ARIO SUGANDA
22221015
ARIO SUGANDA
22221015
Telah Diperiksa, Disetujui Dan Dipertahankan Didepan Tim Penguji Studi Kasus.
Palembang,
Pembimbing I Pembimbing II
Disetujui
Ka.Prodi Ilmu Keperawatan
DEWAN PENGUJI
Penguji : ( )
Ditetapkan di : Palembang
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Studi kasus ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
NIM : 22221015
Tanda Tangan :
Tanggal :
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PENULIS
Nama : Ario Suganda
NIM : 21117018
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/ Tgl Lahir : Cempaka/29 Maret 2000
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Nama Orang Tua
Ayah : Adham
Ibu : Lena
No Telpon : 083177153257
Alamat Email : ariosugada2017@gmail.com
Alamat : Desa Cempaka Kecamatan Cempaka Kabupaten
OKU Timur
Dibuat di : Palembang
Pada
Yang Menyatakan
Materai 1000
(Ario Suganda)
NIM. 22221015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Studi kaus ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Ners di
Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi Muhammadiyah Palembang. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan studi kasus ini, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan studi kasus ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Heri Shatriadi CP, M.Kes selaku Rektor IKesT Muhammadiyah
Palembang.
2. Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Ibu Maya Fadlilah, S.Kep., Ns., M.Kep.
3. Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Bapak Yudi Abdul Majid, S.Kep.,
Ns., M.Kep.
4. Dosen pembimbing I Ibu Septi Ardianty, S.Kep., Ns., M.Kep
5. Dosen Pembimbing 11 Ibu Miranti Florensia, S.Kep., Ns., M.Kep
6. Dosen Program Studi dan IKesT Muhammadiyah Palembang yang
senantiasa memberikan ilmunya dalam proses belajar mengajar.
7. Orang tua ku tercinta ayah (Adham) dan ibu (lena) terimakasih telah
membesarkan dan mendidik saya serta selalu mendoakan dan mendukung
untuk terus maju menjadi orang yang sukses.
Akhir kata, saya berharap ALLAH SWT, berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Palembang,
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak dan berpindah
tempat. Aktivitas pergerakan normal sangat dibutuhkan dalam menunjang
aktivitas sehari-hari. Pergerakan yang dilakukan baik secara volunter
maupun involunter. Gangguan gerak pada manusia dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit, dimana salah satunya adalah stroke.Stroke merupakan
gangguan serebrovaskular utama dan penyebab kecacatan serius menetap
nomor satu di seluruh dunia. Meskipun upaya pencegahan telah membawa
penurunan dalam angka kejadian selama beberapa tahun terakhir, stroke
masih merupakan penyebab kematian utama setelah jantung dan kanker
(solihudin, 2016).
Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah infark
miokard dan kanker serta penyebab kecacatan nomor satu diseluruh dunia.
Dampak stroke tidak hanya dirasakan oleh penderita, namun juga oleh
keluarga dan masyarakat disekitarnya (Nur Wakhidah, 2015).
Stroke adalah suatu sindrom yang mempunyai serangan yang
mendadak, non konvulsif yang disebabkan karena gangguan suplai darah
ke bagaian dari otak. Sroke merupakan sindrom klinis timbulnya
mendadak, progresif cepat, serta berupa defisit neurologis local dan atau
global yang berlangsung 24 jam atau lebih. Selain itu,juga bias langsung
menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak non traumatic (Tyas,2017).
Menurut World Health Organization (2019) angka kejadian
kematian di Dunia yang disebabkan oleh Stroke termasuk tinggi,
pravelensi yang terjadi karena stroke setiap tahunnya mencapai 15 juta
jiwa, dari jumlah tersebut 5 juta jiwa meninggal dan 5 juta jiwa lainnya
menjadi cacat permanen, dan salah satu penyebabnya adalah tekanan darah
tinggi (Hipertensi) (WHO, 2019). Menurut Riskesdas tahun 2018, pada
tahun 2013 angka penderita stroke di Indonesia mencapai 7% permil dan
meningkat menjadi 10,9% permil di tahun 2018 (Riskesdas, 2018).
