Anda di halaman 1dari 104

0

DAFTAR ISI

Prakata ................................................................... 3
Pengantar Ketua Exalos Indonesia ........................ 5
Pengantar Penulis .................................................. 7

I. Konflik ................................................................. 9
Kesembronoan ...................................................... 11
Ada di Sekitar ........................................................ 13
1. Ular Sendok (Kobra) .......................................... 14
2. Ular Lanang Sapi ............................................... 16
3. Ular Jali .............................................................. 17
4. Ular Weling ........................................................ 18
5. Ular Cabai .......................................................... 19
6. Ular Sanca ......................................................... 20

II. Masyarakat Awam ............................................ 22


1. Venom Naja sp. (Kobra) .................................... 28
2. Venom Welang, weling (Krait) ........................... 28
3. Venom Viper (beludak) Pohon ........................... 29
4. Venom Ular Tanah ............................................. 30
5. Venom Ular Cabai Kecil ..................................... 30
6. Venom Ular Picung ............................................ 31

III. Kenali Betul ..................................................... 47


Safety ..................................................................... 50

IV. Setara Kasus Kanker ...................................... 59

V. Jenis Racun Venom ......................................... 63


1. Zootoxin .............................................................. 66
2. Neurotoxin .......................................................... 65
3. Dendrotoxin ........................................................ 66

1
4. Cardiotoxin .......................................................... 67
5. Myotoxin .............................................................. 67
6. Cytotoxin ............................................................. 68
7. Necrotoxin ........................................................... 68
8. Haemotoxin ......................................................... 69

VI. Ular Laut ........................................................... 75


Tingkah Laku .......................................................... 78

VII. Menakar Kematian ........................................... 81


LD50 ........................................................................ 84

VIII. Etika dan Pelepasan ...................................... 88


Etika di Publik ......................................................... 91

IX. Mitos ................................................................. 94


Burung Jadi Ular ..................................................... 97

X. Harapan Exalos Indonesia .............................. 99

DAFTAR PUSTAKA ............................................. 102

LAMPIRAN
Lampiran I: Bayi Digigit .......................................... 31
Lampiran II: Korban Viper Hijau .............................. 33
Lampiran III: Viper Spesies Baru ............................ 36
Lampiran IV: Kampus IPB ...................................... 40
Lampiran V: Gratiskan SABU ................................. 54
Lampiran VI: Hewan Berbisa .................................. 71

2
PRAKATA

Coba kita kumpulkan 100 orang dari setiap


kelurahan dalam satu ruangan kelas atau katakanlah
ruang pertemuan yang mencukupi jumlah tersebut.
Kemudian setelah mereka masuk dalam satu ruangan
itu, kita lepaskan satu ekor anak ular tak berbisa jenis
sanca (Phyton reticulatus) yang ukurannya hampir 1
meter. Niscaya 90 orang di antaranya akan melangkah
bersama-sama. Hanya sekitar 10-15 orang saja yang
memiliki pandangan berbeda terhadap ular.
Terlebih bila melihat ular dari kaca mata
tertentu. Ada yang berpikiran bahwa ular harus
dibunuh karena bila tak demikian, maka kita yang akan
terbunuh, kemudian ada juga yang berpikiran bahwa
ular adalah binatang pembawa penyakit, virus, dan
bakteri, lalu ada yang sampai berpikiran untuk
menjauhi ular lantaran binatang tersebut ialah melata,
yang sudah turun temurun dijadikan penyambung ilmu
sihir yang efektif. Maka tak ayal prediksi awal, bahwa
sekitar 90 persen orang-orang akan takut, jijik, atau
benci kepada ular adalah benar adanya, berdasarkan
pandangan di atas.
Namun mari kita lihat lagi dari sisi yang lain,
yakni dari kaca mata siklus kehidupan. Ular adalah
predator alami untuk tikus dan juga dimangsa oleh
burung besar. Maka bila masyarakat yang sebagian
besar itu tidak memahami dengan baik peranan ular di
rantai makanan kehidupan, bukan mustahil akan terjadi
kepunahan ular di masa depan. Terlebih dengan
tingginya perkembangan peradaban manusia, sudah
banyak terjadi konflik antara ular dan manusia di

3
kawasan-kawasan pemukiman, bahkan hingga di
pusat kegiatan manusia di perkotaan.
Maka melalui buku ini, Exalos Indonesia akan
memaparkan kumpulan catatan yang ditemui langsung
di lapangan. Ya, buku ini pada intinya adalah kumpulan
cerita tentang ular, penanganannya, dan juga
informasi-informasi tentang ular, yang bagi masyarakat
awam boleh jadi merupakan informasi yang cukup
berharga. Buku ini akna mencoba menjelaskan benyak
hal tentang ular, bahkan hingga yang dianggap tabu
sekalipun akan dibahas di buku ini.

4
PENGANTAR KETUA EXALOS INDONESIA

Meski ular banyak dijumpai di hutan atau sawah,


tidak menutup kemungkinan ular dapat masuk ke
dalam rumah. Banyak faktor yang memengaruhinya.
Misalnya saat mencari makanan atau tempat
berlindung, ular dapat merayap masuk ke rumah.
Melalui buku ini, saya sebagai Ketua Exotic
Animal Lover (Exalos) Indonesia, akan berbagi
informasi yang disusun dalam bentuk bahasa
jurnalisme, khususnya melalui teknik storytelling.

Namun pada intinya, buku ini adalah mengajak


seluruh pihak untuk bersama-sama memahami bahwa
ular adalah satwa liar, yang pada intinya memiliki
insting kebinatangan (animal instinct). Sebaik-baiknya
hewan yang telah kita pelihara, tetap saja mereka
5
memiliki insting tersebut. Maka bila tidak ada tujuan
untuk belajar dan untuk mendukung keperluan
edukasi, sebaiknya tak perlu memelihara ular.
Karena ular adalah golongan hewan buas yang
bisa sewaktu-waktu muncul insting kehewanannya
untuk dua hal. Pertama, mereka takut dimangsa
sehingga akan berupaya kabur dari cengkeraman kita
yang sudah susah payah memelihara. Kedua, mereka
akan memangsa.
Hal kedua itulah yang wajib kita pahami
bersama. Maka sikap Exalos Indonesia dalam
penanganan ular adalah mendukung pelepasliaran.
Bukan sebaliknya menangkap dan memeliharanya,
apalagi sampai harus membunuhnya tanpa
pertimbangan ekologis.
Dalam berbagai kacamata, mematikan ular
memang disarankan. Namun dengan pertimbangan
tertentu, seperti ular yang berbisa mematikan di tengah
kondisi banyak anak kecil di suatu lingkungan, serta
dibolehkan bagi mereka yang memang tidak
memahami betul tentang jenis ular berbahaya atau
bukan. Maka selamat menyimak informasi-informasi
yang disuguhkan di buku ini.

Janu W. Widodo

6
PENGANTAR PENULIS

Menyatukan persepsi memang bukanlah hal


yang bijak. Setiap manusia memiliki cara pandang
tersendiri sehingga muncul persepsi yang berbeda-
beda. Bijaksana atau tidaknya anggapan masyarakat
atas cara pandang seseorang atau sekelompok,
tergantung banyak hal. Namun untuk hal penanganan
reptil terutama jenis ular, ada beberapa pandangan
yang kerap muncul dan ini sebaiknya memang
diketahui publik demi kebaikan Bersama.
Pandangan pertama, dari sisi paling awam atau
golongen pertama. Yaitu bahwa ular dianggap
binatang yang berbahaya karena mengancam
kehidupan manusia. Ini adalah pandangan dari
masyarakat yang membutuhkan edukasi tentang
karakter dan sifat ular.
Bahwa tak semua ular memiliki bisa (venom)
yang mematikan seperti ular sendok (Naja sp.), raja
tedung (Ophiophagus hannah), taipan (Oxyuranus
sp.), beludak, dan lainnya. Juga, menurut sahabat
saya, Ketua Exalos Indonesia, Janu W. Widodo, belum
tentu semua akan menyerang manusia bila bertemu.
Pandangan kedua, dari sisi konservasi. Ular
merupakan salah satu dari hewan yang berperan
penting dalam siklus rantai makanan. Keberadaannya
diperlukan untuk menyeimbangkan kehidupan. Maka
bila terjadi salah masuk ke dalam habitat, seperti ular
yang merangsek ke pemukiman penduduk, penduduk
di golongan ini akan melakukan aksi pelepasliaran
supaya tidak terjadi pembantaian seperti pada
golongan pertama.

7
Pandangan ketiga adalah dari sisi religi,
khususnya di Indonesia ini, yang mayoritas beragama
Islam. Mengacu pada isi salah satu hadits Nabi
Muhammad SAW ini :
“Bunuhlah ular-ular dan dza ath thufyatain dan al abtar
(nama dari dua jenis ular berbisa) karena keduanya
membutakan pandangan dan menggugurkan
kandungan”. (HR. Muslim).
Maka Exalos Indonesia merasa perlu untuk
menelaah sedikit lebih jauh tentang hal tersebut. Salah
satu sahabat saya juga, praktisi arsitekur pertamanan
dari IPB University, Faries Fahdil, yang juga praktisi
spiritual lingkungan mengungkapkan, memang isi
hadits memerintahkan untuk membunuh ular.
Tapi jangan juga disalahartikan secara umum
bahwa maksudnya adalah, kalau ada ular di dalam
rumah, jangan gegabah asal bunuh. Pun jika ada ular
di dalam rumah. Lalu bagaimana? Maka lakukan upaya
pengusiran sebanyak tiga kali, dengan menyebut nama
Allah. Diantara teknik pengusirannya bisa dengan
rescue (melepasliarkan).
Namun yang pasti, jagalah kebersihan karena
semua masalah datang dari semua yang kotor. Begitu
pun tentang ular. Sebagai mahluk yang memiliki indera
super sensitif, ular juga merasa tak nyaman dengan
bau tertentu. Sebaiknya kita rajin mengepel lantai
rumah dengan menebar wewangian atau menebar
kapur barus di pojokan rumah, yang baunya tak disukai
ular. Dengan begitu, semua terjaga dari bahaya, baik
lingkungan maupun diri sendiri.

Angiola Harry

8
I. Konflik

Bicara tentang konflik antara ular dan manusia,


ternyata masalahnya tak hanya dari sisi umum saja,
yakni saat keduanya saling berhadapan. Secara umum
kita semua sudah tahu bahwa konflik ular dan manusia
hingga saat ini telah menyebabkan banyak korban jiwa
(lantaran ularnya berbisa tinggi). Masalah umum
seperti, kejadian seorang balita tewas dipatuk ular
jenis death adder di Papua, juga anggota Brimob
tewas oleh ular yang sama, dan bahkan satpam
komplek perumahan berpulang lantaran digigit ular
jenis weling di Tangerang, memang tragis.
Namun jangan lupa juga bahwa korban dari sisi
si ularnya sendiri, malah menimbulkan masalah baru.
Kejadian belakangan ini lebih tragis lagi, dimana ada
sekeluarga di Jawa Tengah tewas lantaran kesetrum
perangkap tikus. Kenapa jadi perangkap tikus
disalahkan? Ya, karena ular-ular sebagai predator tikus
di sawah, banyak dimusnahkan. Pertanian menjadi
industri besar, namun kurang diperhatikan sisi rantai
makanan yang ada di sekitar.
Alhasil ular yang berbisa tinggi maupun yang tak
berbisa sekalipun, disikat petani. Sehingga predator
tikus hilang, tikus merajalela sebagai hama. Tidak mau
ambil pusing, dipasanglah setrum untuk perangkap
tikus. Korban baru pun muncul.

9
Foto: Pixabay

Maka yang terjadi adalah permasalahan ikutan.


Ibarat vaksin ada istilah KIPI atau kejadian ikutan, di
pertanian dan perkebunan pun, ada masalah ikutan:
ular vs manusia. Lahan dan kebun beralih fungsi jadi
perumahan, ruko, dan perkantoran. Ular-ular yang
dulunya warga situ, akhirnya merangsek ke
perumahan dan kantor, timbullah masalah baru.
Kesemua hal di atas butuh edukasi biologi
tentang apa yang harus dilakukan saat ini, secara
bijaksana, supaya bagaimana konflik tersebut bisa
mereda. Setidaknya ditekan dulu jumlah korban yang
muncul dari hari ke hari.

10
Kesembronoan

Tak kalah pentingnya, yakni mengenai


kesalahan penanganan. Masalah ini juga banyak
memakan korban, yakni ketidaktahuan tentang
karakter ular. Ingatkah? Seorang satpam komplek di
Tangerang Selatan yang tewas dipatuk ular
jenis Bungarus candidus atau yang sering disebut ular
weling. Hal itu lantaran satpam tersebut menyangka
ular yang bercorak kulit hitam putih itu, tidak
berbahaya. Bahkan ketika dia digigit pun mengaku
tidak sakit, sehingga dianggapnya ular itu tidak
berbahaya. Alhasil tak sampai 1 jam kemudian dia
dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya meninggal.
Kasus lainnya, pedangdut Irma Bule yang
setelah bermain-main dengan ular King Cobra di acara
pertunjukkannya, dia kemudian digigit di bagian paha.
Bukannya malah berhenti dan mencari penanganan
medis sesegera mungkin, malah tetap bernyanyi.
Ternyata 45 menit kemudian dia pingsan dan tak
tertolong nyawanya. Kasus serupa pun terjadi, seorang
anak remaja di Kalimantan dipatuk King Cobra
peliharaannya. Uniknya, warga sekitar percaya bahwa
si remaja tersebut masih bisa hidup lagi bila bekas
gigitannya dipatuk lagi oleh King Cobra yang sama.
Alhasil, dari koma malah meninggal.

11
Foto: TribunNews

Dari kesemua kasus itu, tampak bahwa ternyata


masyarakat awam masih keliru dalam memahami
bahaya ular. Menurut drh. Khalida Noor Sutedja dari
IPB University, memang diperlukan mereka-mereka
yang secara saintis menekuni dunia ular. Karena
selama ini menurutnya, yang memberikan materi
tentang ular berbisa adalah mereka yang tidak
kompeten. Senada dengan drh. Khalida, salah seorang
staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB
University, drh. Rahmat Hidayat pun mengatakan,
memang pemateri edukasi tidak bisa hanya sekedar
penghobi reptil dan penyuka ular.
Walau tiap hari berkutat dengan ular atau biasa
menangani ular, namun mereka tentunya tidak memiliki
pengetahuan spesifik tentang, misalnya, kandungan
LD50 di dalam bisa, (DO) Dissolve Oxygen, lalu
bagaimana venom ular itu berproduksi di saliva glands,
berapa persen kandungan zat ini, itu, bagaimana pula
penanganan pasca kandungan tersebut masuk ke
dalam darah, dan sebagainya. Maka drh. Khalida dan
12
teman-teman seangkatannya di alumni IPB University
dalam waktu dekat akan bergerak mengadakan
edukasi tentang ular berbisa tersebut, khususnya
kepada remaja.

