Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH GERAKAN PEMBAHARUAN DI DUNIA ISLAM

A.         Hakikat Makna Pembaruan Islam


Dalam kosakata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian muncul
berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu
modernisme, reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme.
Di samping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau
pembaruan, yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah
sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang
berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya
dalam komunitas kaum muslimin.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut
dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah
dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip
Islam supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau
interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta
semangat jaman. Terkait dengan ini, maka dapat dipahami bahwa pembaruan merupakan
aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan sosial.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsuddin mengatakan bahwa pembaruan Islam
merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam
kehidupan. Sebagai salah satu pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti
sebagai upaya menemukan substansi dan penanggalan lambang-lambang, sedangkan
kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi tersebut dengan pelataran
sosial-budaya tertentu dan penggunaan lambang-lambang tersebut untuk membungkus kembali
substansi tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut
sebagai proses substansi (pemaknaan secara hakiki etika dan moralitas) Islam ke dalam proses
kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang) budaya asal
(baca: Arab), dan pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (lokal). Sebagai proses
substansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan substantivistik, bukan formalistik terhadap
Islam.
B.          Landasan Pembaharuan Islam
Sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini bahwa pembaruan Islam merupakan suatu
keharusan bagi upaya aktualisasi dan kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka
persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan)
atau pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam (tajdid). Di antara landasan dasar yang
dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif
dan landasan historis.
1.    Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman
sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya
berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam). Selanjutnya masih menurut Achmad Jainuri bahwa
landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu :
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme Islam). Sebagai
agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh
alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan,
mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah
(hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta
habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada ketiga
wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akherat,
karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara
bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap
waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam
tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok
tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme
dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar
yang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang
sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh
karenanya, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan
perkembangan sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan
semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak universalisme Islam
meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan
manusia yang selalu berubah. Islam yang universal shalih li kulli zaman wa makan menuntut
aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain
dari upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam yang
rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yaitu kecondongan
kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan
sangat tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong
kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan
mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan
ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau
finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat
Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi
umat manusia; yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan
diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling
sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang
diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup segala-
galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama
juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’),
yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah
yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi penutup
hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk
Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi ke-Nabi-an
Muhammad selesai, secara fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara
dinamika ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah pewaris para
nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul para mujaddid yang
secara fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai
pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk
agama Wahyu dari Nabi Adam hingga Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari
Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara institusional dimanifestasikan
dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan tajdid.
2.    Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari
teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan
pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi
keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang
kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah
apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah
menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah
sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-
kekuatan pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat
melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang menyatakan
bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan
memperbarui (pema-haman) agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para pakar
terdapat perbedaan interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini
berkaitan dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan tanggal
kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya
menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran,
maka sulit dipahami karena sebagian mereka yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah
Islam telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan
pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar
dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang
dimaksud. Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad),
yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks hadis Nabi.
3.    Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih
terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan dipatuhi
tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya,
Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun
membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai
pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan
lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam
periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia
yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu
pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun
dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah
bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian dikenal sebagai
kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak kejayaannya,
sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami
kemunduran. Masa demi masa kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup
digantikan dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang
terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana
dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke abad XIV M)
Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya (melakukan pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga sasaran utama
yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah
kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran
Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya. Dalam perkembangan sejarahnya
bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan
kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai
dengan konteks waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu
sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan
pembaharuan pada masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil bentuknya
terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan modern terutama dimulai pada
saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian
menginsafkan umat Islam tentang rendahnya kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta
memunculkan kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua batasan
dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi
sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan
pada abad tersebut pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok
Ibnu Taimiyah yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut
mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus melakukan koreksi sufisme
yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-
modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad
Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah, juga
menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan
wahabiah pada abad XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih
radikal dan tidak mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap amal
ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah Waliyullah
di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh
Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya
dengan pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik,
di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban
pajak yang ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan
sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah kekaisaran yang bersifat
internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad
XIX dan XX M). Sebagai misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh
Muhammad Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari
berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua,
pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin Islam sejalan
dengan semangat pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh
dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik yang sama
dengan era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh hanya
sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran yang
dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik pra-
modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang
digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah
Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan
pengalaman Qur’an yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam
lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan teologis dan
normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua landasan tersebut (teologis dan
normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat
sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
C.         Perkembangan Ajaran Islam Pada Masa Pembaharuan
Salah satu pelopor pembaharuan dalam dunia islam barat adalah suatu aliran yang
bernama Wahabiyah sangat berpengaruh di Abad KE-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul
Wahab (1703-1787) yang berasal dari Nejed, Saudi Arabia. Pemikiranya adalah upaya
memperbaiki keadan umat Islam dan merupakan reaksi dari paham tauhid yang terdapat
dikalangan Umat Islam saat itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah tercampur dengan
ajaran-ajaran lain sejak abad ke-13.
Adapun aliran yang menyeleweng, pada saat itu orang-orang yang sering meminta
pertolongan atau bantuan kepada makam-makam Syeh yang telah meninggal. Adapula yang
meminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah sehari hari, meminta anak, jodoh bahkan ada
yang meminta kekayaan. Paham ini menurut paham wahabiyah termasuk syirik karena
permohonan dan doa tidak lagi di panjatkan kepada Allah.
Masalah Tauhid merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatianya pada persoalan ini.
Adapun pokok-pokok pemikiranya adalah:
1. Yang harus disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang menyembah
selain Allah dinyatakan Musyrik.
2. Kebanyakan orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan kepada
Syeh, Wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berprilaku demikian juga dikatakan
musyrik.
3. Menyebut nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa
juga dikatakan syirik.
4. Meminta syafaat selain kepada Allah juga syirik.
5. Bernazar kepada selain Allah juga syirik.
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas
merupakan kekufuran.
7. Tidak mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan
kekufuran.
8. Menafsirkan Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga
termasuk kekufuran.
Untuk mnegembalikan kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam yang banyak
dikunjungi dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain yang membawa kepada
paham syirik, mereka berusaha menghapuskan paham ini. Pemikiran Muhammad Abdul Wahab
yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19 adalah:
 Hanya Al qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran
Islam. Dan pendapat ulama’ bukanlah sumber, menurut paham wahabiyah.
 Taklid kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
 Pintu ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
Muhammd Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan
pemikiranya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibnu Su’ud dan putranya Abdul Aziz.
Paham-pahamnya tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga ditahun 1773 M
mereka mendapat mayoritas di Riyadh. Pada tahun 1787 Muhammad Abdul Wahab meninggal,
namun ajaran-ajaranya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama
Wahabiyah.
D.           Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam dan Pemikiranya
1. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani
atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja lahir pada 22 Januari 1263/10 Rabiul
Awwal 661 H dan wafat wafat pada 1328/20 Dzulhijjah 728 H, adalah seorang pemikir dan
ulama Islam dari Harran, Turki.Ia berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya bernama
Shihabuddin Abdul Halimbin Taimiyah seorang ahli hadits, ulama, syaikh, hakim, dan
khatib terkenal di Damascus. Demikianjuga kakeknya Syekh Majuddin Abul Birkan Abdussalam
bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani, adalah ulama terkemukayang menguasai fiqih, hadits,
tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz). 
Mereka semua adalah pemuka dalam mazhab Hambali.Ibnu Taimiyah belajar Al-Qur’an