Berdasarkan hasil rekapitulasi data kasus baru penyakit tidak menular pada
tahun 2018 adalah 2.412.297 kasus. Adapun kasus stroke sebanyak 3,09%
dari 2.412.297 kasus penyakit tidak menular di Provinsi Jawa Tengah
(Dinkes Jateng, 2018).
Data WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit
stroke tahun 2011. Dari jumlah tersebut 5,5 juta jiwa telah meninggal
dunia. Diperkirakan jumlah stroke iskemik terjadi 85% dari jumlah stroke
yang ada. Penyakit darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta
kasus stroke di dunia. Di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian
nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker. Prevalensi stroke
mencapai 8,3 per 1000 penduduk, 60,7 persennya disebabkan oleh stroke
non hemoragik. Sebanyak 28,5 % penderita meninggal dunia dan sisanya
mengalami kelumpuhan total atau sebagian. Hanya 15 % saja yang dapat
sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan (Nur Wakhidah, 2015).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Jawa Timur 2013, penderita stroke
terjadi sebanyak 302.987 jiwa. Berdasarkan data studi pendahuluan
tanggal 6 Maret 2019 di RSUD Bangil Pasuruan di Ruang Krissan, pada
tahun 2018 terdapat 571 penderita stroke non hemoragik dan pada bulan
Februari 2019 terdapat 65 penderita stroke non hemoragik (RSUD Bagil,
2019).
Stroke mempunyai tanda dan gejala antara lain wajah akan
melemah pada satu sisi, gangguan gerak pada kaki atau tangan, gangguan
dalam berbicara, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran (Goldszmidt &
louis, 2015). Masalah keperawatan yang muncul pada pasien stroke non
hemoragik adalah penurunan kesadaran. Pada pasien Stroke Non
Hemoragik dapat terjadi penurunan kesadaran apabila terdapat sumbatan
atau penyempitan di pembuluh darah karotis pada cabang menuju otak
bagian tengah dan cabang otak bagian depan, oleh karena itu diperlukan
pemantauan dan penanganan yang tepat untuk memperbaiki tingkat
kesadaran pada pasien Stroke Non Hemoragik. (Susilo, 2019).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka timbul beberapa
perumusan masalah sebagai berikut :
Penerapan Spiritual Deep Breathing Exercise Terhadap Nilai Tekanan
Darah Pasien Stroke Non- Hemoragik?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.
a) Tujuan Umum
Agar penulis mendapatkan Penerapan Spiritual Deep Breathing
Exercise Terhadap Nilai Tekanan Darah Pasien Stroke Non-
Hemoragik
b) Tujuan Khusus
1. Dalam penyusunan studi kasus pada pasien diharapkan penulis
2. Mampu Melakukan pengkajian pada pasien dengan stroke non
hemoragik
3. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan stroke non
hemoragik
4. Menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengan stroke non
hemoragik
5. Melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan stroke
non hemoragik
6. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan stroke non
hemoragik
7. Melakukan discharge planning pada pasien dengan stroke non
hemoragik
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi Pendidikan Hasil dari studi kasus ini diharapkan dapat
meningkatkan dan mengembangkan keilmuan serta pengetahuan
sehingga dapat terus dilakukan pembaharuan meliputi pengkajian,
intervensi dan implementasi dengan diagnosa stroke non hemoragik.
2. Bagi Rumah Sakit Diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi
untuk perencanaan Penerapan Spiritual Deep Breathing Exercise
Terhadap Nilai Tekanan Darah Pasien Stroke Non- Hemoragik.
3.Bagi penulis Hasil Penerapan Spiritual Deep Breathing Exercise
Terhadap Nilai Tekanan Darah Pasien Stroke Non- Hemoragik ini dapat
digunakan sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh
selama mengikuti Profesi Ners di Institut Ilmu Kesehatan dan
Teknologi Muhammadiyah Palembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori
1. Definisi
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang di sebebkan
oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan
menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah otak yang
terganggu (Bustan, 2007 dalam Dewangga, 2016).
