Kelompok 12 - IKT D - Acara 4 Parasit
Kelompok 12 - IKT D - Acara 4 Parasit
OLEH:
NAMA :
NIM :
ASISTEN :
KELOMPOK :
Untuk mendapatkan spesimen feses/tinja yang benar, penting untuk memberikan penjelasan pada pasien
tentang cara pengambilan tinja, yaitu:
1. Feses tidak boleh tercampur dengan air kloset (karena dapat mengandung organisme bentuk bebas yang
menyerupai parasit manusia) atau urin (karena urin dapat menghancurkan organisme organisme yang
bergerak).
2. Bila memungkinkan, dianjurkan pada pasien agar pada saat buang air besar, feses langsung ditampung
dalam wadah. Bila tidak, feses ditampung di alas plastik, lalu diambil sebanyak 5 gram atau satu sendok
teh dari tinja yang berlendir atau berdarah dan masukkan ke dalam wadah. Untuk menjaga agar contoh
feses tidak cepat mengering.
3. Penampung /sediaan wadah harus bersih, kering, seyogyanya bermulut lebar dan tertutup (agar tidak
mudah tumpah). Untuk setiap pemeriksaan. bisa diberikan pada pasien salah satu dari penampung
berikut: 1. Kardus yang berlapis lilin; 2. Kaleng yang bertutup; 3. Penampung dari bahan plastik yang
ringan dan 4. Botol gelas yang khusus dibuat untuk penampugan Spesimen feses. yang dileng kapi
sendok yang melekat pada tutupnya.
4. Beri label pada wadah, feses dikirim bersama formulir permintaan pemeriksaan.
Spesimen feses setelah dikumpulkan harus diperiksa sesegera mungkin (dalam waktu 15 menit.
maksimum 1 jam setelah pengumpulan). Bila menerima beberapa contoh feses pada waktu bersamaan.
dahulukan pemeriksaan feses cair atau feses yang mengandung darah atau berlendir (bisa jadi mengandung
amuba yang motil yang cepat mengalami kematian. Spesimen yang paling baik adalah feses segar. dan
spesumen feses sehendaknya disimpan dalam lingkungan yang hangat karena dalam lingkungan dingin
gerak amuboidnya berkurang.
Spesimen dengan pengawet. Bila tinja tidak dapat segera diperiksa, spesimen sebaiknya diberi pengawet.
dengan tujuan mengawetkan morfologi protozoa dan mencegah berkembangnya telur atau larva. Beberapa
larutan pengawet yang umum digunakan adalah :
Tabel 2. Jenis Pengawetan, Kelebihan dan kekuranganya
tidak direkomendasikan
untuk concentration
procedures, poor adhesive
Schaudinn
qualities pada spesimen
Digunakan untuk spesimen tinja sangat bagus untuk
cair dan mukoid, pewarna
4 segar atau sampel dari permukaan pengamatan trofozoid dan
pada sediaan permanen
mukosa usus dibuat sediaan cist pada protozoa
yang lain pada digunakan
hapusan permanen.
seperti trichrome dan iron
hematoxylin, mengandung
merkuri.
Pemeriksaan mikroskopis tinja dapat dilakukan dengan beberapa macam pemeriksaan melalui tiga cara
yaitu:
Cara Pengenceran
Cara ini dipakai untuk menghitung jumlah telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja. Ada
kegunaan peghitungan jumlah telur cacing, yaitu menetukan beratnya infeksi dan mengevaluai hasil
pengobatan.
1.1 Pewarnaan langsung (Direct wet mount)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi yang berat, tetapi
untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya.
1) Alat dan bahan
Kaca objek
Gelas penutup 20 mm x 20 mm
Lidi
Pensil untuk label
Larutan Nacl 0.9% (garam faali)
Lafutan lugol iodine
Mikroskop
2) Prosedur pemeriksaan
1. Teteskan 1 tetes larutan garam faali dibagian tengah dari separo bagian kiri kaca objek; dan 1
tetes Iarutan lugol iodin dibagian tengah separuh yang kanan.
2. Ambil sedikit spesimen tinja menggunakan lidi.
Bila tinja berbentuk padat, ambil dari bagian dalam dan bagian permukaan.