dan hadits dari ayahnya, kemudian sekolah di Damascus. Pada usia 10 tahun ia telah
mempelajari kitab-kitab hadits utama, hafal Al-Qur’an, belajar ilmu hitung dan sebagainya.
Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam dan filsafat yang menjadi keahliannya. Karena
penguasaannya di bidang kalam, filsafat, hadits, Al-Qur’an, tafsir dan fikih, pada usia 30 tahun ia
sudah menjadi ulama besar pada zamannya. Ibnu Taimiyah kuat memegang ajaran kaum salaf.Ia
juga seorang penulis yang tekun dan produktif. 
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu
Rasulullah Muhammad SAW danSahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal
langsung para Sahabat Nabi, danTabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para
Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.Ibnu Taimiyah lahir di zaman
ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah.
Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya
ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak. 
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia
segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan
ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut
tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu
ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji
Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani
Al-Kabir. 
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar
dari Aleppo, Suriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang
kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara
menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu
menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa
sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama
tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab
belum pernah ada seorang bocah sepertinya". 
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai
kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan
seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi. 
Ia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah
ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah
berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah
yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai
dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid
atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga
terpenuhi cita-citaku.” 
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu
diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia
dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-
Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia
telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan. 
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam
menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits)
baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus
Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki
kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para
mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari
para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat
berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul
Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah
Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam. 
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis. Empiris dalam arti
bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran (al-
haqîqah fi al-a’yân la fi al-adhhân), dan rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan antara
akal dengan naql (Al-Qur’an dan hadits) yang sahih. Ia menolak logika sebagai metode berpikir
deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji materi keislaman secara hakiki. Materi
keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen dan pengamatan langsung (Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 169). Adapun beberapa upaya pembaharuannya antara lain
sebagai berikut. 
Pertama, sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham tauhid.la
menentang segala bentuk bid’ah, takhayul dan khurafat. Menurutnya, aqidah tauhid yang benar
adalah aqidah salaf, aqidah yang bersumber dari teks Al-Qur’an dan hadits, bukan diambil dari
dalil-dalil rasional dan filosofis. Dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, ia mengemukakan bahwa
sifat-sifat Allah secara jelas termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits. Pendapat yang membatasi
sifat Allah pada sifat dua puluh dan pendapat yang menafikan sifat-sifat Allah, bertentangan
dengan aqidah salaf. Walaupun ia menetapkan adanya sifat-sifat Allah, ia menolak
mempersamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-
sifat Allah tanpa tamtsîl (menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk)
dan tanzih (menafikan sifat-sifat Tuhan).Ia juga gigih menentang penggunaan ta’wîl dalam
menjelaskan sifat-sifat Allah. Ta’wîl kata “yad” (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat
diterimanya. Ia tetap mempertahankan arti “yad” dengan tangan. Demikian pula dengan ayat-
ayat mutasyâbihât lainnya. Inilah yang ia sebut al-aqîdah al-wâsithiyah. 
Kedua,ia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-ajaran Al-
Qur’an dan hadits, serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran
agama. Menurutnya, metode penafsiran Al-Qur’an yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an.Jika tidak didapati dalam al-Qur’an, baru dicari dalam hadits.Jika penjelasan ayat
tidak dijumpai dalam hadits, dicari dari perkataan shahabat.Kalau juga tidak didapati, maka
dicari dalam perkataan tabi’în.Ayat Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut bahasa Al-Qur’an dan
hadits.Di sini tampak bahwa Ibnu Taimiyah adalah pembaharu yang mempergunakan metode
berpikir kaum salaf. 
Ketiga, karena untuk kembali pada Al-Qur’an dan hadits diperlukan ijtihad, maka ia
menentang taklid. la menolak sikap umat Islam yang mengekor pada para mujtahid yang telah
mendahului mereka, sementara pokok persoalan sudah berubah. Taqlîd adalah sikap yang
membuat umat Islam mundur, sebab taqlîd berarti menutup pintu ijtihad, membuat otak menjadi
beku.Pahadal sudah sangat lama umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad
dinyatakan tertutup.Menurutnya, ijtihad terbuka sepanjang masa, karena kondisi manusia selalu
berubah.Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum yang sumbernya dari
wahyu.Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan masyarakatnya sesuai dengan petunjuk
wahyu. 
Keempat, di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam. Menurut Ibnu
Taimiyah, pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat argumennya, itulah yang diambil.
Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan didasarkan atas kemauan nafsu.Semua pendapat
harus mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 
Kelima, dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu metode baru.Ia
tidak mendasarkan keputusan hukum berdasarkan pada ‘illat, tetapi berdasarkan hikmah.
Penerapan hukum Islam hendaknya mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan
hukum tersebut.Di sinilah sesungguhnya letak relevansi sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah
dalam merumuskan ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya. 
Ibnu Taimiyah wafat di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang
muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang
berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"[1] . Ia berada di penjara ini selama dua tahun
tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20
DzulHijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktuAshar di samping kuburan saudaranya Syaikh
Jamal Al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat
Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.

