Sumber Hukum Perburuhan Dan Perlindungan Hukum Bagi Buruh (Cuti, Jam
Istirahat dan Jam Kerja) Menurut UU Nomor 13/2003 dan UU Nomor 11/2020 Suatu
Perbandingan.
Dosen Pengampu :
Kelas F
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Pasal 1 (1) Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
2. Pasal 1 (2) Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
Dalam memahami sumber hukum terlebih dahulu kita harus memahami definisi atau
pengertian dari sumber hukum itu sendiri. Sumber hukum dapat pula dikatakan sebagai
“asal mulanya hukum” merupakan segala hal yang menimbukan seperangkat aturan
sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 3
Zevenbergen membagi sumber
hukum menjadi 2 yaitu sumber hukum materiil dan formil, dimana sumber hukum materil
merupakan sumber dari materi hukum tersebut diambil, sedangkan hukum formil
merupakan sumber yang membantu pembentukan dari hukum itu sendiri memperoleh
kekuatan hukum mengikat. 4
Mengenai sifat hukum Perburuhan pada pengertian
1
Imam soepomo. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Djambatan. Jakarta. Hal. 13-25
2
Soedarjadi. 2008. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Penerbit : Pustaka yustisia, Yogyakarta. Hal. 3
3
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hlm. 39
4
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2010, hlm.108
“perlindungan” mencerminkan makna tugas dari Negara. Karena itu Pemerintah
berkewajiban untuk memberi dan menyediakan sarana bagi kepentingan umum. Di dalam
pelayanan Pemerintah tercakup pula perlindungan kepada para warga negaranya termasuk
kepada buruh.
Pada mulanya peraturan perlindungan buruh hanya ditujukan pada pembatasan waktu
kerja bagi anak-anak, menyusul kemudian bagi kaum remaja dan wanita. Undang-undang
perlindungan, menandakan berawalnya hukum perburuhan dengan memuat aturan-aturan
yang disebut sebagai arbeidsbeschermingsrecht. Aturan-aturan tersebut sejak semula
bertujuan melindungi buruh terhadap waktu kerja yang terlalu panjang dan keadaan
perburuhan yang tidak aman, pengaturan ini beraspek immaterial yang adalah waktu
kerja, yang mempengaruhi serta mengancam keamanan, kesehatan kerja dan
kesejahteraan buruh dalam menjalankan pekerjaannya. Yang dimaksudkan disini adalah
mengenai pengaturan lamanya jam kerja, waktu mengaso dan waktu istirahat serta tempat
kerja yang aman dan layak bagi harkat martabat manusia di perusahaan. Perlindungan
bagi buruh terhadap waktu kerja dan istirahat itu di dasarkan pada beberapa alasan
sebagai berikut:
Sehubungan dengan jam, kerja, dan jam, istirahat, ketentuannya diatur oleh UU
Ketenagakerjaan dan didalam UU Cipta Kerja. Untuk perusahaan yang telah
mengatur mengenai jam kerja, waktu istirahat, dan cuti harus dibuat atas persetujuan
kedua belah pihak yaitu perusahaan dan pekerja yang mana bentuk nya berupa suatu
perjanjian kerja atau peraturan diperusahaan yang sesuai dengan kaidah otonom
didalam hukum perburuhan. Dan juga yang menjadi permasalahan disaat ini ialah
beberapa perusahaan tidak memberlakukan waktu kerja sesuai dengan yang sudah
diatur didalam Undang-Undang, yang memaksakan tenaga kerja harus mengikuti
ketentuan berdasarkan kesepakatan dari perusahaan dan pekerja untuk bekerja
5
Helena Poerwanto, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Dan Keselamatan Kerja, cet. Ke 1, (Jakarta:
FHUI,2005)
melebihi waktu kerja dan berkurangnya waktu istirahat mereka, yaitu disebabkan
sebuah tuntutan pemenuhan target mereka. Dan juga karena semua warga negara
berhak untuk bekerja dan menjalani kehidupan yang layak, maka perusahaan juga
harus menjamin perlindungan keselamatan bagi kesejahteraan pekerja di tempat kerja,
khususnya pekerja perempuan. Situasi pekerja perempuan saat ini sangat
memprihatinkan, karena banyak perusahaan kini mempekerjakan perempuan tanpa
memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan kerja. Hal ini adalah kurangnya
kesadaran dan perhatian perusahaan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja oleh
karena itu pekerja wanita banyak yang belum mendapatkan hak kesempatan dan
perlakuan yang sama oleh perusahaan yang mempekerjakan. Ada beberapa
perusahaan yang mempekerjakan wanita dengan keadaan sedang sakit, haid ataupun
hamil. Hal ini sangat membahayakan bagi pekerja wanita apabila peran yang
dilakukan tidak setara dengan kesehatan fisik dalam bekerja, hal ini juga dapat
menimbulkan penyakit akibat dari hubungan kerja. Dengan adanya permasalahan
tersebut, maka perlindungan hukum dalam bentuk cuti ini sangat dibutuhkan bagi para
pekerja wanita yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja yang sebelumnya ada diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003, dengan demikian timbul permasalahan bagaimana pemenuhan hak cuti bagi
pekerja perempuan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sumber hukum perburuhan di Indonesia?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi buruh mengenai waktu kerja, waktu
istirahat, dan cuti didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja?
D. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah metode kepustakaan dan
penelitian empiris yang mempergunakan jenis data sekunder. Alat pengumpulan data
yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi dokumen yang dilakukan melalui data
tertulis berupa hasil olahan pihak lain. Dari data yang didapat tersebut untuk selanjutnya
dianalisis dan kemudian dipresentasikan secara kualitatif. Penelitian ini tidak hanya
menganalisis peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga menganalisis beberapa
masalah yang berhubungan dengan persoalan sumber hukum perburhan , jam kerja,
waktu istirahat dan cuti. Data sekunder yang di pergunakan dalam penelitian ini
mencakup:
a. Bahan Buku Primer: yaitu bahan buku yang mempunyai kekuatan mengikat
berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang berkaitan.
b. Bahan Hukum Sekunder: yaitu bahan hukum yang berupa buku, penelusuran
internet, jurnal, surat kabar, makalah, skripsi, tesis maupun disertasi.
c. Bahan Hukum Tersier: yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus
dan ensiklopedia.6
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Metode Penelitan Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 6. Sri Mamudji, et al.,
”Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah” Presentasi Bahan Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum
(MPPH) Universitas Indonesia, 2006, hlm. 13. Soekanto, Op.cit., hlm. 7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerangka Teori
I. Sumber hukum Perburuhan
Sumber hukum pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang
apabila dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 7 Sumber hukum
berarti tempat-tempat dari mana kita dapat mengetahui hukum yang berlaku, tempat-
tempat dimana kita harus mengambil peraturan-peraturan hukum yang harus
diterapkan.8 Sumber hukum perburuhan memiliki posisi penting karena merupakan
acuan para pihak dalam menghadapi suatu permasalahan atau perselisihan. Oleh
karena itu, sumber hukum perburuhan bernilai sangat strategis dalam hubungan kerja.
Jika dilihat dari jenis nya ada dua macam sumber hukum dalam perburuhan yaitu
kaidah otonom dan kaidah heteronom.9
1. Kaidah Otonom
Kaidah ini dapat didefinisikan sebagai ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh
para pihak yang terikat dalam suatu hubungan kerja berdasarkan pada
kehendak bebas yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.
Pembatasan oleh peraturan perundang-undangan berupa standar minimum
yaitu sepanjang mengatur hak buruh dan standar maksimum yaitu sepanjang
mengatur kewajiban buruh. Bentuk kaidah otonom pada dasarnya ialah
perjanjian yang tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian. Kaidah hukum
otonom disini terdiri dari perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian
kerja sama, dan kebiasaan hukum.
2. Kaidah Heteronom
Kaidah ini dapat didefinisikan sebagai ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh
pihak ketiga diluar pihak yang terkait dalam hubungan kerja. Pihak ketiga
yang paling dominan membuat ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah
7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty, Jogjakarta, 1999
8
R. Subekti dan Tjitroisoedibio. 2008. Kamus Hukum.Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 103-104
9
Uwiyono, Aloysius.Hosein, Siti. Suryandono, Widodo, Kiswandari, Melani, Asas-Asas Hukum Perburuhan,PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014
pemerintah/negara oleh karena itu, bentuk dari kaidah tersebut adalah semua
peraturan perundang-undangan dibidang perburuhan. Seperti contoh UU No.
13 Tahun 2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan, UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja dan sebagainya. Pada dasarnya peraturan perundang-
undangan disini memberikan bermacam-macam perlindungan kepada
buruh/pekerja yaitu:
a. Perlindungan sosial yang bertujuan untuk buruh/pekerja dapat menikmati
dan mengembangkan perikehidupan sebagai manusia pada umumnya dan
juga agar buruh tidak hanya dipandang sebagai faktor produksi saja
melainkan juga harus dihargai harkat dan martabatnya sebagai manusia
pada umumnya. Seperti halnya terdapat ketentuan yang mengatur
mengenai perlindungan jam kerja seorang anak, jenis-jenis pekerjaan yang
diperbolehkan untuk dikerjakan seorang anak, aneka macam cuti,
perlindungan terhadap buruh perempuan.
b. Perlindungan ekonomis adalah suatu perlindungan yang bertujuan untuk
buruh/pekerja dapat menikmati penghasilan yang layak yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik bagi dirinya sendiri maupun
bagi anggota keluarga lainnya secara layak. Peraturan perundangan yang
memberikan pelindungan mencakup ketentuan-ketentuan tentang upah dan
jaminan sosial.
c. Perlindungan teknis adalah perlindungan yang bertujuan agar
buruh/pekerja terhindar dari risiko-risiko kecekakaan kerja ditempat kerja,
baik disebabkan oleh alat-alat kerja atau bahan-bahan yang dikerjakan oleh
buruh/pekerja.
