Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP BIROKRASI MAX WEBBER

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Pengantar Management
Dosen Pengampuh : Yulekhah Ariyanti , SE , MM

Oleh :

1. Kurniawati (19101021073)
2. Kholifah
3. Sandy Dewa S. (19102021027)
4. Moh Ikbal

KELAS B
JURUSAN EKONOMI
FAKULTAS AKUNTANSI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL . i


KATA PENGANTAR  ii
DAFTAR ISI . iii

BAB I PENDAHULUAN .. 1

● A. Latar Belakang .. 2


● B. Rumusan Masalah  2
● C. Tujuan Penulisan .. 3

BAB II PEMBAHASAN . 4

⮚ Biografi Max Webber  4


⮚ Pengertian birokrasi
⮚ Konsep Birokrasi .. 6
⮚ Kelebihan Konsep Birokrasi.
⮚ Kekurangan Konsep Birokrasi . 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembekalan pengetahuan dalam setiap individu sangatlah penting dengan


terus menerus untuk di kembangkan, selain berguna untuk pengembangan
wawasan seseorang juga berguna untuk melatih pola fikir kita agar tidak terlalu
manja dan kapasitas dalam penggunaan fikiran kita menjadi lebih baik. Sehingga
jika kita ingin mempelajari, memahami, dan mengevaluasi setiap konteks yang
menjadi tanda Tanya dalam fikiran kita (Penasaran/rasa .ingin tahu) bisa di terima
oleh otak dan mampu dicerna dengan baik, bahkan tidak hanya focus satu wacana
saja, berbagai informasi yang di terima akan mudah di filter oleh fikiran, sehingga
kita sampai pada tiitik akhir yaitu, menyaring mana yang baik untuk kita
implementasikan dan mana yang harus kita singkirkan.

Dalam konteks ini berbicara mengenai birokrasi, tidak lain lazim nya
birokrasi disebut sebagai perilaku dari pemerintah, atau birokrasi adalah sebuah
organisasi pemerintahan yang mempunyai sub-sub struktur, mempunyai hubungan
antara satu dengan yang lain, dan juga mempunyai tugas dan wewenang dalam
mencapai tujuan dan program yang telah direncanakan.

Sebagai orang yang berpendidikan, segala bentuk hal yang kita tentunya harus
ada ahli dalam bidang yang ingin kita pelajari untuk di jadikan refensi, dan juga
sebagai pedoman guna untuk membuktikan bahwa informasi yang kita
publikasikan memiliki sumber yang jelas, tidak dilakukan dengan analisa dan
logika kita sendiri tanpa adanya perbandingan dan pengembangan. Jika bisa dalam
melakukan evaluasi antara pendapat dan logika kita jangan hanya pada satu
referensi saja, namun memiliki banyak sumber untuk kita teliti, pahami, dan
evaluasi sampai menemukan puncak akhir bahwa hasil dari informasi yang kita
filter sudah benar.
Oleh karenanya, perlu melakukan pengkajian untuk membahas tentang
konsep birokrasi ini menurut orang yang dianggap pantas untuk kita jadikan
pedoman. Sehingga setelah mendapatkan perbedaan dan pengkajian kita lebih
leluasa serta lebih mapan dalam mengemukakan pendapat.

B. Rumusan Masalah

⮚ Siapa itu Max Weber ?

⮚ Bagaimana Konsep Birokrasi Menurut Weber

⮚ Apa kelebihan konsep Birokrasi ?

⮚ Apa kekurangan konsep Birokrasi ?

C. Tujuan

⮚ Mengtahui Secara Mendalam mengenai Birokrasi

⮚ Dapat membandingkan pemikiran kita dengan Para ahli tentang


konsep birokrasi
Biografi Max Weber
Beliau terkenal dengan teori-teori sosialnya. Ia juga merupakan ahli
sosiologi, ekonomi serta sejarah dari Jerman. Mengenai profil Max Weber, beliau
lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah.
Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi
intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang
kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik
yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan dan
idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan
ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah adalah
seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam
berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya.

Ibu Marx Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya
menjalani kehidupan prihatin (asetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat
menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek
kehidupan akhirat; ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya
menjadi pertanda bahwa ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya
menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat.
Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan
perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber.

Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang
bertolak belakang itu, Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas
(Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi
kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun pilihannya,
ketegangan yang dihasilkan oleh kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan
itu berpengaruh negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber
minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan
kematangan intelektual, tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong
terbelakang dan pemalu dalam bergaul.

Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan
bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya
dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum bir
dengan teman-temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat
perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu.
Dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan
hidup ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti
ayahnya.

Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas


militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di
Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi
hingga mendapat gelar Ph.D., dan menjadi pengacara dan mulai mengajar di
Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan
sosiologi yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8 tahun
di Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang
segera tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai
ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan
prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi.

Misal : selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya


dilukiskan sebagai berikut : Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku,
mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jam-jam kegiatan rutin sehari-hari ke
dalam bagian-bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut caranya,
makan malam sendiri dikamarnya dengan 1 pon daging sapi dan 4 buah telur
goreng (Mitzman, 1969/1971:48; Marianne Weber, 1975:105). Jadi, dengan
mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi
dalam istilah modern disebut Workaholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi
ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada
1896.

Pada 1897, ketika karir akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal


setelah terjadi pertengkaran sengit antara mereka. Tak lama kemudian Weber
mulai menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan safaf. Sering tak bisa
tidur atau bekerja, dan enam atau tujuh tahun berikutnya dilaluinya dalam keadaan
mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagian
kekuatannya mulai pulih di tahun 1903, tapi baru pada 1904, ketika ia memberikan
kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun,
Weber mulai mampu kembali aktif dalam kehidupan akademis tahun 1904 dan
1905 ia menerbitkan salah satu karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism. Dalam karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh
agama ibunya di tingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk
belajar agama meski secara pribadi ia tak religius.

Meski terus diganggu oleh masalah psikologis, setelah 1904 Weber mampu
memproduksi beberapa karya yang sangat penting. Ia menerbitkan hasil studinya
tentang agama dunia dalam perspektif sejarah dunia (misalnya Cina, India, dan
agama Yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 Juni 1920) ia menulis karya
yang sangat penting, Economy and Society. Meski buku ini diterbitkan, dan telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun sesungguhnya karya ini belum
selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam periode ini, Weber pun melakukan
sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan German Sociological Society di
tahun 1910.

Rumah nya dijadikan pusat pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk
sosiologi seperti Georg Simmel, Alfred, maupun filsuf dan kritikus sastra Georg
Lukacs (Scaff, 1989:186:222). Weberpun aktif dalam aktivitas politik dimasa itu.
Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam karyanya,
antara pemikiran birokratis seperti yang dicerminkan oleh ayahnya dan rasa
keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber
maupun kehidupan pribadinya.
Pengertian Birokrasi
Arti birokrasi menurut bapak birokasi, Max Weber 

Teori birokrasi max weber merupakan salah satu teori yang masih terus
dianut sampai dengan saat ini di era moderen. Namun sebelum kita membahas
bersama-sama apa itu teori birokrasi Max Weber berdasarkan sudut pandang Max
Weber. Kita akan lebih baik jika memahami terlebih dahulu definisi organisasi dan
apa beda organisasi dengan kelompok.

Berbicara tentang teori klasik secara tidak langsung akan membawa kita
pada pepatah klasik, yaitu tak kenal maka tak tau dan tak tau maka tak akan
paham. Berdasarkan informasi yangtertulis di dalam buku Teori Komunikasi
Morissan, Max weber adalah seorang pemikir yang memberikan perhatian sangat
besar pada bagaimana manusia bertindak secara rasional untukmencapaitujuannya.
Weber berusaha menjelaskan tentang proses sosial di mana menurutnya terdapat
satu hubungan antara motivasi individu dengan hasil-hasil sosial.Karya Weber
menunjukkan atau mencerminkan pemikiran sosiopsikologi karena gagasannya
menekankan pada individu sebagai pencetus atau pendorong munculnya tindakan
atau perbuatan. Ia juga menunjukkan ketertarikannya pada penyebab munculnya
tindakan dan memberikan penjelasan mengapa suatu tindakan dilakukan.

Konsep Birokrasi
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau
etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata bureau. Kata bureau berasal
dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau
kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang
dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah
"mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik
pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan
orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam konteks
negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.

Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara
definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini
lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala
birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-
Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang
dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak


pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti.
Akibatnya banyak pekerjaan negara yang salah-urus atau tidak mencapai hasil
secara maksimal. Atas dasar ketidakrasional itu, Weber kemudian
mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.

Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi
sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:

1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan; 


2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan
fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan
sanksi-sanksi; 
3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-
hak kontrol dan pengaduan (complaint); 
4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis
maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih
menjadi diperlukan; 
5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai
individu pribadi; 
6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya; 
7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini
cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan 
8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat
pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf
administrasi birokratik. 
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi
tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-


rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah
sebagai berikut:

1. para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka; 
2. terdapat hirarki jabatan yang jelas; 
3. fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; 
4. para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak; 
5. para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan
pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian; 
6. para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun.
Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat
selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga
dapat diberhentikan; 
7. pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat; 
8. suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan
keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior); 
9. pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan
sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan; 
10.pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam. 

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin


(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi
menekankan pada aspek disiplin. Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi
sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis
dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari,
dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas


subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi
kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan
secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu
dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang
meliputi point-point berikut:

1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam


pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu
atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat
saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. 
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung
jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya,
untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan
DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil
tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan. 
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah
tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi,
dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) kerepotan menghitung
surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan
menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang
mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut. 
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang
bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank
Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya,
terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar
Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara
keseluruhan. 
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang
diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai
politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi.
Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik
mewakili rakyat pemilih mereka. 

Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh


pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di
sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.

Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi 


Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula
pandangan Weber akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik
para ahli akan pandangan Weber, yang seluruhnya diambil dari karya Martin
Albrow (lihat referensi).

Robert K. Merton. Dalam artikelnya Bureaucratic Structure and Personality,


Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton,
penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan
kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai
alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat
yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak
perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-
norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan konflik
dengan individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan Merton adalah,
bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan mudah
menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi
pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang


Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam
suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan
tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru
untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena
akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.

Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang
dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional
dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat
memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan
bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional
yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang
harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang
memiliki keahlian yang hebat?

Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner


memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang
dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya
pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2
tipe birokrasi yang uta: Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan
Perwakilan (representative). Pada tipe punishment centered, para anggota birokrasi
pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka
oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe Representative, para anggota
organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis
dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda
terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan
organisasi yang efisien.

R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner
dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone
menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang
impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan,
tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka
dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.

Rudolf Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia


mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman
pemahaman tentang administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada
pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat
administrasi bukan merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya
(gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di
dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu
ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya,
dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari seseluruhan budaya
tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika
orang-oorang sosialis mengeluhkan keadilan yang borjuistis.

Reinhard Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat


dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia
terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix
membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari
nilai-nilai sosial dan politik yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-
ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah
peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan
pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan suatu
dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara populer
disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada inisiatif
semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-
undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan
kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.
Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber
bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis.
Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk
bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh
ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan
interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai
pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang
membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas
tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan
teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber karena
mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap
otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia
menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme. 

Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy,


pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun
(birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi
bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi.
Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui
seperangkat undang-undang yang kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat
mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan
menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentangng keadaan yang
berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.

R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati


kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep
birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan
bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material
untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal
yang sama di Barat. Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney.
Bagi Delaney, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok bagi
masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional. Juga, Joseph
Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif
ketimbang birokrasi Weber.

Kelebihan konsep birokrasi Max Weber


Terdapat aturan-aturan serta prosedural dalam suatu organisasPada bentuk teori
birokrasi yang di gagas oleh Max Weber terdapat penekanan tentang penting
prosedur dan aturan-aturan yang harus ditaati. Menurut Max Weber bahwa setiap
peraturan haruslah bersifat rasional dan tertulis sehingga suatu organisasi akan
memiliki suatu pedoman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Mempunyai Spesialisasi Pekerjaan dan Job Description yang Jelas.Dalam


sistem ini, terdapat pembagian tugas yang spesifik, seperti halnya mesin, dimana
setiap orang hanya mengerjakan pekerjaan tertentu yang telah didelegasikan
kepadanya. Dengan demikian, pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan cepat
serta tidak ada benturan kepentingan karena masalah overlapping pekerjaan.