Ada di Sekitar

Jika manusia saja mulai harus bertindak untuk


menghindari potensi-potensi yang dapat merugikan,
begitu pun satwa. Terkhusus lagi, ular. Puncak musim
hujan, selain membuat kita harus waspada terhadap
potensi genangan air bahkan banjir, juga harus
waspada terhadap potensi lain, yang dipengaruhi oleh
tingginya curah hujan. Bulan Januari hingga Maret,
musim hujan yang mulai pada puncaknya.

Foto: iNaturalist

Kita semua paham bahwa musim kawin ular


adalah ketika menjelang periode musim hujan. Dan
ketika mulai memasuki musim hujan, banyak telur-telur
ular yang menetas dan juga ular lain yang melahirkan

13
anak-anaknya. Mereka langsung mengaktifkan 'mode'
berburunya bahkan ketika baru lahir sekalipun. Tak
heran, akan banyak kita temukan ular-ular muda di
sekitaran pojok-pojok kawasan atau sudut ruangan,
serta di lubang-lubang tikus dan tumpukan benda-
benda atau barang-barang.
Karakter mereka berburu adalah menyelinap
dan cenderung menyergap. Itulah sebabnya mereka
sering ditemukan di tempat yang banyak tumpukan
barang. Maka berhati-hatilah bila musim hujan tiba, kita
sering berada di dekat tumpukan barang atau ketika
memindahkan barang tersebut. Bisa jadi ada ularnya.
Dan ular-ular apakah yang banyak ditemukan di
sekitaran rumah, terutama yang rumahnya di kawasan
subur dan banyak kebun? Berikut beberapa jenis ular
yang kerap ditemukan.

1. Ular Sendok (Kobra)

Ular ini memiliki kekuatan bertahan hidup yang


baik, sehingga sering muncul di kawasan yang banyak
manusianya sekalipun seperti perumahan, tempat
wisata, bahkan di pasar. Nama ilmiah ular sendok atau
kobra yang kerap beredar di Pulau Jawa adalah Naja
sputatrix sedangkan nama ilmiah kobra yang sering
ditemui di Sumatera adalah Naja sumatrana. Panjang
keduanya bisa sampai 1,7 meter dan ciri khasnya
adalah mampu membuat kepalanya pipih seperti
sendok.

14
Foto : Facebook KPU Indonesia

Mereka adalah jenis ular berbahaya karena di


dekat kelenjar ludahnya juga ada kelenjar bisa.
Seberapa berbahayakah bisa (venom) pada kobra
tersebut? Perlu diketahui bahwa jenis bisa ular kobra
adalah neurotoksin atau racun syaraf. Jika masuk ke
dalam darah, neurotoksin tersebut akan merusak
jaringan syaraf kita dan kemungkinan kita bisa tewas
seperti orang stroke. Berdasarkan jurnal ilmiah
Biochemstry and Molecular (Belgia), dosis LD50 jenis
kobra berkisar antara 6 to 7 μg/dosis.
Ini artinya, dengan hanya memberikan kadar
bisa sebanyak 7 μg saja kepada 100 orang-orang, 50
diantaranya akan tewas teracuni oleh bisa tersebut.
Bagaimana dengan 50 lainnya? Ada yang bertahan
dan ada pula yang akan cacat organ tubuhnya meski
15
tidak sampai tewas. Ular ini juga mampu
menyemburkan bisa tepat pada bagian mata
lawannya. Maka berhati-hatilah bila bertemu ular
kobra. Jangan coba-coba menangkapnya bila tak
memiliki pengalaman dengan mereka.

2. Ular Lanang Sapi

Ular lanang sapi (Coelognathus radiatus)


mungkin tak setegar kobra dalam menghadapi
permasalah hidupnya. Mereka mungkin tidak lebih kuat
ketahanan fisiknya di tempat yang jauh dari habitatnya.
Namun, ular lanang sapi ini pasti akan muncul di
tempat yang banyak tikusnya.

Foto: Exalos Indonesia

16
Itulah sebabnya mereka kerap ditemukan di
komplek perumahan. Tidak se-bahaya ular kobra, ular
lanang sapi tidak berbisa apalagi sampai
mengakibatkan orang tewas. Namun tetap saja kita
harus waspada, karena ular berbisa rendah sekalipun,
akan berpengaruh besar terhadap anak balita dan bayi.

3. Ular Jali

Ular jali (Ptyas mucosus) adalah ular paling


sangar diantara ular yang ada di Indonesia. Meski tidak
berbisa, namun ludahnya memiliki kandungan bakteri
yang bisa membuat kulit iritasi. Ular ini dibilang sangar
karena karakternya yang agresif. Dia akan membentuk
badannya seperti huruf S dan mengeluarkan suara
desis yang tinggi ketika sedang agresif. Panjang ular
ini bisa sampai 2,8 meter.

Foto : Facebook KPU Indonesia

Makanan ular ini selain tikus, adalah kodok dan


kadal. Cara memangsanya pun mirip dengan ular
sanca, yaitu membelit korbannya hingga tak berdaya
dan memakannya. Tak heran bila ular jenis ini banyak
17
ditemukan di area perkebunan, persawahan, dan
pertamanan. Di perumahan, ular ini sering dijumpai di
rumah-rumah orang yang hobi menanam pohon dan
berkebun.

4. Ular Weling

Ular weling atau Bungarus candidus adalah ular


yang juga sering ditemukan di dekat perumahan.
Panjangnya bisa sampai 2 meter. Ular ini hidupnya
senantiasa dekat dengan air dan melalukan perburuan
mangsa pada malam hari. Meskipun bentuknya bagus
karena belang putih hitam, namun kita harus sangat
waspada atas ular ini. Karena bisa pada ular ini lebih
tinggi dari ular kobra.

Foto: Exalos Indonesia

Bila ular kobra mampu membunuh setengah


populasi manusia dengan hanya menggunakan kadar
bisa sebanyak 7 μg saja, ular weling cukup hanya 4 μg
18
saja. Nyaris setengah dari kadar bisa kobra, namun
mampu membunuh hingga 50 orang dari 100 orang
yang terpapar bisa ular ini (di bahasan LD50). Maka
wajib-wajib waspada bila melihat orang ini. Bahkan
orang-orang dahulu mengingatkan anak-anak mereka
yang sering main di dekat sungai agar segera lari bila
bertemu ular ini.
Sebab, berbeda dengan kobra, yang bila
seseorang digigit dan tersuntik bisa ular kobra, maka
mereka akan merasa kesakitan di sekitar gigitannya.
Ular weling tidak. Mereka yang tergigit hanya seperti
terkena tusukan jarum saja. Setelah itu, biasa saja.
Namun tak akan sampai 40 menit, orang yang terpapar
bisa ular weling akan merasa mengantuk. Kemudian
dia tertidur dan takkan pernah terbangun selama-
lamanya.

5. Ular Cabai

Foto : Wikimedia.org

19
Ular cabai walaupun kecil, paling panjang hanya
sekitar 1 meter saja (bahkan mungkin tidak sampai),
namun waspadalah dengan bisa yang dimilikinya.
Kemampuan bisa yang dia miliki, setara dengan bisa
ular weling atau bahkan bisa di atasnya. Ular ini bisa
lebih mematikan dari ular weling bagi mereka yang
mempunyai masalah dengan paru-paru. Karena di
dalam bisa ular ini, ada zat tertentu, yang mampu
mengikat kadar oksigen pada syaraf manusia dan
menutup saluran sodium pada darah.
Bekas gigitan ular ini juga cukup memberi efek
sakit seperti gigitan ular kobra. Meski begitu, peneliti
sedang mempelajari kadar bisa ular ini. Karena
ternyata terungkap bahwa bisa ular ini memiliki zat
yang mampu membantu menghilangkan rasa sakit.
Saat ini sedang diteliti tentang bagaimana cara
memanfaatkan bisa ular cabe untuk membantu
pengembangan obat penghilang rasa sakit.

6. Ular Sanca

Ini adalah ular dengan karakter fisik besar dan


panjang. Ukuran dewasanya bisa lebih dari 7 meter.
Meski tidak berbisa, namun tenaga ular ini sangat kuat.
Dengan ukuran yang hanya 1,5 meter saja, ular ini bisa
membelit kucing hingga tulang kucing tersebut patah.
Yang ukuranya 2 meter pun, mampu melilit dan
mematahkan tulang anak kecil.
Apalagi yang ukurannya hingga di atas 2 meter.
Ular ini karnivora, yakni memakan mamalia kecil dan
besar, baik tikus, kambing, bahkan hingga yang lebih
besar dari manusia. Dia juga memangsa ular-ular kecil.
20
Ular sanca (Reticulatus sp.) hidup di sekitaran sungai
dan danau. Mereka adalah perenang air tawar yang
baik.

21
II. Masyarakat Awam

Pada 2019 lalu penulis berada di Malaysia, usai


bertugas dalam sebuah acara pameran perikanan
skala regional ASEAN. Singkat cerita, kami mendapat
kenalan baru dari Malaysia. Usai petang, mereka
mengajak kami untuk makan malam di sebuah restoran
yang menjual Mie Mamak yang letaknya di jantung kota
Kuala Lumpur. Mie Mamak sebenarnya adalah mie
goreng, namun dari rasanya, seperti perpaduan mie
goreng seafood dan mie Aceh. Namun kita skip dulu
tentang Mie Mamak karena artikel ini sedang tidak
membahas soal mie goreng.
Setelah makan Mie Mamak dan beberapa
panganan lain di restoran itu, perut kami pun kenyang
dan kami mulai mengobrol santai tentang topik apa
saja yang menarik. Hingga sampailah pada topik yang
tak sengaja, membuat saya seolah seperti menjadi
narasumber utamanya. Kami dari Indonesia bertiga,
mereka pun sama, sehingga jumlah kami di restoran itu
enam orang. Awalnya, salah satu rekan kami dari
Indonesia, bercerita tentang salah satu produk bahari
yang menurutnya bahan bakunya didapat dari sebuah
upaya menegangkan.
Dia mengungkapkan bahwa bahan baku produk
tersebut dia dapat bersama timnya, setelah berhasil
mengusir ular di kawasan mangrove. Dia dan timnya
saat itu terkejut ketika ingin memperoleh bahan baku
tersebut, karena mereka bertemu dengan ular yang
mereka sebut ular belang-belang. Ternyata setelah
saya 'interogasi' lagi tentang ular tersebut, rupanya ular
yang dimaksud adalah ular cincin emas (Boiga

22
dendrophila) yang memang habitatnya di sekitar pesisir
dan kawasan bakau.

Foto: Wikimedia.org

Dari situlah situasi berbalik, saya jadi banyak


ditanyai soal ular. Dan yang menurut saya agak unik
adalah ketika mereka yang dari Malaysia ini bilang
begini, "Kalau di sini, as long as not king cobra, we are
not worried. Macam di negara awak (Anda) kah? King
cobra ular paling deadly ya?". Mereka (dan teman-
teman saya dari Indonesia juga) seolah terlalu awam,
belum banyak paham tentang ular-ular berbisa tinggi di
sekitar lingkungan hidup daerah tropis. Orang-orang
awam di Malaysia (dan mungkin Indonesia) umumnya
hanya mengetahui tentang ular, yang ikonik saja
seperti Si Raja Tedung alias King Cobra.
Okelah memang king cobra (Ophiophagus
hannah) adalah salah satu ular mematikan di dunia,
karena suntikan bisa dari taringnya, mampu masuk ke
23
dalam kulit manusia hingga 500 miligram. Sementara
ular lainnya, ketika menyerang manusia secara fatal,
hanya menyuntikkan bisa ke dalam darah sekitar
kurang dari setengahnya dosis bisa king cobra. Namun
king cobra ketika menyerang, dia mampu
menyuntikkan bisa (venom) sebanyak itu, sehingga
manusia yang tergigit ular king cobra seringkali
menemui ajalnya sebelum datang pertolongan medis,
alias jarang yang selamat.
Kawan pembaca, baik yang di Indonesia
maupun di Malaysia, terutama yang di Malaysia, jika
kalian berkunjung ke Indonesia, pada hakikatnya
kondisi alam negara ini tak beda dengan Malaysia.
Akan banyak hutan tropis dan kawasan pedesaan yang
rimbun. Di hutan tropis, pasti banyak reptil yang akan
ditemui. Dan kemudian ketika kita menemukan reptil,
ular adalah salah satunya. Memang tidak semua ular
di daerah tropis merupakan ular yang sangat berbisa.
Ada ular dengan kadar venom (bisa) menengah,
ringan, dan yang tingkat tinggi.
Misalnya dari cerita sebelumnya, bahwa di
kawasan mangrove atau pantai, ada yang menemukan
ular dengan corak kulit seperti garis polisi (campuran
hitam dan kuning). Itulah ular Boiga atau cincin emas
(Boiga dendrophila) atau ular bakau. Boiga memiliki
bisa tingkat menengah yang jika tersuntik ke dalam
darah manusia, korban akan mengalami nyeri ringan,
tergantung dari kondisi kesehatannya. Bisa lebih berat
jika sedang bermasalah dengan kesehatan.

