Dosen pengampu :
Apt. Putu Rika Veryanti, S.Farm, M.Farm-Klin.
Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Anggun Nur Hidayah 21340253
2. Nyoman Youpita 21340254
3. Arina Mawarni 21340268
4. Safira Hanifatuz Zuhro 21340273
5. Muhammad Havel Altasyah 21340275
6. Ali Sandi Dwi Cahyo 21340293
7. Muazzinah Hasti 21340294
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Allah Subhanalloh wa Ta’ala atas segala nikmat dan Rahmat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Covid 19 dan Diabetes Mellitus Tipe
II” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Farmasi
Komunitas pada Program Studi Profesi Apoteker Institut Sains dan Teknologi
Nasional Jakarta. Sehubungan dengan terselesaikannya penyusunan makalah ini,
secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Apt. Putu Rika Veryanti,
S.Farm, M.Farm-Klin. selaku dosen mata kuliah Farmasi Klinik yang telah
memberikan saran, arahan, dan bimbingannya dengan sepenuh hati sehingga
penulisan makalah ini dapat kami selesaikan dalam jangka waktu yang singkat.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat baik bagi penulis maupun para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
2.3.5 Faktor Resiko DM Tipe II ...................................................... 19
2.4 Langkah-Langkah untuk Menegakkan Diagnosis
Diabetes Mellitus .............................................................................. 22
BAB III LAPORAN KASUS ...................................................................... 24
3.1 Data Identittas Pasien ........................................................................ 24
3.2 Riwayat Penyakit .............................................................................. 24
3.2.1 Keluhan Utama ...................................................................... 24
3.2.2 Riwayat Penyakit Sebelumnya ............................................... 24
3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga .................................................... 24
3.3 Data Penunjang ................................................................................. 25
3.3.1 Data Pemeriksaan Fisik .......................................................... 25
3.3.2 Data Laboratorium ................................................................. 25
3.4 Daiagnosa .......................................................................................... 25
3.5 Tinjauan Farmakologi Obat .............................................................. 25
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................. 27
4.1 Metode SOAP ................................................................................... 27
4.1.1 Subjective (S) ......................................................................... 27
4.1.2 Objective (O) .......................................................................... 27
4.1.3 Assessment (A) ....................................................................... 28
4.1.4 Plan (P) .................................................................................. 35
4.2 Terapi Non Farmakologi ................................................................... 37
4.2.1 Terapi Non Farmakologi DM Tipe II ..................................... 37
4.2.2 Terapi Non Farmakologi Covid-19 ........................................ 39
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 41
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 42
LAMPIRAN ................................................................................................... 43
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Gejala klinis dapat berbeda-beda pada masingmasing individu karena
pengaruh faktor komorbid. Sebagian besar pasien COVID-19 memiliki
penyakit komorbid seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, dan penyakit liver kronis. Pasien-pasien yang memiliki
komorbid tersebut lebih sering mengalami perburukan dan kematian.
Diabetes merupakan komorbiditas kedua tersering ditemukan, sekitar 8%
kasus, setelah hipertensi dengan angka kematian tiga kali lipat dibandingkan
penderita secara umum (7.3% berbanding 2.3%) (PERKENI, 2020).
Sebelum pandemi COVID-19, penderita diabetes melitus (DM) di
seluruh dunia mencapai 422 juta orang tahun 2016 (WHO, 2016) dan tahun
2019 meningkat menjadi 463 juta orang (IDF, 2019). Angka tersebut
memberikan gambaran bahwa selama pandemi COVID-19, akan banyak
penderita diabetes melitus yang perlu mendapat perhatian karena diabetes
melitus dianggap berhubungan erat dengan keparahan dan kematian pada
pasien COVID-19 (Rajpal et al., 2020).
Diabetes merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab keparahan
COVID-19. Penyakit ini juga menjadi ancaman kesehatan internasional,
yang tingkat keparahannya meningkat dalam dua puluh tahun
terakhir. Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya (Setyawati et al., 2020). Klasifikasi DM
secara umum terdiri atas DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus
(IDDM) dan DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM). DM tipe 2 terjadi karena sel β pankreas menghasilkan insulin
dalam jumlah sedikit atau mengalami resistensi insulin. Jumlah penderita
DM tipe 1 sebanyak 5-10% dan DM tipe 2 sebanyak 90-95% dari penderita
DM di seluruh dunia (ADA, 2020).
Prevalensi DM di Indonesia semakin lama semakin meningkat, seperti
diuraikan oleh Badan Litbangkes dalam Laporan Riset Kesehatan Dasar
Nasional (2018), angka prevalensi diabetes di Indonesia mengalami
peningkatan cukup signifikan selama 5 tahun terakhir yakni ditahun 2013
2
angka prevalensi diabetes pada orang dewasa mencapai 6,9% dan di tahun
2018 mengalami peningkatan menjadi 8,5% (Riskesdas, 2018).
Indonesia yang tergabung dalam wilayah Western Pasific menurut IDF
tahun 2019 menempati peringkat ke tujuh di dunia untuk prevalensi
penderita diabetes dengan jumlah estimasi penderita diabetes sebesar 10,7
juta (IDF, 2019). Tingkat kematian COVID-19 dengan diabetes 4,6 kali
lebih tinggi dibandingkan COVID-19 tanpa diabetes atau hiperglikemia
terkendali (CNN Indonesia 2020). Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) ditemukan sebanyak 83 kasus diabetes dari 800
kasus kematian akibat COVID-19, Pasien diabetes dengan COVID-19
cenderung lebih berat dan lebih banyak meninggal jika sudah masuk rumah
sakit (Nursastri, 2020).
