Perubahan dalam pengalaman tekstual : munculnya genre dan bentuk (format)
teks baru, bersamaan dengan bentuk baru dalam hiburan, kesenangan, dan
konsumsi media (computer games, simulasi, special effects).
Cara baru dalam menggunakan media untuk memandang kehidupan, misalnya
dalam bentuk virtual environment, cyberworld, multimedia interaktif.
Hubungan baru antara konsumen (pengguna) dan teknologi media : perubahan
dalam cara kita menggunakan media dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan dalam cara kita memandang persoalan tubuh, identitas, dan
komunitas: perubahan dalam pengalaman personal maupun sosial sehingga
mengubah makna ruang, waktu, dan lokasi.
Perubahan dalam pola organisasi dan produksi informasi baik dalam arti luas
maupun dalam hubungan antara produsen dan konsumen media.
Jika ada dua komputer dapat berkomunikasi satu sama lainnya, maka itu adalah
network. Dari sini berkembang 'peer-to-peer' networks, lalu Local Area Network
(LAN) dan Wide Area Network. Setelah orang menemukan TCP/IP
(Transmission Control Protocol/Internet Protocol) maka tercipta ‘bahasa’ yang
memungkinkan komunikasi secara amat meluas. Maka lahirlah Internet.
Teknologi jaringan adalah bagian dari upaya desentralisasi untuk keluar dari
krisis negara industri dan kapitalisme yang terbebat oleh sistem sentralisasi. Sejak
1980-an sudah pula muncul arus perubahan dari media massa (mengutamakan
penyebaran) ke segementasi media (mengutamakan ragam). Sebelum Internet
merebak, televisi sudah berupaya menggunakan kabel untuk siaran yang ‘on
demand’. Segmentasi majalah dan ‘produk sampingan’ sudah marak dilakukan
sebelum ada ide untuk multi platform.
Jaringan komputer memperkenalkan teknologi server yang amat berbeda
karakternya dari pemancar (transmitter). Sebuah server bekerja dalam prinsip
many-to-many, bukan one-to-many. Teknologi server memungkinkan network of
networks dan desentralisasi besar-besaran. Tetapi harus diingat pula bahwa
teknologi Internet tetap berjalan di atas infrastruktur ‘lama’ (khususnya jaringan
telekomunikasi).
Perkembangan teknologi jaringan juga memungkinkan proses produksi media
semakin tersebar dan semakin melibatkan orang awam à mengaburkan pembedaan
antara produsen dan konsumen à procumers.
Di masa kini, virtual sudah dianggap bukan lagi keseolah-olahan (mirip dengan
realita), melainkan realita alternatif atau bahkan ‘better than the real’. Di sini
virtual sudah disamakan dengan simulation.
Teknologi informasi dan Media Baru melahirkan pemikiran bahwa “virtual is
not the opposite of the real but is itself a kind of reality and is properly opposed to
what is ‘actually’ real”.
Kemunculan online jurnalism (yang radikal), terutama karena perubahan dalam
hubungan antara konsumen dan produsen berita. Pertumbuhan open publishing
sebagaimana yang nampak pada proliferasi pusat-pusat media independen
(independent media centers, IMC, indymedia). Popularitas "individualized
storytelling online" misalnya dalam bentuk weblogs dan podcasts.
Chris Anderson (2006) mengatakan “Our culture and economy are increasingly
shifting away from a focus on a relatively small number of hits (mainstream
products and markets) at the head of the demand curve, and moving toward a
huge number of niches in the tail”.
Ekonomi/bisnis media sampai saat ini memiliki dua ciri khas:
ú Hit driven – digerakan oleh keberhasilan satu ‘master piece’ agar tetap bisa
laku dan menyajikan puluhan produk ‘biasa’.
ú First copy cost - ongkos produksi awal selalu besar, ongkos distribusi akan
menentukan tingkat profit.
Potensi untuk berhasil dalam berdagang kini semakin besar karena ‘barriers to
entry’-nya semakin sedikit. Kreativitas semakin menentukan, katimbang
penguasaan jaringan distribusi.
Konsumen sekarang semakin search-engine oriented. Kemampuan online
shopping menjadi ukuran dari smart consumer (kemampuan search, sign up,
register, recommend, rating).
Selagi bisnis long tail ini berkembang, demikian pula viral marketing muncul
mengimbanginya.
Isu Etika
Media Group untuk bisa bertahan di pasar media, maka logikanya harus melakukan
ekspansi. Strategi yang paling logis digunakan adalah strategi diversifikasi, karena
Media Group tergolong korporasi yang kecil, sehingga tidak memungkinkan untuk
memilih akuisisi. Diversifikasi ini kemudian oleh pemiliknya digunakan sebagai
instrumen politik, karena paham bahwa media mempunyai kekuatan politik untuk
memengaruhi publik. Pengaruh pemilik media ini memang tidak bisa dielakkan oleh
para pekerja di dalam media itu sendiri, meskipun secara tidak langsung