Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

1. Definisi keselamatan Kerja


Terdiri dari beberapa Pengertian Keselamatan Kerja menurut ahli yang
berbeda-beda. Keselamatan berasal dari bahasa Inggris yaitu kata ‘safety’
dan biasanya selalu dikaitkan dengan keadaan terbebasnya seseorang dari
peristiwa celaka (accident) atau nyaris celaka (near-miss). Jadi pada
hakekatnya keselamatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun
sebagai suatu pendekatan praktis mempelajari faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berupaya mengembangkan
berbagai cara dan pendekatan untuk memperkecil resiko terjadinya
kecelakaan (Syaaf, 2007).

Keselamatan merupakan suatu usaha untuk mencegah setiap perbuatan


atau kondisi tidak 6 selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan
sedangkan kesehatan kerja yaitu terhindarnya dari penyakit yang mungkin
akan timbul setelah memulai pekerjaannya Bennett N.B. Silalahi dan
Rumondang (1991:22 dan 139).

Istilah keselamatan mencakup kedua istilah yaitu resiko keselamatan dan


resiko kesehatan. Dalam kepegawaian, kedua istilah tersebut dibedakan,
yaitu Keselamatan kerja menunjukan kondisi yang aman atau selamat dari
penderitaan, kerusakan atau kerugian ditempat kerja. Resiko keselamatan
merupakan aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan
kebakaran, ketakutan aliran listrik, terpotong, luka memar, keseleo, patah
tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan, dan pendengaran. Semua itu
sering dihubungan dengan perlengkapan perusahaan atau lingkungan fisik
dan mencakup tugas-tugas kerja yang membutuhkan pemeliharaan dan
latihan (Leon C Meggison yang dikutip oleh Prabu Mangkunegara
(2000:161).

9 STIKes Faletehan
10

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keselamatan adalah suatu


usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan sehingga manusia dapat
merasakan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan
atau kerugian terutama untuk para pekerja konstruksi. Agar kondisi ini
tercapai di tempat kerja maka diperlukan adanya keselamatan kerja.

2. Definisi Kesehatan Kerja


Pengertian Kesehatan Kerja menurut joint ILO/WHO Committee 1995
ialah penyelenggaraan dan pemeliharaan derajat setinggi-tingginya dari
kesehatan fisik, mental dan sosial tenaga kerja di semua pekerjaan,
pencegahan gangguan kesehatan tenaga kerja yang disebabkan kondisi
kerjanya, perlindungan tenaga kerja terhadap resiko faktor-faktor yang
mengganggu kesehatan, penempatan dan pemeliharaan tenaga kerja di
lingkungan kerja sesuai kemampuan fisik dan psikologisnya, dan sebagai
kesimpulan ialah penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan manusia
kepada pekerjaannya.

3. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


a. Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun
rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya,
hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

b. Menurut Suma’mur (1981:2) dalam Jusuf (2009) Keselamatan kerja


merupakan segala bentuk usaha agar menciptakan suasana kerja yang
aman dan nyaman untuk karyawan yang bekerja di perusahaan itu.

Setelah melihat berbagai pengertian di atas, pada intinya dapat ditarik


kesimpulan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu
usaha dan upaya untuk menciptakan perlindungan dan keamanan dari
resiko kecelakaan dan bahaya fisik, mental maupun emosional
terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Jadi
berbicara mengenai kesehatan dan keselamatan kerja tidak selalu

STIKes Faletehan
11

membicarakan masalah keamanan fisik dari para pekerja, tetapi


menyangkut berbagai unsur dan pihak.

B. Ergonomi

1. Pengertian Ergonomi
Istilah ergonomi dikenal dalam bahasa Yunani, dari kata ergos dan nomos
yang memiliki arti “kerja” dan “aturan atau kaidah”, dari dua kata tersebut
secara pengertian bebas sesuai dengan perkembangannya, yakni suatu
aturan atau kaidah yang ditaati dalam lingkungan pekerjaan. Ditinjau dari
faktor historis, ergonomi telah menyatu dengan budaya manusia sejak
zaman megalitik, dalam proses perancangan dan pembuatan benda-benda
seperti alat kerja dan barang buatan sesuai dengan kebutuhan manusia
pada zamannya (Kuswana, 2016).

Menurut International Labour Organization (ILO), mendefiniskan


ergonomi merupakan aplikasi ilmu pengetahuan biologi manusia dengan
pengetahuan rekayasa untuk mencapai sejumlah penyesuaian dan timbal
balik dari pekerja baik wanita maupun pria dalam melaksanakan
pekerjaannya, manfaatnya dapat diukur dari efesiensi, kesehatan dan
kesejahteraan (Tarwaka, 2010).

Menurut Internatinal Ergonomics Association (IEA, 2010),


mendefinisikan ergonomi merupakan studi anatomis, fisiologi, dan
psikologi dari aspek manusia dalam bekerja dilingkungannya. Konteks
ini, memiliki kaitan dengan efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan
kenyamanan dari orang-orang di tempat kerja, dirumah, dan sejumlah
permainan. Hal itu, secara umum memerlukan studi dari sistem dan fakta
kebutuhan manusia, mesin-mesin dan lingkungan yang saling
berhubungan dengan tujuan mengenai penyesuaiannya (Tarwaka, 2010).

STIKes Faletehan
12

2. Tujuan Ergonomi
Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi adalah:
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya
pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban
kerja fisik dan mental, mengupayakan, promosi dan kepuasan kerja.
b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas
kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna
dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia
produktif maupun setelah tidak produktif.
c. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu
aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem
kerja yang dialakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas
hidup yang tinggi (Tarwaka, 2010).

