EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN HELM SNI TERHADAP TINGKAT KETAATAN
MASYARAKAT DALAM HUBUNGANNYA DENGAN FUNGSI HUKUM SEBAGAI
ALAT PENGENDALI SOSIAL Oleh : Dewi Sebgy Imasitha Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Magelang A. Pendahuluan Sebagai bagian dari anggota masyarakat dan sebagai pemakai jalan, tidak dapat dipungkiri hampir seluruh aktivitas kita di luar rumah berhubungan dengan jalan sebagai sarana penghubung dari suatu tempat ke tempat yang lain. Diakui atau tidak, jalan khususnya jalan raya memegang peran penting dalam kelancaran setiap urusan baik yang menyangkut menyangkut pribadi maupun pekerjaan. Bahkan jalan raya juga berperan sebagai fasilitas dalam pengembangan industri dan perekonomian negara karena sebagian dari aktivitas industri harus terhubung dengan jalan raya misalnya seperti pengangkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi. Tidak dapat dibayangkan jika kondisi jalan raya yang kita lalui tidak semulus sekarang. Mengingat demikian banyak aktivitas manusia yang terhubung dengan jalan raya, maka tentunya jumlah pengguna jalan raya dari hari ke hari semakin meningkat dengan berbagai sarana angkut baik roda dua maupun roda empat. Semakin banyaknya jumlah pengguna jalan raya, akhirnya mendorong terjadinya ketidakseimbangan antara kapasitas jalan dengan jumlah penggunanya. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai aturan di jalan raya yang tentu saja tujuannya adalah untuk menciptakan ketertiban pengguna jalan dan mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Setiap tahunnya jumlah angka korban kecelakaan lalu lintas di setiap kota cenderung meningkat. Hal ini umumnya disebabkan karena tidak sedikit dari masyarakat pengguna jalan yang tidak mematuhi ketentuan mengenai standar keselamatan dalam berkendaraan khususnya sepeda motor. Ketidakpahaman anggota masyarakat mengenai arti penting menjaga keselamatan bermula dari ketidakpahaman akan peran dan fungsi aparat sebagai alat penegakkan hukum. Harus diakui meski sebelumnya telah berlaku Undang-Undang No.14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, namun UU ini tidak cukup efektif untuk membuat masyarakat pengguna jalan menjadi patuh terhadap peraturan lalu lintas sehingga dapat menghindari terjadinya kecelakaan. Budaya hukum yang buruk dari masyarakat yang hanya patuh terhadap peraturan pada saat ada petugas telah terlanjur mendarah-daging sehingga sulit untuk dirubah. Tidak berhenti pada UU No.14 Tahun 1992 saja, usaha pemerintah khususnya penegak hukum dalam hal ini polisi untuk membuat sadar bagi masyarakat pengguna jalan akan arti penting mengutamakan keselamatan dengan memenuhi standar yang diinginkan oleh penegak hukum, masih banyaknya pelanggaran lalu lintas, ketidaktaatan masyarakat dalam menggunakan helm standar dan tingginya angka kecelakaan membuat pemerintah memutuskan untuk memperbaiki segala kelemahan yang ada pada UU lama dengan menerbitkan UU Lalu Lintas yang baru yaitu UU No. 22 Tahun 2009. Salah satu perubahan ketentuan yang mendasar dalam UU ini adalah diwajibkannya setiap pengendara sepeda motor untuk mengenakan helm berstandar nasional Indonesia (SNI) karena sebelumnya kebijakan penggunaan helm untuk pengendara sepeda motor memang masih sangat beragam di setiap kota di Indonesia. Misalnya di Yogyakarta, masih banyak pengendara yang diijinkan memakai helm “cakil” atau helm yang biasa digunakan untuk karyawan konstruksi. Di Bali, pada saat upacara adat digelar masyarakat masih diijinkan tidak menggunakan helm pada saat berkendaraan. Hal ini tentu harus ditinjau ulang, mengingat bukan tidak mungkin kecelakaan justru terjadi pada saat yang dikecualikan seperti di Bali dan Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah ketaatan pengendara terhadap ketentuan penggunaan helm SNI dan apakah ada hubungannya antara penggunaan helm standar dengan