Diabetes Melitus saat ini merupakan salah satu faktor risiko
meningkatnya keparahan infeksi COVID-19. Penderita diabetes yang
berusia lebih tua (>60 tahun), kadar gula darah tidak terkontrol, dan adanya
komplikasi diabetes dikaitkan dengan prognosis COVID-19 yang buruk
(PERKENI, 2020). Komplikasi yang ditimbulkan bersifat akut maupun
kronik. Komplikasi akut terjadi berkaitan dengan peningkatan kadar gula
darah secara tiba-tiba, sedangkan komplikasi kronik sering terjadi akibat
peningkatan gula darah dalam waktu lama (Chaidir et al., 2017).
Diabetes Mellitus Tipe 2 digolongan diabetes dengan prevelensi
tertinggi disebabkan oleh berbagai faktor seperti lingkungan dan keturunan.
Penderita diabetes melitus yang tidak dikelola dengan baik akan
meningkatkkan resiko terjadinya komplikasi yang akan berdampak pada
peningkatan angka kesakitan, menurunnya umur, harapan hidup, serta
berdampak pada kualitas hidup (Asnaniar, 2019). Pandemi COVID-19 yang
terjadi saat ini telah menghambat pemberian layanan kesehatan dalam
banyak hal. Secara global, strategi yang ditetapkan untuk mengurangi
penyebaran virus dengan social distancing dan lockdown dapat menjadi
beban tambahan bagi pasien, karena menimbulkan dampak emosional
dengan gejala kecemasan, depresi, gangguan makan dan stres umum
dibandingkan dengan populasi umum (Joensen et al., 2020).
3
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana penatalaksanaan obat pada kasus covid-19 dan diabetes
mellitus tipe II menggunakan metode SOAP?
1.2.2 Apa saja terapi farmakologi dan non-farmakologi yang dilakukan
pada kasus pasien covid-19 dan diabetes mellitus tipe II?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui penatalaksanaan penyakit covid-19 dan diabetes
mellitus tipe II menggunakan metode SOAP.
1.3.2 Mengetahui terapi Farmakologi dan Non-farmakologi pada kasus
pasien covid-19 dan diabetes mellitus tipe II.
1.4 Manfaat
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penatalaksanaan
kasus pasien covid 19 dan diabetes millitus menggunakan metode SOAP.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 COVID-19
2.1.1 Definisi Covid-19
5
2.1.2 Tanda Gejala COVID 19
1. Demam
2. Batuk
3. Sesak nafas atau sulit bernafas
Tanda dan gejala lain yang juga muncul pada pasien yang terinfeksi
coronavirus diantaranya :
1. Kelelahan
2. Nyeri Otot
3. Sakit Tenggorokan
4. Sakit Kepala
5. Diare
6. Muntah
7. Beberapa orang kehilangan indra penciuman dan perasa
8. Pilek
9. Ruam
10. Konjungtivitis (Lai et al., 2020; W. Yang et al., 2020; Zheng et al.,
2020).
2.1.3 Etiologi
6
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari COVID 19 sampai saat ini masih belum diketahui
seutuhnya. Pada awalnya diketahui virus ini sama dengan SARS dan MERS,
Namun dari hasil evaluasi dari 10 pasien hanya didapatkan 99% kesamaan,
hal ini menunjukkan bahwa virus ini tergolong baru. Dari hasil analisis
filogenetik menunjukkan bahwa COVID 19 merupakan bagian dari
subgenus sabercorovirus dan genus betacoronavirus.
2.1.5 Penularan
Sumber virus corona masih belum terkonfirmasi jelas hingga saat ini.
Namun, berdasarkan analisis urutan diduga kelelawar menjadi reservoir
utama virus ini. Beberapa laporan mengkonfirmasi penularan terjadi dari
manusia ke manusia, hal tersebut terjadi melalui percikan droplet yang
dihasilkan saat orang yang terinfeksi sedang batuk, bersin dan berbicara.
Mirip dengan penyebaran influenza dan patogen pernapasan. Beberapa data
juga menyebutkan bahwa virus ini dapat menular dengan jarak kurang dari
2 meter. Selain itu keputusan memulangkan warga dari daerah terinfeksi dan
buruknya skrining di penumpang dinilai dapat menjadi penyebab penularan
virus ke negara lain. (Shereen et al., 2020).
7
2.1.6 Diagnosis Tes dan Pemeriksaan Penunjang
A. Diagnosis Tes
1.) Uji antigen Uji yang paling sering digunakan saat itu yaitu RDT
antigen. Salah satu alat yang digunakan yaitu COVID 19 Ag Respi-
Strip. Pemeriksaan ini dengan mendeteksi presentasi protein
corona virus pada sampel yang berasal dari saluran pernafasan
seseorang, hasil pemeriksaan pada uji ini akan keluar dalam waktu
30 menit. Antigen akan terdeteksi dan dapat diekspresikan saat
virus bereplikasi. Oleh karena itu, ttes ini paling tepat digunakan
saat kondisi buruk dan tahap awal infeksi. Kekurangan uji ini yaitu
rentan menunjukkan hasil negatif dan positif palsu sehingga perlu
menggunakan uji RT PCR.
2.) Uji antibody
a. Tes Diagnostik Cepat Antibodi (RTD Antibodi) Pemeriksaan
yang paling umum digunakan. Uji ini dilakukan dengan
mendeteksi keadaan antibodi di dalam darah. Deteksi ini dapat
terjadi reaksi silang dengan patogen lain sehingga beresiko
menunjukkan hasil positif palsu. Waktu yang dibutuhkan yaitu
15 – 30 menit untuk mengetahui hasil uji. Sensitivitas uji ini
sebesar 88,66%.
8
pemeriksaan ini sangat cepat dilakukan, maka dapat dilakukan
di laboratorium rumah sakit dan mempersingkat waktu
diagnosis.
9
sudah tersebar di seluruh Indonesia, namun catridge masih
terbatas serta biaya uji ini relative mahal. (World Health
Organization, 2020).
B. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sesuai dengan
derajat morbiditas yaitu :
1. Pemeriksaan darah rutin
2. Pemeriksaan Radiologi, seperti CT Scan, Foto Thorax.
3. Pemeriksaan kultur mikroorganisme
4. Pemeriksaan imunologi dan molekuler (PDPI, 2020)
2.1.8 Penatalaksanaan
Hingga saat in belum ada perawatan klinis yang benar benar tepat untuk
mengatasi atau strategi pencegahan yang menjanjikan untuk menghentikan
atau mencegah terjadinya penularan. Namun para peneliti saat ini sedang
bekerja untuk mengembangkan strategi terapuutik yang efisien dan
melakukan uji klinis pada beberapa vaksin yang diharapkan dapat
menghasilkan antibodi yang dapat melawan virus corona. Saat ini beberapa
antivirus yang digunakan untuk melawan MERS, SARS dan Influenza telah
dievaluasi baik dari kombinasi atau tidak untuk mengobati pasien COVID
19. Serta obat – obatan seperti ritonavir, lopinavir, remdec virdan
oseltamivir secara signifikan dapat memblokir infeksi COVID 19 (Shereen
et al., 2020).
10
2.2 Diabetes Melitus (DM)
2.2.1 Definisi Diabetes Melitus
2.2.2. Epidemiologi
Diabetes Melitus (DM) Prevalensi penderita DM di seluruh dunia
sangat tinggi dan cenderung meningkat setiap tahun. Jumlah penderita
DM di seluruh dunia mencapai 422 juta penderita pada tahun 2014.
Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun 1980 yang hanya
180 juta penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di wilayah
South-East Asia dan Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengah
dari jumlah seluruh penderita DM di seluruh dunia. Satu dari sebelas
penduduk adalah penderita DM dan 3,7 juta kematian disebabkan oleh
DM maupun komplikasi dari DM (WHO, 2016). dari jumlah seluruh
penderita DM di seluruh dunia. Satu dari sebelas penduduk adalah
penderita DM dan 3,7 juta kematian disebabkan oleh DM maupun
komplikasi dari DM (WHO, 2016).
11
2.2.3 Klasifikasi
12
2.2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus (DM)
13
menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi
sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai
kompensasi terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah
lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan
energi tersebut.
2.2.5 Gejala
2.2.6 Diagnosis
14
berbagai macam pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan glukosa
darah. Metode yang paling dianjurkan untuk mengetahui kadar glukosa
darah adalah metode enzimatik dengan bahan plasma atau serum darah
vena (Perkeni, 2021).
Kadar glukosa darah yang tidak memenuhi kriteria normal dan tidak
juga memenuhi kriteria diagnosis DM dikategorikan sebagai kategori
prediabetes. Kriteria prediabetes menurut Perkeni (2015) adalah glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT), toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
dan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4 %
berdasarkan standar NGSP.
15
Perbedaan antara prediabetes dan diabetes adalah bagaimana tinggi
kadar gula darah. Pradiabetes adalah ketika kadar gula darah (glukosa)
lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk didiagnosis
sebagai diabetes tipe 2. Prediabetes tidak harus menghasilkan diabetes
jika perubahan gaya hidup yang dijalani adalah gaya hidup sehat.
16
2.3.2 Epidemiologi
2.3.3 Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe 2. Kegagalan sel beta pada DM tipe 2 diketahui terjadi lebih dini dan
lebih berat daripada sebelumnya. Otot, hati, sel beta dan organ lain
seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin) ikut
berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe 2 (Perkeni, 2015). DM tipe 2 pada tahap awal
perkembangannya tidak disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan
jumlah insulin dalam tubuh mencukupi kebutuhan (normal), tetapi
disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal (Fitriyani, 2012). peningkatan absorpsi glukosa,
17
dan otak (resistensi insulin) ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2 (Perkeni, 2015). DM tipe 2
pada tahap awal perkembangannya tidak disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin dan jumlah insulin dalam tubuh mencukupi kebutuhan
(normal), tetapi disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak
mampu merespon insulin secara normal (Fitriyani, 2015).
2.3.4 Diagnosis
DM tipe 2 Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa
≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl pada pemeriksaan glukosa
2 jam post prandial dan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan
keluhan klasik DM adalah ketentuan untuk mendiagnosis DM tipe 2
berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah (WHO, 2016). Ketentuan
mendiagnosis DM tipe 2 menggunakan kadar glukosa darah dibuat oleh
oleh WHO dan Perkeni. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan
pemeriksaan kadar C-Peptide dapat dilakukan untuk mendiagnosis DM
tipe 2. Kadar C-peptide pada penderita DM tipe 2 yang baru didiagnosis
18
cenderung tinggi dibandingkan dengan kondisi tidak menderita DM dan
DM tipe 1.
b. Berat lahir
Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram atau
keadaan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko lebih
tinggi menderita DM tipe 2 pada saat dewasa. Hal ini terjadi karena
bayi dengan BBLR mempunyai risiko menderita gangguan fungsi
pankreas sehingga produksi insulin terganggu.
19
c. Stress
Stress adalah perasaan yang dihasilkan dari pengalaman atau
pistiwa tertentu. Sakit, cedera dan masalah dalam kehidupan dapat
memicu terjadinya stress. Tubuh secara alami akan merespon
dengan banyak mengeluarkan hormon untuk mengatasi stress.
