Anda di halaman 1dari 12

Zulkarnain Dali, Desain Politik Dalam Pendidikan Indonesia 377

DESAIN POLITIK DALAM PENDIDIKAN INDONESIA

Zulkarnain Dali

Abstract ; Political education is a policy idea of political strategy to


realize the expected educational goals a reality. Politically the government
wants to stick to the national level to the Pancasila and the 1945
Constitution, which is rooted in religion, culture and responsibility to the
demands and changing times. Efforts to achieve national education goals
is educating the nation, must also be supported by the strength and
political stability of Indonesia.

Kata Kunci : Desain Politik, Pendidikan.

A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi
Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah
konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar (learning)
dan pembelajaran. Untuk mewujudkan hal tersebut maka disusunlah suatu
peraturan perundang-undangan yang dikenal Undang-undang Sistim
Pendidikan Nasional.
Dalam undang-undang sistim pendidikan nasional di Indonesia baik
yang berlaku di era reformasi maupun era sebelumnya, tidak bisa dihindari
adanya keterkaitan antara pendidikan dan politik. Mengenai hal ini, Mochtar
Bukhari menulis bahwa keterikatan yang ada saat ini bersifat sepihak dan
asimetris. Politik selalu mampu mempengaruhi pendidikan, tetapi tidak
sebaliknya baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek (Mochtar
Buchari, 2003: 53) Sebagai contoh yang dapat diungkapkan dari pendapat ini
adalah ketika rezim Orde Baru berkuasa seluruh aspek kehidupan politik
bangsa Indonesia diarahkan untuk menciptakan opini untuk mengkultuskan
rezim ini. Upaya ini merambah pula ke dalam ranah pendidikan. Setiap sekolah
diwajibkan untuk mempelajari sejarah nasional yang isinya tidak lain adalah
membentuk mainstream pemikiran peserta didik untuk mengagumi
pemerintahan Orde Baru.

377
378 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945


mengamanatkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistim pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Sistim pendidikan
nasional tersebut harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah dan berkesinambungan.
Masalahnya adalah politik dan hukum sebagai subsistem
kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang,
karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, namun begitu
hukum berlaku, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum (Afan
Gaffar, 1992: 12) Demikian juga halnya dengan pendidikan, jika suatu undang-
undang pendidikan telah diberlakukan maka ia harus tetap dijalankan baik
dalam tatanan konfigurasi politik otoriter maupun responsif. Dalam kaitannya
dengan pendidikan, maka politik pendidikan adalah suatu gagasan kebijakan
strategi politik untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan menjadi
suatu kenyataan.

B. Pembahasan
a. Pembentukan politik pendidikan
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan peraturan
perundang-undangan yang baik akan banyak menunjang penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan sehingga memungkinkan tercapainya tujuan
negara yang diinginkan. Dengan memperhatikan Sirajuddin merinci secara
umum mekanisme pembentukan undang-undang terdiri atas tiga tahap yaitu :
a. Proses penyiapan RUU yang merupakan proses penyusunan dan
perancangan di lingkungan pemerintah atau di lingkungan DPR.
b. Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat.
Zulkarnain Dali, Desain Politik Dalam Pendidikan Indonesia 379

c. Proses pengesahan oleh Presiden dan pengundangan oleh Mensesneg


atas perintah presiden. (Sirajuddin, 2008: 122)
Materi yang dimuat dalam perundang-undangan harus
mencerminkan beberapa azaz seperti pengayoman, kemanusiaan,
kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum dan keseimbangan. Pada prinsipnya, setiap muatan
materi perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara
termasuk presiden dan pembantunya harus merujuk dan berdasarkan
prinsip dan asas yang digambarkan dalam Undang-undang Dasar 1945.
Pemerintah dan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaannya
mewarisi sistim pendidikan yang bersifat dualistis yaitu :
d. Sistim pendidikan dan Pengajaran modern yang bercorak sekuler atau
sistim pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang
merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
e. Sistim pendidikan Islam, yang tumbuh dan berkembang di kalangan
umat Islam sendiri yang berlangsung di surau, masjid dan pesantren
serta madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak keagamaan
semata. (Tadjab, 1998: 80)
Usaha pemerintah untuk menyelenggarakan suatu sistim pendidikan
nasional dengan memadukan kedua sistim warisan di atas nampak jelas
dalam kebijakan yang diambil pemerintah sebelum terwujudnya undang-
undang yang mengatur tentang satu sistim pendidikan nasional. Kebijakan
yang diambil pemerintah adalah membagi tanggung jawab pembinaan
sekolah umum kepada Menteri P dan K (sekarang Mendiknas) dan
pendidikan Islam berada di bawah tanggung jawab Menteri Agama.
Undang-undang tentang Sistim Pendidikan Nasional di negara
Indonesia yang telah antara lain :
1. UU No. 4 tahun 1950 yang disyahkan tanggal 2 April 1950 tentang
Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah.
2. UU Nomor 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi.
3. UU nomor 14 tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional.
380 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012

