Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL SKRIPSI

PEMANFAATAN LIMBAH IKAN SEBAGAI MEDIA


TAMBAHAN PADA SAMPAH ORGANIK TERHADAP
REPRODUKSI LALAT HITAM (Hermetia illucens L.)

RISMA LESTARI
11150950000033

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/ 1441 H
PROPOSAL SKRIPSI

PEMANFAATAN LIMBAH IKAN SEBAGAI MEDIA


TAMBAHAN PADA SAMPAH ORGANIK TERHADAP
REPRODUKSI LALAT HITAM (Hermetia illucens L.)

RISMA LESTARI
11150950000033

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/ 1441 H

2
LEMBAR PENGESAHAN

Judul penelitian : Pemanfaatan limbah ikan sebagai media tambahan pada


sampah organik terhadap reproduksi Lalat Tentara Hitam
(Hermetia illucens L.)
Lokasi : Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Depok, Jawa
Barat
Nama : Risma Lestari
NIM 11150950000033
:
Program Studi : Biologi
Fakultas : Sains dan Teknologi

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Melta Rini Fahmi, S.pi, M.Si Narti Fitriana, M.Si


NIP. 197606112002006604 NIDN. 0331107403

3
Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi

Dr. Priyanti, M.Si


NIP. 197505262000122001

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
–Nya, sehingga proposal skripsi dengan judul “Pemanfaatan Limbah Ikan
sebagai Media Pada Sampah Organik Terhadap Reproduksi Lalat Tentara
Hitam (Hermetia illucens L.)” dapat terselesaikan. Proposal skripsi merupakan
langkah awal sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan mata kuliah skripsi
yang harus ditempuh pada program Strata-1 di Program Studi Biologi, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam penyusunan proposal skripsi ini dapat
terselesaikan atas bantuan beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Narti Fitriana, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, saran dan motivasi dalam melakukan penelitian hingga
penulisan.

4
4. Dr. Melta Rini Fahmi.S.Pi,M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam melakukan penelitian
hingga penulisan.
5. Bapak Dr. Idil Ardi, S.Pi, M.Si selaku kepala Balai Riset dan Budidaya
Ikan Hias (BRBIH) dan Pak Danio Israhadi M.P yang telah memberikan
izin dan kesempatan untuk melaksanakan Penelitian di BRBIH, Depok,
Jawa Barat.
6. Segenap Dosen Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis.
7. Orang Tua, saudara/I, atas doa, motivasi dan selalu memberikan kasih
saying, doa dan dukungan serta semangat selama melaksanakan
perkuliahan.
8. Keluarga besar Univertas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya teman-teman seperjuangan Biologi 2015, atas semua dukungan,
semangat serta kerjasamanya.
9. Seluruh civitas akademika Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah memberikan
dukungan moril kepada penulis.

Untuk itu kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara
moril maupun materil, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT
membalas semua amal baik yang telah diberikan, amiin. Penulis menyadari dalam
pembuatan proposal skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan
perbaikannya sehingga akhirnya proposal skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi bidang pendidikan dan penerapan dilapangan serta bisa dikembangkan lagi
lebih lanjut.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, Oktober 2019

5
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR 4
DAFTAR ISI 6
DAFTAR GAMBAR 7
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………........ 8
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………... 10
1.3 Hipotesis ………………………………………………………………….. 10
1.4 Tujuan ……………………………………………………………………. 10
1.5 Manfaat …………………………………………………………………... 10
1.6 Kerangka Berfikir ………………………………………………………... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Biologi Lalat Tentara Hitam (Hermetia illucens L.) ……………………... 12

6
2.2 Sampah Organik ………………………………………………………...... 20
2.3 Limbah Ikan ……………………………………………………………… 21

BAB III METODE


3.1 Waktu dan Lokasi ……………………....................................................... 22
3.2 Alat dan Bahan ………………………………………………………........ 22
3.3 Cara Kerja ………………………………………………………………... 23
3.4 Parameter yang dihitung …………………………………………………. 25
DAFTAR PUSTAKA 27

DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1.
Kerangka berfikir ……………………………………………………... 11
Gambar 2.
Morfologi serangga Lalat Tentara Hitam ……………………………... 12
Gambar 3.
Morfologi larva serangga Lalat Tentara Hitam ……………………...... 13
Gambar 4.
Morfologi genital serangga Lalat Tentara Hitam betina (a) dan jantan
(b) ……………………………………………………………………... 14
Gambar 5. Morfologi telur Lalat Tentara Hitam ………………………………...... 14
Gambar 6. Tempat bertelur Lalat Tentara Hitam …………………………………. 15
Gambar 7. Siklus hidup Lalat Tentara Hitam …………………………………….. 16

7
Gambar 8. Celah kecil pada kayu tempat telur Lalat Tentara Hitam (a), PKM
(Palm Kernel Meal) (b), peletakan media bertelur Lalat Tentara Hitam
(c) ……………………………………………………………………... 23

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sampah merupakan sisa hasil pemanfaatan barang yang sudah tidak
terpakai. Sampah bagi sebagian orang masih dipandang sebagai sesuatu yang

8
tidak bermanfaat dan merugikan, terutama sampah organik. Sampah organik
menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga sebagian orang lebih memilih
untuk menjauhi sampah organik. Hal ini menyebabkan polemik bagi
kehidupan manusia dan lingkungannya, semakin tinggi tingkat konsumsi
manusia mengakibatkan sampah organik kian hari kian meningkat. Namun,
hal tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran manusia untuk tetap menjaga
lingkungan yang bersih dan sehat (Basriyanta,2007)
Menurut Alex (2012), sampah dapat digolongkan ke dalam beberapa
kategori. Berdasarkan sumbernya sampah digolongkan menjadi 7 golongan
yaitu sampah alam, sampah manusia, sampah rumah tangga, sampah
konsumsi, sampah perkantoran, sampah industri dan sampah nuklir. Sampah
konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan dari penggunaan barang seperti
sampah kulit makanan atau sisa makanan (Alex S, 2012), Sampah konsumsi
diantaranya ialah sampah makanan atau sampah restoran dan limbah ikan.
Pola perilaku masyarakat yang konsumtif memicu dihasilkannya sampa-
sampah sisa guna barang. Data dari Economist Intelegence Unit (EIU) pada
tahun 2016 menunjukan setiap orang Indonesia menyumbang 300 kg sampah
makanan per tahunnya, hal ini menempatkan Indonesia sebagai Negara nomor
dua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia. Dalam data tersebut
mrnunjukan pola konsumsi yang buruk membuat setiap tahunnya terjadi
peningkatan produksi sampah makanan. Sampah makanan yang dihasilkan
sebagian besar dari ritel, catering, dan restoran.
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan
protein yang sangat penting bagi manusia. Indonesia merupakan Negara
kepulauan yang memiliki potensi besar dalam pemanfaatan hasil perikanan.
Penanganan dalam pengolahan hasil perikanan harus dilakukan dengan baik,
karena ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food).
Selama pengolahan ikan, terdapat bagian-bagian ikan yang tidak
termanfaatkan, diantaranya kepala, ekor, sisik maupun organ dalam ikan yang
selanjutnya akan dibuang. Beberapa ikan yang tertangkap namun tidak
memiliki nilai ekonomi juga menjadi penyumbang bagi sampah atau limbah

9
ikan (Resmawati et al, 2012). Menurut Ditjen Perikanan (2007) terdapat 25–
30% hasil tangkapan ikan yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan
buangan.
Pengolahan sampah organik sejauh ini hanya terbatas pada
diciptakannya siklus hara dan dihasilkannya produk berupa pupuk kompos.
Kenyataannya dalam sampah organik masih terkandung banyak nutrien yang
belum dimanfaatkan secara maksimal. Seiring dengan perkembangan waktu,
alternatif pengolahan sampah organik tidak hanya dalam lingkup siklus hara
saja, namun beralih ke siklus nutrien guna memaksimalkan kandungan nutrien
yang masih banyak tersimpan didalam sampah organik. Siklus nutrien mampu
menghasilkan produk baru sebagai alternatif sumber protein dari sampah
organik yang selama ini menyebabkan permasalahan lingkungan. Dalam
mengelola sampah ikan menjadi barang dengan nilai ekonomi tinggi seperti
tepung tulang ikan atau kerupuk kulit ikan membutuhkan dana investasi yang
sangat tinggi tidak sebanding dengan nilai ekonomi dari produk yang
dihasilkan. Biokonversi merupakan proses transformasi, merombak
(dekomposisi), dan menghancurkan (degradasi) nutrien yang tersimpan dalam
sampah dan limbah organik untuk dijadikan protein jenis baru dengan
melibatkan mikroorganisme dan larva serangga. Biokonversi mampu
menciptakan siklus nutrien disamping siklus hara yang biasa dihasilkan. Agen
biokonversi yang banyak diperbincangkan saat ini ialah Larva Lalat Tentara
Hitam (Hermetia illucens) atau yang lebih dikenal dengan sebutan maggot.
Maggot menjadi agen biokonversi limbah organik yang merupakan alternatif
sumber protein yang telah mendapat perlindungan Paten Nasional yang
terdaftar di Direktorat Paten, DTLS, dan Rahasia Dagang, Kementerian
Hukum dan HAM dengan nomor P00201700575 (Fahmi, 2015)
Biokonversi oleh maggot semakin menarik perhatian banyak orang
sehingga munculah eksplorasi berbagai jenis material dan sampah organik
yang akan meningkatkan produksi maggot. Dalam siklus hidupnya Lalat
Tentara Hitam (Hermetia illucens) menghabiskan sebagian besar pada fase
larva yaitu 25-35 hari. Sedangkan fase dewasa berlangsung 5-6 hari. Hal ini

10
menunjukan bahwa selama hidupnya Lalat Tentara Hitam menjadi agen
biokonversi yaitu maggot. Keberadaan maggot yang dinilai penting
mengharuskan ketersediaan telur yang dihasilkan Lalat Tentara Hitam lebih
banyak. Induk Lalat Tentara Hitam dapat bertelur sekitar 320-1.000 telur
setiap siklus hidupnya. Pada fase dewasa Lalat Tentara Hitam tidak
memerlukan makanan karena memiliki cadangan nutrisi pada fase larva
(Fahmi, 2015). Penambahan material lain pada media tempat hidup maggot
menjadi penting untuk meningkatkan nutrisi maggot. Penambahan material
lain salah satunya adalah limbah ikan yang telah dihaluskan. Penambahan
limbah ikan dalam sampah organik sebagai media bagi maggot diharapkan
mampu meningkatkan nutrisi maggot sehingga dihasilkan maggot yang dapat
menjadi induk unggul yang memproduksi telur lebih banyak.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pemanfaatan
limbah ikan sebagai media tambahan pada sampah organik terhadap reproduksi
Lalat Tentara Hitam (Hermetia illucen L.) ?

1.3 Hipotesis
Pemanfaatan limbah ikan berpotensi sebagai media tumbuh larva
Lalat Tentara Hitam (Hermetia illucens L.) yang mempengaruhi reproduksi
serangga Lalat Tentara Hitam.

1.4 Tujuan
Tujuan pada penelitian ini ialah menganalisis pengaruh penambahan
limbah ikan pada sampah organik terhadap reproduksi Lalat Tentara
Hitam (Hermetia illucens L.).

1.5 Manfaat
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi landasan dalam
pengembangan media biokonversi sampah organik untuk menghasilkan
serangga Lalat Tentara Hitam (Hermetia illucens L.) yang unggul, serta

11
menjadi sebuah nilai tambah khasanah pengetahuan ilmiah dalam bidang
biokonversi pengolahan sampah.

1.6 Kerangka Berfikir


Kerangka berfikir pada penelitian ini terdapat pada Gambar 1.

Peningkatan produksi sampah organik


setiap tahunnya

Sampah sisa restoran (Food Waste) Limbah Ikan

Biokonversi

Larva Lalat Tentara Hitam (Hermetia


illucens L.) atau maggot

Maggot sebagai alternatif pakan ternak

Peningkatan nutrisi media tumbuh


maggot

12
Maggot Serangga Lalat Tentara Hitam
(Hermetia illucens L.)

Reproduksi

Telur

Gambar 1. Kerangka berfikir

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Black Soldier Fly (Hermetia illucens)


Hermetia illucens atau dikenal sebagai Black Soldier Fly merupakan lalat yang
termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insekta, ordo Diptera,
famili Stratiomyidae, genus Hermetia dan spesies H. illucens (Popa & Green, 2012).
Lalat Tentara Hitam merupakan serangga yang memiliki dua pasang sayap pada toraks
kedua dan ketiga. Sayap berkembang kearah belakang, pada bagian abdomen terlihat
warna yang lebih terang. Dua pasang sayap tersebut memiliki fungsinya masing-masing
yaitu sayap pertama merupakan sayap fungsional yang digunakan untuk terbang,
sepasang sayap lainnya berfungsi sebagai penyeimbang yang dilengkapi dengan struktur
membran mesotoraks (Wardhana, 2016).

Lalat Tentara Hitam memiliki penguragan jumlah flagella, terutama pada segmen
ke delapan. Semua antena flagellomere berjumlah delapan buah berbentuk rata secara
lateral dengan flagellomere ke delapan lebih panjang dan tebal, tidak terdapat spina
(tulang) pada skutelum, dan terdapat piringan pada bagian belakang toraks kedua. Lalat
Tentara Hitam memiliki dua antenna yang cukup panjang serta memiliki panjang tubuh
12-17 mm (Popa & Green, 2012).

Gambar 2. Morfologi serangga Lalat Tentara Hitam

14
Adapun morfologi pada larva serangga Lalat Tentara Hitam atau maggot memiliki
tubuh berbentuk bulat datar dengan permukaan tubuh yang berkerut, kepala berwarna
jingga serta tidak memiliki hook (alat pengait). Tubuh maggot memiliki 11 segmen, pada
permukaan tubuh maggot ditemukan rambut dan pori-pori (Wardhana, 2016).
Magot memiliki kepala yang seolah-olah terpisah dari bagian tubuhnya dan
terdapat mulut yang berfungsi merombak bahan-bahan organik. Tubuh maggot berwarna
coklat muda atau krem dengan ukuran tubuh mencapai 20 mm dengan lebar 6 mm
(Wardhana, 2016)

Gambar 3. Morfologi larva Lalat Tentara Hitam

Lalat Tentara Hitam tergolong diptera yang memiliki dua pasang sayap dengan
sepasang sayap yang berkembang baik dan sepasang sayap kecil yang terletak pada bagian
belakang, berfungsi sebagai selter. Lalat Tentara Hitam dewasa memiliki panjang tubuh 13-
20 mm, dua antenna dan tiga pasang kaki berwarna putih kekuningan (Fahmi, 2015).
Lalat Tentara Hitam jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil jika dibandingkan
dengan Lalat Tentara Hitam betina. Perbedaan anatomi dari serangga jantan dan betina
terletak pada abdomen atau segmen perut bagian akhir. Pada Lalat Tentara Hitam betina
memiliki saluran retraktil, sedangkan Lalat Tentara Hitam jantan menunjukan aedeagus yang
berbentuk sepasang kait yang dapat mengapit organ reproduksi betina saat kopulasi (Fahmi,
2015)

15
♀ ♂

Gambar 4. Morfologi genital serangga Lalat Tentara Hitam betina dan jantan (Fahmi, 2015)

Telur Lalat Tentara Hitam tersusun sangat rapi karena induk Lalat Tentara Hitam
betina memiliki organ retraktil atau lebih dikenal dengan ovipositor yang berbentuk belalai
dan berfungsi untuk menata telur yang dikeluarkan. Telur berbentuk bulat oval dan berwarna
krem, namun apabila mendekati waktu penetasan (kurang lebih 3 hari) telur mengalami
perubahan warna menjadi kuning kecoklatan.

1 mm

Gambar 5. Morfologi telur Lalat Tentara Hitam

Lalat Tentara Hitam memiliki beberapa tahapan dalam siklus hidupnya


diantaranya tahap telur, tahap larva (maggot), tahap pre-pupa, tahap pupa, dan tahap
serangga dewasa. Siklus hidup Lalat Tentara Hitam dari tahap telur hingga menjadi
serangga dewasa berlangsung sekitar 40-43 hari, tergantung dari media pakan yang
diberikan serta kondisi lingkungan sekitar (Tomberlin et al., 2002). Kondisi lingkungan
tersebut meliputi beberapa faktor diantaranya suhu, kelembapan udara (humidity), dan
intensitas cahaya.

16
Lalat Tentara Hitam dewasa mampu memproduksi telur sekitar 320-1.000 butir
yang akan diletakkan di dekat sumber pakan pada substrat kering dan disembunyikan
diantara celah atau tumpukan lempengan, dengan tujuan menjaga kelembapan telur
sekaligus melindungi telur dari predator (Holmes, 2013). Pada habitat alami, Lalat
Tentara Hitam betina akan tertarik pada bau atau senyawa aromatik dari limbah organik
(atraktan) sehingga akan datang ke sumber bau untuk bertelur. Antraktan merupakan
senyawa yang diperoleh dari proses fermentasi dengan penambahan air ke dalam limbah
organik. Umumnya pada sumber antraktan akan terdapat lebih dari satu Lalat Tentara
Hitam untuk bertelur, hal ini disebabkan Lalat Tentara Hitam mengeluarkan hormon yang
memberikan signal bagi Lalat Tentara Hitam lain untuk menuju ke tempat yang sama,
yaitu feromon (Wardhana, 2016)
Perilaku Lalat Tentara Hitam yang meletakkan telur tidak pada sumber makanan
menunjukan bahwa Lalat Tentara Hitam bersifat higenis, berbeda dengan housefly (lalat)
yang meletakan telur tepat pada sumber makanan. Lalat Tentara Hitam diketahui hanya
bertelur satu kali selama hidupnya, setelah meletakkan telurnya Lalat Tentara Hitam akan
mati.

Gambar 6. Kayu sebagai media tempat lalat hitan bertelur

Telur dari Lalat Tentara Hitam memiliki panjang sekitar 1 mm, berwarna krem
dan akan berwarna cokelat ketika mendekati waktu menetas. Telur Lalat Tentara Hitam
terhimpun dalam bentuk koloni. Berat massa telur berkisar 15,8 – 19,8 mg dengan waktu
puncak bertelur terjadi sekitar pukul 14.00 – 15.00 dengan temperatur 27-28 °C atau
temperatur yang lebih tinggi, yakni 30-32 ° C (Dortmans et al., 2017). Menurut Gobbi et.
al (2013), jumlah telur berbanding lurus dengan ukuran tubuh lalat dewasa. Lalat Tentara

17
Hitam yang memilikiukuran tubuh lebih besar dengan ukuran sayap yang lebih lebar
cenderung lebih subur dibandingkan dengan lalat yang bertubuh dan sayap kecil.
Dalam waktu dua sampai empat hari, telur Lalat Tentara Hitam akan menetas dan
bergerak menuju sumber makanan. Larva yang baru menetas disebut larva instar satu
yang akan terlihat pada permukaan media tumbuh membentuk kumpulan seperti awan
putih. Larva akan terus berkembang dari instar satu hingga instar enam dalam waktu 22-
24 hari dengan rata-rata waktu 18 hari (Barros-Cordeiro et al., 2014).
Larva Lalat Tentara Hitam (maggot) akan menjauhi cahaya atau menuju tempat
yang gelap atau masuk ke celah-celah media pemeliharaan. Suhu menjadi faktor penting
yang mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup maggot selain
kelembapan udara. Menurut Fahmi (2015), pada suhu 23 °C menunjukan bahwa ukuran
tubuh maggot mencapai 20 mm dalam jangka waktu 32 hari, sedangkan pada suhu 30°C
ukuran tubuh maggot mampu mencapai 20 mm dalam waktu 20 hari saja. Selama fase
larva maggot mengalami enam fase instar yang dikenal dengan istilah moulting. Larva
Lalat Tentara Hitam memiliki kelangsungan hidup berkisar antara 75-90 % hingga
memasuki fase pre-pupa pada suhu 27-30°C (Barros-Cordeiro et al., 2014).

Gambar 7. Siklus hidup Lalat Tentara Hitam (Fahmi et al., 2009)

Tahapan prepupa terjadi sejak hari ke-19 yang ditandai dengan perubahan warna
tubuh yang mulai menghitam atau cokelat tua. Larva instar akhir (pre-pupa) mulai
berhenti makan dan melakukan migrasi meninggalkan media pakannya menuju tempat

18
yang lebih kering dan terlindungi dari predator serta cekaman lingkungan. Pada tahap
pre-pupa, bobot tubuh larva mulai berkuranng namun timbunan lemak maksimal sebagai
cadangan makanan saat larva memasuki fase metamorfosis. Sebelum memasuki fase
metmorfosis larva melalui fase pupa yang berlangsung selama 8 hari dengan perubahan
warna semakin gelap serta tidak lagi berkilau, kaku dengan salah satu ujung menekuk.
Setelah 8 hari pupa berkembang menjadi serangga Lalat Tentara Hitam (imago) (Alvarez,
2012)
Lalat Tentara Hitam yang telah berkembang sempurna telah siap melakukan
perkawinan. Selama fase serangga dewasa, Lalat Tentara Hitam memang memiliki fokus
utama yaitu aktivitas reproduksi, Lalat Tentara Hitam dewasa tidak memerlukan pakan
sepanjang hidupnya karena Lalat Tentara Hitam dewasa memanfaatkan cadangan lemak
tubuh yang diperoleh selama tahap larva sebagai sumber energi selama masa reproduksi.
Namun, pada Rachmawati et. al (2010) menjelaskan bahwa pemberian air dan madu
mampu memperpanjang lama hidup dan meningkatkan reproduksi telur. Lalat Tentara
Hitam yang hanya diberi minum air menunjukan angka kematian tertinggi pada hari
kelima hingga kedelapan, sedangkan pada Lalat Tentara Hitam yang diberi minum air dan
madu menunjukan angka kematian tertinggi pada hari ke sepuluh hingga ke sebelas.
Berdasarkan waktu bertelurnya, Lalat Tentara Hitam yang diberi madu mencapai puncak
waktu bertelur pada hari kelima, namun pada Lalat Tentara Hitam yang hanya diberi air
mencapai waktu puncak bertelur pada hari ketujuh (Fahmi, 2015).
Berdasarkan ukuran tubuh dan rentang waktu hidupnya, Lalat Tentara Hitam
jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil namun memiliki rentang hidup yang lebih
lama sekitar 9-10 hari, berbeda dengan Lalat Tentara Hitam betina yang memiliki ukuran
tubuh yang lebih besar dari Lalat Tentara Hitam jantan namun memiliki rentang hidup
yang lebih singkat sekitar 5-7 hari. Aktivitas perkawinan (mating) Lalat Tentara Hitam
terjadi pada pagi hari mulai pukul 08.30 dan mencapai puncaknya pada pukul 10.00 pada
lokasi yang penuh dengan tanaman (vegetasi) dengan presentase aktivitas sebesar 85%.
Menurut Zhang et al. (2010) dan Gobbi et al. (2013), intensitas cahaya dan suhu sangat
berpengaruh terhadap kesuksesan aktivitas perkawinan (mating) Lalat Tentara Hitam.
Umumnya Lalat Tentara Hitam membutuhkan penerangan yang tinggi di paparan sinar
matahari langsung sekitar 110 lux, serta suhu sekitar 24-40°C dengan kadar kelembapan
relative 30-90% (Dortmans et al., 2017).
Menurut Fahmi (2015), jumlah telur yang dihasilkan oleh Lalat Tentara Hitam
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan pada tahap larva. Namun, kualitas
19
makanan yang lebih tinggi dapat mengurangi umur larva disamping dapat menghasilkan
produksi tekur yang lebih banyak.
Lalat Tentara Hitam betina akan tertarik mendekati tumpukan limbah organik
karena memiliki bau yang berasal dari senyawa antraktan yang dihasilkan untuk
meletakan telur, namun berbeda dengan Lalat Tentara Hitam jantan yang cenderung
menyukai tempat dengan intensitas cahaya yang tinggi serta memiliki wilayah territorial
tersendiri (Dortmans et al., 2017). Maggot yang merupakan tahapan larva Lalat Tentara
Hitam memiliki sifat polifagia atau memiliki rime makan yang tinggi dalam mengolah
berbagai jenis makanan. Kemampuan larva Lalat Tentara Hitam dalam mereduksi sampah
organik yaitu sebesar 9.46 – 48.08 % pada limbah palm kernel meal (PKM) dan kompos
tandan kosong kelapa sawit (Wicaksono et al., 2017), 9,29 – 36,82 % pada limbah
singkong (Supriyatna et al., 2016), 52.33 – 77.09 % pada limbah kepala dan jeroan ikan
tuna (Hakim et al., 2017).
Penelitian mengenai kandungan protein larva Lalat Tentara Hitam telah
dilaporkan pada berbagai media pakan, yaitu sebesar 19.4 % pada media limbah ikan
(Nguyen et al., 2015), 33.88 % pada media sampah organik (Monita, 2017), dan 25.4 %
pada media kepala dan isi perut tuna (Hakim, 2017). Laju konsumsi sampah oleh larva
Lalat Tentara Hitam bervariasi tergantung jenis sampah, kadar air, jumlah larva, ukuran
larva, dan suhu. Maggot akan memiliki durasi makan yang lambat pada media dengan
suhu yang rendah. Saat proses biokonversi suhu pada media tempat maggot makan
semakin meningkat. Maggot terus mendegradasi apabila pada sumber pakan terdapat
kandungan nutrient dan air yang cukup. Air berperan dalam optimalisasi proses
metabolisme. Apabila kandungan air pada media berkurang maka proses metabolisme
maggot menjadi terhenti, namun apabila kandungan air pada media terlalu banyak akan
menyebabkan maggot meninggalkan sumber makanan karena merasa tidak nyaman
(Alvarez, 2012).
Maggot memiliki mulut yang cukup kuat untuk memotong berbagai jenis
makanan, selain itu maggot juga dibantu oleh sistem pencernaan yang tersusun dari
berbagai enzim seperti manusia. Berbagai enzim tersebut melakukan aktivitas
dekomposisi sampah organik yang menjadi modal utama pada sistem pencernaan maggot.
Enzim tersebut diantaranya, amilase, protease, lipase, leusin, arylamidase, α-
galaktosidase, β-galaktosidase dan α-mannosidase (Popa & Green, 2012).
Pada habitat alaminya musuh Lalat Tentara Hitam hampir sama dengan kelompok
serangga lainnya. Pada tahapan telur, musuh alami berupa semut, sedangkan pada tahapan
20
larva hingga dewasa umumnya dimangsa oleh kelompok reptilia, amfibia, aves serta
mamalia. Menurut Rachmawati (2010), selain kelompok hewan-hewan tersebut, serangga
Lalat Tentara Hitam juga memiliki ancaman lain sebagai musuh alaminya yaitu
parasitoid, salah satunya yang pernah ditemukan ialah parasitoid endofagus Trichopria
sp. yang menyerang pupa muda. Informasi mengenai musuh alami bagi Lalat Tentara
Hitam perlu dicermati dalam proses budidaya maggot karena mempengaruhi
kelangsungan hidup serta kualitas maggot.
Dalam perkembangannya banyak sistem budidaya yang telah dimodifikasi
sedemikian rupa guna memaksimalkan produksi maggot. Menurut Fahmi (2015), terdapat
dua metode budidaya Lalat Tentara Hitam untuk mendapatkan kemurnian hewan kultur
secara umum yaitu, kultur secara tertutup dan kultur secara terbuka.
Metode budidaya Lalat Tentara Hitam secara tertutup merupakan metode
budidaya dimana produksi telur Lalat Tentara Hitam diperoleh dari lingkungan atau
tempat terkontrol. Budidaya dengan kultur secara tertutup sangat menguntungkan bagi
kegiatan industri karena jumlah serta ukuran maggot yang diproduksi dapat ditentukan
dengan jelas dan pasti. Beberapa sarana dan prasarana yang perlu diperhatikan dalam
metode budidaya secara tertutup, diantaranya insektarium, ruang panen, serta ruang kultur
maggot (larvarium). Insektarium berupa ruangan atau tempat pemeliharaan Lalat Tentara
Hitam dengan kondisi lingkungan yang terkontrol. Lalat Tentara Hitam akan aktif pada
cuaca panas dan terpapar cukup cahaya, oleh karena itu insektarium umumnya dibuat
dengan konstruksi yang cukup kuat untuk menahan angin dengan dinding yang memiliki
lubang-lubang atau jaring untuk sirkulasi udara serta paparan cahaya yang masuk
sehingga suhu dan kelembapan dalam insektarium terjaga. Insektarium juga harus mampu
melindungi Lalat Tentara Hitam dari predator alami yaitu burung, tikus, katak dan lain-
lain. Dalam insektarium Lalat Tentara Hitam memasuki fase perkawinan hingga bertelur
sehinggga penting untuk menjaga ketersediaan air dalam insektarium, mengingat dalam
tahap serangga imago (dewasa) Lalat Tentara Hitam tidak memerlukan makan, tapi hanya
air untuk minum. Lalat Tentara Hitam bertengger dan kawin pada tanaman-tanaman
merambat seperti dari family Asteraceae (misalnya Wedelia sp.) atau tanaman artifisial
(tanaman plastik) dapat dimanfaatkan sebagai tempat bertengger dan kawin (Fahmi,
2015).
Insektarium diciptakan sedemikian rupa agar Lalat Tentara Hitam nyaman
sehingga dapat menghasilkan telur dengan jumlah yang lebih banyak. Insektarium yang
baik perlu dilengkapi dengan tempat untuk wadah pupa (puparium) dan wadah koleksi
21
telur. Wadah pupa (puparium) berfungsi sebagai tempat pupa melakukan proses
metamorfosis sebelum menjadi serangga. Bagian penting lainnya ialah wadah koleksi
telur untuk produksi massal telur. Wadah koleksi telur diletakkan pada lokasi yang
terlindungi dari hujan secara langsung maupun intensitas cahaya yang tinggi, selain itu
perlu adanya media antraktan. Media antraktan yang digunakan umumnya adalah bungkil
kelapa sawit, namun beberapa bahan lain yang dapat dimanfaatkan adalah ampas tahu dan
ampas kelapa (Fahmi, 2015).

2.2 Sampah Organik


Sampah merupakan sisa hasil pemanfaatan barang yang sudah tidak terpakai.
Sampah bagi sebagian orang masih dipandang sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat dan
merugikan (Basriyanta, 2007). Menurut definisi World Health Organization (WHO)
sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu
yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya
(Chandra, 2006).
Menurut Alex (2012), sampah dapat digolongkan kedalam beberapa kategori.
Berdasarkan sumbernya sampah digolongkan menjadi 7 golongan yaitu sampah alam,
sampah manusia, sampah rumah tangga, sampah konsumsi, sampah perkantoran, sampah
industri dan sampah nuklir. Sampah konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan dari
penggunaan barang seperti sampah kulit makanan atau sisa makanan (Alex S, 2012).
Sampah organik merupakan jenis sampah yang sebagian besar tersusun oleh senyawa
organik. Sampah organik dapat diuraikan melalui proses alami oleh mikroorganisme
(Suriawiria, 2003). Menurut Purwendro dan Nurhidayat (2006) sampah organik dibagi
menjadi sampah organik basah dan sampah organik kering. Istilah sampah organik basah
dimaksudkan sampah yang memiliki kandungan air cukup tinggi. Contohnya kulit buah
dan sisa sayuran. Sampah organik kering merupakan sampah organik yang memiliki
kandungan air rendah, seperti kertas, kayu, ranting pohon, dan dedaunan kering.

2.3 Limbah Ikan


Limbah merupakan buangan dari suatu proses produksi baik dari industri maupun
domestik (rumah tangga) (Ginting, 2007). Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang
memiliki kandungan protein yang sangat penting bagi manusia. Indonesia merupakan
Negara kepulauan yang memiliki potensi besar dalam pemanfaatan hasil perikanan.

22
Penanganan dalam pengolahan hasil perikanan harus dilakukan dengan baik, karena ikan
merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food). Limbah perikanan
mengandung nutrisi yang serupa dengan bahan utamanya dan pemanfaatannya telah
banyak diteliti oleh para ahli. Selama pengolahan ikan, terdapat bagian-bagian ikan yang
tidak termanfaatkan, diantaranya kepala, ekor, sisik maupun isi perut atau jeroan ikan
yang selanjutnya dibuang. Beberapa ikan yang tertangkap namun tidak memiliki nilai
ekonomi juga menjadi penyumbang bagi sampah atau limbah ikan (Resmawati et al,
2012). Menurut Ditjen Perikanan (2007) terdapat 25–30% hasil tangkapan ikan yang
akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan.
Isi perut ikan atau jeroan ikan mengandung protein dan lemak tak jenuh yang
cukup tinggi. Fakta yang ditemukan semakin tinggi kandungan protein dan lemak pada
produk buangan akan meningkatkan peluang produk tersebut mengalami kebusukan.
Limbah tersebut akan menimbulkan masalah lingkungan apabila tidak ditangani secara
bijak (Bhaskar dan Mahendrakar, 2008).

23
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan bulan November
2019 di Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Jl. Perikanan No. 13, Pancoran Mas,
Depok, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bak plastik berukuran 60 cm x 40
cm x 15 cm dan ukuran 36 cm x 28 cm x 11 cm, kayu berukuran 20 cm x 2 cm x 0,5 cm,
alat pencacah sampah, freezer, thermometer, cawan petri, spatula, jarring ukuran 65 cm x
50 cm, mistar, timbangan analitik, timbangan digital, millimeter block, dan insektarium.

Bahan yang digunakan adalah sampah organik berupa sampah sisa makanan yang
diperoleh dari Unit Pengelolaan Sampah (UPS) Merdeka 1 Depok, limbah ikan yang
diperoleh dari pasar tradisional Kemiri Depok, bungkil kelapa sawit atau disebut Palm
Kernel Meal (PKM), larva instar 1 Lalat Tentara Hitam, dan air.

3.3 Metode Penelitian

3.4 Cara Kerja

24
Sampah yang telah diperoleh dari Unit Pengelolaan Sampah (UPS) Merdeka 1
Depok dilakukan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, karena untuk
media tumbuh larva hanya digunakan sampah organik saja. Sampah organik yang telah
dipisahkan selanjutnya dimasukan ke dalam mesin pencacah sampah untuk memperoleh
ukuran sampah yang lebih halus sehingga mempermudah larva salam mengkonsumsi
sampah organik.

