Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Internasional Kemajuan Manajemen Aloha (AIJMA)

ISSN 2622-3260
Volume 1 Nomor 1, Januari 2019 PENELITIAN
http://journal.aloha.academy/index.php/aijma

Analisis Program Desa Siaga Transformasi Menjadi Program Desa Siaga Aktif di Ogan Ilir
Kabupaten pada tahun 2015

Maretalinia 1, Wibowo 2 (Penulis yang sesuai)


1 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya, Indonesia
2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Layanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Indonesia

( wibowo869@yahoo.co.id )

Dikirim: 11 Januari 2019 -Direvisi: 22 Januari 2019 -Diterima: 23 Januari 2019 -Diterbitkan: 31 Januari 2019

ABSTRAK

INTISARI: Latar Belakang: Transformasi Program Desa Siaga menjadi Desa Siaga Aktif sangat penting
untuk menurunkan Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu, Balita. th tahun. Angka Kematian, dan
penyakit berbasis lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi Program Desa
Siaga menjadi Program Desa Siaga Aktif. Metode: Penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif di 4
desa (Sungai Pinang Nibung, Tebing Gerinting Utara, Ibul Besar I, Pipa Putih). Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam kepada 28 informan. Dilakukan analisis isi dan triangulasi
(sumber, metode, dan data). Hasil: Hasil pada tatanan fisik, sumber daya manusia, struktur organisasi dan
teknologi tidak ada transformasi. Faktor internal (karakteristik stakeholder dan perilaku serta pengambil
keputusan) mempengaruhi transformasi, faktor eksternal (kecenderungan sosial) tidak mempengaruhi
transformasi, dan tidak ada resistensi individu. Kesimpulan:

Kata kunci: Transformasi, Desa Siaga, Desa Siaga Aktif

PENGANTAR

Salah satu program pemberdayaan masyarakat adalah program desa Siaga (Permenkes 564/2006)
dengan kriteria desa yang memiliki poskesdes dan minimal 1 bidan desa dan 2 kader kesehatan telah
dikategorikan sebagai desa siaga. ( 1) Pada tahun 2008 ditargetkan seluruh desa di Indonesia menjadi Desa
Siaga. Program Desa Siaga diakselerasi menjadi Program Desa Siaga Aktif (Permenkes 1529/2010) dengan
delapan kriteria yang harus dipenuhi agar desa tersebut dikategorikan sebagai Desa Siaga Aktif. ( 2)

Program Percepatan Desa Siaga menjadi Program Desa Siaga Aktif diharapkan mampu meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat melalui konsep pemberdayaan masyarakat yang secara umum meliputi
penurunan AKI (Angka Kematian Ibu), AKB (Angka Kematian Bayi). ), dan kejadian penyakit berbasis
lingkungan yang disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Akselerasinya terjadi karena pada 2009 saja
56,1% desa di Indonesia masuk dalam kategori Desa Siaga, padahal ditargetkan melalui standar minimal tahun
2008 100% desa sudah siaga di Indonesia. ( 3) Di Kabupaten Ogan Ilir, pada tahun 2013 peran program belum
dipercepat, karena AKB 4,5 per 1.000 kelahiran hidup, AKB 1,18 per 1.000 kelahiran hidup, dan AKI 11 per
100.000 kelahiran hidup. Angka kematian cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir. Angka morbiditas
kasus baru BTA (+) adalah 100,7 per 100.000 penduduk, angka notifikasi kasus TB adalah
144,4 per 100.000 penduduk, sedangkan angka penemuan kasus pneumonia 17,23%, persentase diare
yang ditangani 91%. ( 4) Padahal berdasarkan standar minimal jumlah temuan penyakit berbasis
lingkungan harus 100%. Penerapan perilaku sehat juga belum maksimal, karena persentase rumah
tangga yang melakukan praktik perilaku sehat sebesar 50,7% dan persentase rumah sehat masih 59,31%
padahal target standar minimal 100%. ( 5)
Perubahan kebijakan kesehatan dari Program Desa Siaga menjadi Program Desa Siaga Aktif di Indonesia
juga harus diikuti dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, sesuai dengan tujuan Program Desa Siaga
Aktif yaitu mewujudkan desa dan desa. masyarakat perkotaan yang peduli, tanggap, serta mampu mengenali,
mencegah dan mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi secara mandiri, sehingga derajat kesehatannya
meningkat. ( 2)

