Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Post Partum dengan Sectio Caesaria


2.1.1 Post Partum
A. Definisi
Masa nifas disebut juga masa postpartum atau puerperium adalah masa
atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim sampai 6
minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang
berkaitan dengan kandungan yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan
lain sebagainya berkaiatan dengan melahirkan (Hesty, 2012).
Masa nifas (puerperium) dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu setelah itu (42 hari) dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (Risa Pitriani, 2014).
B. Periode Post Partum
Adapun tahapan-tahapan atau periode masa nifas adalah sebagai
berikut:
a. Puerperium Dini
Masa kepulihan yakni saat-saat ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.
b. Puerpurium Intermedial/ Early Puerpperium
Masa kepulihan menyeluruh dari organ-organ genital (±6-8 minggu).
c. Remote Puerperium/ Later Puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama apabila ibu
selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi (Hesty, 2012).
C. Tujuan Asuhan Masa Nifas
Adapun tujuan dari perawatan masa nifas adalah:
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis.
b. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati
atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya.
c. Mendukung dan memperkuat keyakinan dari ibu dan memungkinkan ia
melaksanakan peran ibu dalam situasi keluarga dan budaya yang khusus.
d. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi,
keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya, dan
perawatan bayi sehat.
e. Memberikan pelayanan keluarga berencana (KB).
f. Mempercepat involusi alat kandungan (Risa Pitriani, 2014).
D. Adaptasi Psikologi Post Partum
Kesejahteraan emosional ibu selama periode nifas dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti kelelahan, puas dengan perannya sebagai ibu, cemas
dengan kesehatannya sendiri atau bayinya serta tingkat dukungan yang tersedia
untuk ibu. Perubahan peran menjadi seorang ibu memerlukan proses adaptasi.
Dalam menjalani adaptasi masa nifas, ibu akan mengalami fase sebagai berikut:
1) Fase Taking In
Fase taking in yaitu periode ketergantungan yang berlangsung pada
hari pertama sampai kedua setelah melahirkan. Pada saat itu, focus perhatian
ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman selama proses persalinan
berulang kali diceritakan, hal ini membuat ibu cenderung pasif terhadap
lingkungannya. Gangguan psikologis yang mungkin dirasakan ibu pada fase
ini yaitu:
a. Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan tentang
bayinya, misalnya jenis kelamin, warna kulit, dan sebaganya.
b. Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan fisik yang dialami ibu
misalnya rasa mulas akibat dari kontraksi rahim, payudara bengkak,
akibat luka jahitan, dan lain-lain.
c. Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.
d. Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayinya
dan cenderung melihat saja tanpa membantu.
2) Fase Taking Hold
Fase taking hold adalah fase atau periode yang berlangsung 8-10 hari
setelah melahirkan. Pada fase ini, ibu merasa khawatir akan
ketidakmampuannya dan rasa tanggungjawabnya dalam merawat bayinya.
Ibu memiliki perasaan yang sangat sensitive sehingga mudah tersinggung
dan marah. Pada fase ini ibu memerlukan dukungan karena saat ini
merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai penyuluhan
dalam merawat diri dan bayinya. Tugas sebagai tenaga kesehatan adalah
dengan mengajarkan cara merawat bayi, cara menyusui yang benar, cara
merawat luka jahitan, nutrisi, dan lain-lain.
3) Fase Letting Go
Fase letting go merupakan fase menerima tanggungjawab akan peran
barunya yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat
menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya, serta kepercayaan diri ibu
sudah meningkat (Nanny, 2012).
E. Patofisiologi
1) Perubahan dalam Sistem Reproduksi
a. Uterus
(1) Involusi Uterus
Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses
dimana uterus kembali ke keadaan sebelum hamil. Proses ini dimulai
segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot polos uterus
(Ambarwati, 2010).
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
