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang.

 Derajat Perubahan yang Ingin Dicapai

Setiap kebijakan memiliki target yang hendak dan ingin dicapai. Isi kebijakan yang ingin
dijelaskan pada indikator ini adalah bahwa sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan haruslah memiliki skala yang jelas. Hasil penelitian menemukan bahwa sebelum
adanya kebijakan Perda Nomor 3 tahun 2016 tentang pengelolaan sampah masyarakat masih
apatis dan tidak ingin mengetahui tentang kegiatan yang ada di TPA Randu Kuning namun
setelah adanya kebijakan pengelolaan sampah masyarakat ingin ikut serta dalam kegiatan yang
ada di TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang untuk menambah penghasilan. Namun,
jika dilihat dari jumlah sampah yang terkumpul di TPA Randu Kuning sebelum dan sesudah
adanya kebijakan pengelolaan sampah masih sama saja sampah masih menggunung dan terus
meningkat. Selain itu, dilihat dari angka kebersihan dan kesehatan masyarakat di sekitar TPA
Randu Kuning setelah penerapan kebijakan perda nomor 3 tahun 2016 tentang pengelolaan
sampah dapat dikatakan sedikit meningkat karena masyarakat sudah mampu memilah
sampahnya sendiri namun hal tersebut tidak dapat mengurangi tumpukan sampah yang ada di
Randu Kuning.

 Letak pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam


pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan
keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan. Dalam penerapan kebijakan
pengelolaan sampah di TPA Randu Kuning Kabupaten Batang target yang dituju adalah
masyarakat dalam hal ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membuang
sampah sehingga jumlah sampah yang dibuang masyarakat yang terkumpul di TPA Randu
Kuning tidak terlalu menumpuk.

Berdasarkan pasal 9, 41, 42, dan 43 Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2016 tentang
pengelolaan sampah tersebut dan hasil penelitian yang telah ditemukan maka dalam pelaksanaan
kebijakan dalam pengelolaan sampah pemerintah Kabupaten Batang belum menerapkan
peningkatan peran masyarakat melalui sosialisasi seperti yang telah dijelaskan dalam Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah. Pengelolaan sampah sendiri di TPA
Randu Kuning Kabupaten Batang dilakukan dengan prosedur berupa program bank sampah
yang teroganisir dan terstrukur yang dilakukan dengan setelah adanya sampah datang petugas
akan memilah antara sampah organic dan anorganik selanjutnya bagian administrasi akan
mencatat jumlah masing-masing sampah tersebut dan terkahir bagian marketing akan mencari
pembeli yang mebutuhkan sampah tersebut.

 Pelaksana Kebijakan

Hasil penelitian menemukan bahwa Dinas sebagai implementator kebijakan pengelolaan


sampah yaitu Dinas Lingkungan Hidup serta Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pemrosesan
Akhir Sampah dan Limbah sudah menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan peraturan
yang ada serta mengkomunikasikannya dengan pihak TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten
Batang. Pengawasan yang dilakukan dari pihak pelaksana/implementator dilakukan dengan
mengawasi volume sampah di TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang mengalami
penurunan atau peningkatan jika dari tiap bulannya volume sampah terus meningkat maka pihak
implementator akan segera mencari solusinya. Selain itu, terdapat sanksi bagi pelanggar dalam
pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Batang seperti sanksi administrasi
berupa peringatan lisan dan jika sampah tersebut hasil dari industri usaha maka ijin usaha
tersebut dapat dicabut, yang akan diberikan pada pelanggar peraturan.

 Sumber-Sumber Daya yang Digunakan

Tersediannya seumber daya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan


dalam sendirinya akan mempermudah pelaksanaanya. Sumber daya ini berupa tenaga kerja,
keahlian, dana, sarana dan lain sebagainnya. Suatu kebijakan membutuhkan sumberdaya yang
baik, baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Sumber daya manusia yang
berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan
(Parson, 2011: 548). Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
terhadap terlaksana dan keberhasilan suatu kebijaka, adapun komponen sumberdaya manusia
yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan dapat berwujud antara lain staff, keahlian serta
kualifikasi yang tepat.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menemukan bawha sumber daya manusia atau
staff baik di TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang ataupun dinas terkait sudah cukup
baik namun dalam sarana dan prasarana serta fasilitas di TPA Randu Kuning Tegalsari
Kabupaten Batang masih kurang seperti ketersediaan alat berat dan lain-lainnya. Berdasarkan
kualitas sumber daya manusia di TPA Randu Kuning sudah baik namun masih terkendala jika
ada beberapa sarana prasarana yang rusak seperti alat berat dan truck pengangkut.