5 | Penerbit: Alliance of Health Activists (AloHA)


Jurnal Internasional Kemajuan Manajemen Aloha (AIJMA)
ISSN 2622-3260
Volume 1 Nomor 1, Januari 2019 PENELITIAN
http://journal.aloha.academy/index.php/aijma

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Informan dipilih dengan teknik
purposive sampling dengan 28 informan yang terdiri dari kepala desa, bidan desa, kader desa, tokoh
masyarakat, anggota masyarakat, dan pemegang program di puskesmas. Unit penelitian di 4 desa yaitu Desa
Sungai Pinang Nibung, Tebing Gerinting Utara, Ibul Besar I, dan Pipa Putih. Triangulasi yang digunakan adalah
triangulasi sumber, metode, dan data. Teknik analisis data menggunakan analisis isi. ( 6)

HASIL

Perubahan Pengaturan Fisik

Tatanan fisik dijelaskan oleh bangunan pos kesehatan desa, akses jalan, akses transportasi, dan
material. Mengenai Poskesdes (Gedung Pos Kesehatan Desa), 4 desa sebagai sampel menunjukkan tidak
ada transformasi antara program desa siaga dan program desa siaga aktif, misalnya dalam kutipan
berikut: ”… Pos Kesehatan Desa menginap di rumah warga pada tahun 2012, namun berbeda dengan
rumah lama…” (QM). Pada akses jalan tidak ada perubahan dari Program Desa Siaga dan Program Desa
Siaga Aktif dalam hal akses jalan. 1 desa masih diakses oleh tanah merah dan lainnya adalah aspal kasar.
Itu disebutkan oleh: " … Tanah merah. Aksesnya sangat sulit terutama pada musim hujan… ”(MZ).
Akses transportasi tidak disediakan transportasi untuk melakukan pelayanan kesehatan, sebagian besar bidan
menggunakan sepeda motor sendiri atau berjalan kaki untuk melakukan kunjungan rumah. Pasien rujukan perlu
dipindahkan dengan menggunakan kendaraan tetangga jika tidak ada transportasi yang tersedia. Fenomena itu tetap
terjadi dalam program desa siaga aktif. “Beberapa tahun lalu, saya jalan kaki atau kadang naik motor. Namun untuk
pasien rujukan saya menggunakan kendaraan warga ”(MM. Dari segi jam buka akses, terungkap tidak ada perubahan
antara sebelum dan sesudah program desa siaga. Fakta menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan hanya tersedia pada
hari biasa meskipun beberapa desa memberikan pelayanan 24 jam. Itu disebutkan dalam pernyataan ini: “Dulu buka 24
jam, tapi akhir pekan tutup” (RI). Alat kesehatan wajib sudah tersedia sejak program desa siaga aktif diluncurkan, namun
perabot tambahan untuk menunjang pelayanan di dalam kamar belum tersedia. “Pelayanan kesehatan belum tersedia,
padahal yang terpenting obat sudah terpenuhi” (SM).

Dari hasil wawancara mendalam di atas terlihat bahwa pada saat program Desa Siaga dilaksanakan,
pengaturan fisik berupa poskesdes masih berstatus sewa dan tumpangan, akses jalan berupa merah
tanah dan aspal rusak, akses transportasi menuju poskesdes jalan kaki dan menggunakan sepeda motor,
akses rujukan menggunakan kendaraan pribadi atau pinjam kendaraan tetangga, jam buka poskesdes
belum memberikan pelayanan 24 jam kondisi material poskesdes belum lengkap. Kondisi ini sama dengan
kondisi saat Program Desa Siaga Aktif diberlakukan, sehingga pada periode pemberlakuan Program Desa
Siaga (2006) hingga Program Desa Siaga Aktif (2010) tidak ada perubahan. hingga pengaturan fisik di
empat desa yang diamati.