2. Muhammad Bin Abdul Wahhab


Kemunduran dunia Islam baik dalam lapangan keagamaan maupun politik dan peradaban
pasca kejatuhan Baghdad dan Andalusia  sungguh meluas dan berlangsung beberapa abad. Umat
Islam tertiodur lelap dalam kejumudan dan ekspansi negara-negara Barat, hingga lahirlah
gerakan pembaruan fase kedua.

Di antara gerakan pembaruan yang lahir pada fase kedua itu  (abad ke-18)  ialah gerakan
Wahabiah yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdil Wahhab  di Nejd, Saudi Arabia. Nejd
adalah daerah yang tergolong pedesaan dan menjadi sumber pasokan makanan bagi kota
Mekkah, Madinah, dan Tha’if. Corak kehidupan desa sangat mewarnai alam pikiran Wahhab
kecil. Kala itu Nejd sesudah era Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin berada dalam kekuasaan dinasti
Umayyah dan kemudian Abbassiah. Kehidupan umat kala itu berada dalam suasana perpecahan
aliran dan politik, sedangkan dalam kehidupan beragama juga mengalami penyimpangan dari
akidah Islam yang murni. Dari pedesaan Nejd itulah lahir pembaru Muhammad bin Abdil
Wahhab untuk pemurnian Islam.

Kehadiran gerakan pembaruan Muhammad Ibn Abdil Wahhab merupakan matarantai


dengan pembaruan sebelumnya yang dipelopori Ibn Taimiyah, juga dengan gerakan pembaruan
sesudahnya yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain, di
berbagai wilayah dunia muslim. Dalam rentang tahun 1258 usai kejatuhan Baghdad hingga tahun
1800 Masehi dunia Islam memang berada dalam kemunduran yang sangat serius dan meluas.
Memang sempat lahir Ibn Taimiyah yang membangkitkan tajdid atau pembaruan fase pertama
setelah era kemunduran itu berlangsung, tetapi setelah itu umat Islam benar-benar mengalami
kejatuhan sampai kemudian lahir gerakan pembaruan abad ke-18 Masehi.

Pada rentang abad yang panjang itu Islam dan umat Islam memang mundur. Apalagi
setelah kejatuhan tiga kerajaan besar yakni dinasti Ustmani di Turki, Safawi di Persia, dan
Mughal di India pada rentang tahun 1500-1800 Masehi, baik di Timur maupun di Barat umat
Islam benar-benar jatuh ke lembah kemunduran. Di Spanyol usai kekalahan di Andalusia umat
Islam bahkan dipaksa masuk Kristen. Sementara di jazirah Arabia, Turki, Persia, dan India Islam
mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik kemusyrikan,
bid‘ah, dan tahayul sebagai akibat dari semakin menjauhnya spirit Islam dari sumbernya yang
aseli serta pengaruh praktik-praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Praktik tasawuf yang
kian mekar juga ikut memperlemah kaum muslimin kala itu, sehingga Islam kehilangan spirit
ajarannya yang dinamis. Konflik Sunni dan Syi‘ah juga kian meluas di tengah terpuruknya dunia
Islam dalam lapangan politik dan pemerintahan. Smentara taklid kian meluas dan pintu ijtihad
ditutup rapat, sehingga umat Islam benar-benar terpuruk dalam kejumudan dan kemunduran.