Stroke merupakan suatu penyakit menurunnya fungsi syaraf secara akut
yang di sebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara
mendadak dan cepat yang menimbulkan gejala dan tanda sesuai dengan
daerah otak yang terganggu (Dinkes Jateng, 2011 dalam Dewangga,
2016). Stroke atau penyakit serebrovaskuler adalah penyakit yang
menunjukkan adanya kematian jaringan menyebabkan kelainan
patologis didalam otak yang berlangsung selama 24 jam atau lebih,
dapat memicu terjadinya pecah pembuluh darah sehingga suplai darah
ke otak menjadi berkurang dan menyebabkan otak mengalami kelainan
fungsi akibat kurangnya suplai oksigen (Wijaya dan Mariza, 2013
dalam Santoso, L.E, 2018).
2. Klasifikasi Stroke
Stroke diklasifikasikan menjadi 2 golongan sesuai dengan gejala
klinisnya menurut (Wijaya dan Mariza, 2013:31 dalam Santoso, L.E,
2018: 4-5) yaitu :
a. Stroke Hemoragik Stroke hemoragik adalah jenis stroke yang
terjadi akibat adanya perdarahan pada otak serebral atau subarknoid,
sehingga terjadi pecah pembuluh darah pada otak. Biasanya terjadi
pada saat melakukan aktivitas aktif ataupun saat sedang beristirahat.
Pada umumnya stroke hemoragik akan menyebabkan kesadaran
pasien menurun (Wijaya dan Mariza, 2013:31 dalam Santoso, L.E,
2018: 4).
b. Stroke Non Hemoragik Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi
akibat adanya emboli dan trombosis sereberal, pada stroke non
hemoragik tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia sehingga
dapat menimbulkan hipoksia yang dapat memicu edema sekunder
tetapi kesadaran umum pasien tidak mengalami penurunan atau bisa
dikatakan baik (Wijaya dan Mariza, 2013:31 dalam Santoso, L.E,
2018: 4-5).
3. Etiologi Stroke
Penyebab stroke digolongkan menjadi empat, yaitu
1. Trombosis serebri (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau
leher).
2. Emboli serebri (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke
otak dari bagian tubuh lain ).
3. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak )
4. Hemoragi (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahn
ke jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah
penghentian/penyumbatan suplai aliran darah ke otak yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan,
berfikir, memori, bicara atau sensasi (Wijaya dan Mariza,
2013:32 dalam Santoso, L.E, 2018)
4. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul dari stroke non hemoragik tergantung dari
serangan pada otak hemisfer kanan atau kiri. Bila terjadi serangan
pada otak hemisfer kanan, maka pasien akan mengalami kelumpuhan
sebelah kiri tubuh dan penurunan terhadap objek menurun.
Sebaliknya, bila terjadi serangan pada otak hemisfer kiri maka
terjadi kelumpuhan sebelah kanan tubuh, perilaku lambat dan sangat
hati-hati, gangguan penglihatan pada mata sebelah kanan, kesulitan
menelan, sulit bicara, mudah tersinggung dan mudah frustasi
(Hariyanto & Sulistyowati, 2015).
Tarwoto (2013), manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau
bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan
adanya sirkulasi kolateral. Pada stroke Iskemik, gejala klinis
meliputi: Menurut
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparise) atau
hemiplegia (paralisis) yang timbul secara mendadak. Kelumpuhan
terjadi akibat adanya kerusakan pada area motorik
dikorteksbagian frontal, kerusakan ini bersifat kontralateral
artinya jika terjadi kerusakan pada hemisfer kanan maka
kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga akan kehilangan
kontrol otot vulenter dan sensorik sehingga pasien tidak dapat
melakukan ekstensi maupun fleksi.
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggotabadan.
Gangguan sensibilitas terjadi karena kerusakan system saraf
otonom dan gangguan saraf sensorik.
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau
koma), terjadi akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian
menekan batang otak atau terjadinya gangguan metabolik otak
akibathipoksia.
d. Afasia (kesulitan dalam bicara).Afasia adalah defisit kemampuan
komunikasi bicara, termasuk dalam membaca, menulis dan
memahami bahasa. Afasia terjadi jika terdapat kerusakan pada
area pusat bicara primer yang berada pada hemisfer kiri dan
biasanya terjadi pada stroke dengan gangguan pada arteri middle
sebelah kiri.
e. Disatria (bicara cedel atau pelo) Merupakan kesulitan bicara
terutama dalam artikulasi sehingga ucapannya menjadi tidak jelas.