Bila tinja berbentuk cair, ambil dari bagian permukaan cairan atau permukaan
berlendir
3. Campur spesimen tinja dengan larutan garam faali pada kaca objek sebelah kiri
4. Ambil spesimen dan campur dengan larutan iodin pada kaca objek sebelah kanan.
5. Tutup masaing-masing spesimen dan kaca penutup (sedapat mungkin hindari timbulnya
gelembung udara) (Gambar 21.).
6. Periksa sediaan di bawah mikroskop
Untuk sediaan dengan larutan garam faali gunakan lensa objek 10x dan 40x,
dimulai dari sebelah pojok kiri atas.
Untuk sediaan dengan larutan iodine, gunakan lensa objek 40x.
Pada pemeriksaan telur yang tidak berwarna, untuk meningkatkan kontras dapat
dilakukan dengan pengurangan jumlah sinar dengan mengatur celah kondensor
atau menendahkan letak kondensor.
7. Untuk meyakinkan tidak ada lapang pandang yang terlewati, letakkan kaca objek pada tepi
lapangan pandang dan gerakkan kaca objek melintasi microscope meja objek, periksa kaca
objek sampai tepi andangan yang lain.
Gambar Pewarnaan langsung (Direct wet mount) (Padoli, 2016)
Sebagai pengganti kaca tutup pada teknik pewarnaan langsung, digunakan sepotong selofan. Dengan
teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini
dianjurkan juga untuk pemeriksaan tinja secara massal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur
cacing cukup jelas untuk membuat diagnosis
1) Alat dan bahan
1. Kaca objek
2. Kertas selofan ukuran 26 x 28 mm
3. Larutan untuk membuat selophane terdiri atas (100 ml gliserin, 100 ml air. 1m| larutan
malakit dalam air 3%)
4. Rendam selofan dalam larutan tersebut di atas sebeIum dipakai selama > 24jam
5. Spesimen tinja
2) Prosedur Pemeriksaaan
1. letakkan spesimen tinja 20 -50 mg (sebesar kacang tanah) di atas kaca objek . Tutup tinja
dengan kertas selofan.
2. Tekan sediaan diantara kertas selofan dan kaca objek dengan tutup botoi kanet supayé tinja
menjadi rata sampai menyebar di bawah selofan. Keringkan Iarutan yang berlebihan dengan
kertas saring
3. Diamkan selama ½- 1 jam pada suhu kamar dan periksa sediaan di bawah mikroskop
dengan cahaya terang (Gambar 22)
Gambar 22. Teknik sediaan tebal (metoda Kato) (Padoli, 2016)
Prinsip : tinja dicampur dengan larutan jenuh sodium klorida (Iamrutan jenuh garam dapur) dengan
berat jenis 1200 gram/cc sehingga telur yang Iebih ringan dari pada BJ larutan akan terapung di permukaan
sehingga mudah dikumpulkan dan kemudian diambil sebagai bahan pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya
berhasil untuk telur-telur Nematode, Schistosoma, Dibothriocephalus. telur yang berpod-pori dari famili
Tainidae, telur-telur Acanthocephala ataupun telur Ascaris yang infertil dan temmma dipakai untuk
pemeriksaan feces yang mengandung sedikit telur. Kerugiannya mengakibatkan larva dari Schistosoma sp,
Strongyodes sp, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan kista protozoa menjadi sangat menciut.
Sebaliknya. telur Opisthorchis sp dan Clonorchis sinensis berat jenisnya lebih besar dari 1200 gram/cc
sehingga mengendap.
Alat dan bahan
1. Botol volume 10 ml
2. Lidi
3. Kaca pentutup
4. Etanol
5. Eter
6. Cawan petri
7. Larutan jenuh garam dapur (larutan Willis).
campurkan 125 gram sodium klorida dengan 500 ml akuades. Panaskan campuran sampai titik didih dan
biarkan dingin. Bila semua garam telah larut, tambahkan 50 gram tagi. Saring dan simpan dalam botol yang
tertutup. Prosedur
1. Siapkan kaca penutup bersih bebas dari lemak. Buat campuran 10 ml etanol 95% dan 10 ml eter
2. Tuangkan campuran tadi ke dalam cawan petri. dan masukkan ke dalamnya 30 kaca penutup satu
persatu, kocok dan biarkan selama 10 menit. Keluarkan kaca penutup satu persatu dan ketingkan
dengan kain kasa dan simpan pada cawan petri yang kering.
