Anda di halaman 1dari 207

BAB II

REGULASI WAKAF DI INDONESIA

A. Konsep Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Secara bahasa “wakaf” berasal dari bahasa Arab yaitu kata ‫( الوقف‬al-

waqfu) yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‫( وقف‬waqafa). Kata kerja

ini dalam bahasa Indonesia berarti lawan dari duduk yaitu berdiri. Jika dikatakan

“waqfu al-syai’” maka artinya adalah “menahan sesuatu”. Kata ‫( الوقف‬al-waqfu)

bermakna juga ‫ الحبس من التصرف‬yaitu menahan dari menggunakannya. Kata ‫الحبس‬

(al-Habsu) adalah bentuk masdar (infinitive noun) yang bermakna menahan,

berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti

tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah

tertentu. Dalam Kamus Al-Munawwir disebutkan bahwa kata ‫ وقف‬berarti

berhenti, berdiri dan mencegah. Sedangkan kata yang semakna adalah ‫( الحبس‬al-

Habsu) juga berarti pemenjaraan dan penahanan. Dengan demikian, pengertian

wakaf secara bahasa memiliki dua makna yaitu ‫( الوقف‬al-waqfu) dan ‫( الحبس‬al-

Habsu) di mana kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu berdiri,

mencegah dan menahan sesuatu.

Secara istilah, wakaf bermakna penahanan hak milik atas materi benda

(al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya. Inilah pendapat

yang dipegang oleh jumhur ulama. Madzhab Hanafiyah mengartikan wakaf

dengan :
74

‫ق بِ ْال َم ْنفَ َع ِة على جهة الخير‬ ِ ِ‫ك ْال َواق‬


َ َّ‫ف َوالت‬
ُ ‫ص ُّد‬ ِ ‫ْس ْال َع ْي ِن َعلَى حُ ْك ِم ِم ْل‬
ِ ‫َحب‬

Menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau

mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan

kebajikan.1

Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih

tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif

masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya

terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Ibnu Arafah salah satu ulama madzhab Malikiyah berpendapat, wakaf

adalah :

ِ ‫إ ْعطَا ُء َم ْنفَ َع ِة َش ْي ٍء ُم َّدةَ ُوجُو ِد ِه اَل ِز ًما بَقَاُؤ هُ فِي ِم ْل‬


‫ك ُم ْع ِطي ِه َولَوْ تَ ْق ِديرًا‬

Menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan

cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat)

dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif.2

Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang

atau tempat yang berhak saja. Sementara ulama Madzhab Syafi‘iyah mengartikan

wakaf dengan:

‫اح َموْ جُو ٍد‬ ٍ ‫ف فِي َرقَبَتِ ِه َعلَى َمصْ َر‬


ٍ َ‫ف ُمب‬ ِ ُّ‫صر‬ ْ َ‫ع بِ ِه َم َع بَقَا ِء َع ْينِ ِه بِق‬
َ َّ‫ط ِع الت‬ ُ ‫َحبْسُ َما ٍل يُ ْم ِكنُ ااِل ْنتِفَا‬

1
Lihat Tabyiin Ad-Daqaiq Syarah Kanzul Daqaiq dan Kitab Dar al-Mukhtar Juz IV hal.
532, Maktabah Syamilah Edisi III.
2
Khalil Kharasy, Syarh Al-Mukhtasar, hal. 389, Maktabah Syamilah Edisi III
75

Menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)

dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk

diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.3

Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal

materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau

musnah serta dapat diambil manfaatnya secara terus-menerus.

Pengertian berikutnya disebutkan oleh ulama dari madzhab Hanabilah,

mereka mendefinisikan bahwa wakaf adalah:

‫تَحْ بِيسُ اَأْلصْ ِل َوتَ ْسبِي ُل ْال َم ْنفَ َع ِة‬

Menahan asal harta dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.4

Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa

wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum

yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai

dengan ajaran Islam.5 Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan wakaf

dengan “Tanah negara yg tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan

untuk tujuan amal” dalam definisi lainnya disebutkan “Benda bergerak atau tidak

bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian

yang ikhlas dan “Hadiah atau pemberian yang bersifat suci”.6 Majelis Ulama

3
Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Mukhtaj ila Ma’rifat al-Fadz Al-Minhaj, Maktabah
Syamilah Edisi III
4
Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Al-Mughni, Maktabah Syamilah Edisi III
5
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 215 ayat (1)
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan Nasional
76

Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu: Menahan

harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan

tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan

hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya),

untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.

Pengertian yang lebih komprehensif disebutkan dalam Undang-undang

nomor 41 tahun 2004, pasal satu yang menyebutkan wakaf adalah “Perbuatan

hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda

miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum

menurut syariah”.7

Berdasarkan beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa

wakaf adalah akad tabaru’ yaitu menahan pokok harta dan memberikan manfaat

dari harta tersebut untuk kepentingan umat Islam. Wakaf bertujuan untuk

memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang

berhak dan kemaslahatan umat Islam dan dipergunakan sesuai dengan ajaran

syariah IslamSecara bahasa “wakaf” berasal dari bahasa Arab yaitu kata ‫( الوقف‬al-

waqfu) yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‫( وقف‬waqafa). Kata kerja

ini dalam bahasa Indonesia berarti lawan dari duduk yaitu berdiri. Jika dikatakan

“waqfu al-syai’” maka artinya adalah “menahan sesuatu”. Kata ‫( الوقف‬al-waqfu)

bermakna juga ‫ الحبس من التصرف‬yaitu menahan dari menggunakannya. Kata ‫الحبس‬

(al-Habsu) adalah bentuk masdar (infinitive noun) yang bermakna menahan,

7
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
77

berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti

tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah

tertentu. Dalam Kamus Al-Munawwir disebutkan bahwa kata ‫ وقف‬berarti

berhenti, berdiri dan mencegah. Sedangkan kata yang semakna adalah ‫( الحبس‬al-

Habsu) juga berarti pemenjaraan dan penahanan. Dengan demikian, pengertian

wakaf secara bahasa memiliki dua makna yaitu ‫( الوقف‬al-waqfu) dan ‫( الحبس‬al-

Habsu) di mana kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu berdiri,

mencegah dan menahan sesuatu.

Secara istilah, wakaf bermakna penahanan hak milik atas materi benda

(al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya. Inilah pendapat

yang dipegang oleh jumhur ulama. Madzhab Hanafiyah mengartikan wakaf

dengan :

‫ق بِ ْال َم ْنفَ َع ِة على جهة الخير‬ ِ ِ‫ك ْال َواق‬


َ َّ‫ف َوالت‬
ُ ‫ص ُّد‬ ِ ‫ْس ْال َع ْي ِن َعلَى حُ ْك ِم ِم ْل‬
ِ ‫َحب‬

Menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau

mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan

kebajikan.8

Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih

tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif

masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya

terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

8
Lihat Tabyiin Ad-Daqaiq Syarah Kanzul Daqaiq dan Kitab Dar al-Mukhtar Juz IV hal.
532, Maktabah Syamilah Edisi III.
78

Ibnu Arafah salah satu ulama madzhab Malikiyah berpendapat, wakaf

adalah :

ِ ‫إ ْعطَا ُء َم ْنفَ َع ِة َش ْي ٍء ُم َّدةَ ُوجُو ِد ِه اَل ِز ًما بَقَاُؤ هُ فِي ِم ْل‬


‫ك ُم ْع ِطي ِه َولَوْ تَ ْق ِديرًا‬

Menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan

cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat)

dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif.9

Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang

atau tempat yang berhak saja. Sementara ulama Madzhab Syafi‘iyah mengartikan

wakaf dengan:

‫اح َموْ جُو ٍد‬ ٍ ‫ف فِي َرقَبَتِ ِه َعلَى َمصْ َر‬


ٍ َ‫ف ُمب‬ ِ ُّ‫صر‬ ْ َ‫ع بِ ِه َم َع بَقَا ِء َع ْينِ ِه بِق‬
َ َّ‫ط ِع الت‬ ُ ‫َحبْسُ َما ٍل يُ ْم ِكنُ ااِل ْنتِفَا‬

Menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)

dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk

diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.10

Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal

materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau

musnah serta dapat diambil manfaatnya secara terus-menerus.

Pengertian berikutnya disebutkan oleh ulama dari madzhab Hanabilah,

mereka mendefinisikan bahwa wakaf adalah:

‫تَحْ بِيسُ اَأْلصْ ِل َوتَ ْسبِي ُل ْال َم ْنفَ َع ِة‬

9
Khalil Kharasy, Syarh Al-Mukhtasar, hal. 389, Maktabah Syamilah Edisi III
10
Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Mukhtaj ila Ma’rifat al-Fadz Al-Minhaj, Maktabah
Syamilah Edisi III
79

Menahan asal harta dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.11

Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa

wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum

yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai

dengan ajaran Islam.12 Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan wakaf

dengan “Tanah negara yg tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan

untuk tujuan amal” dalam definisi lainnya disebutkan “Benda bergerak atau tidak

bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian

yang ikhlas dan “Hadiah atau pemberian yang bersifat suci”. 13 Majelis Ulama

Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu: Menahan

harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan

tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan

hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya),

untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.

Pengertian yang lebih komprehensif disebutkan dalam Undang-undang

nomor 41 tahun 2004, pasal satu yang menyebutkan wakaf adalah “Perbuatan

hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda

miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum

menurut syariah”.14
11
Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Al-Mughni, Maktabah Syamilah Edisi III
12
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 215 ayat (1)
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan Nasional
14
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
80

Berdasarkan dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan

bahwa wakaf adalah akad tabaru’ yaitu menahan pokok harta dan memberikan

manfaat dari harta tersebut untuk kepentingan umat Islam. Wakaf bertujuan untuk

memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang

berhak dan kemaslahatan umat Islam dan dipergunakan sesuai dengan ajaran

syariah Islam.

2. Landasan Hukum Wakaf

Syariat Wakaf dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam

yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ umat Islam. Di dalam Al-Qur’an wakaf

masuk ke dalam infaq fi sabilillah, di antara ayat-ayat yang memerintahkan hal ini

adalah firman Allah ta’ala :

۟ ‫ت مˆا َك َسˆ ْبتُ ْم َو ِم َّمٓا َأ ْخ َرجْ نَˆا لَ ُكم ِّمنَ ٱَأْلرْ ض ۖ َواَل تَيَ َّم ُم‬
َ ِ‫ˆوا ْٱلخَ ب‬ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ٓو ۟ا َأنفِق‬
َ‫يث ِم ْنˆهُ تُنفِقُˆˆون‬ ِ َ ِ َ‫طيِّ ٰب‬
َ ‫وا ِمن‬ َ

‫ُوا فِي ِه ۚ َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا َأ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّى َح ِمي ٌد‬
۟ ‫َولَ ْستُم بـَٔا ِخ ِذي ِه ٓاَّل َأن تُ ْغ ِمض‬
‫ِإ‬ ِ

Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil

usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi

untuk kamu.” Q.S. al-Baqarah : 267

۟ ُ‫وا ِم َّما تُ ِحبُّونَ ۚ َوما تُنفِق‬


‫وا ِمن َش ْى ۢ ٍء فَِإ َّن ٱهَّلل َ بِِۦه َعلِي ۭ ٌم‬ ۟ ُ‫وا ْٱلب َّر َحتَّ ٰى تُنفِق‬
۟ ُ‫لَن تَنَال‬
َ ِ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu

menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Q.S. Ali Imran: 92.

َ ٰ ‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل فِى ُكلِّ س ُۢنبُلَ ۢ ٍة ِّم ۟اَئةُ َحبَّ ۢ ٍة ۗ َوٱهَّلل ُ ي‬


‫ُض ˆ ِعفُ لِ َمن‬ ْ ‫يل ٱهَّلل ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة َأ ۢنبَت‬
ِ ِ‫َّمثَ ُل ٱلَّ ِذينَ يُنفِقُونَ َأ ْم ٰ َولَهُ ْم فِى َسب‬

‫يَ َشٓا ُء ۗ َوٱهَّلل ُ ٰ َو ِس ٌع َعلِي ٌم‬


81

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan

hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan

tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)

bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha

Mengetahui.” Q.S. al-Baqarah: 261.

Ayat-ayat tersebut menunjukan tentang perintah untuk menginfakkan harta

yang kita miliki dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala agar

mendapatkan pahala dan kebaikan. Infaq sendiri dalam Islam berupa zakat,

shadaqah, hibah dan wakaf.

Sumber hukum selanjutnya yaitu dari hadits Nabi, di antara hadis yang

menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah

Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta

petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal

tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah;

َّ ِ‫ فَˆَأتَى اَلنَّب‬, ‫ضˆا بِ َخ ْيبَˆ َر‬


‫ي صˆˆلى هللا عليˆˆه وسˆˆلم‬ ً ْ‫اب ُع َمˆ ُر َأر‬ َ ‫ ( َأ‬: ‫ قَˆˆا َل‬-‫ضˆ َي هَّللَا ُ َع ْنهُ َمˆˆا‬
َ ˆ‫ص‬ َ ‫َوع َْن اِ ْب ِن ُع َم َر‬
ِ ‫ر‬-

‫ ِإ ْن‬: ‫ط ه َُو َأ ْنفَسُ ِع ْن ِدي ِم ْنه ُ قَˆˆا َل‬ ِ ‫ْت َأرْ ضًا بِ َخ ْيبَ َر لَ ْم ُأ‬
ُّ َ‫صبْ َمااًل ق‬ َ ‫ يَا َرسُو َل هَّللَا ِ ! ِإنِّي َأ‬: ‫ فَقَا َل‬,‫يَ ْستَْأ ِم ُرهُ فِيهَا‬
ُ ‫صب‬

ُ ‫ˆور‬
‫ َواَل‬, ‫ث‬ ْ ‫ع َأ‬
َ ˆُ‫ َواَل ي‬,‫صˆلُهَا‬ ُ ‫ˆر] َأنَّهُ اَل يُبَˆˆا‬ َ ˆَ‫َصˆ َّد ْقتَ بِهَˆˆا ق‬
َ ‫ فَت‬: ‫ˆال‬
َ ‫َصˆ َّد‬
َ ˆ‫ ] َغ ْي‬,ُ‫ق بِهَˆˆا ُع َمˆ ر‬ ْ ‫ِشْئتَ َحبَسْتَ َأ‬
َ ‫ َوت‬,‫صˆلَهَا‬

‫ اَل جُ نَˆˆا َح‬,‫ْف‬ َّ ‫ َو‬,‫يل‬


ِ ‫الض ˆي‬ ِ ِ‫لس ˆب‬ ِ ‫ َوفِي اَلرِّ قَا‬,‫ َوفِي اَ ْلقُرْ بَى‬,‫ق بِهَا فِي اَ ْلفُقَ َرا ِء‬
َّ َ‫ َوا ْب ِن ا‬,ِ ‫ َوفِي َسبِي ِل هَّللَا‬,‫ب‬ َ ‫ فَت‬, ُ‫يُوهَب‬
َ ‫َص َّد‬

‫ َواللَّ ْفˆظُ ِل ُم ْسˆلِ ٍم َوفِي‬,‫ق َعلَيْˆ ِه‬


ٌ ˆَ‫ص ِديقا ً ) َغ ْيˆ َر ُمتَ َمˆ ِّو ٍل َمˆ ااًل ُمتَّف‬
َ ‫ُط ِع َم‬ ِ ‫َعلَى َم ْن َولِيَهَا َأ ْن يَْأ ُك َل ِم ْنهَا بِ ْال َم ْعر‬
ْ ‫ َوي‬, ‫ُوف‬

) ُ‫ق ثَ َم ُره‬ ُ ‫ اَل يُبَا‬,‫ص َّد ْق بَِأصْ لِ ِه‬


ُ َ‫ َولَ ِك ْن يُ ْنف‬, ُ‫ع َواَل يُوهَب‬ َ َ‫ ( ت‬: ‫ي‬ ِ ‫ِر َوايَ ٍة لِ ْلبُخ‬
ِّ ‫َار‬

Dari Ibnu umar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata “Umar bin Khattab memperoleh

tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata, “Wahai
82

Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan

tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang

baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?” maka Rasulullah

bersabda “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau

faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau

dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga,

untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang

musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang

sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan

kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diriwayatkan oleh

Imam Muslim dari Abu Hurairah:

ُ‫ ( ِإ َذا َماتَ اَِإْل ْن َسانُ اِ ْنقَطَ ˆ َع َع ْنˆهُ َع َملُ ˆه‬: ‫ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرةَ رضي هللا عنه َأ َّن َرسُو َل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم قَا َل‬

‫ح يَ ْدعُو لَهُ ) َر َواهُ ُم ْسلِم‬ َ ‫ َأوْ َولَ ٍد‬،‫ َأوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه‬، ‫اريَ ٍة‬
ٍ َ‫صال‬ ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬ ٍ ‫ِإاَّل ِم ْن ثَاَل‬
َ :‫ث‬

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda

“Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal

perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu

pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak yang mendoakannya.”

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyebutkan bahwa Shadaqah jariyyah

yang dimaksud dalam hadits ini adalah wakaf.15 Hal ini bisa dipahami karena

15
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz III, Kairo : Dar Al-Fatha li ‘Ilam wa al-Araby , hal.
432.
83

harta wakaf akan senantiasa abadi sedangkan manfaat darinya akan terus

digunakan oleh manusia.

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’)

menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak

ada satu orangpun yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam

karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan

oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga

sekarang.

3. Pandangan Ulama Wakaf

a. Pendapat Abu Hanifah dan Hanafiyah

Menurut Abu Hanifah, wakaf bukanlah memindahkan hak milik wakif

kepada pihak lain. Harta wakaf masih tetap menjadi milik wakif sebagaimana

sebelum terjadinya wakaf. Wakif, selaku pemilik, boleh melakukan apa saja

(anwa’ al- Tasharruf) terhadap wakafnya itu, seperti menjualnya,

menggadaikannya, atau menghibahkannya. Selanjutnya apabila meninggal dunia,

maka harta wakaf boleh diwariskan kepada ahli warisnya.16

Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai shadaqah yang kedudukannya

seperti ‘ariyah, yakni pinjam meminjam. Perbedaan antara wakaf dengan ‘ariyah

ialah pada bendanya. Dalam ‘ariyah benda ada di tangan si peminjam sebagai

pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Sedangkan benda

dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil
16
Muhammad Musththafa Salabi, al-Waqfu wa al-Wasyiyat (Iskandariah: Dar al-Ta’rif, 1957), h.
19; Zuhdy Yakun, Ahkam al-Waqfi,(Beirut: t.p, t.t.),h. 15
84

manfaat dari benda itu. Dengan demikian benda yang diwakafkan itu tetap

menjadi milik wakif sepenuhnya; hanya manfaatnya saja yang dishadaqahkan.

Oleh karena itu, wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti ghair lazim,

kecuali dalam tiga hal:17

1) Wakaf masjid,

2) Apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim,

3) Apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu

wakaf wasiat.

Wahbah Zuhaily menambahkan satu lagi, yaitu kuburan.18 Argumen yang

dikemukkan oleh Abu Hanifah adalah:

1) Hadits Riwayat Nasa’I dan Ibnu Majah bahwa Nabi SAW memberi petunjuk

kepada Umar bin Khaththab, yaitu: “…..tahanlah modal pokoknya, dan salurkan

hasil/manfaatnya.” Adanya kata menahan pada hadits tersebut, mengandung arti

harta wakaf masih tetap milik waqif, karena yang disalurkan adalah manfaatnya.

Apabila yang dimaksud dengan wakaf itu memisahkan harta wakaf dari milik

wakif, tentunya yang diserahkan harus kedua-duanya, baik pokok maupun

manfaatnya.

2) Hak manusia tidak terputus dari harta yang telah diwakafkan, dengan bukti

boleh diambil manfaatnya, ditanami atau didiami. Tetap adanya hak adalah bukti

tentang masih adanya milik. Adanya hak-hak khusus si pewakaf memperkuat

17
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h. 15; Ali Fikri, , Al-
Mu’amalat (Mesir: Dar al-Kitab, 1938), h. 299.
18
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh (Damaskus: Dar al-fikr, 1989), h. 170
85

bahwa milik itu masih di tangan si pewakaf. Hak-hak itu, seperti menentukan

nazhir, memecat mereka dan membagikan hasil sesuai dengan syaratnya.19

b. Pendapat Anas bin Malik dan Malikiyah

Menurut Anas bin Malik, perbuatan wakaf tidak memisahkan harta yang

diwakafkan dari milik wakif. Artinya, harta wakaf tetap milik wakif. Akan tetapi

kepemilikan itu harus memenuhi ketentuan-ketentuan, yaitu tidak boleh dijual,

tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan, selama masa wakafnya belum

habis.20 Hal ini karena menurut Malik, wakaf itu bisa muaqqat, bisa juga

mu’abbad, tergantung waktu ikrar. Jika dalam shigat atau ikrar wakaf itu wakif

tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki,

maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan hartanya untuk selamanya

(mu’abbad).21

Alasan yang dikemukaannya adalah: 22 Sabda Nabi SAW kepada Umar :

“Tahan pokoknya dan salurkan manfa’atnya.”. Menahan pokok, tidak

mengandung arti keluarnya.atau lepasnya harta dari pemiliknya, tetapi justru

menegaskan harta itu tetap milik wakif.23

1) Motivasi wakif dalam mewakafkan hartanya adalah untuk memperoleh

pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain supaya tetap sampai

pahala tersebut, kecuali dengan tidak terputusnya harta wakaf dengan wakif.24

19
Mahmoud Syaltout, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang,
1973),h. 261
20
Muhammad Abu Zahrah,Muhadharat fi al-Waqfi, h. 106; Zuhdi Yakun, op.cit.h. 8
21
Juhaya S. Praja, op.cit, h.18
22
Muhammad Abu Zahrah, Loc.cit.
23
Ibid
24
Mahmoud Syaltut, op.cit. h. 262
86

Isyarat itu terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tarmizi dari Abu

Hurairah tentang ada tiga hal yang tidak akan pernah putus sekalipun manusia

telah meninggal dunia, sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya.

c. Pendapat Syafi’i dan Syafi’iyah

Ulama Syafi’iyah memandang bahwa harta yang diwakafkan tidak lagi

menjadi milik wakif dan tidak pula berpindah kepada mawquf ‘alaih, tetapi

berubah statusnya menjadi milik Allah. Wakif selaku pemilik pertama tidak lagi

menguasai harta wakaf, tetapi ia akan menerima pahala dari amal wakafnya.

