Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SHOLAT JUM’AT DAN SHOLAT MUSAFIR

MATA KULIAH: TAFSIR AHKAM

Dosen Pengampu : Irwan, M.Ag

Disusun Oleh :

Adelia Vega (0206212075)

Dewi Alesia Fitri (0206212074)

Ibnu Juda Sembiring (0206212043)

Muhammad Saddam Lesmana (0206212078)

Sabila Amelia Mayesti (0206212049)

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan Hidayah-Nya dan tidak lupa pula sholawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Besar
kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman
yang terang benderang seperti saat ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Tafsir
Ahkam serta teman teman yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Sholat Jum’at dan Sholat Musafir ”.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga kami
senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik pembaca demi penyempurnaan makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, 22 Mei 2022

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….……..iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1

A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………….……1


B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...…….1
C. Tujuan…………………………………………………………………………...……1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….….2

A. Sholat Jum’at…………………………………………………………………..……..2
B. Sholat Musafir………………………………………………………..………………5
1. Definisi Safar…………………………………………………..……………..5
2. Tata Cara Sholat Bagi Seorang Musafir……………………………………6

DAFTAR PUSTAKA……………………….………………………………………………..8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah memberikan perhatian yang besar kepada shalat Jumat. Pada kesempatan itu
seluruh kaum muslimin berkumpul di mesjid agung untuk mendengarkan khutbah seorang
khatib yang akan memberi nasehat kepada mereka, dan mengajak mereka untuk ingat serta taat
kepada Allah, dan mengikuti sunah Nabi-Nya Sallallahu Alaihi wa Sallam.

Bagi seorang musafir, kewajiban sholatnya tidaklah gugur. Namun, apabila perjalanan
yang dilakukan terbilang jauh dan kemungkinan tak ada kesempatan untuk melaksanakan
sholat, maka ia diberikan ruqsah atau keringanan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum seseorang yang meninggalkan sholat Jum’at?

2. Bagaimana cara sholat musafir?

C. Tujuan

1. Mengetahui hukum seseorang yang meninggalkan shalat Jum’at.

2. Mengetahui cara sholat musafir.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sholat Jum’at

Shalat Jum’at pertama kali dikerjakan oleh Rasullah SAW di Madinah, pada waktu
beliau hijrah dari mekah ke Madinah: yaitu ketika tiba di Qubah. Shalat Jum’at yang pertama
dilakukan di suatu kampung ‘Amru bin Auf’. Rasulullah SAW tiba di Qubah pada hari Senin
dan berdiam di sini hingga hari Kamis, selama waktu itu beliau membuat/menegakkan Mesjid
buat Sembahyang kaum Muslimin di Qubah.1

Hukum menghadiri shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim, kecuali empat orang
: Budak, Wanita, Anak-anak, dan Orang Sakit, Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam
Hadits:

‫صبِي أ َ ْو َم ِريض‬
َ ‫عبْد َم ْملُوك أ َ ْو ا ْم َرأَة أ َ ْو‬
َ ‫علَى كُ ِل ُم ْس ِلم َإّل أ َ ْربَعَة‬ ِ ‫ْال ُج ُمعَةُ َحق َو‬
َ ‫اجب‬

Artinya: Shalat jum’at adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak
diwajibkan ) atas empat orang yaitu, Budak, Wanita, Anak kecil dan Orang sakit. ”(HR. Abu
Daud) .

Shalat Jum’at shalat fardhu dua raka’at pada hari Jum’at dan di kerjakan pada waktu
Zhuhur sesudah dua khutbah. Orang yang telah mengerjakan shalat Jum’at, tidak diwajibkan
mengerjakan shalat Zhuhur lagi. Shalat Jum’at Fardhu’ ain bagi setiap muslim yang Mukallaf,
laki laki, merdeka, sehat dan bukan Musafir. 2

Para Ulama sepakat bahwa shalat Jum’at adalah fardu ain atas setiap orang Mukallaf,
mereka menyalahkan orang yang berpendapat bahwa shalat Jum’at adalah fardu kifayah. Shalat
Jum’at juga tidak di wajibkan bagi orang buta jika tidak ada orang yang menuntunnya.

1 Moh Rifa’i , Ilmu Fiqih Islam lengkap (Semarang : Karya Toha Putra ), h. 77.
2
Moh Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 1978), h. 175 .

2
Demikian menurut kesepakatan empat Imam Mazhab jika ia mendapati orang yang
menuntunnya maka ia wajib shalat Jum’at. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, Hambali.
sementara itu Hanafi berpendapat tidak di wajibkan.

Orang yang berada di luar kota, di suatu tempat yang tidak diwajibkan shalat jum’at
baginya, tetapi ia mendengar azan, maka ia wajib menghadirinya, demikian pendapat Maliki,
Syafi’i dan Hambali, sementara pendapat Imam Hanafi orang yang berdiam di luar kota, tidak
wajib shalat Jum’at meskipun dia mendengar azan.3

Ada beberapa keadaan yang menjadikan seseorang yang mestinya berkewajiban


menunaikan shalat Jum’at, tetapi di perbolehkan untuk tidak menghadiri Jum’atan ( shalat
Jum’at ), yaitu :

Hujan yang lebat, angin kencang, dan banjir yang menyebabkan orang sulit keluar
rumah menuju mesjid.

