Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dasar masa nifas (post partum)

1. Masa Nifas

a. Pengertian

Masa nifas (puerperium) adalah masa setelah lahirnya plasenta

hingga organ reproduksi khususnya alat-alat kandungan kembali pulih

seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas atau disebut juga puerperium

dimulai sejak 2 (dua) jam setelah lahirnya plasenta sampai dengaan 6

minggu (42 hari) setelah itu. Bila diartikan dalam ahasa latin.

Puerperium yaitu waktu mulai tertentu setelah melahirkan anak ini

disebut kata puer yang artinya bayi dan parous melahirkan. Sehingga

diartikan sebagai “setelah melahirkan bayi”. (Lina,Sri Wahyuni.2021).

Masa nifas dimulai setelah 2 jam postpartum dan berakhir ketika

alat-alat kandung kembali seperti keadaan sebelum hamil, biasanya

berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari, namun secara keseluruhan

baik secara fisiologi maupun psikologis akan pulih dalam waktu 3 bulan.

Jika secara fisiologis sudah terjadi peerubahan pada bentuk semula

(sebelum hamil), tetapi secara pssikologis masih terganggu maka

dikatakan masa nifas terseebut belum berjalan dengan normal atau

sempurna (Sulfianti, Evita.2021).

10
11

b. Adaptasi fisiologi pada masa nifas

Pada masa nifas alat-alat internal maupun eksternal berangsur-angsur

kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan keseluruhan alat

genetalia ini disebut involusi. Pada masa ini terjadi juga perubahan penting

lainya, perubahan-perubahan yang terjadi menurut Liliek, 2017 antar lain

sebagai berikut:

1) Uterus

Segerah setelah lahirnya plasenta, pada uterus yang berkontraksi posisi

fundus uteri berada kurang lebih pertengahan antara umbilikus dan

simfisis atau sedikit lebih tinggi. Dua hari kemudian, kurang lebih sama

dan kemudian mengerut, sehingga dalam dua minggu telah turun masuk

kedalam rongga pelvis dan tidak dapat diraba lagi dari luar. Involusi

uterus melibatkan pengorganisasian dan pengguguran desidua serta

penglupasan situs plasenta, sebagaimana diperhatikan dnegan

pengurangan dalam ukuran dan berat serta oleh warna dan banynya lokea

banyaknya lokea dan percepatan involusi tidak akan terpengaruh oleh

pemberian sejumlah preparat metergin dan lainya dalam proses

persalinan. Involusi tersebut dapat dipercepat prosesnya bila ibu menyuui

bayinya.

2) Lochea

Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan vagina

selama masa nifas. Lokea mempunyai bau khas, tidak seperti bau
12

menstruasi. Jumlah rata-rata pengeluaran lokia adalah kira=kira 240-270

ml. Bebrapa jenis lokea yang terdapat pada wanita pada masa nifas:

a. Lochea rubra (cruenta) berwarna merah karena berisi darah segar

dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, vernikscaseosa,

lanugo, dan mekoneumselama 2 hari pasca persalinan, inilah loche

yang akan keluar selama 2-3 hari post partum.

b. Lochea sanguilenta berwana merah kuning berisi darah dan lendir

yang keluar pada hari ke 3 samapi dengan hari ke 7 post partum.

c. Lochea serosa adalah lochea selanjutnya, dimulai dengan versi yang

lebih pucat dari lochea rubra. Loche ini berbentuk serum dan

berwarna merah jambu kemudian menjadi kuning. Cairan tidak

berdarah lagi pada hari ke 7 sampai hari ke 14 pascapersalinan.

d. Lochea rubra adalah lochea terakhir. Dimulai dari hari ke

14kemudian makin lama makin sedikit hingga sama sekali berhenti

sampai satu atau dua minggu berikutnya. Bentuknya seperti cairan

putih berbentuk krim serta terdiri atas leukosit dan sel-sel desidua

(Liliek pratiwi, Harnanik. 2017)

3) Endometrium

Perubahan pada endometrium adalah timbulnya trombosis, degenerasi, dan

nekrosis ditempat impantasi plasenta. Pada hari pertama tebal endometrium

2,5 mm, mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua, dan

selaput janin. Setelahtiga hari mulai rata, sehingga tidak ada pembentukan

jaringan parut pada bekas implantasi plasenta.


13

4) Serviks

Segera setalah berakhirnya kala TU, serviks menjadi sangat lembek,

kendur,dan terkulai. Serviks tersebut bisa melepuh dan lecet, terutama

dibagian anterior. Serviks akan terlihat padat yang menerminkan

vaskularitasnya yang tinggi, lubang serviks lambat laun mengecil,

bebrapa hari setelah serviks bagian luar akan membentuk seperti keadaan

sebelum hamil pada saat empat minggu postpartum.

5) Vagina, vulva dan perineum

Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat

besar selama proses melahirkaan bayi, dan dalam beberapa hari pertama

sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam keadaan

kendur, setelah 3 miggu vulva dan vagina kembali pada keadaan tidak

hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul

kembali sementara labia menjadi lebih menonjol. Humen tampak sebagai

tonjolan kecil dan salam proses pembentukan berubah menjadi

kurunkulae motiformis yang khas bagi wanita multipara. Segera setelah

melahirkaa, perineum menjadi kendur sebelumnya terganggu oleh

tekanan kepala bai yang bergerak maju. Perubahan pada perineum pasca

melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan. Robekan

jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomy

dengan indikasi tertentu. Pada postnatal hari ke 5, perineum sudah

mendapatkan kembali sebagaian besar onusnya sekalipun tetap lebih

kendur daripada keadaan sebelum melahirkan. Ukuran vagina akan selalu


14

lebih besar dibandingkan keadaan saat sebelum persalinan pertama.

Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat mengembalikan tonus

tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu.

6) Payudara (mamae)

Selama sembilan bulan hamil, jaringan payudara tumbuh dan menyiapkan

fungsinya untuk menyediakan makanan bagi bayi baru lahir. Setelah

melahirkan, ketika hormon yang dihasilkan plasenta tidak ada lagi untuk

menghambatnya kelenjar pituitari akan mengeluarkan prolaktin (hormon

laktogenik). Sampai hati ketiga setelah melahirkan, efek prolaktin pada

payudara mulai bisa dirasakan. Pembuluh darah payudara menjadi bengkak

terisi darah, sehingga timbul rasa hangat, bengkak, dan rasa sakit. Sel-sel

acini yang menghasilan ASI juga mulai berfungsi. Ketika bayi mengisap

puting, reflek saraf merangsang refleks let down (mengalirkan), sehingga

menyebabkan ejeksi ASI melalui sinus aktiferus payudara ke duktus yang

terdapat pada puting. Ketika ASI dialirkan karena isapan bayi atau dengan

dipompa sel-sel acini terangsang untuk menghasilkan ASI lebih banyak.