Hormon-hormon tersebut membuat banyak energi (glukosa dan
lemak) tersimpan d dalami sel. Insulin tidak membiarkan energi
ekstra ke dalam sel sehingga glukosa menumpuk di dalam darah.
d. Umur
Umur yang semakin bertambah akan berbanding lurus dengan
peningkatan risiko menderita penyakit diabetes melitus karena
jumlah sel beta pankreas yang produktif memproduksi insulin akan
berkurang. Hal ini terjadi terutama pada umur yang lebih dari 45
tahun.
e. Jenis kelamin
Wanita lebih memiliki potensi untu menderita diabetes
melitus daripada pria karena adanya perbedaan anatomo dan
fisiologi. Secara fisik wanita memiliki peluang untuk mempunyai
indeks massa tubuh di atas normal. Selain itu, adanya menopouse
pada wanita dapat mengakibatkan pendistribusian lemak tubuh tidak
merata dan cenderung terakumulasi.
f. Pendidikan
Pendidikan yang tinggi akan membuat seseorang mempunyai
pengetahuan yang baik khususnya tentang diabetes melitus.
g. Pekerjaan
Pekerjaan yang lebih cenderung tidak melakukan aktifitas
fisik dalam pekerj aan tersebut dapat meningkatkan risiko
menderita diabetes melitus.
20
h. Penghasilan
Penghasilan yang rendah akan membatasi seseorang untuk
mengetahui dan mencari informasi tentang diabetes melitus.
Semakin rendah penghasilan, maka akan semakin tinggi risiko
menderita diabetes melitus tipe 2.
i. Pola makan
Ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan
kejadian diabetes melitus tipe 2. Pola makan yang jelek atau buruk
merupakan faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian
diabetes melitus tipe 2. Pengaturan diet yang sehat dan teratur sangat
perlu diperhatikan terutama pada wanita. Pola makan yang buruk
dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas yang
kemudian dapat menyebabkan diabetes melitus tipe 2.
j. Aktivitas fisik
Perilaku hidup sehat dapat dilakukan dengan melakukan
aktivitas fisik yang teratur. Manfaat dari aktivitas fisik sangat banyak
dan yang paling utama adalah mengatur berat badan dan
memperkuat sistem dan kerja jantung. Aktivitas fisik atau olahraga
dapat mencegah munculnya penyakit diabetes melitus tipe 2.
Sebaliknya, jika tidak melakukan aktivitas fisik maka risiko untuk
menderita penyakit diabetes melitus tipe 2 akan semakin tinggi.
k. Merokok
21
dan protein dan tidak melakukan aktivitas fisik merupakan faktor
risiko dari obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan
penting dalam diabetes melitus tipe 2 karena obesitas dapat
menyebabkan terjadinya resitensi insulin di jaringan otot dan
adipose. Semakin tinggi angka obesitas maka akan semakin tinggi
risiko untuk menderita diabetes melitus tipe 2 (Garnita, 2012).
22
c. Puasa semalam, selama 10-12 jam
d. Kadar glukosa darah puasa diperiksa
e. Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam air
250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa;
selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
2. Kriteria diagnostik Diabetes Melitus
a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti
tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau
c. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO.
Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat. Cara diagnosis
dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik.
23
BAB III
LAPORAN KASUS
24
3.3 Data Penunjang
3.3.1 Data Pemeriksaan Fisik
• Suhu tubuh : 38 0C
• Respiratory Rate : 22 /menit
• Nadi : 107 /menit
• Tekanan Darah : 119/77
• Saturasi Oksigen : 91%.
3.4 Diagnosa
• Diabetes Mellitus Tipe II
• Hipertensi
• Covid-19
25
Oseltamivir 75mg tab 2x1
Vitamin b complex tab 2x1
Sankorbin injeksi 3x500
Azithromycin 500mg tab 1x1
Vitamin c 500mg 3x1
Tride(vit d 5000ui) 2x1
Ambroxol 30mg tab 3x1
Ceftriaxon injeksi 1x2gr
Metronidazol injeksi 3x500
Metil prdenisolon inj 2x62,5
Resfar 5gr/12 jam
Combivent 4x1
Pulmicort respules 2x1
Clindamisin 300mg kap 3x1
Laktulosa syr 3x15ml
Nac 3x1
Valsartan 80mg 1x1
Amlodipin 5mg 1x1
26
BAB IV
PEMBAHASAN
27
Pada data riwayat penyakit pasien, sebelumnya telah menjalani
pengobatan hipertensi selama 3 tahun. Pada tanggal 05 November
2020 tekanan darah pasien mengalami peningkatan hingga 136/90
mmHg.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit
kepala, demam, sesak, batuk dengan suhu tubuh 380C, respiratory
rate 22 kali/menit, dan nadi 107 kali/menit memiliki hasil pemeriksaan
yang melebihi dari batas normal dari parameter tersebut. Sedangkan
untuk tekanan darah 119/77 mmHg dan saturasi oksigen 91%
menunjukkan hasil yang kurang dari batas normal pada parameter.
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium serta hasil pemeriksaan gula darah sewaktu pasien
didiagnosa Covid-19 dan Diabetes Mellitus Tipe II.
28
herbal, ataupun obat terapi lain untuk
suplemen mengatasi DM
pasien seperti terapi
dengan DPP4
inhibitor yang aman
digunakan pada
pasien DM Tipe 2
dengan Covid 19.
Hipertensi Antihipertensi Valsartan 80 P3.1 Obat yang Tekanan Darah
mg (1x1) tidak diperlukan pasien 119/77 (tidak
Amlodipin 5 C1.2 Tidak ada hipertensi)
mg (1x1) indikasi tetapi ada
obat
Covid-19 Kortikosteroid Methylprednisolo P2.1 Kejadian obat Pemberian
ne inj (2x62,5) yang merugikan kortikosteroid dapat
(mungkin) terjadi menyebabkan
C1.2 Obat sesuai hiperglikemia
pedoman, namun memburuk.
terdapat
kontraindikasi
Antivirus Oseltamivir 75mg P3.1 Obat yang Oseltamivir
(2x1) tidak diperlukan digunakan jika
C1.1 Tidak tepat dicurigai ko-infeksi
dengan Influenza.