Dalam kondisi Islam yang penuh pencemaran dan kemunduran itu lahir gerakan
pembaruan yang dipelopori Muhammad Ibn Abul Wahhab di jazirah Arab, yang tekananya lebih
pada pemurnian ajaran Islam dengan corak gerakan yang terbilang keras. Muhammad Ibn Abdil
Wahhab ingin mengembalikan Islam pada sumbernya yang aseli yaitu Al-Quran dan Hadis Nabi
yang autentik sebagaimana jejak Salaf al-Shalih yang dikumandangkan Ibn Taimiyah dan para
pengikut Mazhab Ibn Hanbal sebelumnya. Dalam kaitan ini Muhammad Ibn Abdil Wahhab
boleh dikatakan sebagai pelanjut pembaruan Ibn Taimiyah dengan tekanan pada pemurnian yang
lebih praktis bahkan keras. Artinya gerakan untuk mengembalikan umat pada ajaran Islam yang
murni bukan sekadar mengembalikan pada dua sumber ajarannya semata yaitu Al-Quran dan
Sunnah Nabi, sekaligus melakukan gerakan pemberantasan terhadap praktik-praktik syirk dan
bid’ah yang meluas kala itu secara langsung dan keras, seperti pemusnahan bangunan-bangunan
kuburan yang dikeramatkan.
Muhammad Ibn Abdil Wahhab lahir di daerah Uyainah di wilyah Nejd (Nejed) pada
tahun 1115 H/ 1707 M dan wafat tahun 1206 H / 1792 M di kota yang sama. Dia putra dari
seorang hakim dan ulama ternama di kota Uyainah, dan dalam usia dini sudah hafal Al-Quran
dan belajar agama dari ayahnya. Setelah belajar ilmu agama secara mendalam, Wahhab
menjadikan Ibn Taimiyah sebagai rujukan pemikirannya, terutama dalam bidang tauhid, serta
menyandarkan fikihnya pada Imam Ibn Hanbal. Dia berusaha keras untuk menghidupkan
kembali ajaran Salaf al-Shalih, terutama untuk “tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah”, memurnikan
akidah Islam. Di antara karya-karyanya ialah Kitab Tauhid, Kasyf Asy-Syubuhat, Kitab al-
Kabair, Kitab al-Iman, Mukhtashar Inshaf, Asy-Syahr al-Kabir, dan Mukhtashar Sirah Ibn
Hisyam (Ahmad Al-Usairy, 2007: 383).
Muhammad bin Abdil Wahhab sempat berkelana dan menimba ilmu ke Madinah,
Mekkah, Basrah, dan Persia, untuk kemudian kembali ke kota kelahirannya dengan semangat
kemarahan terhadap praktik-praktik Islam yang dinilainya penuh penyimpangan. Sejak
kepulangan dari pengelanaannya di sejumlah daerah di uar Nejd, Muhammad bin Abdil Wahhab
bergelora untuk menngembalikan umat Islam pada ajaran Islam yang murni atau aseli (Stoddard,
ibid.: 31), yakni Islam sebagaimana  dipraktikkan sejak zaman Nabi hingga generasi Sahabat dan
Tabi‘in pada abad ke-3 Hijriyah (Nasution, 2001.: 17). Pemuda dari Nejd ini benar-benar gundah
menyaksikan praktik-praktis Islam terutama di bidang akidah di daerah-daerah yang
dikunjunginya banyak dicenari oleh kemusyrikan, pemujaan terhadap para wali, dan
pengeramatan kuburan-kuburan.
Muhammad Ibn Abdil Wahhab juga prihatin dengan taklid yang menimpa umat Islam
kala itu dan menggelorakan kembali dibukanya pintu ijtihad, kendati untuk gerakan ini tidak
begitu menonjol sebagaimana Ibn Taimiyah dan pembaru sesudahnya, karena tekanan Wahhab
tampaknya jauh lebih ke gerakan kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi yang bersifat
pemurnian. Pada saat itu umat Islam selain banyak mempraktikkan syirk, bid‘ah, dan
tahayul/khurafat; serta berkembangnya tasawuf yang dipandang mencemari  kemurnian tauhid
dan memperlemah vitalitas hidup kaum muslimin. Wahhab bahkan sangat gundah dengan
penyimpangan aqidah umat Islam itu. Dalam kaitan inilah corak pembaruan yang bersifat
pemurnian menjadi fokus utama pembaruan Muhammad Ibn Abdil Wahhab.

