Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Standar Operasional Prosedur


Insani (2010) menuliskan bahwa SOP merupakan instruksi tertulis
yang telah dibakukan tentang berbagai macam proses penyelenggaraan
administrasi. Jones (2004) menambahkan SOP mengontrol cara anggota
organisasi dalam melakukan perannya dalam organisasi secara terus
menerus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasi di mana
hal ini dimaksudkan untuk mencapai keseragaman dari kinerja individu
atau kelompok dalam organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Weske (2007) bahwa SOP merupakan Business Process
Management yang berupaya untuk menggabungkan berbagai macam
kegiatan yang beraneka ragam yang ada di perusahaan dan berusaha untuk
meningkatkan pemahaman atas penyatuan tersebut. Dengan demikian SOP
merupakan dokumen tertulis yang berisikan pedoman atau instruksi kepada
anggota organisasi baik itu individu ataupun kelompok tentang apa yang
harus dilakukan guna menyelesaikan pekerjaan serta mencapai
keseragaman dari keragaman kegiatan yang ada dalam suatu organisasi.

1. Fungsi Standar Operasional Prosedur


Keberadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) menurut
Stader (2007) guna mengartikan peran, tanggung jawab, dan
kewenangan setiap anggota dalam organisasi sebagai pelaku. Sisi
positif memiliki SOP pada dasarnya untuk memperjelas proses
mencapai tujuan dan menjaga ketetapan suatu pekerjaan dari masing-
masing level di dalam organisasi (EPA, 2007). Wulandari &
Silistianingsih (2013) menambahkan bahwa standar kinerja
dibutuhkan untuk menilai kinerja suatu organisasi secara internal
maupun eksternal. Hal ini berarti fungsi dari keberadaan dari SOP
membantu para pelaku kerja dalam organisasi untuk memahami
peran, tanggung jawab serta kewenangan mereka, dan juga untuk
menilai kinerja suatu organisasi.
Dengan adanya SOP menurut Weske (2007) mampu membuat
perusahaan mencapai tujuan bisnisnya secara efisien, menciptakan
kolaborasi yang formal di dalam perusahaan, mampu mempengaruhi
perilaku bisnis kepada segenap SDM agar sesuai dengan etika
perusahaan, dan juga mampu menggambarkan tingkat kewenangan
para SDM sehingga terhindar dari perilaku yang di luar batas. Di
samping manfaat positif tersebut, SOP juga berpeluang menimbulkan
potensi konflik karena menurut Waske keberadaan SOP dapat
membatasi ruang gerak untuk berkreativitas sehingga memerlukan
persetujuan dari pihak yang berwenang di perusahaan jika ingin
berkreasi di luar standar perusahaan, menciptakan konflik bagi
karyawan yang tidak menyukai peraturan dan juga perubahan akibat
penerapan SOP dan merasa penerapan SOP mengganggu
kenyamanan dalam bekerja. Selain itu penerapan SOP juga
membutuhkan waktu ketika baru diterapkan sehingga membutuhkan
pendidikan atau pelatihan serta pengawasan yang efektif dari
manajer, bahkan SOP ini membutuhkan karyawan yang mampu
memahami dan menjalankan SOP. Dengan demikian manajemen
diharuskan untuk membekali perusahaan maupun organisasi dengan
konsep-konsep perusahaan lainnya agar mampu menurunkan
risiko ketidakseimbangan yang disebabkan oleh penerapan SOP yang
tidak tepat, terlebih bagi pelaku atau pelaksana SOP itu sendiri.
2. Jenis-Jenis Standar Operasional Prosedur
Menurut EPA (United States Environmental Protection
Agency) (2007) ada dua macam SOP, yaitu Technical
SOP dane Administratif SOP. Technical SOP merupakan petunjuk
kerja yang menginstruksikan penggunanya tentang bagaimana cara
menganalisis di laboratorium atau penggunaan alat-alat tertentu di
lapangan atau tempat kerja. Contohnya adalah instruksi atau cara
untuk mengambil sampel. Namun SOP jenis ini umumnya ter-
instruksi dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis
Tipe ke dua SOP adalah Administrative SOP. SOP ini merupakan
alat manajemen kantor untuk mengakomodasi informasi,
dokumentasi dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. SOP ini dapat
dibentuk dari yang paling sederhana hingga yang kompleks untuk
mengakomodasi seluruh kegiatan manajerial dan supervisi di dalam
perusahaan.