Mawquf ‘alaih juga tidak mengauasai secara mutlak, tetapi akan menerima hasil

(ghullah, tsamrah dan manfa’atnya) dari benda-benda yang diwakafkan. Dengan

demikian, jelaslah bahwa harta wakaf pada hakikatnya menjadi milik Allah,

bukan milik mauquf alaih dan bukan pula milik wakif, sehingga tidak boleh

dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.25

Alasannya, menurut al-Syafi’I, status hukum wakaf sama dengan al-‘itq

(pembebasan atau memerdekakan budak). Persamaan ini didasarkan atas qiyas.

Keduanya dianggap mempunyai kesamaan illat, yaitu kemerdekaan dalam al-‘itq

sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Sebagaimana budak,

status hukum harta dikembalikan kepada pemiliknya, Allah.26

d. Pendapat Ahmad bin Hambal dan Hanabilah

Menurut ulama Hanabilah, wakaf bersifat memindahkan hak milik dari

wakif kepada lembaga atau orang yang menjadi sasaran wakif (mauquf ‘alaih),

dengan ketentuan tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh
25
Zuhdy Yakun, op.cit.n h. 8;Sayyid sabiq, Fikih Sunnah, jilid 14
26
Juhaya S. Praja, op.cit.. h.19
87

diwariskan, karena milik yang diperoleh mawquf ‘alaih hanya manfa’atnya, tidak

bendanya27. Dengan kata lain, kepemilikan mawquf ‘alaih terhadap harta wakaf

bersifat tidak sempurna (milk Naqish).

Alasan yang dikemukakannya adalah Hadits yang diriwayatkan bahwa

Umar r.a mempunyai sepetak kebun yang disebut Tsamagh. Kebun itu berisi

pohon kurma yang baik sekali. Beliau datang kepada Nabi dan bertanya: Ya

Rasulullah. Saya mendapat harta yang menurut saya sangat baik. Apakah saya

bersedekah dengan harta itu? Nabi menjawab: “…Bersedekahlah dengan asalnya,

tidak dijual, tidak dihibah dan tidak diwarisi. Akan tetapi, dinafkahkan

hasilnya...”(H.R. al-Jama’ah)28 Lalu Umar menshadaqahkannya pada jalan Allah,

kepada budak yang mau menebus diri, untuk tamu, untuk orang-orang miskin,

ibnu sabil, dan kepada ahli kerabat. Tidak dilarang bagi orang yang mengurusnya

makan menurut yang layak atau memberi makan kawan dengan tidak berlebihan-

lebihan. Tanah itu adalah bagian Umar di Khaibar, dan Tsamagh adalah nama

tanah itu. Hadits ini diriwayatkan pula dalam sahih Bukhari dan dalam kitab yang

enam lainnya dengan perbedaan-perbedaan mengenai lafalnya.29

e. Pendapat Abu Yusuf dan Muhammad

Abu Yusuf dan Muhammad (murid terdekat Abu Hanifah) berpendapat

bahwa benda wakaf itu mempunyai kepastian hukum(lazim). Pada awalnya,

mereka sependapat dengan gurunya, Abu Hanifah. Akan tetapi, setelah mereka

pergi beribadah haji dan bertemu dengan Malik bin Anas, pendapat mereka
27
Muhammad Abu,op.cit., h. 108
28
Kamal al- Din Muhammad bin abd al-Wahid al-Hamam, Fath al-Qadir, juz VI(Beirut: Dar al-
fikr, 1977, h. 205.
29
Mahmoud Syaltut, op.cit.,h.261-262
88

berubah. Mereka berpendapat bahwa wakaf tanah Umar di Khaibar menunjukkan

adanya kepastian hukum. Namun ada perbedaan pendapat dengan Malik bin Anas

dalam menetapkan kepemilikan benda wakaf. Menurut Malik, benda wakaf itu

masih tetap menjadi milik wakif, sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhammad,

benda wakaf itu keluar dari kepemilikan wakif menjadi fii hukmi milkillah.30

f. Pendapat Zhahiriyah

Pendapat golongan ini, seperti tampak pada namanya, berpegang pada

makna lahiriyah atau harfiah, baik al-Quran maupun al-Sunnah yang dalam

terminologi ahli hukum Islam dan ushul fiqh disebut zhahir al-qur’an wa al-

sunnah. Berdasarkan logikanya, wakaf itu sama dengan pembebasan atau

memerdekakan budak yang disebut al-‘itq. Ini artinya pendapat Zhahiriyah sama

dengan pendapat Syafi’iyyah yang memandang harta wakaf menjadi milik Allah.

Menurut mereka, wakaf yang boleh dan sah menurut hukum hanyalah

terbatas, yaitu sekitar benda-benda yang boleh diwakafkan di zaman Rasul SAW

sesuai dengan nash secara tekstual saja (zhahir al-nash). Benda-benda yang boleh

diwakafkan itu ialah bangunan, tanah, tanah untuk rekreasi yang disebut arhal,

mushaf, buku, hamba sahaya, senjata atau benda yang dipakai uuntuk sabilillah

atau berjihad seperti baju besi (al-adra’), atau al-sillah. Demikian pula kendaraan

yang dapat diwakafkan itu hanyalah yang dapat digunakan dalam perang, yaitu al-

qira’ (kuda tunggangan untuk berperang). Pendapat ini, khususnya mengenai

kebolehan wakaf kuda tunggangan untuk berperang, jika diterapkan dalam kondisi

Zuhdi Yakan, Ahkam al-Waqf, (Beirut: t.tp, t.th),h.11-12; Kamal al-Din Muhamad bin Abdul
30

Wahid al-Suyusy, op.cit.), h. 203


89

dewasa ini akan timbul kesulitan. Umpamanya wakaf kendaraan perang, selain

kuda tunggang tidak sah. Padahal, dewasa ini kendaraan perang sudah

menggunakan mesin dan teknologi yang kapasitas dan daya gunanya jauh lebih

besar dari pada kuda.

Mengenai mawkuf ‘alaih dalam pandangan madzab ini boleh siapa saja

sesuai kehendak si wakif. Alasan mereka berpendapat demikian ialah sabda

Rasulullah SAW kepada Umar ra yang mengatakan: “Jika engkau mau, tahanlah

tanahnya dan shadaqahkanlah hasilnya”, yang di dalamnya mengandung

pengertian bahwa wakaf itu diserahkan kepada orang atau lembaga yang

dikehendaki si wakif sebagaimana tergambar dalam kata jika engkau mau (in

syi’ta). Selain itu, Zhahiri pun menggunakan teks hadits lain sebagai

argumentasinya, yaitu hadits yang artinya:”…mulailah dengan dirimu, maka

bersedekahlah, maka aku sedekahkan hasilnya.”31

g. Pendapat Syi’ah Imamiyyah

Prinsip wakaf dalam mazhab Imamiyyah ialah “menahan pokoknya dan

menshadaqahkan hasilnya” disertai ikrar si wakif dengan jelas dan tegas, seperti

dengan menggunakan kata waqaftu. Jika menggunakan kata yang lain, maka

hendaklah disertai dengan menunjukkan pengertian wakaf atau indikasi (qarinah)

yang menunjukkan maksud wakaf secara tegas. Wakaf itu sah apabila telah terjadi

penyerahan benda wakaf kepada si penerima, yakni bila telah terjadi qabul, atau

iqbadl. Namun demikian, iqbadl tiu pun dapat diartikan sebagai “penguasaan

atas benda wakaf itu”. Bentuk-bentuk wakaf mencakup segala yang membawa

31
Juhaya S. Praja, op.cit., h. 25-26
90

kepada kemaslahatan umat. Sementara pengelola wakaf atau nazhir, hendaklah

orang yang dewasa menurut hukum. Jika wakaf itu diserahkan kepada anak di

bawah umur, maka nadzirnya adalah wali anak tersebut. Disyaratkan pula bahwa

wakaf itu harus dilakukan secara langsung (tanjiz) dan tidak boleh ditangguhkan

(mustaqbal).32

Dalam hal kepemilikan harta wakaf, golongan ini memandang bahwa harta

wakaf masih tetap menjadi milik wakif, tidak berpindah ke tangan mawkuf ‘alaih.

Hanya saja wakif tidak boleh menjualnya, menghibahkannya dan

mewariskannya.33 Alasan yang dikemukakannya, sama seperti yang dikemukakan

oleh ulama Malikiyyah.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh

masyarakat Muslim Indonesia sejak awal kedatangan Islam di negeri ini. Oleh

karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang

mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun

2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah

juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang

Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004 Tentang Perwakafan.

Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam karena

wakaf disyariatkan setelah Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam berhijrah ke

Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di

kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali

32
Ibid
33
Muhammad Abu zahroh, op.cit., h.106
91

melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan

bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah Shalallahu

Alaihi Wasalam yang telah mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari

‘Amr bin Sa’ad bin Mu’adz, ia berkata:

‫صˆلَّى‬
َ ِ ‫صˆ َدقَةُ َر ُسˆو ِل هَّللا‬ َ ‫ َوقَا َل اَأْل ْن‬، ‫ص َدقَةُ ُع َم َر‬
َ : ‫صا ُر‬ َ : َ‫ فَقَا َل ْال ُمهَا ِجرُون‬، ‫س فِي اِإْل ْساَل ِم‬
ٍ ‫َسَأ ْلنَا ع َْن َأ َّو ِل َح ْب‬

‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin

mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan

adalah wakaf Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam pada tahun ketiga Hijriyah pernah

mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebun A’raf,

Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama

mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar

bin Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia

berkata:

‫ˆر لَ ْم‬ ً ْ‫صˆبْت َأر‬


َ ˆَ‫ضˆا بِ َخ ْيب‬ َ ‫ول هَّللا ِ َأ‬ ِ ْ‫ضˆا ِم ْن َأر‬
َ ˆ‫ يَˆˆا َر ُس‬: ‫ فَقَˆا َل‬، ‫ض خَ ْيبَˆ َر‬ ً ْ‫اب َأر‬ َ ‫ { َأ َّن ُع َم َر َأ‬: ‫َوع َْن ا ْب ِن ُع َم َر‬
َ ˆ‫ص‬

‫َصˆ َّد ْقت‬ ْ ‫إن ِشˆْئتَ َحبَ ْسˆت َأ‬


َ ‫صˆلَهَا َوت‬ ْ : ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسˆلَّ َم‬ َ َ‫س ِع ْن ِدي ِم ْنهُ فَ َما تَْأ ُم ُرنِي ؟ فَق‬
َ ‫ال‬ َ َ‫ط َأ ْنف‬ ِ ‫ُأ‬
ُّ َ‫صبْ َمااًل ق‬

‫ْف‬ ِ ‫ فِي ْالفُقَ َرا ِء َو َذ ِوي ْالقُˆˆرْ بَى َوال ِّرقَˆˆا‬، ‫ث‬
َّ ‫ب َو‬
ِ ‫الض ˆي‬ َ ‫ق بِهَا ُع َم ُر َعلَى َأ ْن اَل تُبَا َع َواَل تُوه‬
َ ‫َب َواَل تُو َر‬ َ َ‫ فَت‬، ‫بِهَا‬
َ ‫ص َّد‬

‫ َغ ْيˆ َر ُمتََأثِّ ٍل‬: ‫ˆظ‬


ٍ ˆ‫ˆر ُمتَ َمˆ ِّو ٍل َوفِي لَ ْف‬
َ ˆ‫ُط ِع َم َغ ْي‬ ِ ‫َاح َعلَى َم ْن َولِيَهَا َأ ْن يَْأ ُك َل ِم ْنهَا بِ ْال َم ْعر‬
ْ ‫ َوي‬، ‫ُوف‬ َ ‫ اَل ُجن‬، ‫َواب ِْن ال َّسبِي ِل‬

‫َمااًل‬
92

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa shahabat Umar ra, memperoleh sebidang

tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah Shalallahu Alaihi

Wasalam untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya

mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka

apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah Shalallahu Alaihi

Wasalam. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan

engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak

diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan

tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil

dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari

hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain

dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. HR.Muslim.34

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab

disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya yaitu kebun

“Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam

lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang

diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman

menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya

yang subur. Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan

sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin

Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah.

34
Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat Fi al-Waqf, Kairo: Qismu Dirasah Al-
Qanuniyah, Tahun 1959 hal. 9.
93

Hal ini berarti wakaf telah dikenal pada masa nabi masih hidup, para

shahabat berlomba-lomba untuk mewakafkan hartanya di jalan Allah.

Masa Dinasti-Dinasti Islam: Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa

Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk

melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin

saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan,

membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan

beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada

pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan

wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi

masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat

baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada

aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya

lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan

baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola,

memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau

secara individu dan keluarga.35

Pada masa Dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah

bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ia sangat

perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga

wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim.


35
Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat Fi al-Waqf hal. 11
94

Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di

Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah

mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di

bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan

kepada yang berhak dan yang membutuhkan. Pada masa Dinasti Abbasiyah

terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus

administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan

wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat

dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan

pengaturan administrasinya. Lebih dari itu masyarakat dapat merasakan manfaat

adanya hasil dari harta wakaf.36

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup

menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta

wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal).

Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud

mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan

yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya,

meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitul mal masih berbeda

pendapat di antara para ulama. Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik

negara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid

dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah

Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta

36
www.bwi.or.id, akses 23 januari 2012
95

milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara

dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada

dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan

lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa

(qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-

Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model

mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab

Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun

pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan dakwah mazhab

Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi

orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea

cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi

(fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-

Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni

dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal)

menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan

menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti

Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan

beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh

diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah

tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan


96

tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di

wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan

pertama kali oleh penguasa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman

Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan

wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk

kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk

membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar Islam adalah

wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah

(kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir

yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap

tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam dan

mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang

punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian

khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya

undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa

perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir

Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang

tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori:

Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang
97

yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan

Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan

Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat

menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih

oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at

Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah

peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal

19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang

pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai

tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi

administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan

tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah

produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di

negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan

sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa

dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke

waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari

kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima

(diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu

kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf

benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara
98

muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal

sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu

berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-

inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual

(Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian

yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004

tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.37

4. Rukun dan Syarat Wakaf

Wakaf adalah bagian dari ibadah dalam Islam yang memiliki rukun dan

syarat yang harus dipenuhi. Hal ini sebagai bentuk jaminan akan keabsahan

ibadah yang dilakukan oleh seseorang. Rukun adalah unsur yang terlibat pada saat

pelaksanaan akad, dalam hal ini rukun adalah bagian yang tidak dipisahkan dari

sutu akad jika rukun tersebut tidak dipenuhi maka batallah akad tersebut. Dalam

akad wakaf yang menjadi rukunnya adalah:

1. Orang yang berwakaf (‫ الواقف‬/al-waqif).

2. Benda yang diwakafkan (‫ الموقوف‬/al-mauquf).

3. Orang yang menerima manfaat wakaf (‫ الموقوف عليه‬/al-mauquf ‘alaihi).

4. Lafadz atau ikrar wakaf (‫ الصيغة‬/sighah).

37
www.bwi.or.id akses 23 Januari 2012
99

Sedangkan ”syarat” adalah penjelasan dari rukun, ia adalah suatu unsur

yang harus terpenuhi sebelum akad dilaksanakan. Adapun syarat-syarat orang

yang berwakaf (al-waqif) ada empat, berikut rinciannya:38

1. Waqif (Orang yang berwakaf) harus memiliki secara penuh harta yang

diwakafkan, artinya dia menguasai untuk mewakafkan harta itu kepada

siapa yang ia kehendaki.

2. Waqif mestilah orang yang berakal, maka tidak sah wakaf orang idiot,

orang gila, atau orang yang sedang mabuk.

3. Waqif adalah seseorang yang sudah baligh (dewasa).

4. Waqif harus orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).

Implikasinya orang yang belum cukup umur, tidak cakap hukum, orang

yang sedang muflis (bangkrut) dan orang lemah ingatan tidak sah

mewakafkan hartanya.

Selanjutnya syarat-syarat harta yang sah untuk diwakafkan (al-mauquf) :

Harus berupa barang yang yang berharga (mutaqawwam), diketahui kadarnya

(’ainu ma’lum), pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif), dan harta itu

mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarradzan) atau

disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).39

Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari

segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama
38
Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat Fi al-Waqf, al. 136
39
Al-Nawawi, Raudhatu Al-Thalibin Wa Umdatu Al-Muftiin, hal. 254, Maktabah
Syamilah Edisi Ke III
100

tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimaksudkan

dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua

orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah.

Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan

secara terperinci, umpamanya untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll.

Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf

mu’ayyan) bahwa ia haruslah orang yang dapat untuk memiliki harta (ahlan li al-

tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini

boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang idiot, hamba sahaya, dan orang gila

tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan;

pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mustilah dapat menjadikan

wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Syarat ikrar berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa

syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukkan

untuk wakaf. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa

disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu

bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.

Apabila rukun dan syarat tersebut telah terpenuhi maka penguasaan atas

harta benda wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi

menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan

harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap
101

pemiliknya tapi bersifat ghairu tammah. Kecuali harta benda wakaf yang ikrarnya

untuk jangka waktu tertentu (waqtun mu’ayyan).

5. Jenis-jenis Wakaf

Para ulama mutaqaddimin tidak pernah membagi wakaf, baik antara wakaf

untuk anak keturunan sendiri maupun wakaf untuk publik, semua jenis wakaf,

menurut mereka hanya disebut wakaf semata atau shadaqah. Namun, para ulama

mutaakhirin mulai membagi antara wakaf yang diniatkan untuk anak keturunan

dan wakaf untuk publik, seperti untuk fakir-miskin, pencari ilmu, atau untuk

pengembangan ilmu pengetahuan.

Maka, para ulama mutaakhirin menyebut wakaf untuk keluarga dengan

nama: Al-Waqf Al-y atau Al-Dzurriy, sedangkan wakaf untuk umum dengan

nama Al-Waqf Al-Khairiy.40

a. Wakaf    (khusus)

Wakaf    disebut  juga  wakaf  keluarga  atau  wakaf  khusus.  Maksud 

wakaf    ialah  wakaf  yang  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu,  seorang 

atau  banyak,  baik  keluarga  wakif  maupun  orang  lain.  Misalnya,  seseorang 

mewakafkan  buku-buku  yang  ada  di  perpustakaan  pribadinya  untuk 

keturunannya  yang  mampu  menggunakannya.  Wakaf  semacam  ini  dipandang 

sah  dan  yang  berhak  menikmati  harta  wakaf  itu  adalah  orang-orang  yang 

ditunjuk  dalam  pernyataan  wakaf.

b. Wakaf  Khairi
40
Lihat: Muhadharah fii Al-Waqf, Abu Zahrah, hal 4, 36, Ahkam Al-Waqf, Al-Kubaisiy
1/42
102

Wakaf  khairi  ialah  wakaf  yang  sejak  semula  ditujukan  untuk 

kepentingan-kepentingan  umum  dan  tidak  ditujukan  kepada  orang-orang 

tertentu.  Wakaf  khairi  inilah  yang  benar-benar  sejalan  dengan  praktik wakaf 

yang jelaskan  dalam  ajaran  Islam,  yang  dinyatakan  pahalanya  akan  terus 

mengalir   selamanya,  selama  harta  masih  dapat  diambil  manfaatnya.41

B. Pengelolaan Harta Wakaf

Untuk mengelola harta wakaf maka dibutuhkan pengelola atau dalam fiqh

disebut dengan nadzir. Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara-

yandzuru nadzaran yang mempunyai arti, menjaga, memelihara, mengelola dan

mengawasif. Adapun nadzir adalah isim fa'il dari kata nadzir yang kemudian

dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas (penjaga). Sedangkan

nadzir wakaf atau biasa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk

mengelola wakaf.

Nadzir wakaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amanat

untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan

wakaf tersebut.42 Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal

1 ayat (4) tentang wakaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima

hartabenda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan

peruntukannya.