Perubahan Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia pada bagian ini dijelaskan oleh bidan desa, kader, petugas kesehatan masyarakat dan
masyarakat. Tenaga kesehatan penting pertama adalah bidan desa. Mereka terdiri dari 4 orang tenaga kesehatan. 2 dari
4 bidan diambil sebagai sampel yaitu 2 orang karyawan kontrak dan 2 orang PNS. Mereka belum dilatih secara rutin. Itu
dijelaskan oleh: “Saya pegawai negeri dan sudah dilatih misalnya tentang tanggap darurat. Namun, soal desa siaga
belum ”(LS). Program kader desa siaga terdiri dari mereka yang bertempat tinggal di desa dan sebagai relawan yang
ingin membantu pelayanan kesehatan. Menurut wawancara mendalam, di 4 desa, total ada 3-5 kader di tiap desa. Itu
disebutkan oleh: “Sudah 4 atau 3 dari kita. Jika aku tidak salah." (RS). Staf yang bertanggung jawab untuk Program Desa
Siaga bekerja di bidang kesehatan masyarakat. Mereka memiliki tugas untuk memantau dan mengevaluasi program dan
memastikan pengaruh yang baik dari program tersebut. “Kami memantau program itu karena itu adalah tanggung
jawab saya setiap tahun” (RA). Dalam masyarakat, warga desa bekerja sama untuk membantu satu sama lain dalam
masalah-masalah tertentu seperti kesehatan dan bencana. “Karena dulu kita saling membantu, paling tidak kalau ada
yang sakit saya kunjungi dan beri nasehat” (FW).
Sesuai dengan hasil wawancara mendalam di atas terlihat bahwa sumber daya manusia yang terlibat
dalam kedua program tersebut adalah kepala desa, bidan desa, kader, tokoh masyarakat, masyarakat itu
sendiri, dan pemegang aktif Siaga. Program Desa di Puskesmas. Pada saat program desa Siaga jumlah
bidan desa terpenuhi yaitu minimal 1 bidan desa untuk masing-masing bidan desa.

6 | Penerbit: Alliance of Health Activists (AloHA)


Jurnal Internasional Kemajuan Manajemen Aloha (AIJMA)
ISSN 2622-3260
Volume 1 Nomor 1, Januari 2019 PENELITIAN
http://journal.aloha.academy/index.php/aijma

Desa, namun dari segi kualitas bidan desa belum pernah mengikuti pelatihan di desa siaga. Kader desa
siaga cukup secara kuantitas yaitu minimal 2 kader untuk tiap desa, namun dari segi kualitas pelatihan
yang diikuti oleh kader desa siaga hanya sebatas pengetahuan tentang posyandu sedangkan pelatihan
untuk program desa siaga sudah tidak pernah dimasukkan. Dalam mengembangkan perilaku sehat,
petugas Puskesmas melakukan kunjungan desa rutin setiap bulan. Peran aktif masyarakat hanya
berperan dalam pelaporan jika ada keadaan darurat kesehatan dan hanya terlibat di posyandu (pos
pelayanan terpadu). Kondisi sumber daya manusia tidak berubah ketika Desa Siaga Aktif dan Program
Desa diimplementasikan. Begitu,

Perubahan Struktur Organisasi

Struktur organisasi tersebut terkait dengan regulasi resmi bagaimana program desa siaga atau program desa siaga
aktif akan dilaksanakan di masyarakat. Dalam forum desa, s Pengurus desa di desa melaporkan bahwa mereka
mengadakan pertemuan rutin tetapi tidak khusus untuk masalah kesehatan. “Kami tidak memiliki struktur formal;
pertemuan rutin telah dilakukan. Masalahnya, kantor desa kami dibakar ”(AF). Peraturan desa juga ditemukan belum
adanya peraturan resmi di desa untuk mengelola program desa siaga. “Kami tidak punya peraturan resmi (SK), karena
saya kira dulu sejak dulu” (QM). Dana swadaya dikabarkan bahwa untuk mengumpulkan dana swadaya tidaklah mudah,
karena warga desa memiliki kebutuhan sendiri-sendiri. “Tidak mudah mengumpulkan uang dari penduduk desa” (IS).
Pada saat program Desa Siaga dibentuk struktur organisasi yaitu belum adanya struktur forum desa,
peraturan tingkat desa tentang Program Desa Siaga Aktif dan swadaya masyarakat. Forum desa yang
membahas masalah kesehatan belum pernah dilakukan, peraturan tingkat desa yang mengatur teknis
operasional Program Desa Siaga Aktif belum tersedia, dan dana untuk kegiatan desa bersumber dari ADD
(Anggaran Dana Desa) dan Ban-Gub. (Bantuan Gubernur). Kondisi ini tidak berubah ketika Program Desa
Siaga Aktif dilaksanakan pada tahun 2010. Jadi secara umum terlihat belum ada perubahan struktur
organisasi dari aspek Program Desa Siaga menjadi Program Desa Siaga Aktif.