3. Ruang Lingkup Ergonomi


Ditinjau dari kepentingan praktis, manajemen sumber daya manusia di
industri, adalah sebagai berikut:
a. Menentukan prasyarat terkait dengan ketubuhan calon tenaga kerja.
b. Upaya peningkatan kapasitas kebutuhan pekerja selaras dengan
tuntutan kompetensi kerja, melalui pendidikan dan pelatihan tertentu.
c. Upaya perbaikan kinerja sesuai dengan hasil identifikasi dan
penilaian pekerja.
d. Upaya peningkatan kesigapan dan kewaspadaan dalam melaksanakan
keselamatan dan kesehatan kerja.
e. Memelihara fisik dan mental, sebagai sumber dan tujuan
kesejahteraan pekerja dalam upaya pencapaian produktivitas.

Ditinjau dari kepentingan ilmiah yang dapat memberikan konstribusi


pada praktis industri, melalui penelitian mencakup hal-hal berikut ini :
a. Penelitian interface
Interface (perangkat antara), yang mengidentifkasi, menganalisis, dan
mengkaji mengenai informasi tentang suatu lingkungan serta
mendeskripsikannya dengan simbol-simbol, tanda-tanda, lambang,

STIKes Faletehan
13

dan angka-angka, peta dan variabel (waktu, jarak) serta konstanta


lainnya.
b. Kekuatan fisik pekerja
Penelitian tentang aktifitas pelayanan sistem kerja, melalui
pengukuran dan menganalisis gerakan fisik, beban yang diterima dan
peralatan yang digunakan dalam objek pekerjaan. Data-data yang
diperoleh, dijadikan bahan perancangan perlatan kerja sesuai dengan
rata-rata kemampuan fisik para pekerja.
c. Dimensi dan bentuk tempat kerja.
Penelitian mengenai dimensi dan bentuk ruang tempat kerja, dimensi
ukuran kebutuhan para pekerja, jenis pekerjaan, dan faktor-faktor
yang mempengaruhi karakteristik aktivitas kerja.
d. Lingkungan kerja
Penelitian menganai kondisi lingkungan tempat kerja, seperti
pengaturan pencahayaan, pengaturan ventilasi udara, dan faktor yang
mempengaruhi fisik pekerja, seperti kebisingan, getaran, temperatur
dan limbah cairan kimia.

Ditinjau dari kepentingan pendidikan, pelatihan vokasi dan kejuruan


meliputi hal-hal berikut ini:
a. Merekonstruksi kurikulum sistem pelatihan secara terpadu
(kompetensi dan praktis gerak ergonomi, pada lembaga pendidikan-
pelatihan vokasi (kejuruan).
b. Mengembangkan sistem pembelajaraan gerak sistemik untuk
mempersiapkan calon tenaga kerja teknik (teknisi, mekanik,
operator).
c. Mengembangkan teknik gerak sistemik pada mata pelajaran yang
menuntut kemampuan keterampilan teknis dalam menghadapi
keragaman jenis pekerjaan industri.
d. Mengembangkan dan mengaplikasikan pembiasaan dan budaya
kerja teknik yang sehat dan aman dalam lingkungan kerja (Kuswana,
2016).

STIKes Faletehan
14

4. Risiko Ergonomi
Risiko ergonomi merupakan suatu risiko yang menyebabkan cedera
akibat kerja, hal ini termasuk sebagai berikut:
a. Penggunaan tenaga atau kekuatan (mengangkat, mendorong,
menarik, dan lain-lain).
b. Pengulangan, melakukan jenis kegiatan yang sama dari suatu
pekerjaan dengan menggunakan otot atau anggota tubuh berulang
kali.
c. Kelenturan tubuh (lenturan, jangkauan atas).
d. Pekerjaan statis, diam didalam satu posisi pada suatu periode waktu
tertentu.
e. Getaran mesin-mesin.
f. Kontak tegangan, ketika memperoleh suatu permukaan benda tajam
dari suatu alat atau benda kerja terhadap bagian atau tubuh.

Secara umum terdapat tiga macam cedera tubuh, yaitu Cumulative


Trauma Disorders, Repetitive Strain Injuries, Musculoskeletal Disorders.

a. Cumulative Trauma Disorders (CTD)


Cumulative Trauma Disorders (Trauma Gangguan Kumulatif), atau
dikenal sebagai Repetitive Strain Injury (RSI), atau cedera regangan
berulang, didefinisikan sebagai gangguan pada otot, tendon, saraf,
dan pembuluh darah yang disebabkan atau diperparah oleh
pengerahan tenaga atau gerakan berulang.
b. Repetitive Strain Injuries (RSI)
Repetitive Starin Injuries (RSI) adalah istilah umum yang digunakan
untuk merujuk pada beberapa kondisi diskrit yang dapat dikaitkan
dengan tugas yang berulang, pengerahan kekuatan tenaga, getaran,
kompresi mekanik yang berkelanjutan. Contoh: kondisi yang dapat
dikaitkan dengan penyebab tersebut termasuk edema, tendinitis,
carpal tunnel syndrome, cubital tunnel syndrome, de quervain
syndrome, thoracic outlet syndrome, intersection syndrome, golfer’s

STIKes Faletehan
15

elbow (medial epicondylitis), tennis elbow (lateral epicondylitis),


trigger finger, radial tunnel syndrome, dan focal dystonia.
c. Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Gangguan muskuloskeletal (MSDs) adalah cedera pada otot, saraf,
tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, atau cakram tulang belakang.
MSDs biasanya hasil dari setiap peristiwa sesaat atau akut (seperti
slip, perjalanan, atau jatuh), selain itu mencerminkan perkembangan
yang lebih bertahap atau kronis. Sinyal adanya indikasi MSDs adalah
sakit, kegelisahan, kesemutan, kematian rasa, rasa terbakar,
pembengkakan, kekakuan, kram, kekuatan genggaman di tangan
bergerak, rentang gerak pendek, perubahan keseimbangan tubuh,
sesak atau hilangnya fleksibilitas. Risiko kerja apabila tidak
dikendalikan baik oleh diri sendiri, maupun oleh manajemen tempat
kerja dapat menyebabkan berbagai gangguan terhadap tubuh pekerja
baik saat terjadi maupun dirasakan pada waktu jangka panjang
(Kuswana, 2016).

