Anda di halaman 1dari 3

IZZAH: KEMANA AKAN DICARI?

“Barangsiapa yang akan mencari izah maka hanya bagi Allahlah


izah itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan baik
(kalimah thayyibah) dan amal shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-
orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang
keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Faathir: 10)

Abdurrahman bin Auf pernah datang menemui Rasulullah SAW dan


menyampaikan keluhannya: “Ya Rasulullah, dulu ketika kami masih jahiliyah
kami adalah orang yang memiliki izah (kehormatan), tapi kini ketika kami telah
memeluk Islam, maka mereka (orang-orang kaifr Quraisy itu) menghinakan kami.
Izinkanlah kami untuk memerangi mereka!”

Rasulullah SAW menanggapi keluhan Abdurrahman bin Auf itu. Beliau tidak
mengizinkan memerangi orang Quraisy, namun beliau memerintahkan orang yang
cukup terpandang di Makkah itu untuk bersabar dan melakukan kebaikan-
kebaikan Islam.

Makna Izzah

Dalam tafsir al-Bayan, izah diartikan sebagai kemuliaan dan kehormatan


seseorang. Kehormatan apa yang terdapat pada diri seseorang dan dari siapakah
kehormatan itu datang?

Sejarah memperlihatkan bahwa kehidupan kaum muslimin pada masa awal penuh
dengan penderitaan dan penghinaan mereka dikucilkan, diboikot, dipermalukan di
depan umum dan akhirnya diusir dari kampung halaman mereka. Secara sosial,
boikot terhadap Bani Hasyim merupakan penghinaan massal dan menyeluruh.
Pengeroyokan terhadap Amar bin Yasir dan Bilal juga merupakan penghinaan
terhadap kemanusiaan, sedangkan pengeroyokan Rasulullah SAW oleh anak-anak
kecil Thaif merupakan usaha memukul kehormatan beliau dengan penghinaan
yang amat dalam.

Kehormatan yang dimaksud dalam Islam dengan mengaca pada sejarah jelas
merupakan kehormatan yang hakiki, bukan sekedar simbol yang tiada artinya
yang diberikan manusia sebagai ajang menjilat diri. Kehormatan itu berasal dari
Allah dan diakui oleh Allah. Adapapun manusia, bisa jadi ada yang

16
mengingkarinya dan bisa jadi juga ada yang menerimanya lantara bisikan hati
nuraninya.

Islam mengajarkan pada pengikutnya untuk hanya menganggap kehormatan dari


Allahlah sebagai sumber segala izah, tanpa peduli manusia lain memandangnya.
Kehormatan dari Allah ada kehormatan yang hakiki karena bersifat obyektif.
Kehormatan manusia sering kali sangat dipengaruhi oleh kepentingan-
kepentingan pribadi atau golongan.

Wajarlah jika kehormatan yang berasal dari manusia itu seringkali bersifat
aksesoris saja dan jauh dari keadaan yang sesungguhnya. Jika kaum kafir
menawarkan pangkat raja, penguasa tertinggi dari seluruh kabilah yang ada di
jazirah Arab, kepada Rasulullah SAW bukanlah berarti mereka menaruh
penghargaan yang tinggi kepada beliau. Namun, sebaliknya hal itu merupakan
usaha peremehan terhadap nilai-nilai perjuangan Islam. Bagi seseorang yang
berjuang bukan demi kemuliaan nilai-nilai yang diagungkannya, barangkali
tawaran itu sangat menggiurkan, dan pasti diterima. Maka sejak saat itulah izah
(kehormatannya) yang hakiki jatuh berantakan.

Herakliuslah orang yang cukup memahami arti sebuah kehormatan yang hakiki,
meskipun nuraninya yang terang akhirnya tertutup juga oleh hasutan para
punggawanya. Dialah orang yang menghargai surat Rasulullah SAW dan setelah
mengetahui watak-watak Muhammad SAW terlontar ucapannya: “Sesungguhnya
orang inilah yang akan menguasai tanah yang kuinjak ini, demi Allah, jika ia
datang ke sini akan kubasuh kakinya…”

Sumber Izzah

Jika Allah SWT menyatakan bahwa Dia mengangkat kalimah thayyibah dan amal
shalihah kepada-Nya, maka dapat disimpulkan bahwa elemen dari kehormatan
seseorang terletak pada konsep dan pemikiran yang benar serta kerja yang baik.
Tanpa kehadiran kedua elemen ini, mustahil izah seseorang akan tumbuh secara
hakikik.

Kalimah Thayyibah adalah seluruh wahyu Allah yang tertuang dalam Kitab Suci
Al-Qur’an serta tuntunan-Nya kepada perkataan, perbuatan dan pengamatan Nabi
Muhammad SAW. selama bertahun-tahun Rasulullah SAW secara bertahap
berupaya memberikan bimbingan kepada para sahabatnya untuk dapat memahami
ajaran Islam. Pola pemikiran jahiliyah yang menguasai sebahagian besar
kehidupan para sahabat sebelum masuk Islam tidak mudah dilenyapkan.
Penggemblengan yang mendasar diberikan agar kelak mereka memiliki
pemahaman dan pemikiran yang benar tentang agama Allah ini.

17
Pemahaman dan pemikiran yang keliru akan menyebabkan menyimpangnya gerak
langkah kaum muslimin dalam menegakkan nilai-nilai Islam. Lihatlah bagaimana
Rasulullah menegur dan memperbaiki pemahaman yang keliru dari para sahabat
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Amal Shalih harus menyertai kalimah thayyibah agar membuah hasil positif yang
dapat dirasakan dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat nanti. Dalam hadits
qudsi, dijelaskan bahwa seorang pembaca Qur’an, seorang pejuang dan seorang
hartawan akan masuk ke neraka lantaran dalam amalnya terdapat kekeliruan yang
fatal, yakni niat. Niat yang ikhlas sebagai pembuka amal sangat menentukan
keberhasilan amat manusia. Dan hal itu masih harus diikuti cara yang benar pula.

Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Dakwah Fardiyah menyebut hal
itu dengan “khittah amal”. Ia berpendapat bahwa setiap pekerjaan manusia yang
tidak didasarkan kepada suatu khittah (program) yang memiliki tahapan dan skala
prioritas pasti akan menemui kegagalan atau tidak mampu mewujudkan sebagian
besar sasarannya. Setiap pekerjaan memerlukan perencanaan sesuai dengan
pekerjaan itu sendiri.

Izzah Muslimin

Uraian di atas memperlihatkan bahwa status “muslimin” buknlah suatu jaminan


bahwa mereka akan memperoleh “izah”. Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya
menggambarkan kondisi kaum muslimin yang sangat dikhawatirkannya. Bukan
karena jumlah mereka yang sedikit. Jumlah mereka justru banyak namun tanpa
disertai kualitas yang memadai. Beliau melukiskan sifat kaum muslimin itu
dengan cinta dunia (hubbud dunya) dan takut mati (karahiyatul maut). Kaum
muslimin dalam kondisi itu bagaikan buih yang dipermainkan ombak tanpa daya
sedikit pun.

Jadi, dalam upaya menaikkan kehormatan kaum muslimin di muka bumi ini,
mereka harus meninjau kembali konsep hidup dan perjuangan mereka. Cara-cara
mereka dalam meraih cita-cita pun perlu dikaji ulang. Semua itu harus bersifat
rabbaniyah (mengacu hanya pada Allah saja). Menjilat manusia penguasa melalui
penyesuaian konsep dan perilaku justru akan menghancurkan dan menghinakan
kehidupan kaum muslimin itu sendiri.

18

Anda mungkin juga menyukai