Limbah ikan yang telah diperoleh dari pasar tradisional Kemiri Depok dihaluskan
hingga halus, untuk selanjutnya dicampur dengan sampah organik. Sampah organik dan
limbah ikan masing-masing ditimbang untuk memenuhi variasi perlakuan media pakan
yang telah ditetapkan sebagai berikut (tabel 1).
Tabel 1. Variasi Perlakuan Media Pakan Larva Lalat Tentara Hitam

Perlakuan Sampah Organik (%) Limbah Ikan (%) Massa (Kg)


A 80 20 5
B 90 10 5
C 100 - 5

Pemeliharaan larva dimulai sejak larva memasuki instar 1 yaitu 4-6 hari sejak telur
dikeluarkan oleh induk Lalat Tentara Hitam. Larva instar 1 sebelumnya hanya mengkonsumsi
PKM (Palm Kernel Meal), selanjutnya larva instar 1 dimasukan ke dalam wadah yaitu bak
plastik berukuran 60 cm x 40 cm x 15 cm yang telah terdapat media pakan sesuai dengan
variasi perlakuan pakan larva Lalat Tentara Hitam (tabel 1). Pada setiap wadah/perlakuan
digunakan 2.000 ekor larva Lalat Tentara Hitam dan setiap perlakuan dilakukan 3 kali
pengulangan. Pakan ditambahkan setiap 2 hari sebanyak 200 g selama masa pemeliharaan
larva dengan lama masa pemeliharaan yaitu 20 hari. Larva Lalat Tentara Hitam ditimbang
bobot tubuh, diukur panjang tubuh, suhu dan pH media pemeliharaan selama masa
pemeliharaan setiap 2 hari dan dicatat.
Larva Lalat Tentara Hitam yang telah mencapai instar 6 atau fase prepupa telah
dapat dipanen untuk selanjutnya dipindahkan ke wadah pemeliharaan pupa yaitu bak
plastik berukuran 36 cm x 28 cm x 11 cm. Pupa yang telah dipanen pada tiap perlakuan
ditimbang dan dicatat. Jika terdapat pupa yang memiliki parasit atau hama pada tiap
perlakuan dipisahkan dan dicatat.
Pupa Lalat Tentara Hitam pada tiap perlakuan yang telah siap menjadi imago
selanjutnya dimasukan kedalam kadang berukuran 75 cm x 75 cm x 100 cm. Media

25
peletakan telur yang perlu disiapkan adalah lembaran kayu berukuran 20 cm x 2 cm x 0,5
cm dengan celah-celah kecil di sela-selanya (gambar 15 a). Lembaran kayu tersebut
diletakan diatas wadah berupa bak plastik berukuran 36 cm x 28 cm x 11 cm yang telah
berisi PKM (Palm Kernel Meal) (gambar 15 b).

a b

Gambar 8. Celah kecil pada kayu tempat telur Lalat Tentara Hitam (a), PKM (Palm
Kernel Meal) (b), peletakan media bertelur Lalat Tentara Hitam (c)

Fase Pupa dilalui selama 8 hari, selajutnya pupa akan mengalami metamorfosis
hingga menjadi Lalat Tentara Hitam (imago). Lalat Tentara Hitam yang telah
berkembang sempurna siap melakukan proses perkawinan selama 6-8 hari untuk diamati,
diukur faktor fisik dan dicatat.

3.5 Parameter yang Diamati

a) Konsumsi Substrat (Substrate Consumption)


Berat substrat yang dikonsumsi larva Lalat Tentara Hitam selama masa
pemeliharaan larva disebut konsumsi substrat (substrate consumotion). Larva Lalat
Tentara Hitam akan menyisakan substrat (residu) yang ditimbang dan dibandingkan
dengan berat substrat total pada tiap perlakuan (Diener et al., 2009). Konsumsi substrat
dihitung berdasarkan rumus berikut.

26
berat substrat awal−berat substrat akhir
Konsumsi Substrat = x 100
berat substrat awal

b) Indeks Pengurangan Limbah (Waste Reduction Index/WRI)


Indeks pengurangan limbah (WRI) menunjukan jumlah limbah yang berkurang
selama perlakuan per hari. Kemampuan larva dalam mereduksi limbah yang tinggi akan
menghasilkan nilai WRI yang tinggi (Diener et al., 20019). WRI dihitung dalam berat
kering berdasarkan rumus berikut.

D W −R
WRI = X 100 D=
t W

Keterangan :
D : Pengurangan pakan total
W : Jumlah pakan total (mg)
R : Sisa pakan total setelah waktu tertentu (mg)
t : Waktu larva memakan pakan (hari)

c) Efisiensi Konversi Pakan Tercerna (Effeciency of Conversion of Digested


feed/ECD)
Konversi pakan yang dicerna oleh larva Lalat Tentara Hitam selama pemeliharaan
tiap perlakuan dihitung sehingga diketahuilah nilai efisiensi konversi pakan tercerna
(ECD). ECD dihitung dengan rumus yang dikembangkan oleh Sciber & Slansky (1981)
sebagai berikut.

B
B=( I−F )−M ECD=
I −F

Keterangan :
B : Total pakan yang digunakan untuk pertumbuhan larva
I : total pakan selama perlakuan
F : Total residu pakan selama perlakuan (makanan yang tidak dicerna + produk
ekskretoris)
M : Total pakan yang dimetabolisme pleh larva

d) Analisis Proksimat
Analisis proksimat adalah analisis kimiawi pada pakan atau bahan menghasilkan
kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar. Analisis proksimat dilakukan
untuk mengetahui kandungan nutrisi larva Lalat Tentara Hitam pada setiap perlakuan

27
pakan. Analisis proksimat dilakukan menggunakan metode standar berdasarkan
Assiciation of Analytical Communities (AOAC, 2005). Kadar air dilakukan dengan
metode oven (100 ⁰C selama 24 jam). Kadar abu dilakukan dengan metode pemansan
dalam tanur pada suhu 600 ⁰C. Protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl. Lemak
kasar dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet dan serat kasar menggunakan metode
Van Soest (asam-basa).

e) Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, kemudian dianalisis
secara deskriptif dan statistik. Analisis data menggunakan one way-analysis of variance
(ANOVA) 2 faktor pada taraf kepercayaan 95 %, dari hasil analisis jika terdapat pengaruh
maka dilakukan uji lanjut untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan yaitu uji Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95 % (P<0.05).

28
DAFTAR PUSTAKA

[EIU] Economist Intellegence Unit. (2016). Food loss and waste [internet]. [diunduh
23 Agustus 2019]. Tersedia pada : https;//eiuperspectives.economist.com

Alex, S. (2012). Sukses Mengolah Sampah Organik Menjadi Pupuk Organik. Pustaka
Baru Press. Sleman, Yogyakarta.