Perubahan Teknologi

Teknologi harus mengambil bagian untuk melaporkan data pengawasan rutin. Nyatanya, bidan di desa masih
menggunakan lapor manual tanpa komputer dan akses internet. “Kami belum dapat karena masih menggunakan
manual, seperti ini (tampilkan laporan bulanan). Kami menulis berdasarkan kunjungan pasien dan perawatan kesehatan
komunitas juga mengumpulkan data itu ”(RI). Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tidak ada peran teknologi (perangkat
keras, perangkat lunak) dalam pengawasan, kedaruratan kesehatan, kesehatan lingkungan, dan program
pemberdayaan. Sistem pencatatan dan pelaporan masih menggunakan blank, jika terjadi KLB dan keadaan darurat
bidan desa menggunakan handphone pribadi. Kegiatan penyehatan lingkungan belum dilakukan secara rutin. Yang aktif
hanya Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan Tanaman Obat Keluarga. Informasi terkait program pemberdayaan
ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Tidak. Jenis Pelayanan Kesehatan Sungai Tebing Pipa Putih Ibul Besar
berdasarkan Masyarakat Pinang Gerinting saya
Nibung Utara
1. Posyandu (terintegrasi √ √ √ √
layanan pos)
2. Rencana pengobatan keluarga √ - - √
3. Bank sampah - - - -
4. Simpan hamil - - - -
5. Ambulans desa - - - -
6. Lainnya - - - -

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 4 desa yang diamati, semua desa telah melaksanakan program
pemberdayaan. Posyandu (pos pelayanan terpadu), namun baru 2 desa yang menerapkan Tanaman Obat
Keluarga.

7 | Penerbit: Alliance of Health Activists (AloHA)


Jurnal Internasional Kemajuan Manajemen Aloha (AIJMA)
ISSN 2622-3260
Volume 1 Nomor 1, Januari 2019 PENELITIAN
http://journal.aloha.academy/index.php/aijma

Faktor yang Mempengaruhi Perubahan

Faktor internal (karakteristik sumber daya manusia, perilaku, dan keputusan manajerial). Berkaitan dengan
karakteristik sumber daya manusia, kepala desa memiliki karakteristik sendiri-sendiri untuk mengelola wilayahnya
misalnya dalam program desa siaga dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan masukan yang
didapat. “Saya petani (bukan PNS), kami mendapat insentif sebagai kepala desa, masyarakat mendukung saya dan saya
telah terpilih dari proses pemungutan suara” (QM). Dalam hal perilaku dan keputusan manajerial, kepala desa mungkin
memiliki sistem yang berbeda dalam menentukan peraturan. Bagian ini akan menjelaskan sistem tersebut. “Kami belum
mendapatkan pahala. Kami melakukan diskusi di antara orang-orang penting untuk menyelesaikan konflik dan
memutuskan beberapa masalah ”(QM). Berdasarkan hasil wawancara mendalam di atas dapat diketahui bahwa tenaga
kerja yang berupa akomodasi adalah akomodasi berupa uang yang diterima oleh kepala desa dan bidan desa
sedangkan kader lebih sering mendapatkan akomodasi berupa seragam. Dari aspek pola rekrutmen kepala desa, semua
kepala desa dipilih melalui pemilihan langsung. Faktor internal seperti perilaku manajerial dan keputusan terlihat bahwa
dalam mengatasi konflik dan menggiring masyarakat kepala desa mengadakan musyawarah untuk mufakat, di sisi lain
sistem reward belum diterapkan.
Faktor eksternal (kecenderungan sosial), yaitu kecenderungan sosial termasuk bagaimana tradisi berperan dalam
masyarakat. “Kami memiliki tepak sebagai tradisi dalam upacara pernikahan dan pengajian secara rutin” (SK). Dari hasil
wawancara mendalam di atas terlihat bahwa kecenderungan sosial yang ditemukan di masyarakat adalah perkawinan,
pengajian bapak ibu. Dalam proses perubahan Program Desa Siaga menjadi Program Desa Siaga Aktif, tidak
menunjukkan peran tren sosial dalam proses perubahan tersebut.
Resistensi individu yaitu pemangku kepentingan mungkin menolak melalui sistem dan mungkin melakukan cara
yang tidak memadai dalam pengambilan keputusan. “Kita akan ikut pelatihan, lomba di desa. Kami juga menulis
proposal (RI). Dari kutipan di atas terlihat bahwa semua pemangku kepentingan yang terlibat siap untuk melakukan
perubahan dan bersedia mengikuti pelatihan jika diundang. Stakeholder yang terlibat ingin mengikuti desa siaga siaga
dan selalu aktif dalam kegiatan posyandu (pos pelayanan terpadu) (bidan desa dan kader desa siaga).