b. Lingkungan Kebijakan (Context of Policy)


 Kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat

Hasil penelitian yang dilakukan menemumakan bahwa kekuasaan aktor yang terlibat
dalam pelaksanaan pengelolaan sampah belum dijalankan dengan baik karena masyarakat
belum bisa mengikuti kebijakan tersebut dikarenakan belum adanya sosialisasi langsung dari
Dinas terkait, hal tersebut tentu menjadi faktor penghambat bagi pelaksanaan kebijakan Perda
Nomor 3 tahun 2016 terkait pengelolaan sampah di Kabupaten Batang. Dorongan dari dinas
terkait kepada masyarakat sangatlah penting namun kesadaran masyarakat juga lebih penting
karena jika pihak dinas sudah memberikan dorongan untuk membuang sampah pada tempatnya
dan memisahkan antara sampah organik dan anorganik namun kesadaran masyarakat yang
kurang maka peraturan tersebut juga tidak dapat telaksana dengan baik. Volume sampah di TPA
Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang yang merupakan satu-satunya TPA di Kabupaten
Batang terus meningkat sehingga Dinas Lingkungan Hidup akan mengupayakan untuk
membuat sub-sub TPA di Kabupaten Batang agar sampah tidak terlalu menumpuk di TPA
Randu Kuning Tegalsari.

 Karakteristik lembaga dan penguasa

Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakanjuga berpengaruh terhadap


keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang
akan turut mempengaruhi suatu kebijakan. Dalam penelitian yang telah dilakukan dan telah
diuraikan di bab sebelumnya ditemukan terdapat hambatan internal dari para pelaksana yaitu
kurangnya sarana dan prasarana di TPA Randu Kuning Tegalsari seperti alat berat, selain itu
beberapa petugas atau staff dari Dinas terkait belum menemukan solusi yang dapat dilaksanakan
untuk mengurangi volume sampah di TPA Randu Kuning Tegalsari. Sedangkan, hambatan
eksternalnya adalah kesadaran masyarakat yang kurang dalam membuang sampah atau
penggunaan sampah dan pemilihan sampah yang membuat volume sampah semakin meningkat
serta marketing TPA Randu Kuning Tegalsari kesulitan mencari pembeli sampah sehingga
sampah terus menumpuk dalam TPA. Sehingga dalam hal ini, Dinas Lingkungan Hidup dan
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pemrosesan Akhir Sampah dan Limbah
bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah dan limbah di Kabupaten Batang khusunya TPA
Randu Kuning Tegalsari serta mencari solusi untuk mengatasi masalah yang ada. Namun,
pengelola sampah TPA Randu Kuning Tegalsari hanya bertanggungjawab dalam pengelolaan
sampah dan mencari pembeli untuk mengangkut beberapa sampah yang ada.

 Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana


Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah
kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini
adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu
kebijakan. Penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa Dinas Lingkungan
Hidup Kabupaten Batang dalam menyikapi masyarakat yang melanggar Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2016 tentang pengelolaan secara tegas akan memberikan sanksi
administrasi berupa peringatasn tertulis dan pemilik usaha yang merusak pencemaran
lingkungan dengan sampahnya akan dicabut ijin usahanya. Namun, pertingatan tertulis
bagi warga sekitar tidak diperdulikan oleh masyarakat sehingga masyarakat terus
mengulangi perbuatan tersebut hal tersebut dikarekan kurangnya pengawasan dari
ketua RT/RW terkait dalam suatu wilayah. Dalam mengatasi keluhan yang datang
masyarakat sekitar TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang akan di sampaikan
oleh pengelola TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang ke Dinas Lingkungan
Hidup Kabupaten Batang untuk segera dicarikan solusi dan ditindak lanjuti.