3. Ambil spesimen tinja sebanyak ± 2 ml dan masukkan ke dalam botol. Tuangkan Iarutan jenuh garam
dapur ke dalam boto sampai ¼ volume botol.
4. Dengan Iidi atau pengaduk. hancurkan tinja dan campur dengan rata. bila terdapat serat-serat selulosa
disaring terlebih dahulu dengan penyaring teh.
1. Didiamkan selama 5-10 menit, kemudian dengan ose diambil larutan permukaan dan ditaruh di atas
kaca objek. Kemudian ditutup dengan gelas penutup/cover glass. Periksa di bawah mikroskop.
(Gambar 23)
2. Tuangkan lagi larutan jenuh garam dapur sampai batas permukaan botol/tabung, letakkan atau
tutupkan kaca objek. sehingga menutupi botol. Pastikan bahwa kaca penutup kontak dengan cairan
dan tidak ada gelembung udara, biarkan selama 10 menit. Angkat kaca penutup. setetes cairan akan
menempel. Tempatkan kaca penutup di atas kaca objektif dan segera periksa di bawah mikroskop
(menghindari sediaan cepat kering).
Telur Enterobius vermikularis biasanya dikumpulkan pada cekungan kulit disekitar anus, dan jarang
ditemukan pada tinja. Pemeriksaan dilakukan pada pagi hari sebelum anak kontak dengan air. anak yang
diperiksa berumur 1-10 tahun.
1) Alat dan bahan
1. Mikroskop
2. Kaca objek
3. lidi kapas
4. Tabung reaksi
5. Pipet PBSteur
2) Prosedur Pemeriksaan
1. Usapkan lidi kapas pada daerah sekitar anus. Celupkan lidi kapas ke dalam tabung yang
berisi 5 ml Iarutan sodium klorida.
2. Cuci kapas lidi dalam lamtan di tabung . isap larutan dengan pipet pasteur dan pindahkan ke
kaca penutup dan tutup kaca penutup
3. Periksa sediaan di bawah mikroskop dengan memakai lensa objektif 10 x dan dengan
mengurangi celah kondensor.
Contoh gambar telur parasit cacing dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.
Gambar 24. Rekapitulasi telur Nematoda dan Cestoda usus (Melvin, Brooke, dan Sadun,
1959 cit Cuomo, Noel dan White, 2009)
Telur Cacing yang ditemukan dalam spesimen feses (Taylor et al., 2016)
LOGBOOK PRAKTIKUM
ACARA IV
PETUNJUK PRAKTIKUM
MATERI PRAKTIKUM KE 4 : PEMERIKSAAN PARASIT
Ambil 2 g feses, masukkan ke dalam mortar, tambahkan sedikit air, aduk sampai rata
Tuangkan ke dalam tabung sentrifuse hingga ¾ bagian tabung
Putar sentrifuse selama 5 menit
Tuangkan cairan jernih bagian atas , tambahkan NaCl jenuh atau Gula jenuh sampai ¾ bagian
tabung, aduk sampai homogeny
Putar sentrufuse selama 5 menit
Letakkan tabung dalam posisi tegak lurus
Teteskan NaCl jenuh atau Gula jenuh perlahan lahan sampai penuh (permukaan air menjadi
cembung), biarkan selama 2-3 menit
Tempelkan obyek glass pada permukaan NaCl yang cembung tersebut dengan hati hati, dan
langsung dibalik
Tutup bagian yang terdapat NaCl tersebut dengan kaca penutup
Amati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10X10
A.2. HASIL PEMERIKSAAN SAMPEL
Pada pemeriksaan feses secara natif pada sampel kambing FPP ditemukan adanya telur cacing
Trichostrongylus sp. Telur cacing Trichostrongylus sp. merupakan parasit yang berasal dari golongan
nematoda dengan ciri-ciri berbentuk lonjong dengan salah satu ujung lancip,berdinding tipis dan terdapat
morula yang sedang berkembang dan biasanya berukuran panjang 90 mikron dan lebar 40 mikron. Hal ini
sesuai dengan pendapat Supriyadi et al. (2020) telur Trichostrongylus sp. memiliki ciri-ciri berbentuk
lonjong pada salah satu ujungnya, berdinding tipis, memiliki ruang udara yang banyak. Cacing ini banyak
ditemukan pada ternak ruminansia terutama pada usus halus. Hal ini sesuai dengan pendapat Ilmi et al.