- Iskemia miometriun: Adanya kontraksi dan retraksi yang terus-
menerus sehingga uterus menjadi relative kembali ke keadaan
sebelum hamil (atrofi).
- Atrofi jaringan: Hal ini terjadi sebagai kaibat dari reaksi
penghentian hormon estrogen saat pelepasan plasenta.
- Autolisis: Proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam
otot uterus.
- Efek oksitosin: Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan
retraksi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang
akan menyebabkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Ukuran
uterus selama masa nifas akan mengecil sebelum hamil.
Involusi Tinggi Fundus Berat Uterus
Ketika bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Plasenta lahir 2 jari di bawah pusat 750 gram
7 hari (1 minggu) Pertengahan pusat-simfisis pubis 500 gram
14 hari (2 minggu) Tidak teraba di atas simfisis pubis 350 gram
42 hari (6 minggu) Bertambah kecil 50 gram
56 hari (8 minggu) Normal 30 gram
(Rustam Mochtar, 2012)
(2) Afterpains
Dalam minggu pertama sesudah bayi lahir, kemungkinan ibu
mengalami kram atau mulas pada abdomen yang berlangsung sebentar. Hal
ini mirip sekali dengan kram sewaktu periode menstruasi. Keadaan ini
disebut afterpains yang diakibatkan oleh kontraksi oleh uterus pada waktu
mendorong gumpalan darah dan jaringan yang terkumpul di uterus. Hal ini
lebih sering dialami oleh multipara diaman dapat menimbulkan nyeri yang
bertahan sepanjang masa nifas (Maryunani, 2009).
(3) Lochea
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta
akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa
cairan. Percampuran antara desidua dan darah inilah yang dinamakan lochea.
Proses keluarnya darah nifas atau lochea terdiri atas 4 tahapan yaitu:
Lochea Hari Ke- Warna Terdiri dari
Rubra 1-2 hari Merah Darah segar dan sisa-sisa
kehitaman selaput ketuban, sel desidua dan
lanugo
Sanguilenta 3-7 hari Merah Darah yang jumlahnya lebih
kekuningan sedikit dan lendir
Serosa 7-14 hari Kuning Cairan ini tidak berdarah lagi
Alba >14 hari- Putih Cairan putih yang terdiri dari
selesai leukosit, lendir serviks, dan
jaringan-jaringan mati yang
lepas pada proses penyembuhan
Selain lochea di atas terdapat juga:
- Lochea purulenta : Hal ini terjadi karena infeksi, keluar cairan
seperti nanah berbau busuk.
- Lochiostatis : Lochea yang tidak lancer keluarnya
(Hesty, 2012)
2) Perubahan pada Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Perubahan-perubahan
yang terdapat pada serviks postpartum adalah bentuk serviks yang menganga seperti
corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri yang berkontraksi sedangkan
serviks tidak berkontraksi sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan
serviks uteri terbentuk semacam cincn. Warna serviks merah kehitam-hitaman
karena penuh dengan pembuluh darah. Beberapa hari setelah persalinan, osteum
eksternum dapat dilalui 2 jari. Pada akhir minggu pertama hanya dapat dilalui oleh
1 jari saja, dan lingkaran retraksi berhubungan dengan bagian atas dari kanalis
servikalis.
3) Perubahan pada Sistem Hematologi
Pada awal postpartum, jumlah hemoglobin, hematokrit, dan eritrosit
bervariasi. Hal ini disebabkan karena volume darah, volume plasenta, dan tingkat
volume darah yang berubah-ubah. Tingkatan ini dipengaruhi oleh status gizi dan
hidrasi dari wanita tersebut. Jika hematokrit pada hari pertama atau kedua lebih
rendah dari titik 2% atau lebih tinggi saat memasuki persalinan awal, maka
dianggap telah kehilangan darah yang cukup banyak. Titik 2% kurang lebih sama
dengan kehilangan darah 500 ml.
4) Perubahan Sistem Musculoskeletal
Dinding abdominal lembek setelah proses persalinan karena peregangan
selama kehamilan. Semua ibu postpartum mempunyai beberapa derajat tingkat
diastasis recti yang merupakan separasi dari otot rectus abdominalis. Seberapa
parah diastasis ini tergantung pada sejumlah faktor termasuk kondisi umum wanita
dan tonus otot, apakah berlatih untuk memperoleh kembali kesamaan otot
abdominalnya, pengaturan jarak kehamilan, dan lain-lain.
5) Perubahan pada Sistem Perkemihan
Diuresis postpartum normal terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan sebagai
respon terhadap penurunan estrogen. Kandung kemih masa nifas mempunyai
kapasitas yang bertambah besar dan relative tidak sensitif terhadap tekanan cairan