7) Sistem pencernaan

Setelah kelahiran plasenta, terjadi pula penurunan produksi progesteron,

sehingga yang menyebabkan nyeri ulu hati (heartburn) dan konstipasi,

terutama dalam beberapa hari pertama. Hal ini terjadi karena inaktivitas

motilitas usus akibat kurangnya keseimbangan cairan selama persalinan dan

adanya refleks hambatan defekasi karena adanya rasa nyeri pada perineum

akibat luka episiotomi


15

8) Sistem perkemihan

Diuresis dapat terjadi setelah 2-3 hari postpartum. Diuresis terjadi karena

saluran urinaria mengalami dilatasi. Kondisi ini akan kembali normal

setelah 4 minggu postpartum. Pada awal postpartum, kandung kemih

mengalami edema, kongesti, dan hipotonik. Hal ini disebabkan oleh

adanya overdistensi pada saat kala dua persalinan dan pengeluaran urine

yang tertahan selama proses persalinan. Sumbatan pada uretra

disebabakan oleh adanya trauma saat persalinan berlangsung dan trauma

ini dapat berkurang setelah 24jam.

9) Sistem endokrin

Saat plasenta terlepass dari dinding uterus, kadar HCG dan HPL secara

berangsur turun dan normal kembali setelah 7 hari postpartum. HCG

tidak terdapat dlam urine setelah 2 hari postpartum. HPL tidak lagi

terdapat dalam plasenta.

10) Perubahan tanda-tanda vital

Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 O C. Sesudah partus dapat

naik kuranf lebih 0.5 dari normal , namun tidak akan melebihi 8 derajat

celsius. Nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah partus,

dan dapat terjadi bradikardia. Pada bebrapa kasus ditemukan keadaan

hipertensi keadaan hipertensi postpartum akan menghilang dengan

sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang

menyertainya dalam ½ bulan tanpa pengobatan (Sitti Saleha, 2010).


16

c. Adaptasi psikologi pada masa nifaas

Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stres

pascapersalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini dieksperikan oleh

Reva Rubin yang terjadi pada tiga tahap berikut:

1)Taking in periode, terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan, ibu masih

pasif dan sangat bergantung pada orang lain. Fokus perhatian terhadap

tubuhnya, ibu lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan

yang dialami, serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat

2)Taking hold periode, berlangsung 3-4 hari postpartm, ibu lebih

berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab

sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat

sensitif, sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat

untuk mengatasi kritikan yang dialami ibu.

3)Letting go periode, dialami setelah tiba ibu dan bayi tiba dirumah. Ibu

mulai secara penuh menerima tanggung jawab sebagai “seorang ibu”

dan menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada

dirinya (Sitti Saleha, 2010).

B. Konsep Perineum

1. Pengertian

Perineum adalah daerah antara vulva dan anus. Biasanya setelah

melahirkan perineum menjadi agak bengkak atau memar dan mungkin ada

luka bekas jahitan robekan atau episiotomi. Perineum mempunyai peran


17

penting dalam persalinan normal, perineum dapat mengalami laserasi atau

ruptur pada saat peroses persalinan. Perineum juga berfungsi sebagi

pengontrol aktivitas berkemih, buang air besar, dan aktivitas seksual.

Perineum berasal dari bahasa latin, dan dalam bahasa yunani disebut

perineos(nepiveos). Perineum wanita, outlet inferior dari panggul adalah

bagian tubuh yang terletak pada daerah antara vulva dan rektum,dibatasi

oleh :

a. Anterior : simfisis pubis

b. Posterior : os coccigis

c. Lateral : ramus pubis inferior, ramus ischi inferior

d. Postlateral : ligamen sakrotuberous

e. Roof : dasar panggul

f. Base : kulit dan otot (Sulastry, Elly.2021).

2. Anatomi perineum dan sfingter anal

Perineum sering disebut sebagai bangunan pintu luar panggul

yang merupakan pintu keluar saluran genitourinaria serta gastrointestinal.

Batas-batas parineum meliputi arcus pubis di anterior, coxaea di posterior,

ischiopubic, tuber os ischium, dan ligamen sacrotuberosum di sisi lateral.

Perineum berada dipermukaan inferior diafragma pelvis, dilapisi kulit

sampai dengan melanjutkan ke sisi media paha dan abdomen sisi inferior.

Batas terdalam perineum adalah permukaan bawah diafragma pelvis dan


18

batas terluarnya adalah kulit, yang melanjutkan ke sisi medial paha dan

berut bagian bawah (Nuring Pangestuti. 2021).

Perineum merupakan bangunan tiga dimensi terdiri dari 2 struktur

segitiga saling berhadapan pada garis tranversal yang terletak diantara

tuber os iskial. Segita depan disebut segitiga urogenital, di dalamnya

terdapat urethra dan organ-organ genitalia eksterna. Segitiga belakang

yang terdapat pada akhir dari kanalis analis disebut sebagai segitiga anal.

Segitiga urogenal dibatasi di bagian depan dan lateral oleh simfisis pubis

dan rami iskiopubik. Dua kompertamen penyusunnya adalah sisi luar dan

sisi dalam parineum , yang dibagi oleh membran parineum, merupakan

struktur kompleks dengan banyak bagian, regio dorsal berisi lembaran

fibrosa bilateral transversa yang melekatkan dinding lateral vagina dan

badan perineum pada ramus iskiopubik. Regio ventral merupakan jaringan

padat tiga dimensi dimana terdapat beberapa struktur yaitu kompresor

uretra dan otot sfingter uretrovagina dari bagian distal uretra dengan

jaringan penyokong di sekelilingnya (Nuring Pangestuti. 2021).

Segitiga anal terdiri dari kanalisis analis, sfingter anal, dan fossa

iskioanal. Pada segitiga inilah berakhir rektum. Kanalis analis secara

bedah (surgical anal canal) memiliki panjang sekitar 4 sentimenter, terletak

dari tepi anal ke ring anorektal. Di bagian inilah terletak level proksimal

kompleks levator-sfingter ani eksterna. Kanalis analis secara klinis (clinic

anal canal) berkaitan dengan pemeriksaan digital atau sonografi,tetapi

tidak berkaitan dengan gambaran hispotologi. Secara embriologi, kanalis


19

analis terbentang dari katup anal ke batas anal dan panjangnya sekitar 2

sentimeter (Nuring Pangestuti. 2021).

Kompleks sfingter anal yang terbentang sepanjang 3-4 sentimeter

terdiri dari otot sfingter ani eksterna dan interna yang dipisahkan oleh

lapisan konjoin longitudinal (Nuring Pangestuti. 2021)

3. Laserasi

Laserasi merupakan perlukaan jalan lahir yang terjadi pada saat

kelahiran bayi melalui pervaginam. Leserasi jalan lahir terjadi pada hampir

semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya.

Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah pendarahan, darah

segar yang mengalir setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan

plasenta normal. Gejala yang sering terjadi anatara lain pucat, lemah, pasien

dalam keadaan mengigil. Penyebab laserasi jalan lahir diantaranya adalah

episiotomi yaitu insisi yang sengaja dilakukan pada jalan lahir (vagina dan

sekitarnya) pada kala II persalinan untuk memperluas jalan lahir sebagai

pencegahan dari keterlambatan mengeluarkan kepala janin sehingga

memudahkan peroses persalinan. Luka pada jalan lahir meliputi laserasi

pada perineum,vagina dan servik (Sulastry, Elly.2021).

4. Jenis laserasi jalan lahir

Luka yang terjadi biasanya ringan tetapi seringkali juga terjadi luka

yang luas dan berbahaya, untuk itu setelah persalinan harus dilakukan
20

pemeriksaan di jalan lahir setelah proses persalinan normal. Laserasi

perineum adalah luka pada perineum yang disebabkan oleh 2 hal yaitu:

a. Spontan, terjadi karena peregangan perineum tanpa disengaja karena

tekanan kepala dan tubuh bayi pada proses persalinan.

b. Alat atau tindakan (episiotomi), terjadi karena dilakukan sayatan atau

pengguntingan pada perineum dengan bantuan instrumen untuk

memperluas jalan lahir.