(2020) bahwa cacing Trichorostrongylus hidup di usus halus pada ternak ruminansia.
Trichostrongylus sp. memiliki siklus hidup yaitu telur yang dikeluarkan bersama feses hospes sudah
bersegmen dan akan menetas menjadi larva rhabditiform dalam waktu 24 jam. Larva rhabditiform akan
berubah menjadi larva pseudofilariform dalam waktu 3- 4 hari pada kondisi suhu yang panas, dan pada
tempat teduh dan berumput atau tanaman yang menutupi tanah. Infeksi terjadi jika hospes menelan larva
pseudofilariform dari rumput atau sayuran yang telah terkontaminasi. Kemudian larva tersebut akan masuk
ke dinding usus, lalu ke rongga usus, untuk menjadi dewasa dalam waktu 21 hari. Parasit ini tidak
bermigrasi dalam aliran darah, namun bersiklus ke paru-paru. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Noviana
(2017) telur yang berada di feses akan menetas menjadi larva kemudian jika terkontaminasi ruminansia akan
masuk ke dalam usus halus dan berkembang hingga menjadi cacing dewasa. Penyakit yang disebabkan oleh
parasit ini disebut Trichostrongyliasis dan menyebabkan hospes mengalami nafsu makan yang berkurang
dan berat badan turun. Hal ini sesuai dengan pendapat Jupri et al. (2021) Gejala klinis dari hewan terinfeksi
cacing Trichostrongylus sp adalah terjadi penurunan nafsu makan, anemia ,berat badan menurun, diare,
pembengkakan dan perdarahan mukosa, bahkan sampai kematian.
Toxocara vitulorum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina dewasa bertelur di usus dari host
dan akan terbawa keluar bersama feses. Menurut pendapat Duri (2015) Telur Toxocara vitulorum mampu
bertahan hidup di alam selama 5 tahun. Di tempat yang lembab dan hangat telur mengalami embrionase
sehingga terbentuk larva stadium kesatu, kedua, dan ketiga. Stadium terakhir tersebut yang dicapai dalam
beberapa minggu bersifat infektif dan dapat menyebabkan hospes lain tertular. Ariawan et al. (2018)
Melanjutkan, Toxocara vitulorum hanya akan menyelesaikan siklus hidupnya apabila termakan oleh induk
betina dan akan menginfeksi anak/keturunannya melalui plasenta atau secara transmamary. Ritonga (2018)
Melanjutkan, Ternak akan terinfeksi setelah menelan embryonated eggs. Larva akan keluar dari telur
didalam lambung, dan akan penetrasi ke dalam dinding lambung dan migrasi ke dalam pembuluh darah dan
menuju ke liver, paru, tracea, mulut, esophagus, dan kembali ke usus halus, dimana usus halus adalah tempat
berkembang biak dan produksi telur. Ketika larva bermigrasi ke jaringan lain, berupa kelenjar mamae dan
plasenta, cacing ini akan berpindah ke anak sapi atau ke fetus. Auliyah (2016) Melanjutkan, Anak sapi yang
terinfeksi larva T. vitulorum, larvanya tidak akan bermigrasi lagi tetapi akan tinggal di usus halus sampai
berkembang menjadi cacing dewasa dan kemungkinan telur T. vitulorum akan ditemukan dalam feses anak
sapi pada hari ke 18-21 setelah infeksi. Telur ini infektif dan akan mencemari padang rumput. Kemudian
siklus hidupnya akan terjadi lagi apabila ternak terinfeksi setelah menelan telur.
Toxocara vitulorum merupakan cacing kelas nematoda dengan genus ascaris atau toxocara. Menurut
pendapat Indriani (2013) Toxocara vitulorum memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan dan selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan pada proses digesti.