Namun demikian, pasien dapat memahami pembicaraan, menulis,
mendengarkan maupun membaca. Disartria terjadi karena
kerusakan nervus cranial sehingga terjadi kelemahan dari otot
bibir, lidah dan laring. Pasien juga terdapat kesulitan dalam
mengunyah dan menelan
5. Patofisiologi
Otak adalah organ dari tubuh yang tidak dapat memproduksi oksigen
sendiri. Kekurangan oksigen dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan kematian sel dan jaringan. Stroke akan sangat meluas
saat serangan pertama terjadi ini dapat memicu terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial (TIA) selain itu ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan serangan stroke menjadi parah yaitu faktor hipertensi.
(Wijaya dan Mariza, 2013 dalam Santoso, L.E, 2018: 6).
1. Stroke non hemoragik Penggolongan stroke non hemoragik atau
infark menurut Wijaya dan Mariza, (2013:32) dalam Santoso, L.E,
(2018: 8) diklasifikasikan sebagai berikut:
a. TIA (Transient Ischemic Attack) Gangguan neurologis setempat
yang terjadi dalam waktu 24 jam, dimana gejala ini akan hilang dan
timbul dengan spontan
b. Stroke komplit Gejala neurologis fokal terus berkembang. Terlihat
semakin berat dan memburuk setelah 48 jam. Defisit neurologis
yang timbul berlangsung secara bertahap hingga menjadi berat.
2. Stroke hemoragik Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan
darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang
menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang seharusnya
konstan. Akibat adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak
dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak
sehingga timbul kematian. Disamping itu, darah yang mengalir ke
ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh
darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran
darah berkurang atau tidak ada sehingga dapat terjadi nekrosis
jaringan otak (Ningtiyas, I.F,2017).
6. Patway
Penyakit yang mendasari stroke
Obstruksi trombus
diotak
Kehilangan fokus
tonus otak facial Kerusakan Penurunan darah Resiko perfusi
neuroserebro spinal dan O2 ke otak serebral tidak efektif
VII, IX, XII
Hambatan
komunitas verbal
Hipoksia serebral
Gangguan
persepsi sensori
Gangguan Mobilitas
mobilitas fisik menurun
Defisit Tirah
perawatan baring
diri
Sumber : (Arief Multtaqin, 2019)
7. Komplikasi
1. Berhubungan dengan imobilisasi
a. Infeksi pernafasan
b. Nyeri berhubungan dengan daerah yang tertekan
c. Konstipasi
d. Tromboflebitis
2. Berhubungan dengan mobilisasi
a. Nyeri daerah punggun
b. Dislokasi sendi
3. Berhubungan dengan kerusakan otak
a. Epilepsy
b. Sakit kepala
c. Kraniotomi
Hidrosefalus (Andra & Yessie, 2013)
8. Pemeriksaan diagnostik
a. Angiografi serebral
b. Elektro encefalography
c. Sinar x tengkorak
d. Ultrasonography Doppler
e. CT- Scan dan MRI
f. Pemeriksaan foto thorax
g. Pemeriksaan laboratorium (Wijaya dan Mariza, 2013:37 dalam
Santoso, L.E, 2018).
9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan
stroke menurut (Wijaya dan Mariza, 2013:38 dalam Santoso, L.E,
2018: 6), yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis
1. Trombolitik (streptokinase)
2. Antikoagulan (heparin)
3. Hemorragik (pentoxyfilin)
4. Antagonis serotonin (noftidrofuryl)
5. Antagonis kalsium (nomodipin, piracetam)
b. Penatalaksanaan Khusus/Komplikasi
1. Atasi kejang (anti konvulsan)
2. Atasi dekompresi (kraniotomi)
3. Untuk penatalaksanaan fakto resiko
a) Atasi hiper uresemia
b) Atasi hipertensi
c) Atasi hiperglikemia
B. Latihan Nafas Dalam (Deep Breating Exercise)
1. Pengertian
Penggunaan istilah latihan nafas (deep breating exercise) berkaitan
dengan pola nafas (menahan nafas, sesak nafas, bernafas panjang),
frekuensi nafas, nafas dalam (volume), tempat bernafas (dada,
diafragma), koordinasi nafas, tahapan dan keseimbangan
(berhubungan dengan aspek gelombang nafas), resistensi nafas
(hidung dan mulut) dan aktivitas otot kolateral untuk regulasi bernafas
(White, 2007).