Laserasi dengan alat disebut dengan eposiotomi atau juga dikenal

dengan perineotomi, yaitu sayatan bedah pada perineum dan dinding

posterior pada vagina yang umumnya dilakukan oleh bidan atau dokter

kandungan. Episiotomi biasanya dilakukan pada kala II persalinan. Jenis

episiotomi yaitu:

a. Episiotomi median ( medial), dimulai dari postrerior fourchette dan

sepanjang garis tengah melalui tendon sentral periineum.

b. Modifikasi median episiotomi, sayatan dimulai pada garis tengah dan

diarahkan ke samping dan ke arah yang berlawanan dari sfingter ani.

c. Episiotomi ‘J’ shape, dimulai dengan sayatan digaris tengah kemudian

melengkung ke arah tuberositas ischiadika jauh dari sfingter ani.

d. Episiotomi lateral, dimulai dari garis tengah vulva dan diarahkan ke

bawah menuju tuberositas ischia

e. Episiotomi mediolateral, diarahkan secara diagonal dari vulva ke sudut

kanan atau kiri, sekitar 2,5 cm.


21

Laserasi perineum dapat didiagnosis secara langsung melalui

pemeriksaan fisik terutama setelah persalinan, selain itu pemeriksaan colok

dubur juga dapat dilakukan untuk memastikan apakah ruptur hingga ke

sfingter atau saluran anus. Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi

juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis ruptur perineum (Sulastry,

Elly. 2021).

5. Derajat ruptur perineum

Jenis robekan perineum berdasarkan luasnya adalah sebagai berikut:

a. Derajat satu : robekan ini terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian

depan , kulit perineum

b. Derakat dua : robekan ini terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian

depan, kulit perineum dan otot-otot perineum

c. Derajat tiga : robekan ini terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian

depan, kulit perineum, otot-otot perineum dan sfingter eksterna

d. Derajat empat : robekan dapat terjaadi pada seluruh perineum dan

sfingter ani yang meluas sampai ke mukosa (Shinta, Kholifatul.

2019)

Gambar 2.1 Ruptur perineum berdasarkan tingkat robekan


Sumber :Nuning Pangastuti, 2021
22

6. Etiologi dan faktor resiko

Persalinan secara fisiologis dapat menyebabkan robekan perineum yang

tidak diinginkan secara spontan (ruptur) dengan derajat bervariasi. Ruptur

perineum adalah penyebab kedua dari perdarahan post partum setelah atonia

uteri. Usia ibu ≥35 tahun meningkat resiko ruptur perineum. Aktivitas fisik

yang cukup dan multiparitas menurunkan resiko ruptur perineum.

Ruptur perineum spontan dapat mengikuti setiap persalinan pervaginam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan resiko ruptur derajat 3 sampai

4, diantaranya adalah multipara, proses persalinan kala II, posisi peristensi

oksiput posterior, ras Asia, dan penggunaan anestesi lokal

1) Faktor risiko terkait dengan ibu atau kehamilan itu sendiri:

a. Persalinan pertama

Pada kondisi ini jaringan perieum relatif masih kaku sehingga

kerusakan perineum dan dasar panggul secara umum menjadi lebih

berat.

b. Usia ibu

Pada perempuan usia lebih tua (lebih dari 35 tahun), dimungkinkan

telah terjadi perubahan struktur jaringan penyambung. Pada usia

remaja, robekan luas perineum disebutkan berhubungan dengan

akibat kurangnya persiapan fisik maupun mental untuk mengdapai

persalinan, serta sering kali karena tidak adanya pasangan yang

mendampingi saat persalinan.


23

c. Panjang perineum

Meskipun panjang corpus perineal sebelum persalinan tidak

berhubungan langsung dengan terjadinya robekan perineum, tapi

pada perempuan dengan perineum pendek, atau berarti panjang

corpus perineaal kurang dari 3 sentimeter memiliki risiko lebih

tinggi mengalami episiotomi, mengalami robekan perineum yang

luas sampai dengan sfingter anal, maupun persalinan dengan

bantuan alat yang menambah risiko cedera perineum.

d. Usia kehamilan dari 42 minggu

Disebutkan keadaan ini berkaitan dengan perubahan hormonal

yang mengakibatkan perubahan struktur fisik jaringan penyambung

perineum sehingga kurang elastis

e. Riwayat robekan perineum pada persalinan pertama

f. Risiko robekan spontan meningkat dengan beratnya robekan

perineum pada persalinan yang pertama atau sebelumnya (Nuning

Pangastuti.2021).

2) Faktor risiko terkait dengan janin

a. Berat janin

Peningkatan taksiran berat janin atau berat bayi saat lahir (terutama

bila lebih dari 4 kilogram) berhubungan degan beratnya trauma otot

springter anal, khususnya berkaitan dengan diperlukannya tindakan

episiotomi maupun persalinan vaginal beerbantu alat.


24

b. Malposisi atau malpresentasi

Pada keadaan misalnya janin dengan posisi accipitoposterior

persisten (yang tidak dapat diprediksi), presentasi muka maupun

dagu, juga distosia bahu. Keadaan ini dapat berakibat ketidak

sesuaian struktur anatomi janin dengan dasar panggul dan perineum

sehingga risiko cedera perineum sangat besar (Nuning

Pangastuti.2021).

3) Faktor terkait dengan proses persalinan

a. Induksi persalinan

Meskipun alasanya belumlah dipahami dengan jelas, beberapa

pustaka menyebutkan induksi persalinan berkaitan dengan proses

persalinan yang cepat, berakibat jaringan perineum tidak memiliki

waktu cukup untuk beradaptasi terhadap regangan saat proses

penurunan maupun lahirnya bagian terbawah janin.

b. Partus presipitatus

Waktu yang dibutuhkan jaringan dasar panggul dan peruneum

untuk beradaptasi terhadap penekanan bagian terbawah janin pada

proses persalinan menjadi lebih singkat sehingga belum cukup

untuk mencapai tingkat elestisitas jaringan yang diperlukan

c. Kala II lama

Umumnya berakibat penekanan bagian terbawah janin dan proses

persalinan yang lama sehingga terjadi perubahan struktur jaringan


25

perinum. Dasar panggul dan perineum lebih edematous, rapuh, otot

menjadi mudah robek

d. Persalinan dengan instrumen atau alat baik vakum maupun forceps

(persalinan vaginal operatif)

Penggunaan alat-alat ini dapat menambah diameter ukuran kepala

janin sehingga jalan lahir menjadi relatif lebih sempit, dapat

menyebabkan trauma luas jalan lahir sampai dengan sfingter anal.

e. Posisi litotomi dengan fleksi dan abduksi panggul

Posisi ini menyebabkan peregangan maksimal perineum sehingga

ketika kepala atau bagian terbawah janin masuk panggul, otot

perineum sudah tidak dapat lebih merenggang lagi, akhirnya

mengalami robekan.

f. Proses mengejan yang terlalu awal

Hal ini mengakibatkan peregangan jaringanterlalu lama,

selanjutnya menjadi rapuh dan mudah robek (Nuning Pangastuti,

2021).