Cacing dapat mengancam penyediaan bibit sapi yang berproduktivitas tinggi. Menurut pendapat Winarso et
al. (2015) T. vitulorum menginfeksi ternak sapi bahkan saat masih muda (2-4 minggu). Pola transmisi Toxo-
cara memungkinkan infeksi pedet melalui susu induk. Infeksinya menyebabkan perlambatan pertumbuhan
akibat gangguan dalam proses penyerapan nutrisi. Dalam kasus infeksi berat dapat terjadi obstruksi usus
yang berakhir dengan kematian pedet. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan untuk menekan jumlah infeksi
parasit cacing pada saluran pencernaan hewan ternak sapi. Beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian
penyakit nematodosis secara umum menurut Sari. (2014) yaitu: (1) mengurangi sumber infeksi dengan
tindakan terapi; (2) pengawasan sanitasi air, makanan, keadaan tempat tinggal dan sampah; dan (3)
pemberantasan inang perantara dan vektor.
B.1. Extoparasit
Siklus hidup caplak baik caplak keras maupun caplak lunak terdiri dari empat fase perkembangan
yaitu: telur, larva berkaki enam, nimfa berkaki delapan dan kemudian dewasa. Seekor caplak betina mampu
bertelur 100 butir sehari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadi. (2011) yang menyatakan bahwa caplak
dewasa akan menghisap darah hingga kenyang setelah mati, yang mana nantinya caplak akan jatuh ketanah
dan bertelur, larva yang baru menetas merupakan akan segera mencari inangnya dengan bantuan
olfaktorius. Setelah sampai di inangnya larva tersebut akan menghisap darah hingga kenyang dan akan tetap
tinggal di inangnya atau jatuh ke tanah, lalu akan segera berganti kulit hingga menjadi nimfa setelah itu akan
menghisap darah lagi hingga kenyang dan jatuh ke tanah lagi dan berganti kulit menjadi caplak dewasa. Satu
kali siklus hidup caplak bisa mencapai 6 Minggu- 3 tahun, yang mana caplak dewasa dapat bertelur sekitar
100 - 18.000 telur/caplak.
B.1. Indoparasit
NO GAMBAR INDOPARASIT CIRI KHUSUS NAMA
INDOPARASIT
Berdasarkan praktikum merupakan jenis cacing Ascaris lumbricoides. cacing ini termasuk kedalam
filum nemathelminthes Cacing ini memiliki ciri-ciri memiliki tubuh berkutikula transparan dan memiliki
mulut, serta lubang ekskresi serta memiliki tubuh bulat memanjang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Nurhidayah et al. (2019) yang menyatakan bahwa cacing Ascaris lumbricoides.memiliki Memiliki kulit
yang licin, halus, tidak berwarna dan dilapisi oleh kutikula,Memiliki tubuh berbentuk bulat panjang seperti
benang dengan kedua ujung meruncing serta memiliki sistem pencernaan yang lengkap. cacing ini memiliki
panjang sekitar 13-40 Cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiarso et al. (2019) yang menyatakan bahwa
cacing nemathelminthes dapat memiliki panjang sekitar 13- 41cm bahkan dapat mencapai 1 m.
Siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides adalah Cacing dewasa menghasilkan telur-telur yang akan
matang di tanah, saat telur ini tertelan hewan ternak, lalu, larvanya akan melubangi dinding usus, bergerak
ke hati, jantung dan/atau paru-paru. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosdarni (2021) yang menyatakan
bahwa daur hidup cacing Ascaris lumbricoides dimulai dari telur cacing Cacing Trichostrongyloidea dewasa
mengeluarkan telur tipe Strongyloid. Setelah telur cacing dikeluarkan dari rektum sapi, maka telur akan
berkembang biak menjadi larva di lingkungan. Larka akan berkembang dari L1-L3. Apabila larva infektif
yang menempel di lingkungan (rumput) termakan oleh sapi, maka larva (L3) tersebut akan menetas di
saluran cerna sapi tsb. Kemudian larva tersebut akan berkembang biak di saluran cerna sapi, menjadi cacing
dewasa. cacing ini dapat menular organ pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tolistiawaty et al.
(2016) yang menyatakan bahwa cacing Ascaris lumbricoides atau biasa disebut dengan cacing gilig dapat
menyerang organ pencernaan bahwakn dapat menembus kulit. cara penularannya adalah sapi yang tidak
sengaja memakan rumput yang terkontaminasi telur cacing jenis Ascaris lumbricoides. Hal ini sesuai
dengan pendapat Farid et al. (2020) yang menyatakan bahwa Hewan dapat terinfestasi cacing karena tidak
sengaja menelan telur atau larva cacing dari lingkungan (pada tanah, pakan, ataupun air). Ataupun tertular
melalui air susu induk yang mengandung larva cacing. Organ target infestasi (organ predileksi) cacing pada
tubuh hewan beragam, antara lain : mata, hati, jantung, paru-paru, otot, otak, saluran cerna
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, K. Y., Apsari, I. A. P., dan Dwinata, I. M.2018. Prevalensi Infeksi Nematoda
Gastrointestinal pada Sapi Bali di Lahan Basah dan Kering di Kabupaten Badung. Indonesia
Medicus Veterinus.7(4):314-323.