B. Peran Standar Operasional Prosedur Dalam Organisasi Gereja


Keberadaan organisasi tidak terlepas dari kehidupan sosial kita
menurut Kreitner & Kinicki (2014). Di mana ketika ada kumpulan orang-
orang yang berinteraksi secara terus-menerus untuk mencapai sesuatu yang
lebih besar dari pada yang bisa dicapai oleh satu orang. Organisasi sendiri
menurut Robbins (2006) merupakan suatu kesatuan sosial yang
dikoordinasikan dengan batasan-batasan, di mana secara relatif dapat
diidentifikasi dan bekerja secara terus menerus untuk mencapai tujuan
bersama. Ariani (2011) menjelaskan organisasi sebagai suatu sistem yang
saling berpengaruh antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam
suatu kelompok yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Dengan
demikian dapat dikatakan sebuah organisasi jika terdiri dari sekumpulan
individu yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai sebuah
tujuan bersama bukan tujuan individu.
Jika dilihat dari pengertian organisasi maka gereja dapat dikategorikan
sebagai organisasi, seperti yang disampaikan oleh Yewango (2007) bahwa
gereja dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yakni teologi dan
sosiologi. Dari sudut pandang teologi gereja diartikan sebagai kelompok
orang yang percaya kepada Kristus. Dari sini kita mendapatkan
pemahaman bahwa kata “gereja” mengacu kepada individu maupun
kelompok yang bersekutu bersama-sama. Bahkan dimana ada dua atau tiga
orang berkumpul dalam nama Yesus, di situ Dia ada (Mat 18:20). Dari
sudut pandang kedua yakni sosiologi gereja dapat dilihat sebagai sama
dengan lembaga-lembaga yang lain, di mana gereja berada di dunia,
memiliki anggota-anggotanya, menerapkan aturan-aturan kelembagaan,
mempunyai sistem kerja, sebagai subjek hukum, dan sebagainya. Dengan
kata lain gereja dilihat sebagai suatu organisasi yang memiliki tujuan
bersama dalam bentuk visi dan misi gereja.
Sebagai sebuah organisasi, untuk mencapai visi dari gereja menurut
Prodjowijono (2008) gereja memiliki dua tugas pokok yakni memberitakan
injil, dan juga memelihara kondisi seluruh warga jemaat agar dapat
melaksanakan pekabaran Injil sesuai dengan visi dan misi utama gereja.
Adapun usaha pemeliharaan itu sendiri terdiri dari pemeliharaan dalam
bidang iman/rohani, serta pembinaan/peningkatan/pembangunan dalam
bidang sosial dan ekonominya. Pelaksanaan kedua tugas pokok gereja
tersebut merupakan proses yang tidak mudah dan cukup kompleks,
sehingga gereja sebagai suatu lembaga organisasi membutuhkan suatu
sistem manajemen guna membantu mengendalikan jalannya pelaksanaan
tugas dan wewenang dalam gereja. Seperti yang dikatakan oleh Siswanto
(2006) bahwa fungsi manajemen dari sudut pandang proses adalah
perencanaan, pengelolaan, kepemimpinan dan pengendalian. Oleh karena
itu dalam rangka melaksanakan fungsi pengendalian dalam perannya
sebagai organisasi maka gereja memerlukan SOP. Di mana dengan
memiliki SOP membantu para pelaku pelayanan agar dapat menjalankan
tanggung jawabnya dengan baik, Amare (2012).