keselamatan berlalu lintas? C. Pembahasan Tinjauan Yuridis Terkait Dasar Hukum Mengenakan Helm SNI Dalam Mengendarai Sepeda Motor Penggunaa helm terutama bagi pengguna kendaraan roda dua adalah untuk keselamatan. Terkait aturan secara rinci dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Helm juga biasa dikenakan para pekerja sektor industri, dengan tujuan sama yaitu keselamatan. Selama ini banyak pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan helm saat berkendaraan di jalan raya. Padahal, pengguna sepeda motor paling rawan menjadi korban kecelakaan di jalan. Helm digunakan untuk melindungi kepala bila terjadi kecelakaan lalu-lintas pada para pengguna sepeda motor. Pertama sekali dicetuskan untuk diwajibkan untuk digunakan di Indonesia oleh Kepala Kepolisian RI Hoegeng, tetapi mendapatkan penolakan yang keras pada waktu itu, kemudian ditetapkan secara resmi di dalam UU Nomor 14 Tahun 1992. Harus diakui meski sebelumnya telah berlaku UU No.14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, namun UU ini tidak cukup efektif untuk membuat masyarakat pengguna jalan menjadi patuh terhadap peraturan lalu lintas sehingga dapat menghindari terjadinya kecelakaan. Budaya hukum yang buruk dari masyarakat yang hanya patuh terhadap peraturan pada saat ada petugas telah terlanjur mendarah-daging sehingga sulit untuk dirubah. “Tetap gunakan helm kapanpun dan dimana pun berkendara dengan sepeda motor”, merupakan suatu alarm untuk ditanamkan dalam pikiran kita dan tentunya helm berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah alat keselamatan dan keamanan bagi para pengendara sepeda motor. Oleh karenanya, ketika petugas kepolisian menilang karena tidak memakai helm, ini merupakan perhatian khusus bagi keselamatan. Mengenakan helm dapat melindungi kepala dari benturan saat mengalami kecelakaan. Tentunya sangat disarankan untuk mengenakan helm, saat berpergian menggunakan sepeda motor baik jarak dekat maupun jauh yang bertujuan melindungi dan sebagai pengaman saat berkendara. UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan bermotor. Perlengkapan tersebut bagi sepeda motor berupa helm SNI (Standar Nasional Indonesia). Dasar pemberlakuan standar wajib Helm ber-SNI adalah Permen Perindustrian Republik Indonesia No. 40/MIND/PER/4/2009 tentang Perubahan atas Permen Perindustrian No. 40/M-IND/PER/6/2008 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua Secara Wajib, dimana peraturan ini mulai berlaku dan ditetapkan pada tanggal 1 April 2010. Berikut beberapa Pasal yang diatur bahwa : 1. Pasal 2, memberlakukan secara wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) atau revisinya terhadap Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua. 2. Pemberlakuan secara wajib SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi helm yang digunakan pengendara kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah (terbuka). 3. Dengan adanya peraturan ini maka Pemerintah memberikan kewajiban kepada perusahaan dan Importir yang memproduksi dan memperdagangkan helm di dalam negeri untuk memenuhi persyaratan SNI. 4. Pasal 3 dijelaskan Perusahaan yang memproduksi Helm Pengendara Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib : a. Menerapkan dan memiliki SPPT-SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. Membubuhkan tanda SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua pada setiap produk sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah adanya peraturan menteri Perindustrian Republik Indonesia maka setiap Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (dua) tersebut di atas yang diperdagangkan di dalam negeri, yang berasal dari hasil produksi dalam negeri dan atau impor wajib memenuhi persyaratan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Selain dalam Permen Perindustrian, adapula ketentuan UU yang mengatur tentang UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Pada