Pada umumnya, para ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan nadzir wakaf

hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan

41
Mod Zain B. aji Otman, Islamic Law wit Special Reference To Te Institusion of Waqf,
Kuala Lumpur : Prime Ministers Departement Reliios Affairs Division (Islamic Center)., tahun
1982, al. 111
42
Pasal 1 UU RI No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
103

wakaf yang dikehendaki wakif. Asaf A.A. Fyzee berpendapat, sebagaimana

dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban nadzir adalah mengerjakan

segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Dengan demikian

nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk

mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang

berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan

harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.

Pada masa kini masih banyak masyarakat khususnya umat Islam belum

memahami dan mengerti keberadaan lembaga wakaf. Padahal lembaga wakaf di

Indonesia telah dikenal dan berlangsung seiring dengan usia agama Islam masuk

ke Nusantara, yakni pada pertengahan abad ke-13 Masehi. Kenyataannya dalam

perkembangannya, lembaga wakaf belum dipahami masyarakat serta belum

memberikan kontribusi yang berarti dalam rangka peningkatan kehidupan

ekonomi umat Islam. Masalah wakaf merupakan masalah yang masih kurang

dibahas secara intensif. Hal ini disebabkan karena umat Islam hampir melupakan

kegiatan-kegiatan yang berasal dari lembaga perwakafan.43

Untuk mengelola wakaf di Indonesia secara profesional, yang pertama-tama

adalah pembentukan suatu badan atau lembaga yang mengkordinasi secara

nasional bernama Badan Wakaf Indonesia. (BWI). Badan Wakaf Indonesia di

berikan tugas mengembangkan wakaf secara produktif dengan membina Nazhir

wakaf (pengelola wakaf) secara nasional, sehingga wakaf dapat berfungsi untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam pasal 47 ayat 2 disebutkan bahwa

Badan Wakaf Indonesia bersifat independent, dan pemerintah sebagai fasilitator.


43
Suparman usman. Hukum perwakafan di Indonesia. 1994. Serang, Darul Ulum Press. Hal. 33
104

Tugas utama badan ini adalah memberdayaan wakaf melalui fungsi pembinaan,

baik wakaf benda bergerak maupun benda yang bergerak yang ada di Indonesia

sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat. Badan Wakaf Indonesia ini

mempunyai tugas:

a. Melakukan pembinaan terhadap Nadzir dalam mengelola dan

mengembangkan harta wakaf

b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta wakaf berskala nasional

dan internasional

c. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status

harta benda wakaf

d. Memberhentikan dan mengganti Nadzir

e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf, dan

f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan

kebijakan di bidang perwakafan.44

Di samping memiliki tugas-tugas konstitusional, BWI harus menggarap

wilayah tugas:

a. Merumuskan kembali fikh wakaf baru diIndonesia, agar wakaf dapat

dikelola lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa kehilangan wataknya

sebagai lembaga Islam yang kekal.

b. Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif,

mensosialisasikan bolehnya wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai

kepada masyarakat.

44
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (sebuah Upaya
Progresif Untuk Kesejahteraan Umat)., (Jakarta Selatan: Mitra Abadi Press, III. 2006) Hal.79
105

c. Menyusun dan mengusulan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf

kepada pemerintah.45

3. Syarat Pengelolaan Wakaf

Agar pengelolaan wakaf dapat berjalan dengan optimal maka ada

persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengelola wakaf (nadzir) ataupun dalam

pengelolaannya. Dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa

syarat-syar pengelola wakaf yaitu :

1. Nadzir Perseorangan

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nazhir

apabila memenuhi persyaratan:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani; dan

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

2. Organisasi

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi Nadzir

apabila memenuhi persyaratan :

a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

45
Departemen Agama. Pedoman pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta: Depag RI,
2006) Hal 105-106
106

b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,

dan/atau keagamaan Islam

3. Badan Hukum

a. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi Nazhir

apabila memenuhi persyaratan:

b. penguruS badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan

c. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang.undangan yang berlaku; dan

d. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

Dalam UU NO 41 Tahun 2004 disebutkan pula mengenai syarat-syarat

pengelolaan wakaf yaitu:

a. Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.(Pasal 42)

b. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip

syariah.

c. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan secara produktif.

d. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang

dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga

penjamin syariah.
107

e. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang

melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin

tertuli dari Badan Wakaf Indonesia.(Pasal 44)

Pengelolaan wakaf terutama wakaf uang mensyaratkan bukan hanya

pengetahuan khusus tentang manajemen pengelolaan keuangan modern tapi juga

berbagai pengetahuan dan pengalaman tentang usaha-usaha produktif serta

bentuk investasi yang produktif yang dibenarkan secara syariah. Kemampuan ini

tidak hanya harus dimiliki oleh seorang nazir tapi juga lembaga keuangan terkait

sebagai instrumen penting dalam wakaf uang. Karena itu, pengelolaan wakaf

uang di Indonesia melibatkan beberapa lembaga keuangan professional yang

mempunyai komitmen untuk mengembangkan dana wakaf sehingga dapat

dimanfaatkan secara luas bagi kesejahteraan umat Islam. Di Indonesia lembaga ini

dikenal dengan sebutan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Lembaga ini secara

resmi ditunjuk oleh pemerintah dan memililiki dasar hukum yang cukup kuat

karena ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Peran LKS sangat strategis terutama dalam pengembangan wakaf uang di

Indonesia. Peran strategis ini salah satunya terkait dengan status hukum lembaga

ini karena ditunjuk langsung oleh Menteri Agama sebagai lembaga berwenang

dalam penerimaan wakaf uang. Hal ini disebutkan dalam UU No. 41 tahun 2004

Pasal 28 tentang wakaf yang berbunyi: ‘Wakif dapat mewakafkan benda bergerak

berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri.

Menteri berwenang menunjuk lembaga keuangan syariah sebagai penerima wakaf,

dengan syarat-syarat:
108

(a) LKS harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri

(b) melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum

(c) memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia

(d) bergerak di bidang keuangan syariah dan

(e) memiliki fungsi titipan (wadi’ah

LKS memiliki peran strategis dalam mengelola dan mengembangkan harta

benda wakaf sesuai yang diamanatkan oleh wakif kepada nazir. Pengelolaan dan

pengembangan wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-

produk LKS atau instrumen keuangan syariah berdasarkan akad syariah seperti

mudharabah atau akad lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah.

Sementara, pengelolaan dana wakaf uang melalui produk-produk di luar produk

syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah. Dengan cara ini dana wakaf

uang umat yang terkumpul dapat terjamin keamanannya serta memberikan rasa

aman bagi para wakif.46

Untuk menjamin kelanggengan harta wakaf agar dapat terus memberikan

pelayanan prima sesuai dengan tujuannya, diperlukan dana pemeliharaan atas

biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Hal ini berlaku pada proyek penyedia jasa

maupun proyek penghasil pendapatan. Pembiayaan proyek wakaf bertujuan untuk

mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana untuk meningkatkan

kualitas hidup dan kehidupan sumber daya insani.


46
http://bwi.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=931%3Aimplementasi-lks-dalam-pengembangan-wakaf-
uang-di-indonesia&catid=27%3Aopini&Itemid=137&lang=in.21:18
109

Menurut Monzer Kahf, gagasan menyisihkan sebagian pendapatan waqaf

untuk merekonstruksi harta gerak wakaf atau untuk meningkatkan modal harta

tetap wakaf tidak dibahas dalam fiqih klasik. Oleh karena itu Kahf (March 1-2,

1998) membedakan pembiayaan proyek wakaf ke dalam model pembiayaan harta

wakaf tradisional dan model pembiayaan baru harta wakaf secara institusional.

Model-model pembiayaan proyek wakaf tradisional; Pembiayaan wakaf

dengan menciptakan wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf yang lama.

Pinjaman untuk pembiayaan kebutuhan operasional harta wakaf. Penukaran

pengganti (substitusi) harta wakaf. Model pembiayaan hukr (sewa berjangka

panjang dengan lump sum pembayaran di muka yang besar). Model pembiayaan

ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran).

Model-model pembiayaan baru untuk proyek wakaf produktif secara

institusional: Model pembiayaan Murabahah : penerapan pembiayaan murabahah

pada harta proyek mengharuskan Pengelola harta wakaf (Nazhir) mengambil

fungsi sebagai pengusaha (enterprenueur) yang mengendalikan proses investasi

yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui surat kontrak

Murabahah, sedangkan pembiayaannya datang dari satu bank Islam. Model

Istisna, memungkinkan pengelola harta wakaf untuk memesan pengembangan

harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu kontrak

Istisna. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian membuat kontrak dengan

kontraktor untuk memenuhi pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga

pembiayaan itu. Model Ijarah; Model pembiayaan.


110

C. Wakaf dan Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan makmur;

selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya).

Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman,

kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran. Dalam definisi lain dijelaskan,

kesejahteraan:

‫ الحالة التى تتحقق فيها الحاجات االساسˆˆية للفˆرد والمجتمˆˆع من غˆˆداء وتعليم وصˆحة وتˆˆأمين ضˆˆد‬:‫الرفاهية‬

.‫كوارث الحياة‬

Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya

kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan makan,

pendidikan, kesehatan, sedangkan antitesa dari kesejahteraan adalah kesedihan

(bencana) kehidupan.

Sedangkan dalam Mu’jam Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah

dijelaskan:

‫ نسˆق منظم من الخˆدمات االجتماعيˆة والمؤسسˆات يˆˆرمى الى مسˆاعدة االفˆˆراد‬:‫الرفاهية االجتماعية‬
‫والجماعات للوصول الى مستويات مال ئمة للمعيشة والصحة كما يهدف الى قيˆˆام عالقˆˆات اجتماعيˆˆة‬
.‫سوية بين االفراد بتنمي̂ة قدراتهم وتحسين الحياة االنسانية بما يتفق مع حاجات المجتمع‬
Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-
lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok
mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan
menegakkan hubungan kemasayarakatan yang setara antar individu sesuai
dengan kemampuan pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki
kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan ragam definisi di atas, pada intinya, kesejahteraan sosial

menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer

(primary needs), sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan


111

primer meliputi: pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal),

kesehatan dan keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan

sarana transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan

telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP, internet, dsb.). kebutuhan tersier

seperti sarana rekereasi, entertaimen. Kebutuhan-kebutuhan ini berdasarkan

tingkatan (maqâm) individu. Artinya untuk tingkat masyarakat kelas menengah,

kebutuhan akan mobil pribadi untuk menunjang mobilitas aktivitas yang tinggi,

masuk dalam kategori kebutuhan primer. Sedangkan untuk kelompok ekonomi

menengah ke bawah, mobil pribadi merupakan barang lux dan masuk kategori

kebutuhan sekunder. Tiga kategori kebutuhan di atas bersifat materiil sehingga

kesejahteraan yang tercipta pun bersifat materiil.

Kesejahteraan sosial akan tercipta dalam sistem masyarakat yang stabil,

khususnya adanya stabilitas keamanan. Stabilitas sosial, ekonomi tidak mungkin

terjamin tanpa adanya stabilitas keamanan (termasuk di dalamnya stabilitas

politik). Hal ini sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126

‫ت َم ْن َءا َمنَ ِم ْنهُ ْم بِاهَّلل ِ َو ْاليَˆوْ ِم اآْل ِخˆ ِر‬ َ ‫َوِإ ْذ قَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم َربِّ اجْ َعلْ هَ َذا بَلَدًا َءا ِمنًا َوارْ ُز ْق َأ ْهلَهُ ِمنَ الثَّ َم‬
ِ ‫ˆرا‬
)126(ُ‫صير‬ ِ ‫س ْال َم‬َ ‫ار َوبِْئ‬
ِ َّ‫ب الن‬ ِ ‫قَا َل َو َم ْن َكفَ َر فَُأ َمتِّ ُعهُ قَلِياًل ثُ َّم َأضْ طَرُّ هُ ِإلَى َع َذا‬
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari
kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri
kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan
itulah seburuk-buruk tempat kembali. QS. al-Baqarah: 126.

Kata balad disebut 8 kali dalam al-Qur’an, surat al-A’râf: 57 dan 58,

Ibrâhim: 35, an-Nahl: 7, Fâthir: 9, al-Balad: 1 dan 2, at-Tîn: 3. Kata ini

mempunyai arti: negeri, daerah, tanah, kota. Tafsir dari kata baladan âminan

dalam ayat di atas adalah sebagai berikut:


112

‫ فدعا لذريته‬،‫ يعنى مكة‬،‫ بلدا امنا‬:‫ القرطبى‬.‫ اى من الخوف ال يرعب اهله‬،‫ رب اجعل هذا بلدا امنا‬:‫ابن كثير‬

.‫وغيرهم باالمن ورغد العيش‬

Menurut Ibnu Katsir, kata-kata rabbij‘al hâdzâ baladan âminan, maksudnya

adalah aman dari rasa takut yang menyelimuti warga negeri. Sedangkan menurut

al-Qurthubi, negeri yang aman itu adalah negeri Mekah, Ibrahim berdo’a untuk

keluarga dan penduduk negeri agar tercipta stabilitas keamanan dan kenyamanan

dalam kehidupan.

Wakaf sebagai bagian dari syariat Islam memiliki tujuan agar manfaatnya

dapat dirasakan oleh umat Islam. Oleh karena itu, maka wakaf adalah salah satu

sarana dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Merujuk pada

indicator kesejahteraan sosial maka wakaf memberikan manfaat berupa kebutuhan

konsumtif dan kebutuhan produktif bagi umat Islam. Kebutuhan konsumtif umat

Islam terpenuhi dengan hasil dari wakaf dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk

umat Islam. sementera kebutuhan yang bersifat jangka panjang terpenuhi dengan

wakaf produktif di mana umat Islam bisa menggunakan harta wakaf untuk modal

usaha dan usaha produktif lainnya.

Ali Ahmad al-Jurjawi, penulis Hikmah al-Tasyri` wa Falsafatuhu

menyebutkan bahwa wakaf seharusnya mampu mengurangi kesenjangan sosial

antara si kaya dengan si miskin, serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia.

Allah berfirman dalam al-Quran, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan

(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai".

(QS. Ali Imran: 92). Ketika ayat itu turun, sahabat Nabi Abu Thalhah berkata,

Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku karena Allah. Kemudian,
113

Nabi menasehatinya agar kebun tersebut didermakan untuk kepentingan orang-

orang fakir miskin.

Kemudian Umar ibn Khattab pun melakukan hal yang sama. Sebagaimana

diriwayatkan Imam Muslim dari Ibn Umar, ia berkata "Umar mempunyai tanah di

Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW . meminta untuk

mengolahnya, sambil berkata: Ya Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di

Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?

Rasulullah bersabda: Jika engkau menginginkannya tahanlah tanah itu dan

shadaqohkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan,

dihibahkan atau diwariskan. Maka ia menshadaqahkannya kepada fakir miskin,

karib kerabat, budak belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang

mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud

memiliki harta itu?.

Wakaf untuk kesejahteraan umum ini, kemudian berkembang menjadi

berbagai bentuk. Pertama, wakaf untuk fasilitas umum, seperti wakaf sumur dan

sumber mata air. Ini bisa dijumpai di tepi-tepi jalan yang bisa menjadi lalu lintas

jamaah haji yang datang dari Irak, Syam, Mesir, dan Yaman, serta kafilah yang

bepergian menuju India dan Afrika. Di antara sumur-sumur itu, terdapat wakaf

sumur Zubaidah, isteri Harun al-Rasyid, khalifah pemerintahan Abbasiyah. Yang

termasuk bentuk ini adalah wakaf jalan dan jembatan.

Kedua, wakaf khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin. Wakaf ini

seperti yang digambarkan dalam hadits di atas. Hasil pengelolaannya digunakan

untuk pemberdayaan masyarakar yang masuk kategori fakir dan miskin. Wujud
114

dari wakaf ini kini bisa beraneka ragam, ada yang diwujudkan dalam bantuan

beasiswa, pengobatan gratis, balai pendidikan dan pelatihan cuma-cuma, bantuan

permodalan dan sebagainya.

Ketiga, wakaf untuk pelestarian lingkungan hidup. Wakaf ini menunjukkan

bahwa kesejahteraan manusia juga harus didukung keseimbangan ekosistem dan

lingkungan hidup di sekitar. Perbaikan masyarakat tanpa dibarengi pelestarian

lingkungan, tentu perbaikan tersebut berjalan dengan paradoks. Karena itu, harus

seimbang, misalnya, wakaf tanah terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai

dan saluran air, serta wakaf untuk burung-burung merpati seperti di Masjidil

Haram, Makkah.

Dalam konteks Indonesia, masa kini dan lebih-lebih ke depan, tentunya

wakaf merupakan potensi ekonomi yang luar biasa besarnya. Fakta yang

mendukung adalah saat ini Indonesia merupakan Negara terbesar ke-4 dan

penduduk muslim terbesar di dunia, pemeluk agama Islam merupakan mayoritas

yang kaya dengan sumber daya alam dan wakaf bagian ajaran Islam yang sangat

potensial untuk pemberdayaan umat Islam, bangsa dan Negara. Bahkan, saat ini

telah disyahkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan

Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41

tahun 2004 dan juga telah dikeluar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang

kebolehan wakaf uang pada bulan mei 2002 sebagai bukti bentuk dukungan,

pemerintah, DPR, Ulama dan masyarakat Indonesia terhadap pentingnya

memberdayakan aset wakaf sebagai langkah strategis pembangunan umat, bangsa

dan Negara Indonesia. Untuk itu, dalam konteks berikutnya Peran Badan Wakaf
115

Indonesia (BWI), Asosiasi Nazhir Wakaf Indonesia (ANWI), serta partisipasi

masyarakat untuk berwakaf dan pengelolaan wakaf oleh Nazhir (pengelola

Wakaf) secara produktif, amanah, profesional dan transparan tentunya menjadi

faktor utama yang diharapkan untuk terwujudnya pemberdayaan umat Islam,

bangsa dan Negara Indonesia melalui pengelolaan wakaf di Indonesia.

D. Sejarah Regulasi Wakaf di Indonesia

Awal kemerdekaan merupakan babak baru bagi tata hukum nasional.

Hukum nasional yang berlaku saat itu adalah hukum dasar tidak tertulis dan

hukum dasar tertulis.47 Hukum dasar tidak tertulis terdiri dari hukum adat yang

berlaku turun menurun dan hukum Islam yang bersumber dari syari’at Islam,

sedangkan hukum dasar tertulis yaitu produk hukum yang dibuat pada masa

kolonial dan produk hukum nasional yang dibuat pasca kemerdekaan. Pasal II

Aturan Peralihan UUD 1945 sebagai norma dasar menyebutkan bahwa segala

peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan peraturan yang baru

menurut UUD.

1. Wakaf menurut Hukum Adat

Hukum adat merupakan produk hukum tidak tertulis yang paling tua

berlaku di Indonesia. Oleh karena itu menjadi hal yang wajar jika pelaksanaan

hukum Islam sebagai hukum dasar tidak tertulis sangat dipengaruhi oleh hukum

adat, sehingga pelaksanaan hukum Islam boleh dilakukan jika tidak bertentangan

dengan ketentuan hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang sejak dahulu telah
47
Hukum dasar tertulis terdiri dari produk hukum kolonial dan produk hukum nasional,
sedangkan hukum dasar tidak tertulis terdiri dari hukum adat dan hukum Islam. Lihat Abdul Gani
Abdullah, hal. 58.
116

berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup

dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala hal dalam kehidupan

masyarakat.48

Adat secara teoritis tidak pernah diakui sebagai salah satu sumber utama

dalam hukum Islam. Implementasi hukum adat menurut Joseph Schacht memiliki

peran penting dalam proses kreasi hukum Islam dari berbagai persoalan hukum

yang muncul di negara-negara Islam. Peranan adat dalam penciptaan hukum lebih

penting bahkan mampu mengalahkan praktek hukum yang datang dari ketentuan

hukum Islam itu sendiri.49

Posisi adat dalam sistem hukum Islam di kalangan para ulama telah terjadi

perbedaan pendapat.50 Sebagian mereka ada yang menempatkan adat yang

mengakar di masyarakat dapat dijadikan sebagai hukum selagi tidak bertentangan

dengan syara’. Jika terjadi pertentangan antara adat dengan dengan syara’, maka

menurut al-Suyuthi terbagi menjadi dua kategori. (1) mendahulukan adat apabila

hukum tersebut tidak ada relevansinya dengan syara’. (2) mendahulukan syara’

apabila hukum tersebut ada relevansinya dengan syara’.51

Sejarawan muslim menyatakan bahwa posisi hukum adat dan hukum Islam

sejak lama telah mengalami konflik. Konflik tersebut menurut Bustanul Arifin

dan Danial Noer muncul sejak datangnya kolonialisme ke Indonesia. Namun

menurut Danial S Lev menyatakan bahwa konflik tersebut pada dasarnya telah
48
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 10.
49
Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia, dalam Doddi S Truna
dan Ismatu Rofi, Pranata Islam di Indonesia (Pergulatan Sosial. Politik, Hukum, dan Pendidikan),
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran), hal. 59.
50
Adat atau tradisi yang baik telah dikenal dalam istilah hukum Islam sebagai ‘urf. ‘Urf
sebagai salah satu metodologi dalam hukum Islam kedudukannya masih diperdebatkan. Lihat Al-
Suyuthi, al-Ashbah wa al-Nadzair fi al- furu’, (Indonesia, al-Haramain, tt.), hal. 65.
51
Ibid., hal. 66
117

terjadi sejak awal kedatangan Islam ke Indonesia, adapun kedatangan pemerintah

kolonial Belanda seiring dengan membawa kepentingan dan ideologinya hanyalah

untuk mendukung kedudukan hukum adat.52

Perkembangan hukum adat yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang

berlaku di negara Islam lainya telah mengalami perubahan-perubahan seiring

dengan perkembangan dan dinamika zaman. Para ulama sepakat bahwa ketika

adat berubah, maka pendapat hukum yang mendasarkan diri pada adat tersebut

harus juga diubah. Al-Qarafi secara gamblang menerangkan secara gamblang

bahwa kapanpun adat berubah, maka para ahli hukum harus

mengimplementasikan perubahan-perubahan tersebut dalam keputusan hukum

mereka. Ia menambahkan, jika seseorang mengikuti pendapat-pendapat hukum

tanpa memperhatikan adat, maka seseorang tersebut berada dalam kesesatan.53

Adat sering digunakan oleh masyarakat Islam Indonesia sebagai

modifikasi dialek yang diturunkan dari bahasa Arab ‘adah yang digunakan untuk

sesuatu yang biasa dilakukan dan memiliki konsekuensi hukum dalam masyarakat

seperti adat istiadat, kebiasaan, dan praktek-praktek sosial lainnya yang mengakar

dan terus berkembang berabad-abad lamanya.54

Masyarakat adat Indonesia sejak zaman Hindu-Budha telah mengenal dan

melakukan praktek-praktek keagamaan yang memiliki nilai kedermawanan

(filantropi), kebersamaan, dan memupuk persaudaraan mengakar seperti shima

atau dharma berupa tanah atau ladang yang diberikan oleh seorang raja kepada
52
Ahmad Imam Mawardi, Rationale Sosial Politik Pembuatan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, dalam Dody S Truna dan Ismatu Rofi (Penyunting), Pranata Islam di Indonesia:
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
2002) , hal. 104.
53
Ratno Lukito, hal. 60.
54
Ibid., hal. 61.
118

rakyatnya untuk digunakan sebagai tempat mengembala ternak, mengambil kayu

bakar dan keperluan-keperluan hidup lainnya.55 Pola seperti ini dalam Islam

dikenal dengan istilah wakaf, meskipun sebenarnya tidak dapat dikategosasikan

sebagai wakaf.