4) Faktor risiko terkait dengan penolong persalinan

a. Episiotomi

Pada persalinan tanpa episiotomi, peregangan maksimal corpus

perinaele saat kala II persalinan tidak memiliki pengaruh buruk

pada dasar panggul pascappersalinan. Episiotomi mediana maupun

mediolateral merupakan faktor risiko independen trauma sfingter

ani
26

b. Tindakan menahan kepala bayi saat akan lahir yang terlalu aktif

Tindakan oleh penlong persaalinan ini justru dapat meyebabkan

trauma jaringan perineum.

c. Anestesi lokal secara infiltrasi menjelang kala II atau episiotomi

Tindakan ini akan melemahkan kapsula sfingter sehingga menjadi

predisposisi terjadiny robekan perineum (Nuning Pangastuti, 2021).

7. Fase penyembuhan luka

Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi

jaringan yang rusak. Sifat penyembuhan pada semua luka adalah sama dengan

variasi bergantung pada lokasi, keparahan dan luas cidera. Ada 3 fase

penyembuhan luka yaitu :

a. Fase inflamasi (reaksi)

Fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai

setelah beberapa menit dan berlangsung sekitar 3 hari setelah

cedera.

b. Proliferasi/regenerasi

Fase poliferasi ditandai dengan munculnya pembuluh darah baru

sebagai hasil rekonstruksi, fase proliferasi terjadi dalam waktu 2-3

hari.
27

c. Maturasi/remodeling

Fase maturasi merupakan tahap akhir proses penyembuhaan luka.

Dapat memerlukan waktu leebih dari 1 tahun, bergantung pada

kedalaman dan kerusakan luka ( Ismi Amalia, 2015).

8. Faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka perineum

a. Pengetahuan

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera

penglihatan dan pendengaran. Hal ini didukung penelitian yang

dilakukan oleh Suryaati dkk (2013) ada hubungan tingkat pengetahuan

ibu nifas tentang perawatan luka perineum dengan proses

penyembuhan luka dengan hasil sinifikan p-value 0.030.

kesimpulannya bahwa tingginya pengetahuan yang dimiliki oleh

responden akan mendukung mereka untuk bisa merawat luka

perineum dengan baik ( Herlina, 2020).

b. Indek masa tubuh (IMT)

Zat gizi sangat berperan dalam proses penyembuhan luka. Tahapan

penyembuhan luka sangat membutuhkan protein, vitamin A, vitamin

E. Didukung penelitian Hersanti Sulistyaningrum bahwa responden

dengan Indek Masa Tubuh (IMT) rata-rata 19,88 kg/m dan kadar

albumin normal mengalami percepatan penyembuhan luka operasi.

Menurut peneliti semakin baik IMT semakin cepat penyembuhan luka

operasi. Ibu nifas memerlukan nutrisi dan cairan untuk pemulihan


28

kondisi kesehatan setelah melahirkan, seperti karbohidrat, protein,

lemak, vitamin dan mineral. Hal ini akan meningkatkan indeks masa

tubuh yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka perineum

( Herlina, 2020).

c. Personal hygiene

Personal hygiene merupakan lagkah perawatan organ termasuk

didaerah genitalia untuk menghindari terjadinya infeksi. Personal

hygiene yang tidak benar mempengaruhi kebersihan atau kontaminasi

terhadap kuman. Perawatan luka perineum dapat dilakukan dengan

cara mencuci daerah genital dengan air dan sabun setiap kali sehabis

BAK dan BAB dengan arah bagian depan terlebih dahulu lalu ke

belakang, sebelum dan sesudahnya harus mencuci tangan, serta rajin

mengganti pembalut saat terasa penuh. Kebersihan daerah genetalia

dapat mengurangi risiko infeksi dannkomplikasi sehingga proses

penyembuhan luka perineum baik. Selain itu dengan keadaan bersih

tersebut ibu juga merasa nyaman sehingga scara tidak langsung

mengurangi stress dan meningkatkan imunitas ibu (Triyani, dkk,2021)

d. Lingkungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap anggotanya. Keluarga memandang bahwa orang

yang bersifat mendukung selalu siap diberikan pertolongan dan

bantuan jika diperlukan. Bentuk dukungan keluarga berupa kasih

sayang, tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling


29

membina. Bentuk dukungan tersebut membuat individu memiliki

perasaan nyaman, yakin, dipedulikan dan dicintai oleh keluarga

sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan baik yang

dianggap tidak dapat dikontrol.

e. Sosial budaya

Lingkungan sangat mempengaruhi, khususnya dipedesaan yang mana

masih melekatnya budaya pantang dari nenek moyang dan sangat

berpengaruh besar terhadap perilaku ibu pada masa nifas, misalnya

orang tua yang masih percaya dengan budaya pantang yang memang

sudah turun menurun dari nenek moyang dalam memilih dan

menyajikan makanan. Dukungan sosial, adat dan tradisi keluarga yang

mengarah pada kesehatan akan menjadi banyuan selama masa

pemulihan ( Herlina, 2020).

C. Konsep nyeri

1. Definisi nyeri

Nyeri menurut Internasional Association For The Study Of Pain

(IAPS) adalah sensor tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan yang potensial atau aktual atau

dijelaskan seperti kerusakan tersebut (Zahri, 2020)

Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat

individual, dikatakan bersifat individual karena respons individu terhadap

sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan lainya. Hal
30

tersebut menjadi dasar bagi perawat dalam mengatasi nyeri pada klien

(Asmadi.2017).

Nyeri diartikan berbeda-beda antarindividu, bergantung pada

persepsinya. Walaupun demikian, ada satu kesamaan mengenai persepsi

nyeri, secara sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatusensasi yang tidak

menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan

dengan adanya suatu kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu

merasa tersiksa, menderita yang akhirnya akan menggangu aktivitas sehari-

hari, psikis dan lain-lain (Asmadi.2017).

2. Fisiologi nyeri

Mekanisme timbulnya nyeri cidera jaringan dan pengalaman

subjektif nyeri terdapat empat proses nyeri tersendiri :

a. Tranduksi

Proses dimana aliran saraf aferen menerjemahkan stimulus kedalam

implus nosiseptif. Serabut A-delta dan C berperan sebagai penghantar

nyeri.

b. Transmisi

Suatu proses dimana implus disalurkan menuju kornu dorsalis medulla

spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron

aferen primer pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan

kimiawi. Aksonnya berakhir dikornu dorsalis medulla spinalis dan

selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.


31

c. Modulasi

Proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural

signals). Proses ini terjadi di kornu dorsalis medulla spinalis.

Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat

ditemukan di kornu dorsalis. System nosisseptif juga mempunyai jalur

desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan era otak lainya

ke otak tengah (midbrain) dan medulla oblongata, selanjutnya menuju

medulla spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah

penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu

dorsalis.

d. Persepsi

Hasil dari interaksi proses tranduksi, transmisi, modulasi, aspek

psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Organ tubuh yang

berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit

yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial

merusak. Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri

(Bahrudin, 2017).