DISKUSI

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa kondisi Poskesdes sarana dan prasarana belum memadai serta
belum memiliki bangunan permanen. Jadi dapat disimpulkan belum ada perubahan regulasi fisik.
Berdasarkan pedoman pembangunan Desa Siaga Aktif, Poskesdes harus mempunyai bangunan mandiri
dan permanen1, memiliki akses prasarana jalan yang memadai, mudah dijangkau dengan transportasi,
memiliki angkutan rujukan, memberikan pelayanan kesehatan sehari-hari dan dilengkapi dengan spasial
dan material lengkap ( 7). Kendala yang dialami adalah karena tidak adanya pengadaan material Poskesdes
(pos kesehatan desa) yang merata dan pembangunan Poskesdes (pos kesehatan desa) yang terkendala
lahan hibah. Peran pemerintah juga disampaikan oleh Kusuma ( 8), yang menyatakan bahwa fasilitas fisik
Poskesdes (pos kesehatan desa) membutuhkan dukungan pemerintah. Syarat lokasi Poskesdes yang akan
dibangun pemerintah juga terjadi di Kepulauan Mentawai, Ayuningtyas mengatakan kendala pendirian
Poskesdes karena lokasi dan persyaratan teknis yang ditetapkan Kementerian. kesehatan. ( 9) Studi yang
dilakukan di Sawarak Malaysia juga menemukan pentingnya program desa siaga dan karakteristik fisik
dalam kaitannya dengan perubahan perilaku penyakit tidak menular. ( 20)

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada aspek perubahan sumber daya manusia belum
terjadi perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. Berdasarkan pedoman Desa Siaga Aktif jumlah bidan
desa minimal 1 orang untuk 1 desa, pelatihan yang harus diikuti oleh bidan desa adalah pelatihan manajemen
dan pelaksanaan. ( 1) Jumlah kader minimal 2 orang untuk setiap desa, pelatihan yang harus diikuti oleh kader
adalah menyusun rencana pembangunan desa siaga aktif, pembangunan partisipatif, gotong royong, swadaya
masyarakat, promosi kesehatan dan pemecahan masalah kesehatan. Petugas di Puskesmas melakukan pelatihan
PHBS berdasarkan 10 indikator. Masyarakat dituntut untuk berperan aktif dalam kegiatan kesehatan di desa dan
aktif dalam program pemberdayaan. ( 2) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi di 4 desa yang diamati tidak
sesuai dengan acuan. Pentingnya partisipasi masyarakat sejalan dengan penelitian Laksana ( 10) yang menyatakan
bahwa partisipasi masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk energi, harta benda, dan gagasan. Menurut
Musa, pemantauan perilaku kesehatan dapat dikembangkan dengan berbagai cara seperti penyuluhan,
sosialisasi / pertemuan, dan posyandu. ( 11) Ketidaksesuaian tersebut dapat berdampak pada proses
pemberdayaan masyarakat yang tidak berjalan maksimal. Kendala yang dialami informan adalah tidak adanya
undangan pelatihan untuk bidan dan kader desa,