C. Musculoskeletal Disorders (MSDs)


1. Definisi Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Keluhan pada sistem musculoskeletal disorders (MSDs) adalah keluhan
pada bagian-bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari
keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban
statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligmen dan tendon.
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan
keluhan muskuloskeletal (Grandjean, 1993; Lemasters, 1996). Secara
garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:

a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada


saat otot menerima beban statis namun demikian keluhan tersebut
akan segera hilang apabila pemberian beban dihentikan.

STIKes Faletehan
16

b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat


menetap. Walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun
rasa sakit pada otot masih terus berlanjut (Tarwaka, 2010).
c. Keluhan sistem muskuloskeletal pada umumnya terjadi karena
konstraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang
terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya
keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila konstraksi otot hanya
berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot yang maksimum. Namun
apabila konstraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot
berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya
tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses
metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi
penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.
Pekerjaan yang beresiko mengalami keluhan muskuloskeletal adalah
pekerjaan yang sering melakukan postur kerja tidak alamiah
contohnya pekerjaan welder¸receptionist, pekerja laundry, penjahit,
nelayan dan lain sebagainaya (Tarwaka, 2010).

2. Gejala Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Menurut Kromer (1989), ada tiga tahap terjadinya MSDs yang dapat
diidentifikasikan yaitu:
a. Tahap 1 : sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi
gejala ini biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu
malam). Tidak berpengaruh pada performance kerja. Efek ini dapat
pulih setelah istirahat.
b. Tahap 2 : gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam
setelah bekerja. Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang
menyebabkan berkurangnya performance kerja.
c. Tahap 3 : gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi
ketika bergerak secara repetitive. Tidur terganggu dan sulit untuk
melakukan pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja
(Fuady, 2013).

STIKes Faletehan
17

3. Penyebab Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Menurut Peter Vi (2001), faktor penyebab Musculoskeletal
disorders antara lain;
a. Peregangan otot yang berlebihan (overexertion)
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh
pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar,
seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, menahan beban
yang berat.
b. Aktivitas berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus
menerus. Seperti mencangkul, membelah kayu, angkat-angkut dan
sebagainya.
c. Sikap kerja tidak alamiah
Sikap kerja tidak ilmiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi ilmiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk dan
sebagainya.
d. Faktor penyebab sekunder
1). Tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak.
2). Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan
kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan
peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat
dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
3). Mikroklimat adalah paparan suhu dingin yang berlebihan dapat
menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga
pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak disertai
dengan menurunnya kekuatan otot.
e. Penyebab kombinasi
1). Umur
Prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dengan
usia.

STIKes Faletehan
18

2). Jenis kelamin


Prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dan
lebih menonjol pada wanita dibandingkan pria (3:1).
3). Kebiasaan merokok
Semakin lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok,
semakin tinggi pula keluhan otot yang dirasakan.
4). Kesegaran jasmani
Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi
resiko terjadinya keluhan otot.
5). Kekuatan fisik
6). Ukuran tubuh (antropometri)

4. Pengobatan Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Tergantung pada penyebab dan tingkat keparahan dari rasa sakit, ada
berbagai pengobatan untuk gangguan muskuloskeletal.
Untuk nyeri ringan atau sesekali, bisa mendapatkan obat pereda nyeri yang
dijual bebas, seperti ibuprofen atau paracetamol. Obat-obatan seperti obat
anti-inflamasi (NSAID) dapat digunakan untuk mengobati peradangan dan
nyeri.

Untuk sakit yang lebih parah, mungkin perlu penghilang rasa sakit yang
lebih kuat yang akan memerlukan resep dari dokter. Untuk nyeri yang
berhubungan dengan pekerjaan, terapi fisik dapat membantu menghindari
kerusakan lebih lanjut dan mengontrol rasa sakit. Terapi manual, atau
mobilisasi, dapat digunakan untuk mengobati masalah dengan
keselarasan tulang belakang.
Pengobatan lain mungkin termasuk:
a) teknik relaksasi
b) suntikan dengan obat anestesi atau anti-inflamasi
c) penguatan otot dan latihan peregangan
d) perawatan chiropractic
e) terapi pijat

STIKes Faletehan
19

5. Penanggulangan Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health
Administration (OSHA) dalam Tarwakal , et al (2004), tindakan ergonomik
untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah memalui dua cara yaitu
Rekayasa Teknik ( desain stasiun dan alat kerja) dan Rekayasa Menejemen
(kriteria dan organisasi kerja).
a. Rekayasa Teknik
Rekayasa Teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alteralitf, meliputi :
1). Eliminasi,yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal
ini jarang dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerja yang
mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada;
2). Substitusi, yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau
bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan
menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan;
3). Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan
pekerja;
4). Ventilasi, menamah ventilasi untk mengurangi risiko sakit.
b. Rekayasa Menejemen
Rekayasa Menejemen dapat dilakukan melalui tindakan berikut :
1). Pendidikan dan pelatihan agar pekerja lebih memahami
lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan
penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya pencegahan
terhadap risiko sakit akibat kerja;
2). Pengaruh waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakterisktik
pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan
terhadap sumber bahaya;
3). Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan
secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit
akibat kerja

STIKes Faletehan
20

D. Faktor-faktor yang Menyebabkan Musculoskeletal Disorders (MSDs)

1. Faktor Pekerja
Resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila
dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor
resiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerja harus melakukan
aktivitas angkat angkut dibawah tekanan panas matahari seperti yang
dilakukan oleh para pekerja bangunan.

Beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis


kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran
tubuh juga dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal.
a. Umur
Umur adalah lama hidup seseorang yang dihitung berdasarkan ulang
tahun terakhir. Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan
didalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka
kesakitan maupun kematian hampir semua keadaan menunjukan
hubungan dengan umur. Dengan cara ini dapat membaca dengan
mudah dan melihat pola kesakitan atau kematian menurut golongan
umur (Notoatmodjo, 2011).

Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) menyatakan bahwa pada


umumnya keluhan sistem muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia
kerja yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada
umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan
dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur
setengah baya, kekuatan dan ketahan otot mulai menurun sehingga
resiko terjadinya keluhan otot meningkat (Tarwaka, 2010). Menurut
penelitian yang dilakukan Hajrah Hi Sultan Bedu (2013) dari 64
responden berkategori berumur tua terdapat 54 respoden mengalami
gangguan muskuloskeletal berat atau 84,4% dan ringan dengan
jumlah responden 10 atau 15,6% sedangkan kategori berumur muda
dari 46 responden semua mengalami gangguan muskuloskeletal
ringan (100%). Hasil analisis statistik Chi Square Test tentang

STIKes Faletehan
21

hubungan antara umur dengan gangguan muskuloskeletal pada


tingkat kemaknaan 0,05 (95%) diperoleh nilai P=0,000 yang berarti
ada hubungan antara umur dengan MSDs.

b. Jenis kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang
pengaruh jenis kelamin terhadap resiko keluhan sistem
muskuloskeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan
menunjukan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat
resiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologi,
kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Astrand
& Rodahl (1996) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya
sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot
pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita (Tarwaka, 2010).
Menurut penelitian yang dilakukan Bedu (2013) untuk jenis kelamin
diketahui bahwa dari 24 responden berjenis kelamin perempuan
terdapat 16 responden mengalami gangguan muskuloskeletal berat
atau 66,7% dan ringan dengan jumlah responden 8 (33,3%)
sedangkan kategori berjenis kelamin laki-lakidari 86 responden
terdapat 38 responden mengalami gangguan muskuloskeletal berat
(44,2%) dan ringan dengan jumlah responden 48(55,8%). Hasil
analisis statistik Uji Chi Square tentang hubungan antara jenis
kelamin dengan gangguan muskuloskeletal pada tingkat kemaknaan
0,05 (95%) diperoleh nilai P= 0,050 yang berarti nilai P<0,05. Secara
statistic ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
Musculoskeletal Disorders (MSDs).

c. Kebiasaan merokok
Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan
merokok terhadap resiko keluhan otot juga masih diperdebatkan
dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat
hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok, semakin

STIKes Faletehan
22

tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan (Tarwaka, 2010).


Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Annuals of Rheumatic
Diseases (Croasmun, 2003) terhadap 13.000 perokok dan non
perokok dengan rentang umur antara 16 s.d 64 tahun, dilaporkan
bahwa perokok memiliki risiko 50 % lebih besar untuk merasakan
MSDs. Hal ini dikarenakan efek rokok akan menciptakan respon rasa
sakit atau sebagai permulaan rasa sakit, mengganggu penyerapan
kalsium pada tubuh sehingga meningkatkan risiko terkena
osteoporosis, menghambat penyembuhan luka patah tulang serta
menghambat degenerasi tulang.

d. Kesegaran jasmani
Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang
yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk
istirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan
pekerjaan yang memerlukan pengarahan tenaga yang besar, disisi lain
tidak mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat
dipastikan akan terjadi keluhan otot. Tingkat keluhan otot juga sangat
dipengaruhi oleh tingkat kesegaran tubuh (Tarwaka, 2010). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Made (2016) diketahui dari uji
statistik dapat disimpulkan ada hubungan antara kesegaran jasmani
dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs), (Nilai P=0,026)
dan (OR =0,31).

e. Kekuatan fisik
Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, ada hubungan antara
kekuatan fisik dengan resiko keluhan sistem muskuloskeletal juga
masih diperdebatkan. Namun untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak
memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik kurang
relevan terhadap resiko keluhan muskuloskeletal (Tarwaka, 2010).
Dalam studinya, Chaffin (1991) mengemukakan bahwa pekerja yang
memiliki kekuatan otot rendah beresiko tiga kali lipat lebih besar

STIKes Faletehan
23

mengalami keluhan otot dibandingkan pekerja yang memiliki


kekuatan otot yang tinggi.

f. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan, dan
masa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
keluhan sistem muskuloskeletal. Indeks masa tubuh dapat digunakan
sebagai indikator kondisi status gizi pekerja. Menurut WHO (2005)
rumus indeks masa tubuh adalah BB2 /TB (berat badan2 per tinggi
badan) dan dikategorikan menjadi tiga yaitu kurus (< 18,5) normal
(18,5-25) dan gemuk (25-30) serta obesitas (> 30). Kaitan IMT
dengan keluhan muskuloskeletal adalah semakin gemuk seseorang
maka bertambah besar risikonya untuk mengalami keluhan
muskuloskeletal. Hal ini dikarenakan seseorang dengan kelebihan
berat badan akan berusaha untuk menyangga berat badan dari depan
dengan mengontraksikan otot punggung bawah. Kondisi ini akan
meyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang
mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Tan HC dan Horn SE.
1998).

Apabila dicermati, keluhan sistem muskuloskeletal yang terkait


dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan
struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh
maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi
pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga
secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan rentan terhadap
tekanan, oleh karena itu mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal (Tarwaka, 2010).

Penggunaan Indeks Massa Tubuh (IMT) hanya berlaku untuk orang


dewasa berumur 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi,
anak, remaja, ibu hamil maupun olahragawan. Disamping itu pula
IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya
seperti edema, asites, dan hepatomegali (Supariasa, 2014).