Mukolitik - Resfar 5 P3.1 Obat yang Resfar & Nac sama-
gr/12jam tidak diperlukan sama mengandung
- Nac 3x1 C1.5 Duplikasi acetylcysteine.
- Ambroxol tab terapi Acectylcysteine dan
30 mg (3x1) C1.6 Terlalu banyak ambroxol memiliki
obat yang indikasi yang sama
diresepkan untuk yaitu sebagai
satu mukolitik.
Indikasi
29
Antibiotik - Azithromycin P3.1 Obat yang Dalam tatalaksana
500mg tab tidak diperlukan covid 19 derajat
(1x1) C1.5 Duplikasi sedang antibiotic
- Ceftriaxon terapi yang diperlukan
injeksi (1x2gr) C1.6 Terlalu banyak azithromycin dan
- Clindamicin obat yang sebagai alternative
300mg kap diresepkan untuk bisa menggunakan
(3x1) satu levofloxacin bila
Indikasi dicurigai ada infeksi
bakteri
Imunitas - Sankorbin P2.1 Kejadian obat - Sankorbin injeksi
injeksi (3x500) yang merugikan juga mengandung
- Vit.C 500 mg (mungkin) terjadi asam askorbat
(3x1) C1.5 Duplikasi (Vitamin C)
- Zinc 20mg tab terapi - Vitamin C 200-
(2x1) C3.2 Dosis obat 400mg/8jam
- Tride (Vit d terlalu tinggi dalam NaCl 0.9%
500ui) 2x1 - Zinc maksimal
sehari 20mg
- Vit D maksimal
5000 ui/hari
30
2) Novorapid flexpen
• Indikasi : Diabetes mellitus tipe II
• Kontra : Gangguan ginjal atau hati, atau dengan
indikasi adrenal, hipofisis atau kelenjar tiroid.
• Dosis : 0,5-1 Unit/kgBB setiap hari secara subkutan
• Efek : Hipoglikemia dan anafilaksi
• Sediaan : Insulin aspart 100 iu
B. Hipertensi
1) Valsartan
• Indikasi : Hipertensi infark miokard dengan gagal
jantung kiri
• Kontra : Sirosis, sumbatan empedu, kehamilan dan
indikasi menyusui
• Dosis : Awal 80 mg 1xsehari, dinaiikan dalam 4
minggu maksimal 320 mg 1xsehari
• Efek : Hipotensi, kerusakan ginjal, ruam, myalgia,
samping angioedema
• Sediaan : Tablet dan kapsul 40 mg, 80 mg, 160 mg.
2)Amlodipin
• Indikasi : Hipertensi, angina stabil kronik, angina
vasospastik
• Kontra : Gangguan fungsi hati dan ginjal, hipersensitif,
Indikasi obat golongan dihidropiridin (DHP).
31
C. Covid-19
1) Methyl Prednisolone
• Indikasi : Antiinflamasi, antialergi
• Kontra : Infeksi jamur sistemik hipersensitivitas
• Dosis : 4 – 48 mg/hari
• Efek : Gangguan saluran cerna, edema, hipertensi,
samping supresi system imun
• Sediaan : 4 mg dan 16 mg
2) Oseltamivir
• Indikasi : Antivirus influenza tipe A dan B
• Kontra : Hipersensitivitas, anafilaksis, dan reaksi
indikasi kulit yang berat
• Dosis : 30-75 mg dua kali sehari
• Efek : Mual, muntah, rash, dermatitis, sakit kepala,
samping gangguan neuropsikiatri seperti halusinasi
• Sediaan : Kapsul 75 mg
3) Resfar
• Indikasi : Mukolitik dan antidotum paracetamol
• Kontra : Riwayat alergi/ hipersensitivitas
• Dosis : 150 mg/kg berat badan selama 60 menit
• Efek : Mual, muntah, bronkospasme, angioedema,
samping : ruam, pruritus, hipotensi, takikardia
• Sediaan : Vial 25 ml
4) Nac
• Indikasi : Mukolitik dan antidotum paracetamol
• Kontra : Riwayat alergi/ hipersensitivitas
• Dosis : 3x1 sehari, maksimal 600 mg
32
• Efek : Mual, muntah, bronkospasme, angioedema,
samping : ruam, pruritus, hipotensi, takikardia
• Sediaan : Kapsul 200 mg
5) Ambroxol
• Indikasi : Mukolitik dan gangguan saluran nafas akut
dan kronis
• Kontra : Hipersensitivitas
• Dosis : 30 mg 2-3 x sehari, dapat ditingkatkan
hingga 60 mg, maksimal 120 mg/hari
• Efek : Mual, muntah, diare, dispepsia, mulut dan
samping tenggorokan kering, anafilaksis, ruam.
• Sediaan : Tablet 30 mg
6) Azitromycin
• Indikasi : Antibiotik infeksi saluran pernafasan, paru-
paru, tenggorokan, dan alat kelamin
• Kontra : Hipersensitivitas dan pasien dengan
indikasi gangguan hati
• Dosis : 500 mg 1 x sehari, selama 3 hari
• Efek : Mual, muntah, pusing, diare, jantung
samping berdebar, diare.
• Sediaan : Tablet 500 mg
7) Ceftriaxone
• Indikasi : Antibiotik infeksi saluran pernafasan, paru-
paru, tenggorokan, dan alat kelamin
• Kontra : Hipersensitivitas dan pasien dengan
indikasi gangguan hati
• Dosis : 1-2 gram/ hari, maksimal 4 gram
• Efek : Mual, muntah, nyeri, sakit kepala, sakit
samping perut, ruam, berkeringat.
33
• Sediaan : Larutan, intravena (IV): 1g/50ml, 2g/50ml
Larutan, suntikan: 250mg, 500mg, 1g, 2g.