C. Pemahaman Dan Komitmen Dalam Menjalankan Standar


Operasional Prosedur
1. Pemahaman Standar Operasional Prosedur
Untuk dapat menjalankan SOP dibutuhkan pemahaman yang
baik, hal ini untuk menghindari resistensi yang bisa saja terjadi
akibat dari ketakpahaman karyawan tentang penerapan suatu standar
prosedural dalam pekerjaan menurut Weske (2007). Kata
“pemahaman” jika diartikan menurut Sudiyono (1996) merupakan
kemampuan seseorang untuk mengerti atau dapat memahami
sesuatu hal setelah hal tersebut diketahui dan diingat. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2003) “pemahaman” merupakan proses,
cara, untuk memahami atau memahamkan. Dengan demikian
pemahaman bukan saja terbatas pada sesuatu hal yang sudah
diketahui dan diingat tetapi lebih lanjut pada tingkatan mengerti
dengan baik akan hal tersebut.
Berbicara tentang konsep pemahaman dalam kaitannya
dengan gereja ada penelitian yang berbicara tentang konsep
pemahaman pemimpin GKJ Salatiga terhadap keberadaan saksi
yehuva yang keberadaannya menurut para pemimpin GKJ Salatiga
tidak pantas jika digolongkan sebagai gereja kristen karena berbeda
dengan ajaran gereja kristen yang “historis”, Simorangkir (2012).
Penelitian lain oleh Yulianto (2012) tentang pemahaman warga
GKJTU Ngaduman terhadap providensia yang lebih mengarah pada
konsep takdir. Oleh karena itu, dengan mengetahui pemahaman akan
suatu hal dalam gereja, dapat mengarahkan kita pada suatu tujuan
mengapa gereja dalam pengambilan sikap, penetapan peraturan dan
konsep, dan lain sebagainya.
Untuk dapat memahami SOP dengan baik menurut FEMA
(Federal Emergency Management Agency United States Fire
Administration) (1999) perlu diperhatikan proses implementasi atau
penerapannya dalam sebuah organisasi. Adapun langkah-langkah
pada proses implementasi SOP ini menurut Alamudi & Prabawati
(2014) adalah pertama, tahap perencanaan atau perubahan SOP. Di
mana rencana penerapan akan memberikan kesempatan kepada
setiap anggota organisasi untuk mempelajari dan memahami semua
arahan, instruksi atau tugas, dan jadwal serta kebutuhan akan sumber
daya yang terkait. Langkah kedua adalah proses pemberitahuan
informasi atau sosialisasi tentang keberadaan dan perubahan dalam
SOP dan memahami signifikansi dari perubahan tersebut. Ketiga,
salinan SOP didistribusikan kepada semua anggota sebagai pelaku
organisasi. Beberapa cara untuk mendistribusikan salinan tersebut
yakni: didistribusikan langsung ke masing-masing departemen,
disediakan di perpustakaan dan harus mudah diakses oleh seluruh
departemen, disebarkan melalui sistem komputer, website, ataupun
dikirim melalui jaringan internet lainnya. Hal lainnya yang harus
diperhatikan ketika mendistribusikan SOP adalah lembaga harus
memiliki catatan ekspedisi yang berisikan daftar penerima, tanggal
dan tempat. Keempat adalah pelatihan kepada para pelaksana SOP.
Menurut Stup (2002) pemberian pelatihan kepada yang akan
menjalankan SOP sering diabaikan. Para pelaksana program yang
menjalankan SOP harus dilatih secara rinci mengenai langkah-
langka yang tertera dalam SOP dengan maksud menghindari
perbedaan pandangan atau pengertian terhadap SOP yang
mengakibatkan munculnya variasi.
Langkah terakhir adanya mekanisme untuk memantau
kinerja, mengidentifikasi masalah yang akan terjadi dan memberikan
dukungan pada proses implementasi. Proses di atas merupakan
langkah awal sebuah organisasi dalam menerapkan SOP yang baru
dibuat dengan tujuan agar anggota dapat menjalankan program
kegiatan sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan. Hal ini juga
menekankan pada peran anggota di mana anggota harus memiliki
keterampilan dan pengetahuan untuk menjalankan SOP, dengan
demikian, penerapan SOP diharapkan dapat memperkecil kesalahan
yang akan terjadi sebelum SOP itu diterapkan. Stup menambahkan
pengawasan ini bertujuan untuk mengukur hasil dari proses
pelaksanaannya, juga untuk menjawab dua pertanyaan tentang
“apakah semua karyawan atau pelaksana program secara akurat dan
konsisten mengikuti semua instruksi SOP?” Dan pertanyaan berikut
adalah “apakah SOP yang dirancang sudah tepat untuk mencapai
hasil yang diinginkan?”. Jika dalam pengawasan ditemukan
karyawan/pelaksana program tidak mengikuti SOP secara rinci maka
perlu kembali pada tahap pelatihan, dimana para karyawan perlu
dilatih kembali. Jika dalam pengawasan ditemukan bahwa SOP ini
tidak dirancang dengan benar maka perlu kembali ke tahap
pengembangan dengan melihat kembali dan membuat perubahan
pada SOP. SOP harus berubah dari waktu ke waktu karena berbagai
alasan. Dengan mengawasi implementasi SOP sendiri akan
mempermudah kita untuk memahami dan mengetahui perubahan apa
yang harus kita lakukan dalam SOP yang sudah ada.