24
Foto: Wikipedia.org

Dan ketika kita pergi lebih jauh ke daerah


lanskap yang lebih tinggi, di mana terdapat sungai,
sumber air alami dengan kanal-kanalnya, kita akan
menemukan ular yang cukup mirip seperti Boiga, tetapi
dengan corak warna hitam-putih atau hitam-kuning
yang lebih jelas. Awas! Ular itu sangat mematikan dan
di Malaysia, dikenal dengan krait snake yang berasal
dari dari keluarga Bungarus. Umumnya tiga spesies
tersebar di Indonesia dan Malaysia: Bungarus
candidus, Bungarus fasciatus, dan Bungarus flaviceps.
Trio Bungarus sp. ini pun, di masyarakat sering
jadi masalah serius karena dua hal umum: sering mirip
ular cicak belang (Lycodon subcictus) dan sering
dianggap ular tak berbisa oleh anak-anak. Tak ayal
banyak kasus kematian gigitan ular ini menimpa
mereka yang awam, baik anak-anak maupun orang
dewasa. Tapi mengenai perbedaan spesifik Bungarus
sp. akan dibahas lebih lanjut di buku ini.
25
Jika bertemu dengan jenis ular Bungarus sp.,
langkah yang sangat bijak adalah menghindarinya.
Sebagai ilustrasi, anggap saja kita sedang
mempersiapkan 100 alat suntik yang diisi air.
Kemudian tumpahkan air dari alat suntik tersebut ke
dalam satu belanga (panci). Lalu di belanga itu,
teteskan bisa ular krait cukup 4 mikrogram saja dan
campur adukkan. Setelah itu, masukkan kembali air
yang telah tercampur bisa ular krait ke dalam 100 alat
suntik tadi. Lalu suntikkan air tersebut ke 100 tikus
dewasa. Niscaya akan ada 50 tikus mati dan sisanya
masih selamat, tetapi sakit parah.

Itulah yang disebut LD50 (lethal dose 50) atau


dosis yang dibutuhkan untuk membunuh 50% populasi.
Ular krait hanya membutuhkan dosis 4 mikrogram saja
untuk membunuh 1/2 populasi tikus dewasa. Di saat
orang Malaysia awam dengan ular berbisa, mereka
26
justru cukup akrab dengan istilah KPU. Lho kok? Hal
tersebut lantaran pada 2019 KPU bolak balik disebut-
sebut oleh media massa, imbas dari pemberitaan
tentang pemilihan presiden di Indonesia, dan orang-
orang di Malaysia pun cukup banyak yang
memperhatikan.
Namun kali ini KPU yang dimaksud adalah
Komunitas Pecinta Ular Indonesia atau KPU Indonesia.
Grup KPU Indonesia itu berada di ranah Facebook.
Saya yang sudah cukup lama ikut dalam komunitas
tersebut, sedikit banyaknya menjadi paham tentang
ular-ular berbisa yang kerap ditemui di kawasan Asia
Tenggara. Dari KPU Indonesia, saya kemudian
mengenal Exalos Indonesia yang ketuanya aktif sekali
memberikan kampanye tentang penanganan ular. Itu
pula jawaban saya kepada mereka, ketika mereka
menanyakan kepada saya, dari mana saya tahu cukup
banyak tentang ular.
Kembali kepada jenis-jenis ular berbisa yang
umum ditemui di kawasan Indonesia dan Malaysia,
berdasarkan rekomendasi Exalos Indonesia, ada
enam spesies ular berbisa yang sering ditemui di
Indonesia dan Malaysia, serta kawasan sekitar negara
tersebut, baik di tempat umum maupun di hutan.
Mereka adalah kobra (Naja sputarix, Naja sumatrana,
Naja sp. lainnya), krait (Bungarus candidus), viper
pohon (Trimeresurus albolaris dan Trimeresurus
insularis), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), red-
necked keelback (Rhabdophis subminiatus), dan ular
cabai (Calliophis intestinalis).

27
1. Venom Naja sp. (Kobra)

Berdasarkan berbagai sumber (National


Geographic, Australian Enviromental Department,
hingga LIPI) spesies ular ini hanya membutuhkan 7
mikrogram untuk membunuh setengah dari populasi
tikus dewasa. Kadar bisa yang tepat dalam darah
manusia, bisa membawa kematian. Beruntung
Indonesia memiliki penawar racun ular jenis ini,
termasuk krait dan ular tanah. Tapi satu suntikan
(ampul) untuk penawarnya membutuhkan biaya yang
mahal. Ular ini merupakan ular yang cukup beradaptasi
dengan baik, yang dapat hidup di habitat manusia. Jadi
jika ada tikus dan katak di rumah kita, bisa jadi ular
kobra juga menyelinap di sana.

2. Venom welang, weling (Krait)

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ular krait


memiliki racun yang lebih kuat daripada ular kobra.
Hanya membutuhkan 4 mikrogram saja. Dan yang
lebih berbahaya lagi, ular jenis ini malah tampak
menyenangkan bagi anak-anak dan saat menggigit,
korban hanya akan merasa gatal. Namun sekitar 20-45
menit setelah digigit, mereka akan merasa sangat
mengantuk, lemas, sesak nafas, hingga mereka
tertidur dan tidak pernah bangun. Tapi ular ini memang
cukup pilih-pilih untuk tempat tinggalnya. Mereka
sering memilih daerah yang airnya bersih dan sehat.
Jadi berhati-hatilah jika kita sedang berlibur di daerah
dekat sungai.

28
Di awal pembahasan tentang Bungarus sp., kita
juga telah membahas tentang ular-ular yang mirip
dengannya. Tapi yang menjadi masalah adalah
kemiripan ular berbahaya ini ternyata bersanding
dengan ular yang tidak berbahaya atau tidak berbisa
tinggi. Boiga misalnya, banyak yang mengira mirip
dengan Bungarus candidus dan ular cicak belang mirip
dengan Bungarus fasciatus.
Trik paling aman tentunya adalah jauhi saja.
Tapi sebagai tambahan pengetahuan, keluarga
Bungarus sp. memiliki gerakan patah-patah bila
mereka merasa terganggu. Maka bila bertemu dengan
ular yang memiliki corak belang tersebut, namun tidak
tahu mana yang berbisa tinggi dan mana yang tidak,
lihat saja gerakannya ketika kita gertak dengan
sesuatu yang panjang seperti kayu atau tongkat.

3. Venom viper (beludak) pohon

Ular ini nama ilmiahnya Trimeresurus spp. Atau


spesies ular hijau ekor merah (albo dan insul). Juga
memiliki bisa mematikan yang setara dengan ular
kobra, bahkan beberapa penelitian menunjukkan kadar
bisa lebih tinggi dari kobra. Informasi terbaru dari para
ahli, Indonesia rupanya masih belum memiliki
penangkal gigitan ular ini. Ular jenis ini banyak
ditemukan di hutan, perkebunan, bahkan taman yang
rimbun di sekitar perumahan. Untuk mengantisipasi,
perhatikan ekornya. Ular ini mendapat julukan "si ekor
merah mematikan" oleh masyarakat sekitar.

29
4. Venom ular tanah

Banyak orang menyebut ular ini sebagai ranjau


darat. Ada yang menyebutnya bandotan, tapi julukan
yang paling terkenal dari ular ini adalah ular gibug
(Calloselasma rhodostoma) karena kemampuannya
dalam menyamar di antara daun-daun kering. Para
korban ular ini menceritakan bahwa mereka menjadi
korban gigitan karena tidak sengaja menginjak dan
akhirnya digigit.
Setelah gigitan (karena ular ini menyerang lebih
dari sekali) kulit mereka terasa seperti terbakar dari
dalam. Selanjutnya, rasa sakit akan terus menyebar
saat venom mengikuti getah bening, bahkan hingga
korban mengalami masalah sistemik yang parah.
Banyak orang meninggal setelah mengalami masalah
sistemik.

5. Venom ular cabai kecil

Disebut ular cabai oleh masyarakat sekitar


karena ular ini berukuran kecil. Ia bisa menyelinap
hingga ke celah di bawah pintu, karena tubuhnya yang
kecil. Kabarnya, ular inilah yang menyelinap di area
bermain anak mandi bola, dan menggigit salah satu
anak yang sedang bermain di sana, hingga si anak
tewas. Dan karena tekstur dan corak warna kulitnya
yang menarik, pergerakannya yang agak lambat, ular
kecil ini sering dianggap remeh. Padahal ular ini
memiliki potensi bisa mematikan yang sangat besar.
Tingkat bisanya bisa dibandingkan dengan ular krait

30
dewasa dan ia menyerang sistem pernafasan
korbannya. Di beberapa kasus, ada yang meninggal
karena tidak sadarkan diri setelah sesak napas berat
akibat gigitan ular ini.

6. Venom ular picung

Selain memiliki kadar bisa yang setingkat


dengan ular tanah yang mematikan, ular ini juga
memiliki racun di sekitar kepalanya. Bisa atau venom
adalah kandungan yang mematikan bila ikut mengalir
ke dalam darah, sedangkan racun berarti sesuatu yang
mengandung unsur-unsur berbahaya jika tersentuh
atau tertelan.
Ular ini (Rhabdophis subminiatus) memiliki
kedua hal berbahaya tersebut di dalamnya, yakni
berbisa dan beracun. Waspadai tekstur dan corak kulit
ular yang eksotis ini, karena dibalik keindahannya,
berakibat fatal bagi manusia.

Ular picung (Wikimedia.org)


31
Lampiran I: Bayi Digigit

Ular kobra
(Naja sputatrix)
digolongkan
sebagai ular
berbahaya bukan
tanpa sebab.
Tubuh ular ini
memiliki saliva
gland atau
kelenjar air ludah
yang mengandung
cairan bernama
cairan bisa
(venom). Bila
venom tersebut
terinjeksi
(tersuntik) ke
dalam tubuh
manusia dewasa,
tak usah banyak-
banyak cukup 7
mikrogram saja,
sudah bisa
membunuh
manusia tersebut.
Maka bila suatu
saat kita sedang
tak sengaja
berhadapan
dengan ular ini
dan tergigit, berharaplah semoga dia tidak sampai

32
menyuntikkan venom ke tubuh kita sebanyak 7 mikrogram
atau bahkan lebih. Karena dengan kadar venom di bawah itu,
berdasarkan penelitian para ahli, masih ada kemungkinan
selamat.
Seperti yang terjadi pada bayi ini. Namanya (inisial)
JEN yang berusia baru 7 bulan. JEN kemarin, Kamis (7
Oktober 2021) sedang belajar merangkak dan dia melihat
seekor ular yang hendak masuk ke dalam rumah melalui
sela-sela pintu rumah. Kejadiannya diperkirakan sekitar
pukul 04.00 WIB. Karena tidak mengerti apa-apa JEN kecil
menghampiri ular itu dan sayang di sayang, si kobra
menggigit tangannya, di antara jari telunjuk dan jari tengah.
Orang tuanya pun segera membawa JEN kecil yang
menangis kesakitan ke rumah sakit terdekat.
Namun setelah ditangani rumah sakit dan kembali ke
rumahnya, kondisi tangan menjadi bengkak dan JEN
mengalami demam serta muntah. Keluarga pun jadi panik.
Walau begitu, keluarga JEN tetap berupaya mencari pihak-
pihak yang bisa mengatasi kejadian seperti itu. Beruntung
pihak keluarga menemukan tim penolong yang
berpengalaman sehingga bayi JEN berhasil selamat dan
kondisinya mulai membaik.

NB :

- Waspadai celah rumah karena konflik antara ular


dan manusia makin meningkat, lantaran adanya
kompetisi habitat.
- Insiden bayi JEN beredar melalui Whatsapp
kemudian muncul di beberapa media sosial.

33
Lampiran II: Korban Viper Hijau

Kabar duka kembali merundung. Exalos Indonesia


menerima pesan memilukan dari daerah Karanganyar,
khususnya di area Pereng, wilayah Kota Surakarta, Jawa
Tengah. Melalui informasi yang diterima Ketua Exalos
Indonesia, Janu Wahyu Widodo, Jumat, 18 Maret 2022, telah
meninggal seorang anak balita akibat gigitan ular jenis
beludak hijau (green viper).

Identifikasi jenis ular yang dapat dilakukan Exalos


Indonesia hanya dari foto yang diberikan pihak kerabat. Dari
foto yang diberikan, viper tersebut diduga dari
spesies Trimeresurus insularis. Berdasarkan kronologi
kejadian, bocah dengan inisial MG tersebut, sedang
menghampiri rak sepatu. Rupanya beludak hijau tersebut
sedang bergelayut di sekitar rak.

34
Karena dikira ular mainan, akhirnya MG
mempermainkan ular itu layaknya mainan. MG pun
mendapat beberapa kali gigitan beludak hijau, yang menurut
pihak keluarga berdasarkan identifikasi rumah sakit,
jumlahnya lima gigitan. Penyebab kematian MG, diduga
karena telat penanganan.
Kejadian ini merupakan yang kesekian kalinya
terjadi kepada anak-anak dan remaja. Pada tahun 2019 lalu,
di Papua, seorang anak berusia 3 tahun meninggal akibat
gigitan ular jenis death adder Papua (Acanthopis sp.). Lalu di
akhir tahun 2021 seorang mahasiswa baru IPB tewas akibat
gigitan ular yang diduga jenis kobra Jawa (Naja sputatrix).

Tak hanya di Indonesia, kematian anak-anak akibat


mempermainkan ular, di Australia pun juga kerap terjadi.

35
Maka bagi orang tua yang tinggal dekat dengan perkebunan,
sawah, dan hutan, agar dihimbau lebih memperhatikan
edukasi tentang ular kepada anak-anaknya.

36
Lampiran III: Viper Spesies Baru

Meski pandemi berlangsung, namun yang namanya


penelitian tetaplah harus berlanjut. Pada 1 Desember 2020,
Zening Chen dan koleganya dari Sichuan University, Cina
berhasil menemukan spesies baru ular beludak pohon atau
tree viper di Guoi, utara Thailand. Diberi nama Ular Beludak
Pohon Guoi (Trimeresurus guoi), ular tersebut tersebar di
Thailand utara, Myanmar utara dan Tiongkok selatan.
Perbedaan mendasar ular spesies baru tersebut dengan Ular
Bangkai Laut (Trimeresurus albolabris) dan Ular Beludak
Pohon Timur (Trimeresurus insularis) adalah warna merah
pada mata dan ekor yang lebih dalam (deep red).
Sekarang mari kita mengenal sedikit lebih jauh
tentang spesies ular beludak hijau yang pada 1 Desember
2020 lalu baru saja ditemukan oleh para peneliti dari
Universitas Sichuan, Cina. Adalah Zening Chen dan
koleganya yang berhasil menemukan spesies baru tree viper
ini di kala musim wabah 2020. Mereka menemukannya di

37
Guoi, utara Thailand, sehingga dalam klasifikasi nama
ilmiah mereka namakan ular ini Trimeresurus guoi.
Untuk yang awam, pasti akan mengira ular ini adalah
ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris) atau ular beludak
pohon Asia (Trimeresurus insularis). Namun bila lebih
mendalam lagi melihat perbedaannya, maka akan tampak
pada mata dan ekornya. Namun sebelumnya sebagai
informasi, Trimeresurus albolabris adalah ular asli
Indonesia.