intravesika. Urin desidual dan bakteriurea pada kandung kemih yang mengalami
cidera ditambah dengan dilatasi pelvis renalis dan ureter, beresiko terjadinya infeksi
saluran kencing. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu 1 bulan setelah
melahirkan. Urin dalam jumlah besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam
sesudah melahirkan.
6) Perubahan pada Sistem Pencernaan
a. Nafsu Makan
Ibu biasanya merasa lapar segera setelah melahirkan sehingga ia boleh
mengonsumsi makanan ringan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3-4
hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun
setelah melahirkan namun asupan makanan juga mengalami penurunan selama
1-2 hari, gerak tubuh berkurang dan usus bagian bawah sering kosong jika
sebelum melahirkan diberikan enema.
b. Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna selama
waktu yang singkat se5elah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan anastesi bisa
memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal.
c. Pengosongan usus
Pasca persalinan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini disebabkan
karena tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan pada awal masa
postpartum, diare sebelum persalinan, kurang makan, dehidrasi, hemoroid
ataupun laserasi jalan lahir (Nanny, 2012).
7) Perubahan Tanda-Tanda Vital
a. Suhu Tubuh
Pasca melahirkan, suhu tubuh dapat naik ±0,50C dari keadaan normal.
Kenaikan suhu tubuh ini akibat kerja keras sewaktu melahirkan, kekurangan
cairan maupun kelelahan. Kurang lebih pada hari ke-4 postpartum, suhu tubuh
akan naik lagi. Hal ini diakibatkan ada pembentukan ASI, kemungkinan
payudara membengkak, maupun kemungkinan infeksi pada endometrium,
mastitis, traktus genetalis ataupun sistem lain. Apabila kenaikan suhu di atas
380C, waspada terhadap infeksi postpartum.
b. Nadi
Nadi dalam keadaan normal (60-100 kali/menit) selama masa nifas
kecuali karena pengaruh persalinan lama, persalinan sulit, dan kehilangan
banyak darah. Setiap denyut nadi di atas 100 kali/menit selama masa nifas adalah
abnormal dan mengindikasikan pada infeksi atau hemoragic. Denyut nadi dan
curah jantung tetap tinggi selama jam pertama setelah bayi lahir. Kemudian
menurun dengan frekuensi yang tidak diketahui. Pada minggu ke-8 sampai ke-10
setelah melahirkan, denyut nadi kembali ke frekuensi sebelum hamil.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah normal adalah sistolik antara 90-120 mmHg dan diastolic
60-80 mmHg. Pasca melahirkan pada kasus normal, tekanan darah biasanya
tidak berubah. Perubahan tekanan darah menjadi lebih rendah pasca melahirkan
akibat perdarahan. Sedangkan tekanan darah tinggi merupakan tanda terjadinya
preeklamsia postpartum.
d. Pernafasan
Frekuensi pernafasan normal adalah 16-24 kali/menit. Pada ibu
postpartum umumnya pernafasan lambat atau normal. Hal ini dikarenakan ibu
dalam keadaan pemulihan atau dalam keadaan istirahat. Keadaan pernafasan
selalu berhubungan dengan suhu dan nadi. Bila suhu dan nadi tidak normal,
pernafasan juga akan mengikutinya kecuali bila ada gangguan khusus pada
saluran nafas. Bila frekuensi pernafasan pada masa postpartum lebih cepat,
kemungkinan ada tanda-tanda syok (Rukiyah, 2012).
F. Tanda Bahaya Masa Nifas
Jika ibu melihat hal-hal berikut ini atau memperhatikan bahwa ada sesuatu
yang tidak beres atau melihat salah satu dari hal-hal berikut ini, maka ibu tersebut
akan perlu menemui seorang bidan dengan segera:
1) Perdarahan hebat atau peningkatan perdarahan secara tiba-tiba (melebihi haid
biasa atau jika perdarahan tersebut membasahi lebih dari 2 pembalut saniter
dalam wakrtu setengah jam).
2) Pengeluaran cairan vaginal dengan bau busuk yang keras.
3) Rasa nyeri diperut bagian bawah atau punggung.
4) Sakit kepala yang terus menerus, nyeri epigastrik, atau masalah penglihatan.
5) Pembengkakan pada wajah dan tangan.
6) Demam, muntah, rasa sakit sewaktu buang air seni atau merasa tidak enak
badan.
7) Payudara yang memerah, panas dan atau sakit.
8) Kehilangan selera makan untuk waktu yang berkepanjangan.
9) Rasa sakit, warna merah, kelembutan, dan atau pembekakan pada kaki.
10) Merasa sangat sedih atatu tidak mampu mengurus diri sendiri atau bayi.
11) Merasa sangat letih atau bernapas terengah-engah (Rukiyah, 2012).