Kendala Implementasi Kebijakan Perda Nomor 3 Tahun 2016 Terkait dengan


Pengelolaan Sampah di TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang Kendala
dalam implementasi kebijakan Perda Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan
Sampah di TPA Randu Kuning Tegalsari Kabupaten Batang antara lain:

a) Kurangnya sosialisasi yang dilakukan lembaga atau Dinas terkait

Hasil penelitian menemukan bahwa belum adanya sosialisasi dari lembaga atau
dinas terkait menyebabkan tujuan dan manfaat yang telah dijelaskan dalam Perda
Nomor 3 tahun 2016 tentang pengelolaan sampah belum terlaksana dengan baik
sehingga diharapkan pemerintah daerah segera melakukan sosialisasi dalam
pengelolaan sampah yang sesuai dengan Perda tersebut agar derajat perubahan dapat
segera dirasakan oleh masyarakat. Hal tersebut jelas bertentang dengan pernyataan
dalam Pasal 6 dan Pasal 43 Perda Nomor 3 tahun 2016 tentang pengelolaan sampah
yeng menjelaskan bahwa pemerinta daerah wajib memberikan dorongan masyarakat
dengan salah satu bentuk pelaksanaanya seperti sosialisasi kepada masyarakat.

b) Kurangnya sarana dan prasarana

Hasil penelitian menyatakan bahwa sarana dan prasarana merupakan


perlengkapan yang penting dalam menunjang pelaksanaan kebijakan. Jika sarana dan
prasarana mudah rusak atau kurang maka implementasi kebijakan tidak dapat berjalan
lancer dan akan tersendat. Padahal hal tersebut merupakan tugas pemerintah yang telah
dijelaskan dalam Pasal 6 huruf d Perda Nomor 3 tahun 2016 tentang pengelolaan
sampah menjelaskan bahwa tugas pemerintah daerah salah satunya adalah melaksanaan
pengelolaan sampah dan menfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan
sampah.

c) Staff belum mampu mencari solusi dalam mengurangi sampah di TPA

Hasil penelitian menyatakan petugas masih belum mempunyai solusi dalam


menanggulangi sampah yang sudah menumpuk dalam TPA Randukuning Tegalsari
Kabupaten Batang sehingga menyebabkan volume sampah semakin meninggat dan
diharapak petugas dapat mengikut seminar-seminar terkait pengelolaan sampah yang
baik sebagai sumber referensi dalam pengelolaan sampah di TPA Randukung Tegalsari
Kabupaten Batang.

d) Kurangnya kesadaran masyarakat

Hasil penelitian menemukan jika kurangnya kesadaran masyarakat dalam


pengelolaan sampah diakibatkan karena perilaku masyarakat sejak dulu, peraturan yang
kurang tegas, serta belum adanya sosialisasi masyarakat sehingga masyarakat tetap
berperilaku seperti membuang sampah sembarangan belum bias memisahkan sampah-
sampah yang sesuai dengan Perda Nomor 3 tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah.

e) Petugas TPA kesulitan mencari pembeli sampah

Petugas TPA masih kesulitan mencari pembeli sampah yang bisa didaur ulang
menyebabkan sampah terus meningkat dan pelaksanaan pengelolaan sampah menjadi
terhambat dan tidak dapat terlaksanaa dengan baik sehingga manfaat dan tujuan tidak
dapat dicapai.

f) Kurang tegasnya sanksi bagi pelanggar kebijakan perda

Hasil penelitian menyatakan jika pemerintah daerah perlu mempertegas sanksi


bagi para pelanggar pengelolaan sampah agar masyarakat memeatuhi peraturan
tersebut sehingga tujuan dan manfaat dari kebijakan Perda No 3 tahun 2016 tentang
pengelolaan sampah tercapai. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 51 Perda Nomor 3
tahun 2016 tentang pengelolaan sampah bahwa bagi pelanggar pengelolaan sampah
maka akan diberi peringatan lisan, selanjutnya tulisan dan jika sampah itu merupakan

26
limbah atau sampah usaha maka usaha tersebut akan dicabut ijinnya. Sanksi tersebut
membuat masyarakat masih dapat melanggarnya.