8) Clindamycin
• Indikasi : Antibiotik untuk infeksi paru, kulit, darah,
Organ reproduksi wanita atau organ dalam
• Kontra : Hipersensitif terhadap clindamicin atau
indikasi linkomisin
• Dosis : 150–300 mg atau 400–450 mg (jika infeksi
berat) tiap 6 jam
• Efek : Mual, muntah, gangguan cerna, diare, nyeri
samping sendi, nyeri saat menelan, heartburn.
• Sediaan : Kapsul 300 mg
D. Imunitas
1) Sankorbion
• Indikasi : Kekurangan vitamin C
• Kontra : Hipersensitif dan hiperoksaluria
• Dosis : 100-250 mg 1-2 kali sehari selama beberapa
hari, kasus parah bisa 1000-2000 mg/hari
• Efek : Sakit kepala, nyeri area suntikan, mual,
samping muntah, kram perut, diare.
• Sediaan : Injeksi 200 mg/ml.
2) Vitamin C
• Indikasi : Kekurangan vitamin C
• Kontra : Hipersensitif dan hiperoksaluria
• Dosis : 50–200 mg per hari
• Efek : Sakit kepala, nyeri area suntikan, mual,
samping muntah, kram perut, diare.
• Sediaan : Tablet 50 mg, 100 mg, 250 mg
Injeksi 100 mg/ml, 200 mg/ml
34
3) Zinc
• Indikasi : Memperkuat sistem kekebalan tubuh
• Kontra : Penderita dengan defisiensi tembaga
indikasi (copper)
• Dosis : 10-20 mg 1 x sehari
• Efek : Mual, muntah, diare, iritasi lambung,
samping gastritis, gangguan gastrointenstinal.
• Sediaan : Tablet: 10 mg, 20 mg, 25 mg, 30 mg.
Sirup: 10 mg/5ml, 20 mg/5 ml.
Injeksi: 10 mg/10 ml.
4) Tride/ Vitamin D
• Indikasi : Kekurangan vitamin D
• Kontra : Hipersensitivitas vitamin D, hiperkalsemia,
Indikasi kerusakan ginjal berat dan gagal ginjal
• Dosis : 5000 IU, 1 x sehari, 1 kapsul lunak
• Efek : Hentikan penggunaan jika wajah, bibir,
samping lidah, tenggorokan bengkak, gatal-gatal,
susah menelan, dan sulit bernafas.
• Sediaan : Kapsul 1000IU dan 5000IU.
35
No Rekomendasi dan alasan Monitoring Target
1 Terapi Metformin tab 500 mg (3x1) dan Novorapid flexpen Efektivitas : Kadar gula darah
(2,5ui/jam) dilanjutkan. Jika gula darah masih belum stabil, Kadar Gula Darah sewaktu<200mg/dl.
terapi dapat ditambahkan DPP4 (sitagliptin 1x1). Pipeptidyl Sewaktu.
peptidase 4 (DPP4) inhibitor adalah salah satu obat yang Tidak terjadi
paling sering diresepkan tanpa efek samping yang serius. Efek samping : hipoglikemia
Terapi inhibitor DPP4 telah terbukti netral dalam hal kejadian Penggunaan insulin +
jantung merugikan utama dalam uji coba hasil kardiovaskular antidiabetika oral bisa
sebelumnya. Oleh karena itu, inhibitor DPP4 dapat menyebabkan
direkomendasikan untuk digunakan pada sebagian besar Hipoglikemia
pasien dengan spektrum keparahan COVID-19 yang luas.
3 Mengganti penggunaan Oseltamivir dengan favipiravir. Hasil Lab PCR Tidak positif virus
Karena dalam pedoman tatalaksana covid 19, oseltamivir influenza
dipakai apabila dicurigai koinfeksi influenza. Favipiravir
digunakan untuk pasien covid 19 dengan derajat sedang.
4 Memonitoring terapi hipertensi (Valsartan dan Amlodipin) Tekanan darah 120/80 mmHg
36
7 Melanjutkan penggunaan Zinc 20mg (1x1), vit.b comp, dan Imun tubuh
tride Vit.D5000 IU (1x1) untuk meningkatkan imunitas tubuh.
8 Melanjutkan KSR tab (3x1), keseimbangan kalium perlu Kadar kalium Kadar normal
dipertimbangkan dengan hati-hati karena pada covid bisa kalium:
terjadi hypokalemia. 3-5 mEq/L
9 Tidak melanjutkan Inviclot injeksi sebagai antikoagualan. INR Nilai INR =2-3
Karena pemberian antikoagulan harus berdasarkan hasil
pemeriksaan DPJP terkait jumlah trombosit, D-dimer,
pemanjangan PT, dan fibrinogen.
10 Melanjutkan penggunaan colchicine, karena pemberian Suhu tubuh 35-37ºc
colchicine sebagai terapi adjuvant pasien Covid 19.
11 Melanjutkan penggunaan Azithromicyn, karena merupakan
antibiotik yang digunakan dalam tatalaksana terapi covid 19
derajat sedang.
12 Melanjutkan penggunaan Combivent untuk meredakan dan Respiratory rate 12-20 kali/menit
mencegah munculnya gejala akibat penyempitan saluran
pernapasan.
13 Melanjutkan penggunaan laktulosa syr untuk mengatasi
konstipasi.
14 Melanjutkan alprazolam 0.5mg (1x1) untuk mengatasi
gangguan kecemasan.
15 Penambahan Terapi Paracetamol 500mg (3x1) untuk Suhu tubuh 35-37ºc
mengatasi sakit kepala dan menurunkan demam.