3. Teori Gerbang Kendali Nyeri ( Gate Control Theory)

Tahun 1959 Milzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali

nyeri, yang menyatakan terdapat semacam pintu gerbang yang dapat

memfasilitasi transmisi sinyal nyeri. Gate Control Theory merupakan model

modulasi nyeri yang populer. Teori ini meyatakan eksistensi dari kemampuan
32

endogen untuk mengurangi dan meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui

modulasi implus yang masuk pada masuk pada kornu dorsalis melalui “gate”

(gerbang). Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan desendens maka input

akan ditimbang. Integrasi semua input dari neuron ssensorik, yaitu pada level

medulla spinalis yang sesuai dan ketentuan apakah gate akan menutup atau

membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri asendens.

Gate Control Theory ini mengakomodir variabel psikologis dalam persepsi

nyeri, termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi,,

dan reaksi stress dalam meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri

(Bahrudin, 2017).

Teori gate control dari Melzack dan Wall menyatakan bahwa impuls

nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang

sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat

sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan

tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori

menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan

serabut control desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-

A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi

impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor,

neuron betaA yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan

neurotransmitter penghambat.

Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka

akan menutup mekanisme pertahanan. , apabila masukan yang dominan


33

berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan

tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri

dihantarkan ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang

memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti

endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.

Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat

pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling, dan pemberian plasebo

merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Bahrudin, 2017).

4. Klasifikasi nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan

pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya seragam.

1) Nyeri berdasarkan tempatnya

a. Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

misalnya pada kulit, mukosa.

b. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang

lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral

c. Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena

penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke

bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

d. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena peraangsangan

pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan

lain-lain
34

2) Nyeri berdasarkan sifatnya

a. Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang

b. Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta

dirasakan dalam waktu yang lama.

c. Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi

dan kuat sekali, nyeri tersebut biasanya menetap kurang lebih

10-15 menit, lalu menghilang kemudian timbul lagi

(Asmadi.2017).

3) Nyeri berdasarkan berat ringannya:

a. Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah

b. Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi

c. Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

(Asmadi.2017).

4) Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan

a. Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang

singkat dan berakhir kurang dari enam bulan. Sumber dan

daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin

sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada

suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner.

b. Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan.

Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-

bulan bahkan bertahun-tahun (Asmadi.2017).


35

5. Skala nyeri Numeric Ratting Scales (NRS)

Merupakan skala umum dan sederhana. Pasien diminta untuk

melingkari angka dengan spasi yang sama pada halaman atau secara verbal

menilai intensitas nyeri menggunakan skala 0-10, di mana 0 mewakili “tidak

rasa sakit” dan 10 mewakili “ rasa sakit terburuk”. Keuntungana skala

numerik adalah kesederhanaan, reproduktivitas, dan kepekaanya terhadap

perubahan kecil pada nyeri. Skala nyeri dapat dipersepsikan sebagai berikut:

0 = tidak ada nyeri

1-3 = sedikit nyeri

4-6 = nyeri sedang

7-9 = nyeri berat

10 = nyeri paling hebat (nyeri berat). (Shila, Yulian, dkk.2021).

Gambar 2.2 Numeric Rating Scales


Sumber : Shila, Yulian, dkk. 2021

D. Penatalaksanaan nyeri perineum

1. Metode farmakologi

Nyeri perineum pascasalin dapat terjadi pada perineum dengan

riwayat dilakukan penjahitan maupun tidak. Hal ini diperberat oleh proses

inflamasi yang mungkin terjadi, dari yang ringan sampai dengan bila terjadi

abses. Paracetamol (asetaminofen) sering digunakan untuk mengurangi


36

nyeri ringan perineum pascasalin karena obat ini relatif tidak mahal, cukup

efektif, dan dengan risiko efek samping minimal terhadap ibu maupun bayi

(Nuring Pangastuti, 2021).

Pada nyeri yang lebih berat dipilih preparat analgesi yang lebih

kuat berupa anti inflamasi non-steroid seperti ibuprofen 600 mg dalam 2

dosis sehari, atau pemberian diklofenak (harus dicermati bahwa preparat ini

dapat menimbulkan iritasi lambung, gagal ginjal, dan masalah hematologi,

selain juga melewati air susu ibu).

Pada keadaan mual, muntah atau iritasi lambung, dianjurkan

penggunaan analgesi melalui rektum (suppositoria). Biasanya, preparat ini

lebih cepat bekerja mengurangi nyeri, serta berefek lokal saja. Analgesi

injeksi pethidine HCI dengan dosis 1mg/kg/hari intramuskuler bila perlu

hanya diberikan pada 2 jam pertama pascatindakan.

Diet harus diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi kesulitan

buang air besar, yang dikhawatirkan dapat meemngaruhi proses

penyembuhan luka. Pada robekan perineum derajat III-IV dapat diberikan

preparat laktulosa selama 3-20 hari, bergantung pada keluhan pasien.

Sebagai kelanjutan dari pengelolahan pascasalin, khususnya pada kasus

dengan riwayat penjahitan robekan perineum, penting diajarkan latihan otot

dasar panggul cara kegel. Latihan ini dapat dimulai sesegera mungkin, atau

setidaknya setelah rasa nyeri berkurang dan ibu merasa lebih nyaman

(Nuring Pangastuti, 2021).


37

Penggunaan yang tepat dari analgesik saja atau dengan

kombinasinya merupakan kunci untuk menurunkan intensitas nyeri.

Sayangnya, tidak semua nyeri dapat diintervensi dengan analgetik

sistematik bahkan beberapa penelitian menunjukan stigma yang kurang baik

ditunjukan pada penggunaan obat-obat penurun rasa nyeri. Ketakutan akan

terjadinya adiksi, toleransi, deprisi pernapasan, dan ketergantungan

menyebabkan klien menghentikan penggunaan analgesia. Tramadol yang

merupakan opioid sintetis memiliki efek samping mual, muntah, konstipasi,

dan konfusi pada lansia. Obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) dapat

menyebabkan dispepsia, perdarahan lambung, ulkus peptikumperdarahan

abnormal,kerusakan saluran cerna, dan nefritis ginjal akut. Sehingga

pentalaksanaan non-farmakologis dapat diterapkan sebagai pengganti

intervensi atau kombinasi dalam menurunkan intesnsitas nyeri (Enggal hadi,

2016).

2. Metode non farmakologi

Manejemen nyeri yang efektif tidak hanya memberikan obat yang

tepat pada waktu tang tepat, penatalaksanaan nyeri yang efektif juga dengan

mengkombinasian antara penatalaksaan farmakologis dan nonfarmatologis

yang mana pendekatan ini diseleksi berdasarkan kebutuhan dan tujuan

pasien secara individu keberhasilan terbesar sering dicapai jika intervensi

tersebut dilakukan secara simultan (Cristiani, 2018).


38

Manejemen nyeri non farmakologis merupakan upaya - upaya yang

dilakukan untuk mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan pendekatan

non farmakologi. Tindakan non farmakologis dapat digunakan sebagai

pelengkap dalam pemberian analgesik, tetapi tindakan non farmakologis

tidak ditujukan sebagai pengganti analgesik (Cristiani, 2018). Terdapat

beberapa jenis tindakan non farmakologi seperti , relaksasi, distraksi, Tens

(Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation), massage, pemberian

aromaterapi, kompres hangat dan kompres dingin.