2. Komitmen Menjalankan Standar Operasional Prosedur


Dalam penerapan SOP dalam sebuah organisasi tidak hanya
membutuhkan pemahaman tetapi juga dibutuhkan sebuah komitmen
dari individu yang menjalankannya, karena individu yang
berkomitmen merupakan individu yang dapat bertahan di dalam
organisasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi terhadap
organisasi menurut Mayer & Allen (1997). Berbicara mengenai
komitmen dalam organisasi, dalam pengertiannya komitmen
organisasi menurut Porter et.al (2004) sebagai pengenalan dengan
organisasi dan menerima tujuan dan nilai-nilai organisasi. Seseorang
atau anggota yang memiliki komitmen tinggi akan merasa bahwa ia
sedang bekerja untuk dirinya sendiri dan bukan orang lain. Robbins
& Judge (2009) mengemukakan komitmen organisasi merupakan
keadaan di mana karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-
tujuannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi
tersebut, dan menurut Kreitner & Kinicki (2014) komitmen
organisasi mencerminkan seseorang mengenali sebuah organisasi
dan terikat pada tujuan-tujuannya. Dengan demikian komitmen
terhadap organisasi artinya tidak hanya terbatas dengan menjadi
anggota organisasi saja, karena komitmen organisasi meliputi sikap
menyukai, memihak organisasi dan kesediaan untuk
memprioritaskan kepentingan organisasi untuk mencapai tujuannya.
Tiga dimensi dalam komitmen organisasi dalam Mayer dan
Allen (1997) yakni: (1) Komitmen afektif (affective commitment)
yaitu adanya keterikatan emosional pada karyawan, identifikasi, dan
keterlibatan dalam organisasi. (2) Komitmen berkelanjutan
(continuance commitment) yakni komitmen berdasarkan kerugian
dikarenakan keluarnya karyawan dari organisasi. (3) Komitmen
normatif (normative commitment) yaitu perasaan wajib untuk tetap
tinggal ataupun berada dalam organisasi karena memang harus
demikian. Setiap karyawan memiliki dasar dan tingkah laku yang
berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya.
Selain tiga dimensi dalam komitmen organisasi, ada pula
beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seperti
yang disampaikan oleh Van & Graham (1994) yakni pertama,
Personal Factors dimana terdiri dari beberapa faktor pribadi atau
personal yang mempengaruhi latar belakang pekerja, seperti usia,
latar belakang anggota, latar belakang pekerja, sikap dan nilai serta
kebutuhan intrinsik pekerja. Kedua, Situational Factor yang di bagi
dalam beberapa bagian yakni Workplace values, Subordinate-
supervisor interpersonal relationship, Job characteristics,
Organizational support, dan Positional Factors.
Workplace values yang dimaksudkan terdiri dari kualitas,
inovasi, serta kerja sama dan partisipasi yang mempermudah untuk
dibagi dan membangun relasi yang lebih dekat di antara anggota.
Jika anggota percaya pada nilai kualitas produk organisasi, mereka
akan merasa terikat untuk berperan dalam meningkatkan kualitas
organisasi tersebut. Jika anggota yakin pada nilai partisipasi
organisasi, mereka akan lebih merasakan bahwa partisipasi mereka
akan membuat suatu perbedaan bagi organisasi. Konsekuensinya,
mereka akan lebih bersedia untuk membantu mencari solusi dan
membuat saran untuk kesuksesan suatu organisasi.
Berikutnya Subordinate-supervisor interpersonal relationship
di mana sikap dari supervisor merupakan suatu hal mendasar untuk
menentukan tingkat kepercayaan interpersonal dalam unit pekerjaan.
Perilaku dari supervisor yang termasuk di dalamnya seperti berbagi
informasi-informasi penting, membuat pengaruh yang baik,
menyadari dan menghargai unjuk kerja yang baik dan tidak melukai
orang lain.
Job characteristics merupakan karakteristik dari pekerjaan