Perbedaan umum viper Guo dengan Trimeresurus


albolabris dan Trimeresurus insularis adalah:
- Trimeresurus albolaris memiliki warna mata yang lebih
terang dibanding Trimeresurus insularis dan viper Guo.
- Trimeresurus insularis warna matanya merah agak
kecoklatan dan juga selain berwarna hijau, kulitnya ada yang
berwarna biru muda.
- Trimeresurus guoi memiliki perbedaan warna mata dan
ekor, yakni warna merah lebih gelap.
38
Sedangkan perbedaan khususnya berdasarkan Asian
Herpetological Research dapat dilihat dari warna perut yang
berwarna kuning hijau. Lalu khusus pada matanya, kita tidak
akan menemukan garis post okular seperti
pada Trimeresurus albolabris dan juga akan tampak adanya
iris yang berwarna merah api.
Lalu di bagian ekor, terdapat garis merah tua di ekor
punggung. Bila ekor paling belakang (setelah anus) dalam
kondisi tidak sedang menekan, maka jumlah subcaudal akan
mencapai 23 lapis.

Bagaimana dengan bisa milik viper Guo ini?


Peneliti masih belum memberikan penjelasan lebih dalam
mengenai kadar bisa (venom) ular ini. Namun seperti genus
Trimeresurus lainnya, ular ini tergolong berbisa mematikan.

39
Berikut klasifikasi ilmiah viper Guo :

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
kelas :Reptilia
Ordo : Squamata
Sub ordo : Serpentes
Famili : Viperidae
Genus : Trimeresurus
Spesies : Trimeresurus guoi

Sumber artikel :

Zening CHEN, Shengchao SHI, Jun GAO, Gernot VOGEL,


Zhaobin SONG,et al. A New Species of Trimeresurus
Lacépède, 1804 (Squamata: Viperidae) from Southwestern
China, Vietnam, Thailand and Myanmar [J]. Asian
Herpetological Research (AHR),2020,11(4):1-
11.[doi:10.16373/j.cnki.ahr.200084]

40
Lampiran IV: Kampus IPB

ITK adalah salah satu jurusan program studi di


kampus IPB University. Kepanjangannya, Ilmu dan
Teknologi Kelautan. Di lantai dua musala gedung program
studi ITK waktu itu, belum terbangun seluruhnya. Saat itu
sisi bangunan yang ada, masih belum tertutup dinding atau
bilik musala ITK. Sehingga masih seperti balkon, yang bisa
langsung melihat pemandangan ke arah bawah gedung.
Kami adalah para mahasiswa TPB alias mahasiswa
baru tingkat 1 yang berada di gedung itu untuk melakukan
salat dzuhur. Waktu itu waktu menunjukkan pukul 11.55
WIB, pada Kamis, sekitar bulan September 1997. Kami
sedang bersiap untuk mengambil air wudhu di gedung itu.
Sambil menunggu giliran wudhu (karena hanya ada dua
keran air yang menyala, dari 3 keran) saya melihat ke bawah
gedung. Dari kejauhan tampak ada sesuatu yang bergerak
cukup cepat. Gerakannya meliuk-liuk dan warnanya hitam.

Foto: Shutterstock
41
Sudah jelas. Itu adalah ular. Dari ketinggian itu, bisa
diperkirakan panjang si ular lebih dari 1 meter. Tapi ular
jenis apa, kami tidak tahu. Yang pasti tak jauh dari radius
ular itu bergerak, kami melihat teman-teman kami yang lain
juga berjalan menuju ke arah ular itu.
Rumput-rumput ilalang tinggi di sekitar gedung
kampus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) saat
itu, masih banyak dan tumbuh liar mengelilingi sekitar
kampus. Dari ilalang-ilalang tinggi itu, ada beberapa jalur
setapak buatan, yang sudah dibikin khusus untuk jalan pintas
dari arah Perpustakaan LSI menuju ke kampus perikanan.
Sedangkan bila melintasi jalur semestinya, yaitu jalanan
aspal, maka dari Perustakaan LSI ke kampus FPIK, rutenya
harus sedikit berputar. (FYI, jurusan ITK ada di dalam
kampus FPIK tentunya).
Kami, yang sedang berada di gedung lantai 2, 3, dan
seterusnya dapat melihat jalur setapak buatan itu dari sudut
pandang atas. Terutama dari lantai 2 yang tampak lebih jelas
terlihat jalur setapak itu. Namun kali ini, ada masalah yang
cukup mengerikan sedang mendekati jalur tersebut.
Mereka, teman-teman kami yang sedang melintasi
jalur setapak itu, sudah pasti tak akan tahu apa yang ada di
depan. Karena sudut pandang mereka, tak bisa mencapai
ketinggian yang layak, untuk melihat pergerakan di depan
mereka. Istilahnya top position blind spot. Melihat itu, aku
pun berujar, "Hei, teman-teman coba lihat itu di bawah. Itu
di arah jam 2 kalian, terlihatkah?"

42
"Oh iya, ya ampun ular gede banget! Ular item itu!
Mungkin juga ular tudung (kobra) dewasa," sahut salah satu
dari kami bertiga yang akan melakukan salat dzuhur.
"Iya ya? Tapi kalian lihat juga tuh, coba tengok itu dari utara.
Itu teman-teman kita yang sedang memotong jalur," ujarku.
"Ya Allah, iya betul. Woi! Awas ular!" ujar kami berteriak-
teriak dari tempat kami.
Mereka mendengar teriakan kami, namun tampaknya
tidak pula terdengar jelas apa yang kami teriakkan. Malahan
mereka membalas tersenyum melambaikan tangan, seperti
menyapa kami. Ada lima orang dari mereka yang melintas di
sana, dua diantaranya perempuan. Ular yang sedang meliuk
itu terus berjalan dengan santai, begitupun mereka pun juga.
Yang kami kuatirkan adalah bertemunya perpotongan jalur
lintas antara ular besar itu dengan mereka.
Bila ular besar itu adalah ular kobra dewasa, maka
bahaya yang potensial adalah ketika kobra tersebut
berpapasan dan kaget, kemudian mematuk kaki salah satu
dari mereka. Taring ular kobra cukup kuat dengan bentuk
melengkung kecil, dan posisinya berada di ujung mulut atau
di depan. Posisi taring ini disebut proteroglyphus. Bila posisi
menggigit kaki korban tepat, taring tersebut bisa menembus
kain. Apalagi dengan ukuran sebesar itu, bisa (venom) yang
dia suntikkan ke dalam tubuh manusia akan maksimal.
Akibatnya fatal.

"Waduh gimana ini?" ujar salah satu dari kami.


"Ya semoga saja tidak terjadi pertemuan jalur," ungkapku.
"Iya," ucap asa teman-teman yang lain.
"Woi! Awas ular!" kami pun tetap berteriak sambil
mengisyaratkan tangan.

43
Mereka kembali tersenyum dan melambaikan tangan
seperti tadi. Kami tepat memantau dengan seksama
pergerakan ular tersebut. Ternyata si ular semakin
mempercepat gerakannya, mungkin karena dia juga
merasakan ada langkah kaki mendekat. Ular tersebut pun
tetap berjalan lurus ke arah barat, sementara teman-teman
kami dari utara ular itu melangkah ke arah selatan. Ular pun
semakin mendekat dengan kerumuman teman-teman kami
itu.

Ya Allah, mereka semakin dekat titik temunya! Dan


ular itu, tampak semakin jelas perkiraan ukurannya, karena
jadi terlihat perbandingan ukurannya dengan orang-orang
yang mendekat. Ya, panjang ular itu mendekati 2 meter.
Anggap saja itu adalah kobra Jawa (Naja sputatrix)
dewasa. Berdasarkan jurnal ilmiah Biochemstry and
Molecular (Belgia), dosis LD50 jenis kobra berkisar antara
6 to 7 μg/dosis. Ini artinya, semisal bila ada 100 orang

44
mahasiswa di suatu kelas, yang berasal dari berbagai etnis di
dunia, kemudian kita suntikkan 7 μg bisa kobra ke dalam
tubuhnya, maka 50 orang diantaranya pasti akan tewas.
Bagaimana dengan 50 lainnya? Ada yang bertahan dan ada
pula yang akan cacat organ tubuhnya meski tidak sampai
tewas. Ular ini juga mampu menyemburkan bisa tepat pada
bagian mata lawannya.
Ya ampun. Semoga tidak terjadi sesuatu yang tak
diinginkan. Dari atas, jalur mereka semakin menuju satu titik
yang sama. Dan akhirnya, ternyata si ular lebih cepat.
Untung saja. Mereka pun tidak bertemu di satu titik
perpotongan jalur. Kami bertiga yang sedari tadi tegang,
akhirnya menjadi lega. "Alhamdulillah," ungkap kami
bertiga bersahut-sahutan seraya mengelus dada. Karena
kelima kawan kami tidak sampai bertemu dengan ular
tersebut.

(Sumber artikel: Angrybow.com)

45
III. Kenali Betul

Ini sebenarnya seperti bahaya yang


terselubung. Mengintip catatan ahli toksinologi
Indonesia, Dr. dr. Tri Maharani, M.Si, SpEM, ternyata
jumlah pasien kanker yang berobat ke rumah sakit,
sebanding dengan jumlah pasien yang datang lantaran
digigit ular berbisa.

Foto: Exalos Indonesia

Bisa kita lihat bersama dari potongan slide di


bawah ini, berdasarkan data yang direkapitulasi Dokter
Tri (panggilan akrab Dr. dr. Tri Maharani, M.Si, SpEM)
selama 2012-2018.

46
Dari slide tersebut, dijelaskan bahwa ada sekitar
120 lebih penderita kanker selama periode tersebut.
Tapi masih di waktu yang sama, petugas medis di sana
menangani kurang lebih 120 orang yang datang
setelah digigit ular berbisa.
Dan sejak 2016 hingga 2018, tercatat antara 27
hingga 51 orang yang tewas akibat gigitan ular tersebut
(pada grafik di bawah). Ini berarti persentase fatalitas
(mematikan) gigitan ular berbisa di Kediri, sejak tahun
2012 hingga 2018 adalah 25% hingga 45% yang juga
setara dengan penderita kanker stadium lanjut.

47
Namun bedanya, penyakit kanker memang
menjadi satu hal yang wajib diberantas dengan cara
menerapkan pola hidup sehat dan bersih, sedangkan
ular berbisa bukanlah sesuatu yang menjadi musuh
kehidupan manusia, meski potensi membunuh dari
keduanya ternyata sama. Dari gambar di atas juga
dapat dilihat bersama, bahwa ada jenis-jenis ular yang
paling sering menyebabkan kematian pada manusia,
akibat dari kandungan racun pada bisa (venom) di
kelenjar ludahnya.
Maka dari fakta di atas, Dokter Tri mencoba
mengajarkan kepada masyarakat bahwa sebaiknya
hindari ular-ular mematikan tersebut, dengan cara
mengenali lebih jauh spesies, karakter, serta morfologi
(bentuk fisik) dari ular-ular maut itu.
Dokter Tri juga mengajak masyarakat Indonesia
yang awam tentang ular, untuk memahami ular berbisa
tinggi terlebih dahulu. Karena berdasarkan
pengklarifikasian ilmiah, di Indonesia ini terdapat 348
spesies ular, dengan beberapa diantaranya adalah
spesies ular berbisa tinggi. Ular dari keluarga
48
(famili) Colubridae di Indonesia, kebanyakan tidak
berbisa. Namun ada satu genus dari Colubridae yang
berbisa yakni Rhabdopsis sp. yang berbisa
mematikan.
Dari Rhabdopsis sp. tersebut pun masih terbagi
lagi menjadi 29 spesies lagi. Di Indonesia sendiri, yang
paling banyak dijumpai adalah Rhabdopsis
subminiatus atau yang sering disebut ular picung.
Selain berbisa, bagian kepala ular picung juga
beracun.

Dokter Tri mencatat pada 2017 ada 2 orang


yang tewas akibat Rhabdopsis subminiatus.
Sedangkan ular berbisa mematikan lainnya, paling
banyak datang dari keluarga Elapidae, termasuk ular
sendok (cobra) dan raja tedung (king cobra). Bahkan
dari data di atas, tampak king cobra bertanggungjawab
atas sekitar 20 orang yang tewas pada 2017 dan 18
orang pada 2018.
Padahal ukuran king cobra jelas besar bahkan
dinobatkan sebagai ular berbisa terbesar di dunia.
49
Sehingga cukup mengherankan juga, kenapa ular
sebesar itu bisa membunuh banyak orang. Padahal
secara kasat mata bisa dihindari.
Tak seperti ular dari keluarga Viperidae yang
satu ini, yang menjadi penyebab kematian terbesar
kedua setelah king cobra, yakni ular gibug
(Calloselesma rhodostoma). Tercatat 5 hingga 10
orang yang tewas akibat gigitannya dan juga sifatnya
yang sangat baik berkamuflase, sehingga banyak
orang mengatakan ular ini adalah ranjau darat.
Biasanya, dia menyerang lantaran terinjak tak sengaja
oleh orang yang sedang lewat dan tak melihat
kehadirannya di antara dedaunan kering, di hutan atau
kebun.