STIKes Faletehan
24

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

Berat Badan(kg)
IMT =
Tinggi badan ( m ) ×Tinggi badan(m)

Atau
Berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m)

Tabel 2.1
Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Kategori IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5
Normal >18,5-25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0-27,0
Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
Sumber: Supariasa, 2014

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Iwan (2012) ditemukan


hubungan yang bermakna antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan
keluhan musculoskeletal disorders dengan nilai P=0,044.

g. Masa kerja

Perubahan keadaan penyakit terjadi sedikit demi sedikit dalam jangka


waktu lama yang biasanya terjadi setelah (5-20 tahun atau lebih) yang
menampakan perubahan keadaan penyakit kematian yang cukup
berarti, dalam interaksi antar penjam/orang, penyebab/agent
lingkungan (Noor, 2008). Dalam penelitian Zulfikor (2010)
ditemukan hubungan antara masa kerja dengan Musculoskeletal
Disorders (MSDs) dengan nilai P=0,002 yang berarti ada hubungan
yang bermakna antara masa kerja dengan Musculoskeletal Disoreders
pada pekerja welder.

h. Sikap kerja
Sikap kerja adalah suatu gambaran tentang posisi badan dalam
melakukan suatu pekerjaan. Sikap kerja yang tidak sesuai dalam
bekerja dapat menyebabkan adanya peningkatan beban kerja

STIKes Faletehan
25

sehingga pekerja tidak mampu mengerahkan kemampuan secara


optimal. Sikap kerja yang tidak sesuai pada umumnya terjadi karena
karakteristik tuntunan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai
(Tarwaka, 2015). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Larono
(2017) diperoleh hasil nilai P=0,014 dan r = 0,327. Dengan demikian
terdapat Hubungan antara Sikap Kerja Dengan Keluhan
Muskuloskeletal Disorder Pada Pekerja Buruh Di Pelabuhan Laut
Manado, dengan tingkat keeratan cukup yang berarah positif.

2. Faktor Pekerjaan
a. Peregangan otot yang berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan
oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengarahan tenaga
yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan
menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini
terjadi karena pengarahan tenaga yang diperlukan melampaui
kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka
dapat mempertinggi cedera otot skeletal.

a. Aktivitas berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus
menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu, angkat-
angkat dan lain sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima
tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh
kesempatan untuk relaksasi.

b. Sikap kerja tidak alamiah (postur kerja)


Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala
terangkat dan lain sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari
pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya
keluhan sistem muskuloskeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada
umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun

STIKes Faletehan
26

kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja


(Tarwaka, 2010). Berdasarkan analisis bivariat dengan uji Chi square
terdapat hubungan bermakna antara postur kerja dengan keluhan
Musculoskeletal Disorder dengan nilai p=0,001 (α<0,05) (Ulfah,
2014).

c. Beban berat
Beban berat menimbulkan iritasi, inflamasi, kelelahan otot serta
kerusakan otot, tendon dan jaringan sekitarnya. Kekuatan berasal dari
peningkatan ketegangan otot, ligamen dan tendon. Pengerahan tenaga
paling berat terjadi saat mengangkat benda berat. Contoh dari beban
berat dengan dimensi waktu seperti berikut:

1) Mengangkat beban lebih dari 35 kg satu kali per hari atau lebih
dari 25 kg lebih dari 10 kali per hari.
2) Objek yang diangkat beratnya lebih dari 5 kg bila dikerjakan lebih
dari dua kali per menit., totalnya lebih dari 2 jam per hari.
3) Objek yang beratnya lebih dari 12,5 kg diangkat diatas bahu,
dibawah dengkul atau sepanjang pelukan lebih dari 25 kali per
hari.

d. Frekuensi
Frekuensi yang tinggi atau gerakan yang berulang dengan sedikit
variasi, dapat menimbulkan kelelahan dan ketegangan pada otot dan
tendon oleh karena kurang istirahat untuk pemulihan penggunaan
yang berlebihan pada otot, tendon dan sendi, akibat terjadinya
inflamasi atau radang sendi dan tendon. Radang ini meningkatkan
tekanan pada saraf.

e. Durasi
Durasi kerja yaitu lama waktu bekerja yang dihabiskan pekerja
dengan postur janggal, membawa atau mendorong beban, atau
melakukan pekerjaan repetitif tanpa istirahat yang dapat
mengakibatkan sakit otot. Dengan beban pekerjaan yang berat dan

STIKes Faletehan
27

ditambah durasi kerja yang panjang, hal ini dapat mengakibatkan sakit
pada otot.

f. Kontak dengan penekanan


Kontak dengan permukaan benda diluar tubuh secara terus menerus,
berulang-ulang, yang menekan jaringan tubuh (biasanya satu bagian
kecil tubuh), dapat menghambat aliran darah, menghambat gerakan
otot dan tendon, dan menghambat implus saraf sehingga semua faktor
ini dapat mengakibatkan keluhan atau sakit pada otot. (Kurniawidjaja,
2011).

3. Faktor Lingkungan
a. Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai
contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot
tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan
alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri
otot yang menetap.

b. Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak
lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa
nyeri otot.

c. Mikrolimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,
kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi
lamban, sulit bergerak yag disertai dengan menurunnya kekuatan otot.
Demikan juga dengan paparan udara panas. Beda suhu lingkungan
dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian
energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk
beradaptasi dengan lingkunga tersebut. Apabila hal ini tidak
diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai oksigen ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran

STIKes Faletehan
28

darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses


metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam
laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Tarwaka, 2010).

d. Temperatur ekstrem
Temperatur ekstrem dingin dapat mengahambat aliran darah dari
ekstremitas dalam upaya menjaga suhu tubuh, kondisi ini dapat
menambah berat kondisi dan dapat mengakibatkan keluhan pada otot
(Kurniawidjaja, 2011).

E. Metode Penilaian Keluhan Sistem Muskuloskeletal


Ada beberapa metode observasi postur tubuh yang berkaitan dengan resiko
gangguan pada sistem muskuloskeletal seperti metode OWAS, RULA, dan
REBA, dan penilaian subjektif terhadap tingkat keparahan pada sistem
muskuloskeletal dengan metode Nordic Body Map serta checklist sederhana
yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi potensi bahaya pada
pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan resiko MSDs.

1. Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment)


Metode REBA diperkenalkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAntamney
dan diterbitkan dalam jurnal Applied Ergonomics tahun 2000. Rapid
Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan
dalam bidang ergonomic dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai
posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan, dan
kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi oleh faktor
coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas
pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan
waktu lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada
daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko
yang diakibatkan postur kerja operator.