Praktek keagamaan seperti wakaf juga telah lama dilakukan oleh

masyarakat Banten Selatan, misalnya Huma serang atau ladang yang dikerjakan

secara bersama-sama dan hasilnya digunakan untuk kepentingan bersama.

Masyarakat Bali melakukan praktek sosial keagamaan seperti wakaf dalam bentuk

tanah atau barang seperti perhiasan untuk pesta menjadi milik candi atau dewa-

dewa yang tinggal disana. Demikian pula masyarakat lombok yang menggunakan

istilah tanah pareman atau tanah yang dibebaskan dari pajak yang diberikan

kepada desa, subak, kepala candi yang digunakan dan dimanfaatkan untuk

kepentingan bersama.56

Berdasarkan hukum adat, harta benda yang dapat diwakafkan tidak

terbatas hanya tanah pertanian saja, tetapi dapat juga dalam bentuk benda lepas

(roerend) dan benda yang tidak lepas (onroerend). Wakaf dalam bentuk benda

lepas yaitu wakaf yang digunakan untuk untuk sarana masjid, surau, atau tanah

pertanian yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan masjid, gaji pengurus

masjid, pembelian kitab al-Qur’an untuk disimpan di masjid. Adapun wakaf

dalam bentuk benda yang tidak lepas (onroerend) yaitu wakaf yang digunakan

untuk dimanfaatkan oleh anak cucu pemberi wakaf.57 Namun kendati demikian,

55
Rahmat Djatnika. Wakaf Tanah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), hal. 18-19.
56
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 14)
57
Ibid.
119

tetap saja praktek dalam perwakafan masih banyak dijumpai dalam bentuk tanah

pekarangan untuk didirikan masjid, langgar, kuburan, ataupun kebun yang

dijadikan sebagai ladang penghidupan baik untuk kepentingan keluarga maupun

masyarakat. Aspek manfaat tersebut dalam istilah hukum Islam dikenal sebagai

wakaf ahli dan wakaf khairi.

Tanah atau benda yang diwakafkan menurut hukum adat sebagai

perbuatan hukum yang bersifat personal dan kolektif yang memiliki kedudukan

hukum khusus (rechtspersoon), menimbulkan suatu lembaga hukum adat, dan

menjadi subjek (rechtssubject) hukum dalam kehidupan.58 Dalam perspektif

hukum adat, orang yang berwakaf mempunyai hak dan kuasa penuh atas barang

yang diwakafkan dan harus ditunjuk dengan jelas serta tidak boleh digunakan

untuk hal yang dilarang oleh agama. Peruntukan tanah wakaf tersebut juga harus

diikrarkan dengan jelas, dan orang yang berwakaf juga harus menunjuk siapa

yang akan mengurus tanah tersebut. Jika ikrar wakaf sudah terlaksana, maka

kedudukan hukum dari tanah tersebut diatur oleh hukum adat, yaitu kewenangan

atas tanah berada di tangan pengurus wakaf yang ditunjuk oleh pemberi wakaf.59

Oleh karena itu, tanah yang diwakafkan bersifat tetap, mengikat, tidak dapat

diubah kepemilikannya, tidak dapat dilakukan pemindahan hak, tidak dapat

dijadikan jaminan, tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, diwariskan, atau

bentuk-bentuk perbuatan hukum lainnya.60

58
Ibid.
59
Ibid.
60
Mura P. Hutagalung, Hukum Islam di Era Pembangunan, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1985),
hal. 101. Lihat Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria,Sejarah Penyusunan, Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Penerbit Djamabatan, 1971), hlm. 211
120

Pembuat wakaf (wakif) menurut hukum adat harus memiliki persyaratan

sebagai pemilik dan kuasa penuh atas barang yang diwakafkan yaitu tidak boleh

digunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan hokum Islam, ikrar wakafnya

harus diucapkan dengan kata-kata jelas, tujuannya bersifat tetap, menunjuk

seseorang yang menjadi pengelola wakaf sekaligus mengucapkan lapadz (kabul)

penerimaan wakaf, membentuk kepengurusan, dan jika pengurusnya tidak ada

maka kepala pegawai masjid menurut hukum diharuskan mengurusnya.61

Jenis wakaf yang banyak dilakukan oleh masyarakat Islam Indonesia

adalah dalam bentuk tanah. Pandangan terhadap hakekat tanah dapat dibagi dalam

tiga ketegorisasi; (1) Tanah menurut hukum adat merupakan satu-satunya benda

kekayaaan bersifat tetap, menguntungkan bagi pemiliknya, menjadi sumber

kehidupan, dan memiliki sifat religio magis meskipun dunia mengalami

perubahan.62 Di samping itu dalam perspektif masyarakat adat, tanah juga dapat

digunakan sebagai tempat tinggal persekutuan, tempat dikebumikannya bagi para

warga persekutuan yang meninggal dunia, dan tempat tinggal bagi pelindung

persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. Hal ini menunjukan bahwa

kepemilikan tanah dalam perspektif hukum adat Indonesia dapat dimiliki secara

kolektif (masyarakat) ataupun perorangan (individual). (2) Tanah menurut

masyarakat perkotaan merupakan sesuatu yang sangat essensial, karena seiring

bertambahnya jumlah penduduk maka akan semakin mempersempit area tanah

sehingga dapat menimbulkan masalah permukiman bagi masyarakat perkotaan.

Untuk itu perlu adanya penataan tata ruang dan tata guna tanah agar pemanfaatan
61
Ter Haar, hal. 161-162.
62
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.
1).
121

dan pelestarian lingkungan hidup untuk mencegah penggunaan tanah yang dapat

merugikan kepentingan masyarakat dan pembangunan., dan (3) Tanah menurut

hukum negara merupakan salah satu unsur essensial pembentuk negara agraris

yang memiliki peran penting dalam kehidupan dan penghidupan bangsa

pendukung negara yang bersangkutan. Di negara yang berharap melaksanakan

demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfataan tanah digunakan sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat (conditio sine qua non).63

Di bidang perwakafan, hukum adat memandang bahwa apabila yayasan

(foundation)64 sebagai pengelola wakaf berbentuk badan yang berdiri sendiri

dalam hukum, maka tanah yang diwakafkan termasuk ke dalam kategori hak

milik. Namun jika tidak demikian, maka tanah yang diwakafkan tanpa subjek

hukum tersebut kedudukan hukumnya sah jika ditentukan oleh surat akta tanah. 65

Model aturan pertanahan berdasarkan hukum adat ini terus berlangsung sampai

masa berkuasanya pemerintahan Kolonial Belanda.

2. Wakaf menurut Hukum Islam

Islam sangat menghargai perbuatan yang dilakukan oleh setiap manusia.

Manusia sebagai khalifah Allah memiliki peran dan tugas yaitu untuk mengelola

dan memanfaatkan alam agar tercipta kelestarian dan kelangsungan hidupnya

63
Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 1.
64
Yayasan yang dimaksud adalah badan atau organisasi non-pemerintah yang dikelola
oleh beberapa dewan pengurus atau beberapa orang yang tidak menerima subsidi dari masyarakat,
akan tetapi pendanaannya banyak diperoleh dari para pendiri yang berasal dari harta pribadi yang
ditujukan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat secara umum. Yayasan juga termasuk ke
dalam kategori badan wakaf sosial, meskipun tidak semua hal yang ada di dalamnya berorientasi
sosial. Lihat Mundzir Qahaf, hal. 51.
65
Ter Haar, hal. 90-94.
122

dalam meraih kebahagiaan baik di dunia maupun saat kembali kepada Yang Maha

Kuasa dengan cara memelihara harta (hifdz al-māl).

Manusia secara nisbi sebagai penguasa harta yang dimiliki, tetapi bukan

sebagai  pemilik hakiki. Dalam memelihara harta, manusia memiliki tugas dan

kewajiban. Tugas manusia adalah bagaimana mampu memperoleh dan mengelola

harta dengan baik yaitu sesuai tuntunan dan aturan yang telah ditetapkan pemilik

harta yaitu Allah SWT. Adapun kewajiban manusia sebagai pemilik harta adalah

menafkahkan harta sebagai wujud syukur atas karunia yang diberikan Allah

kepadanya, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Hadid ayat 7 sebagai berikut:

ِ ِ َّ ِ ِ ‫َأنف ُقوا مِم َّا جعلَ ُكم ُّمستخلَ ِف‬


ِ ‫ء ِامنوا بِٱللَّ ِه ورسولِِۦه و‬
ٌ‫َأجٌر َكبِري‬
ْ ‫ين ءَ َامنُوا من ُك ْم َوَأن َف ُقوا هَلُ ْم‬
َ ‫ني فيهۖ فَٱلذ‬
َ ْ َْ ََ َ ُ ََ ُ َ
Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian

dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka

orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian)

dari hartanya memperoleh pahala yang  besar.

Ayat tersebut di atas memberi penjelasan bahwa harta yang dinafkahkan

kepada orang lain, maka bagi yang menafkahkannya akan menerima imbalan

(pahala) dari Allah dan dapat memberikan rasa kepedulian sosial yang tinggi

dalam masyarakat. Salah satu pemanfaatan harta adalah melalui infak atau

sedekah yang memiliki nilai kebaikan bagi yang melaksanakanya maupun nilai

manfaat bagi masyarakat yang menikmatinya.

Hukum Islam sesuai dengan tujuan dibentuknya (maqashīd al-syarī’ah)

sangat memperhatikan nilai-nilai kebaikan dan kesejahteraan sosial. Perbuatan

yang mengandung nilai kebaikan sekaligus berdampak pada kesejahteraan sosial


123

dalam Islam dikenal dengan istilah sedekah. Berdasarkan sumber hukum Islam

yaitu al-Qur’an dan Sunnah, sedekah terbagi menjadi dua jenis yaitu sedekah

wajib dan sunnah. Implementasi sedekah wajib yaitu dalam bentuk zakat,

sedangkan implementasi sedekah sunnah yaitu dalam bentuk wasiat, hibah, dan

wakaf. Ketiga aturan sedekah tersebut memiliki pengertian dan aturan masing-

masing. Apabila seseorang memberikan sesuatu barang kepada orang lain

dilaksanakan setelah seseorang meninggal dunia, maka perbuatan itu disebut

wasiat; apabila memberikan sesuatu barang kepada orang lain untuk dimiliki (al-

tamlik al-muthlaq), maka disebut hibah; dan apabila memberikan sesuatu barang

untuk dimanfaatkan sementara barang itu tetap ada (tahbīs al-ashl wa talbīs al-

manfa’ah), maka perbuatan itu disebut wakaf.66

Kata wakaf sudah menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab

waqafa (fiil madhi), yaqifu (fi’il mudhari), dan Waqfan (mahdar) yang memiliki

pengertian sama dengan kata habasa (fi’il madhi), yahbisu (fi’il mudhari), dan

habsan (mahdar) artinya menahan, berhenti, berdiri, atau diam di tempat. Apabila

kata waqf dalam bentuk mutta’addī yang dihubungkan dengan harta maka akan

mempunyai pengertian sebagai pembekuan hak milik atas materi benda (al-‘ain)

untuk tujuan menyedekahkan manfaat (tahbīs al-ashl wa talbīs al-manfa’ah)

tanpa menghabiskan atau merusak bendanya yang digunakan untuk jalan

kebaikan..67

66
Lihat Ahmad Ibnu Qadamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Kharqi, (Beirut: Dar al-
Fikr, tt), hal. 186.
67
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah, dan Hibah menurut
al-Qur’an dan al-Sunnah, Abu Hudzaifah (Penerjemah), (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2008),
hal. 6. Lihat Adijani al-Alabij, 1989. Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek.
(Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 23. Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Indonesia: Al- Haramain, tt), hal.
328.
124

Menurut istilah syara’, wakaf adalah sejenis pemberian yang

pelaksanaanya dilakukan dengan jalan menahan pemilikan asal, lalu menjadikan

pemanfaatan manfaatnya (profit) untuk kebaikan, dengan cara mengelola dan

memelihara asset aslinya sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu untuk kebaikan dalam

rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. tidak diwariskan, tidak dijual,

dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, atau perbuatan-perbuatan yang

sejenisnya68

Wakaf dalam perspektif para ulama memiliki pengertian yang berbeda,

sehingga dapat berimplikasi pada pembentukan dan corak hukum yang berbeda

pula, terutama dalam hal konsep, tukar menukar benda wakaf, dan perubahan

peruntukan dan perubahan status harta benda wakaf.

Menurut ulama Hanafiah, definisi wakaf secara terminologi adalah sebagai

berikut:

ِ‫َّص ُد ِق بِالْمْن َف َع ِة َعلَى ِج َّه ِة اخْلَرْي‬ ِِ ِ ِ


َ ‫س الْ َعنْي ِ َعلَى ُح ْك ِم م ْلك الْ َواقف َوالت‬
ُ ‫ف َحْب‬
ُ ْ‫اَلْ َوق‬
69
َ
Wakaf 70
adalah menahan harta benda milik wakif dan mensedekahkan

manfaatnya untuk kebaikan.

Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafi mengartikan wakaf sebagai

shadaqah kedudukannya sama dengan pinjam meminjam atau ariyah

(cxoomodate loan).71 Namun ada perbedaan spesifik antara wakaf dengan ariyah

68
Muhammad Jawad Al-Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama,
2003) hal. 635.
69
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa ‘Adilatuhu, Juz VII, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), hal. 153.

70
Penggunaan kata wakaf oleh ulama Hanafiyah bersandar kepada surat al-Shāffāt ayat
24 ”‫”وقفوهم إنهم مسئولون‬. Lihat al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Juz 12, (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993),
hal. 27.
71
Juhaya S Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hal. 15. Lihat Al-Sarkhasi, hal. 27.
125

yaitu terletak pada kedudukan bendanya. Benda wakaf tetap berada menjadi hak

milik wakif tetapi tidak boleh dipergunakan atau tidak pula diambil manfaatnya,

hal ini didasarkan kepada hadis Nabi riwayat Ibnu Abbas bahwa bahwa sedangkan

benda pada ‘ariyah berada di tangan peminjam sebagai pihak yang menggunakan

dan boleh pula mengambil manfaatnya.72

Konsep wakaf menurut Abu Hanifah sebagaimana penjelasan di atas

memiliki kesamaan dengan hak milik. Hak milik menurut Abu Hanifah adalah

menjadi hak milik sepenuhnya bagi si pemilik harta, sehingga wakif sebagai

pemilik harta boleh jika melakukan perbuatan hukum seperti menarik wakafnya

kembali kapan saja dikehendakinya, menjual, menghibahkan atau mewariskan

kepada anak cucunya. Dengan demikian kepemilikan harta yang diwakafkan

kepemilikannya berpindah apabila wakif menjual, menghibahkan, atau

mewariskannya.

Argumentasi Abu Hanifah tentang konsep wakaf berdasarkan ra’yu yaitu

habs al-mamluk ‘an al-tamlik min al-ghair.73 Pendapatnya tidak bersandar pada

hadis-hadis wakaf seperti hadis riwayat Ibnu Umar tentang tanah Khaibar yang

digunakan oleh tokoh-tokoh Islam lainnya. Namun ia berpegang kepada hadis

Abdullah bin Abbas menjelaskan bahwa tidak dibenarkan mewakafkan benda

yang merupakan harta waris dan hadis riwayat Syuraih yang menjelaskan bahwa

Nabi Muhammad pernah menjual tanah wakaf.74

72
Ibid,. hal 27.
73
Ibid.,
74
Ibid., hal. 17.
126

Pendapat Abu Hanifah tentang konsep wakaf diikuti oleh para pengikutnya

kecuali Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. 75 Menurut Ibnu Humam bahwa

wakaf adalah menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan

atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan

kebajikan.76 Pendapat Ibnu Humam mempertegas bahwa wakif pada hakekatnya

masih tetap menjadi milik wakif, karena transaksi dalam wakaf perpindahannya

bukan pada asset hartanya namun pada aspek pemanfaatannya.

Wakaf dalam pandangan ulama Hanafiyah tidak berarti meninggalkan hak

milik secara mutlak, dan orang yang mewakafkan boleh saja menarik wakafnya

kembali kapan saja ia kehendaki dan boleh diperjualbelikan atau dapat ditukar

dengan benda lainya yang lebih bermanfaat. Menurut ulama Hanafiyah bahwa

penukaran tanah wakaf sangat tergantung pada ikrar yang dilakukan oleh wakif,

apabila pada waktu ikrar disebutkan boleh ditukar, maka penukaran itu sah

dilakukan. Selain itu benda wakaf dapat ditukar jika dalam keadaan darurat atau

ada izin atau syarat yang diikrarkan oleh wakif ketika wakaf dilaksanakan atau

diserahkan.77 Bahkan menurut Abu Hanifah, jika wakif tersebut meninggal dunia,

maka kepemilikan harta yang diwakafkannya berpindah menjadi hak ahli

warisnya.78 Kendati demikian, apa yang disampaikan oleh Abu Hanifah dan Ibnu

Humam keduanya tetap mengakui eksistensi harta wakaf yang tidak dapat ditarik

75
Imam Abu Yusuf dan Muhammad berbeda pandangan tentang kepemilikan harta yang
telah diwakafkan. Kedua berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan status kepemilikannya
telah berakhir dari wakif dan berpindah menjadi milik Allah untuk suatu tujuan yang hasilnya
dipergunakan untuk manfaat makhluknya. Lihat Rachmadi Usman, hal. 52.
76
Kamaludin Ibnu al-Humam, Syarah Fath al-Qadir ‘Ala al-Hidayah, Juz VI, (Beirut,
Dar al-Fikr, 1977), hal. 203.
77
Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama, dalam Suhrawardi,
Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 150.
78
Ibid.
127

kembali yakni; (1) jika harta wakaf yang dipergunakan untuk pengembangan

masjid; (2) jika harta wakaf berdasarkan putusan hakim yang menyatakan bahwa

harta wakaf tidak boleh dan tidak dapat ditarik kembali; (3) jika wakaf

dihubungkan dengan kematian si wakif atau wakaf yang dilakukan dengan cara

wasiat.79

Wakaf menurut ulama Malikiyah didefinisikan sebagai berikut:

ِ ِ‫ك مْن َفعةً مَمْلُو َكةً ولَو َكا َن مَمْلُو َكةً بِاُجر ٍة اَو جعل َغالِبتِ ِه َك َدر ِاهم يستَح ُّق ب‬
‫صبغَ ٍة‬ ِِ
َ ُْ َ َ َ ُ ْ َ ْ َْ ْ ْ َ ْ َ َ ‫ف َج ْع ُل الْ َمال‬ ُ ْ‫اَلْ َوق‬
80 ِ
‫س‬ ٍ
ُ ‫ُمدَّة َم َايَراهُ الْ ُم ْحب‬
Wakaf ialah menjadikan manfaat harta sang wakif, baik berupa sewa atau

hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk

penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

orang yang mewakafkan.