8 | Penerbit: Alliance of Health Activists (AloHA)


Jurnal Internasional Kemajuan Manajemen Aloha (AIJMA)
ISSN 2622-3260
Volume 1 Nomor 1, Januari 2019 PENELITIAN
http://journal.aloha.academy/index.php/aijma

Staf Puskesmas terkendala oleh akses desa yang sulit dijangkau, dan masyarakat terkendala karena
kondisi sosial ekonomi yang tidak mendukung.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa belum ada perubahan struktur organisasi berupa
struktur forum desa, peraturan tingkat desa tentang desa siaga aktif, dan swadaya masyarakat.
Berdasarkan pedoman pengembangan Desa Siaga Aktif, forum desa harus diadakan minimal 4 kali dalam
setahun dengan tujuan mensosialisasikan masalah kesehatan yang dihadapi, memprioritaskan masalah,
membentuk UKBM, memperkuat potensi desa, dan menggerakkan partisipasi masyarakat. Sosialisasi
peraturan tingkat desa harus dilakukan untuk mendorong partisipasi masyarakat. Swadana masyarakat
penting untuk mendorong kemandirian masyarakat. Hasil penelitian diatas tidak sesuai dengan pedoman,
terkendala karena tidak adanya arahan dan sosialisasi sehingga hanya pemangku kepentingan yang tahu.
Minimnya inisiatif menyebabkan peran stakeholder yang kurang optimal karena mereka hanya menunggu
instruksi. FKK (Forum Kesehatan Desa) sangat penting sesuai dengan hasil penelitian Amiatiningsih yang
menyatakan bahwa FKK ditunjukkan dengan merumuskan kebijakan. ( 12) Perubahan program desa siaga
bertransformasi dari suami siaga yang mencerminkan pentingnya kewaspadaan di masyarakat. ( 14)

Sesuai dengan hasil penelitian terlihat bahwa belum ada perubahan teknologi dari Program Desa Siaga
menjadi Program Desa dan Desa Siaga Aktif. Berdasarkan kebijakan Poskesdes (pos kesehatan desa),
fasilitas minimal untuk keadaan darurat adalah telepon genggam khusus, komputer dan kurir.
(2) Teknologitersebut belum tersedia karena belum ada pengadaannya, sehingga bidan desa masih menggunakan
teknologi milik swasta. Teknologi memiliki peran dalam program pemberdayaan, namun belum dimanfaatkan dengan
baik. Riset Misnaniarti menyebutkan, pembentukan Desa Siaga belum sepenuhnya memanfaatkan program
pemberdayaan. ( 13) Program pemberdayaan aktif jangan hanya Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan Tanaman Obat
Keluarga. Teknologi di era sekarang juga berpengaruh pada pemberdayaan masyarakat khususnya media sosial. ( 18)