Dibawah ini akan dijelaskan secara ringkas keistimewaan aplikasi


metode REBA untuk membantu mempermudah implementasi di
lapangan, sebagai berikut:

STIKes Faletehan
29

a. Metode REBA merupakan metode yang sangat sensitif untuk


mengevaluasi resiko, khususnya pada sistem musculoskeletal.
b. Metode REBA, membagi menjadi segmen-segmen tubuh yang akan
diberi kode secara individu, dan mengevaluasi baik anggota badan
bagian atas maupun badan, leher dan kaki.
c. Metode ini digunakan untuk menganalisis pengaruh pada beban
postural selama penanganan kontainer yang dilakukan dengan tangan
atau bagian tubuh lainya.
d. Metode ini, dianggap relevan untuk jenis kontainer yang mempunyai
pegangan.
e. Memungkinkan untuk melakukan penilaian terhadap aktivitas otot
yang disebabkan oleh posisi tubuh statis, dimnamis, atau karena
terjadinya perubahan postur yang tak terduga atau tiba-tiba.
f. Hasilnya adalah untuk menentukan tingkat risiko cedera dengan
menetapkan tingkat tindakan korektif yang diperlukan dan
melakukan intervensi untuk perbaikan segera.

Sebagai langkah nyata sebelum menggunakan metode REBA, maka perlu


dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Kita harus menentukan periode waktu observasi dengan
mempertimbangkan posisi tubuh pekerja, dan jika memungkinkan
tentukan siklus waktu kerja.
b. Jika terdapat pekerjaan dengan durasi waktu yang berlebihan perlu
dilakukan analisis secara detail.
c. Catat posisi yang berbeda yang dilakukan oleh pekerja selama
bekerja, baik dengan rekaman video, atau melalui foto kamera atau
dengan memasukan waktu riil apabila memungkinkan selama proses
observasi.
d. Lakukan identifikasi posisi untuk semua pekerjaan-pekerjaan yang
dianggap paling penting dan berbahaya untuk penilaian lebih lanjut
dengan metode REBA
e. Metode REBA harus diaplikasikan secara terpisah untuk kedua sisi
tubuh baik kanan maupun kiri.

STIKes Faletehan
30

Informasi-informasi penting yang perlukan di dalam aplikasi dengan


metode REBA antara lain harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a. Sudut antara bagian-bagian tubuh yang berbeda (badan, leher, kaki,
lengan atas, lengan bawah, pergelangan tanggan) terhadap posisi
tertentu. Pengukuran ini dapat dilakukan secara berlangsung pada
pekerja dengan menggunakan peralatan ukur dengan melalui foto
kamera, sehingga diperoleh titik pandang sudut bagi tubuh yang
diukur.
b. Beban atau force yang dikerjakan oleh pekerja dan dinyatakan dalam
kilogram.
c. Jenis pegangan kontainer yang dikerjakan secara manual atau dengan
menggunakan bagian tubuh lainnya.
d. Karakteristik aktivitas otot yang digunakan oleh pekerja (pengerahan
otot yang statis, dinamis dan pengerahan otot secara mendadak atau
tiba-tiba).

Group A: Penilaian anggota tubuh bagian badan, leher dan kaki.


Metode REBA ini dimulai dengan melakukan penilaian dan pemberian
skor individu untuk group A (badan, leher dan kaki).

1) Skoring pada badan (trunk)

Gambar 2.1 Posisi Badan


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.2
Skor Posisi Badan dan Skoring

STIKes Faletehan
31

Skor Posisi
1 Posisi badan tegak lurus
2 Posisi badan fleksi: antara 0˚-20˚ dan ekstensi: antara 0˚-20˚
3 Posisi badan fleksi: antara 20˚-60˚ dan ekstensi: > 20˚
4 Posisi badan membungkuk fleksi> 60˚
Sumber: Tarwaka, 2010

Gambar 2.2 posisi badan yang dapat mengubah skor


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.3
Skor Posisi Badan yang dapat Mengubah Skor
Skor Posisi
+1 Posisi badan membngkuk dan atau memuntir secara lateral
Sumber: Tarwaka, 2010

2) Skoring pada leher

Gambar 2.3 Skoring pada leher


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.4
Skoring posisi leher

STIKes Faletehan
32

Skor Posisi
1 Posisi leher fleksi: 0˚-20˚
2 Posisi leher fleksi atau ekstensi > 20˚
Sumber : Tarwaka, 2010

Gambar 2.4 Posisi leher yang dapat mengubah skor


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.5
Skor posisi leher yang berubah
Sko Posisi
r
+1 Posisis leher membungkuk dan atau memuntir secara lateral
Sumber: Tarwaka, 2010

3) Skoring pada kaki

Gambar 2.5 Ilustrasi posisi kaki


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.6
Skoring posisi kaki
Skor Posisi
1 Posisi kedua kaki tertopang dengan baik di lantai dalam
keadaan berdiri maupun berjalan

STIKes Faletehan
33

2 Salah satu kaki tidak teropang di lantai dengan baik atau


terangkat
Sumber: Tarwaka, 2010

Gambar 2.6 Posisi kaki yang dapat mengubah skor


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.7
Skoring posisi kaki yang berubah
Skor Posisi
+1 Salah satu kaki ditekuk fleksi antara 30˚-˚60
+2 Salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara >60˚
Sumber: Tarwaka, 2010

Group B: penilaian anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan


bawah dan pergelangan tangan)
Setelah selesai melakukan penilaian terhadap anggota tubuh pada
group A, maka selanjutnya harus menilai anggota tubuh bagian atas
(lengan, lengan bawah dan pergelangan tangan) pada kedua sisi kiri
dan kanan dan menilainnya secara individu.