4. UU Nomor 19 tahun 1965 tentang Pokok-pokok sistim pendidikan


nasional Pancasila.
Akan tetapi, Tadjab menilai bahwa undang-undang tersebut belum
merealisasikan kehendak UUD 1945 secara murni, karena masih terjadi
penyelewengan-penyelewengan terhadap pelaksanaan UUD 1945 itu
sendiri. Hal ini dikarenakan manifesto politik dengan melaksanakan UUD
1945 pada spesifkasi sosialisme Indonesia, Demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin dan manipol USDEK.(Tadjab, 2008: 85)
Setelah kejatuhan Orde Lama, Orde Baru sebagai penerus
kekuasaan berusaha mengadakan koreksi total terhadap pelaksanaan UUD
1945 termasuk di didalam melaksanakan pendidikan nasional. Maka
mulailah dipersiapkan penyusunan UU tentang sistim pendidikan nasional
menjadi UU sehingga disyahkanlah UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistim
Pendidikan Nasional (UUSPN) dan sekarang dengan beberapa perubahan
diberlakukanlah UU No 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dua Undang-undang terakhir ini dilaksanakan secara semesta
(terbuka bagi seluruh rakyat) menyeluruh (mencakup semua jalur, jenjang
dan jenis pendidikan) dan terpadu (adanya keterkaitan antara pendidikan
nasional dan usaha pembangunan nasional).
Political will pemerintah untuk menciptakan pendidikan demokratis
tercermin dalam UU No. 20 tahun 2003. Karakteristik produk hukum ini
adalah di tengah-tengah isu minoritas dan mayoritas agama di Indonesia,
UU Sisdiknas dirancang untuk lebih terbuka kepada siapa dan agama apa
saja untuk mendapatkan pendidikan baik pendidikan umum maupun
agama sesuai dengan amanat UUD 1945 (ps. 31 ayat 1 UUD 1945)
Dengan kata lain, meskipun negara Indonesia merupakan negara yang
memiliki keragaman dalam banyak aspek, UU Sisdiknas mampu
mengakomodir keragaman suku, agama, ras, jenis kelamin dan kedudukan
sosial dan ekonomi itu sebagai satu kesatuan dalam pendidikan nasional.
Secara politis pemerintah menginginkan pendidikan nasional itu tetap
berpegang kepada Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada agama,
budaya dan responsibility terhadap tuntutan dan perubahan zaman.
Zulkarnain Dali, Desain Politik Dalam Pendidikan Indonesia 381

Dalam konteks pendidikan Islam, UU No. 20 tahun 2003 yang


disahkan oleh DPR tanggal 1 Juni 2003 dan diberlakukan pada tanggal 8
Juni 2003 dalam Batang Tubuh UU tersebut adalah cukup ideal dan
akomodatif dalam mengatur sistim pendidikan di Indonesia, termasuk
sistim pendidikan Islam. Karena itu, sejatinya undang-undang ini harus
diterjemahkan secara Islami dengan pola menginternalisasikan nilai-nilai
Islam ke dalam seluruh kandungan isi dan maknanya.
Selain itu, upaya perbaikan dan penyempurnaan undang-undang
sistim pendidikan nasional mulai dari Orde Lama hingga Reformasi
menunjukan pula adanya keinginan politik pemerintah untuk menjadikan
pendidikan nasional sebagai salah satu indikator kemajuan pembangunan
nasional semakin meningkat. Menurut Sumarjo sikap pemerintah ini tentu
saja terkait dengan tuntutan zaman yang selalu menuntut koreksi terhadap
sistim pendidikan yang ada sehingga dapat terus dilaksanakan sejalan
dengan perubahan global (ps. 2 UU Sisdiknas 2003)
Jika ditinjau dari indikator sebagai produk hukum, maka UU
Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 bermuatan aspiratif yang mengakomodir
setiap hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam pendidikan dan
proses pembuatannya cukup partisipatif dengan memfungsikan
keterwakilan setiap elemen bangsa dalam sebuah parlemen.
Dari perspektif pembentukan hukum, perumusan UU No. 20 tahun
2003 tentang sistim pendidikan nasional dapat dikategorikan responsif
karena ia lahir dalam sikap yang akomodatif yang demokratis dan melalui
mekanisme pembahasan di lembaga legislatif sebagai wujud memenuhi
aspirasi rakyat. Sementara dari perspektif materi hukum, politik hukum
pemerintah bersifat otonom dan populistik, dimana produk hukum
perbankan syari’ah ini adalah pencerminan rasa keadilan, keseimbangan
dan relatif memenuhi harapan dan kebutuhan hukum masyarakat dalam
ranah pendidikan. Karenanya, karakter produk hukum UU sisdiknas tahun
2003 dinilai responsif meskipun dalam konfigurasi politik yang
demokratis.
382 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012