Dan hal-hal lain yang dapat menjadi uzur (halangan) seseorang untuk tidak menunaikan
shalat Jum’at di antaranya :

1. Sedang dalam perjalanan (Safar).


2. Sakit yang memberatkan untuk pergi ke mesjid.
3. Menahan keluarnya sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur).
4. Menghawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam).
5. Sedang di tugasi untuk menjaga pengoperasian alat-alat berharga.

Namun mereka yang uzur sehingga di bolehkan tidak menghadiri shalat Jum’at,
sebagaimana di sebutkan di atas tetap berkewajiban melaksanakan shalat zuhur 4 rakaat, karena
uzur yang di maksud adalah halangan yang membolehkan mereka tidak harus datang ke mesjid
untuk Jum’atan. Tetapi Uzur itu bukanlah membatalkan kewajiban shalat zuhur yang bisa
dikerjakan di rumah atau di tempat kerja. 4

3
Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Mazhab, (Semarang: Asy-Syfa, 1996), h. 91.
4
Ahmad Zahro, Fiqih Ibadah dan Aqidah , (Malang: Qaf Media Kreativa, t.th), h. 19-22.

3
Hadits Nabi Muhammad Saw:.

‫من ترك الجمعة ثالث مرات تهاونا بها طبع هللا على قلبه‬

Artinya : Barang siapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali karena menganggapnya enteng,
niscaya Allah akan menutup mata hatinya. (HR. Abu Daud).

Jelaslah menurut mereka salah karena shalat Jum’at hukumnya wajib atas setiap
Mukallaf, dan boleh meninggalkannya apabila terdapat uzur yang di bolehkan.

Jika seseorang yang sedang sakit namun tidak berbahaya untuk pergi ke mesjid, baik
dengan menunggang hewan, di gendong atau seseorang bersuka rela untuk memboncengnya,
menggendongnya, ataupun menuntunnya jika ia seseorang yang buta maka menurut hambali,
Maliki dan Syafi’i orang itu terkena kewajiban shalat Jum’at, mereka juga menambahkan
seperti halnya pendapat Syafi’i boleh meningglkan shalat Jum’at ataupun berjamaah bagi orang
yang terkena hukum Qishash, jika masih diharapkan maafnya orang yang terkena cambukan
atas tuduhan palsu, jika masih di harapkan maafnya juga, karena itu adalah hak manusia,
adapun siapa yang terkena hukuman karena hak Allah SWT, seperti hukuman berzina, minum
minuman keras, dan memotong tangan pencuri maka tidak ada alasan untuk meningglkan
shalat Jum’a ataupun shalat berjamaah. 5

Selain itu hal-hal yang merupakan uzur jama’ah, juga dipandang sebagai uzur dalam
melaksanakan shalat Jum’at. Orang tua bangka dan orang lumpuh, tetap wajib melakukan
shalat Jum’at jika mereka mendapatkan pengangkutan, walaupun dengan menyewa ataupun
meminjam. begitu juga dengan orang buta juga tetap wajib melakukan shalat Jum’at bila ia
dapat berjalan sendiri tanpa kesulitan atau ada orang yang menuntunnya, sekalipun dengan
upah. Dari alasan-alasan di atas tidak ada yang membenarkan di bolehkannya meninggalkan
kewajiban shalat Jum’at karena demi menjaga keamanan kendaraan sekalipun menjaganya

5 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010 ), h. 303-306.

4
demi berbuat kebaikan kepada manusia Muslim lain yang sedang shalat, tetap alasan itu tidak
di benarkan.

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda, “ Allah saat ini telah menitahkan kalian untuk
melaksanakan shalat Jum’at mulai tahun ini, bulan ini dan saat ini juga hingga hari perhitungan,
(jika ada) orang yang meninggalkannya tanpa adanya halangan baik imamnya, (dalam shalat
Jum’at) adil atau tidak, Aku akan berdoa kepada Allah agar menjauhkannya dari rasa aman
tentram serta agar Allah tidak memberinya berkah, dan akan dibangkitkan tanpa catatan Shalat,
Haji perbuatan baik, atau Sedekah”

B. Sholat Musafir

1. Definisi Safar

Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan Al-Arab menjelaskan bahwa safar itu berarti lawan
dari kata hadhar (hadir), maka bisa disimpulkan bahwa lawan dari kata hadir adalah tidak hadir,
tidak hadir maksudnya adalah tidak ada disuatu tempat, dan besar kemungkin karena dia pergi
ketempat yang lain, setelah dia pergi pada waktunya dia akan kembali, setelah dia kembali dari
perginya barulah dia hadir.