Safety

Kembali ke king cobra, ternyata menurut Ketua


Exalos Indonesia, Janu W. Widodo, kasus gigitan ular
ini selain lantaran si ular merangsek ke rumah-rumah
warga yang bersebelahan dengan hutan atau lahan
hijau yang lebat, juga akibat dari ketidakpahaman sifat
dan karakter king cobra. Karena kasus kematian akibat
gigitan king cobra juga cukup banyak terjadi kepada
mereka yang memeliharanya (keeper). Karena sudah
cukup lama menangani king cobra dan merasa 'akbrab'
dengan peliharaannya, mereka lupa bahwa setiap
binatang punya animal instict yang dapat menyerang
kapanpun.
"Maka di Exalos Indonesia, yang kami sangat
tekankan adalah safety handling. Jangan coba-coba
melakukan free handling dengan tangan kosong,
hanya bermodalkan melihat dari tayangan atau

50
pertunjukan seorang pawang ular. Butuh pelajaran dan
pengalaman yang sangat panjang," ungkap Janu
Widodo. Kemudian kembali pada data grafik tentang
jenis ular mematikan, tampak ternyata ular sendok atau
genus Naja sp. (Ada spesies Naja sputatrix di Pulau
Jawa dan Naja Sumatrana di Sumatera), tidak terlalu
banyak menimbulkan kematian dari gigitannya.
Hal tersebut menurut Janu Widodo, karena ular
kobra dewasa dan ular kobra muda, memiliki karakter
pengeluaran venom yang berbeda. "Yang sudah
dewasa, sering melakukan dry bite atau mematuk tapi
tak menyuntikkan venom, yang artinya tidak dia
keluarkan venom dari taringnya," papar Janu Widodo.
Atau kalaupun menyuntikkan bisa, tidak banyak,
karena kerja venom gland pada cobra tua semakin
berat. Sehingga mereka sangat menjaga keluarnya
bisa saat berhadapan dengan mahluk lainnya. Sedang
cobra yang masih kecil, seringnya langsung menggigit
dan mengeluarkan bisa sebanyak-banyaknya.

51
Sedangkan pada king cobra, sejak lahir,
karakternya dalam menyuntikkan venom selalu
banyak. Setidaknya 150 miligram venom dari taringnya
dapat dia suntikkan ke kulit orang, ketika dia
menyerang. Parahnya, serangannya bisa lebih dari
sekali. Padahal kandungan venom yang hanya 1,2
miligram saja, bisa membunuh sekitar 50% populasi
manusia. Itulah sebabnya, king cobra menjadi salah
satu ular mematikan di dunia (terbukti juga di Indonesia
melalui catatan Dokter Tri) lantaran karakter
menyerangnya.
Dari data tersebut, dari lima besar ular
mematikan, tampak ada satu ular dari
keluarga Elapidae yakni Bungarus candidus (weling)
dan Bungarus fasciatus (welang) yang ikut
bertanggungjawab atas kematian banyak orang. Ular
ini sebenarnya berkarakter malu-malu kucing alias
tidak menyerang kalau tidak terpojok. Tapi perhatikan
bahwa hanya dengan 0,72 miligram saja, bisa
membunuh lebih dari setengah populasi orang dewasa
di sebuah perkantoran.
Maka kembali pada pesan Dokter Tri,
setidaknya bagi mereka yang sangat menggemari
kegiatan luar ruangan (outdoor) wajib mengetahui dan
mempelajari spesies ular berbisa tinggi. Karena
dengan mengetahui spesies ular berbisa tinggi
tersebut, maka bila kita bertemu ular dari luar spesies
itu, berarti kadar bisa mereka rendah atau menengah.
Ular berbisa tinggi, umumnya di Jawa dan
Sumatera, adalah king cobra (Ophiophagus
hannah), Calloselesma rhodostoma (ular gibug) yang
jago berkamuflase, Trimeresurus sp. (ular hijau ekor
merah) yang banyak hidup di pepohonan, Bungarus

52
sp. (welang dan weling) di sungai kecil dan selokan,
serta Rhabdopsis subminiatus (ular picung) yang
banyak hidup di hulu sungai, dengan bentuk yang
cukup indah. Sedangkan di kawasan timur seperti
Papua dan Nusa Tenggara, waspadai ular taipan
(Oxyuranus sp.), death adder (Acanthopis sp.), dan
ular ikaheka (Micropechis ikaheka) yang banyak
terdapat di Kupang.

(Sumber: www.exalosindonesia.org | Kasus Kanker dan


Gigitan Ular Sama Besarnya)

53
Lampiran V: Gratiskan SABU

Masih ingat? Sekitar dua tahun lalu, kantor berita


ABC Australia memberitakan adanya warga negara
Indonesia yang mendonasikan hampir seluruh gajinya
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk membeli serum
antibisa ular, yang kemudian didonasikan untuk
menyelamatkan nyawa pasien gigitan ular berbisa di
berbagai rumah sakit di Indonesia.
Orang tersebut tak lain adalah Dr. dr. Tri Maharani,
M.Si, Sp.EM, yang saat ini bekerja sebagai Kepala
Departemen Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum
Daha Husada, Kediri, Jawa Timur.

Dr. dr. Tri Maharini, M.Si, Sp. EM | Hellosehat.Com

54
Kepedulian "Dokter Tri", begitulah dia biasa
dipanggil, adalah suatu kebanggaan bagi Indonesia, karena
dengan cara seperti itu, Dokter Tri telah banyak
menyelamatkan nyawa-nyawa mereka yang bekerja di
lapangan (outdoor) atau mereka berprofesi dekat dengan
alam liar, seperti petani, pegawai perkebunan, pertamanan,
dan lainnya. Lalu, apa sebenarnya keahlian Dokter Tri ini?
Menurutnya saat ini, keahliannya yaitu Toxinology, belum
banyak ditekuni oleh dokter-dokter di Indonesia.
Berbeda dengan disiplin ilmu Toxicology yang
mencakup lebih luas tentang toxin atau racun, pada
Toxinology, ilmu tersebut lebih spesifik pada racun atau bisa
hewan. Dan dari spesifikasi tersebut, Dokter Tri pun masih
mengkhususkan diri lagi kepada penanganan gigitan ular
(snake bite) di Indonesia. Alasan mengenai pilihannya
tersebut, telah dijelaskannya dalam beberapa tayangan
wawancara langsung di YouTube, di kanal-kanal pecinta
satwa.
Namun dapat disimpulkan bahwa menurut Dokter
Tri, komposisi protein pada toksinologi hewan amat
sangatlah kompleks. Jangan dulu bicara hewan secara
keseluruhan (baik yang berbisa (venomous) maupun yang
beracun) hewan yang berbisa saja, menurutnya sangat
kompleks strukturnya. Dan untuk mempelajari komposisi
dari protein venom hewan, butuh metode, peralatan, dan juga
teknologi yang cukup mahal. Padahal untuk penanganan
kasus gigitan ular berbisa, butuh pemahaman komposisi
protein venom yang baik.
Ambil contoh satu ular berbisa tinggi, yakni dari
genus Naja sp. di Indonesia, baik di Jawa, Bali (Naja
sputatrix), maupun Sumatera (Naja sumatrana). Meski kadar
venom Naja atau yang umum disebut ular kobra, memiliki
55
dominansi kadar cardiotoxin pada venom-nya, namun bila
diteliti lagi lebih dalam, ternyata komposisi venom Naja juga
terdapat haemotoxin, neurotoxin, bahkan juga
ada necrotoxin. Dari bekal komposisi tersebut, akhirnya
dibuatlah serum antibisa ular (SABU) kobra, yang dapat
menetralisir toksin dengan kriteria tersebut.
Namun bagaimana dengan ular-ular berbisa yang
belum tersedia SABU-nya dan menggigit manusia? Menurut
Dokter Tri, maka penanganannya harus dilakukan dengan
metode supporting, yakni penanganan khusus pada gejala
yang terjadi. Misalnya bila terdapat gejala umum
pengaruh neurotoxin, terpaksa si pasien harus dimasukkan
ventilator pada tubuhnya, dan dipantau ketahanan hidupnya,
apakah dia bisa bertahan hidup atau meninggal. Maka dari
situlah Dokter Tri pun melihat pentingnya SABU bagi
penyelamatan pasien, sehingga dia menggratiskan SABU
untuk pasien gigitan ular se-Indonesia.
Berapa harga SABU? Beberapa akun toko online
merilis harga-harga SABU dengan rata-rata harga di kisaran
Rp 500-700 ribu untuk dosis 250 miligram (mg) atau satu
botol kecil. Maka, bila terjadi kasus gigitan fatal ular berbisa
(pada orang dewasa) dan dibutuhkan dosis sebanyak 10 mg
per 15 menit untuk penanganan pertolongan nyawa, dalam 1
jam saja tercatat 40 mg SABU yang harus disuntikkan ke
dalam tubuh. Kemudian apabila ternyata proses
penyembuhan membutuhkan waktu hingga, katakanlah tiga
hari, maka dosis yang dibutuhkan adalah 40 mg dikali 72
yakni 2.880 mg SABU.
Dosis sebesar 2.880 mg tersebut, bila dihitung secara
finansial, hasilnya adalah sekitar 12 botol kecil SABU atau
seharga Rp 600 ribu dikali 12, yakni Rp 7,2 juta. Itu baru tiga
hari. Sementara rata-rata orang yang terkena gigitan fatal
ular berbisa (yang SABU tersedia), baru bisa sembuh

56
sempurna dalam waktu sekitar 7 sampai 10 hari (Alomedika,
2020).
Sehingga uang yang harus dikeluarkan untuk
menghadapi permasalahan ini adalah sekitar Rp 15 hingga
Rp 25 juta, bahkan di atas Rp 30 juta.

Foto dokumentasi Exalos Indonesia

Maka, sahabat Exalos di manapun berada, tetaplah waspada


dan rasional. Selalu dicamkan bahwa keamanan (safety)
adalah hal yang paling utama dalam menghadapi ular
berbisa, baik yang berkadar bisa tinggi (terutama ini)
ataupun yang menengah dan rendah.
Karena kita tak pernah tahu, bagaimana kondisi
kesehatan riil kita ketika sedang tergigit ular. Ketika kondisi
badan sedang kurang fit apalagi tidak fit, maka problem yang
ditimbulkan pun akan semakin besar.

57
Catatan:

- Kondisi yang dipaparkan di atas, adalah kondisi


yang terpaksa harus dilakukan secara medis, apabila
kadar bisa ular tersebut sudah menimbulkan
masalah kesehatan secara sistemik. (Alodokter,
2020).
- Dokter Tri saat ini pun tercatat sebagai peneliti di
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Bagi
Exalos Indonesia, Dokter Tri adalah panutan dalam
hal edukasi ilmiah tentang ular.

58
IV. Setara Kasus Kanker

Dr. dr. Tri Maharani, M.Si, SpEM pun berbagi


pengetahuan dasar tentang imbas ular berbisa di
Indonesia. Dimulai dari keluarga (famili) ular berbisa
secara umum.

Dapat kita lihat bersama dari potongan slide di


bawah ini, ada empat keluarga ular berbisa
(venomous) dengan berbagai kandungan toxic atau
racun di dalam cairan venom mereka.

59
Di Indonesia sendiri, ada satu spesies ular
berbisa dari keluarga colubridae, serta puluhan spesies
yang berbisa dari keluarga lainnya, yaitu elapidae
(termasuk cobra (Naja sp.) dan king cobra) dan
viperidae (termasuk ular gibug dan beludak hijau).
Sedangkan total spesies ular yang ada di Indonesia
adalah 348 jenis.

60
Data yang cukup mencengangkan adalah,
ternyata kasus gigitan ular yang tercatat di rumah sakit
seluruh Indonesia selama rentang 2012-2018, sama
dengan kasus penyakit kanker. Dapat dilihat dari
gambar di bawah ini.

Kemudian dari seluruh jenis ular berbisa yang


ada di Indonesia, spesies raja tedung atau king cobra
(Ophiophagus hannah), menjadi penyebab kematian
tertinggi kasus gigitan ular pada manusia (lihat
gambar). Bisa atau venom yang dimiliki king cobra
memiliki kandungan racun jenis cytotoxin.

61
Racun jenis cytotoxin akan merusak cara kerja
sel sehingga efek yang ditimbulkan adalah
menghentikan kegiatan produksi unsur yang
menghidupi sel tubuh. Ini bagi mansia akan mengalami
mati rasa. Atau bahkan lebih parah lagi, cytotoxin dapat
memerintahkan sel itu sendiri untuk self destruction
atau meledakkan diri sehingga terjadilah pendarahan.

62
V. Jenis Racun Venom
Dari sejak awal, kita sudah banyak membahas
tentang hal-hal yang terkait apa yang dimiliki ular dna
apa yang mampu mereka lakukan terhadap manusia
dan hewan lainnya. Dan kini kita akan bahas lebih
lanjut lagi tentang bisa atau venom ular. Venom ular,
tak lain sebenarnya adalah ludah si ular. Dia datang
dari kelenjar ludah. Manusia mengeluarkan ludah
untuk memudahkan makanan tertelan ke dalam
tenggorokan. Sedangkan ular, ludahnya masuk dalam
mekanisme pertahanan mereka.
Bicara soal ludah, yang terbayang biasanya
adalah sesuatu yang menjijikkan. Tapi yang sedang
ingin dijelaskan pada artikel ini adalah tentang kadar
racun (toxin) pada ludah mahluk berbisa, sehingga
ludah bisa berubah citranya, dari menjijikkan ke
menyeramkan. Racun di dalam ludah ini terbungkus
apik dalam cairan bisa (venom) yang siap disuntikkan
ke dalam tubuh manusia. Maka tak lain dan tak bukan,
ludah tersebut kerap disebut sebagai cairan berbisa.
Ada beberapa mahluk yang memiliki cairan
berbisa dari ludahnya, yakni ular, laba-laba jenis
tarantula, kelabang, dan juga yang masih belum
banyak disadari orang-orang, yakni kukang Jawa
(Nycticebus javanicus). Meskipun tampilannya imut-
imut seperti boneka, kukang Jawa ini tergolong
sebagai primata berbisa, satu-satunya di dunia.
Di akhir 2021 lalu, kita telah sama-sama
mendengar kabar tewasnya seorang mahasiswa IPB
yang diduga tergigit oleh hewan berbisa, yakni
ular. Kemudian berdasarkan penjelasan ahli
toksinologi Indonesia -yang tak lain adalah Dr. dr. Tri
Maharani, M.Si, Sp.EM, bahwa terdapat beberapa
63
jenis kadar racun pada venom hewan-hewan tersebut,
maka selanjutnya mari kita lihat bersama, jenis racun
apa saja yang dimaksud.
Namun sebelumnya, yang perlu dipahami
terlebih dulu adalah tentang produksi ludah pada setiap
mahluk, baik hewan maupun manusia. Ada yang
namanya parotid gland atau salah satu jenis kelenjar
yang berperan penting memproduksi ludah, pada
kelenjar ludah.
Pada manusia, kelenjar parotid ada sepasang
(kiri dan kanan). Letaknya dilindungi oleh tulang
rahang, tepatnya di depan saluran penerimaan suara
pada telinga. Pada ular dan binatang berbisa lainnya
(seperti yang telah disebutkan di awal tadi) kelenjar
parotid tersebut termodifikasi, sehingga cairan ludah
yang diproduksi mengandung unsur yang dinamakan
zootoxin atau unsur racun binatang. Racun jenis
zootoxin ini muncul karena ada proses sekresi pada
kelenjar parotid.
Lalu di dalam zootoxin tersebut, setelah diteliti,
rupanya terdapat (setidaknya) 20 jenis unsur yang
berbeda-beda berdasarkan bahan pembentuknya,
yaitu diantaranya protein dan polipeptida. Unsur-unsur
inilah yang kemudian memberikan reaksi berbeda-
beda pada tubuh, ketika masuk ke dalam darah. Ada
tipe neurotoxin, haemotoxin, dendrotoxin, cardiotoxin,
necrotoxin, cytotoxin, myotoxin, dan lainnya. Dan mari
kita sedikit membahas jenis tipe-tipe tersebut, yang
dipunyai oleh hewan-hewan berbisa.