4) Skoring pada lengan

STIKes Faletehan
34

Gambar 2.7 ilustrasi posisi lengan


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.8
Skoring posisi lengan
Skor Posisi
1 Posisi lengan fleksi atau ekstensi antara 0˚-20˚
2 Posisi lengan fleksi antara 21˚-45˚ atau ekstensi > 20˚
3 Posisi lengan fleksi antara 46˚-90˚
4 Posisi lengan fleksi >90˚
Sumber: Tarwaka, 2010

Gambar 2.8 ilustrasi posisi lengan yang mengubah


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.9
Skoring posisi lengan yang berubah
Skor Posisi
+1 Jika bahu diangkat atu lengan diputar atau dirotasi
+1 Jika lengan diangkat menjauh dari badan
-1 Jika berat lengan ditopang untuk menahan gravitasi
Sumber : Tarwaka, 2010

5) Skoring pada lengan bawah

Gambar 2.9 ilustrasi posisi dan kisaran sudut lengan bawah


Sumber: Tarwaka, 2010

STIKes Faletehan
35

Tabel 2.10
Skoring posisi dan kisaran sudut lengan bawah
Skor Posisi
1 Posisi lengan bawah fleksi antara 60˚-100˚
2 Posisi lengan bawah fleksi < 60˚ atau >100˚
Sumber: Tarwaka, 2010

6) Skoring pada pergelangan tangan

Gambar 2.10 ilustrasi posisi dan kisaran pergelangan tangan


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.11
Skoring posisi dan kisaran pergelangan tangan
Skor Posisi
1 Posisi pergelangan tangan fleksi atau ekstensi antara 0˚ - 15˚
2 Posisi pergelangan tangan fleksi atau ekstensi >15˚
Sumber: Tarwaka, 2010

Gambar 2.11 ilustrasi posisi pergelangan tangan yang berubah


Sumber: Tarwaka, 2010

Tabel 2.12
Skoring posisi pergelangan yang berubah
Skor Posisi
+1 Pergelangan tangan pada saat bekerja mengalami torsi atau
deviasi baik ulnar maupun radial
Sumber: Tarwaka, 2010

STIKes Faletehan
36

7) Skoring Group A dan B

Tabel 2.13
Skoring Awal Group A
Tabel A
Leher
1 2 3
Badan Kaki Kaki Kaki
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 1 2 3 4 1 2 3 4 3 3 5 6
2 2 3 4 5 3 4 5 6 4 5 6 7
3 2 4 5 6 4 5 6 7 5 6 7 8
4 3 5 6 7 5 6 7 8 6 7 8 9
5 4 6 7 8 6 7 8 9 7 8 9 9
Sumber : Tarwaka, 2010

Tabel 2.14
Skoring Awal Group B
Tabel B
Lengan Bawah
Lengan 1 2
Pergelangan Tangan Pergelangan Tangan
1 2 3 1 2 3
1 1 2 2 1 2 3
2 1 2 3 2 3 4
3 3 4 5 4 5 5
4 4 5 5 5 6 7
5 6 7 8 7 8 8
6 7 8 8 8 9 9
Sumber: Tarwaka, 2010

8) Skoring untuk pembebanan atau force


Besar kecilnya skor untuk pembebanan akan sangat tergantung dari
berat ringannya beban yang dikerjakan oleh pekerja.

Tabel 2.15
Skor untuk pembebanan
Skor Posisi
+0 Beban < 5 kg
+1 Beban antara 5-10 kg
+2 Beban > 10kg
Sumber: Tarwaka, 2010

STIKes Faletehan
37

9) Skoring untuk jenis pegangan


Jenis pegangan akan dapat meningkatkan akor pada grop B (lengan,
lengan bawah dan pergelangan tangan), kecuali dipertimbangkan
bahwa jenis pegangan pada konteiner/barang adalah baik.

Tabel 2.16
Skoring untuk jenis pegangan
Skor Posisi
Pegangan bagus. Pegangan kontainer baik dan kekuatan
+0 pegangan berada pada posisi tengah
Pegangan sedang. Pegangan tangan dapat diterima, tetapi tidak
+1 ideal atu pegangan optimum yang dapat diterima untuk
menggunakan bagian tubuh lainnya.
Pegangan kurang baik. Pegangan ini mungkit dapat digunakan
+2 tetapi tidak diterima
Pegangan jelek. Pegangan ini terlalu dipaksakan, atau tidak ada
+3 pegangan atau genggaman tangan, pegangan bahkan tidak
dapata diterima untuk menggunakan bagian tubuh lainnya
Sumber: Tarwaka, 2010

10) Skoring C terhadap skor A dan skor B

Tabel 2.17
Skor tabel C terhadap skor A dan skor B
Tabel C
Skor Skor B
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 1 1 1 2 3 3 4 5 6 7 7 7
2 1 2 2 3 4 4 5 6 6 7 7 8
3 2 3 3 3 4 5 6 7 7 8 8 8
4 3 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9
5 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9 9
6 6 6 6 7 8 8 9 9 10 10 10 10
7 7 7 7 8 9 9 9 10 10 11 11 11
8 8 8 8 9 10 10 10 10 10 11 11 11
9 9 9 9 10 10 10 11 11 11 12 12 12
10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12
11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Sumber: Tarwaka, 2010

STIKes Faletehan
38

11) Penentuan dan perhitungan final skor REBA


a) Skoring untuk frekuensi aktvitas otot

Tabel 2.18
Skoring jenis aktivitas otot
Skor Aktivitas
Suatu atau lebih bagian tubuh dalam keadaan statis,
+1
misalnya ditopang untuk lebih dari 1 menit
Gerakan berulang-ulang terjadi, misalnya repetisi lebih dari
+1
4 kali per menit (tidak masuk berjalan)
Terjadi perubahan yang signifikan pada postur tubuh atu
+1
postur tubuh tidak stabil selama kerja
Sumber: Tarwaka, 2010

b) Standar penilaian akhir metode REBA


Semakin besar nilai dari hasil yang di peroleh, maka akan lebih
besar risiko yang dihadapi untuk posisi yang bersangkutan. Nilai
1 menunjukan risiko yang dapat diabaikan, sedangkan nilai
maksimum adalah 15 yang menyatakan bahwa posisi tersebut
berisiko tinggi.