guna meningkatkan perasaan anggota terhadap keterikatan tanggung
jawabnya terhadap organisasi. Sedangkan Organizational support
memiliki hubungan yang signifikan antara komitmen pekerja dan
kepercayaan anggota terhadap keterikatan dengan organisasinya.
Faktor yang terakhir adalah Positional Factors yang dibagi
menjadi dua yakni Organizational tenure dan Hierarchical job level.
Organizational tenure merupakan hubungan antara masa jabatan
dan hubungan pekerja dengan organisasi. Sedangkan pada
Hierarchical job level berkaitan dengan status sosial ekonomi
menjadi satu-satunya prediktor yang kuat dalam komitmen
organisasi. Hal ini terjadi karena status yang tinggi akan merujuk
pada peningkatan motivasi dan kemampuan untuk terlibat secara
aktif.
Penelitian yang dilakukan oleh Suseno & Sugiyanto (2010)
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
komitmen organisasi adalah karakteristik pribadi yaitu kondisi
potensi, kapasitas kemampuan, dan kemauan seorang karyawan
sesuai kebutuhan dunia kerja. Hal ini menggambarkan bahwa
komitmen seorang karyawan dalam sebuah organisasi berkaitan
dengan kemampuan sumber daya manusia yang ada dalam
organisasi tersebut untuk menjalankan tanggung jawabnya.
Penelitian lain yang berkaitan dengan komitmen karyawan untuk
menjalankan tugasnya dalam organisasi dilakukan oleh Suwardi &
Utomo (2011) menunjukkan bahwa pegawai dengan komitmen
tinggi biasanya lebih tahan bekerja, produktif dan berorientasi ke
arah pencapaian tujuan organisasi, sehingga kinerja menjadi lebih
optimal. Komitmen karyawan dalam kaitannya dengan kinerja
karyawan juga dapat dikaitkan dengan komitmen untuk menjalankan
SOP dalam sebuah organisasi. Agar SOP tersebut dapat dijalankan
dengan baik maka dibutuhkan komitmen yang tinggi dari anggota
organisasi tersebut.
Dilihat dari tiga dimensi komitmen organisasi Allen & Mayer
maka karyawan yang memiliki affective commitment tinggi
menandakan bahwa karyawan tersebut memiliki motivasi dan
keinginan kuat untuk berkontribusi secara berarti terhadap
organisasi. Continuance commitment menunjukkan kesetiaan
individu terhadap organisasinya karena adanya imbal balik yang
dapat diberikan oleh organisasi terhadap dirinya bila ia tetap
bertahan, juga karena kurang tersedianya alternatif pekerjaan lain.
Karyawan yang memiliki continuance commitment yang tinggi,
sangat tidak dapat diharapkan untuk memberikan kontribusi ataupun
masukkan yang berarti bagi organisasi. Sementara karyawan dengan
normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam
organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau keharusan.
Oleh karena itu berkaitan dengan komitmen untuk menjalankan SOP
di gereja dibutuhkan affective commitment dan normative
commitment. Di mana para pelaku pelayanan dengan tanpa dipaksa,
memiliki keinginan serta kesadaran bahwa menjalankan SOP
merupakan suatu kewajiban dan keharusan.
Beberapa penelitian mengenai komitmen pada organisasi
gereja seperti yang dilakukan oleh Kristanto (2011) tentang
dinamika komitmen organisasi terhadap uninvolvement anggota
organisasi pemuda gereja protestan menunjukkan bahwa pemuda
gereja memiliki komitmen yang buruk terhadap pelayanan yang
dilakukan. Penelitian lain mengenai komitmen dalam organisasi
gereja oleh Hasugian (2013) komitmen organisasi dan kepuasan
kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada kinerja
organisasi Gereja Isa Almasih Jemaat Dr. Cipto Semarang. Dengan
demikian, untuk meningkatkan pelayanan yang baik kepada jemaat,
maka anggota organisasi gereja harus memiliki komitmen yang baik
terhadap pelayanan yang dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai