Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Penelitian ini berhubungan dengan sikap orang percaya dalam

menghadapi penderitaan yang berdampak pada perilaku orang percaya,

maka peneliti menyajikan judul penelitian : “Pengaruh Pemahaman

Jemaat tentang Sikap Dalam Menghadapi Penderitaan berdasarkan I

Petrus 4:7-11 terhadap Perilaku sosial di GJKR. Dalam bab ini akan

dibahas tentang: latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan

masalah, rumusan masalah penelitian, penjelasan istilah, tujuan

penelitian, dan kepentingan penelitian.

Latar Belakang Masalah

Dalam buku yang berjudul “Manajemen Penelitian” Suharsimi

Arikunto” menyatakankan latar belakang masalah “bermula dari seorang

peneliti merasakan adanya sesuatu yang belum atau tidak sesuai dengan

kondisi yang seharusnya dan ingin memperbaiki hal-hal yang dikatakan

tidak pada tempatnya itu.”1Dalam penelitian ini, akan diuraikan

latarbelakang masalah sesuai dengan uraian tersebut. Dimana latar

belakang masalah yang akan diuraikan dibuat spesifik, jelas dan fokus

yang mengacu kepada masalah penelitian sehingga lebih mudah untuk

diteliti. Penderitaan merupakan kata yang sering dihindari oleh manusia

termasuk orang percaya. Karena penderitaan itu adalah realitas

1
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 28

1
2

paradoksal dalam hidup manusia, tidak dikendaki, tapi tidak bisa

dihindari2. Situasi zaman sekarang yang semakin menekan umat

manusia, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus bahwa zaman akhir ini

ditandai bukan oleh perdamaian, melainkan oleh peperangan yang

bertambah-tambah3. Di Indonesia, dari data-data yang berhasil

dikumpulkan, dilaporkan telah ada lebih dari 1.000 gereja yang dirusak,

dihancurkan, dibakar oleh orang-orang yang ‘Beragama Lain’ dari

kelompok radikal dan sejumlah orang Kristen dibunuh, dianiaya, dan

dipenjarakan. Kekristenan dianggap hal yang asing dan ‘membahayakan’

ajaran umat ‘Beragama Lain’. Anggapan tersebut banyak mendasari

sejumlah pengrusakan tempat ibadah dan penganiayaan. Beberapa

undang-undang baru yang telah disahkan menempatkan orang-orang

Kristen pada situasi yang sulit berkenan dengan aktivitas keagamaannya.

Total sampai Januari 2009, 1030 tempat ibadah (gereja) di Indonesia

dirusak, ditutup, dibakar4. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan

Universitas Canberra di Australia, peristiwa pembakaran pada 1967

menjadi pemicu terjadinya rentetan pembakaran gereja. Bahkan, dalam

penelitian tersebut disebutkan bahwa sejak Indonesia memasuki Era

Reformasi total pembakaran gereja sudah lebih dari 1.000 kasus 5. Ada
2
E. A. Hidayat, Iman Di Tengah Penderitaan: Suatu Inspirasi Teologis-Biblis
Kristiani,  (MELINTAS, 32(3), 2016), 285.
3
Lembaga Alkitab Indonesia: Matius 24:6
4
Aulia Bintang Pratama, “Pembakaran Gereja Capai 1.000 Kasus Pasca
Reformasi” dalam CNN Nasional, https://m.cnnindonesia.com, (akses, Rabu, 10 Oktober
2015)
5
Aulia Bintang Pratama, “Pembakaran Gereja Capai 1.000 Kasus Pasca
Reformasi” dalam CNN Nasional, https://m.cnnindonesia.com, (akses, Rabu, 10 Oktober
2015).
3

banyak kesaksian penderitaan orang percaya karena iman kepada

Kristus. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak orang

percaya yang belum memahami arti penderitaan itu, sehingga timbul

pertanyaan-pertanyaan mengapa orang percaya harus menderita? Dan

mengapa Allah tidak menolong dengan segera 6?. Hal ini nampak pada

seringnya jemaat disuguhkan firman Tuhan yang menawarkan

kesenangan hidup belaka tanpa harus mengalami pendertitaan. Karena

itu ketika orang percaya mengalami penderitaan hidup, lebih banyak

melarikan diri, putus asa dan kecewa. Padahal sesungguhnya

penderitaan orang percaya tidak dapat dihindari, namun yang dimaksud

penulis, bagaimana sesungguhnya sikap orang percaya dalam

menghadapi penderitaan. Fenomena ini juga ditemukan dikalangan orang

percaya, khususnya jemaat di GJKR. Setelah sharing dengan beberapa

jemaat di gereja GJKR mengenai pergumulan dan penderitaan orang

percaya, jemaat berpendapat bahwa ketika mengalami penderitaan itu,

jemaat mengalami putus asa, kekecewaan, hilang pengharapan. Hal ini

mungkin terjadi, karena kurangnya pemahaman jemaat mengenai

penderitaan bahwa orang kristen dipanggil untuk ikut menderita seperti

Yesus menderita. Bahkan salah satu jurnal penelitian yang meneliti

tentang ”Penderitaan orang percaya”7, juga mengatakan bahwa orang

6
Richard Leonard, “Where the Hell is God?” dalam Thinking Faith: The Online
Journal of the British Jesuits (F. Suryanto Hadi (terj.)), dalam Rohani, No. 02, Tahun ke-
59 (Februari 2012) 35.
Elri Masniari Saragih, Sikap Etis Kristen Terhadap Penderitaan Menurut I
7

Petrus 4:12-16 dan Relevansinya Bagi Orang percaya(Missio Ecclesiae, 8(1),


April 2019, 58-80)
4

percaya pada umumnya kurang memahami makna ”penderitaan” yang

harus ditanggung oleh orang percaya itu sendiri.

Dalam menanggung penderitaan, orang percaya diajarkan untuk

bersikap dewasa sehingga kuat dan bisa melewati masalah. Dalam kitab I

Petrus, Rasul Petrus khusus membahas tentang ”penderitaa orang

percaya”. Oleh karena itu para tokoh-tokoh teologi membuat tema untuk

kita I Petrusyaitu ”penderitaan Orang Percaya”.Rasul Petrus mengatakan

bahwa orang percaya pasti akan menderita, akan tetapi ketika

penderitaan itu datang, bersukacitalah dan bergembirlah karena

sesungguhnya penderitaan adalah persekutuan dengan Kristus. Orang

percaya harus paham betul, bahwa dengan percaya atau mengikut

Kristus, bukan berarti terlepas dari penderitaan dan hidup dengan damai

sejahtra. Justru sebaliknya orang percaya harus mau dan rela menderita

sebagai bukti iman kepada Tuhan Yesus. Namun, dari pandangan

peneliti kebanyakan orang kristen kurang memahami bahwa orang

percaya dipangil untuk ikut menderita seperti Yesus menderita. Bahkan

ketika ditantang untuk ikut menderita seperti Kristus menderita,

kebanyakan orang kristen tidak mau bahkan tidak rela untuk mengalami

penderitaan. Maka tak jarang ditemukan, banyak orang kristen mengeluh

ketika persoalan kehidupan datang, bahkan ada yang menyalahkan

Tuhan atas setiap penderitaan yang dialaminya. Fenomena ini juga

ditemukan dikalangan jemaat GJKR, ketika sharing dengan gembala

sidang setempat, menurut Beliau ada beberapa jemaat ketika mengalami


5

pergumulan dan penderitaan, mereka lebih kepada meninggalkan

persekutuan, malas beribadah. Dan ketika dikunjungi kenapa tidak

beribadah, jemaat menjawab: ”setelah rajin beribadah dan dekat dengan

Tuhan, rasanya banyak persoalan dan pergumulan, oleh karena itu lebih

baik tidak beribadah saja, dengan demikian penderitaan tidak ada”.

Dalam I Petrus 4:7-11, Rasul Petrus secara khusus mengingatkan

kepada orang percaya, bagaimana sikap orang percaya dalam

menghadapi penderitaan. Dalam ayat 7, dikatakan bahwa kesudahan

segalasesuatu sudah dekat, karena itu kuasailah dirimu dan jadilah

tenang supaya kamu dapat berdoa. Artinya bahwa sikap orang percaya

dalam menghapi penderitaan yaitu dengan mengusai diri dan tetap tenang

supaya dapat berdoa. Selain itu, harus mengenakan kasih kepada orang

lain dengan memberikan tumpangan kepada orang lain dengan tidak

bersungut-sungut, melayani seorang akan yang lain dengan karunia-

karunia yang Tuha berikan. Rasul Petrus mengajak orang percaya,

sekalipun ditengah penderitaan yang dihadapi, orang percaya harus tetap

menunjukkan kasih kepada orang lain. Tidak fokus dengan penderitaan

itu melainkan tetap bisa berbagi denga orang lain. Orang percaya harus

bisa menjadi berkat bagi orang lain ditengah penderitaan yang dialaminya.

Akan tetapi, kenyataan yang terjadi dilapangan tidaklah demikian. Banyak

orang percaya ketika mengalami penderitaan tidak bisa menguasai diri,

tidak bisa tenang, bahkan tidak bisa untuk berdoa. Melainkan mengeluh

atas setiap penderitaan yang dialaminya, putus asa, kecewa, meratapi


6

diri, bahkan ada yang lari dari imanya. Fenomena ini juga ditemukan

dikalangan jemaat GJKR, dari data yang peneliti himpun dengan sharing

kepada beberapa jemaat mengeani penderitaan, beberapa jemaat tidak

bisa menguasai diri ketika mengalami penderitaan, tidak bisa tenang dan

tidak bisa berdoa oleh karena penderitan dan persoalan hidup yang

dialami. Salah satu contoh: ketika salah satu keluarga dari jemaat

meninggal dunia, mereka seperti kehilangan pengharapan. Mereka

menyalahkan Tuhan atas kematian keluarga yang dikasihinya. Hal

tersebut membuat imanya jadi lemah dan meninggalkan persekutuan-

persekutuan keagamaan.

Menurut Bactiar, Perilaku sosial adalah suasanan saling

ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan

manusia. Sebagai bukti bahwa manusia memenuhi kebutuhan hidup

sebagai diri pribadi tidak dapat melakukanya sendiri melainkan

memerlukan bantuan dari orang lain8. Ada ikatan ketergantungan antara

satu dengan yang lain. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia

berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan.

Untuk itu manusia dituntut mampu bekerja sama, saling menghormati,

tidak menggangu hak orang lain, dan toleran dalam hidup bermasyarakat.

Firman Tuhan juga mengajarkan orang percaya harus memiliki perilaku

sosial yang benar sesuai Firman Tuhan. Dalam I Petrus 4: 8-10, firman

Tuhan berkata bahwa sebagai orang percaya harus mengenang kasih

8
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parsons,(Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010), 35
7

dalam hidup baik bermasyarakat, keluarga dan bergereja, dengan

memberikan tumpangan kepada orang lain dan melayani satu sama

lainya. Artinya bahwa orang percaya harus memiliki perilaku sosial yang

tinggi kepada sesama. Namun kenyataannya tidaklah demikian, ada

banyak orang percaya dengan perilaku sosial yang rendah, misalnya

enggan membantu orang yang membutuhkan pertolongan, kurang

menghormati orang lain, kurang toleran kepada orang lain, memandang

rendah orang yang berkekuragan, sombong, tinggi hati dan lain

sebagainya. Fenomena ini juga ditemuka dikalanga jemaat GJKR.

Setelah sharing dengan gembala di gereja GJKR, bagaimana jemaat

merespon dan menghargai gembalanya. Rupanya beberapa jemaat

memiliki perilaku sosial yang kurang, seperti kurang menghargai

gembalanya: ketika gembala datang berkunjung kerumah jemaat, jemaat

kurang menyambut dengan baik, sombong, angkuh, merasa diri paling

rohani dan lain sebagainya. Akan tetapi ada beberapa jemaat yang sangat

respek dengan gembalanya. Mereka sangat menghormati dan menyegani

gembalanya.

Menurut peneliti, kurangnya pemahaman jemaat tentang sikap

dalam menghadapi penderitaan berdasarkan I Petrus 4:7-11 berdampak

pada perilaku sosial jemaat. Dari salah satu jurnal penelitian juga

menjelaskan bahwa ”sikap etis kristen terhadap penderitaan 9” pada

umumya lebih kepada bersungut-sungut, putus asa, kecewa dalam

menghadapi penderitaan. Hal yang sama juga ditemukan dalam ”jurnal


9
Elri Masniari Saragih, (Missio Ecclesiae, 8(1), April 2019, 58-80)
8

Syntak Transformation mengenai ”Anomali Penderitaan Orang percaya”

menjelaskan penderitaan orang percaya merupakan sebuah anomali atau

”ketidaknormanalan/penyimpangan” atau hal kewajaran 10. Melihat fakta

yang terjadi, maka peneliti menulis skripsi ini dengan judul ” Pengaruh

Pemahaman Jemaat Tentang Sikap Dalam Menghadapi Penderitaan

Berdasarkan I Petrus 4:7-11 Terhadap perilaku Sosial Jemaat di GJKR”.

Identifikasi Masalah

Ethikus Harefa mengatakan masalah adalah tahapan permulaan dari

penguasaan masalah, sehingga objek dari suatu jalinan situasi tertentu

dapat dikenal sebagai suatu masalah. Identifikasi merupakan pertanyaan-

pertanyaan yang semuanya terkait dengan inti masalah yang diteliti.

Memang untuk menemukan inti suatu masalah, maka harus diidentifikasi

terlebih dahulu. Sebuah masalah harus dilihat dari berbagai segi

sehingga nampak akan menjadi suatu kesatuan yang utuh. 11 Dari latar

belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang

diidentifikasikan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Pertama, Penderitaan merupakan kata yang sering dihindari oleh

manusia termasuk orang percaya. Karena penderitaan itu adalah realitas

paradoksal dalam hidup manusia, tidak dikendaki, tapi tidak bisa

10
Djone Georges Nicolas, Jurnal Syntak Transformation : Anomali Penderitaan
Orang Percaya “analisis makna penderitaan berdasarkan Filipi 1:27-29” (Vol.2 No. 3,
Maret 2001)
11
Etiknius Harefa’ Diktat Metodologi Penelitian Teologi (Medan:STT Paulus,
2010), 65
9

dihindari12. Ada banyak kesaksian penderitaan orang percaya karena ima

mereka kepada Kristus. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih

banyak orang percaya yang belum memahami arti penderitaan itu,

sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan mengapa orang percaya harus

menderita? Dan mengapa Allah tidak menolong dengan segera. Karena

itu ketika orang percaya mengalami penderitaan hidup, lebih banyak

melarikan diri, putus asa dan kecewa. Padahal sesungguhnya

penderitaan orang percaya tidak dapat dihindari, namun yang dimaksud

peneliti, bagaimana sesungguhnya sikap orang percaya dalam mengadapi

penderitaan. Fenomena ini juga ditemukan dikalangan orang percaya,

khususnya jemaat di GJKR. Setelah sharing dengan beberapa jemaat di

gereja GJKR mengenai pergumulan dan penderitaan orang percaya,

mereka berpendapat bahwa ketika mengalami penderitaan itu, mereka

mengalami putus asa, kekecewaan, hilang pengharapan. Hal ini mungkin

terjadi, karena kurangnya pemahaman jemaat mengenai penderitaan

bahwa orang kristen dipanggil untuk ikut menderita seperti Yesus

menderita. Bahkan salah satu jurnal penelitian yang meneliti tentang

”Penderitaan orang percaya”13, juga mengatakan bahwa orang percaya

pada umumnya kurang memahami makna ”penderitaan” yang harus

ditanggung oleh orang percaya itu sendiri.Dari uraian diatas muncul

12
E. A. Hidayat, Iman Di Tengah Penderitaan: Suatu Inspirasi Teologis-Biblis
Kristiani,  (MELINTAS, 32(3), 2016), 285.

13
Elri Masniari Saragih, Sikap Etis Kristen Terhadap Penderitaan Menurut I
Petrus 4:12-16 dan Relevansinya Bagi Orang percaya(Missio Ecclesiae, 8(1), April 2019,
58-80)
10

pertanyaan, Bagaimanakah kecendrungan jemaat GJKR menyikapi

penderitaan sebagai orang percaya?

Kedua, Dalam kitab I Petrus, Rasul Petrus khusus membahas

tentang ”penderitaa orang percaya”. Oleh karena itu para tokoh-tokoh

teologi membuat tema untuk kita I Petrus yaitu ”penderitaan Orang

Percaya”. Orang percaya harus paham betul, bahwa dengan percaya

atau mengikut Kristus, bukan berarti terlepas dari penderitaan dan hidup

dengan damai sejahtra. Justru sebaliknya orang percaya harus mau dan

rela menderita sebagai bukti iman kepada Tuhan Yesus. Namun, dari

pandangan peneliti kebanyakan orang kristen kurang memahami bahwa

orang percaya dipangil untuk ikut menderita seperti Yesus menderita.

Maka tak jarang ditemukan, banyak orang kristen mengeluh ketika

persoalan kehidupan datang, bahkan ada yang menyalahkan Tuhan atas

setiap penderitaan yang dialaminya. Fenomena ini juga ditemukan

dikalangan jemaat GJKR, ketika sharing dengan gembala sidang

setempat, menurut Beliau ada beberapa jemaat ketika mengalami

pergumulan dan penderitaan, mereka lebih kepada meninggalkan

persekutuan, malas beribadah. Dan ketika dikunjungi kenapa tidak

beribadah, jemaat menjawab: ”setelah rajin beribadah dan dekat dengan

Tuhan, rasanya banyak persoalan dan pergumulan, oleh karena itu lebih

baik tidak beribadah saja, dengan demikian penderitaan tidak ada”. Dari

uraia diatas muncul pertanyaan, bagaimanakah kecendrungan


11

pemahaman jemaat GJKR tentang Penderitan Orang percaya

berdasarkan Kitab I Petrus?

Ketiga, Dalam I Petrus 4:7-11, Rasul Petrus secara khusus

mengingatkan kepada orang percaya, bagaimana sikap orang percaya

dalam menghadapi penderitaan. Dalam ayat 7, dikatakan bahwa

kesudahan segala sesuatu sudah dekat, karena itu kuasailah dirimu dan

jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa. Artinya bahwa sikap orang

percaya dalam menghapi penderitaan yaitu dengan mengusai diri dan

tetap tenang supaya dapat berdoa. Selain itu, harus mengenakan kasih

kepada orang lain dengan memberikan tumpangan kepada orang lain

dengan tidak bersungut-sungut, melayani seorang akan yang lain dengan

karunia-karunia yang Tuha berikan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi

dilapangan tidaklah demikian. Banyak orang percaya ketika mengalami

penderitaan tidak bisa menguasai diri, tidak bisa tenang, bahkan tidak

bisa untuk berdoa. Melainkan mengeluh atas setiap penderitaan yang

dialaminya, putus asa, kecewa, meratapi diri, bahkan ada yang lari dari

imanya. Fenomena ini juga ditemukan dikalangan jemaat GJKR, dari data

yang peneliti himpun dengan sharing kepada beberapa jemaat mengeani

penderitaan, beberapa jemaat tidak bisa menguasai diri ketika mengalami

penderitaan, tidak bisa tenang dan tidak bisa berdoa oleh karena

penderitan dan persoalan hidup yang dialami. Salah satu contoh: ketika

salah satu keluarga dari jemaat meninggal dunia, mereka seperti

kehilangan pengharapan. Mereka menyalahkan Tuhan atas kematian


12

keluarga yang dikasihinya. Hal tersebut membuat imanya jadi lemah dan

meninggalkan persekutuan-persekutuan keagamaan.Dari uraian diatas

muncul pertanyaan, bagaimanakah kecendrungan pemahaman jemaat

GJKR tentang sikap dalam mengahapi penderitaan berdasaka I Petrus

4:7-11?

Keempat, Menurut Bactiar, Perilaku sosial adalah suasanan saling

ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan

manusia. Sebagai bukti bahwa manusia memenuhi kebutuhan hidup

sebagai diri pribadi tidak dapat melakukanya sendiri melainkan

memerlukan bantuan dari orang lain14. Mengenai prilaku sosial, Firman

Tuhan juga mengajarkan orang percaya harus memiliki perilaku sosial

yang benar sesuai Firman Tuhan. Dalam I Petrus 4: 8-10, firman Tuhan

berkata bahwa sebagai orang percaya harus mengenakan kasih dalam

hidup baik bermasyarakat, keluarga dan bergereja, dengan memberikan

tumpangan kepada orang lain dan melayani satu sama lainya. Artinya

bahwa orang percaya harus memiliki perilaku sosial yang tinggi kepada

sesama. Namun kenyataannya tidaklah demikian, ada banyak orang

percaya dengan perilaku sosial yang rendah, misalnya enggan membantu

orang yang membutuhkan pertolongan, kurang menghormati orang lain,

kurang toleran kepada orang lain, memandang rendah orang yang

berkekuragan, sombong, tinggi hati dan lain sebagainya. Fenomena ini

juga ditemuka dikalanga jemaat GJKR. Setelah sharing dengan gembala

14
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parsons,(Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010), 35
13

di gereja GJKR, bagaimana jemaat merespon dan menghargai

gembalanya. Rupanya beberapa jemaat memiliki perilaku sosial yang

kurang, seperti kurang menghargai gembalanya: ketika gembala datang

berkunjung kerumah jemaat, jemaat kurang menyambut dengan baik,

sombong, angkuh, merasa diri paling rohani dan lain sebagainya. Akan

tetapi ada beberapa jemaat yang sangat respek dengan gembalanya.

Mereka sangat menghormati dan menyegani gembalanya.. Dari Uraian

diatas muncul pertanyaan, bagaimanakah kecendrung perilaku sosial

jemaat di GJKR?

Kelima, kurangnya pemahaman jemaat tentang sikap dalam

menghadapi penderitaan berdasarkan I Petrus 4:7-11 berdampak pada

perilaku sosial jemaat. Jemaat yang kerap bersungut-sungut, putus asa,

kecewa dalam menghadapi penderitaan, kemungkinan bersar sangat

berdampak pada perilaku sosial jemaat yag rendah. Dari uraian diatas

muncul pertanyaan, apakah ada pengaruh yang signifikan antara

pemahaman jemaat tentang sikap dalam menghadapi penderitaan

berdasarkan I Petrus 4:7-11 terhadap perilaku sosial jemaat di GJKR?

Pembatasan Masalah Penelitian

Setelah peneliti mengidentifikasi masalah, maka peneliti akan

membatasi masalah. “Pembatasan masalah adalah suatu batas dari

lingkup penelitian yang hanya tercantum dalam judul penelitian.

Pembatasan ini sangat diperlukan agar peneliti mengetahui dengan pasti

sebatas mana ia harus melakukan penelitian.” 8 Dari identifikasi masalah


14

yang sudah dilakukan, selanjutnya menentukan pembatasan masalah

yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian itu jatuh

pada identifikasi nomor 3, 4 dan 5. Dari latar belakang masalah yang

telah diuraikan diatas, maka masalah yang diidentifikasikan dalam

penelitian ini sebagai berikut:

Pertama, Dalam I Petrus 4:7-11, Rasul Petrus secara khusus

mengingatkan kepada orang percaya, bagaimana sikap orang percaya

dalam menghadapi penderitaan. Dalam ayat 7, dikatakan bahwa

kesudahan segala sesuatu sudah dekat, karena itu kuasailah dirimu dan

jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa. Artinya bahwa sikap orang

percaya dalam menghapi penderitaan yaitu dengan mengusai diri dan

tetap tenang supaya dapat berdoa. Selain itu, harus mengenakan kasih

kepada orang lain dengan memberikan tumpangan kepada orang lain

dengan tidak bersungut-sungut, melayani seorang akan yang lain dengan

karunia-karunia yang Tuha berikan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi

dilapangan tidaklah demikian. Banyak orang percaya ketika mengalami

penderitaan tidak bisa menguasai diri, tidak bisa tenang, bahkan tidak

bisa untuk berdoa. Melainkan mengeluh atas setiap penderitaan yang

dialaminya, putus asa, kecewa, meratapi diri, bahkan ada yang lari dari

imanya. Fenomena ini juga ditemukan dikalangan jemaat GJKR, dari

data yang peneliti himpun dengan sharing kepada beberapa jemaat

mengeani penderitaan, beberapa jemaat tidak bisa menguasai diri ketika

mengalami penderitaan, tidak bisa tenang dan tidak bisa berdoa oleh
15

karena penderitan dan persoalan hidup yang dialami. Salah satu contoh:

ketika salah satu keluarga dari jemaat meninggal dunia, mereka seperti

kehilangan pengharapan. Mereka menyalahkan Tuhan atas kematian

keluarga yang dikasihinya. Hal tersebut membuat imanya jadi lemah dan

meninggalkan persekutuan-persekutuan keagamaan.Dari uraian diatas

muncul pertanyaan, bagaimanakah kecendrungan pemahaman jemaat

GJKR tentang sikap dalam mengahapi penderitaan berdasaka I Petrus

4:7-11?

Kedua, Menurut Bactiar, Perilaku sosial adalah suasanan saling

ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan

manusia. Sebagai bukti bahwa manusia memenuhi kebutuhan hidup

sebagai diri pribadi tidak dapat melakukanya sendiri melainkan

memerlukan bantuan dari orang lain15. Mengenai prilaku sosial, Firman

Tuhan juga mengajarkan orang percaya harus memiliki perilaku sosial

yang benar sesuai Firman Tuhan. Dalam I Petrus 4: 8-10, firman Tuhan

berkata bahwa sebagai orang percaya harus mengenakan kasih dalam

hidup baik bermasyarakat, keluarga dan bergereja, dengan memberikan

tumpangan kepada orang lain dan melayani satu sama lainya. Artinya

bahwa orang percaya harus memiliki perilaku sosial yang tinggi kepada

sesama. Namun kenyataannya tidaklah demikian, ada banyak orang

percaya dengan perilaku sosial yang rendah, misalnya enggan membantu

orang yang membutuhkan pertolongan, kurang menghormati orang lain,

Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parsons,


15

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 35


16

kurang toleran kepada orang lain, memandang rendah orang yang

berkekuragan, sombong, tinggi hati dan lain sebagainya. Fenomena ini

juga ditemuka dikalanga jemaat GJKR. Setelah sharing dengan gembala

di gereja GJKR, bagaimana jemaat merespon dan menghargai

gembalanya. Rupanya beberapa jemaat memiliki perilaku sosial yang

kurang, seperti kurang menghargai gembalanya: ketika gembala datang

berkunjung kerumah jemaat, jemaat kurang menyambut dengan baik,

sombong, angkuh, merasa diri paling rohani dan lain sebagainya. Akan

tetapi ada beberapa jemaat yang sangat respek dengan gembalanya.

Mereka sangat menghormati dan menyegani gembalanya.. Dari Uraian

diatas muncul pertanyaan, bagaimanakah kecendrung perilaku sosial

jemaat di GJKR?

Ketiga, kurangnya pemahaman jemaat tentang sikap dalam

menghadapi penderitaan berdasarkan I Petrus 4:7-11 berdampak pada

perilaku sosial jemaat. Jemaat yang kerap bersungut-sungut, putus asa,

kecewa dalam menghadapi penderitaan, kemungkinan bersar sangat

berdampak pada perilaku sosial jemaat yag rendah. Dari uraian diatas

muncul pertanyaan, apakah ada pengaruh yang signifikan antara

pemahaman jemaat tentang sikap dalam menghadapi penderitaan

berdasarkan I Petrus 4:7-11 terhadap perilaku sosial jemaat di GJKR?

Rumusan Masalah

Setelah peneliti membatasi masalah, maka peneliti akan

merumuskan masalah. ”Perumusan masalah merupakan tindak lanjut dari


17

penemuan suatu masalah. Permasalahan yang ingin dicari jawabannya

harus sungguh-sungguh tegas dan jelas. Perumusan masalah merupakan

usaha untuk menyatakan secara tertulis pertanyaan-pertanyaan yang

ingin dicari jawabannya melalui penelitian.” 16

Dari batasan masalah yang dipilih oleh peneliti, maka ditetapkan

rumusan masalah sebagai berikut:

Pertama, bagaimanakah pemahaman jemaat GJKR tentang sikap

dalam menghadapi penderitaan berdasaka I Petrus 4:7-11?

Kedua, bagaimanakah perilaku sosial jemaat di GJKR?

Ketiga, bagaimanakah pengaruh yang signifikan antara

pemahaman jemaat tentang sikap dalam menghadapi penderitaan

berdasarkan I Petrus 4:7-11 terhadap perilaku sosial jemaat di GJKR?

Tujuan Penelitian

Peneliti ingin mengetahui pemahaman jemaat GJKR tentang sikap

dalam mengahapi penderitaan berdasaka I Petrus 4:7-11 da juga perilaku

sosial jemaat di GJKR. Secara empiric penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kecenderungan kualitas kerohanian jemaat dan aspek-aspek

yang membentuknya. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh informasi tentang:

Pertama, untuk mengetahui pemahaman jemaat GJKR tentang

sikap dalam mengahapi penderitaan berdasaka I Petrus 4:7-11.

16 8
Soenoe Roharjo, Metodologi Penelitian Lanjutan (Medan: diktat),
13.
.
18

Kedua, untuk mengetahui perilaku sosial jemaat di GJKR.

Ketiga, untuk mengetahui pengaruh pemahaman jemaat tentang

sikap dalam menghadapi penderitaan berdasarkan I Petrus 4:7-11

terhadap perilaku sosial jemaat di GJKR.

Kepentingan Penelitian

Skripsi ini di tulis karena terdapat masalah atau persoalan yang

sangat penting, di cari solusinya melalui penelitian digereja sehingga

solusinya dapat ditemukan. Apabila dalam penelitian ini peneliti dapat

mencapai hasil dan tujuan yang sesuai dengan penelitian, serta rumusan

masalah terjawab secara ilmiah, maka yang menjadi harapan peneliti,

tulisan ini nantinya berguna bagi:

Kepentingan Teoritis

Pertama, tulisan ini dapat menjadi kontribusi pengajaran Akitabiah

tentang “penderitaan orang percaya”. Jika dilihat dari sudut pandang biblis

dan teologis, orang percaya akan disarkan bahwa penderitaan merupakan

suatu anugrah dari Allah yang Mahabaik.

Kedua, Tulisan ini memberi kontribusi bagi ilmu pengetahuan

kususnya dalam bidang teologi. Tulisan ini akan sangat mendukung dalam

mata kuliah seperti eklesiologi, soteriology, eskatologi. Jika berbicara

tentang topik penderitaan orang percaya, penelitian ini dapat dijadikan

sebagai salah satu rujukan.

Kepentingan Praktis
19

Pertama, bagi peneliti akan menerapkan sikap yang benar dalam

menghadapi penderitaan berdasarkan I Petrus 4:7-11.

Kedua, penelitian ini dapat menjadi materi dalam pembinaan

kerohanian jemaat, terkusus dalam mengahadapi penderitaan, sehingga

jemaat memiliki pemahaman yang benar tentang penderitaan orang

kristen dan menyikapinya dengan benar sesuai firman Tuhan.

Ketiga, penelitian ini diharapkan berguna bagi Hamba Tuhan atau

gereja. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan dalam penggembalaan

untuk menggembalakan jemaat dalam kerohanian yang bertumbuh.

Keempat, penelitian ini dapat menjadi bahan penolong bagi orang-

orang yang sedang melakukan pendampingan pastoral kedukaan.

Kelima,bagi setiap pembaca, penelitian ini memberi inspirasi dan

evaluasi diri, apakah sudah memiliki sikap yang benar dalam menghadapi

penderitaan berdasarkan I Petrus 4:7-11.

Anda mungkin juga menyukai