b. Permasalahan pendidikan menurut aspek ekonomi dan sosial budaya


1) Aspek ekonomi
Di dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak peradaban bangsa yang bermanfaat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian jelas pendidikan mutlak diselenggarakan
dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas,
berwibawa dan bermartabat, beriman dan bertaqwa guna mengisi
pembangunan nasional. Namun kualitas pendidikan itu bukan
saja terletak pada bagaimana peserta didik mampu menyerap ilmu
pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan, tetapi juga
terletak pada dimensi akhlak peserta didik. Pendidikan harus
mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak sekedar
sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga harus
memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah,
menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima dari
arus informasi itu yaitu manusia yang kreatif dan inovatif.
Manusia yang kreatif dan produktif inilah yang harus menjadi
visi pendidikan termasuk pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan
manusia yang demikian itulah yang didambakan kehadirannya
baik secara individual maupun komunal.
Ekonomi pendidikan merupakan bagian terpenting dari
pembangunan nasional bidang pendidikan. Oleh karena itu, maka
ekonomi dan pendidikan dalam tataran pembangunan nasional
adalah suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Masing-
masing harus berjalan seiring sejalan sesuai dengan kebutuhan
Zulkarnain Dali, Desain Politik Dalam Pendidikan Indonesia 383

dan tuntutan zaman. Artinya, tidak satupun negara di dunia ini


yang meletakan permasalahan pendidikan dan ekonominya pada
posisi yang berjauhan. Pendidikan dan ekonomi membentuk suatu
sinergi yang saling memperkuat satu sama lain.
Inti permasalahan dalam pendidikan nasional adalah
pengembangan sumber daya manusia berada pada peningkatan
kualitas tenaga kerja yang mampu menjadi pelaku-pelaku dalam
berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, pengembangan sumber
daya manusia harus ditopang pula oleh faktor ekonomi yang
berfungsi suplier, patisipan dan pelanggan (Mulya Kelana, 1999:
231) Pendapat ini menjelaskan bahwa ekonomi dalam pendidikan
berfungsi sebagai sumber dana dalam penyelenggaraan
pendidikan (suplier), kontributor dalam pendidikan dan consumer
(pengguna) keluaran pendidikan.
Inti permasalahan pendidikan saat ini sejalan dengan
pemikiran W. Mc.Wija (2000: 23) bahwa berbicara mengenai
mutu pendidikan (dalam hal ini mutu keluaran) pendidikan tidak
akan terlepas dari pembicaraan masalah ekonomi sebagai faktor
pendidikan. Ekonomi menjadi katalisator yang memberikan
kontribusi dalam menciptakan banyak manfaat yang diperoleh
dari pendidikan dan mendorong tercapainya peningkatan mutu
pendidikan.