2.1.2 Sectio Caesaria


A. Definisi
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus (Sarwono, 2009).
B. Etiologi
1) Indikasi Ibu
- Panggul sempit absolute
- Plasenta previa
- Rupture uteri mengancam
- Partus lama
- Preeklamsia, hipertensi, dan lain-lain.
2) Indikasi janin
- Kelainan letak
- Gawat janin
- Janin besar (makrosomia)
3) Kontraindikasi
- Janin mati (IUFD)
- Syok, anemia berat
- Kelaianan konginetal berat (Sarwono, 2009).
C. Tujuan
Tujuan dilakukan SC adalah untuk mempersingkat lamanya perdarahan dan
mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim. SC juga dilakukan
pada plasenta previa jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian
bayi pada plasenta previa, SC juga dilakuakn untuk kepentingan ibu, sehingga
dapat dilakuakn pada plasenta previa meskipun janin sudah mati (Sarwono, 2009).
D. Manifestasi Klinik Post Sectio Caesaria
Persalinan dengan SC, memerlukan perawatan yang lebih kooperatif yaitu
perawatan post operatif dan perawatan post partum. Manifestasinya yaitu:
- Nyeri akibat adanya luka pembedahan
- Adanya luka insisi pada bagian abdomen
- Fundus uteri berkontraksi kuat dan terletak di umbilukus
- Aliran lochea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lochea tidak banyak)
- Kehilangan darah selama prosedur pembedahn kurang lebh 600-800 ml
- Umumnya terpasang kateter urinarius
- Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
- Pengaruh anastesi dapat menimbulkan mual dan muntah (Santosa, 2007).
E. Komplikasi
1) Infeksi Puerpuralis
- Ringan, dengan kenaikan suhu tubuh beberapa hari saja
- Sedang, dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi atau perut
sedikit kembung.
- Berat, dengan peritonitis, sepsis. Hal ini sering dijumpai pada partus
terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum karena ketuban
telah pecah terlalu lama.
2) Perdarahan, disebabkan karena:
- Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
- Atonia uteri
- Perdarahan pada plasenta bled
3) Luka pada kandung kemih, emboli paru.
4) Suatu komplikasi yang baru kemudaian tampak yaitu kurang kuatnya perut
pada dinding uterus sehingga kehamilan selanjutnya bisa terjadi rupture uteri
(Santosa, 2007).
F. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan atau hamabtan pada proses persalinan yang
menyababkan bayi tidak dapat lahir secara normal atau spontan. Kondisi tersebut
memerlukan tindakan SC. Dalam proses operasinya dilakuakn tindakan anastesi
yang akan menyebabkan pasien mengalami mobilisasi sehingga akan
menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan
kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas
perawatan diri secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perwatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu,
dalam proses pembedahan juga akan dilakukan insisi pada dinding abdomen
sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan
saraf-saraf disekitar daerah insisi. Hal ini kan merangasang pengeluaran histamine
dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah prose
pembedahan berakhir, deraha insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op.
yang bila tidak dirawat dengan bak akan menimbulkan masalah resiko infeksi
(Sarwono, 2009).
G. Pemeriksaan Penunjang
- Hemoglobina atau hematokrit, untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluais efek kehilangan darah pada pembedahan.
- Leukosit (WBC), untuk mengidentifikasi adanya infeksi.
- Tes golongan darah, lama pembedahan, waktu pembekuan darah.
- Urinalisis atau kultur urine.
- Pemeriksaan elektrolit (Sarwono, 2009).
H. Penatalaksanaan
1) Pemberian Cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
intravena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang
biasa diberikan adalah DS 10%, garam fisiologia (NaCl) dan ringer laktat
secara bergantian dan jumlah cairan tergantung dari kebutuhan. Bial kadar Hb
rendah diberikan transfuse darah.
2) Diet
Pemberian cairan per infuse biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian makanan dan minuman per oral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakuakn pada 6-10 jam pasca operasi
berupa air putiha tau the.
3) Mobilisasi
Mobilisasi dilakuakn secara bertahap meliputi:
- Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah operasi.
- Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur terlentang sedini
mungkin setelah sadar.
- Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
- Kemudian posisi tidur terlentang dapat diubah menjadi posisi semi fowler.
- Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
samapai ke-5 pasca operasi.
4) Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uteri dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24-48 jam atau lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
5) Pemberian Obat-Obatan
- Antibiotik
- Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
Supposituria : Ketoprofen Sup 2x24 jam
Oral : Tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
Injeksi : Penitidine 90-75 mgg diberikan setiap 6 jam bila perlu
- Obat-oabatan lain, untuk meningkatkan vitalitas dan kedaan umum penderita,
dapat diberikan roborantia seperti neurobion, vitamin C.
6) Perawatan Luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post SC, bila basah atau berdarah harus
diganti.
7) Perawatan Rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan
darah, nadi, pernafasan.
8) Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post SC (Santosa, 2007).

2.2 Konsep Dasar Preeklamsia Berat


2.2.1 Definisi
Pre-eklampsia adalah kondisi khusus dalam kehamilan, ditandai dengan
peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan atau berlanjut
menjadi kejang (eklampsia) dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi
pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan abrupsio plasenta atau solusio
plasenta (Maryunani, 2012).
Pre eklamsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, protein urin dan
edema yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan
ke-3 pada kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola
hidatidosa (Prawirohardjo, 2012).

Pre eklamsi berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai protein urin dan/atau edema
pada kehamilan 20 minggu atau lebih (WHO, 2012).
2.2.2 Tingkatan Pre eklampsia
Menurut Maryunani (2012), tingkatan pre eklampsia adalah :
a. Preeklampsi Ringan
Preeklampsi Ringan adalah timbulnya hipertensi disertai protein urin dan
oedema setelah umur kehamilan 20 mingg/segera setelah persalinan.
Tanda gejala Preeklampsi ringan :
1) Tekanan darah sistolik ≤ 140 mmHg/diastol ≤ 90 mmHg.
2) Kenaikan berat badan 1 kg/lebih dalam seminggu.
3) Protein urin 0,3 gram/lebih dengan tingkat kualitatif satu sampai dua pada
urin kateter atau urin aliran pertengahan.
b. Pre Eklampsi Berat
Pre Eklampsi berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai protein urin dan
oedema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
Tanda gejala Pre Eklampsi berat:
1) Tekanan darah ≤ 160 mmHg/diastol 110 mmHg.
2) Protein urin + ≤ 5 gram.
3) Oligouria (< 400 cc/24 jam).
4) Oedema paru/sianosis.
5) Adanya gangguan penglihatan, nyeri kepala nyeri epigastrium.
6) Pemeriksaan : Kadar enzim hati meningkatdisertai ikterus dengan
pemeriksaan laboratorium, perdarahan pada retina dengan ananmesa tentang
penglihatan kabur, trombosit kurang dari 100.000/mm pada pemeriksaan
laboratorium