Undang-Undang tersebut mengatur setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. Jika pengendara tidak memakai helm berstandar SNI, maka dapat dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila pengendara sepeda motor membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm juga dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Ketaatan Pengendara Terhadap Ketentuan Penggunaan Helm SNI. Manusia memang individu yang kompleks sehingga perilakunya juga tidak sederhana. Perilaku manusia tidak sekedar memperhitungkan untung dan rugi saja. Bisa jadi perilaku yang tampak merugikan dimata seseorang akan dianggap menguntungkan bagi orang lain. Perilaku manusia melibatkan tiga komponen utama yaitu kondisi lingkungan tempat terjadinya perilaku tersebut, perilaku itu sendiri dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Berulang atau tidak berulangnya suatu perilaku dipengaruhi oleh keadaan tiga komponen tersebut. Penjabarannya dalam perilaku berkendaraan di jalan raya, cukup sederhana. Misalnya seorang pengendara berada di persimpangan jalan yang sepi (kondisi lingkungan) kemudian ia memutuskan untuk melanggar lampu lalu lintas (perilaku). Konsekuensi dari perilaku ini adalah perjalanan yang lebih cepat. Selain itu pengendara tersebut juga tidak ditangkap petugas karena memang tidak ada petugas di persimpangan jalan tersebut. Perilaku pelanggaran seperti ini akan cenderung diulangi karena mendapat penguatan positif atau hadiah yaitu proses perjalanan yang lebih cepat dan tidak tertangkap oleh petugas. Skenario yang muncul akan berbeda bila situasinya berbeda pula. Pada situasi persimpangan jalan yang dijaga oleh petugas (kondisi lingkungan) seorang pengendara berkeputusan untuk melanggar lampu lalu lintas. Konsekuensinya pengendara akan ditangkap oleh petugas dan mendapatkan surat tilang. Perilaku pelanggaran seperti ini akan cenderung tidak diulangi karena mendapatkan penguatan negatif (hukuman) yaitu berupa surat tilang yang tentu saja bermuara pada denda yang harus dibayar. Disinilah peran peraturan untuk mendeskripsikan baik secara lisan, tulisan ataupun simbol, harus menjelaskan hubungan sebab akibat dari dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku. Rambu dilarang menggunakan helm tidak berstandar juga menunjukkan kondisi lingkungan dan perilaku karena bila melanggar maka akan di beri surat tilang sebagai konsekuensinya. Bagi semua pengguna kendaraan bermotor pasti sudah paham betul arti dari rambu-rambu lalu lintas yang ada dijalanan. Walaupun demikian ternyata pemahaman ini belum cukup untuk mendorong pengguna jalan mematuhi rambu-rambu tersebut. Ada berbagai hal yang menyebabkan pengendara gagal untuk mematuhi rambu tersebut. Walaupun pengendara tahu bahwa tidak menggunakan helm sangat berbahaya namun mereka tetap berkeras untuk tidak memakai helm. Pengendara tersebut menganggap bahwa kemungkinan dirinya untuk terjatuh ataupun ditangkap petugas sangat kecil sehingga walaupun tidak menggunakan helm tetap akan selamat. Mungkin suatu ketika pengendara tersebut tertangkap petugas sehingga mendapat surat tilang, justru bisa mengambil tindakan dengan cara memakai uang “pelicin”. Uang “pelicin” tersebut bukan merupakan konsekuensi negatif melainkan justru menjadi konsekuensi positif bagi pengendara karena ada semacam rasa bangga bahwa dirinya bisa mengelabui petugas dengan beberapa lembar rupiah. Kenyataan bahwa perilaku tidak memakai helm ini mendapatkan konsekuensi positif membuat pengendara tersebut cenderung untuk mengulangi perilaku tersebut. Penyebab kegagalan kepatuhan terhadap peraturan dari segi kondisi lingkungan bisa di jabarkan dalam skenario berikut ini. Suatu ketika pengendara tersebut mencoba menggunakan helm, namun keadaan yang dihadapinya adalah bahwa banyak pengendara lain yang ternyata tidak menggunakan helm tidak mendapat sanksi