2) Permasalahan Sosial Budaya


Pendidikan adalah suatu perbuatan yang kompleks, di mana
keberhasilan para pendidik merupakan salah satu bagian dari
kompleksitas dunia pendidikan. Keberhasilan dimaksud harus mendapat
perhatian serius dari para guru. Dalam kerangka mencapai keberhasilan
pendidikan, maka diperlukan kerjasama antara seluruh pihak seperti
orang tua, sekolah, masayarakat dan pemerintah. Hal ini berarti
memerlukan suatu hubungan sosial yang harmonis antara masing-
masing pihak tersebut.
384 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012

Aspek kesosialan manusia merupakan salah satu kunci


kebehasilan dalam pendidikan. Sebab, jika di dalam dunia pendidikan
tidak terdapat keserasian, kesefahaman dan pengertian maka proses
pendidikan yang dijalankan akan menjadi terganggu. Hal ini
mengakibatkan proses pencapaian tujuan pendidikan itu tidak akan
dapat mencapai hasil yang maksimal. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa aspek sosial ini mempunyai arti penting dalam dunia pendidikan.
Baik atau buruk aspek sosial akan mempengaruhi proses pendidikan
baik pendidikan di sekolah itu maupun pendidikan nasional.
Perubahan dunia saat ini tidak bisa dihindari menimbulkan
benturan-benturan budaya di masyarakat. Menurut Faisal Ismail (2004:
58) penyebabnya adalah “kurangnya apresiasi yang besar di masyarakat
terhadap masalah-masalah kebudayaan lokal. Yang ada hanyalah
semakin meningkatnya accept ratio (rasio penerimaan) terhadap
budaya-budaya asing”.
Untuk mengatasi akses-akses negatif pengaruh budaya asing
terhadap local cultur, konteks dengan dunia pendidikan baik melalui
pendidikan formal maupun non formal harus mengubah dan meluruskan
sikap, prilaku dan cara berfikir terhadap budaya tersebut. Point of view
dari kontrak yang harus dilakukan adalah meletakan posisi pendidikan
sebagai penyeimbang budaya asing yang masuk sehingga pendidikan
mampu meletakan budaya lokal dan budaya asing pada tempatnya
masing-masing. Budaya lokal harus tetap terjaga meskipun kuatnya
desakan budaya asing. Pendidikan harus mengambil sisi positif dari
budaya dan perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Menurut Faisal Ismail (2004: 63) termasuk dalam hal ini adalah pola
pandang positif terhadap budaya asing (Barat) adalah pencapaian sains
dan tekhnologi yang modern serba canggih.

3. Relevansi Permasalahan dengan Pencapaian Tujuan Pendidikan


Dalam Kamus Bahasa Indonesia, dijumpai bahwa kata pendidikan
terdiri dari kata didik yang diawali dengan kata pen dan mendapat akhiran
an yang berarti perbuatan hal, cara, dan sebagainya. Selain itu dalam kamus
Zulkarnain Dali, Desain Politik Dalam Pendidikan Indonesia 385

ini dijumpai pula kata yang serumpun dengan itu yaitu pengajaran yang
berarti cara (perbuatan dan sebagainya) atau mengajarkan
(Poerwadarminta, 1991: 5) Dua kata tersebut dalam Bahasa Inggris kita
kenal dengan education untuk pendidikan dan teaching untuk pengajaran.
Dan jika di simak secara seksama, di dalam pengertian secara kebahasaan
itu dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut lebih terfokus kepada suatu
kegiatan yang ditunjukan oleh kata dasar yaitu didik dan imbuhan-
imbuhannya, menunjukkan adanya proses yang dilakukan seseorang
kepada orang lain tanpa memperlihatkan sistem atau programnya. Sebagai
contoh jika guru mengucapkan basmalah ketika akan memulai pelajaran,
maka pada saat itulah proses pendidikan itu berlangsung. Bahasa sistim
atau programnya tidak diatur terlebih dahulu bukanlah menjadi masalah.
Proses pendidikan itu tetap berlangsung sejak guru mengajarkan kepada
peserta didik untuk selalu mengucapkan kalimat itu ketika memulai suatu
pekerjaan yang baik dan bermanfaat.

4. Desain Politik dalam Pendidikan


Pendidikan mutlak diselenggarakan dalam rangka mewujudkan
masyarakat Indonesia yang cerdas, berwibawa dan bermartabat, beriman
dan bertaqwa guna mengisi pembangunan nasional. Namun kualitas
pendidikan itu bukan saja terletak pada bagaimana peserta didik mampu
menyerap ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam kehidupan, tetapi
juga terletak pada dimensi akhlak peserta didik. Pendidikan harus mampu
menyiapkan seumber daya manusia yang tidak sekedar sebagai penerima
arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada mereka
agar dapat mengolah, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang
diterima dari arus informasi itu yaitu manusia yang kreatif dan inovatif.
Manusia yang kreatif dan produktif inilah yang harus menjadi visi
pendidikan termasuk pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan manusia yang
demikian itulah yang didambakan kehadirannya baik secara individual
maupun komunal.
Tujuan merupakan masalah sentral dalam pendidikan. Sebab, tanpa
perumusan yang jelas niscaya perbuatan menjadi acak-acakan, tanpa arah
386 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012