2.2.3 Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Ada
teori menyebutkan bahwa penyebab preeklamsi adalah teori iskemia plasenta, teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan :
a. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda hidramion
dan mola hidatidosa.
b. Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan.
c. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin
dalam uterus.
d. Sebab jarangnya terjadinya eklamsi pada kehamilan-kehamilan
e. Sebab timbulkan hiperpigmentasi, oedema, protein urine, kejang, koma
(Maryunani, 2012).

2.2.4 Patofisologi
Penyebab keracunan kehamilan belum diketahui secara pasti, banyak teori
yang mengemukakan mengenai patofisiologi terjadinya keracunan kehamilan,
diantaranya adalah :
a. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada keracunan kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalam “remodeling arteri
spiralis”, sehingga aliran darah utero plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plsenta akan menimbulkan perubahan-
perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis keracunan kehamilan
selanjutnya.
b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas dan Disfungsi Endotel
Berdasarkan teori invasi trofoblas, pada keracunan kehamilan terjadi
kegagalan remodeling arteri spiralis, dengan akibat plasenta mengalami
iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia dan menghasilkan
oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan dan radikal bebas adalah
senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang
tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah
suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai
bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu keracunan kehamilan
disebut “toxaemia”.
Pada keracunan kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin
E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai
oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseluruh tubuh
dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel
endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena
letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
c. Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Keracunan kehamilan mengakibatkan kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan
terhadap bahan-bahan vasopresor yaitu daya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada keracunan
kehamilan sudah terjadi pada trimester 1 (pertama). Peningkatan kepekaan
pada kehamilan yang akan menjadi keracunan kehamilan, sudah dapat
ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai
prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
d. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model tunggal. Genotipe ibu
lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami preeklampsia 26% anak perempuannya akan mengalami
preeklampsia pula.
e. Teori Defisiensi Gizi (Teori diet)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting
yang pernah dilakukan di inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada
preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana
serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan
kenaikan insiden keracunan kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan
bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi
risiko preeklampsia. Minyak ikan banyak mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat
aktivasi trombosit, dan mencegah vasokontriksi pembuluh darah. Beberapa
peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk mengonsumsi minyak ikan
atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah
preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik
dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin (Winkjosastro,
2006).

2.2.5 Gambaran Klinis


Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dalam urutan pertambahan
berat badan yang berlebihan, diikuti oedema, hipertensi, dan akhirnya
proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif.
Pada pre eklampsia berat didapatkan nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri
kepala, oedema paru, gangguan kesadaran. Gejala-gejala ini sering ditemukan
pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia
akan timbul tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, oedema menjadi lebih
umum, dan proteinuria bertambah banyak (Wiknjosastro, 2006).
Pre-eklampsia dinyatakan berat bila satu diantara gejala-gejala berikut :
a. Hipertensi dengan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, diukur minimal 2
kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
b. Proteunuria 5 gram/24 jam atau lebih,  atau  pada pemeriksaan
kualitatif.
c. Oliguria, urine 400 ml/ 24 jam atau kurang.
d. Edema para-paru, sianosis.
e. Tanda gejala lain yaitu sakit kepala yang berat, masalah pengelihatan, pandangan
kabur dan spasme arteri retina pada funduskopi, nyeri epigastrium, mual atau
muntah serta emosi mudah marah.
f. Pertumbuhan janin intrauterine terlambat.
g. Adanya HELLP Syndorome (H= Hemolysis, ELL= Elevated Liver Enzym, P=
Low Platelet Count).
Kriteria menentukan adanya edema adalah nilai positif jika pitting edema di
daerah tibia, lumbosacral, wajah (kelopak mata), dan tangan terutama setelah malam
tirah baring. Bila sulit menentukan tingkat edema, maka metode yang digunakan
adalah sebagai berikut :
 = sedikit edema pada daerah kaki pretibial
 = edema ditentukan pada ekstremitas bawah
 = edema pada muka, tangan, abdoma bagian bawah
 = anasarka disertai asites
Protein positif artinya jumlah protein lebih dari 0,3 gram per liter urine 24
jam atau lebih dari 2 gram per liter sewaktu urine diambil dengan penyadapan atau
kateter.
 = 0,3 gram protein per liter
 = 1 gram protein per liter
 = 3 gram protein per liter
 = > 10 gram per liter
Kenaikan berat badan berlebih jika berat badan naik dari 500 gram per
minggu atau 200 gram per bulan.