Mengenai Faktor Internal (Sifat Tenaga Kerja dan Perilaku serta Keputusan Manajerial), berdasarkan hasil wawancara
mendalam terlihat bahwa sifat tenaga kerja berupa akomodasi dan insentif belum terpenuhi secara penuh, Pola
perekrutan pemangku kepentingan sebagian besar atas kemauannya sendiri. Perilaku dan keputusan manajerial kepala
desa dalam mengatasi konflik, memimpin masyarakat dan pengambilan keputusan yang dilakukan dengan sistem
musyawarah. Kondisi ini terjadi sejak program Desa Siaga dan Program Desa Siaga Aktif diberlakukan. Jadi terlihat
bahwa faktor internal tersebut tidak mempengaruhi proses perubahan. Internal masyarakat di tingkat desa
mempengaruhi efektifitas program pemberdayaan termasuk Program Desa Siaga 18. Pada faktor eksternal
(kecenderungan sosial), berdasarkan hasil wawancara mendalam dapat diketahui bahwa kecenderungan sosial yang
terjadi di masyarakat adalah pengajian rutin, wirit, tradisi tepak dalam perkawinan, dan acara hajatan. Kondisi ini
menggambarkan kondisi masyarakat yang memiliki intensitas berkumpul yang tinggi, sehingga terlihat masyarakat
cenderung lebih kompak. Adanya trend komunitas yang baik tidak diikuti oleh proses perubahan, sehingga terlihat
bahwa faktor eksternal cenderung tidak mempengaruhi proses perubahan. Faktor eksternal seperti pembentukan tim
kewenangan dan pengembangan tim masyarakat mempengaruhi efektivitas Program Desa Siaga. ( 17) Pengembangan
Program Desa Siaga di Desa Evu disebutkan oleh Rahantoknam sejalan dalam penelitian ini. trend dalam masyarakat
dan peran komunikasi massa juga penting untuk memberdayakan masyarakat. ( 18) Tampak bahwa individu-individu yang
terlibat dalam kedua program tersebut bersedia mengikuti proses perubahan. Namun hal ini tidak didukung oleh
inisiatif dan kemandirian masyarakat, stakeholder di tingkat desa cenderung hanya menunggu arahan dari atasan.
Bidan dan kader desa selalu aktif dalam kegiatan posyandu (pos pelayanan terpadu) dan bersedia mengikuti pelatihan
jika diundang. Secara umum, tidak ada perlawanan individu. Poin terpenting untuk keberlanjutan pelayanan kesehatan
dalam lingkup masyarakat adalah tenaga kesehatan yang profesional dan kader. ( 15) Kader yang harus aktif dalam
program ini harus didukung secara finansial, hal ini ditemukan pada penelitian sebelumnya yang menjelaskan kader
pasif disebabkan karena dana desa yang tidak mencukupi. ( 16) Studi yang dilakukan di Desa Sakatiga menemukan bahwa
penyuluhan dan pelatihan kader dan anggota masyarakat merupakan upaya untuk mencapai tujuan Desa Siaga. ( 19)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan. Belum ada
perubahan fisik, SDM, struktur organisasi dan tatanan teknologi dari Program Desa Siaga menjadi Program Desa
Siaga Aktif. Faktor internal cenderung mempengaruhi proses perubahan, sedangkan faktor eksternal cenderung
tidak mempengaruhi perubahan. Tidak ada perlawanan individu.
Dari kesimpulan di atas, peneliti memiliki saran agar proses perubahan dapat berjalan:
1. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir

9 | Penerbit: Alliance of Health Activists (AloHA)


Jurnal Internasional Kemajuan Manajemen Aloha (AIJMA)
ISSN 2622-3260
Volume 1 Nomor 1, Januari 2019 PENELITIAN
http://journal.aloha.academy/index.php/aijma

Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir harus lebih sering berkoordinasi lintas sektor yaitu dengan Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa. Melakukan pelatihan bidan dan kader desa. Mendistribusikan
tenaga kesehatan dan alat kesehatan secara merata.
2. Untuk Pemerintah Desa dan Masyarakat
Sebaiknya peningkatan koordinasi dengan pemangku kepentingan di desa melalui forum desa dan berusaha membentuk
pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang mandiri.

REFERENSI

1. Kementerian Kesehatan Indonesia. Pedoman Pengembangan Desa Siaga (Pedoman Desa Siaga). Jakarta:
2006.
2. Kementerian Kesehatan Indonesia. Pedoman Pengembangan Program Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
(Pedoman Program Desa Siaga Aktif). Jakarta: 2010.
3. Kementerian Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan RI (Profil Kesehatan Indonesia). Jakarta: 2009.
4. Kementerian Kesehatan Indonesia. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota (Standar Pelayanan
Minimal Kesehatan Kabupaten / Kota). Jakarta: 2008.
5. Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir. Profil Kesehatan (Profil Kesehatan). Indralaya: 2013
6. Saryono, Mekar. Metodologi Penelitian Kesehatan (Health Methodology for Health Research).
Yogyakarta: 2011.
7. Kementerian Kesehatan Indonesia. Teknis Pengembangan dan Penyelenggaraan Pos Kesehatan
Desa. Jakarta: 2012.
8. Kusuma, Reni M. Analisis Kebijakan Desa Siag di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Jurnal Kebijakan
Kesehatan Indonesia. Vol 2, No. 3, hlm 126-133.