64
1. Zootoxin

Sebagaimana telah dijelaskan, jenis racun ini


adalah pembawa berbagai unsur protein dan
polipeptida yang membentuk berbagai tipe racun. Bila
di dalam zootoxin ini terdapat komplit tipe-tipe racun
dan tersuntik ke dalam tubuh manusia, maka kesemua
tipe racun itu akan langsung memainkan perannya,
merusak aktivitas hidup manusia secara cepat.
Oleh karenanya, hewan-hewan yang memiliki
kandungan zootoxin paling komplit serta membawa
banyak kadar tipe-tipe racun tersebut, hewan ini
digolongkan sebagai yang paling mematikan di dunia.
Dalam hal ini, adalah siput laut besar, ular laut, dan
untuk di darat adalah ular taipan (Oxyuranus sp.).

2. Neurotoxin

Efek neurotoxin, baik terhadap manusia


maupun hewan lainnya, adalah merusak proses
transmisi pada aktivitas hidup. Contohnya transmisi
ion-ion pada sendi tulang kaki. Seharusnya ion-ion
tersebut ditangkap oleh penerima (reseptor) antar
tulang di tulang rawan.

65
Ilustrasi: Kompas

Namun karena ada neurotoxin yang tersuntik


dan masuk ke dalam darah, maka proses polarisasi
ion-ion penggerak tersebut, menjadi gagal dan secara
tampilan fisik, orang akan seperti lumpuh. Bayangkan
bila neurotoxin ini tersuntik langsung di daerah sekitar
kepala. Boleh jadi korbannya akan seperti penderita
stroke. Inilah jenis racun yang paling banyak dimiliki
dalam kadar bisa spesies ular kobra.

3. Dendrotoxin

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam


proses penerimaan ion-ion pada syaraf, ada banyak
elemen-elemen mikro yang terlibat sebagai pendukung
proses pengiriman unsur penting kebutuhan hidup.
Salah satu elemen pengirim itu adalah membran
syaraf, yang berfungsi mempimpin pengiriman ion-ion
(baik ion positif maupun negatif) untuk menggerakkan
jutaan bahkan miliaran aktivitas kehidupan di dalam
tubuh.
66
Dendrotoxin ini, bila masuk ke dalam darah,
akan menghajar membran syaraf sampai rusak,
sehingga proses pengiriman ion tersebut gagal.
Selanjutnya terjadilah kerusakan sistemik, yaitu gagal
bergerak, gagal mengembangkan paru-paru, gagal
mengirim darah ke seluruh bagian tubuh, hingga
akhirnya gagal jantung. Dendrotoxin terdapat banyak
pada bisa ular mamba di Afrika.

4. Cardiotoxin

Inilah mengapa ular mamba digolongkan


sebagai ular darat paling mematikan di dunia kedua
setelah ular taipan karena selain memiliki jumlah kadar
dendrotoxin yang besar dalam kelenjar ludahnya, juga
memiliki jumlah cardiotoxin yang besar.
Tipe racun yang sifatnya khusus bereaksi di
area jantung ini, akan menempel di permukaan otot
jantung. Akibatnya, terjadi kegagalan proses polarisasi
pada otot jantung dan akhirnya, jantung tidak bisa
mengembang kempis.
Bila sudah begini, maka proses pemompaan
darah pun kacau dan jantung pun bocor di sana-sini.
Alhasil korban gigitan ular mamba berakhir pada gagal
jantung dalam waktu yang cukup singkat.

5. Myotoxin

Racun tipe ini adalah jenis mikro namun efeknya


sangat membahayakan. Bila myotoxin tersuntik ke
dalam darah, maka reaksinya tidak hanya gangguan
enzim dan ion saja, tapi juga reaksi non enzim. Maka

67
yang paling awal terserang oleh racun jenis ini adalah
jaringan otot.
Mungkin bisa saja hanya menyerang jaringan
otot kulit bagian luar, seperti ruam dan terjadi
kehitaman yang mengering pada kulit (necrosis). Tapi
bila sampai menyerang jaringan otot paru-paru, maka
yang terjadi adalah kegagalan pernafasan. Myotoxin
banyak dipunyai oleh bisa ular derik di kawasan benua
Amerika dan kadal gurun di sana.

6. Cytotoxin

Racun jenis ini akan merusak cara kerja sel


sehingga efek yang ditimbulkan adalah menghentikan
kegiatan produksi unsur yang menghidupi sel tubuh.
Atau bahkan lebih parah lagi, cytotoxin dapat
memerintahkan sel itu sendiri untuk self destruction
atau meledakkan diri.
Maka yang terjadi adalah munculnya lebam
hitam pada kulit dan otot sehingga dalam waktu sekitar
1-2 jam, otot dan kulit akan mati dan mudah terkelupas.
Mereka yang terpapar racun ini bisa sampai
mengalami kulit terkelupas mendalam bahkan hingga
tampak tulangnya. Ular yang cukup banyak memiliki
kadar cytotoxin adalah ular tanah atau ular gibug.

7. Necrotoxin

Setiap sel tubuh pasti memiliki jaringan sel, baik


yang tebal maupun yang sangat tipis. Dengan
necrotoxin yang masuk ke dalam darah, maka yang
terjadi adalah kerusakan prematur sel-sel tubuh.
Memang sel tubuh pasti akan rusak. Tapi kerusakan

68
akan sangat cepat bila dipicu oleh necrotoxin tersebut.
Bila cytotoxin mampu memerintahkan sel tubuh untuk
meledakkan diri, maka necrotoxin cara kerjanya adalah
mengaktivasi semua membran sel yang terintegrasi
dalam sel.

Foto: ClinicAdvisor.com

Bila itu terjadi, seluruh program kerja di dalam


sel akan berantakan karena semuanya aktif. Terjadilah
pelepasan mikroprotein yang tak terkontrol sehingga
sel pun rusak dalam waktu singkat. Tampilan
necrotoxin dari mulai lebam, necrosis, hingga
pendarahan keluar kulit. Ular tanah dan beludak, paling
banyak memiliki necrotoxin. Jangan lupa juga, kukang
Jawa ternyata memiliki kadar racun tipe ini pada venom
di dalam mulutnya.

8. Haemotoxin

Dalam pembuatan gel atau agar-agar akan kita


lihat perubahan bentuk dari cair ke padat. Begitulah
69
pula yang terjadi pada hemolisis. Darah memiliki
kemampuan mengental dan kembali encer melalui
mekanisme yang telah disesuaikan tubuh. Maka bila
asupan makanan ke dalam tubuh terlalu banyak yang
mengandung unsur pembekuan darah, maka darah
akan mengental seperti orang yang menderita
kolesterol tinggi.
Haemotoxin adalah kadar racun yang mampu
mengganggu pembekuan darah, sehingga
menyebabkan kolapsnya organ dan kerusakan
jaringan. Hewan yang memiliki haemotoxin ini adalah
hampir semua hewan berbisa. Namun pada jenis ular
beludak (viper), jenis haemotoxin ini lebih banyak
ditemui pada bisa mereka.
Tipe-tipe racun di atas adalah hanya beberapa
dari banyak tipe racun lainnya, yang dimiliki oleh bisa
hewan yang ada di Indonesia dan luar negeri.
Penanganan medis untuk menetralisis tipe racun itu
pun berbeda-beda cara dan jenisnya.
Maka waspadalah selalu dengan hewan-hewan
berbisa, jangan sampai salah menangani apalagi
mempermainkan mereka, karena ketidaktahuan kita
atas karakter mereka. Setiap hewan, walaupun
tampaknya jinak, namun tetap saja memiliki animal
instict, yang tak pernah bisa kita prediksi kapan mereka
akan menyerang manusia atau lari.

70
Lampiran VI: Hewan Berbisa

Sudah merupakan pengetahuan bersama, bahwa manusia


adalah mahluk yang mampu hidup bekerjasama dan
membangun peradaban berdasarkan kolaborasi naluri dan
akalnya. Manusia dan hewan sama-sama dianugerahi
kecerdasan, namun bedanya, manusia selain mampu
menghindari sesuatu yang buruk juga bisa mengantisipasi
keburukan. Sedangkan hewan hanya bisa menghindarinya,
bermodal kecerdasan dan naluri mereka. Sementara
manusia, bisa me-manage naluri dan kecerdasan mereka
lewat akal.
Akal manusia inilah yang kemudian berkembang menjadi
taktik, strategi, analisis, dan sebagainya. Tak ada satu pun
mahluk di dunia ini selain manusia yang memiliki akal.
Maka selanjutnya, melalui pengembangan peradaban,
manusia pun mengantisipasi hubungan antara satu dengan
lainnya, termasuk antara mereka dengan hewan. Melalui
artikel ini Exalos akan memaparkan hewan-hewan apa saja
yang hidup berdampingan dengan manusia, namun memiliki
potensi membahayakan hidup. Dan berikut hewan-hewan
yang dimaksud, berdasarkan berbagai sumber, yakni jurnal
publik Universitas Queensland, Australia, National
Geographic Wild, dan catatan petualangan Steve Irwin.

1. Siput Laut

Mereka hidup di laut, di kawasan pesisir hingga kedalaman


sekitar lingkungan terumbu karang. Bentuk mereka dari
mulai yang sebesar jempol manusia hingga seukuran betis
orang dewasa. Yang berbahaya bagi manusia adalah yang

71
berukuran besar. Sifat bisa (venom) siput-siput ini sangat
berbahaya atau extremely dangerous. Dan lebih parah lagi,
kemampuan bisa tersebut dalam melumpuhkan syaraf
manusia, luar biasa cepat. Bahkan bila seseorang terkena
sengatan cone snail di lepas pantai, bisa jadi mereka akan
tewas sebelum berhasil mencapai daratan.

Siput laut besar (Merdeka.com)

2. Ubur-ubur Api

Dikenal secara internasional sebagai Irukandji jellyfish,


setiap tentakel atau tangan-tangan lentur mereka mampu
mengeluarkan bisa yang mengandung unsur kejut. Sehingga
mahluk apapun, termasuk kulit manusia, akan langsung
tertempel di tentakel itu dan mulailah mereka menyuntikkan
bisa tersebut. Bila bisa sudah tersuntik ke dalam darah,
akibatnya akan menimbulkan pendarahan jenis hemorrhage
di bagian otak. Bila terlambat ditangani medis, kemungkinan
besar manusia akan tewas dalam waktu sekitar 1 jam.
Setidaknya 50 hingga 100 orang di dunia, menjadi korban
ubur-ubur api dalam setahun.

72
3. Ular Laut
Meski ukuran mulut ular laut relatif kecil sehingga bukaan
mulutnya tidak mampu mencakup mangsa yang sangat
besar, namun ketika berhasil menyuntikkan bisa ke dalam
darah korbannya, potensi mematikan bisa sebesar siput laut.
Bagi manusia, gigitan ular laut sering terjadi di bagian jari
karena ukurannya masih bisa dijangkau mulut si ular. Kadar
bisa ular laut yang paling rendah, bahkan sampai 10 kali
lebih besar dari bisa ular kobra terganas di dunia. Anggap
saja 15 kali dari Naja sputatrix atau kobra Jawa. Untuk
beberapa spesies ular laut, ada yang kada bisa mereka hingga
70 kali dari ular kobra.

Ular laut terjaring nelayan (Wull | Exalos Indonesia)

4. Kalajengking

Tak seperti ular, ubur-ubur, yang beberapa spesiesnya tidak


berbisa, kalajengking adalah hewan yang seluruh spesiesnya
berbisa. Kadar bisa mereka pun bisa dibilang berada di
tingkatan tinggi dan sangat tinggi. Tidak ada kalajengking
73
yang berbisa rendah atau menengah. Maka ketika
kalajengking sampai menyengat anak-anak, terlambat
penanganan akan menyebabkan kematian. Yang paling
mematikan di dunia adalah jenis Bark scorpion yang
habitatnya jauh dari Indonesia, yaitu di Amerika Utara, serta
jenis kalajengking hutan India.

74
VI. Ular Laut

Pantai yang bersih adalah idaman setiap orang,


apalagi mereka yang hobi berenang. Tapi patut juga
waspada, bahwa air di kawasan pesisir yang jernih dan
lingkungan pantai yang bersih juga menyimpan potensi
bahaya yang tinggi. Pasalnya, ular laut adalah hewan
yang juga menjadi indikator kebersihan laut dan pantai.
Kemudian semua orang tahu persis apa yang bisa
timbul dari gigitan ular laut.
Namun sebelum bicara tentang bahayanya ular
laut, ada baiknya kita paham dulu karakter si ular laut.
Buat yang gemar lagu dangdut, khususnya dari era
90'an, pasti tak asing dengan lirik lagu ini, "Semut pun
'kan marah, bila terlalu sakit begini.." Itulah karya cipta
dari salah satu legenda dangdut Indonesia, Meggy Z.
Makna lirik tersebut pada intinya adalah selemah
apapun mahluk di dunia ini, bila mereka tersakiti, pasti
akan melakukan tindakan. Entah tindakan emosional
atau yang lebih logis lagi, yang pasti takkan mereka
diam saja.
Tindakan reaktif, merupakan implikasi dari
adanya aksi terdahulu yang menyasar pada sebuah
objek mati atau hidup. Pada objek mati, reaksi yang
terjadi bisa banyak, contohnya percikan api pada batu
yang terhandam batu lainnya, tolakan balik karet yang
ditekan, dan sebagainya. Itu adalah reaksi pada
sebuah objek mati. Bagaimana dengan objek hidup?
Lebih beragam lagi. Semut yang menggigit ketika
tertekan apalagi terinjak, anjing yang menggonggong
ketika diprovokasi atau bahkan menggigit bila
buntutnya terinjak, dan tumbuhan putri malu yang
menguncup saat dipegang.
75
Semuanya terjadi karena ada aksi terdahulu.
Namun ada satu mahluk yang karakternya relatif
tenang bila diprovokasi, bahkan saat disentuh oleh
mahluk yang asing baginya sekalipun. Dialah jenis ular
laut, baik erabu maupun jenis lainnya. Kesemua jenis
ular laut dapat dikatakan sebagai mahluk pemalu yang
paling tenang. Meskipun potensi yang dimilikinya
bahkan mampu membuat manusia (sebagai mahluk
paling mulia di muka bumi) menjadi tidak tenang atau
panik luar biasa.