Secara Istilah yang biasa digunakan oleh ulama fiqih safar berarti: “Keluar dengan
masud melakukan perjalanan yang membolehkan untuk meng-qashar shalat secara syariat”
Jarak perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar itu menurut keterangan Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili adalah sejauh 89 km, atau lebih tepatnya 88,704 km lebih tepatnya, dan
ini diayakini sebagai pendapat mayoritas ulama.

Jika memakai standar ini maka belum dikatakan safar atau musafir jika jarak perjalanan
yang ditempuh kurang dari 89 km.

‫ص ٰلوةِ ۖ ا ِْن ِخ ْفت ُ ْم‬ ُ ‫علَ ْيكُ ْم ُجنَاح ا َ ْن ت َ ْق‬


َ ‫ص ُر ْوا ِمنَ ال‬ َ ‫ْس‬ َ ‫ض فَلَي‬ ِ ‫ض َر ْبت ُ ْم فِى ْاّلَ ْر‬ َ ‫َواِذَا‬
َ ‫ا َ ْن يَ ْفتِنَكُ ُم الَ ِذيْنَ َكف َُر ْوا ا َِن ْال ٰك ِف ِريْنَ كَانُ ْوا لَكُ ْم‬
‫عد ًُّوا ُّمبِيْنا‬

5
Artinya : Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar salat,
jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata
bagimu. (Q.S. An-nisa:101)

2. Tata cara sholat bagi seorang musafir

Bagi seorang musafir, kewajiban sholatnya tidaklah gugur. Namun, apabila perjalanan
yang dilakukan terbilang jauh dan kemungkinan tak ada kesempatan untuk melaksanakan
sholat, maka ia diberikan ruqsah atau keringanan.

Beberapa cara sholat yang dapat dilakukan seorang musafir ketika melakukan
perjalanan jauh:

1. Meringkas Sholat (Qoshor)

Meringkas sholat (qoshor) dimana sholat empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat
ketika akan melakukan perjalanan jauh.

Menurut kesepakatan ulama, sholat yang boleh diringkas (qoshor) adalah sholat Zuhur,
Ashar, dan Isya. Imam Ibnul Mundzir berkata, “ Para ulama telah sepakat bahwa sholat
Maghrib dan Subuh tidak boleh diqoshor.” (al-Ijma’ hal. 9)

2. Menggabung Dua Sholat (Jamak)

Sholat jamak merupakan sholat yang dilakukan dengan mengumpulkan atau


menggabungkan dua sholat wajib ke dalam satu waktu yang dikhususkan bagi mereka yang
sedang dalam perjalanan atau sedang bepergian.

Ibnu Abbas ra berkata, “ Apabila dalam perjalanan, Rasulullah SAW menjamak sholat
Zuhur dengan Ashar serta Maghrib dengan Isya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6
Imam Asy Syafi’i berkata, “ Boleh menjamak sholat Zuhur dan Ashar di salah satu
waktu keduanya sesuai kehendaknya. Demikian pula sholat Maghrib dan Isya, baik safarnya
jauh atau dekat.” (Syarh Shahih Muslim 6/331)

Sholat yang boleh dijama adalah sholat Zuhur dengan Ashar serta sholat Maghrib
dengan Isya. Adapun sholat subuh tidak boleh dijamak dengan sholat yang sebelumnya atau
sesudahnya. Demikian pula tidak boleh menjamak sholat Ashar dengan Maghrib.

3. Sholat di Atas Kendaraan

Pada asalnya, sholat wajib tidak boleh ditunaikan di atas kendaraan. Hendaknya
dikerjakan dengan turun dari kendaraan sebagaimana perbuatan Nabi SAW terkecuali dalam
keadaan terpaksa seperti khawatir akan habisnya waktu sholat.

Jabir bin ‘Abdillah ra mengatakan, “ Adalah Nabi SAW sholat (sunnah) di atas
kendaraannya ke arah timur. Apabila beliau hendak sholat wajib maka beliau turun dari
kendaraan kemudian menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)

Adapun tata cara sholat di atas kendaraan, baik itu pesawat, bus, kereta, atau kapal laut,
adalah sebagai berikut:

Hendaklah sholat dengan berdiri menghadap kiblat apabila mampu. Syaikh Al Albani
rahimahullah mengatakan, “ Hukum sholat di atas pesawat itu seperti sholat di atas perahu.
Hendaklah sholat dengan berdiri apabila mampu. Jika tidak, maka sholatlah dengan duduk dan
berisyarat ketika ruku dan sujud.” (Ashlu Shifat Shalat Nabi 1/102).

7
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Mazhab, (Semarang: Asy-Syfa, 1996), h. 91.

Ahmad Zahro, Fiqih Ibadah dan Aqidah , (Malang: Qaf Media Kreativa, t.th), h. 19-22.

Moh Rifa’i , Ilmu Fiqih Islam lengkap (Semarang : Karya Toha Putra ), h. 77.

Moh Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 1978), h. 175 .

Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010 ), h. 303-306.

Anda mungkin juga menyukai