Tabel 2.19
Skor akhir penilaian
Skor Tingkat
Tingkat Aksi Tindakan
akhir Risiko
Tidak ada tindakan
1 0 Sangat rendah
yang diperlukan
Munkin diperlukan
2-3 1 Rendah
tindakan
4-7 2 Sedang Diperluka tindakan
Diperlukan tindakan
8-10 3 Tinggi
segera
Diperlukan tindakan
11-15 4 Sangat tinggi
segera mungkin
Sumber: Tarwaka, 2010

STIKes Faletehan
39

2. Metode “Nordic Body Map” (NBM)


Dalam aplikasinya metode Nordic Body Map dengan menggunakan
lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat
sederhana, mudah dipahami, dan memerlukan waktu yang sangat singkat
(± 5 menit) perindividu. Observer dapat langsung mewawancarai atau
menanyakan kepada responden, pada otot-otot bagian mana saja yang
mengalami gangguan kenyerian atau sakit, atau dengan menunjuk
langsung pada setiap otot skeletal sesuai yang tercantum dalam lembar
kuesioner Nordic Body Map.

Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot-otot skeletal pada kedua sisi
tubuh kanan dan kiri . yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu
otot leher sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki.
Melalui kuesioner Nordic Body Map maka akan dapat diketahui bagian-
bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau keluhan
dari tingkat rendah (tidak ada keluhan/cidera) sampai dengan keluhan
tingkat tinggi (keluhan sangat sakit/cidera). (Tarwaka, 2010).

Dibawah ini adalah contoh desain penilaian dengan 4 skala yaitu:


a. Skor 1 = tidak ada keluhan/nyeri atau tidak ada rasa sakit sama
sekali yang dirasakn oleh pekerja (tidak sakit).
b. Skor 2 = dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada otot
skeletal (agak sakit)
c. Skor 3 = responden merasakan adanya keluhan/kenyerian atau sakit
pada otot skeletal (sakit)
d. Skor 4 = responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri
pada otot skeletal (sangat sakit).

STIKes Faletehan
40

Tabel 2.20
Nordic Body Map
Skoring
Otot Skeletal
1 2 3 4
0. Leher atas
1. Tengkuk
2. Bahu kiri
3. Bahu kanan
4. Lengan atas kiri
5. Punggung
6. Lengan atas
kanan
7. Pinggang
8. Pinggul
9. Pantat
10. Siku kiri
11. Siku kanan
12. Lengan bawah
kiri
13. Lengan bawah
kanan
14. Pergelangan
tangan kiri
15. Pergelangan
tangan kanan
16. Tangan kiri
17. Tangan kanan
18. Paha kiri
19. Paha kanan Gambar 2.12 Body Map
20. Lutut kiri Sumber: Tarwaka, 2010
21. Lutut kanan
22. Betis kiri
23. Betis kanan
24. Pergelangan kaki
kiri
25. Pergelangan kaki
kanan
26. Kaki kiri
27. Kaki kanan
Sumber: Tarwaka, 2010

Langkah terakhir dari aplikasi metode Nordic Body Map ini, tentunya
adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerja maupun posisi/sikap

STIKes Faletehan
41

kerja, jika diperoleh hasil yang menunjukan tingkat keparahan pada otot
skeletal yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya
sangat tergantung dari risiko otot skeletal mana saja yang mengalami
adanya gangguan atau ketidak nyamanan. Hal ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya adalah dengan melihat presentase pada setiap
bagian otot skeletal dan dengan menggunakan kategori tingkat resiko otot
skeletal. Dibawah ini merupakan pedoman sederhana yang dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi subjektivitas tingkat resiko otot
skeletal.

Tabel 2.21
Tingkat risiko otot skeletal berdasarkan total skor individu
Tingkat Total Tingkat Tindakan perbaikan
aksi skor risiko
individu
Bulum diperlukan adanya tindakan
1 28-49 Rendah
pebaikan
Mungkin diperlukan tindakan
2 50-70 Sedang
dikemudian hari
3 71-91 Tinggi Diperlukan tindakan segera
Sangat Diperlukan tindakan menyekuruh
4 92-112
tinggi sesegera mungkin
Sumber: Tarwaka, 2010

3. Skala Nyeri
Untuk mengetahui tingkat kenyerian pada seseorang bisa diukur dengan
menggunakan skala nyeri, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.22
Skala Nyeri
0 Tidak nyeri
1-3 Nyeri ringan : Secara obyektif responden dapat
berkomunikasi dengan baik
4-6 Nyeri sedang : Secara obyektif respnden mendesis,
menyeringai, dapat menunjukan lokasi
nyeri dan mendeskripsikannya
7-9 Nyeri berat : Secara obyektif responden terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tetapi
masih merespon terhadap tindakan dan
dapat menunjukan lokasi nyeri tapi
tidak dapat mendeskripsikannya

STIKes Faletehan
42

10 Nyeri sangat berat : Responden tidak mampu berkomunikasi


Sumber Adipta, 2013

F. Kerangka Teori
Kerangka teori ini merupakan gabungan dari beberapa teori yang telah
dikemukakan oleh para ahli, sehingga diperoleh kesimpulan terdapat beberapa
faktor risiko MSDs yang dapat dikategorikan menjadi tiga yakni faktor
pekerja, pekerjaan dan lingkungan.

Faktor pekerja :
Umur
Jenis kelamin
Kebiasaan merokok
Kesegaran jasmani
Kekuatan fisik
Indeks Massa Tubuh
(IMT)
Masa kerja

Faktor pekerjaan :
Peregangan otot yang
berlebihan
Aktivitas berulang
Keluhan
Sikap kerja tidak alamiah
Musculoskeletal
(postur kerja)
Disorders (MSDs)
Beban berat
Frekuensi
Durasi
Kontak dengan penekanan

Faktor lingkungan
Tekanan
Getaran
Mikrolimat
Temperature ekstrim

STIKes Faletehan
43

Kerangka Teori Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Sumber: Kurniawidjaja, 2011 ; Tarwaka, 2010

STIKes Faletehan

Anda mungkin juga menyukai