Foto: https://www.ardeaprints.com/

Ya, ular laut sebenarnya memiliki potensi


mematikan bila sudah bereaksi atas
ketidaktenangannya. Ular laut memiliki kadar bisa
(venom) pada saliva gland (kelenjar ludahnya), yang
bila dibandingkan dengan ular paling mematikan di
darat sekalipun (ular taipan atau Oxyuranus sp.), jauh

76
lebih tinggi. Bila 0,1 mg venom ular taipan saja mampu
membunuh 1/2 populasi manusia dewasa di sebuah
ruangan kantor (sekitar 20 orang), ular laut hanya
butuh setengah dari 0,1 mg (0,05 mg) untuk
membunuh setengah populasi orang dewasa.
Namun bersyukurlah para manusia karena
karakter ular laut ini tidak seganas ular king kobra yang
1 mg venom-nya mampu membunuh 50 setengah
populasi remaja di dalam suatu kelas perkuliahan.
Meski kekuatan bisa si ular laut ini bisa 50 kali lipat ular
king kobra, namun hanya dua hal saja yang akan
membuat mereka terpaksa mengeluarkannya,
yaitu animal instict dan saat disakiti. Bila hanya
diprovokasi atau disentuh, ular laut ini masih tenang-
tenang saja.
Mungkin bila disamakan dengan manusia, ular
laut yang rata-rata panjangnya 1-1,2 meter ini bisa jadi
mirip seperti para pasukan khusus yang paling efektif
di dunia. Mereka tidak akan mengurusi hal-hal remeh
seperti kelakuan preman yang suka mengancam,
mengintimidasi, apalagi omelan emak-emak yang bikin
sumpek. Semua itu hanya selewat saja bagi mereka.
Namun ketika sudah berurusan dengan percobaan
pembunuhan, barulah mereka bereaksi secara efisien
dan mematikan.
Mengenai serba serbi tingkah laku ular laut, kita
bisa bertanya langsung kepada ahli TLI (Tingkah Laku
Ikan) Dr. Wazir Mawardi di kampus Institut Pertanian
Bogor (IPB). Namun pada intinya, ular laut memang
termasuk ordo Squamata dan sub
ordo Serpentes atau dunia ular.

77
Tingkah Laku

Membahas ular laut menjadi perhatian tersendiri


bagi mereka yang tertarik terhadap dunia reptil
terutama ular. Pasalnya, venom (bisa) ular laut ini
adalah yang paling menonjol di antara ular lainnya di
muka bumi ini. Katakanlah ular di darat yang paling
mematikan, yakni dari genus Oxyuranus sp. dengan
kadar toksin di dalam cairan venom-nya tertinggi di
antara ular darat lainnya, ternyata masih belum se-
menyeramkan venom ular laut.
Beruntung, tingkah laku si ular laut ini tidak ikut-
ikutan mengerikan seperti kelakuan ular sanca dan ular
dari genus Trimeresurus sp. yang karakternya galak
terhadap manusia yang mendekatinya. Juga karakter
King Cobra yang teritorial (merasa terusik bila ada
manusia yang masuk wilayahnya). Tingkah laku ular
laut, tidak sangar seperti mereka. Bilapun ada manusia
yang mendekatinya, dia tidak merasa terancam.
Bahkan dengan pergerakan renang manusia yang
dinamis, ular laut tidak merasa terancam.
Ular laut hanya menyerang ketika datang animal
instict-nya dan ketika mereka memang dibuat marah,
salah satunya terjerat jaring nelayan. Adapun animal
instict, merupakan suatu naluri yang akan ditunjukkan
oleh binatang ketika mereka sedang lapar atau sedang
berkompetisi (Wisnu, Tingkah Laku Ikan, IPB, 2001).
Kejadian penyelam diserang ular laut hingga
mereka tewas akibat venom yang masuk ke dalam
tubuhnya, banyak terjadi lantaran si ular sedang
menunjukkan insting kehewanannya tersebut.

78
Foto: Wull | Exalos Indonesia

Sementara banyak juga yang terserang ular laut


namun masih bisa selamat. Menurut Dr. Wazir
Mawardi ada tiga kemungkinan yang menguntungkan
bagi si korban yang terserang. Pertama, karena taring
ular laut ukurannya kecil, sehingga venom sering tidak
sampai menembus jaringan bawah kulit. Kedua,
bukaan mulutnya juga kadang tidak mampu sampai
menganga besar seperti ular darat. Jadi taringnya pun
tidak sampai bisa menyentuh kulit manusia. Ketiga, di
korban beruntung karena venom yang masuk ke
tubuhnya di bawah kadar LD 50.
Maka penting bagi mereka yang hobi menyelam
dan berwisata di daerah pantai, untuk mengetahui
seputar kelakuan ular laut. Apalagi bagi mereka yang
sangat awam, melihat beberapa bentuk ular laut yang
79
indah, disangkanya adalah mahluk yang tidak
berbahaya.

80
VII. Menakar Kematian

Sahabat Exalos, kadang kita sering dibikin


bingung oleh hipotesa orang-orang, atau oleh
kesimpulan empiris (kumpulan dari kejadian yang
sudah terjadi) tentang kekuatan bisa ular. Kadang ada
yang bilang, "Awas, ular ini kadar bisa (venom) yang
dia miliki 10 kali lebih besar dari ular kobra!" Atau
sering juga begini, "Ular ini dibanding kobra, 3 kali lebih
mematikan lho." Dan sebagainya ungkapan
kesimpulan-kesimpulan yang terlontar dari banyak
orang.
Lalu ketika mereka ditanya kembali, dari mana
kesimpulan tersebut datang? Jawabannya empiris,
"Dari yang saya tonton di YouTube channel milik sang
pawang ular." Atau bahkan jawabannya lebih gawat
dari sekedar empirik, "Itu lho, kata masyarakat sekitar.
Mereka tinggal bertahun-tahun di tempat yang banyak
ular itu, sehingga lebih tahu soal bisa ular itu."
Baiklah, mungkin bisa jadi benar tapi bisa jadi
juga kurang tepat. Mungkin dari kejadian-kejadian yang
melibatkan orang vs ular yang diduga memiliki kadar
venom lebih tinggi dari kobra itu, bisa jadi dari 100
orang yang terlibat kejadian, 50 diantaranya memang
tewas akibat venom ular yang diduga tersebut.
Maka Exalos Indonesia, dengan mencoba
sedikit menganalisa jurnal-jurnal ilmiah (yang
membahas tentang venom ular-ular berbisa), berhasil
mendapat data-data yang disusun dalam tabel di
bawah ini.

81
Tabel 1. Dosis bisa ular dalam LD50

Tampak susunan jumlah-jumlah dosis bisa ular


yang dibutuhkan, untuk membunuh sekitar 50 persen
populasi (entah tikus atau manusia) atau yang dikenal
sebagai LD50. Dari tabel LD50 yang tertera, mari ambil
contoh salah satu dari kadar ular berbisa, yakni dari
jenis Bungarus candidus atau ular weling.
Di tabel itu tertulis bahwa Bungarus
candidus membutuhkan LD50 sebanyak 0,09
mikrogram per gram saja, untuk dosis mematikan.
Lalu apa artinya?

Contoh :
Ada seseorang dengan berat badan 80 kilogram
(kg) sedang berjalan menyusuri saluran irigasi sawah
dengan bertelanjang kaki. Kemudian secara tak
sengaja si orang berbobot 80 kg itu menginjak buntut
ular weling sehingga terpaksa si weling menggigitnya.
Kemudian si weling melakukan injection bite yaitu
memasukkan venom ke dalam darah si orang tersebut

82
melalui taringnya, sebanyak 0,0072 gram saja (0,72
miligram). Alhasil orang kurang dari 1/2 jam kemudian,
akan tertidur pulas dan selamanya tak lagi bangun
alias tewas. Kenapa?

Penjelasan :
Dengan bobot 80 kg, maka bila dijadikan gram,
bobot orang itu menjadi 80 ribu gram. Sedangkan dari
data di atas, kadar LD50 ular weling yang dibutuhkan
untuk membunuh setengah populasi, adalah 0,09
mikrogram per gram. Ini artinya, untuk membunuh 1/2
populasi manusia dengan bobot 80 kg tersebut,
caranya adalah 0,09 dikalikan 80 ribu. Hasilnya 0,0072
gram. Sedangkan untuk membunuh mahluk selain
manusia, ambil contoh anjing yang bobotnya sekitar 8
kg, maka LD50 ular weling yang dibutuhkan adalah
sekitar 0,00072 gr (0,072 mg).

Bungarus candidus (Reptarium.nz)

83
Kenapa ada kata 'bisa membunuh' di
kalimatnya? Karena LD50 artinya adalah kadar atau
dosis yang berpotensi bisa memusnahkan 50%
populasi. Maka dari contoh di paragraf sebelumnya,
bisa kita umpamakan ada 20 orang manusia seberat
80 kg. Bagaimana cara menghitung efek LD50
tersebut?
Angka 0,72 mg kadar venom tadi, dibagi 10
maka hasilnya 0,072mg. Angka 10 didapat dari 50
persen populasi manusia seberat 80 kg tadi, yakni
setengah dari 20 orang. Maka dengan dosis venom
sebanyak 0,0072 gram tersuntik ke dalam 20 orang
tadi, niscaya 10 dari mereka akan tewas. Maka, ingat!
Waspadai ular jenis Bungarus candidus dan ular
berbisa lainnya. bila kita sedang berkegiatan di luar
ruangan, atau bahkan jika ruangan kemasukan ular.

LD50

Sebagai pengulangan, LD50 atau yang dengan


bahasa sederhananya "kadar yang dibutuhkan untuk
memusnahkan setengah populasi (50% populasi)
setelah mereka terpapar kadar tersebut", bisa menjadi
indikasi utama tentang ular mana yang rata-rata
berpotensi memiliki venom mematikan manusia.
Sebelumnya, paparan data didatangkan dari
sumber referensi luar negeri, yang menampilkan hasil-
hasil riset para peneliti asing terhadap ular-ular berbisa
mematikan di seluruh Asia. Misalnya
spesies Bungarus candidus yang menurut
Ratanabanangko, et. al (2016), memiliki kadar LD50
sebesar 0,09 mikrogram per gram. Itu berarti, bagi 10
ekor anjing yang kesemuanya memiliki bobot 8

84
kilogram, hanya cukup 0,72 mg saja untuk membunuh
5 ekor diantaranya, atau 0,144 mg untuk membunuh
seekor anjing.
Caranya, yaitu 5 ekor anjing tersebut
disuntikkan venom Bungarus candidus (ular weling)
sebanyak 0,144 mg, niscaya semuanya akan mati.
Lalu bagaimana dengan manusia? Untuk setengah
populasi manusia yang bobot tubuhnya 80 kg, maka
cukup 7,2 mg saja. Bila ada 10 orang manusia dalam
suatu ruangan 7,2 mg dosis ular ini akan mematikan
bagi 5 orang diantaranya. Sesuai teori
Ratabanangkom, et.al cukup suntikkan 1,44 mg cairan
venom ke dalam tubuh satu orang, maka orang
tersebut bisa jadi almarhum atau almarhumah.

Ular laut (Hydrophis schistosus) – (Reptatrium.nz)

Sebetulnya dari data-data yang dipaparkan oleh


para peneliti di artikel sebelumnya, ada satu ular lagi
yang LD50-nya lebih kecil dari ular weling, yakni
spesies Hydrophis schistosus atau yang lebih dikenal
ular laut. Ular ini umum dijumpai di lautan yang bersih
dan sehat sehingga dengan adanya ular ini, maka
menjadi pertanda bahwa air laut tersebut masih
berkualitas baik. Adapun LD50 Hydrophis
85
schistosus adalah 0,07 mikrogram per gram atau
cukup 1,12 mg saja kadar bisa yang dibutuhkan untuk
membunuh sejumlah besar manusia berbobot 80 kg.
Kembali ke ular weling, maka dapat disimpulkan
dengan bahasa yang penuh harapan yaitu, "Semoga
tidak ada ular weling yang menggigit saya. Kalau
pun saya digigit, semoga ular itu tidak sampai
memasukkan kadar bisa ke dalam tubuh saya
hingga sebanyak 1,44 mg sehingga saya masih
bisa selamat."
Lantas berapa banyak dosis ular yang benar-
benar mematikan bagi manusia? Berdasarkan tabel
data yang dipaparkan di bawah ini, tampak bahwa
untuk ular welang (saudara ular weling), kadar yang
benar-benar bisa melampaui LD50 bagi manusia
adalah 10 mg. Malah ular weling sendiri, cukup 1 mg
saja (atau 1,44 mg bila berdasarkan contoh terhadap
manusia berbobot 80 kg).