2.2.6 Diagnosis
a. Data subjektif
1) Kenaikan berat badan
Kenaikan berat badan yang timbul secara cepat dalam waktuyang singkat
menunjukkan adanya retensi cairan dan dapat merupakan gejala paling dini
dari preeklampsia. Pasien sadar akan edema yang menyeluruh, terutama
pembengkakan pada muka dan tangan.
2) Sakit kepala
3) Gangguan penglihatan
4) Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas
Hal ini dapat mengindikasikan disfungsi hati dan harus dipertimbangkan
dengan perubahan gambaran darah yang dapat menunjukkan adanya sindrom
HELLP. Nyeri tersebut dipertimbangkan akibat distensi kapsula hati, baik
karena edema hemoragi dan cenderung muncul pada preeklampsia berat.
b. Data objektif
1) Pemeriksaan umum : tekanan darah meningkat.
Edema menunjukkan retensi cairan. Edema yang dependen merupakan
kejadian yang normal selama kehamilan lanjut. Edema pada muka dan tangan
tampaknya lebih menunjukkan retensi cairan yang patologik.
Kenaikan berat badan : kenaikan berat badan yang cepat merupakan suatu
petunjuk dari retensi cairan ekstravaskular.
Pemeriksaan retina : spasme arteriolar dan kilauan retina dapat terlihat.
Pemeriksaan toraks : karena edema paru merupakan salah satu dari
komplikasi serius dari preeklampsia berat.
Reflex tendon profunda (lutut dan kaki): hiperrefleksia dan klonus merupakan
petunjuk dari peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat dan mungkin
meramalkan suatu kejang eklampsia.
2) Pemeriksaan abdomen
Rasa sakit daerah hepar merupakan suatu tanda potensial yang tidak
menyenangkan dari preeklampsia berat, paru-paruharus diperiksa secara teliti.
Pemeriksaan uterus penting untuk menilai umur kehamilan, adanya kontraksi
uterus dan presentasi janin.
3) Pemeriksaan pelvis
Keadaan serviks dan stasi dari bagian terbawah merupakan pertimbangan
yang penting dalam merencanakan kelahiran pervaginam atau perabdominam.
4) Tes laboratorium
a) Pemeriksaan darah lengkap dan apusan darah
Peningkatan hematocrit dibandingkan nilai yang diketahui sebelumnya
memberi kesan hemokonsentrasi atau menurunnya volume plasma.
b) Urinalis
Proteinuria merupkan kealinan khas pada pasien dengan preeklampsia. Jika
contoh urin yang diambil secara acak mengandung protein 3+ atau 4 atau
urin 24 jam mengandung 5g protein atau lebih, preeklampsia dikatakan
berat (Winkjosastro, 2006).

2.2.7 Komplikasi
a. Pada ibu
1) Perdarahan otak
2) DIC (disseminated intravascular coagulation)
3) Perdarahan dihati
4) Kejang
5) Kematian
b. Pada janin
1) Abropsio plasenta
2) Kegawat daruratan janin
3) Kematian janin

2.2.8 Prognosis
Hipertensi karena kehamilan dan pre eklamsi ringan sering ditemukan tanpa
gejala, kecuali meningkatnya tekanan darah. Ini menjadi lebih buruk dengan
terdapatnya protein urin sehingga dapat menyebabkan pre eklamsi berat. Edema tidak
lagi menjadi suatu tanda yang sahih untuk pre eklamsi.

2.2.9 Penatalaksanaan
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklamsia
berat selama perawatan maka perawatan dibagi menjadi:
1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi ditambah
pengobatan medisinal.
Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan
pemeriksaan fetal assesment yaitu NST (Non Stress Test) dan USG
(Ultrasonography).
Indikasi :
a. Ibu
1) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
2) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklamsia, kegagalan terapi
konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi terjadi kenaikan desakan
darah atau setelah 24 jam perawatan medisinal, ada gejala-gejala status quo
(tidak ada perbaikan)
b. Janin
1) Hasil fetal assesment jelek (NST dan USG)
2) Adanya tanda IUGR (Intrauterine Growth Restriction)
c. Laboratorium Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi
hepar, trombositopenia).
2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan
medisinal.
a. Indikasi : bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
ipending eklamsia dengan keadaan janin baik.
b. Pengobatan medisial : sama dengan perawatan medisial pada pengelolaan aktif.
Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup intramuskuler saja
dimana 4 gram pada bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan (Maryunani,
2012).