Imam Malik pendiri madzhab Maliki menyatakan bahwa wakaf adalah

bersifat mengikat (memiliki arti lazim), tidak mesti dilembagakan secara abadi

(muabbad) dan boleh saja mewakafkan benda dalam tenggang waktu yang

ditentukan (muaqqat).81 Namun demikian wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah

perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya

sebelum tenggang waktu yang telah ditetapkan. Dengan demikian ada kepastian

hukum lazim dalam perwakafan, yaitu kepastian hukum yang mengikat

berdasarkan suatu ikrar.

Ibid. Lihat Hasan Mansur Nasution, Wakaf dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah,
79

dalam Suhrawardi dkk (editor), Wakaf dan Pemberdayaan Umat,), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hal. 4.
80
Wahbah al-Zuhaili, hal. 155.
81
Juhaya S Praja, hal. 18.
128

Harta yang diwakafkan dalam pandangan Imam Malik harus memiliki

nilai ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si

wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut selama masih

masa wakafnya belum habis. Jika dalam akad atau shigat si wakif tidak

menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki, maka ia

bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya.

Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis riwayat

Ibn Umar tentang tanah Khaibar. Adapun alasan yang dikemukakan Imam Malik

tentang status harta wakaf tetap menjadi milik si wakif adalah berdasarkan hadis

Ibn Umar yang menjelaskan bahwa Umar telah mewakafkan tanah Khibar dan dia

tetap sebagai pemilik atas tanah Khaibar tersebut. Adapun pendapat Imam Malik

tentang keabsahan wakaf untuk sementara waktu adalah berdasarkan atas

kenyataan bahwa tidak adanya dalil yang menyatakan wakaf itu harus muabbad.

Konsekuensinya adalah bahwa jika wakaf itu bersifat muabbad, sementara

manfaat benda itu hanya berlaku sementara saja, maka wakaf itu boleh dijual

dengan pertimbangan al-maslahah al-mursalah.82

Pendapat Imam Malik tentang konsep wakaf diikuti oleh para pengikutnya

seperti Imam al-Dasuki yang menyatakan bahwa wakaf adalah menjadikan

manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa)

untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam

jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif.83 Dalam hal ini al-Dasuki

mempertegas bahwa kedudukan harta yang telah diwakafkan adalah masih tetap
82
Ibid.
83
Al-Dasuki, Juz II, Hasyiyah al-Dasuqi ‘Ala Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.),
hal. 187.
129

menjadi milik wakif yang berpindah hanya pada aspek manfaatnya saja dan masa

berlaku wakaf tidak untuk selama-lamanya kecuali untuk waktu tertentu

berdasarkan keinginan wakif.

Definisi wakaf menurut ulama Syafi’iyah yang diikuti oleh ulama

Hanabilah adalah sebagai berikut:

‫ه‬3ِ 3ِ‫ُّرفِ ِه َو َغرْيِ ِه ىِف َر َقبَت‬3‫ص‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ‫ق الت‬3ِ َ‫ك مطْل‬3 ِ ِ ‫ف حَتْبِي‬3
َ َّ‫ ِع الت‬3ْ‫ه بِقط‬33‫اء َعْين‬3‫ع َب َق‬3َ 3‫ه َم‬33ِ‫ ِع ب‬3‫ه الْ ُمْنتَف‬3 ‫ُّرف َمال‬3‫ص‬َ ُ ‫س َمال‬ُ ْ ُ 3ْ‫اَلْ َوق‬
84ِ
‫ف ِر ْيعُهُ اِىَل بِِّر َت َقُّربًا اِىَل اهلل‬ ِ ‫اع الت‬
َ ُ‫َّصُّرف حَتْبِْي ًسا ي‬
ُ ‫صِّر‬
ِ ِ ِ
َ ِ ‫لَن ْو ِع م ْن ا ْن َو‬

Wakaf ialah menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam

membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta

dengan cara memutuskan semua hak terhadap penguasaan harta yang

diperuntukan bagi kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Wakaf dalam pandangan al-Syafi’i pendiri madzhab Syafi’i berbeda

pendapat dengan ulama-ulama sebelumnya. Al-Syafi’i menamakan wakaf sebagai

al-shadaqat, al-shadaqat al- muharramat, atau al-shadaqat al-muharramat al-

mauqufat.85. Menurut al-Syafi’i wakaf adalah menahan harta yang tetap utuh yang

dapat diambil manfaatnya untuk sesuatu yang dibolehkan menurut syariat dan

status kepemilikannya berpindah dari wakif menjadi milik Allah. Alasan al-

Syafi’i adalah mengqiyaskan benda wakaf kepada memerdekakan hamba sahaya.

Artinya ketika si wakif menyerahkan hartanya untuk diwakafkan maka status dari

harta beralih dari pemilik harta kepada Allah, atau harta yang diwakafkan tersebut

telah menjadi milik umat, bukan lagi milik orang yang mewakafkan. Dengan

84
Sayyid Ali Fikri, Al-Mu‘awalah al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz II, (Mesir: Mustafa al-
Bab al-Halabi, 1938), hal. 312
85
Al-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 51-52
130

demikian terjadi pemutusan hak kepemilikan harta yang dapat mengakibatkan

adanya balasan (pahala) karena perbuatan wakaf yang telah dilakukan oleh wakif.

Oleh karena itu sesuai petunjuk hadis Nabi maka benda yang telah diwakafkan

tidak boleh dijual, disewakan, dihibahkan, atau diwariskan.

Pendapat al-Syafi’i tersebut diikuti oleh para pengikutnya seperti al-

Syarbini dan al-Syairazi. Keduanya mendefinisikan wakaf sebagai penahanan

harta yang dapat memberi manfaat dan materi bendanya (al-‘ain) bersifat kekal

dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk

diserahkan kepada nazhir sepanjang penggunaan itu dibolehkan menurut

syari’ah.86 Keduanya mensyaratkan bahwa harta yang diwakafkan harus harta

yang bersifat kekal materi bendanya (al-‘ain), dengan artian harta tersebut tidak

mudah rusak atau musnah dan dapat diambil manfaatnya secara terus menerus.87

Wakaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hambali pada

dasarnya sama seperti yang disampaikan Imam Malik dan al-Syafi’i yaitu

menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam menjalankan hartanya

yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan seluruh hak

penguasaan terhadap harta yang digunakan untuk kebaikan dan mengharap pahala

dari Allah. Konsep wakaf menurut Ahmad bin Hanbal pada prinsifnya ditujukan

untuk kebaikan dan kemaslahatan seperti tempat ibadah, untuk orang-orang

miskin, jembatan, kepentingan umum, dan lain-lain; benda wakafnya dapat

diperjual belikan seperti hewan, alat perang, benda tetap dan benda bergerak;

86
Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz II, (Kairo: Musthafa Halabi, tt.) hal. 376. Al-
Syirazi, Al-Muhadzab, Juz I, (Mesir: Al-Halabi, 1343 H), hal. 575. Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfat
al-Muhtaj bi al-Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 235.
87
Ibid.
131

wakaf harus diserahkan kepada orang yang merdeka dan tidak sah jika diserahkan

kepada hamba sahaya; dan wakaf harus dilaksanakan secara langsung tidak boleh

digantungkan karena adanya sebab.88

Konsepsi lain menurut Ahmad bin Hanbal adalah tentang ikrar dan

karakteristik benda wakaf. Menurut Ahmad bin Hanbal wakaf adalah sah jika

dilakukan melalui ucapan atau perbuatan. Ikrar (ucapan wakif) wakaf boleh

dilakukan secara sharih (tegas) atau kinayah (sindiran).89 Adapun karakteristik

benda wakaf adalah disyaratkan harus memiliki manfaat dan dapat

diperjualbelikan agar benda wakaf tersebut dapat terjaga kelangsungannya

(muabbad) atau dalam arti lain jika benda wakaf tersebut kurang manfaat maka

dapat ditukar dengan benda lain yang dapat mendatangkan manfaat (talbīs al-

manfa’ah).

Wakaf menurut Daud ibn Ali pendiri madzhab al-Dhahiri menjelaskan

bahwa wakaf identik dengan pembebasan hamba sahaya. Menurut dia bahwa

wakaf yang sah menurut hukum adalah terbatas pada benda-benda yang telah

disebutkan berdasarkan nash. Benda-benda tersebut adalah bangunan, tanah,

mushaf, buku, senjata, baju besi, dan lain sebagainya. Begitu juga kendaraan yang

boleh diwakafkan adalah kendaraan yang digunakan untuk berperang di jalan

Allah. Mengenai maukuf ‘alaih menurut madzhab ini boleh siapa saja sesuai

dengan kehendak si wakif.90 Alasan mereka adalah menggunakan hadis Ibn Umar.
88
Juhaya S Praja, hal. 24.
89
Dalam Madzhab Hanbali contoh ikrar sharikh seperti lafadz waqaftu (aku wakafkan),
habastu (aku tahan), dan sabaltu (aku peruntukan bagi kepentingan umum). Sedangkan ikrar yang
dilakukan secara kinayah seperti tashaddaqtu (aku sedekahkan), harramtu (aku haramkan), dan
abbadtu (aku berikan selama-lamanya). Lihat Ibnu Qadamah, hal. 186. Lihat Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, hal. 12.
90
Pendapat ini berbeda dengan ulama di kalangan Imamiyah yang menyatakan bahwa
harta yang telah diwakafkan status kepemilikannya telah berpindah kepada pihak maukuf ‘alaih,
132

Landasan lain yang digunakan oleh madzhab ini adalah hadis Nabi yang artinya:

“Mulailah dengan dirimu, maka bersedekahlah, maka aku sedekahkan hasilnya.91

Berdasarkan beberapa pengertian dan argumentasi yang dikemukakan para

ulama tersebut tampaknya ada kesepahaman bahwa wakaf adalah menahan harta

wakif untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kendati

demikian, masih terdapat cara pandang yang berbeda diantara mereka tentang hak

kepemilikan harta yang telah diwakafkan.92 Perbedaan cara pandang tersebut

terjadi karena adanya perbedaan hasil telaah kajian (ijtihad) mereka terhadap

konsepsi wakaf yang terkandung dalam nash baik al-Qur’an maupun al-Sunnah.93

Dalil atau landasan hukum tentang wakaf secara eksplisit tidak disebut

oleh nash baik al-Qur’an maupun al-Sunnah. Sumber hukum wakaf diperoleh

melalui dalil yang penunjukannya bersifat umum (dilalat al-‘ammah) yaitu dalil-

dalil yang menyuruh manusia agar senantiasa melakukan kebaikan. Oleh karena

itu ajaran wakaf jika ditinjau dari aspek objek kajiannya tidak termasuk dalam

wilayah ta’abbudi tetapi ijtihadi.94 Adapun Dalil-dalil yang berhubungan dengan

namun harta tersebut tidak boleh dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Lihat Departemen Agama
Republik Indonesia, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
2004), hal. 4
91
Juhaya S Praja, hal. 26.
92
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah memandang bahwa kepemilikan harta yang telah
diwakafkan tetap menjadi milik wakif, sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memandang
bahwa kepemilikan harta tersebut telah berpindah menjadi milik Allah SWT.
93
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pendapat di kalangan
para ulama selain yang dikemuakakan di atas yaitu: (1) perbedaan dalam menanggapi hadis. Ada
hadis yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama lain. Ada hadis yang
dipandang shahih oleh sebagian ulama, tetapi tidak shahih menurut ulama lainnya; (2) berbeda
dalam menanggapi kaidah-kaidah ushul; (3) berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan
antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil lainnya); (4) berbeda dalam menetapkan
dalil yang sifatnya ijtihadi. Lihat A.Djazuli, Ilmu Fiqih (Sebuah Pengantar), (Bandung: Orba Sakti,
1991), hal. 101-102.
94
Objek kajian wakaf termasuk ke dalam wilayah ijtihadi yang dapat membuka peluang
lahirnya berbagai pemikiran baru tentang paradigma wakaf, sehingga kelembagaan wakaf yang
awalnya dipahami sebagai lembaga keagamaan bersifat statis yang hanya berorientasi pada nilai-
nilai ‘ubuddiyah dapat beralih pemahaman menjadi lembaga yang fleksibel, dinamis, fururistis
133

amal kebaikan yang dipahami erat kaitannya dengan ajaran wakaf sebagaimana

disinyalir dalam surah Al-Hajj ayat 77 sebagai berikut:

ِ
ُ ‫ـخْيَر لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفل‬
‫ـحو َن‬ َ ْ‫وا ْف َعلُوا ال‬...
َ
“…dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan”.

Ayat ini mengandung perintah secara umum kepada umat Islam untuk

melakukan kebaikan sebagai bentuk habl min al-nas (membangun hubungan baik

kepada sesama manusia) melalui kegiatan-kegiatan sosial yang mendatangkan

manfaat.95 Menurut al-Dimasqi dalam kitabnya Kifayat al-Ahyar fii Hall Gayat al-

Ikhtishar menjelaskan bahwa perintah untuk melakukan kebaikan dalam ayat

tersebut diantaranya adalah perintah untuk melakukan wakaf.96

Ayat lain yang dijadikan sebagai rujukan perintah untuk berwakaf sebagai

bentuk pengabdian kepada Allah, sebagaimana disinyalir dalam surat Ali Imran

ayat 92 sebagai berikut:

‫ىت ُتْن ِف ُق ْوا مِم َّا حُتِ ُّب ْو َن َو َما ُتْن ِف ُق ْوا ِم ْن َش ْي ٍء فَِإ َّن اهللَ بِِه َعلِْي ٌم‬ ‫رِب‬
َ ‫لَ ْن َتنَالُْوا الْ َّ َح‬
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),

sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang

kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

(beriorientasi pada masa depan), dan ekonomis khususnya pada aspek pengembangan serta
pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan, dan lain-lain.
95
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177 menegaskan bahwa perbuatan berdimensi sosial
mengandung nilai kebaikan yang dapat memberi manfaat kepada orang banyak adalah infak harta
yang dicintai kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang meminta-
minta, dan hamba sahaya.
96
Al-Dimasqi, Kifāyat al-Akhyār fī Hall Gayat al-Ikhtishār, Juz I, Syirkah al-Nur Asia,
tt.), hal. 319.
134

Menurut para ulama fikih, bahwa ayat ini dijadikan sebagai landasan

hukum wakaf. Ayat ini berisi anjuran kepada umat Islam untuk melakukan infak

secara umum. Dalam tulisan Mundzir Qahaf dijelaskan bahwa asbab al-nuzul

(sebab-sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan peristiwa Abu Thalhah

yang mewakafkan perkebunan Bairuha yang sangat dicintainya. Bentuk wakaf

yang dilakukan oleh Abu Thalhah ini termasuk bentuk wakaf ahli, yaitu wakaf

yang pemanfaatannya untuk kepentingan keluarga. Salah satu keluarga yang

mendapatkan manfaat dari hasil tanah wakaf Abu Thalhah ini adalah keluarga

Hasan bin Sabit.97

Perbuatan yang dilakukan oleh Abu Thalhah terhadap keluarganya adalah

bentuk semangat kedermawanan (filantropi) yang sangat dianjurkan oleh ajaran

Islam. Prinsif ad’afan mudha’afah (mendatangkan pahala atau ganjaran yang

berlipat ganda) merupakan konsekuensi yang akan diterima bagi mereka yang

melakukan infak di jalan Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surah al-

Baqarah ayat 261 sebagai berikut:

ٍ ٍ ٍ ِ ِ ‫مثْل ٱلَّ ِذ‬


ُ‫ت َسْب َع َسنَابِ َل يِف ُك ِّل ُس ۢنُبلَة ِّماَئةُ َحبَّةۗ َوٱللَّه‬
ْ َ‫ين يُنف ُقو َن َْأم َٰوهَلُ ْم يِف َسبِ ِيل ٱللَّه َك َمثَ ِل َحبَّة َأنۢبَت‬
َ ُ َ
ِ ِ ِ ِ‫يضـٰع‬
ٌ ‫ف ل َمن يَ َشآءُۗ َوٱللَّهُ َٰوس ٌع َعل‬
‫يم‬ ُ َُ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dikehendaki. Dan Allah Maha
Luas (kurniaNya) lagi Maha Mengetahui.

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Muhyiddin Mas Rida (Penerjemah),


97

(Jakarta: Khalifa, 2005) hal. 8.


135

Perumpamaan infak yang dikeluarkan di jalan Allah termasuk wakaf di

dalamnya sebagaimana dijelaskan ayat di atas adalah menjadi instrument ternyata

memiliki efek pengganda dalam pemberdayaan dan peningkatan ekonomi

masyarakat. Nafkah yang digambarkan oleh al-Qur’an memiliki perumpamaan

bagaikan benih yang menumbuhkan tujuh bulir dan tiap-tiap bulir seratus biji,

dalam tataran praktis efek dari ayat ini mengandung dampak peningkatan

ekonomi bagi mereka yang disantuni.

Imam al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pesan yang terkandung

dalam ayat di atas yaitu mengajak agar setiap muslim mampu mendayagunakan

harta melalui sedekah dan agar menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah

bagi kesejahteraan umat baik yang wajib maupun sunnah sesuai aturan yang telah

ditentukan.98

Infak atau sedekah sunnah seperti wakaf yang diberikan seseorang untuk

kepentingan keluarga atau kepentingan umum dapat dilakukan secara langsung

maupun wasiat sebagaimana disinggung dalam surah Al-Baqarah ayat 180

sebagai berikut:

‫ت إ ْن َتَر َك َخْيًرا الْ َو ِصيَّ ِة ل ْل َوالِ َديْن‬ ُ ‫َأح َد ُك ُم الْ َـم ْو‬
َ ‫ضَر‬
ِ ِ‫ُكت‬
َ ‫ب َعل ْـي ُك ْم ِإذَا َح‬ َ
ِ ِ
َ ‫ـني بِـالْ َـم ْع ُروف َح ّقا َعلَـى الْ ُـمتّقـنْي‬
َ ‫َواأل ْقَرب‬
Kamu diwajibkan berwasiat apabila sudah didatangi (tanda-tanda)

kematian dan jika kamu meninggalkan harta yang banyak untuk ibu,

bapak, dan karib kerabat dengan cara yang ma’ruf; ini adalah kewajiban

atas orang-orang yang taqwa.

98
Al-Razi, Tafsir al-Razi, (Dar Ihya al-‘Arabi, tt.), hal. 39.
136

Ayat tersebut menjelaskan tentang wasiat yang di dalamnya mengandung

unsur harta. Oleh karena itu perintah untuk melakukan kebaikan di sini adalah

menyangkut masalah kebendaan. Dan salah satu bentuk kebaikan dalam bentuk

harta adalah wakaf, seperti masjid, madrasah, kuburan, hewan, uang, dan lain-lain.

Pemahaman ajaran wakaf juga telah disinggung dalam beberapa hadis

Nabi SAW yang menjelaskan tentang amalan sedekah jariyah, diantaranya adalah

hadis riwayat Imam Muslim sebagai berikut:

‫ات‬ ِ َ َ‫اهلل صلَى اهلل علَي ِه وسلَّم ق‬ ِ ‫ اَ َّن رسو ُل‬,‫عن اَىِب هريرةَ ر ِضي اهلل َتعاىَل عْنه‬
َ ‫ال اذَا َم‬ َ َ َ َْ ُ َ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َ َ َْ َ ُ ْ َ
‫ص َدقٍَة َجا ِريٍَّة َْأو ِع ْل ٍم يُْنَت َف ُع بِِه‬ ٍ ِ ِ ِ ‫ابن‬
َ ‫آد َم ا ْن َقطَ َع َعْنهُ َع َملُهُ ااَّل م ْن ثَاَل ث‬
َ ُْ
ٍ
ُ‫صا ٍِحل يَ ْدعُ ْو لَه‬
َ ‫َْأو َولَد‬
99

Apabila manusia wafat, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga

hal, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, atau

anak saleh yang mendoakannya.

Menurut para ulama bahwa yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadis di

atas adalah wakaf100, karena di dalamnya mengandung nilai kebaikan kepada

orang lain yang dapat mendatangkan pahala terus mengalir kepada pelakunya

meskipun ia telah meninggal dunia. Prinsif ini dalam istilah perwakafan dikenal

dengan prinsif muabbad (kekal).

Sejak awal perkembangan Islam, wakaf merupakan amaliyah dalam

bentuk sedekah jariyah telah dicontohkan oleh Nabi dan dianjurkan kepada para

sahabat agar mereka gemar melaksanakannya. Hadis populer riwayat Imam

99
Al-Nabhani, Al-Fath al-Kabir, Jilid I, (Beirut, Dar al-Arqam, t.t.), hal. 145. Lihat Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, (Semarang: Thaha Putra, tt.), hal.
191.
100
Al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz VI, (Musthafa al-Bab al-Halabi, t.t.), hal. 24.
137

Bukhari yang menceritakan perbuatan Umar bin Khattab saat menyedekahkan

sebidang tanahnya di Khaibar adalah sebagai bukti bahwa wakaf telah banyak

dilaksanakan oleh umat Islam sejak masa Nabi.