E. Konsep kompres dingin

1. kompres dingin

Kompres dingin merupakan salah satu metode alternatif pengobatan

non farmakologi dalam penggunaan suhu rendah setempat yang dapat

menimbulkan beberapa efek fisisologis. Kompres dingin meningkatkan

proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan karena

kompres dingin terdapat efek anastesi yang dapat memperlambat

perkembangan bakteri ( Ristu, Jumratul, 2018).

Kompres dingin atau cold therapy merupakan modalitas terapi fisik

yang menggunakan sifat fisik dingin untuk terapi berbagai kondisi,

termasuk pada nyeri luka perineum. Kompres dingin bekerja dengan

mengontrol nyeri (Hasriani, Suhra, 2020).


39

Terapi dingin yang diberikan akan mempengaruhi implus yang

dibawa oleh serabut taktil A-Beta untuk lebih mendominasi sehingga

“gerbang” akan menutup dan implus nyeri akan terhalangi.

Dalam bidang kedokteran pada aplikasi dingin memberikan efek

fisiologis yakni menurunkan respon inflamasi, menurunkan aliran darah

dan mengurangi edema, mengurangi rasa nyeri lokal (Hasriani, Suhra,

2020).

2. Mekanisme kompres dingin

Kompres dingin merupakan tata cara menempatkan suatu barang

yang dingin di anggota tubuh yang luar. Pengaruh fisiologi yaitu

penyempitan pembuluh darah jantung, untuk menyurutkan kenyerian dan

untuk mengurangi aksi diujung saraf otot (Fika ayu, 2021)

Kompres dingin merupakan suatu terapi es yang dapat menurunkan

prostaglandin yang memperluat sensitivitas nyeri dan subkutan lain pada

tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi ( Amanda, 2017).

Menurut penelitian Rismawati, 2017 Teori The Potter and Perry

bahwa kompres dingin dapat meredakan nyeri. Teori ini mengatakan

bahwa kompres dingin bekerja dengan melepaskan endorfin. Proses ini

mengurangi transmisi nyeri melintasi serat C dan delta-A berukuran kecil,

lalu gerbang sinaptik menutup transimisi inmplus nyeri. Endorfin adalah

zat mirip morfin yang diproduksi oleh tubuh (termasuk bahan kimia

endogen) dan dalam kadar tinggi di sistem saraf. Endorfin ini bertindak
40

sebagai penghambat transmisi nyeri dengan menghalangi transmisi implus

dari otak dan sumsum tulang belakang. Kompres dingin digunakan untuk

meredakan nyeri dengan memperlambat konduksi saraf, menyebabkan

mati rasa dan sebagai anti iritasi. Penggunaan dingin dikaitkan dengan

memperlambat kemampuan saraf nyeri untuk mengarahkan rangsangan

nyeri.

Semakin tinggi kadar endorphin seseorang, semakin ringan rasa

nyeri yang dirasakan. Produksi endorphin dapat ditingkatkan melalui

stimulasi kulit. Stimulasi kulit dapat dilakukan dengan pemberian kompres

dingin (Amanda, dkk, 2017).

Teori gate control rasa sakit, dijelaskan es bertindak pada nosiseptor

(reseptor rasa sakit) untuk menumpulkan persepsi rangsangan mekanik dan

kimia lainya, termasuk rasa sakit, dengan menutup “ gerbang” sensasi ke

sistem araf pusat. Sesuai dengan teori ini, es yang dioleskan langsung ke

tempat rangsangan nyeri dapat mengurangi rasa sakit.

Kompres dingin dapat menurunkan aliran darah dan permeabilitas

kapiler di sekitar tempat penusukan. Selain itu kompres dingin juga dapat

menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah. Mekanisme kerja

tersebut dapat mengontrol perdarahan dan memfasilitasi koagualasi

dengan cara meningkatkan viskositas darah. Kondisi tersebut

mengakibatkan perdarahan, hematoma, dan ekimosis lebih sedikit terjadi

atau bahkan tidak terjadi saat kompres dingin pada jaringan ( Kristiyan,

2019).
41

3. Efek fisiologi kompres dingin

Kompres dingin mempunyai efek fisiologi antara lain:

a. Memperkecil membuluh darah (vasokontriksi)

b. Menurunkan permabilitas kapiler

c. Merelaksasikan otot

d. Mengurangi inflamasi

e. Penurunan prostaglandin

f. Meredakan nyeri dengan memperlambat aliran inplus nyeri

g. Efek anastesi lokal meredakan perdarahan dan oedema

(Ristu, Jumratul, 2018)

4. Tujuan pemberian kompres dingin

Menurut Widhi 2018, tujuan kompres dingin perineum sebagai berikut:

a. Mengurangi rasa nyeri

Kompres dingin berpotensi dengan merangsang permukaan kulit

guna mengendalikan nyeri. Terapi dingin yang dialokasikan akan

mempengaruhi implus yang dibawahkan oleh serat taktil delta-A

membuatnya lebih dominan, sehingga “pimtu” akan tertutup serta

implus nyeri akan terhambat.

b. Mengurangi pembengkakan

Kompres dingin yaitu tindakan penggunaan suhu rendah yang dapat

merangsang pembuluh darah menjadi menyempit dan memperlambat

aliran darah pada lokasi cedera.


42

c. Mempercepat penyembuhan luka

Kompres dingin dapat mempercepat penyembuhan luka, karena

dingin mempunyai efek analgetik pada area luka, sehingga

mengurangi aliran darah dan memngurangi perdarahan serta oedema.

d. Rasa nyaman

Kompres dingin akan membuat ibu nifas merasa nyaman oleh

dampak pereda rasa sakit pada kompres dingin dapat menurunkan

kecepatan arus saraf, kemudian implus nyeri akan berkurang

mencapai orak, akhirnya menyusutkan nyeri yang dialami.

5. Indikasi pemberian kompres dingin

a. Klien dengan suhu tubuh yang tinggi

b. Klien dengan batuk dan muntah darah

c. Pasca tonsilektomi

d. Radang, memar (Hasriani, Suhra, 2020).

6. Kontra indikasi kompres dingin

a. Luka terbuka, pada luka terbuka dingin dapat meningkatkan

kerusakan jaringan karena mengurangi aliran darah ke luka terbuka

b. Gangguan sirkulasi dingin dapat mengganggu nutrisi jaringan lebih

lanjut
43

c. Alergi atau hipertensivitas terhadap dingin. Beberapa klien memiliki

alergi terhadap dingin yang dimanifestasikan dengan respon

inflamasi.

7. Metode kompres dingin

Kompre dingin dapat dilakukan dengan menggunakan handuk kecil,

kain atau kasa yang dibasahi dengan air dingin atau menggunakan ice

pack, kemudian diletakkan pada daerah tempat luka dengan lama waktu

pemberian selama ±15 menit (Ristu, Jumratul, 2018).

Waktu pemberian kompres dingin yang disarankan 10-15 menit

hingga maksimal 20 menit, hindari memberikan kompres dingin terlalu

lama karena dapat menghambat sirkulasi darah dan mengganggu proses

penyembuhan luka ( Choirunissa, 2019).