apa-apa, selain itu juga merasa tidak nyaman ketika memakai helm karena terasa gerah. Keadaan ini menggambarkan adanya konsekuensi negatif ketika pengendara tersebut berusaha mematuhi peraturan dengan menggunakan helm. Konsekuensi negatif tersebut berasal dari rasa tidak nyaman dan umpan balik sosial yang memperlihatkan bahwa tidak menjadi masalah bila pengendara tidak menggunakan helm. Dua skenario diatas menunjukkan bahwa terjadi suatu fenomena yang bertentangan dengan hukum-hukum belajar perilaku yaitu bahwa perilaku perilaku yang buruk harus mendapatkan mendapatkan hukuman (konsekuensi negatif) sementara perilaku yang baik harus mendapatkan hadiah (konsekuensi positif). Kenyataan yang terjadi adalah bahwa perilaku buruk akan mendapatkan konsekuensi positif sementara perilaku yang baik akan mendapat konsekuensi negatif. Tidak adanya konsistensi antara lingkungan, perilaku dan konsekuensi inilah yang menjadikan perilaku pengguna jalan semakin lama semakin memburuk. Dan hal ini sama sekali tidak berhubungan dengan sikap mental dari pengguna jalan tersebut. Namun demikian terkait dengan ketentuan penggunaan helm berstandar nasional Indonesia sesuai dengan rumusan UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Jalan Raya cukup memberi angin segar pada perubahan perilaku pengendara khususnya sepeda motor untuk memenuhi aturan tersebut. Karena kesadaran masyarakat yang sudah mulai tergugah atau justru hanya karena takut ditilang, paling tidak sedikit demi sedikit perubahan mulai terlihat di jalan raya. Hal ini memberi bukti bahwa fungsi hukum sebagai “Social Control” sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo telah terlihat dalam penerapan ketentuan penggunaan helm berstandar melalui UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Jalan Raya yang menyatakan sebagai berikut : 1. Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). 2. Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Sebagaimana paparan peraturan UU diatas telah memberitahu kepada kita, bahwa dalam menjalankan fungsinya sebagai hukum memiliki kekuatan yang bersifat memaksa. Paksaan ini tertuju kepada para anggota masyarakat dengan tujuan untuk mematuhinya. Problematika dalam masyarakat akan kepatuhan terhadap hukum ini karena belum terciptanya kesadaran atas hukum dalam diri setiap individu. Menurut Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa derajat tinggi rendahnya kepatuhan hukum terhadap hukum positif tertulis, taraf kesadarannya didasarkan beberapa faktor-faktor sebagai berikut : 1. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum, hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. 2. Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi dan tujuan peraturan dari suatu hukum tertentu. 3. Sikap hukum (legal attitude) adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu hukum yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum tersebut ditaati. 4. Pola perilaku hukum (legal behavior) merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena pola perilaku hukum ini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian, sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari perilaku hukum suatu masyarakat. Selain daripada hal tersebut diatas, kelemahan yang terjadi atas pemberlakuan hukum tentang lalu lintas ini, polisi lalu lintas selaku penegak hukum atau hakim di ranah jalan/lalu lintas, masih kurang efesien dalam penegakannya. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan penilangan atau biasa disebut dengan “cegatan” masih dilaksanakan hanya ketika pada waktu yang ditentukan serta di tempat yang kurang menyeluruh. Hal ini beralasan, karena masyarakat telah hafal sekali akan kegiatan tersebut, sehingga menyebabkan masyarakat cenderung meremehkan, bahkan dapat lebih mudah untuk menghindar. Penggunaan Helm Standar Nasional Indonesia Dapat Meminimalisir Cidera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Beberapa pekan terakhir pihak Kepolisian gencar untuk melakukan sosialisasi dan operasi simpatik yang berkenaan dengan kewajiban penggunaan helm yang telah lulus kualifikasi Standar Nasional Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai bentuk implementasi pasal 57 ayat (1) dan 2 serta pasal 106 ayat (8), Undang - Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Ialan dan juga Peraturan Menperin Menperin Nomor 40/M-IND/-PER/6/2008 40/M-IND/-PER/6/2008 Tentang Pemberlakuan SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua Secara Wajib yang memuat ketentuan bahwa setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia. Aturan tersebut bukan kali pertama lahir sebagai instrumen normatif yang bertujuan untuk keselamatan dari pengendara kendaraan bermotor. Pada tahun - tahun sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan aturan sejenis yang berkenaan dengan kewajiban penggunaan sabuk pengaman bagi kendaraan roda empat. Isu mengenai keselamatan dan keamanan bagi pengendara kendaraan bermotor baik motor maupun mobil memang kerap kali hanya menjadi isu yang tergolong elite dan mempunyai rasionalitas yang urgen bagi beberapa kalangan tertentu, kendala harga yang harus dibayarkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan helm sejenis yang lebih nyaman dari segi penggunaan semata timbul sebagai bentuk penghalang penaatan peraturan tersebut untuk dapat menempatkan isu keselamatan dan fungsionalitas keselamatan yang diperoleh dalam sebuah produk. Dalam konteks kewajiban untuk menggunakan helm dengan standardisasi SNI yang dikeluarkan oleh pemerintah secara limitatif bagi pengguna kendaraan roda dua, dapat dilihat seperti pisau bermata dua bagi pengguna kendaraan bermotor di Indonesia. Pada satu sisi, kewajiban penggunaan helm dengan standarisasi SNI memberatkan para pengguna kendaraan roda dua pada umumnya dengan harga helm SNI yang di atas helm sekelas lainnya. Hal ini menjadi suatu resultante dari kebijakan pemerintah yang pada tataran ekonomi teoretis telah diprediksi akan mengakibatkan koreksi terhadap pasar berupa tingginya permintaan helm dengan standardisasi SNI dan akan berakibat pada naiknya harga dari komoditi yang diminta. Namun demikian, terlepas dari masalah kemampuan daya beli masyarakat, satu hal yang lebih penting adalah bahwa helm yang berstandar nasional Indonesia jelas telah lulus uji coba sehingga keselamatan bagi penggunanya juga telah terbukti karena Logo SNI yang diperoleh produsen helm memerlukan prasyarat adanya jaminan tingkat keamanan dan keselamatan yang tinggi dalam setiap hasil helm yang dihasilkan. Jenis dan kekuatan terhadap daya tekanan helm menentukan tinggi rendahnya kemampuan melindungi kepala. Helm dengan komposisi bahan plastik tipis mudah pecah dan tingkat perlindungannya sangat rendah helm jenis ini tidak cocok sebagai kelengkapan berkendaraan, bahkan keberadaannya sebaiknya dihindari karena ketika terjadi kecelakaan kemungkinan helm akan pecah dan melukai pengguna. Helm dengan komposisi bahan plastik tebal dan berlogo Standar Nasional Indon-esia (SNI) layak dijadikan pilihan sebagai kelengkapan berkendara karena helm jenis ini telah teruji secara ilmiah melalui berbagai percobaan dengan menggunakan berat tekanan maksimal. Penggunaan helm SNI pada pengendara kendaraan roda dua dapat mengurangi dampak benturan kepala. Sebagai contoh, bila secara tiba-tiba pengendara motor terpental dari sepeda motor yang sedang melaju kencang, kemungkinan besar kepalanya akan membentur sesuatu saat mendarat entah itu aspal, batu, pagar pembatas, pohon, rumput, dan lain sebagainya. Kepala merupakan bagian tubuh yang terpenting karena keberadaan otak sebagai pusat kendali dan aktifitas seluruh persarafan sehingga terjadinya sedikit benturan pada kepala telah berpotensi mengganggu sistem saraf. Kasus terberat bila bagian dalam