،‫ا‬3‫يه‬3َ ِ‫ ف‬3ُ‫تَْأِم ُره‬3‫ النَّيِب َّ يَ ْس‬3‫َأتَى‬3َ‫ ف‬،‫ر‬3َ 3‫اً خِب َْيَب‬3‫ر َْأرض‬3ُ ‫م‬3َ ُ‫اب ع‬َ 3‫ص‬َ ‫ َأ‬:‫ال‬3 َ 3َ‫ ق‬، ‫ر‬3َ ‫م‬3َ ُ‫َع ِن ابْ ِن ع‬
ُّ ِ ‫خِب‬ ِ َ ‫ يا رس‬:‫ال‬
ُ ‫و َأْن َف‬3َ ‫ط ُه‬3َ‫االً ق‬3‫ب َم‬
‫س‬ ْ ‫ مَلْ ُأص‬،‫ت َْأرضاً َْيَبَر‬ ُ ‫َأصْب‬
َ ‫ول اللّه إيِّن‬ ُ َ َ َ ‫َف َق‬
‫ت‬َ ْ‫ َّدق‬3 ‫ص‬
َ َ‫لَ َها َوت‬3 ‫ص‬ ْ ‫ت َأ‬ َ 3 ‫ت َحبَ ْس‬
ِ
َ ‫ْئ‬3 ‫ «إ ْن ش‬:‫ال‬3 َ 3َ‫ه؟ ق‬3ِ 3ِ‫ْأ ُم ُريِن ب‬3 َ‫ا ت‬3‫م‬3َ َ‫ ف‬،ُ‫ه‬33‫دي ِمْن‬3ِ 3‫ِعْن‬
‫د َ هِب‬3‫ َفتص‬:‫ال‬3 ‫هِب‬
،‫ث‬ ُ ‫ور‬3َ ُ‫ َوالَ ي‬،ُ‫اع‬3َ‫ َوالَ يُْبت‬،‫لُ َها‬3‫ص‬ ْ ‫اعُ َأ‬3َ‫ر َأنَّهُ الَ يُب‬3ُ ‫ا عُ َم‬3َ ‫َّق‬ َ َ َ َ‫ ق‬،»‫َا‬
‫ َويِف‬،‫اب‬ ِ َ‫الرق‬ ِّ ‫ َويِف‬، ‫ َويِف الْ ُق ْرىَب‬،‫َّق عُ َمُر يِف الْ ُف َقَر ِاء‬ َ ‫صد‬َ َ‫ َفت‬:‫ قَ َال‬،‫ب‬ ُ ‫وه‬ َ ُ‫َوالَ ي‬
ِ ‫ والضَّْي‬،‫السبِ ِيل‬ ِ ِ
...‫ف‬ َ َّ ‫ َوابْ ِن‬،‫َسب ِيل اللّه‬
101

Dari Ibn Umar berkata :” Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudia ia


datang kepada Rasulullah Saw. meminta untuk mengolahnya seraya
berkata: “ Ya Rasulallah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi
aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat? Nabi
menjawab:”Jika kamu menginginkannya, tahanlah itu dan shadaqahkan
hasilnya. Ibn Umar berkata : “Lalu Umar menyedekahkan hasilnya, tidak
dijual, diwariskan, dan dihibahkan”. Ibn Umar manambahkan : “Lalu
Umar menyedekahkan hasilnya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat,
para budak, sabilillah, ibn sabil, dan kepada para tamu.

Hukum wakaf yang berlangsung sejak masa Nabi secara estapeta

dilaksanakan oleh para generasi berikutnya; para khulafaurrasyidin, para sultan

dinasti Islam, negara-negara Islam di belahan dunia sampai kepada masyarakat

Islam Indonesia terus berlangsung, dan mengalami pasang surut sesuai dinamika

perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi.

Perkembangan hukum wakaf di Indonesia sebelum lahirnya berbagai

produk peraturan perundang-undangan tentang wakaf selain diatur berdasarkan

hukum adat, secara praktek dilakukan atas dasar kaidah-kaidah hukum Islam yang

101
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, (Semarang: Thaha
Putra, tt.), hal. 191.
138

telah ditentukan. Dalam perspektif hukum Islam, wakaf memiliki dimensi

polymorphe yang mengandung berbagai dimensi dalam berbagai aspek kehidupan

seperti sosial, ekonomi, kemasyarakatan, administrasi, bahkan juga masalah

politik.102 Dengan kata lain, lembaga ini tidak hanya dipandang sebagai institusi

keagamaan, tetapi juga sebagai pranata sosial yang menempati posisi sentral

dalam kehidupan umat manusia.103

Sejarah mencatat bahwa lembaga wakaf di Indonesia pada dasarnya telah

ada dan berkembang seiring dengan masuknya Islam ke wilayah nusantara.

Keberadaan lembaga sosial ini banyak memberi nilai kebaikan dan manfaat baik

demi kepentingan keluarga maupun kepentingan umum karena peruntukan

lembaga tersebut digunakan untuk sarana peribadatan seperti masjid, surau,

langgar, pondok pesantren, dan sarana-sarana sosial lainnya yang didirikan di atas

lahan mereka. Jika dilihat dari fungsi dan manfaatnya, bentuk wakaf yang

dilakukan tersebut adalah menyerupai wakaf keluarga (al-waqf al-ahli). Hal ini

dapat terlihat dari sarana-sarana peribadatan yang dibangun dan digunakan

sebagai ritual keagamaan notabene berasal dari wakaf.

Pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, istilah yang sama

dengan wakaf telah dikenal dan sangat populer dengan nama tanah perdikan

yaitu tanah yang diberikan raja kepada tokoh agama. Praktek perwakafan yang

dilakukan masyarakat muslim saat itu sesuai hukum Islam yang digunakan dalam

madzhab Syafi’i. Dengan demikian, dalam hal praktek keagamaan termasuk

wakaf masyarakat Indonesia sejak dulu banyak dipengaruhi oleh pemikiran


102
Rachmat Djatnika, hal. 1-2.
103
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Serang: Darul Ulum, 1994), hal.
2.
139

madzhab Syafi’i, sehingga wajar kiranya jika dalam perkembangan selanjutnya

madzhab tersebut banyak mempengaruhi pula terhadap produk hukum atau

peraturan perundang-undangan wakaf di Indonesia.

Hukum wakaf yang cenderung Syafi’iyah tersebut dari waktu ke waktu

terus mengalami perubahan dan perluasan seiring dinamika dan laju

perkembangan zaman. Tujuan wakaf pada awalnya masih terbatas pada

pemahaman suatu perbuatan yang dilakukan semata-mata untuk mengharap

pahala dan ridha Allah SWT, namun dalam perkembangan selanjutnya tujuan

tersebut mengalami perluasan makna yaitu bagaimana wakaf dapat berorientasi

pada peningkatan ekonomi dan kesejahteran umat. Demikian juga pemahaman

tentang batasan waktu dan penggunaan barang-barang yang diwakafkan telah

mengalami perubahan dan perluasan.

Wakaf ditinjau dari aspek tujuannya dapat terbagi menjadi tiga macam

yaitu; (1) Wakaf ahli (keluarga), yaitu apabila wakaf bertujuan untuk memberi

manfaat kepada wakif, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang tertentu. (2)

Wakaf khairi (sosial), yaitu apabila tujuan wakaf digunakan untuk kepentingan

umum. (3) Wakaf musytarak (gabungan), yaitu apabila tujuan wakaf tersebut

dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan keluarga

secara bersama-sama.104. Berdasarkan batasan waktu, wakaf terbagi menjadi dua

macam yaitu wakaf abadi (muabbad) dan wakaf sementera (muaqqat). Wakaf

abadi adalah jika harta yang diwakafkan tersebut dalam bentuk benda tidak

bergerak maupun bergerak yang ditetapkan wakif sebagai wakaf mu’abbad

(selama-lamanya). Adapun wakaf sementara adalah apabila harta wakaf yang


104
Mundzir Qahaf, hal. 161.
140

diberikan oleh pihak wakif kepada pihak pengelola dengan memberi batasan

waktu pada saat mewakafkan hartanya. Ketentuan tentang bolehnya wakaf

sementara ini berdasarkan pendapat yang dipegang oleh ulama dari kalangan

madzhab Maliki yang bersandar kepada pendekatan maslahat. Mereka

berpendapat bahwa kepemilikan benda yang telah diwakafkan statusnya tidak

berubah yaitu menjadi milik wakif dan peruntukannya boleh digunakan dalam

jangka waktu tertentu kecuali wakaf masjid.105

Berdasarkan penggunaan atau sasarannya, wakaf terbagi menjadi dua

macam, yaitu wakaf konsumtif dan wakaf produktif. Wakaf komsumtif, yaitu

wakaf yang tujuan penggunaannya ditujukan secara tertentu, seperti wakaf untuk

sarana masjid, jalan umum, kuburan, madrasah, rumah sakit, dan lain-lain.

Adapun wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk

kegiatan produksi, sementara hasilnya dikelola dan dikembangkan sesuai dengan

tujuan wakaf.106

Berbagai ketentuan yang berkaitan dengan tujuan, batasan waktu,

penggunaan atau sasaran, dan perluasan serta perubahan-perubahan makna wakaf

yang berkembang di Indonesia akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan

selanjutnya.

3. Wakaf menurut Hukum Kolonial

Hukum wakaf sebagai produk hukum yang berkembang di Indonesia

selain diatur menurut ketentuan hukum adat dan hukum Islam juga telah diatur

berdasarkan ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial atau

105
Jaih Mubarok, hal. 43.
106
Mundzir Qahaf, hal. 162.
141

produk hukum kolonial Belanda. Hukum wakaf yang dibentuk oleh pemerintah

kolonial Belanda secara prinsip banyak mengadopsi dan mempertahankan sesuatu

yang bersumber dari hukum adat (adatrecht)107 yang dilaksanakan oleh

masyarakat asli Indonesia dengan mengesampingkan bahkan menekan hukum-

hukum lainnya termasuk hukum Islam.

Menurut C. van Vollenhoven disebutkan bahwa aturan-aturan adat

mempunyai akar yang kuat di desa-desa, sebelum datangnya agama baru di

wilayah nusantara seperti Hindu, Budha, dan Islam.108 Ketundukan terhadap

agama tidak mampu merubah loyalitas mereka terhadap adat. Ia menambahkan

bahwa hukum Islam sekalipun tidak dapat diaplikasikan dengan maksimal selagi

hukum adat masih bertahan. Kedudukan hukum Islam hanya sebagai bahan

pertimbangan sejauh ia bisa diterima oleh salah satu sistem yang utama dari adat.

Pendapat C. van Vollenhoven tersebut sebagai bentuk promosi hukum adat

dijadikan sebagai sumber utama legislasi di Indonesia.109

Wakaf dalam pandangan ahli hukum pada masa kolonial telah disepakati

sebagai bagian dari hukum adat, meskipun hukum wakaf bersumber dari hukum

Islam. Pandangan tersebut dikemukakan karena lembaga wakaf tersebut sejak

lama telah meresap, mengakar, dan diterima (gerecipieerd) menjadi kebiasaan

yang berkembang dalam tatanan hidup masyarakat Indonesia. Dalam istilah

Belanda lembaga ini disebut vrome stichting.110


107
Istilah adatrecht pertama kali dimunculkan oleh Cornelis van Vollenhoven yang
melakukan penelitian di wilayah Indonesia. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa hukum Islam
hanya berlaku apabila telah diterima oleh hukum adat. Lihat Sorjono Soekanto, Hukum Adat
Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 18.
108
Ratno Lukito, hal. 63.
109
Ibid.
110
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, K.Ng. Soebakti Poesponoto
(Penerjemah), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hal. 161.
142

Tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda menetapkan asas Domein

Verklaring (Deklarasi Wilayah) melalui Agrarisch Wet (Hukum Agraria) dan

lebih dipertegas dalam Agrarisch Besluit (Keputusan Agraria), yang menyatakan

bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik)

seseorang, maka tanah tersebut menjadi milik negara. Asas ini pada hakikatnya

memberi pengakuan terhadap hak milik perseorangan atas tanah dengan

memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum.

Sementara, tanah-tanah yang tidak digarap dan tidak dapat dibuktikan

kepemilikannya, adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial.

Tanah-tanah yang inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan

mereka juga dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk,

sekaligus dapat menjadi buruhnya.

Kondisi tersebut di atas telah menyebabkan banyak rakyat kehilangan

tanahnya sehingga mendorong proletarisasi (lahirnya kelas buruh) secara besar-

besaran di Indonesia. Kondisi ini telah menempatkan bangsa Indonesia sebagai

negeri yang berfungsi sebagai penyedia bahan baku, pasar penjualan hasil

industri, sasaran investasi raksasa, dan penyedia tenaga kerja murah bagi industri-

industri milik imperialis. Aturan ini memang sengaja diterapkan agar pemerintah

Hindia Belanda dapat memiliki tanah-tanah rakyat Indonesia yang pada waktu

hampir seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Karena pemilikan atas

tanah berdasarkan sistem adat, tidak ada satupun yang menyamai hak eigendom.

Makanya, tanah-tanah adat menjadi tanah negara.


143

Sikap pemerintah kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan para

pengusaha dalam melakukan eksploitasi secara besar-besaran melalui sistem

perkebunan negara (cultuurstelsel) atau yang populer disebut sebagai sistem

tanam paksa yang mengharuskan petani untuk menanam jenis tanaman ekspor

milik pemerintah seperti tebu, kopi, nila, dan tembakau pada seperlima bagian

dari luas tanah pertaniannya atau bekerja cuma-cuma pada perkebunan negara

selama 66 hari dalam setahun membuat rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan.

Pada tahun 1938 di Hindia Belanda terdapat sekitar 2.500.000 hektar tanah

yang dikuasai oleh 2.400 perusahaan perkebunan yang sebagian besar dikuasai

oleh beberapa perusahaan raksasa dan kartel besar yang mengkoordinasi

perusahaan-perusahaan itu. Politik agraria yang dikembangkan Hindia Belanda

tersebut, secara sistematis melemahkan kedudukan sosial ekonomi penduduk

daerah pedesaan, yaitu dari petani pemilik tanah menjadi buruh serta merebaknya

usaha tani yang berskala gurem. Kebijakan ini sangat melukai hati dan merampas

hak milik rakyat Indonesia.

Tanah masyarakat pada awalnya harus berdasarkan hukum adat dan tidak

mengharuskan adanya sertifikat hak milik, kemudian beralih fungsi menjadi tanah

milik negara. Ini adalah bentuk perampasan negara terhadap hak milik rakyat

karena mengandung kebijakan kasar dan sangat tidak manusiawi. Kebijakan ini

secara langsung berimbas pada tanah-tanah wakaf. Saat itu, tak sedikit tanah

wakaf beralih fungsi menjadi tanah negara yang dilakukan dengan cara paksa.

Sikap pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan peralihan fungsi tanah

memicu protes di kalangan umat Islam saat itu. Mereka menganggap bahwa
144

kebijakan ini bagian dari intervensi negara terhadap agama. Dalam hal ini, agama

yang masuk kategori ruang privat seharusnya tidak perlu diintervensi oleh negara.

Karena tugas negara adalah hanya berhak mengatur hal-hal yang terkait dengan

kepentingan publik tidak dalam hukum privat. Protes yang sampaikan umat Islam

kepada pemerintah kolonial tersebut tidak digubris sama sekali bahkan disikapi

dengan antipati yang menimbulkan ketegangan antara pihak penguasa dengan

masyarakat muslim. Di satu sisi wakaf terkait dengan persoalan hukum agraria,

namun di sisi lain harus bebas dari biaya pajak. Oleh karena itu, dalam rangka

menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, maka pemerintah Kolonial Belanda

mengeluarkan beberapa produk aturan perundang-undangan tentang wakaf. Pada

tahun 1882 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Staatblad Nomor 152

tentang Priesterraad (Pengadilan Agama), yakni pemberian wewenang

pemerintah kolonial kepada lembaga ini dalam penyelesaian sengketa wakaf.111

Pada Tanggal 31 Januari 1905 pemerintah kolonial mengeluarkan Surat

Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama No. 435 sebagaimana termuat dalam

Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op de Bouw van Mohammedaansche

Bedenhuizen (Pengawasan Pembangunan Tempat Ibadah Islam).112 Surat Edaran

ini berisi bahwa pemerintah Belanda tidak akan menghalangi-halangi rakyat

Indonesia untuk berwakaf demi kepentingan umat Islam. Aturan ini mengatur

dan menghendaki adanya tertib administrasi perwakafan dengan cara mengetahui

seluruh hal yang berhubungan dengan tanah wakaf yang ada di Indonesia seperti

111
Uswatun Hasanah, Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, (Jurnal
al-Awqaf dan Ekonomi Islam, 2008), hal. 9.
112
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, (Bandung: Alumni, 1979), hal. 19-20.
145

wakaf mesjid, mushallah, madrasah, kuburan dan rumah-rumah ibadah. Surat

edaran ini juga ditujukan kepada para kepala wilayah yang mengharuskan agar

para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat bagi orang Islam. Artinya

dengan dikeluarkannya surat edaran tersebut pemerintah kolonial Belanda tidak

bermaksud mengintervensi atau campur tangan dalam wilayah keagamaan, tapi

hanya sekedar mengawasi dan menertibkan administrasi. Dalam daftar itu harus

dimuat asal-usul tiap rumah ibadat dipakai shalat Jumat atau tidak, keterangan

tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari

peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain. Namun,

tampaknya alasan ini tidak dapat meredam kekesalan umat Islam. Sehingga aturan

yang dibuat oleh pemerintah Belanda ini tidak berjalan efektif karena aturan ini

dijadikan sebagai alat pemerintah Hindia Belanda demi mendapat simpati dari

rakyat Indonesia.

Surat edaran tersebut ternyata menimbulkan reaksi keras dari umat Islam

dan kalangan organisasi-organisasi Islam.113 Poin utama dalam edaran tersebut

yang membikin umat Islam gusar adalah keharusan wakif meminta izin Bupati

sebelum melakukan ikrar wakaf. Dengan adanya kebijakan ini banyak calon wakif

yang enggan mewakafkan tanahnya karena sulitnya birokrasi untuk mendapatkan

rekomendasi Bupati. Di samping itu, alasan utamanya adalah kepentingan

kolonial Belanda yaitu harus adanya persetujuan atau izin dari Bupati. Jika

peruntukan dalam ikrar wakaf dianggap dapat merugikan atau membahayakan

menurut kaca mata Bupati, maka permohonan izin wakaf pasti ditolak.

113
Imam Suhadi, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1983),
hal. 6-7.
146

Surat edaran yang meresahkan masyarakat itu telah diperkuat kembali oleh

Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A,

sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1931 No. 125/3, tentang Toezich Van de

Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten en Wakafs.114

Dalam surat edaran ini terdapat beberapa perubahan Bijblad 6196 antara lain

ditentukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat. Rumah

ibadat tersebut dipergunakan untuk shalat Jum’at atau tidak, mencatat asal usulnya

dan berupa wakaf atau bukan. Bijblad 6196 harus diperhatikan dengan baik

supaya diperoleh register harta benda wakaf. Perubahan yang mendasar pada surat

edaran tersebut bukan hanya mengatur mesjid dan tempat-tempat ibadah, namun

mengatur juga tentang penggunaan dan status tanah wakaf secara jelas. Teknis

dalam pelaksanaannya adalah harus mendapat izin terlebih dahulu dari penguasa

yaitu pemerintah Hindia Belanda.115

Surat Edaran tersebut ditujukan kepada para Bupati sebagai pemangku

kekuasaan setiap wilayah khususnya untuk wilayah Jawa dan Madura yang

merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah Belanda untuk membuat daftar

jumlah masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya yang ada di setiap kabupaten

masing-masing. Sistem pendataan yang diatur dalam Surat Edaran tersebut harus

memuat tentang asal-usul rumah ibadah, status kepemilikan, penggunaan, fasilitas

pendukung yang ada di dalamnya, dan jenis barang tidak bergerak yang telah

ditarik dari peredaran oleh pemiliknya.

114
Abdurrahman, hal. 19-20.
115
Ibid.
147

Meskipun demikian persoalan utama yang tidak dikehendaki oleh umat

Islam masih saja dipertahankan yaitu keharusan mendapatkan izin dari Bupati.

Dengan kata lain, siapapun yang hendak berwakaf harus tetap mengantongi izin

dari Bupati selaku penguasa di wilayah tersebut. Sebelum Bupati mengeluarkan

izin, berdasarkan peraturan tersebut, Bupati ingin mengetahui secara jelas lokasi

dan luas tanah yang akan diwakafkan dan peruntukannya apa. Pemerintah Belanda

melakukan ini, sekali lagi, dengan dalih tertib administrasi. Data tanah wakaf

yang sudah mendapat izin ini akan dimasukkan dalam daftar yang dipelihara oleh

Ketua Pengadilan Agama. Dari setiap pendaftaran diberitahukan kepada Asisten

Wedana untuk digunakan sebagai bahan baginya dalam membuat laporan kepada

kantor Landrente.116

Berdasarkan peraturan tersebut, di luar alasan kontrol politik, pemerintah

kolonial sejatinya sudah berupaya untuk menertibkan administrasi perwakafan.

Hanya saja kebijakan ini masih belum dapat diterima oleh masyarakat Indonesia,

dan masih dimaknai sebagai bentuk campur tangan pemerintah atas tindakan

hukum privat (meteriil privaatrecht). Karena masalah privat, maka sah atau

tidaknya, boleh atau tidaknya, seseorang berwakaf tidak ditentukan oleh

pemerintah (Bupati), tapi tergantung dari niat dan syarat-rukunnya, sudah

terpenuhi atau tidak. Karena adanya desakan dari berbagai elemen masyarakat

yang terus mengalir, akhirnya pendirian pemerintah kolonial pun luluh.