Pandangan Muhammad Ibn Abdil Wahhab tentang tauhid dan aspek-aspek lain yang
bertumpu pada “ruju ila al-Quran wa al-Sunnah” yang bercorak pemurnian yang cukup keras
berkisar pada hal-hal berikut ini: (1) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang
yang menyembah Tuhan selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh; (2) Kebanyakan
orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta
pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib, orang
yang demikian juga telah menjadi musyrik; (3) Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat
sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirk; (4) Meminta syafaat selain kepada Tuhan
adalah juga syirk; (5) Bernazar selain dari Tuhan juga syirk; (6) Memperoleh pengetahuan selain
dari Al-Quran, Hadist, dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran; (7) Tidak percaya kepada qada
dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran; (8) Demikian pula menafsirkan Al-Quran dengan
takwil (interpretasi bebas) adalah kufur (Nasution, 2001: 16-17).
Dengan gerakan pemurnian dan pemikiran-pemikirannya yang keras itu maka
Mumammad Ibn Abdil Wahhab melakukan tindakan-tindakan yang keras, lebih-lebih setelah
dirinya bergabung atau bekerjasama dengan Pangeran Muhammad bin Su’ud pada tahun 1157
H / 1744 M yang di kemudian hari melahirkan dinasti atau rezim pemerintahan Saudi Arabia
yang berdiri pada tahun 1139 H/1737 M – 1179 H/1765 M hingga saat ini. Kerjasama dengan
dinasti Su’udiyah memberikan topangan kekuatan bagi Muhammad bin Abdil Wahhab terutama
dalam melawan pihak-pihak yang menentang gerakannya yang keras. Termasuk dalam
menopang gerakan menghancurkan bangunan kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh
sebagian umat Islam saat itu baik di Medinah, Nejd, dan sekitarnya maupun di luar itu seperti di
Najef (kuburan Ali) dan Karbala (kuburan Hussein) yang dikeramatkan kaum Syi‘ah. Tak
kecuali, membongkar kubah kuburan Nabi di Madinah (Stoddard, ibid.: 34).
Sejak persekutuan atau perjanjian kerjasama itulah, gabungan antara pemurnian
Muhammad bin Abdil Wahhab dan ekspansi kekuasaan Saudiyah di bawah Pangeran Su’ud,
melalahirkan gerakan Wahhabiah yang selain melakukan perluasan kekuasaan Saudi Arabia ke
wilayah-wilayah lain juga melakukan pemberantasan terhadap praktik-praktik keagamaan yang
dipandang syirk, bid’ah, tahayul, dan khurafat dengan tegas dan keras. Ekspansi kekuasaan
Su”udiyah juga memperoleh legitimasi untuk membendung ekspansi dinasti Ustmaniyah Turki
yang dipandangnya mengancam masyarakat Arab sekaligus membawa praktik-praktik Islam
yang tidak murni lagi. Sejak itu pula kota suci Makkah dan Madinah atau Saudi Arabia menjadi
pusat kekuasaan dan penyebaran Wahhabiah ke seluruh penjuru dunia Islam dengan corak Islam
“murni” yang tegas dan keras itu.

Dalam analisis Mukti Ali (1990: 333-334), gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab
merupakan “usaha pemurnian yang keras dan sederhana. Misinya langsung, yaitu kepada Islam
klasik. Ia menolak kerusakan dan kelonggaran yang terdapat dalam kehidupan Islam waktu itu.
Ia menolak kehangatan batin dan kesalehan tasawuf. Ia menolak intelektualisme bukan hanya
dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu kalam. Ia menolak semua karena semata-mata menekankan
kepada hukum. Hukum klasik yang diikuti oleh Wahabiah adalah langsung, kaku, mengikuti
madzhab Hanbali dengan dibersihkan dari  segala macam bid‘ah yang terjadi dalam perjalanan
sejarahnya. Mengikuti hukum secara penuh, keras dan utuh dan mendirikan masyarakat di mana
hukum itu berjalan itulah Islam, dan lainnya adalah salah”.

Dengan watak dan orientasi gerakan pemurniannya yang keras dan sederhana itulah, dan
setelah bekerjasama dengan dinasi Su’ud, maka Wahhabiah berkembang menjadi aliran gerakan
Islam yang menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, lebih-lebih memalui prosesi ibadah haji
di mana seluruh umat Islam berdatangan ke dua kota suci (Makkah dan Madinah) tempat
Wahhabiah itu lahir dan tumbuh. Di Indonesia istilah Wahhabi bahkan melekat dengan corak
Islam yang keras itu, lebih-lebih melalui gerakan Paderi di Sumatra Barat.  Muhammadiyah
dengan gerakan memberantas “TBC” (tahayul, bid‘ah, dan churafat) di masa lalu juga sering
diidentikkan dengan gerakan Wahhabi itu, kendati Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak mirip gerakan
dan pemikirannya dengan Muhammad bin Abdil Wahhab dan lebih dilekatkan dengan
Muhammad Abduh pembaru dari Mesir.