dan salah jalan. Ramayulis dan Samsul Nizar menulis betapa pentingnya
tujuan pendidikan itu karena secara inplist dan eksplisit di dalamnya
terkandung hal-hal yang sangat asasi yaitu padangan hidup dan falsafah
hidup pendidikan, lembaga penyelenggara pendidikan dan negara
Ramayulis, 2006: 117) Demikian juga diungkapkan oleh Robert F. Mager
bahwa tujuan pendidikan merupakan dasar pokok bagi pemilihan metode
dan bahan pengajaran serta pemilihan alat-alat untuk menilai apakah proses
pendidikan telah berjalan dengan baik (Ngalim Poerwanto, 2000: 38)
Permasalahan ekonomi dan sosial budaya sangat erat kaitannya dengan
upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Tujuan ini tidak akan
tercapai jika permasalahan ekonomi dan sosial budaya masih menyertai
pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia. Sebab, sebagaimana
termaktub dalam UU Sisdiknas tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga, upaya
pencapaian tujuan ini harus pula didukung oleh kekuatan ekonomi dan
sosial budaya bangsa Indonesia.
Desain politik dalam pendidikan sebagaimana diuraikan di atas
dapat digambarkan sebagai berikut :
UNDANG NO. 20
TAHUN 2003

SISDIKNAS
TENTANG
UNDANG-

TUJUAN PENDIDIKAN

POLITICAL WILL Tujuan pendidikan nasional :


PEMERINTAH mencerdaskan kehidupan
bangsa
MASYARAKAT
DUKUNGAN

PENINGKATAN PEMBANGUNAN
NASIONAL DALAM SEGALA BIDANG
MELALUI SUMBER DAYA MANUSIA
BERKUALITAS
Zulkarnain Dali, Desain Politik Dalam Pendidikan Indonesia 387

C. Kesimpulan
Inti permasalahan dalam pendidikan nasional adalah
pengembangan sumber daya manusia berada pada peningkatan kualitas
tenaga kerja yang mampu menjadi pelaku-pelaku dalam berbagai bidang
kehidupan. Akan tetapi, pengembangan sumber daya manusia harus
ditopang pula oleh faktor politik dan pendidikan. Artinya, politik dalam
pendidikan berfungsi sebagai pengatur strategis dalam terhadap
kebijakan sistem pendidikan. Aspek politik ini mempunyai arti penting
dalam dunia pendidikan. Baik atau buruk aspek politik akan mempengaruhi
proses pendidikan baik pendidikan di sekolah itu maupun pendidikan nasional.
Permasalahan politik sangat erat kaitannya dengan upaya pencapaian
tujuan pendidikan nasional. Tujuan ini tidak akan tercapai jika tidak ada
political will pemeritah yang menyertai pelaksanaan sistem pendidikan di
Indonesia. Sebab, sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas tahun 2003
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sehingga, upaya pencapaian tujuan ini harus pula didukung oleh kekuatan dan
kestabilan politik bangsa Indonesia.

Penulis : Drs. H. Zulkarnain Dali, M.Pd adalah Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkulu

DAFTAR PUSTAKA

Buchori, Muchtar, 2000, Transformasi Pendidikan, Jakarta : Sinar Harapan

Fatah, Nanang, 2000, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung : Remaja


Rosdakarya

Gaffar, Afan, 1992, Pengembangan Hukum dan Demokrasi, Yogyakarta: UII


Press

http://re-searchengines.com/art05-65.html) diakses tanggal 17 Mei 2011

Mc.Wija, W, 2000, Pendidikan dan Ekonomi, Jakarta : Logos


388 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012

Sirajuddin, 2008, Legalisasi Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Tadjab, 1992, Perbandingan Pendidikan, Surabaya : Karya Abditama

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional

Poerwanto, Ngalim, 2000, Psikologi Pendidikan, Jilid 2, (Jakarta, Remaja


Rosdakarya

Ramayulis dam Syamsul Nizar, 2006, Filsafat Pendidikan Islam¸(Jakarta, Kalam


Mulia

Anda mungkin juga menyukai