Prosedur kompres dingin

No Tahapan kerja keterangan

1 Persiapan alat :
1. Lembar persetujuan
2. Buku catatan
3. Ice pack suhu 15OC
4. Termometer air raksa
5. Kain tipis / kassa pembungkus
ice pack
6. Celana dalam
7. Pembalut bersih
2 Persiapan pasien, perawat dan
lingkungan :
1. Memperkenalkan diri pada
pasien
2. Menjelaskan pada klien
prosedur yang akan dilakukan
3. Meminta persetujuan klien atau
keluarga
44

4. Mencuci tangan
5. Menutup tirai / korden disekitar
klien
6. Mendekatkan peralatan
3 Prosedur pelaksanaan :
1. Petugas mencucui tangan dan
memakai sarung tangan

2. Posisikan pasien pada posisi


dorsal rekumben

3. Meletakkan perlak dan pengalas


di awah area yang akan di
ompres, lepaskan celana dalam
pasien, bersihkan area
perineum.

4. Bungkus ice pack dengan kain /


kassa yang lembut dan bersih

5. Letakkan ice pack yang sudah


terbungkus pada daerah
sekitaran perineum pasien

6. Pasang kembali celana dalam


dan pembalut pasien
7. Bantu pasien untuk mengambil
posisi yang nyaman selama
tindakan

8. Biarkan kompre selama 15


menit.
9. Observasi setiap 5 menit sekali
selamaa tindakan yang
diberikan, bila keluhan nyeri
bertambah segera lepas kompes
es dari perineum ibu
10. Petugas melepaskan hansdcoon
dan mencuci tangan
11. Nilai skala nyeri ibu setelah
pemberian kompres es
45

4. Evaluasi :
1. Ucapkan terimakasih paa klien
atau keluarga
2. Segera laporkan adanya temuan
abnormal
3. Dokumentasikan hasil
pemberian kompres dalam
lembar observasi
(Sumber : Ricci, Susan Scotth, dkk.2010)

F. Aromaterapi lemon

1. Pengertian

Aromaterapi didefinisikan dalam dua kata yaitu aroma yang berarti

wangi-wangian (fragrance) dan therapy yang berarti perlakuan

pengobatan. Mekanisme kerja aromaterapi dalam tubuh manusia

berlangsung memalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan

sistem penciuman (Zahri, Ririen, 2020).

Aromaterapi adalah salah satu jenis pengobatan alternatif yang

menggunakan bahan cairan tidak menimbulkan efek samping bagi tubuh.

Aromaterapi dikenal sebagai minyak esensial, dan senyawa aromatik

lainya dari tumbuhan yang bertujuan untuk mempengaruhi suasana hati

atau kesehatan seseorang, mengurangi stres, menenangkan pikiran,

membangkitkan semangat dan meningkatkan konsentrasi (Yellyta, Noria,

2018).

Aromaterapi adalah istilah modern yang dipakai untuk menamai

proses penyembuhan kuno yang menggunakan sari tumbuhan aromatik

murni sebagai bahan terapi. Tuhuan proses penyembuhan melalui proses

aromaterapi yakni untuk meningkatkan kesehatan, kenyamanan tubuh,


46

relaksasi pikiran, dan ketentraman jiwa. Sari tumbuhan aromatik yang

dipakai diperoleh melalaui berbagai macam cara pengolahan dan dikenal

dengan nama minyak esensial. Aromaterapi dapat dilakukan dengan

berbagai cara seperti penghirupan, pengompresan atau berendam,

walaupun yang paling efektif adalah dengan massase ( Reni Sulistiowati,

2018).

Minyak esensial terdapat dalam suatau kantung kecil yang terletak

diantara dinding sel tumbuhan. Setiap saat, minyak esensial ini dilepaskan

dan beredar ke seluruh tubuh bagian tanaman unntuk mengantarkan pesan

yang membantu tumbuhan menjelankan fungsinya secara efisien. Proses

ini mengingatkan kita akan kerja hormon pada sistem tubuh manusia. Jadi,

minyak esensial bisa juga disebut dengan hormonya tumbuhan ( Reni

Sulistiowati, 2018).

2. Mekanisme kerja Aromaterapi

Minyak esensial lemon dapat diberikan lewat kertas tissue, kedua

belah tangan (dalam keadaan emergensi), alat penguap (vaporizer), dll.

Proses melalui penciuman merupakan jalur yang sangat cepat dan efektif

untuk menanggulangi masalah gangguan emosional seperti stres atau

depresi, juga beberapa macam sakit kepala. Ini disebabkan rongga hidung

mempunyai hubungan langsung dengan sistem susunan saraf pusat yang

bertanggung jawab terhadap kerja minyak esensial. Hidung sendiri bukan

merupakan organ penciuman, tapi hanya merupakan tempat untuk mengatur


47

suhu dan kelembaban udara yang masuk dan sebagai penangkal masuknya

benda asing melalui pernafasan.

Bila minyak esensial dihirup, molekul yang mudah menguap akan

membawa unsur aromatik yang terdapat dalam kandungan minyak tersebut

ke puncak hidung. Rambut getar yang terdapat didalamnya, yang berfungsi

sebagai reseptor, akan menghantarkan pesan elektrokimia ke susunan saraf

pusat. Pesan ini akan mengaktifkan pusat emosi dan daya ingat seseorang

yang selanjutnya akan mengantarkan pesan balik ke seluruh tubuh melalui

sistem sirkulasi. Pesan yang diantar ke seluruh tubuh akan dikonversikan

menjadi suatu aksi dengan pelepasan substansi neurokimia berupa perasaan

senang, rileks atau tenang ( Reni Sulistyowati, 2018).

Gambar 2.3 Mekanisme Terjadinya Proses Penciuman Pada Manusia


Sumber : Reni Sulistyowati, 2018

Aroma berpengaruh terhadap otak manusia seperti narkotika.

Aromaterapi yang dilakukan dengan cara dihirup melalui hidung akan

masuk ke seluran pernafas kemudian akan ke sistem limbik yang nantinya

aroma akan diproses sehingga dapat mencium aromanya. Pada saat

menghirup aromanya komponen kimia akan masuk ke bulbus olfactory.

Kemudian ke limbik otak, pada hal ini akan merangsang memori dan respon
48

emosional. Pada sistem hipotalamus berperan sebagai relay dan regulator

yang memunculkan pesan-pesan yang harus diterima kemudian diubah

menjadi tindakan yang berupa pelepasan senyawa berupa zat endorphin dan

serotinin. Endorphin merupakan zat kimia seperti orfin yang diproduksi

sendiri oleh tubuh yang memiliki efek mengurangi rasa sakit dan memicu

senang, tenang, atau bahagia. Sedangkan serotinin merupakan suatu kimia

tubuh yang bertindak sebagai neurotransmitter monooamino sekaligus

sebagai hormone yang terdapat pada sistem saraf pusat yang dipercaya

sebagai pemberi perasaan nyaman dan senang. Apabila serotinin yang di

produksi rendah atau sedikit kondisi tubuh akan menjadi depresi atau cemas,

sehingga berpengaruh langsung pada organ penciuman dan dioperasikan

pada otak untuk memberikan reaksi yang membuat perubahan fisiologi pada

tubuh, pikiran jiwa dan menghasilkan efek menenangkan pada tubuh dan

apat mengurangi nyeri (Rohima, Trisakti, dkk, 2021).