3.    Jamaludin Al afgani (Iran, 1838-turki, 1897)


Salah satu sumbangan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Sayyid Jamaludin Al
Afgani. Gagasanya mengilhami kaum muslim di Turki, Iran, Mesir dan India. Meskipun sangat
anti imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak melihat
adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasan untuk mendirikan
sebuah Universitas yang husus mengajarkan ilmu pengetahuan yang modern di Turki
mengahdapai tantangan yang kuat dari para ulama’. Pada ahkirnya ia diusir dari Negara tersebut.
4. Muhamada Abduh (Mesir 1849-1905) dan Muhamad Rasyid Rida (Suriah 1865-
1935)
Guru dan murid tresebut mengunjungi beberapa negara Eropa dan amat terkesan dengan
pengalaman mereka disana. Rasyid Rida mendapat pendidikan Islam tradisisonal dan menguasai
bahasa asing ( prancis dan turki) yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari ilmu
pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tidak sulit bagi Rida untuk bergabung dengan
gerakan pembaruan Al Afgani dan Muhamad Abduh dan diantaranya melalui penerbitan jurnal
Al Urwah Al Wustha yang diterbitkan diparis dan disebarkan dimesir. Muhamd Abduh
sebagaimana Muhamad Abdul Wahab dan Jamaluddin Al Afgani, berpendapat bahwa masuknya
bermacam bid’ah kedalam ajran Islam membuat umat Islam lupa akan ajran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Bid’ah itulah yang menjauhkan masarakat Islam dari jalan yang sebenarnya.
E.          Tujuan Pembaharuan dalam Islam
Berbicara mengenai tujuan pembaruan Islam, maka tidak dapat dilepaskan dari misi yang
diemban oleh gerakan tersebut. Menurut Achmad Jainuri bahwa pembaruan Islam memiliki dua
misi ganda, yaitu misi purifikasi, dan misi implementasi ajaran Islam di tengah tantangan jaman.
Bertitik-tolak dari kedua misi di atas, maka tujuan pokok dari pembaruan Islam adalah:
Pertama, purifikasi ajaran Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada
jaman awal Islam sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Jaman Nabi sebagaimana
digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode yang hebat, suatu puncak yang luar-biasa dan
cemerlang dan merupakan masa yang dapat terulang. Terjadinya banyak penyimpangan dari
ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena kurang sempurnanya Islam, tetapi karena kurang
mampunya untuk menangkap Islam sesuai semangat jaman; serta dalam konteks ini, banyaknya
unsur-unsur luar yang masuk dan bertentangan dengan Islam sehingga diperlukan adanya upaya
untuk mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam. Upaya ini
dapat dilakukan dengan membentengi keyakinan akidah Islam, serta berbagai bentuk ritual dari
pengaruh sesat.
Kedua, menjawab tantangan jaman. Islam diyakini sebagai agama universal, yaitu agama
yang di dalamnya terkandung berbagai konsep tuntutan dan pedoman bagi segala aspek
kehidupan umat manusia, sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat jaman.
Dengan berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan pembaruan dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengimplementasi-kan ajaran Islam sesuai dengan tantangan
perkembangan kehidupan umat manusia.
F.          Ijtihad Sebagai Kunci Pembaharuan Islam
Untuk mewujudkan kedua tujuan di atas, maka ijtihad dapat dipandang sebagai metode
pokok untuk berjalannya gerakan pembaruan Islam (tajdid). Statemen ini tentunya tidak terlalu
berlebihan karena pada dasarnya pembaruan Islam akan bermuara kepada aktualisasi,
rasionalisasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah kehidupan sosial, dan semua itu
memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di sini berkaitan dengan bagaimana agar pelaksanaan kehidupan umat tidak
menyimpang dari ajaran Islam sekaligus bagaimana agar makna universalitas Islam dapat
terwujud dan teraktualisasikan dalam semangat jaman sehingga dalam kehidupan sosial, Islam
tidak dijadikan sebagai alasan terjadinya kemunduran dan kelemahan, bahkan kehancuran.
Padahal, hal itu sebenarnya disebab-kan ketidakmampuannya menerjemahkan Islam dalam
tatanan kehidupan yang terus berkembang.
Dalam konteks sejarahnya bahwa ijtihad telah memberikan sumbangan besar dalam
perkembangan pemikiran umat Islam, khususnya dalam upaya menghadapi persoalan kehidupan
sosial. Tentu ijtihad dalam konteks ini bukan dibatasi dalam hal hukum (syari’ah) semata yang
selama ini banyak dipahami, melainkan yang terpenting bagaimana ijtihad dimaknai sebagai
upaya untuk menilai “ulang” terhadap berbagai warisan keagamaan yang ada, serta adanya
kebebasan untuk menafsirkan kembali sesuai dengan pemikiran modern.36 Semangat untuk terus
menghidupkan ijtihad merupakan salah satu tema pokok yang selalu digelorakan oleh para
pembaru (mujaddidun).

Anda mungkin juga menyukai