Deep breating exercise merupakan latihan pernafasan dengan
teknik bernafas secara perlahan dan dalam, menggunakan oot
diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan
dada mengembang penuh (Smeltzer, et al. 2008).
Nafas dalam (deep breating) adalah suatu teknik bernafas yang
berhubungan dengan perubahan fisiologis yang bisa memberikan
respon relaksasi. Nafas dalam adalah suatu keterampilan, nafas dalam
adalah tipe bernafas yang dilakukan secaraalami saat masih bayi atau
saat tidur dan bernyanyi. Nafas dalam adalah suatu keterampilan
dimana membutuhkan waktu dan komitmen untuk dipraktekkan
( Reyes & Wall 2004).
2. Tujuan dan manfaat deep breathing exercise
Tujuan deep breating exercise yaitu:
1. Untuk mencapai ventilasi yang terkontrol dan efisien serta
mengurangi kerja pernapasan
2. Memelihara pertukaran gas, mencapai atelaktasi paru
3. Meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan
menghilangkan ansietas.
4. Mencegah pola aktivitas otot pernafasan yang tidak berguna,
melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara yang
terperangkap serta mengurangi kerja nafas.
5. Mengurangi sterss fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan ( Smeltzer, et al,
2008).
Latihan pernafasan dengan teknik deep breathing
membantu meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali
otot pernapasan berfungsi dengan baik secara mencegah distress
pernapasan (Ignatavicius & Workman 2006).
Deep breathting exercise dapat mencegah atelaktasis dan
meningkatkan fungsi ventilator paru padaklien post ekstubasi.
Pemulihan kemampuan otot pernafasan akan meningkat
compliance paru sehingga mambantu ventilasi lebih adequat
sehingga menunjuk oksigenasi jaringan (Westerdahl, et al, 2005).
3. Pengkajian tanda-tanda vital (assessment of vital sign)
Penilaian umum (atau general survey) adalah penilaian terhadap
pasien secara utuh dan cepat, mencakup fisik pasien, sikap, mobilitas
dan beberapa parameter fisik (misal tinggi, berat badan dan tanda-
tanda vital). Penilaian umum memberikan gambaran/kesan mengenai
status kesehatan pasien. Parameter fisik yang diukur membantu
evaluasi pasien karena menyangkut beberapa sistem organ tubu.
Pengukuran tanda-tanda vital memberikan informasi yang berharga
terutama mengenai status kesehatan pasien secara umum. Tanda –
tanda vital meliputi.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Pengkajian
menurut Mulyanti (2017), pengkajian dilakukan untuk mendapatkan
data subjektif dan data objektif yang dilakukan dengan wawancara
dan pemeriksaan fisik, data tersebut kemudian diolah, dianalisa yang
kemudian akan menghasilkan suatu diagnosa keperawatan yang
membutuhkan perencanaan untuk mengatasi masalah yang timbul dan
muncul. Tujuan utama pegkajian adalah memberikan gambaran secara
terus menerus mengenai keadaan pasien yang memungkinkan pasien
yang memungkinkan perawat merencanakan asuhan keperawatan
kepada klien dengan mudah.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua 40 -70
tahun (Smeltzer & Bare 2013). Jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke non hemoragik sering kali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya
terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak
sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada
tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial.
Kekeliruhan, perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
koma.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan
lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakata
g. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhankeluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang
sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos
metris, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan.
Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan
kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan
(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke.
Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi
hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung
pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat),
ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah
kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak
dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakankontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine
yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron
motor atas menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada
salah satu sisi tubuhh dapat menunjukkan kerusakan pada
neuronmotor atas pada sisi yang berlawanan dari otak.
Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis
pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuhh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien
kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan
cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas
fisik. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang
membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan
respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke
biasanya berkisar padatingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan
8) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
9) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan
10) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan
berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami
brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan
perbedaan yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer
yang dominan pada bagian posterior dari girus temporalis
superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu
klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.
Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis
inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien
dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan
bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk
menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk
melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk
menyisir rambutnya.
h. Pengkajian Sistem Motorik Stroke adalah penyakit saraf motorik
atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuhh dapat
menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah
satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuhh adalah
tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon.
Individu, keluarga, kelompok atau komunitas terhadap proses
kehidupan/masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan
kemungkinan dan membutuhkan tindakan keperawatan untuk
memecahkan masalah tersebut (NANDA, 2018-2020). Masalah
keperawatan yang muncul pada pasien stroke, yaitu:
a. Resiko Perfusi Serebral tidak efektif
b. Gangguan komunikasi verbal
c. Defisit perawatan diri
d. Gangguan Mobilitas Fisik
e. Gangguan persepsi sensori
3. Perencanaan (Intervensi)
Intervensi keperawatan adalah sebagai landasan untuk melakukan
tindakan perawatan berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan
yang dilakukan oleh seorang perawat untuk meningkatkan hasil
klien/pasien (Nanda,2018).
Intervensi keperawatan
1. Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai kemampuan
4. Gangguan Mobilitas fisik Ekspektasi Dukungan mobilisasi
Mobilitas Fisik meningkat Setelah Observasi
dilakukan tindakan 1. Identifikasi adanya nyeri atau
perawatan selama 3 x 24 keluhan fisik lainnya
jam, diharapkan Mobilitas 2. Identifikasi toleransi fisik
fisik meningkat dengan melakukan pergerakan
Kriteria hasil : 3. Monitor frekuensi jantung
1. Per dan
gerakan ekstremitas tekanan darah sebelum memulai
Meningkat
2. K mobilisasi
ekuatan otot 4. Monitor Kondisi umum
Meningkat selama melakukan mobilisasi
3. Re Terapeutik
ntang gerak (ROM) 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
Meningkat dengan alat bantu (mis.Pagar
4. Nyeri Menurun tempat tidur)
5. Kec 2. Fasilitasi melakukan
emasan Menurun pergerakan, jka perlu
6. Ka 3. Libatkan keluarga untuk
ku Sendi Menurun membantu pasien dalam
7. Ger meningkatkan pergerakan
akan tidak Edukasi
terkoordinasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
Menurun Mobilisasi
8. Gerakan terbatas 2. Anjurkan mobilisasi dini
Menurun 3. Ajarkan mobilisasi sederhana
9. Kelemahan fisik yang harus dilakukan
(mis.duduk ditempat tidur,
duduk disisi tempat tidur,
pindah dari tempat tidur ke
kursi)
4. Discharge
Planning Discharge Planning adalah perencanaan yang dilakukan
untuk pasien dan keluarga sebelum pasien meninggalkan rumah sakit
dengan tujuan agar pasien dapat mencapai kesehatan yang optimal dan
mengurangi lama rawat inap serta biaya rumah sakit. Sebelum
pemulangan pasiendan keluarga harus memahami dan mengetahui
cara menajemen pemberian perawatan yang dapat dilakukan di rumah
seperti perawatan pasien yang berkelanjutan, sehingga dapat
mengurangi komplikasi. Komplikasi atau kegagalan dalam
memberikan discharge planning akan beresiko terhadap beratnya
penyakit, ancaman hidup, dan disfungsi fisik, selain dari pada itu
pasien yang tidak mendapatkan discharge planning sebelum pulang
terutama pada pasien yang memerlukan perawatan di rumah seperti
konseling kesehatan atau penyuluhan dan pelayanan komunitas. Oleh
karena itu pasien perlu dipersiapkan dalam menghadapi pemulangan
(Proborini, 2019).
C. Telaah Jurnal
Pada asuhan keperawtaan pada pasien dengan stroke non hemorogik,
didapatkan beberapa artikel penelitian yang dianalisis dalam penulisan
studi