Alvarez, L. (2012). The role of black soldier fly, Hermetia illucens(L.) (Diptera:
Stratiomyidae) in Sustainable Waste Management in Northern Climates.
University of Windstor. Ontario, Canada.
AOAC. (2005). Official Methods of Analysis 18th Edition. Gaithersburg, Maryland
20877-2417, USA.
Barros-Cordeiro K.B., Nair Báo S, dan Pujol-Luz J. R. (2014). Intra-puparial
Development of the Black Soldier Fly, Hermetia illucens. J Insect Sci.
14:1-10.
Basriyanta. (2007). Memanen Sampah. Yogyakarta: Kanisius.
Bhaskar N dan Mahendrakar NS. (2008). Protein hydrolisate from visceral waste
protein of Catla (Catla catla) : Optimization of hydrolysis condition for a
commercial neutral protease. Bioresource Technology 99 : 4105-4111.
Chandra, B. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Cetakan Pertama. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran
Diener, S., F. R. Gutiérrez, C. Zurbrügg, dan K. Tockner.(2009a). Are larvae of the
Black Soldier Fly-Hermetia illucens- a Financially Viable Option for Organic
Waste Management in Costa Rica?. Proceedings Sardinia 2009, twelfth
international waste management and landfill symposium. CISA publisher.
Cagliari, Italy.
Diener, S.,C. Zurbrügg, dan K. Tockner.(2009b). Conversion of Organic Material by
Black Soldier Fly Larvae: Establishing Optimal Feeding Rates. Waste
Management Research 27, pp. 603-610.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. (2007). Statistik Produksi Perikanan Laut
Tahun 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Dortmans, B., Diener, S., Verstappen, B., dan Zurbrugg, C. (2017). Black Soldier Fly
Biowaste Processing - A Step-by-Step Guide. Eawag: Swiss Federal Institute
of Aquatic Science and Technology, Dübendorf, Switzerland.
Fahmi, M. R. (2015). Optimalisasi Proses Biokonversi Dengan Menggunakan
Mini-larva Hermetia illucens Untuk Memenuhi Kebutuhan Pakan Ikan.
Pros sem nas masy biodiv indon 1(1), pp. 139-144.
Ginting, Ir. Perdana. (2007). Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri,.
Cetakan pertama. Bandung: Yrama Widya
Gobbi, P., Martínez-Sánchez A, dan Rojo S. (2013). The effects of Larval Diet on
Adult Life-history Traits of the Black Soldier Fly, Hermetia illucens
(Diptera: Stratiomyidae). Eur J Entomol. 110:461-468.
Hakim, A. R., Agus, P., dan Hilmawan, T. B. M. P. (2017). Studi Laju Umpan
Pada Proses Biokonversi Limbah Pengolahan Ikan Tuna Menggunakan
Larva Hermetia illucens. JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 12 No. 2
Tahun 2017: 179-192.

29
Holmes, L. A., Vanlaerhoven, S. L., dan Tomberlin, J. K. (2013). Substrate
Effects on Pupation and Adult Emergence of Hermetia illucens (Diptera:
Stratiomyidae). Environ Entomol. 42:370-374.
Monita L. (2017). Biokonversi Sampah Organik Menggunakan Larva Black
Soldier Fly (Hermetia illucens) dan EM4 Dalam Rangka Menunjang
Pengelolaan Sampah Berkelanjutan. [Thesis] Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nguyen, T.T.X., J.K. Tomberlin, dan S. Vanlaerhoven.(2015). Ability of Black
Soldier Fly (Diptera: Stratiomyidae) Larvae to Recycle Food Waste.
Environ Entomol 44 (2), pp. 406-410.
Popa, R., & Green, T. (2012). Biology and Ecology of the Black Soldier Fly. Lake
Oswego, Oregon. USA.
Purwendro, S., & Nurhidayat. (2006). Mengolah Sampah Untuk Pupuk dan
Pestisida Organik. Penebar Swadaya. Depok.
Rachmawati, D. Buchori, P. Hidayat, S. Hem, dan M. R. Fahmi. (2010).
Perkembangan dan Kandungan Nutrisi Larva Hermetia illucens (Linnaeus)
(Diptera: Stratiomyidae) pada bungkil kelapa sawit. J Entomol Indon 7(1),
pp. 28-41.
Supriyatna, A., Manurung, R., Esyanthi, R.R., Putra, R.E. (2016), Growth of
Black Soldier Larvae Fed on Cassava Peel Wastes, An agriculture waste.
Journal of Entomology and Zoology Studies, 2016; 4(6): 161-165.
Suriawiria U. (2003). Mikrobiologi Air. Bandung (ID): PT Alumni.
Tomberlin, J.K., &D.C. Sheppard.(2002). Factors Influencing Mating and
Oviposition of Black Soldier Flies (Diptera: Strati-omyidae) in a colony. J
entomol sci 37 (4), pp. 345-352.
Tomberlin, J.K., D.C. Sheppard, dan J. A. Joyce.(2002). Selected Life-History
Traits of Black Soldier Flies (Diptera: Strati-omyidae) Reared on Three
Artificial Diets. Ann Entomol Soc Am 95 (3), pp. 379-386.
Wardhana, A. H. (2016). Black Soldier Fly (Hermetia illucens) sebagai Sumber
Protein Alternatif untuk Pakan Ternak. wartazoa Vol. 26 No. 2 Th. 2016
Hlm. 069-078.
Wicaksono, L. H., Himawan, T. B. M. P., dan Ahmad, T. Y. (2017). Reduksi
Limbah Palm Kernel Meal dan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit
Menggunakan Larva Hermetia illucens. Simposium Nasional RAPI XVI –
2017. FT UMS.
Zhang J, Huang L, He J, Tomberlin JK, Li J, Lei C, et al. (2010) An artificial light
source influences mating and oviposition of black soldier flies, Hermetia
illucens. J Insect Sci.10: 202. pmid:21268697

30

Anda mungkin juga menyukai