Auliyah, R. 2016. Gambaran Histopatologi Hepar Ayam Pedaging Yang Diinfeksi L2 Toxocara
vitulorum (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
Duri, R. O. 2015. Deteksi Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Di Kabupaten
Enrekang (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin Makassar).
Farid, N., Syamsu, A. S. I., Aliah, A. I., dan Murdi, A. M.2020. Uji Efektivitas Anthelmintik
Formula Suspensi Biji Mentimun (Cucumissativus L.) Terhadap Cacing Gelang (Ascaris
Lumbricoides). J. Farmasi Galenika .6(1): 104-113.
Hadi, U. K. 2011. Bioekologi berbagai jenis serangga pengganggu pada hewan ternak di Indonesia
dan pengendaliannya. Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan. Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor: 10-11.
ILMI, A. S. B., TANTINI, E., & ISROLI, I. (2020). IDENTIFIKASI DAN HUBUNGAN ANTARA
TINGKAT INFEKSI CACING NEMATODA DAN TREMATODA PADA DOMBA
TERHADAP BOBOT BADAN, ERITROSIT DAN LEUKOSIT (Doctoral dissertation,
FACULTY OF ANIMAL AND AGRICULTURAL SCIENCES).
Indriani, M. (2013). PREVALensi Dan Faktor Risiko Infeksi Toxocara Vitulorum Pada Pedet Sapi
Potong Di Kabupaten Wonogiri (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Noviana, Y. (2017). Jenis-Jenis Endoparasit Pada Rusa Tutul (Axis axis, Erxleben 1777) di Taman
Margasatwa Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi, Sumatera Barat (Doctoral dissertation,
Universitas Andalas).
Nurhidayah, N., Satrija, F., Retnani, E. B., Astuti, D. A., & Murtini, S. 2019. Prevalensi dan Faktor
Risiko Infeksi Parasit Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah. J. Veteriner.20(4):572-582.
Ritonga, M. Z.2018. Identifikasi Telur Cacing Pada Sampel Feses Sapi Potong Pada KTT Kesuma
Maju Desa Jatikesuma Kecamatan Namorambe. JASA PADI.3(1): 1-7.
Rosdarni, R. 2021. Perbedaan Kejelasan Dan Kekontrasan Pada Pemeriksaan Telur Cacing Gelang
(Ascaris Lumbricoides) Antara Metode Kato-Katz Dan Metode Langsung (Direct Slide) Di
Desa Jati Bali Kecamatan Ranomeeto Barat Kabupaten Konawe Selatan. J.MediLab Mandala
Waluya, 5(1):100-110.
Sari, I. K.2014. Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Sapi Peranakan
Ongole (PO) dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Supriadi, S., Kutbi, M. K., & Nurmayani, S. 2020. Identifikasi Parasit Cacing Nematoda
Gastrointestinal Pada Sapi Bali (Bos Sondaicus) Di Desa Taman Ayu Kabupaten Lombok .J
Ilmiah Biologi. 8(1):58-66.
Tolistiawaty, I., Widjaja, J., Lobo, L. T., dan Isnawati, R. 2016. Parasit gastrointestinal pada hewan
ternak di tempat pemotongan hewan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. J.Litbang
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara. 2(2):71-78.
Widiarso, B. P., dan Mubarokah, W. W. 2019. Respon peternak terhadap pencegahan dan
pengobatan penyakit cacing Gastrointestinal pada kambing di Desa Klopo Kecamatan
Tegalrejo Kabupaten Magelang. J.l Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis .9(2):76-82.
Winarso, A., Satrija, F., dan Ridwan, Y. 2015. Faktor risiko dan prevalensi infeksi Toxocara
vitulorum pada sapi potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro.J. Ilmu Pertanian
Indonesia.20(2):85-90.