9. Ayuningtyas, D dan Jonni A. Analisis Kesiapan Pos Kesehatan Desa Dalam Pengembangan Desa Siaga di
Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat (Analisis Kesiapan Pengembangan Program Desa
Siaga di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat). Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan. Vol 11, No. 3, hlm 130-6.
10. Laksana, NP. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Desa dalam Program Desa Siaga di Desa Bandung
Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Jenis Partisipasi
Masyarakat di Desa Badung, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY). Kebijakan dan
Manajemen Publik. Vol. 1, No. 1, hlm.56-66.
11. Musa H, Amran R, dan Mappeaty N. Siklus Pemecahan Masalah Dalam Implementasi Desa dan Kelurahan
Siaga Aktif di Kota Tidore Kepulauan (Metode Siklus Penyelesaian dalam Pelaksanaan Program Desa Siaga
di Kota Kepulauan Tidore). Jurnal AKK. [on line], vol.2, No.3, hlm. 8-14.
12. Amiatiningsih, M. Analisis Peran dan Keaktifan Forum Kesehatan Kelurahan (FKK) Dalam Upaya
Pencapaian Kelurahan Siaga Aktif Wilayah Kerja Puskesmas Rowosari Kota Semarang (Studi Kasus di
Kelurahan Meteseh) (Analisis Peran dan Keaktifan Forum Kesehatan Desa dalam Jangkauan) Desa
Siaga di Wilayah Puskesmas Rowosari Kota Semarang). Skripsi. FKM Universitas Diponegoro.

13. Misnaniarti, Asmaripa A, dan Nur AF Kajian Pengembangan Desa Siaga di Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 14, No. 2, hlm. 78-83.

14. Hill, PS, Goeman, L., Sofiarini, R., & Djara, MM (2013). 'Desa SIAGA', 'Desa Siaga': the
evolusi merek ikonik dalam strategi kesehatan masyarakat Indonesia. Kebijakan dan perencanaan kesehatan, 29 (4), 409-
420.
15. Prasodjo, Rachmalina Soerachman. Pemetaan Kesiapan Desa Menuju Desa Siaga di Lima Propinsi
(Pemetaan Kesiapan Desa Menuju Desa Siaga di Lima Provinsi). Jurnal Ekologi Kesehatan9.3 Sep
(2010): 1248-1253.
16. Rochmawati, Arva. Hubungan Antara Keaktifan Kader Kesehatan Dengan Pengembangan Program Desa
Siaga Di Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen (Himpunan Kader Kesehatan dan Program
Pembinaan Desa Siaga di Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen). Diss. Universitas Sebelas Maret
2010.
17. Rahantoknam, Liana Detania. Analisis Desa Siaga di Desa Evu Kabupaten Maluku Tenggara (Analisis
Desa Siaga di Desa Evu, Kabupaten Maluku Tenggara). Media Kesehatan Masyarakat Indonesia 9.2
(2016): 74-79.

10 | Penerbit: Alliance of Health Activists (AloHA)


Jurnal Internasional Kemajuan Manajemen Aloha (AIJMA)
ISSN 2622-3260
Volume 1 Nomor 1, Januari 2019 PENELITIAN
http://journal.aloha.academy/index.php/aijma

18. Sulaeman, Endang Sutisna, dkk. Model pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan, program studi desa
siaga (Model Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan, Kajian Program Kesiapsiagaan Desa).
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 7.4 (2012): 186-192.
19. Ainy, Asmaripa, Misnaniarti Makky, dan Nur Alam Fajar. Desa Siaga: kesadaran dan kesehatan
program promosi perilaku sehat. "BMC kesehatan masyarakat. Vol. 12. No. 2. BioMed Central, 2012.
20. Kiyu, Andrew, dkk. Evaluasi program desa sehat di Kecamatan Kapit, Sarawak,
Malaysia. "Promosi Kesehatan Internasional 21.1 (2006): 13-18.

11 | Penerbit: Alliance of Health Activists (AloHA)

Anda mungkin juga menyukai