Ada Hierarki Otoritas yang Formal, Sehingga Memudahkan


Pengkoordinasian.Dengan adanya hierarki otoritas, masing-masing pekerja tahu
dimana posisinya dan otomatis akan mengikuti perintah supervisor/atasannya,
sehingga proses pengkoordinasian pekerja menjadi mudah.

KEKURANGAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER

Hierarki Otoritas Yang Formal Malahan Cenderung Kaku Karena system


hierarki perusahaan, maka bawahan akan segan menyapa atasannya kalau tidak
benar-benar perlu. Hal ini menciptakan suasana formal yang malah cenderung
kaku dalam organisasi.

Aturan dan Kontrol yang Terlalu Rinci Menyebabkan Impersonality atau


Melupakan Unsur-Unsur Kemanusiaan Tidak ada antusiasme maupun keceriaan
dalam organisasi karena segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa. Manusia
disamakan dengan mesin yang tidak punya hati dan hanya bekerja demi
perusahaan.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam sebuah Negara, dengan banyak nya aspirasi dan tuntutan dari
masyarakat tentunya tidak akan sanggup mengatasi yang namanya masalah public
yaitu masalah-masalah yang timbul berdasarkan tuntutan masyarakat yang tidak
terkomodir dengan baik. Oleh karena nya, dengan adanya birokrasi merupakan
instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin
terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama
negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social
welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang
diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung
maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara mernbangun sistem administrasi yang
bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah
birokrasi.

Dalam pemahaman Weber mengenai birokrasi, walaupun dalam konteks


ini semua apa yang dipaparkan mengenai pemikiran weber tentang konsep
birokrasi tidak lain adalah birokrasi klasik. Namun apa yang dipaparkan oleh ahli
sosiolog ini terus di jadikan setiap orang untuk pedoman, karena apa yang
tercantum dalam konsep nya, tetap sejalan dengan kehidupan saat sekarang ini,
bahkan praktik nya sangat mirip dengan apa yang di paparkan weber. Misalnya
dalam ranah pemerintahan di Indonesia, weber mengatakan bahwa harus ada
orang-orang yang memiliki wewenang dan tugas yang berbeda guna untuk
menjalankan sistem pemerintahan untuk kepentingan orang banyak, namun
kekuasaan yang dimiliki pemilik wewenang harus ada hukum yang membatasinya,
dan tentunya orang-orang yang di berikan legitimasi untuk menjalankan sistem
pemerintahan ini adalah orang-orang yang memiliki intelektual tinggi serta
dianggap mampu untuk di berikan mandat dalam menjalankan sistem yang ada.
Hal ini tentunya sangat sesuai dengan bagaiman sistem birokrasi di Negara
Indonesia ini, dan itu adalah bukti konkrit bahwa walaupun konsep birokrasi yang
di gagasi oleh weber adalah teori klasik, namun implementasi nya tetap berlanjut
sampai hingga di era kontemporer ini.

Daftar Pustaka

· Lyman Tower Sargent-Contemporary Political Ideologies_ A Comparative


Analysis. Fourteenth Edition -Wadsworth Publishing (2009) Lyman Tower
Sargent-Contemporary Political Ideologies_ A Comparative Analysis. Fourteenth
Edition -Wadsworth Publishing (2009)
· Martin Albrow,2004 Birokrasi, Cet.3, wacana :Yogyakarta
· Osborn david dan plastrik peter,2000.memangkas birokrasi: lima strategi
menuju pemerintahan wirausaha, PPM: Jakarta
· Pasolong harbani,2007. Teori Administrasi Publik, , alfabeta :bandung
· www.slidefinder.net/b/birokrasi-kuliah-3-blog1/32514643
· Yunus Yasril dkk ,2006.pengantar ilmu administrasi Negara , unp
press:Padang
· Poltak sinambela ,lijan ,dkk.2006.reformasi pelayanan public: teori,kebijakan
dan implementasi ,bumi aksara:jakarta
· Tjakra Negara,R. Soegiatno. 1992. Hukum tata usaha dan birokrasi
Negara.rineka cipta:jakarta

Anda mungkin juga menyukai