86
Tabel 2. Dosis Fatal Minimal (MLD) bagi manusia

87
VIII. Etika dan Pelepasan

Beberapa ular berbisa tinggi yang kedapatan


merangsek masuk ke dalam rumah, ada yang
beruntung hanya ditangkap lalu dilepasliarkan ke alam
bebas, ada pula yang nahas dibunuh pemilik rumah
atau penduduk. Namun satu hal yang juga patut
dipahami adalah seberapa jauh membuang atau
melepasliarkaan ular berbisa tinggi itu, ketika kita
memutuskan untuk tidak membunuhnya?
Ketua Exalos Indonesia akan menjelaskan
secara singkat, jelas, dan padat mengenai hal-hal yang
terkait pelepasliaran ular. "Ular kobra, walaupun high
venom kita buang di sungai atau sawah, itu masih
aman. Tak perlu harus di release hingga sangat jauh.
Tapi sanca besar, walau non venom, harus
dilepasliarkan ke tempat yang sangat jauh, begitu juga
jenis viper (beludak)," jelas Janu Widodo.
Pembedaan jarak lepas liar tersebut
menurutnya, lantaran dua hal yakni sensor panas yang
dimiliki ular tersebut dan juga kamuflase. Ular sanca
(phyton) memiliki kemampuan sangat baik dalam
merasakan panas mahluk lain. "Anda tidak tahu dia
dimana dan dia tidak tahu siapa yang dihadapi,"
ungkapnya. Masalahnya semakin pelik ketika si ular
sudah sangat dekat dengan kita. Ular sanca besar
memiliki kemampuan sergap yang luar biasa,
sedangkan manusia tidak akan mampu menyaingi
kecepatan menyergap si ular.
Alhasil, semua akan terlambat, si sanca akan
berhasil melilit mangsanya. Itulah sebabnya untuk
melepasliarkan ular sanca, butuh mencari lokasi yang
sangat jauh dari pemukiman manusia. Lalu bagaimana
88
dengan beludak? Baik beludak di pohon (Trimeresurus
sp.) maupun yang ranjau darat (Calloselasma
rhodostoma), terutama di tempat yang rimbun dan
banyak guguran daun kering.
Jenis viper tersebut selain memiliki kemampuan
sensing panas yang baik, juga sangat hebat dalam
menyamar (kamuflase) di alam bebas. "Saat dia tidak
tahu Anda datang dan Anda tidak tau keberadaannya
karena kamuflase, maka potensi bahaya mengintai
jelas," pungkas Janu Widodo.

Salah satu Rescuer (Exalos Indonesia)

89
Malayophyton reticulatus (Exalos Indonesia)

Sedangkan ular kobra, Janu sendiri tidak kuatir


bila melepasliarkannya hanya di depan rumah.
"Bahkan pernah ada ular kobra hasil rescue dari
tempat orang, lepas di rumah saya. Tapi tidak masalah
karena apa?" tukasnya. Sebab, lanjut Janu, kobra
adalah jenis ular yang memiliki sensor getaran. Dia
secara naluriah akan menjauhi manusia. Itulah
sebabnya walaupun lepas di dalam rumah, Janu
mengetahui akan kemana si kobra mencari jalan, "Dia
akan menjauhi manusia."

90
Etika di Publik

Exalos Indonesia pernah mendapat pertanyaan


dari masyarakat, khususnya mereka yang juga
memiliki kepedulian terhadap satwa. Begini
pertanyaan yang diajukan :

“Saya pernah masuk ke warung Japanese food


di kawasan Warung Jambu 2, Bogor. Ada anak
remaja (mungkin antara usia SMA atau sudah
kuliah) sedang makan. Di sebelah mereka itu ada
tas berjaring, yang berisi ular. Saya lalu ikut duduk
agak di dekat mereka (saat mereka makan, red).
Bagi saya, tidak ada perasaan takut atau risih
melihat ada "segerombolan ular" yang ikut di
antara kami, yang sedang makan. Pertanyaannya,
apakah sebenarnya ada etika dalam membawa
hewan peliharaan melata untuk masuk ke tempat
umum? Khususnya tempat makan”

Mengenai hal tersebut, Ketua Exalos Indonesia


juga memberikan perhatian khusus, karena pada
intinya, membawa reptil buas seperti ular (bahkan
meskipun sudah dianggap pets (binatang peliharaan)
oleh pemiliknya) memang ada etika tersendiri. "Ular
dibawa ke tempat umum, bisa membuat orang takut.
Tak selalu hal positif kita bawa. (Misalnya, red)
Gendong ular di tempat umum. Kecuali sarana
edukasi, di mana nanti akan ada potensi tanya jawab,"
ungkap Janu Widodo. "Etika itu seperti kita batuk,
ditutup mulutnya dengan kain. Atau kalau buang angin,
ya keluar dulu."

91
Binatang peliharaan bagi beberapa orang,
khususnya pecinta satwa, bisa dibilang merupakan
salah satu harta yang paling berharga. Namun menurut
Janu Widodo, tak selalu harus dibawa kemana-mana,
apalagi ke tempat yang berpotensi membuat orang
risih, karena tak semua orang bisa menerima kondisi
adanya binatang tertentu di suatu tempat. "Kami juga
sering setelah melakukan rescue ular, mampir beli
makan. Nah, ular akan kami simpan di tempat tertutup
dan tidak dibawa masuk," ungkapnya.

Sementara menurut anggota Exalos Indonesia,


Tjandra Widjaja, memang sebaiknya ular liar tidak
terlalu dekat dengan manusia. "Karena bisa jadi
membawa virus, parasit dari alam yang
membahayakan manusia," ungkapnya. Dia
memastikan bahwa mereka yang membawa ular
dengan visualisasi yang tampak jelas oleh pengunjung
lain di rumah makan, seperti yang terungkap di
92
pertanyaan tersebut, dipastikan bukanlah para
rescuer.
"Para rescuer rata-rata membawa karung atau
box. Tak pernah jaring. Karena jaring sangat
berbahaya, ular bisa kabur, terbelit, menggigit, dan
menyembur (ular kobra). Bisa jadi mereka adalah
pemburu ular yang kebetulan sedang makan di rumah
makan itu," papar Tjandra Widjaja.
Maka, himbauan dari Exalos Indonesia bagi
para pecinta satwa eksotis seperti ular, kadal, tokek,
dan lainnya, hendaklah memperhatikan etika
masyarakat demi kenyamanan bersama.

93
IX. Mitos

Entah ini asumsi masyarakat atau apakah


sudah diteliti lebih lanjut, tapi memang harus
diperjelas. Secara teknis begini ceritanya, bila kita
sengaja membunuh hewan ini, maka di ujung
kematiannya (ketika si hewan sedang sekarat) mereka
akan sengaja menatap mata kita. Di situlah, melalui
kontak antara mata, mereka 'merekam' frekuensi otak
kita.

Pada intinya berdasarkan paparan di atas,


menurut kepercayaan masyarakat, ada tiga hewan
yang diduga memiliki kemampuan merekam frekuensi
otak manusia. Tentunya manusia yang telah
94
membunuh mereka. Ketiganya adalah hiu, kucing, dan
ular jenis king cobra.
Selanjutnya, semisal, saat king cobra kita bunuh
dan dibuang ke tempat sampah atau dibuang
kemanapun bangkainya, harus dirusak dulu matanya.
Karena bila tidak dirusak matanya, kemudian
kebetulan ada seekor atau beberapa ekor king cobra
lain yang melewati bangkainya, mereka akan melihat
matanya (mata bangkai temannya itu). Walaupun si
teman sudah mati, akan tetap terjadi semacam
pertukaran data dari mata ke mata. Ini semacam
telepati lewat mata, antara ular mati dengan ular hidup.

Data yang mereka dapat melalui mata bangkai


temannya itu, tak lain adalah gambaran tentang kita
sebagai pembunuh temannya itu. Kemudian dari mata
ke mata, data akan ditransfer, yaitu tentang rekaman
wajah kita, dan mungkin juga gelombang otak kita.
Setelah selesai proses transfer data, si ular hidup atau
teman-teman si ular mati itu (yang sudah mendapatkan
95
data tentang kita) akan berkeliaran, berusaha mencari
kita.
Selanjutnya kalau kebetulan kita ditemukan,
maka mereka akan berusaha membunuh kita
(menyerang). Tapi kalau lagi sial, ternyata ada orang
yang frekuensi otaknya ternyata mirip kita, maka
mereka juga ikut diserang. Maka jangan kaget bila tiba-
tiba ada ular mengincar kita. Karena itulah, banyak
orang yang merusak mata hewan itu tadi (hiu, kucing,
dan king cobra) setelah mereka sengaja
membunuhnya.
Tapi sekali lagi ini belum diteliti lagi lebih jauh
secara ilmiah. Silakan mencari literatur lebih lanjut
tentang hal ini di mesin pencarian atau di
perpustakaan, atau meneliti langsung bila Anda
berminat meneliti tentang kemampuan visualisasi
hewan-hewan tersebut.

96
Burung Jadi Ular

Bagi
penghobi
burung, mereka-
mereka yang
senang
memelihara
burung dalam
sangkar, banyak
yang sering
mendengar
cerita burung
menjadi ular.
Sore hari
menjelang
petang mereka
bercanda ria
dengan burung
peliharannya
yang cantik nan
merdu
suaranya, lalu
tak disangka tak
diduga, pagi
harinya ternyata
yang didapat
dalam sangkar
adalah ular.
Ular Jali (Ptyas mucosus) masuk sangkar.

"Ya Tuhan, burung saya berubah wujud menjadi


ular!" Nah, begitulah anggapan para pecinta burung
ketika hal tersebut terjadi. Mereka menganggap ular itu
97
adalah burung jejadian. Tapi sebenarnya, menurut
Ketua Exalos Indonesia, Janu W. Widodo, tidaklah
betul dan sama sekali bukan hal yang benar bila
burung mereka berubah wujud menjadi ular. "Kami
menilainya bukan salah berpikir, tapi kami bilang
bahwa itu adalah mitos," ungkap Janu.
Apa sebab? Karena di alam semesta ini
memang ada hal yang gaib dan ada yang nyata. Siapa
tahu saja, ketika di jaman pendekar kerajaan yang
memiliki ilmu kanuragan tinggi, hal-hal seperti itu
ternyata memang pernah terjadi. Jangankan burung
jadi ular, manusia jadi burung pun jaman dulu katanya
ada. Maka tidak salah toh? Jika mereka berpikir siapa
tahu saja jaman sekarang masih ada yang seperti itu.
Janu kemudian menilainya, itu adalah mitos
bukan kesalahan berpikir. Tapi walau begitu, Janu juga
memiliki penjelasan tersendiri, mengapa dia
menganggap hal itu adalah mitos. "Itu dikarenakan ular
memangsa burung, kemudian si ular tak bisa keluar
dari sangkar," ungkapnya.
Laporan masyarakat tentang ular menjadi
burung itu pun memang diterima Exalos pada Jumat
(15 Oktober 2021), saat rescuer Exalos Indonesia
Regional Surabaya mendapatkan laporan dari warga
Perum Lestari Indah. Rupanya, setelah ditelusuri, yang
sebenarnya adalah sepasang burung Lovebird. Telah
dimangsa oleh ular.

98
X. Harapan Exalos Indonesia

Awalnya Exalos adalah komunitas penghobi


saja. Samun seiring berjalannya waktu, Ketua Exalos
Indonesia Janu Widodo menilai, kecintaan pada reptil
bila hanya sebatas hobi tentulah tidak berkembang.
Akhirnya terciptalah Exalos Indonesia, yang kini
menjelma menjadi komunitas relawan penyelamat
hewan dan lingkungan.
Dulu, cakupannya hanya sekitar Solo Raya kini
sudah diubah oleh Janu menjadi se-Indonesia. Maka
dalam kesempatan bersama Walikota Surakarta
Gibran Rakabuming Raka, para anggota Exalos pun
menumpahkan harapan mereka.
Gibran sempat merasakan kegelisahan lantaran
dirinya dikalungi ular jenis sanca. Walau hanya
sekejap, ular tersebut berkalung di lehernya, namun
Gibran Rakabuming tak ingin berlama-lama bersama
dengan ular sanca tersebut.

Foto: VOI.id | Berita Surakarta

99
Kejadian itu berlangsung saat peringatan Hari
Ulang Tahun (HUT) Relawan Internasional 2021 di
Lapangan Gedung Rektorat Universitas Sebelas Maret
(UNS), Selasa, 14 Desember 2021 lalu.
Dari peristiwa itu, tampak setidaknya, ternyata
Walikota Solo itu memang belum bisa nyaman dengan
satwa eksotik seperti ular dan sejenisnya. Maka dari
situ, muncullah harapan-harapan Exalos Indonesia
untuk anak pertama Presiden Republik Indonesia Joko
Widodo itu.
Berikut harapan-harapan yang terbesit dari para
sahabat Exalos Indonesia, yang dimana salah satu
anggotanya adalah pria yang mengalungkan ular
sanca tersebut ke leher Sang Walikota.

"Sampai saat ini rasa takut pada ular masih dijadikan


komoditi. Saya berharap konflik manusia dengan ular
segera mendapatkan solusi nyata. Tidak ada teror untuk
manusia, karena adanya komunitas yang aktif dalam
edukasi dan penyelamatan." - Janu W. Widodo.

"Harapan saya, Mas Gibran lebih mengenal Exalos


Indonesia dan membantu mengangkat nama Exalos
Indonesia." - Ade Chandra.

"Harapan saya, semoga dengan peristiwa berharga


terbelit ular di leher, Pak Gibran juga bisa merasakan
beban si ular terbelit konflik lahan hidupnya sehingga
populasinya di alam kini ikut terancam." - Angiola
Harry.

100
"Harapan saya, semoga habitat hewan liar (semua
hewan) dijaga dengan cara perketat lagi tata ruang
perijinan perumahan industri dan lainnya, sekiranya
lahan tersebut tidak boleh untuk bangunan tapi lebih baik
untuk konservasi alam." - Lintang F.

"Harapan saya ada Snake Education Exalos di istana


negara dihadiri dari Pak Jokowi, para petinggi negara,
dan mas Gibran (biar bisa foto bareng saya lagi)..
Tambah mas Kaesang." - Junius Kristiawan

"Harapan saya, masyarakat supaya paham betul apa


fungsi ekosistem. Karena selama ini, masyarakat hanya
tahu kalau ular itu semuanya berbisa." - Joko

"Harapan saya semoga kedepannya ada banyak dokter


khusus penangan tergigit ular agar orang-orang yang
tergigit ular bisa langsung di tangani oleh ahlinya." –
Geri V.

Semoga harapan-harapan tersebut dapat


terjawab demi kelestarian alam serta flora dan fauna di
dalamnya.

101
DAFTAR PUSTAKA

Buckley, Eleanor. E, 1968. Venomous Animals and


their Venoms. Pennsylvania: Academic Press.

Ernst, C. H., Zug, G. R, 1996. Snakes in question.


Washington, D.C: Smithsonian Institution Press.

Maharani, Tri, 2018. "Snakebites".

Gunarso, Wisnu, 1985. Tingkah Laku Ikan. Bogor: IPB


Press.

102
Copyright @ 2022

103

Anda mungkin juga menyukai