2.3 Konsep Manajemen Kebidanan pada Masa Nifas dengan PEB


2.3.1 Pengkajian Data
Dalam langkah pertama ini bidan mencari dan menggali data atau fakta baik
yang berasal dari pasien, keluarga maupun anggota tim lainnya, ditambah dari hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh bidan sendiri. Proses pengumpulan data dasar ini
mencakup data subjektif dan objektif.
a. Anamnesa/ Data Subjektif
Data subjektif adalah data yang didapatkan dari keluarga pasien atau
pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian, informasi tersebut tidak dapat
ditentukan oleh tenaga kesehatan secara independen, tetapi melalui seuatu
interaksi atau omunikasi (Nursalam, 2008).
1) Biodata
Menurut Nursalam 2008, pengkajian biodata antara lain:
Nama : Untuk mengetahui nama klien agar mempermudah dalam
komunikasi.
Umur : Untuk mengethui adanya faktor resiko yaitu pada umur kurang
dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Karena alat-alat reproduksi
belum matang, mental dan psikis belum siap dan mudah terkena
resiko.
Agama : Untuk mengetahui agama yang dianut klien.
Pendidikan : Untuk mengetahui latar belakang, tingkat pendidikan dan
pengetahui sehingga dapat memberikan konseling ataupun
informasi sesuai pemahaman klien.
Pekerjaan : Untuk mengetahui keadaan ekonomi klien.
Alamat : Untuk mengethui lingkungan, tempat tinggal, dan karakteristik
masyarakat.
2) Keluhan utama
Untuk mengetahui keluhan yang dirasakan saat pemeriksaan serta
berhubungan dengan masa nifas. Pada kasus ibu nifas dengan preeklamsia
berat keluhannya meliputi nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri
kepala, edema paru, gangguan kesadaran.
3) Riwayat Menstruasi
Untuk mengetahui musia menarche, siklus haid, lamanya, banyaknya darah,
siklus, sifat darah, dan keluhan saat menstruasi.
4) Riwayat Kesehatan Sekarang dan Lalu
Untuk mengetahui keadaan pasien saat ini dan mengetahui adakah penyakit lain
yang memberatkan keadaan klien seperti penyakit jantung, TBC, asma, hepatitis,
diabetes mellitus, hipertensi, epilepsi, dan lain sebagainya.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga klien ada yang menderita penyakit
menurun seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit
menular seperti TBC, hepatitis, HIV/AIDS dan apakah ada riwayat keturunan
kembar.
6) Riwayat Operasi
Untuk mengetahui apakah klien pernah melakukan operasi sebelumnya atau
tidak.
7) Riwayat Perkawinan
Untuk mengetahui status perkawinan, berapa kali menikah, umur pertama kali
menikah dengan suami, dan lamanya (Wiknjosastro, 2008).
8) Riwayat Keluarga Berencana
Untuk mengetahui klien pernah menggunakan KB atu tidak. Jika sudah berapa
lama memakainya dan berhenti menggunakan KB apa dan apakah ada keluhan
atau tidak selama pemakaian (Nursalam, 2008).
9) Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Nifas yang lalu
Kehamilan : Untuk mengetahui berapa umur kehamilan
Persalinan : Spontan tidak, ditolong oleh siapa
Nifas : Keadaan klien baik/ tidak, bagaimana proes laktasinya.
Anak : Jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan serta keadaan anak
sekarang.
10)Pola Kebiasaan Sehari-hari
- Pola Nutrisi
Dikaji untuk mengetahui makanan yang biasa dikonsumsi dan porsi makan
dalam sehari. Pada ibu nifas dengan preeklamsia berat, makanan diet biasanya
(tinggi protein tinggi karbohidrat dan rendah garam).
- Pola Eliminasi
Pola BAK/BAB perlu dikaji, disebut normal bila dapat BAK spontan setiap 3-
4 jam. BAB biasanya 2-3 hari post partum masih sulit (Ambarwati, 2008).

- Pola Aktivitas
Dikaji untuk mengetahui apakah preeklamsia berat disebabkan karena aktifitas
fisik secara berlebihan.
- Pola Istirahat
Dikaji untuk mengetahui kebiasaan istirahat klien, siang dan malam berapa jam.
- Pola Seksualitas
Dikaji untuk mengetahui berapa kali melakukan hubungan seksualitas dengan
suami dalam seminggu dan apakah ada keluhan atau tidak.
- Pola Psikososial Budaya
Perlu dikaji dalah tanggapan ibu terhadap kondisi yang dialami waktu nifas ini.
Selain itu klien juga memerlukan dukungan emosional dan psikologis dari suami
maupun keluarga dalam berbagai hal.
b. Pemeriksaan Fisik/ Data Objektif
Data objektif adalah pencatatan yang dilakukan dari hasil pemeriksaan fisik,
pemeriksaan khusus kebidaan dan data penunjang.
1) Pemeriksaan Umum
- Keadaan Umum : Untuk mengethaui keadaan umum. Ibu tampak tidak
sehat atau lemas setelah persalinan.
- Kesadaran : Untuk mengetahui tingkat kesadaran ibu.
Tanda-Tanda Vital meliputi:
- Tekanan Darah
Untuk mengethaui faktor resiko hipertensi. Tekanan darah normal 120/80
mmHg. Pada kasus ibu nifas dengan preeklamsia berat >160/100 mmHg.
- Suhu
Untuk mengetahui ada peningkatan suhu tubuh tidak, normalnya suhu tubuh
36,5-37,50C.
- Nadi
Untuk mengetahui denyut nadi klien dengan menghitung dalam 1 menit.
Normalnya 60-100x/menit.
- Respirasi
Untuk mengetahui frekuensi pernafasan yang dihitung dalam 1 menit.
Normalnya 16-24x/menit.
2) Pemeriksaan Sistematis
Kepala : Untuk mengetahui rambut klien bersih atau tidak, mudah rontok
atau tidak.
Muka: Untuk mengetahui ada oedema tau tidak, pucat atau tidak. Pada
kasus preeklamsia pemeriksaan pada muka ibu terdapat oedema.
Mata : Untuk mengetahui oedema taua tidak, konjungtiva pucata atau
tidak, dan sklera putiha atau tidak.
Mulut : Untuk mengetahui ada stomatitis atau tidak, ada karies atau tidak,
gusi berdarah atau tidak.
Leher: Untuk mengetahui adakah pembesaran pada kelenjar tiroid, limfe,
atau adanya bendungan vena jugularis atau tidak.
Payudara : Untuk mengetahui apakah terdapat hiperpigmentasi atau tidak,
keadaan puting susu dan kolostrum sudah keluar atau belum.
Abdomen : Dikaji untuk mengetahui keadaan luka bekas operasi, tinggi
fundus uteri serta kontraksi uterus baik atau tidak.
Genetalia : Dikaji untuk mengetahui pengeluarn lochea apakah sesuai dengan
hari atau tidak.
Ekstrimitas : Dikaji untuk mengetahuia apakah ada oedema pada ekstrimitas
atas dan bawah atau tidak.
3) Pemeriksaan Penunjang
Data penunjang diperlukan untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium. Hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan protein urin 5 gram atau lebih,
pemeriksaan urin didapatkan dengan warna keruh dengan butiran.