37
b) Terapi nutrisi medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal
makan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah
kalorinya, terutama pada penyandang yang menggunakan obat
penurun gula darah maupun insulin. Pengaturan makanan pada
penyandang DM sama sepeti untuk orang biasa. Hindari makan-
makanan seperti kue, abon, dendeng, sarden, susu kental manis,
sirup, dan makanan lainnya. Sangat disarankan untuk makan sayur,
banyak buah, makan lauk pauk berprotein tinggi, dan batasi
konsumsi makanan manis, asin, dan tinggi lemak.
d) Overweight
Overweight/ berat badan lebih (indeks massa tubuh >
23kg/m2) Salah satu cara untuk menentukan standar berat badan
adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Berdasarkan dari BMI atau kita kenal dengan Body Mass Index
diatas, maka jika berada diantara 25-30, maka sudah kelebihan berat
badan dan jika berada diatas 30 sudah termasuk obesitas. Berbagai
tidakan dapat dilakukan untuk menurunkan berat badan, yaitu:
1) Makan lebih sedikit
2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk anda
untuk teman atau anggota keluarga yang lain
3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda makan
38
4) Ganti camilan tinggi kalori dan tinggi lemak dengan camilan
yang lebih sehat.
e) Merokok
Merokok Penyakit dan mortalitas tinggi (Haryadi, 2008).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
merokok dengan kejadian DM (p = 0,000). Hal ini sesuai dengan
studi Huston yang juga menemukan bahwa perokok aktif memliki
risiko 76% lebih tinggi terkena diabetes dibandingkan bukan
perokok (Irawan, 2010). Ada 4000 bahan kimia berbahaya 20 dalam
asap rokok, dua diantaranya adalah nikotin dan karsinogen yang
membuat ketagihan.
f) Pengendalian Stres
Pengendalian stres juga dapat dilakukan untuk mengurangi
timbulnya komplikasi DM. Langkah-langkah yang dapat dilakukan
yaitu menerima diri sendiri sebagaimana adanya, berbuat sesuai
kemampuan dan minat, berpikir positif, membicarakan persoalan
yang dihadapi dengan orang yang dapat dipercaya, memelihara
kesehatan diri sendiri, membina persahabatan dengan orang lain,
meluangkan waktu untuk diri sendiri dan jika merasa tegang dan
letih luangkan waktu untuk istirahat dan rekreasi, lakukan relaksasi
10-15 menit setiap hari untuk mengendurkan ketegangan otot.
39
g) Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong
plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor
keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan
mesin cuci
h) Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi, jam 12 siang dan jam
19 malam.
i) Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga
jika terjadi peningkatan suhu tubuh >380C.
j) Istirahat total
k) Intake kalori adekuat, control elektrolit, status hidrasi, saturasi
oksigen
l) Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut
dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan
CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan ronsen dada secara berkala.
40
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1) Diabetes merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab keparahan
COVID-19. Penyakit ini juga menjadi ancaman kesehatan internasional,
yang tingkat keparahannya meningkat dalam dua puluh tahun terakhir.
2) Pada analisis SOAP terdapat beberapa obat yang dihentikan
penggunaannya dikarenakan penggunaan yang kurang tepat.
3) Dari hasil catatn SOAP tekanan darah pasien normal, tetapi terapi
valsartan sama amlodipin tetap dilanjutkan dikerenakan pasien dicurigai
penderita hipertensi yang tekanan darahnya terkontrol.
4) Pada terapi ditambahkan terapi parasetamol sebagai penurun panas
sedangkan oseltamivir diberhentikan karena oseltamivir diberikan ketika
dicurigai co-infeksi dengan influenza.
41
DAFTAR PUSTAKA
Ichsan B. Lestari N. 2021. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Keparahan Dan
Kematian Pasien Covid-19: Meta-Analisis. Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Nurdin F. 2021. Persepsi Penyakit Dan Perawatan Diri Dengan Kualitas Hidup
Diabetes Mellitus Type 2. Universitas Muhammadiyah Jakarta.
42
Pharmaceutical Care Network Europe v9.00 versi Indonesia
Kode
Domain Primer Domain Sekunder
Efektivitas pengobatan
P1.1 Tidak ada efek dari terapi obat
Terdapat masalah yang
P1 P1.2 Efek terapi obat tidak optimal
berpotensi mengurangi efek
P1.3 Gejala atau indikasi yang tidak diobati
farmakoterapi
Keamanan pengobatan
Pasien mengalami, atau dapat
Masalah P2 P2.1 Kejadian obat yang merugikan (mungkin) terjadi
mengalami efek obat yang
merugikan
P3.1 Masalah pengobatan yang berkaitan dengan efektivitas biaya
P3.2 Pengobatan yang tidak diperlukan
P3 Lainnya
P3.3 Masalah terkait obat yang tidak jelas, sehingga memerlukan
klarifikasi lebih lanjut (harap gunakan hanya sebagai alternatif)
C1.1 Obat tidak sesuai dengan pedoman / formularium
C1.2 Obat sesuai pedoman, namun terdapat kontraindikasi
C1.3 Tidak ada indikasi untuk obat
Pemilihan obat C1.4 Kombinasi tidak tepat misalnya obat-obat, obat-herbal, atau obat-
C1 Masalah Terkait Obat (MTO) suplemen
terjadi karena pemilihan obat C1.5 Duplikasi dari kelompok terapeutik atau bahan aktif yang tidak tepat
C1.6 Pengobatan tidak diberikan atau tidak lengkap walaupun terdapat
indikasi
C1.7 Terlalu banyak obat yang diresepkan untuk satu indikasi
Bentuk obat
Masalah Terkait Obat (MTO)
C2 C2.1 Bentuk sediaan obat yang tidak sesuai dengan pasien
terjadi karena pemilihan
bentuk sediaan obat
C3.1 Dosis obat terlalu rendah
Pemilihan dosis
C3.2 Dosis obat terlalu tinggi
Masalah Terkait Obat (MTO)
C3 C3.3 Regimen dosis kurang
terjadi karena pemilihan dosis
C3.4 Regimen dosis terlalu sering
obat
C3.5 Instruksi waktu pemberian dosis salah, tidak jelas atau tidak ada
Durasi pengobatan
Masalah Terkait Obat (MTO) C4.1 Durasi pengobatan terlalu singkat
C4
terjadi karena durasi C4.2 Durasi pengobatan terlalu lama
Penyebab
pengobatan
Penyiapan obat
C5.1 Obat yang diresepkan tidak tersedia
Masalah Terkait Obat (MTO)
C5.2 Informasi yang diperlukan tidak tersedia
terjadi karena proses
C5 C5.3 Salah obat, kekuatan sediaan atau regimen dosis yang disarankan
ketersediaan obat yang
(khusus OTC/obat bebas)
diresepkan dan proses
C5.4 Salah penyiapan obat atau kekuatan dosis
penyiapannya
Proses penggunaan obat
C6.1 Waktu pemberian obat atau interval dosis tidak tepat
Masalah Terkait Obat (MTO)
C6.2 Obat yang diberikan kurang
terjadi karena penggunaan
C6.3 Obat yang diberikan berlebih
C6 obat pasien terlepas dari
C6.4 Obat tidak diberikan sama sekali
instruksi yang tepat (pada
C6.5 Obat yang diberikan salah
label) oleh tenaga medis atau
C6.6 Obat diberikan melalui rute yang salah
perawat
C7.1 Pasien menggunakan obat lebih sedikit dari yang diresepkan atau
Terkait pasien tidak menggunakan obat sama sekali
Masalah Terkait Obat (MTO) C7.2 Pasien menggunakan obat lebih banyak dari yang diresepkan
C7 terjadi karena pasien dan C7.3 Pasien menyalahgunakan obat (tidak sesuai anjuran)
perilakunya (sengaja atau C7.4 Pasien menggunakan obat yang tidak perlu
tidak sengaja) C7.5 Pasien mengonsumsi makanan yang menyebabkan interaksi obat
C7.6 Pasien menyimpan obat secara tidak tepat
C7.7 Waktu atau interval pemberian dosis yang tidak tepat
C7.8 Pasien menggunakan obat dengan cara yang salah
C7.9 Pasien tidak dapat menggunakan obat / bentuk sediaan sesuai
petunjuk
C7.10 Pasien tidak dapat memahami instruksi dengan benar
Terkait transfer pasien
C8.1 Tidak ada rekonsiliasi obat saat pasien dipindahkan
Masalah Terkait Obat (MTO)
C8.2 Tidak ada daftar obat terbaru yang tersedia.
terkait dengan perpindahan
C8.3 Informasi tentang obat-obatan pada saat pemulangan/transfer tidak
C8 pasien antara perawatan
lengkap atau hilang
primer, sekunder, dan tersier,
C8.4 Informasi klinis tentang pasien tidak memadai
atau dalam satu ruang
C8.5 Pasien belum menerima obat yang diperlukan saat pemulangan
perawatan
C9.1 Tidak terdapat hasil pemantauan terapi obat yang sesuai (termasuk
TDM/Therapeutic Drug Monitoring)
C9 Lainnya
C9.2 Penyebab lain; sebutkan.......
C9.3 Tidak ada penyebab yang jelas
I0 Tidak ada intervensi I0.1 Tanpa Intervensi
I1.1 Dokter penulis resep hanya diinformasikan
Pada tingkat dokter penulis I1.2 Dokter penulis resep meminta informasi
I1
resep I1.3 Intervensi diusulkan kepada dokter penulis resep
I1.4 Intervensi dibahas dengan dokter penulis resep
I2.1 Konseling kepada pasien terkait obat
I2.2 Tersedia informasi tertulis
I2 Pada tingkat pasien
I2.3 Pasien disarankan kembali ke dokter
Rencana
I2.4 Menyampaikan kepada anggota keluarga / pengasuh
Intervensi
I3.1 Obat diubah menjadi ...
I3.2 Dosis diubah menjadi ...
I3.3 Formulasi diubah menjadi ...
I3 Pada tingkat obat
I3.4 Petunjuk penggunaan diubah menjadi…
I3.5 Obat ditunda atau dihentikan
I3.6 Obat dimulai
I4.1 Intervensi lainnya (sebutkan)
I4 Lainnya
I4.2 Efek samping dilaporkan ke pihak berwenang
A1.1 Intervensi diterima dan diimplementasikan sepenuhnya
A1.2 Intervensi diterima namun hanya diimplementasikan sebagian
A1 Intervensi diterima
A1.3 Intervensi diterima namun tidak diimplementasikan
A1.4 Intervensi diterima namun implementasi tidak diketahui
Penerimaan A2.1 Intervensi tidak diterima karena tidak dapat dilakukan
Intervensi A2.2 Intervensi tidak diterima karena tidak disetujui
A2 Intervensi tidak diterima
A2.3 Intervensi tidak diterima karena alasan lain (sebutkan)
A2.4 Intervensi tidak diterima karena alasan tidak diketahui
A3.1 Intervensi diusulkan namun penerimaan tidak diketahui
A3 Lainnya
A3.2 Intervensi tidak diusulkan
O0 Tidak diketahui O0.1 Status masalah tidak diketahui
O1 Terselesaikan O1.1 Masalah terselesaikan sepenuhnya
O2 Sebagian diselesaikan O2.1 Masalah diselesaikan sebagian
O3.1 Masalah tidak terselesaikan karena kurangnya kerjasama dengan
Status MTO pasien
O3.2 Masalah tidak terselesaikan karena kurangnya kerja sama dengan
O3 Tidak terselesaikan
penulis resep
O3.3 Masalah tidak terselesaikan karena intervensi tidak efektif
O3.4 Tidak perlu atau tidak memungkinkan untuk menyelesaikan masalah