II. Perlindungan hukum bagi buruh mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti
A. Perlindungan Hukum
Ketentuan mengenai jam kerja, jam istirahat, dan cuti diatur didalam Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan didalam Pasal 77 ayat 1
yang menjelaskan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja. Dan didalam ayat 2 nya menjelaskan bahwa waktu kerja yang dimaksud
dalam ayat 1 meliputi :
1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu,
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Selanjutnya, mengenai waktu kerja dalam hal kerja lembur pada pasal 78 ayat
(1),memberi kesempatan kepada pengusaha untuk mempekerjakan
10
Asri Wijayanti , “Perlindungan Hukum Bagi Buruh Indonesia”, Jakarta: PT. Bina Aksara 2003, hlm 132.
11
Koko Kosidin, Aspek-aspek Hukum dalam Pemutusan Hubungan Kerja di Lingkungan Perusahaan Perseroan
(Persero)Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996
buruh/pekerja melebihi waktu kerja. Sesuai dengan Pasal 77 ayat 2 dalam
memperkerjakan pekerja melebihi waktu kerja yang telah ditentukan maka
harus memenuhi syarat yaitu :
III. Analisis
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan,
kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku yang tidak adil
dan diskriminatif atas dasar jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil
kesewenangan dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran atas kebebasan
dasar dan hak-hak dasar dari manusia yang disebut sebagai hak-hak asasi manusia
yang melekat pada diri manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia, yang bersangkutan akan kehilangan harkat dan
martabat kemanusiaannya. Negara Indonesia, termasuk pemerintah berkewajiban,
baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk
melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya
hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia itu.
Jika terdapat pengusaha yang tidak mengikuti aturan/ketentuan yang sudah diatur
dalam Undang-Undang dapat sanksi atas pelanggaran ketentuan waktu istirahat
dan cuti ini adalah sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit RP 10.000.000.- (sepuluh
juta rupiah) (pasal 187 UU No. 13 tahun 2003). Dan dari ketentuan tersebut
memberikan sebuah perlindungan kepada buruh / pekerja mengenai hak cuti nya
yang dapat melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulam
Bahwasanya sumber hukum perburuhan terdiri atas dua sumber yaitu kaidah otonom
dan kaidah heteronom yang memiliki posisi penting karena merupakan acuan para
pihak dalam menghadapi suatu permasalahan atau perselisihan. Oleh karena itu,
sumber hukum perburuhan bernilai sangat strategis dalam hubungan kerja. Fungsi
dari adanya sumber hukum perburuhan ini juga untuk memberikan bermacam-macam
perlindungan kepada buruh/pekerja yaitu perlindungan ekonomi, perlindungan teknis,
dan perlindungan sosial. Salah satu bentuk perlindungan terhadap buruh/pekerja
mengenai waktu kerja, waktu istirahat dan waktu cuti yaitu termasuk dalam bentuk
perlindungan sosial yang mana buruh/pekerja dapat menikmati dan mengembangkan
perikehidupan sebagai manusia pada umumnya dan juga agar buruh tidak hanya
dipandang sebagai faktor produksi saja melainkan juga harus dihargai harkat dan
martabatnya sebagai manusia pada umumnya. Masih banyak juga pengusaha yang
tidak mengindahkan aturan yang dibuat mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan
cuti, bagi perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur didalam
UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja dapat terkena sanksi sebagaimana diatur
pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit RP 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah) (pasal 187
UU No. 13 tahun 2003). Maka dari itu Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan
cuti kepada pekerja/buruh dalam istirahat antara jam kerja, Cuti tahunan, Cuti haid
bila merasakan sakit pada masa haid, melahirkan, dan menyusui.
II. Saran
Perundang-undangan dan peraturan perburuhan dalam waktu kerja, , waktu
istirahat dan cuti yang baik, tidak akan banyak artinya jika tidak sesuai dengan
fakta/kondisi yang ada pada masyarakat. Peraturan tersebut sepantasnya dapat
dilaksanakan dan dipergunakan untuk memberikan perlindungan kepada
pekerja yang lemah dalam memperjuangkan hak-haknya. Untuk itu pembuat
peraturan perundang-undangan dapat lebih memahami dinamika, maka dari itu
penulis menyarankan agar semua pemerintah untuk melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan baik kepada pengusaha
maupun pekerja sehingga mewujudkan hubungan yang baik, pemenuhan atas
hak-hak pekerja, dan tidak ada pihak yang dirugikan antara pekerja dan
pengusaha.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Helena Poerwanto, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Dan Keselamatan Kerja, cet. Ke 1,
(Jakarta: FHUI,2005)
Soerjono Soekanto, Pengantar Metode Penelitan Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 6.
Sri Mamudji, et al., ”Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah” Presentasi Bahan Kuliah
Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (MPPH) Universitas Indonesia, 2006
Asri Wijayanti , “Perlindungan Hukum Bagi Buruh Indonesia”, Jakarta: PT. Bina Aksara
2003
Koko Kosidin, Aspek-aspek Hukum dalam Pemutusan Hubungan Kerja di Lingkungan
Perusahaan Perseroan (Persero )Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1996
B. JURNAL
Taufiq Nur Hidayat, Pelaksanaan Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat Bagi Karyawan Sales
Marketing pada PT Eka Jaya Motor Malang, Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum,Volume
26, Nomor 8 Februari 2020