kepala mengalami cedera, seperti retaknya tulang kepala yang berpotensi menimbulkan pendarahan otak atau tersumbat dan pecahnya pembuluh darah; kesemuanya ini merupakan faktor dominan penyebab kematian. Akibat kecelakaan pada organ selain kepala relatif berdampak kecil bagi hilangnya nyawa pengendara. Patah kaki, kulit lecet hingga terkelupas, bahkan terpisahnya kaki dari badan merupakan luka yang relatif tidak mendominasi penyebab kematian. Sehingga secara tidak langsung dengan hadirnya aturan yang memuat kewajiban untuk penggunaan helm berlogo SNI pada tataran nyata terlihat akan meningkatkan penjualan produk helm dengan logo SNI semata, namun dalam orientasi yang lebih dalam terdapat peningkatan harga dari unsur keselamatan dan keamanan di dalam pasar penjualan helm. Pemerintah sebagai bagian penting dari kebijakan ekonomi makro hendaknya dapat lebih memperhatikan keberadaan variabel ekonomi dalam rangka mencapai tingkat kepatuhan dan ketaatan yang tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa rasionalitas manusia yang tersimpan di dalam setiap rumusan efisiensi yang ideal di setiap manusia mempunyai suatu signifikansi tersendiri untuk menyuguhkan ketaatan hukum secara rasional pula. D. Kesimpulan 1. Ketentuan UU yang mengatur tentang UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Pada UU tersebut mengatur setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. Jika pengendara tidak memakai helm berstandar SNI, maka dapat dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila pengendara sepeda motor membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm juga dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). 2. Ketentuan penggunaan helm berstandar nasional Indonesia sesuai dengan rumusan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Jalan Raya cukup memberi angin segar pada perubahan perilaku pengendara khususnya sepeda motor untuk memenuhi aturan tersebut. Entah karena kesadaran masyarakat yang sudah mulai tergugah tergugah atau justru hanya karena takut ditilang, paling tidak sedikit demi sedikit perubahan mulai terlihat di jalan raya. Hal ini memberi bukti bahwa fungsi hukum sebagai “Social Control” sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo telah terlihat dalam penerapan ketentuan penggunaan helm berstandar melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Jalan Raya. 3. Helm yang berstandar nasional Indonesia jelas telah lulus uji coba sehingga keselamatan bagi penggunanya juga telah terbukti karena Logo SNI yang diperoleh produsen helm memerlukan prasyarat adanya jaminan tingkat keamanan dan keselamatan yang tinggi dalam setiap hasil helm yang dihasilkan. Jenis dan kekuatan terhadap daya tekanan helm menentukan tinggi rendahnya kemampuan melindungi kepala. Helm dengan komposisi bahan plastik tipis mudah pecah dan tingkat perlindungannya sangat rendah helm jenis ini tidak cocok sebagai kelengkapan berkendaraan, bahkan keberadaannya sebaiknya dihindari karena ketika terjadi kecelakaan kemungkinan helm akan pecah dan melukai pengguna. Helm dengan komposisi bahan plastik tebal dan berlogo Standar Nasional Indon-esia (SNI) layak dijadikan pilihan sebagai kelengkapan berkendara karena helm jenis ini telah teruji secara ilmiah melalui berbagai percobaan dengan menggunakan berat tekanan maksimal. Penggunaan helm SNI pada pengendara kendaraan roda dua dapat mengurangi dampak benturan kepala.
Efektivitas Pasal 106 Ayat (8) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Terhadap Pengendara Sepeda Motor Pada Saat Menggunakan Pakaian Adat Bali
Dokumen][JUDUL] Mengoptimalkan Judul Dokumen tentang Pengaruh Pergub No. 79 Tahun 2018 dan Sikap Kepolisian terkait Penggunaan Helm saat Berbusana Adat
Fungsi Hukum Sebagai Social Control Bertujuan Untuk Memberikan Suatu Batasan Tingkah Laku Masyarakat Yang Menyimpang Dan Akibat Yang Harus Diterima Dari Penyimpangan Itu