27
BAB V

PENUTUP
5.1.Kesimpulan
Kualitas pelayanan DLH Kabupaten Batang dalam pengelolaan sampah mengacu pada
5 (lima) dimensi yaitu dimensi tangibles, dimensi reliability, dimensi responsiveness, dimensi
assurance dan dimensi emphaty.. Sejauh ini berdasarkan penelitian tentang kualitas pelayanan
pengelolaan sampah di Kabupaten Batang belum berjalan dengan baik. Terdapat dimensi yang
sudah dinilai cukup baik yaitu assurance dan empaty. Namun, masih terdapat dimensi kualitas
pelayanan yang perlu diperhatikan dan diperbaiki yaitu tangibles, reability dan responsiveness.
Dimensi Tangibles dalam pelayanan pengelolaan sampah oleh DLH Kabupaten Batang
merupakan dimensi yang masih belum baik. Hal ini disebabkan karena sarana prasarana yang
kurang memadai, tidak layak untuk dipakai dan tidak terawat sehingga menjadikan
penghambat untuk melakukan pengangkutan sampah ke tempat pemrosesan akhir. Dimensi
Reliability juga menjadi salah satu dimensi yang belum berjalan dengan baik. Hal ini dapat
dilihat dari ketidakmampuan petugas dalam memberikan pelayanan pengangkutan sampah
sesuai kebutuhan dan keinginan masyarakat agar tidak terjadi timbunan sampah. Dimensi
Responsiveness ini juga belum baik. Keinginan masyarakat akan pengelolaan sampah yang
baik guna menghindari timbunan sampah belum mampu dipenuhi.
Dimensi Assurance sudah bisa dikatakan baik, karena dalam memberikan pelayanan,
petugas bersikap ramah dan sopan santun, baik dalam pengangkutan sampah maupun
sosialisasi himbauan. Dimensi Emphaty juga sudah bisa dikatakan baik. Hal ini dapat dilihat
dari adanya pelayanan rasa sabar petugas dalam menghadapi keluhan masyarakat dan sikap
tegas saat terdapat masyarakat yang melanggar.
Kerja sama yang dijalin oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batang sebagai
upaya pengelolaan sampah ini menurut kelompok kami yang terbaik dengan menggunakan
atau menerapkan model organisasi post-bureaucratic. Salah satu bukti nyata ialah dengan
adanya bobot tanggung jawab yang sama setiap pihak yang ikut terlibat untuk keberhasilan
program upaya pengelolaan sampah di Kabupaten Batang. Artinya, setiap pihak yang terlibat
memiliki porsi yang sama dalam mencapai keberhasilan program tanpa adanya pemisahan yang
kaku berdasarkan fungsi masing-masing pihak. Adapun kelemahan dari model post-
bureaucratic ialah meskipun memiliki hierarki dan otoritas untuk membuat aturan, akan tetapi
aturan yang dimiliki cenderung tidak jelas dan tegas. Hal ini tentu dapat memicu hilangnya
kejelasan mengenai arah dan tujuan dari para pihak yang terlibat. Namun, model organisasi
28
post-bureaucratic ini pun memiliki kelebihan bahwa besar kemungkinan tujuan akan segera
tercapai karena setiap anggota memiliki tanggung jawab yang sama dalam mencapai tujuan
sehingga meminimalisir terjadinya saling ketergantungan.

29
DAFTAR PUSTAKA
[Jurnal]

Arifin, Jafar. 2017. Ardyatmoko, Luluk. 2014. Program Bank Sampah Di Kecamatan Batang

Sebagai Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 3 Tahun 2016

Tentang Pengelolaan Sampah. Skripsi. Serang: Fisip Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa Serang. Skripsi. Semarang : FISIP Universitas Semarang.

Danna, Duta Darisma dan Kismartini.2021. Analisis Kualitas Pelayanan Dinas Lingkungan

Hidup Dalam Pengelolaan Sampah di Kabupaten Batang. Kolaborasi : Jurnal

Administrasi Publik, Desember 2021, Volume 7, Nomor 3 (e-ISSN: 2620-3499|p

ISSN:2442-949X)

Darmasaputra, Aditya Bryan dan Dyah Hariani. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Sampah Di Kabupaten Batang. Semarang : FISIP

Universitas Diponegoro

[Media Elektronik]

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&
ved=2ahUKEwjrkumo0PD3AhVIS2wGHeoaBzMQFnoECAYQAQ&url=http%3A%2F%2Fj
hp.ui.ac.id%2Findex.php%2Fhome%2Farticle%2Fdownload%2F812%2Fpdf&usg=AOvVaw
1LXM6FNR2LXoU1VFaIptxb

http://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:TLpIKLAa-
CIJ:scholar.google.com/+permasalahan+sampah+di+surabaya&hl=id&as_sdt=0,5#

30

Anda mungkin juga menyukai