Pada tangggal 24 Desember 1934 pemerintah Belanda mengeluarkan Surat

Edaran Nomor 13390 tentang Toezicht van de regeering op Muhammedaansche

bedehuizen, Vrijdadiensten en wakaf. Surat edaran ini berisi tentang penetapan


116
Ibid.
148

pembebasan lembaga wakaf dari pajak. Kedua tentang kewenangan Bupati untuk

memberikan izin penyelenggaraan dan menjadi mediator dalam penyelesaian

sengketa shalat Jum’at. Aturan yang terdapat dalam surat edaran ini pada akhirnya

tidak berjalan efektif disebabkan oleh proses perizinan yang sangat rumit dan

terkesan berbelit-belit.117

Tahun 1935 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Surat Edaran

Sekretaris Gubernemen Nomor 1273/A termuat dalam Bijblad No. 13480 Tanggal

27 Mei 1935 tentang Toezicht van de Regering op Mohammedaansche bedehuizen

Vrijdagdiensten en Wakafs (Pengawasan Pemerintah terhadap Tempat Ibadah

Jumat Umat Islam dan Wakaf).118 Kebijakan pemerintah dalam surat edaran ini

disebutkan dengan jelas bahwa orang yang akan berwakaf tidak perlu lagi

mendapat izin terlebih dahulu kepada Bupati, cukup memberikan pemberitahuan

kepada Bupati. Berbeda dengan peraturan sebelumnya, pada edaran ini Bupati

hanya punya peran mempertimbangkan dan meneliti. Peran ini digunakan untuk

sekedar mengetahui atau meng-crosscheck, apakah ada peraturan- peraturan

umum atau peraturan setempat yang menghalang-halangi pelaksanaan tujuan

wakaf. Jika ada, Bupati hanya berhak mengajukan alternatif wakaf tanah-tanah

lain. Lalu, tanah-tanah wakaf tersebut didaftarkan oleh Kepala Raad Agama atas

perintah Bupati kemudian diberitahukan kepada asisten Wedana, kemudian

asisten Wedana wajib melaporkan kepada Kepala Kantor Landrente (Kepala

Agraria). Dibanding dengan peraturan sebelumnya, surat edaran ini jauh lebih

sempurna dan lebih dapat diterima masyarakat. Demikian juga, aturan

117
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta, Ciputat Press, 2005), hal. 80.
118
Ibid.
149

administrasi perwakafan dalam edaran ini lebih tertata rapi, karena di dalamnya

memuat tentang prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf tanah.

Berdasarkan kurun waktu masa berlakunya peraturan-perundang-undangan

produk pemerintah kolonial Belanda tersebut di atas, maka pelaksanaannya masih

terus berlangsung hingga masa kolonialisasi Jepang sampai masa kemerdekaan

tepatnya sebelum dibentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

wakaf.

E. Sejarah Hukum Wakaf Periode 1960-1977

Tahun 1960 merupakan era baru pembenahan hukum agraria setelah

berlakunya berbagai produk peraturan pemerintahan kolonial Belanda. Masalah-

masalah yang dihadapi dalam periode ini pada dasarnya menyangkut masalah

perekonomian pasca kolonial dan masalah sosial politik yang timbul akibat

pemerintahan yang belum stabil.119 Masalah-masalah pokok yang dihadapi dalam

bidang ekonomi diantaranya adalah mengenai struktur ekonomi tidak seimbang

diakibatkan oleh sektor pertanian yang sangat dominan dan relatif kurang

diversifikasi, dan adanya tingkat inflasi semakin meningkat sampai mencapai

650% pertahun sehingga berimplikasi terhadap gejolak ekonomi masyarakat.120

Menurut Jamie Mackie sebagaimana dikutif Mahfud MD menyebutkan

bahwa pada masa pemerintahan Orde Lama masalah ekonomi tidak mendapat

perhatian serius. Pemerintah lebih suka menjaga keseimbangan politik daripada

terburu-buru membuat keputusan di bidang ekonomi atau sebagai sikap menjaga

119
Subandi, Ekonomi Pembangunan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hal. 115.
120
Ibid. hal. 116-119.
150

perimbangan politik dengan mengorbankan keseimbangan ekonomi. Pada waktu

itu defisit anggaran negara mencapai angka 50.121

Anne Both dan Peter MacCawley memberikan gambaran pada masa

pemerintahan Orde Lama atau pada pertengahan dasawarsa 60-an merupakan

masa suram bagi perekonomian Indonesia. Tingkat produksi dan investasi di

berbagai sektor utama sejak tahun 1950 menunjukan kemunduran. Pendapatan riil

per kapita dalam tahun 1966 sangat mungkin lebih rendah daripada tahun 1938.

Sektor industri menymbangkan hanya sekitar 10% dari GDP dihadapkan pada

masalah pengangguran dalam kapasitas yang serius. Di awal dasawarsa tersebut

terjadi defisit anggaran belanja negara mencapai 50% dari keperluan total negara,

penerimaan ekspor sangat menurun, dan selama tahun 1960-1966 hyperinflasi

melanda negara ini dengan lumpuhnya perekonomian.122

Pasca peralihan dari pemerintahan Orde Lama kepada pemerintahan Orde

Baru merupakan masa pembenahan dalam bidang ekonomi secara prioritas yang

dilakukan pemerintah Indonesia, terutama program pembangunan pada sektor

pertanian. Prioritas ini dilakukan dengan asumsi karena Indonesia sebagai negara

agraris yang sangat ketergantungan pada manfaat tanah. Tanah dipandang

masyarakat Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dalam pemenuhan di segala

aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, maupun agama.

Salah satu bidang pembangunan pertanahan yang dilaksanakan dan

mempunyai fungsi sangat penting dalam rangka pembangunan nasional adalah

catur tertib pertanahan, terutama yang berkaitan dengan hak kepemilikan atas

121
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, hal. 206.
122
Ibid.
151

tanah. Dalam upaya mewujudkan tertib kepemilikan tanah oleh badan hukum dan

perseorangan diharapkan adanya perlindungan hukum. Usaha untuk mencapai

keadaaan itu, dilaksanakan dengan jalan melaksanakan penertiban kepemilikan

tanah yang bertujuan untuk meningkatkan catur tertib pertanahan. Catur tertib

pertanahan sebagai landasan operasional tersebut adalah meliputi hukum

pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, dan pemeliharaan tanah

dan lingkungan hidup.123

Berdasarkan program catur tertib pertanahan tersebut di atas dapat dipahami

bahwa betapa pentingnya masalah pertanahan sebagai masalah nasional yang

perlu perhatian khusus dari semua pihak. Masalah tanah merupakan persoalan

yang sangat dominan yang sering menimbulkan perselisihan dan sengketa diantara

warga masyarakat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan, maka

pemerintah melakukan penataan terhadap penguasaan tanah melalui penertiban

tanah secara administratif.

Peraturan yang menyangkut pertanahan dan aturan wakaf yang melekat di

dalamnya memang telah diatur oleh peraturan-peraturan yang sudah ada

sebelumnya, namun sejatinya belum memiliki kekuatan hukum secara formal atau

belum adanya payung hukum yang mengatur serta mengikat berdasarkan produk

hukum nasional, sehingga menimbulkan berbagai polemik yang terjadi

dimasyarakat.

Sebelum tahun 1960 institusi wakaf menjadi bagian hukum agraria. Wakaf

termasuk ranah privat yang dilakukan seseorang melalui pemindahan hak milik

123
Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional
Sadar Tertib Pertanahan.
152

pribadi yang digunakan untuk kepentingan sosial tanpa adanya intervensi

pemerintah. Hukum wakaf pada masa ini masih ditempatkan sebagai ajaran murni

termasuk dalam kategori ibadah mahdhah (pokok), meskipun pada sisi lain wakaf

juga dipahami sebagai amal shaleh dalam bentuk habl min al-nas, namun

prakteknya dilakukan atas dasar kepercayaan sehingga perbuatan tersebut tidak

perlu dicatat.

Pengembangan pengelolaan wakaf pada periode ini masih dilakukan

secara tradisional, karena peruntukannya hanya digunakan untuk hal-hal bersifat

konsumtif.124 Aset-aset yang berhubungan dengan wakaf dari sisi kegunaan atau

kemanfaatannya hanya untuk kepentingan pembangunan secara fisik seperti

masjid, mushala, pondok pesantren, kuburan, yayasan, dan sebagainya, sehingga

eksistensi wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas

Pola pelaksanaan wakaf dilakukan oleh masyarakat muslim masih dengan

menggunakan kebiasaan atau tradisi secara turun temurun (heritage culture)

sesuai nilai-nilai keagamaan yang mereka adop dari kitab-kitab fikih bermadzhab

Syafi’i, seperti ketentuan ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, penunjukan

pengelola wakaf, dan tukar menukar harta wakaf.125 Mereka berargumentasi

dengan dalil bahwa tidak ada satu-pun ketentuan hukum yang mengharuskan

perbuatan wakaf harus dicatat, kecuali penggunaan lafaz tertentu yang harus

diucapkan pada saat ikrar wakaf.126 Al-Syarbini dalam kitab Mughnī al-Muhtāj ilā

124
Muhammad Syafii Antonio, Kata Pengantar dalam Ahmad Djunaedi dan Thobieb al-
Asyhar, Menuju Wakaf Produktif, (Jakarta: Mumtaz Publising, 2010), hal. vii.
125
Departemen Agama, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Dirjen
Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2003), hal. 49. Ahmad Djunaidi dan Thabieb al-Asyhar,
Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok, Mumtaj Fublising, 2010), hal. 48.
126
Ketentuan ikrar tersebut menjadi pedoman dalam pelaksanaan wakaf sebagaimana
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh bermazhab Syafi’i.
153

Ma’rifat Ma’āni al-Faz al-Minhāj menyataan ‫صˆˆحُّ ْال َو ْقˆˆفُ ِإالََّ بِلَ ْفˆˆ ٍظ‬
ِ َ‫( َوالَ ي‬tidak sah

transaksi wakaf kecuali dilakukan secara lisan).127 Demikian juga Ibnu Hajar al-

Haitami dalam kitab Tuhfāt al-Muhtāj fi Syarh al-Minhāj ia menyataan ‫َأيْ ْال ُمتَ َعلِّقَ ِة‬

ِ ‫ˆام ْال َو ْق‬


‫ˆف اللَّ ْف ِظيَّ ِة‬ ِ ‫صˆ ٌل فِي َأحْ َك‬ ِ ِ‫ˆظ ْال َواق‬
ْ َ‫ˆف ف‬ ِ ‫( بِلَ ْف‬pasal tentang hukum wakaf secara lisan,

kaitannya dengan pernyataan wakif).128

Ikrar wakif secara lisan dianggap sebagai bentuk pernyataan wakaf yang

sah, telah memenuhi prosedur, dan memiliki keabsahan serta legalitas hukum

terhadap harta benda yang diwakafkan.129 Namun meskipun demikian tidak berarti

bahwa seorang wakif yang mewakafkan harta bendanya melalui tulisan atau

isyarat bukan berarti wakafnya tidak sah. Ikrar yang dilakukan dengan tulisan

dapat menjadi alat bukti kuat bahwa wakif benar-benar melakukan transaksi

pemindahan harta benda yang diwakafkan dari wakif kepada pengelola wakaf

(nadzir).

Penyerahan harta benda yang dilakukan wakif kepada nadzir secara kultur

banyak dilakukan masyarakat muslim Indonesia sebenarnya lebih terbatas pada

benda-benda tidak bergerak dan bersifat kekal (muabbad) serta digunakan untuk

kepentingan tidak produktif. Tradisi ini dilakukan karena pengaruh kuat mazhab

Syafi’i yang menyatakan bahwa kekal tanpa dibatasi oleh waktu menjadi syarat

mutlak untuk harta benda yang diwakafkan. Mereka berargumentasi bahwa wakaf

adalah perbuatan mengeluarkan harta benda yang dilakukan semata-mata untuk

melakukan pendekatan diri kepada Allah, sehingga tidak diperbolehkan bagi

127
Lihat Al-Khatib al-Syarbini, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat Ma’ānī al-Faz al-Minhāj,
Juz II, (Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2000) hal. 517.
128
Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfāt al-Muhtāj fī Syarh al-Minhāj, (Dar al-Nasr, t.t.), 41.
129
Ibid.
154

wakif untuk membatasi waktu saat dilangsungkannya ikrar yang disampaikan

kepada pengelola wakaf (nadzir).130 Adanya pembatasan terhadap harta benda

yang boleh diwakafkan pada akhirnya wakaf sulit berkembang dan manfaat

wakafpun tidak sampai pada tujuan yang seharusnya dicapai yaitu terciptanya

masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.

Nadzir yang dimaksud saat dilangsungkannya ikrar wakaf masih dipahami

sangat sederhana oleh masyarakat muslim Indonesia. Dalam pandangan mereka

siapapun bisa ditunjuk sebagai nadzir. Anak atau keluarga terdekat tidak sedikit

yang menjadi nadzir. Hal tersebut dilakukan agar pelestarian harta yang

diserahkan wakif tidak berpindah tangan kepada pihak lain. Penomena seperti ini

menjadi hal yang wajar jika praktek wakaf yang berkembang peruntukannya

hanya terbatas pada kepentingan keluarga atau disebut wakaf ahli. Bentuk

perwakafan seperti ini tak ayal lagi sering memicu timbulnya konflik yang terjadi

antara keluarga atau keturunan dari pihak wakif dan nadzir dikemudian hari.

Selain ketiga aspek tersebut di atas, penomena wakaf yang berkembang

sebelum dibentuknya peraturan perundang-undangan wakaf telah banyak

membicarakan tentang boleh atau tidaknya melakukan tukar menukar harta wakaf.

Dalam masalah ini, mayoritas umat Islam Indonesia berpegang pada pendapat al-

Syafi’i yang melarang melakukan tukar menukar harta wakaf kecuali dalam

kondisi apapun.131 Al-Nawawi menyatakan bahwa ada harta wakaf yang tidak

bermanfaat atau tidak dapat digunakan sesuai syarat yang ditentukan wakif.

Bentuk harta seperti inipun tidak boleh dijual dan dihibahkan, kecuali perlu
130
Lihat Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, hal. 74.
131
Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, hal. 186. Lihat Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-
Asyhar, hal. 50.
155

adanya upaya melestarikan status wakaf yang melekat pada harta benda yang

tidak bermanfaat tersebut, yaitu dengan cara menyewakan atau dengan bentuk-

bentuk transaksi lainnya.132 Meskipun demikian, jika dalam kondisi darurat ada

juga ulama syafi’iyah yang membolehkan dilakukannya tukar menukar wakaf

yaitu dalam bentuk harta benda wakaf yang tidak dapat dimanfaatkan sesuai

syarat yang ditetapkan wakif.133 Dalam konteks seperti ini al-Mawardi

sebagaimana dikutip al-Ramli berpendapat bahwa jika ada hewan yang

diwakafkan kematiannya dapat dipastikan, maka hewan tersebut boleh

disembelih, dagingnya boleh dijual, dan hasil penjualannya dibelikan hewan yang

sejenis sebagai wakaf pengganti.134

Keanekaragaman bentuk, seperti wakaf dzurri (keluarga), wakaf khairi

(umum), muabbad (selamanya), muaqqat (sementara), dan problem wakaf seperti

pengalihan fungsi tanah wakaf sesuai keinginan wakif, pengalihan fungsi tanah

wakaf yang digunakan untuk kepentingan umum, pengakuan kembali sebagai hak

milik yang dilakukan oleh ahli waris si wakif, dan lain sebagainya, semua itu

dipicu karena adanya perbedaan dalam memahami hakikat dan tujuan wakaf itu

sendiri, serta tidak adanya payung hukum yang mengharuskan dilakukannya

pendaftaran untuk benda yang diwakafkan, sehingga menimbulkan persoalan

seolah-olah tanah yang diwakafkan sudah menjadi milik ahli waris atau menjadi

miliki pengelola wakaf (nadzir).135 Padahal, yang demikian itu semestinya tidak

132
Al-Nawawi, Mughni al-Muhtaj, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 550.
133
Ibid.
134
Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj, Juz V, (Kairo: Musthafa al-Halabi, tt.), hal. 391.
135
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita. Alumni, Bandung, 1979, hlm 2.
156

akan terjadi apabila pihak-pihak yang terkait memahami ketentuan-ketentuan atau

aturan-aturan yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Untuk memenuhi hasrat rakyat Indonesia dan umat Islam pada khususnya

yang menghendaki adanya pembaruan terhadap hukum agraria peninggalan

zaman kolonial Belanda dengan cara membentuk peraturan tertulis sebagai produk

hukum nasional dan untuk merespos tuntutan konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD

1945 yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan upaya dalam

mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta sejahtera, maka pada tahun 1960

pemerintah membentuk UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria yang menghendaki perubahan dan pembaharuan hukum di bidang agraria,

serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945.

Ide atau gagasan pembentukan Undang-Undang Agraria ini, secara historis

sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1948, yaitu sejak lahirnya UU Nomor

13 Tahun 1948 sampai dibentuknya UU Nomor 5 Tahun 1960. 136 UU Nomor 13

Tahun 1948 ini terus dilengkapi oleh peraturan-peraturan yang lahir sesudahnya,

seperti UU Nomor 5 Tahun 1950 tentang Penghapusan Hak Konversi yang

bersumber pada paham feodalisme, UU Darurat Nomor 6 Tahun 1951 yang

dikukuhkan dengan UU Nomor 6 Tahun 1952 tentang Penghapusan Tanah

Pertikelir yakni tanah eigendom yang bercorak istimewa karena adanya hak

kenegaraan atau hak pertuanan, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1952 yang

dikukuhkan dengan UU Nomor 24 Tahun 1954 tentang Pemindahan Pengawasan

Pemindahan Atas Tanah, UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang diubah dan
136
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 332.
157

ditambah dengan UU Nomor 1 Tahun 1956 tentang Larangan dan Penyesuaian

Pemakaian Tanah Tanpa Izin, dan UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian

Bagi Hasil dengan memuat materi yang lebih adil karena menghapus praktek-

praktek eksploitasi terhadap pihak penggarap tanah.

Pada tahun 1948 Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 16 Tahun 1948

dan tahun 1951 mengeluarkan Kepres Nomor 36 Tahun 1951 tentang Panitia

Agraria yang menunjuk Sarimin Reksodiharjo sebagai ketua. Panitia ini

menyampaikan tiga belas butir saran yang disampaikan kepada DPR, yaitu

penghapusan dualisme, pemberian tanah kepada petani, pengembanlian tanah

perkebunan kepada negara, penghapusan perkebunan swasta yang berstatus hak

milik, pembebasan orang desa dari beban warisan peodalisme, pengaturan

pembelian hasil panen yang dapat melindungi petani kecil, koordinasi pengairan

oleh negara, penghapusan domeinverklaring, serta penetapan luas minimal dan

maksimal tanah untuk petani.137

Pada tahun 1956, Panitia Agraria yang diketuai Soewahjo Soemodilogo

dibentuk kembali oleh Presiden dengan tugas menyusun RUU Pokok Agraria

Nasional. Berdasarkan hasil rumusan yang dicapai panitia berupa penegasan baru

atas hasil-hasil rumusan panitia sebelumnya yaitu penghapusan asas domein dan

diganti dengan asas hak menguasai dari negara, serta WNI yang menjadi

pemegang hak milik.138

Pada tanggal 24 September 1960 setelah melalui pembahasan RUU yang

tidak terlalu lama yaitu hanya memakan waktu dua minggu persis; 45 jam

137
Ibid. hal. 333.
138
Ibid.
158

pembicaraan persiapan, 6 jam pembicaraan dalam sidang DPR-GR, dan 20 jam

dilakukannya lobi-lobi, akhirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 disahkan. 139 Waktu

yang dibutuhkan dalam pembahasan RUU sampai diputuskan menjadi UU adalah

relatif cepat bahkan dikatakan sangat singkat. Hal ini terjadi karena lamanya

proses pembentukan RUU tergolong waktu yang cukup panjang dan pengambilan

keputusan yang matang yaitu dalam rentang waktu lebih kurang dua belas tahun.

Lahirnya UU ini menjadi moment perubahan penting pada bidang agraria

dan pertanahan di Indonesia. Dengan dibentuknya UU ini, maka seluruh

kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial Belanda harus

ditinggalkan.140 Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden

Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip

domein verklaring (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan

kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut

dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah Belanda).

UUPA ini lahir selain untuk memenuhi kedua tuntutan tersebut di atas, UU

ini juga lahir dilatarbelakangi oleh beberapa tuntutan masyarakat yang

berkembang, yaitu tuntutan masyarakat terhadap pemerintah agar membangun

perekonomian masyarakat yang mengarah pada prinsip keadilan dan membawa

kemakmuran, menghilangkan berlakunya dualisme hukum, dan menjamin

kepastian hukum agraria sebagai produk hukum nasional.141 Lahirnya UU ini telah

139
AP. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 6.
140
Mahfud MD menyatakan bahwa dengan diundangkannya UUPA (UU Nomor 5 Tahun
1960) sebenarnya masalah-masalah dasar yang menyangkut politik hukum agraria sudah
diselesaikan dan dikristalisasikan dalam norma hukum pada era orde lama. Lihat Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 279.
141
Lihat Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
159

mengubah prinsip-prinsip hukum pertanahan yang berlaku sebelum tahun 1960

secara fundamental yaitu hukum agraria yang dibentuk oleh pemerintah kolonial

Belanda sehingga menjadi unifikasi hukum tanah dan memperkokoh dasar hukum

perwakafan tanah milik di Indonesia.142

Perubahan fundamental ini meliputi pada beberapa aspek, yaitu perangkat

hukumnya (struktur hukum), dasar konsepsinya (substansi hukum), dan kesadaran

masyarakat untuk menjalankannya (kultur). Dengan berlakunya UUPA, maka

seluruh ketentuan tentang pertanahan nasional diperintahkan agar sesuai dengan

ketentuan hukum tanah adat dan memiliki jaminan dari aspek kepastian hukum

dengan tidak mengabaikan hukum agama yaitu memberi kemungkinan

tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa harus sesuai dengan kepentingan

dan kebutuhan rakyat Indonesia.