2.3.2 Identifikasi Diagnosa dan Masalah Aktual


Interpretasi data dasar merupakan rangkaan, menghubungkan data yang
diperoleh dengan konsep teori, prinsip relevan untuk mengetahui kesehtan klien, pada
langkah ini data diinterpretasikan menjadi diagnosa/ maslah.
a. Diagnosa kebidanan dalah diagnosa yang ditegakkan dalam lingkup praktek
kebidanan. Diagnosa yang ditegakkan adalah Ny. X P.....Ab.... Post partum SC
dengan.........
Data Subjektif:
Data subjektif daalah data yang diperoleh dari keterangan klien atau keluarga. Ibu
mengatakan nyeri epigastrrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, oedema
menjadi lebih umum, adanya protein urim, gangguan kesadaran.
Data Objektif:
Tekanan darah 160/110 mmHg, oliguria urin berkurang dari 400cc/24 jam,protein
urin lebih dari 5 gr/liter, oedema.
b. Masalah, adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman klien dari hasil
pengkajian..
c. Kebutuhan merupakan hal-hal yang dibutuhkan pasien dan belum teridentifikasi
dalam diagnosa dan masalah. Seperti pasang infus dengan RL , observasi tanda-
tanda vital ibu dan keadaan ibu, dan anjurkan ibu untuk istirahat cukup.
2.3.3 Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
Mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial yang sudah ada. Diagnosa potensial
yang mungkin terjadi yaitu Potensial terjadi eklamsia dan infeksi pada luka bekas
sectio caesaria.

2.3.4 Identifikasi Kebutuhan Segera


Bidan mengidentifikasi tindakan untuk segera ditangani atau dikonsultasikan dengan
dokter spesialis obgyn. Langkah ini mencerminkan kesinambungan dariproses
manajemen kebidanan. Tindakan ini bertujuan agar kegawdaruratan yang
dikhawatirkan dalam diagnosa potensial tidak terjadi.

2.3.5 Intervensi
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh, ditentukan oleh langkah-
langkah sebelumnya atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau diantisipasi. Rencana
asuhan dapar berupa:
- Jelaskan pada ibu tentang kondisinya
- Beri KIE tentang tanda-tanda bahaya Preeklamsia
- Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
- Pantau tekanan darah dan protein urin
- Anjurkan ibu untuk banyak istirahat
- Anjurkan ibu untuk diet rendah garam
- Kolaborasi dengan dokter SpOG dalam pemberian terapi

2.3.6 Implementasi
Langkah ini merupakan pelaksanaan rencana asuhan yang menyelutruh seperti yang
telah diuraikan pada langkah intervensi. Dilaksanakan secara efisien dan aman.
Perencanaan ini biasa dilakukan oleh bidan, sebagian dilakukan oleh klien atau tenaga
kesehatan lainnya.

2.3.7 Evaluasi
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan kebidanan yang sudah
diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah
terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi di dalam diagnosa
dan masalah.

Data Perkembangan
Data perkembangan berupa SOAP:
S : Subjektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesa.
O. : Objektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium,
dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung
assesment.
A : Assesment
Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa interpretasi data subjektif dan
objektif dalam suatu identifikasi diagnosa atau masalah, antisipasi diagnosa atau
masalah potensial.
P : Planning
Menggambarkan pendokumentasian tindakan dan evaluasi dari perencanaan
berdasarkan assesment.

Anda mungkin juga menyukai