Aromaterapi lemon yang dihirup akan ditransmisikan ke pusat

penciumaan yang berada pada pangkal otak. Pada tempat ini berbagai sel

neuron menginterpretasikan bau tersebut dan mengantarkannya ke sistem

limbik yang selanjutnya akan dikirim ke hipotalamus utuk diolah. Wangi

yang di hasilkan oleh aromaterapi lemon akan menstimulasi thalamus untuk

mengaktifkan pelepasan atau pengeluaran neurotransmitter seperti

enchephaline, serotonin, dan endhorphin yang berfungsi sebagai penghilang

rasa sakit alami enchephalines merupakan neuromodulator yang berfungsi

menghambat nyeri fisiologi (Yellyta, Noria, 2018).


49

3. Kandungan aromaterapi lemon

Jeruk lemon merupakan buah yang baik dikonsumsi saat akan

memulai detoksifikasi. Lemon mempunyai komposisi utama gula dan

asam sitrat. Kandungan jeruk lemon antara lain flavonoid (flavanones),

lomonen, asam folat, tannin, vitamin (C, A, B1 dan P), dan mineral

(kalsium, magnesium). Jenis aromaterapi lemon berguna untuk pembersih

dan tonik, dapat menurunkan panas, meningkatkaan kekebalan tubuh, ati

oksidan, antiseptik, mencegah hopertensi, serta mengontrol emosi yang

berlebihan ( Zahri, Ririen, 2020).

Lemon mengandung 2,5% minyak atsiri, vitamin C, hesperidin dan

glikosida flavanon, musilago dan kalsium oksalat. Lemon essential oil

(EO) dikenal sebagai penghilang stres alami. Menghirup lemon essential

oil menyebabkan efek anti-stes dengan memodulasi aktivitas serotinim (5-

HT) dan dopamin (DA) (Vita, Vevi, 2021).

Kandungan minyak esensial lemon adalah terdiri dari hidrokarbon

terpene (97,1%), aldehid (1,7%), alkohol (0,6%) dan ester (0,3%).

Limonene adalah komponen yang paling dominan, yaitu 68,5%, hasil yang

diperoleh pada penelitian yang lain tentang minyak lemon. Proporsi β-

pinene dan γ- terpinene adalah 12,2% dan 7,2% ( Reny sulistyowati,

2018).

Minyak aromaterapi lemon mudah didapat dan mempunyai

kandungan limonen 66-80%, geranil asetat, nerol, linalil asetat, αpinen 1-

4%, terpinene 6-14%, dan myrcen. Limonen merupakan komponen utama


50

dalam senyawa kimia jeruk dapat menghamabat kerja prostaglandin karena

sifat antioksidan yang dimiliki senyawa kimia jeruk ini saat terjadinya

kerusakan sel, senyawa ini akan mengikat enzim endoperoksida. Enzim

endoperoksida adalah salah satu enzim yang bertanggung jawab terhadap

pembentukan prostaglandin, saat enzim ini telah terikat pembentukan

mediator-mediator nyeri akan terhambat sehingga dapat mengurangi rasa

nyeri. Selain itu limonen mengontrol siklooksigenase I dan II mencegah

aktivitas prostaglandin dan mengurangi rasa sakit (Yellyta, Noria, 2018).

4. Kontraindikasi

Menurut Koensomardiyah (2015) dalam Laila dan Romini (2021)

bahwa kontraindikasi atau ibu yang tidak boleh diberi aromaterapi, yaitu:

ibu dalam masa kehamilan dengan komlikasi kehamilan seperti diabetes

gestasional, tidak diberi informasi atau infomedconsent, persalinan

preterm/ kehamilan preterm (kehamilan <37 minggu), kehamilan ganda,

polyhidramnion, oligohidramnion, anemia patologis, asma atau

mempunyai penyakit pernapasan, mempunyai alergi.

5. Penatalaksanaan aromaterapi lemon

Minyak aromaterapi inhalasi disajikan dalam bentuk tissue yang

sudah diteteskan dengan minyak essensial lemon (3 tetes atau 0,3ml) yang

diletakkan disebelah bantal responden (jarak 20-30 cm dari hidung

responden) (Widiono, 2013).


51

Prosedur pemberian aromaterapi lemon

No Tahapan kerja Keterangan


1 Persiapan pasein :
1. Pastikan identitas pasien yang akan
dilakukan tindakan
2. Kaji kondisi pasien
3. Jelaskan kepada pasien dan keluarga
pasien mengenai tindakan yang akan
dilakukan
2 Persiapan alat :
1. Minyak esensial aromaterapi lemon
2. Tissue / kasssa
3. Pipet
3 Pra interaksi
1. Memberikan salam dan
memperkenalkan diri
2. Menjelaskan maksud dan tujuan dari
prosedur tindakan
3. Beri kesempatan pada pasien untuk
bertanya sebelum kegiatan dimulai
4. Menanyakan kesiapan pada pasien
Mencuci tangan dan menjaga privasi
pasien

Mengatur posisi pasien dengan posisi


duduk

Meneteskan 3 tetes aromaterapi dengan


pipet ke tissue/ kassayang bersih

Letakan tissue tersebut pada dada


responden dengan jarak 5-10 cm dari
hidung

Anjurkan pasien menghirup aromaterapi


lemon 2-3 kali tarikan nafas selama 5-10
menit

Merapikan kembali alat dan cuci tangan

4 Evaluasi :
1. Evaluasi hasil kegiatan
2. Kontrak pertemuan selanjutnya
52

3. Akhiri kegiatan dengan cara yang


baik
4. Merapikan alat
5. Cuci tangan

Sumber : (Sono, Rumpas, dkk, 2019)


53

G. Kerangka teori

Post Partum

Laserasi jalan lahir

Nyeri perineum

penatalaksanaan

Kompres dingin
Aromaterapi lemon
Faktor yang
berhubungan dengan
penyembuhan luka
perineum : Bersifat vasokontriksi Saluran pernapasan
(mengurangi aliran
1. Pengetahuan darah ke daerah tubuh
2. Personal Hygiene yang mengalami luka)
3. IMT Pusat pangkal otak
4. Lingkungan
keluarga
5. Sosial budaya Memperlambat aliran Sel neuron
implus nyeri menginterprestasikan bau

Hipotalamus Sistem limbik


(endorpin
Penurunan nyeri
&serotinin)

Sumber: Amanda (2017), Nuring Pangastuti (2021), Yeellyta, dkk (2018)

Bagan 2.1 Kerangka Teori

: Ditelit

: Tidak diteliti
54

H. Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang penting kedudukannya

dalam penelitian. Pada umumnya hipotesis dirumuskan untuk menggambarkan

hubungan dua variabel akibat. Ada dua jenis hipotesis yaitu hipotesis kerja atau

disebut dengan hipotesis alternatif, disingkat Ha. Hipotesis kerja menyatakan

adanya hubungaan antara dua variabel X dan Y, dan adanya perbedaan antara

dua kelompok. Kemudian hipotesis nol menyatakan tidak ada perbedaan antara

dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel X dan Y (Arikunto, 2014).

Hipotesis pada kerangka konsep diatas adalah :

Ha: Ada Pengaruh pemberian kompres dingin kombinasi aromaterapi lemon

terhadap pengurangan nyeri perineum ibu post partum di Wilayah Kerja

Puskesmas Perumnas tahun 2022.

H0: Tidak ada Pengaruh pemberian kompres dingin kombinasi aromaterapi

lemon terhadap pengurangan nyeri perineum ibu post partum di Wilayah

Kerja Puskesmas Perumnas tahun 2022.

Anda mungkin juga menyukai