Perubahan yang diselenggarakan secara cepat, fundamental dan menyeluruh

yang ada pada saat itu disebut sebagai revolusi nasional. Revolusi nasional yang

dimaksud adalah segala persoalan dalam rangka melaksanakan pembangunan

nasional dan mengisi kemerdekaan dapat diselesaikan secara revolusioner dengan

tujuan agar terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945.

Secara yuridis, dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA

berarti telah memberi penegasan bahwa segala peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang hukum agraria seperti Agrarische Wet 1870 yang berwatak

sangat liberal dan kapitalistik serta eksploitatif dinyatakan dicabut, kecuali

142
Juhaya S Praja, hal. 33.
160

peraturan-peraturan yang sifatnya parsial sepanjang tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip yang digunakan dalam UUPA tersebut.143

Pada awal berlakunya UUPA seluruh kegiatan pertanahan nasional pada

dasarnya lebih berorientasi pada program-program reformasi tanah (Landreform)

yaitu mengubah gaya lama penguasaan tanah yang kolonial dengan program

redistribusi tanah kepada rakyat dan melarang monopoli penguasaan tanah

termasuk feodalisme di daerah-daerah pedesaan. Cakupan agraria sebagaimana

dimaksud oleh UUPA adalah bukan sekedar tanah pertanian, tetapi tanah yang

menjadi penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa, dan

kekayaan alam negara Republik Indonesia, termasuk tentang penggunaan tanah

untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya seperti lembaga wakaf

yang mengandung unsur agama yang telah diresipir oleh hukum adat harus

menjadi skala prioritas bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk

dibuatkan aturan-aturannya.

Adapun aturan-aturan yang berhubungan dengan pengaturan lembaga

wakaf sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah

terdapat dalam beberapa pasal sebagai berikut:

a. Pasal 2 ayat 1 menjelaskan tentang kewenangan negara untuk mengusai hak

atas tanah termasuk wakaf di dalamnya;

b. Pasal 5 menjelaskan bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria

Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk

143
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hal.
334.
161

perundang-undangan RI yang di sana-sini mengandung unsur agama yang telah

diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf;  

c. Pasal 14 ayat 1 mengandung perintah kepada pemerintah pusat dan pemerintah

daerah untuk membuat skala prioritas penyediaan, peruntukan dan penggunaan

bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan tentang

penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya;

d. Pasal 19 ayat 1 mengatur tentang jaminan kepastian hukum oleh Pemerintah

dengan mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan

e. Pasal 49 menegaskan bahwa soal-soal yang berkaitan dengan peribadatan dan

keperluan suci lainnya dalam hukum agraria akan mendapatkan perhatian

sebagaimana mestinya, termasuk  perwakafan tanah milik yang dilindungi dan

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 2 (1) menyebutkan bahwa hak atas tanah dikuasai oleh negara

sebagai organisasi tertinggi kekuasaan seluruh rakyat.144 Negara memiliki

wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan

dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air

dan ruang angkasa, dan menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

ruang angkasa.

144
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960.
162

Pasal tersebut memberi penegasan bahwa negara memiliki wewenang dan

hak untuk menguasai dan mengatur adanya macam-macam hak atas permukaan

bumi yang disebut tanah yang dimiliki oleh orang-orang, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum digunakan

untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,

kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia

yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur.145

Setelah dibentuknya UUPA, maka kedudukan tanah wakaf mengalami

perubahan, awalnya wakaf dipandang sesuatu yang privat kemudian masuk ke

dalam ranah publik, karena hal ihwal yang menyangkut wakaf diatur oleh negara

dan penguasaannya menjadi milik negara. Pasal 14 UUPA menyebutkan bahwa

pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum

mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa, serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; untuk keperluan peribadatan dan

keperluan-keperluan lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan

pasal ini mengandung perintah kepada pemerintah untuk membuat skala prioritas

dalam hal pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan

kepentingan suci lainnya. Dalam konsep Islam menggunakan fasilitas tanah untuk

sarana peribadatan dan sarana yang lainnya disebut wakaf.

Pemahaman konservatif masyarakat terhadap hukum Islam yang

menyatakan bahwa perbuatan wakaf adalah sah apabila telah diikrarkan oleh

pihak wakif secara lisan kepada seseorang atau lembaga tertentu yang diserahi
145
Kewenangan negara untuk menguasai tanah tersebut adalah sesuai amanat UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
163

harta wakaf. Tradisi berwakaf secara lisan atas dasar saling percaya antara kedua

belah pihak dalam kurun waktu yang sangat lama terus dipertahankan. Mereka

berpandangan bahwa wakaf adalah salah satu bentuk amal saleh yang mempunyai

nilai mulia di hadapan Allah dan harta yang telah diwakafkan dianggap telah

menjadi milik Allah. Dengan demikian, maka ikrar wakaf tidak harus ditempuh

melalui prosedur administratif karena tidak ada seorangpun yang akan berani

mengganggu atau menggugat harta yang telah menjadi milik Allah.

Tradisi wakaf tersebut kemudian memunculkan berbagai fenomena yang

mengakibatkan  perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan

signifikan. Munculnya berbagai kasus wakaf seperti hilangnya aset-aset wakaf

atau sering terjadinya sengketa antara wakif dengan pihak ketiga karena akibat

tidak adanya bukti wakaf dilaksanakan secara tertulis, seperti akta ikrar wakaf,

sertifikat tanah, dan lain-lain. Dari kenyataan itulah, paling tidak sejak

diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria perwakafan mulai dibenahi dengan melakukan pembaharuan-

pembaharuan di  bidang pengelolaan dan paham wakaf secara umum. Paling

tidak, pelaksanaan pembaharuan  paham yang selama ini sudah dan sedang

dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dengan wakaf.

Pasal 14 ayat (1) menegaskan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme

Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan

penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya untuk keperluan negara, untuk keperluan peribadatan dan keperluan

suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 146 Dalam rumusan
146
UU Nomor 5 Tahun 1960 pasal 14 ayat (1).
164

pasal ini terkandung amar kepada pemerintah agar membuat skala prioritas dalam

hal pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan

kepentingan suci lainnya. Dua kata terakhir yang disebutkan melalui Undang-

Undang tersebut, dalam konsep Islam disebut dengan istilah wakaf.

Pasal 19 ayat 1 mengatur tentang jaminan kepastian hukum yang

dilakukan Pemerintah dengan melakukan langkah strategis yaitu menginventarisir

tanah yang ada di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk tanah wakaf

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.147

C. Sejarah Hukum Wakaf Periode 1977-1991

Pertumbuhan ekonomi pada periode ini relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan periode sebelumnya. Namun demikian, secara sosiokultural bangsa ini

masih memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pemanfaatan

tanah. Perwakafan tanah di Indonesia sebagaimana diuraikan pada pembahasan

sebelumnya termasuk dalam bidang hukum Agraria yang menjadi perangkat

peraturan tentang bagaimana penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan ruang

angkasa Indonesia. Karena perwakafan di Indonesia pada umumnya berupa tanah,

maka masalah perwakafan menjadi bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang

No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA).148

147
Departemen Agama, Pola Pembinaan Lembaga Pengelola Wakaf (Nazhir), (Jakarta:
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004), hal. 21.
148
Menurut Mahfud MD, ada tiga masalah pokok yang harus dihadapi pemerintah setelah
dibentuknya UUPA. Sesuai namanya sebagai UU Pokok, maka UUPA tersebut baru merupakan
hukum dalam keadaan tidak bergerak sehingga masih memerlukan berbagai peraturan pelaksanaan
untuk mengoperasikannya sesuai dengan isi peraturan-peraturan tertentu di bidang agraria. Lihat
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hal. 280.
165

UUPA sebagai UU Pokok yang banyak memuat substansi hukum

menuntut pengaturan lebih lanjut tentang peraturan perundang-undangan

selanjutnya. Peraturan perundang-undangan tersebut menuntut agar tidak terbatas

pada satu bentuk berdasar hak delegasi, tetapi juga mencakup UU, PP, Perda, dan

peraturan perundang-undangan yang tidak terdapat secara hierarkinya. Salah satu

delegasi tuntutan dibentuknya peraturan perundang-undangan dalam bentuk

peraturan pemerintah adalah tuntutan tentang perwakafan tanah milik. Pasal 49

ayat (3) UUPA menyebutkan bahwa kedudukan perwakafan tanah milik

dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.149

Perwakafan tanah milik merupakan kelembagaan sudah cukup lama

dikenal oleh bangsa Indonesia. Perwakafan merupakan salah satu bentuk dari

pemindahan hak atas tanah dan bukan pemindahan hak atas tanah biasa, karena

mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu dipandang sebagai ibadah dalam ajaran

agama Islam. Dengan demikian perbuatan hukum di dalam perwakafan tanah ini

tidak mempunyai nilai komersial, sehingga sangat perlu untuk dilestarikan,

dikembangkan terus dan lebih disempurnakan peraturan-peraturannya. Dalam

ketentuan PP No.28 Tahun 1977 yang mengatur mengenai perwakafan tanah

milik ini dinyatakan bahwa tanah yang diwakafkan itu dikeluarkan dari lalu lintas

ekonomi. Tanah yang sudah diwakafkan tidak bisa lagi untuk dijual, diwariskan

ataupun dipakai sebagai jaminan utang.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah

Milik disahkan pada tanggal 17 Mei 1977 merupakan implementasi dari pasal 49

ayat 3 UUPA sebagai payung hukum bagi institusi wakaf. Periode ini merupakan
149
Lihat Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1960.
166

lanjutan dan penguatan hukum perwakafan yang berlaku pada periode sebelumnya

(periode 1960-1977). Lahirnya Peraturan Pemerintah ini memperkuat aturan yang

disebutkan dalam UUPA, sekaligus menghapus peraturan-peraturan sebelumnya

terutama peraturan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 menyebutkan bahwa

Bijblaad op het Staatsblad Nomor 6196 Tahun 1905, 12573 Tahun 1931, 13390

Tahun 1934, dan 13480 tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini

dinyatakan tidak berlaku lagi.150 Demikian pula berkaitan Dalam Konsideran

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 pada bagian Menimbang huruf b

menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang

mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan

akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang

tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data yang nyata dan lengkap mengenai

tanah-tanah yang diwakafkan.

Secara yuridis normatif, lahirnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal,

yaitu: (1) aturan tentang perwakafan tanah pada masa lampau belum memenuhi

kebutuhan dan belum diatur secara tuntas dalam suatu peraturan perundang-

undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat dan

tujuan wakaf. Implikasinya banyak tanah wakaf yang menjadi hak milik ahli waris

setelah terjadinya perebutan antara ahli waris wakif dengan nadzir. Kemenangan

ahli waris tersebut karena wakaf hanya dilakukan dengan cara ikrar lisan saja
150
Lihat Pasal 17 PP No. 28 Tahun 1977.
167

sedangkan nazhir tidak mempunyai alat bukti wakaf secara tertulis dari wakif.

Memang pada waktu itu tidak adanya ketentuan yang mengharuskan untuk

mendaftarkan benda-bendayang diwakafkan, sehingga banyak benda-benda yang

diwakafkan tidak diketahui lagi keadaannya, bahkan ada di antaranya yang telah

menjadi milik ahli waris dari pengurus (nazhir) wakaf bersangkutan. (2) belum

adanya pedoman pengelolaan tanah-tanah wakaf.Saat itu tanah wakaf dikelola

secara tidak teratur dan tidak terkendalikan. Akibatnya, sering terjadi

penyalahgunaan wakaf. Kondisi demikianlah yang mendorong pemerintah untuk

mengatasi masalah yang muncul dari praktik perwakafan di Indonesia. (3) tidak

adanya instrumen hukum kuat yang mendukung aturan wakaf. Hal ini

memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf.Misalnya,

tukar guling tanah wakaf, perubahan peruntukan, pergantian nazhir, dan, lain

sebagainya. Karena tidak adanya aturan yang detail semacam itu, maka

perwakafan tanah pun berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi

nazhir dengan tanpa ada panduan yang jelas dari pemerintah. Inilah yang juga

turut menyebabkan ruwetnya perwakafan tanah saat itu. (4) adanya antipati

terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu dapat dipergunakan sebagai salah

satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam. (5)

maraknya kasus wakaf karena adanya ketidakjelasan pada status tanah wakaf.151

Tujuan dibentuknya PP Nomor 28 Tahun 1977 adalah untuk memberikan

jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai

151
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press,
1988), hal. 99. Lihat Abdullah ‘Ubaid, Pasang Surut Tanah Wakaf di Tengah Kemelut Agraria,
Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 31 Tahun 2012.
168

dengan tujuan wakaf yaitu untuk mengurangi terjadinya berbagai penyimpangan

dan dapat menyelesaikan terjadinya sengketa wakaf.

Substansi hukum wakaf yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977

memberi penjelasan dan rincian lebih luas tentang hukum perwakafan yang

dimaksud dalam UUPA, diantaranya tentang fungsi wakaf, batasan harta benda

wakaf, nazir, tata cara perwakafan tanah milik, pendaftaran wakaf tanah milik,

tata cara melakukan perubahan wakaf, penyelesaian sengketa wakaf, dan

ketentuan pidana bagi pelanggar peraturan perundang-undangan wakaf yang

secara rinci Peraturan Pemerintah meliputi tujuh bab dan delapan belas pasal.

Pembahasan secara rinci isi peraturan pemerintah ini meliputi Bab I

tentang ketentuan umum, terdiri satu pasal yaitu pasal 1 menjelaskan definisi

wakaf, wakif, ikrar, dan nazir. Bab II tentang fungsi wakaf, terdiri tujuh pasal

yaitu pasal 2 menjelaskan fungsi wakaf, pasal 3, 4, 5, dan 6 menjelaskan unsur-

unsur dan syarat-syarat wakaf, serta pasal 7 dan 8 menjelaskan kewajiban dan

hak-hak nazir. Bab III mengenai tata cara mewakafkan dan pendaftarannya, terdiri

dari dua pasal yaitu pasal 9 menjelaskan tentang tata cara perwakafan tanah milik,

dan pasal 10 tentang pendaftaran wakaf tanah milik. Bab IV tentang perubahan,

penyelesaian dan pengawasan perwakafan tanah milik, terdiri dari tiga pasal yaitu

pasal 11 menjelaskan tentang perubahan perwakafan tanah milik, pasal 12 tentang

penyelesaian perselisihan perwakafan tanah milik, dan pasal 13 tentang

pengawasan perwakafan tanah milik. Bab V tentang ketentuan pidana, terdiri dari

dua pasal yaitu pasal 14 menjelaskan tentang ketentuan pidana bagi pelanggar

pasal-pasal yang ditentukan, dan pasal 15 menjelaskan tentang ketentuan pidana


169

bagi pelanggar atas nama badan hukum. Bab VI tentang ketentuan peralihan,

terdiri dari dua pasal yaitu pasal 16 menjelaskan tentang ketentuan penyesuaian

perwakafan tanah milik yang terjadi sebelum dikeluarkannya PP No 28 Tahun

1977, dan pasal 17 tentang pencabutan segala peraturan tentang perwakafan tanah

milik sebelum dikeluarkannya PP No 28 Tahun 1977, dan Bab VII tentang

ketentuan penutup terdiri dari satu pasal yaitu pasal 18 menjelaskan tentang

tanggal mulai ditetapkan dan berlakunya PP No 28 Tahun 1977.

Wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian

dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk

selama-lamanya bagi kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya

sesuai dengan ajaran agama Islam.152 Pengertian ini diperkuat oleh pasal 1 hurup b

Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP

No. 28 Tahun 1977. Substansi pasal 1 (1) di atas adalah mengatur tentang batasan

mengenai ketentuan-ketentuan wakaf seperti benda yang boleh diwakafkan adalah

harus berupa tanah milik, bentuk wakaf yang diakomodir adalah wakaf khairi

(sosial) bukan wakaf dzurri (keluarga), batasan wakaf adalah untuk selama-

lamanya, dan peruntukan wakaf hanya bagi kepentingan peribadatan dan

kepentiangan sosial lainnya. Beberapa ketentuan tersebut di atas dilakukan dalam

rangka untuk menghindari kaburnya pemahaman dan untuk menghindari

kekacauan dalam masalah perwakafan.153

PP Nomor 28 Tahun 1977 pasal 1 ayat (1).


152

Rachmadi Usman, hal. 79.


153
170

Pelaksanaan wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977 harus mengindahkan

beberapa unsur dan persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 1 dan pasal 3 UU No.

28 Tahun 1977 menjelaskan tentang beberapa unsur yang harus ada dalam

perwakafan, yaitu, orang yang berwakaf (wakif), benda yang diwakafkan (tanah

milik), pernyataan penyerahan wakaf (ikrar), dan penerima wakaf (nadzir).154

Wakif sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan pemerintah ini adalah

orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah

miliknya.155 Wakif perseorangan harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu

dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, atas

kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak lain, dan memperhatikan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.156 Adapun wakif yang berbentuk badan hukum

harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan seperti bank yang

didirikan oleh negara (bank negara) sepanjang untuk penunaian tugas-tugas dan

usahanya yang tertentu serta untuk perumahan bagi pegawai-pegawainya

memerlukan tanah hak milik, perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian, yang

luasnya tidak boleh lebih dari batas maksimum kepemilikan tanah pertanian,

badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah

mendengar Menteri Agama sepanjang untuk keperluan yang langsung

berhubungan dengan usaha keagamaan, dan badan-badan sosial yang ditunjuk

oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial

sepanjang untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha sosial.157

154
PP No. 28 Tahun 1977 pasal 1 dan 4.
155
Ibid. pasal 1 ayat (2)
156
Ibid. pasal 3 ayat (1)
157
PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat
Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
171

Berdasarkan persyaratan wakif tersebut di atas, secara prinsif bahwa

seorang wakif atau lembaga yang mengatasnamakan wakif pada saat melakukan

perbuatan wakaf harus memiliki tujuan yaitu untuk mengekalkan manfaat benda

wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.158 Perbuatan wakaf menurut PP tersebut

dipandang sebagai perbuatan suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran Islam.

Oleh karena itu tanah yang diwakafkan dari sudut kepemilikanya harus betul-betul

sempurna menjadi hak milik wakif, di dalamnya tidak memiliki cacat, tidak

sedang menjadi tanggungan hutang/hak tanggungan, tidak dibebani oleh jaminan

lain, serta tidak dalam sengketa. Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun menurun, terkuat

dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan

bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Benda wakaf yang dimaksud adalah tanah hak milik atau tanah milik yang

bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara .159 Batasan benda wakaf

sebagaimana diatur oleh PP hanya mengatur batasan wakaf relatif sempit karena

hanya terbatas pada wakaf tanah dan tidak mengakomodasi jenis-jenis harta wakaf

yang lainnya. Kedua jenis tanah yang dimaksud oleh PP tersebut memiliki

pengertian yang berbeda. Tanah milik adalah tanah turun temurun atau disebut

juga tanah adat, sedangkan tanah hak milik adalah tanah yang telah bersertifikat,

tidak dibatasi jangka waktu, dapat dipertahankan dari kemungkinan adanya

gangguan atau gugatan dari pihak lain, dan bebas menggunakan tanah tersebut

untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai ketentuan perundang-undangan yang

158
Lihat PP No. 28 Tahun 1977 pasal 2.
159
Ibid. pasal 4.
172

berlaku.160 Oleh karena itu, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan

hak sewa tidak dapat disebut sebagai tanah hak milik sehingga tidak dapat

diwakafkan, karena hak yang melekat pada tanah tersebut terbatas

pemanfaatannya. Demikian juga tanah-tanah negara, tanah-tanah milik desa

seperti tanah bengkok dan tanah-tanah lain yang sejenis, tidak dapat diwakafkan,

karena tanah-tanah itu tidak dapat disertifikatkan atas nama perorangan.

Benda wakaf dalam konteks hukum akan memiliki legalitas formal atau

kekuatan hukum jika wakif telah menyatakan perbuatannya melalui ikrar. Ikrar

adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. 161

Peraturan Pemerintah ini telah menegaskan bahwa wakaf tidak hanya berdasarkan

hasil kesepakatan perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak, tetapi

sahnya perbuatan wakaf adalah jika dilakukan ikrar. Ikrar yang dimaksud dalam

PP harus dilakukan secara tertulis, sehingga jika wakif tidak dapat hadir, maka ia

dapat menyatakan ikrarnya secara tertulis dan harus mendapat persetujuan dari

Kepala Kantor Departemen Agama yang mewilayahi tanah wakaf.162 Hal ini

dilakukan untuk memberi penegasan bahwa ikrar memiliki urgensi yang sangat

penting untuk mendapatkan legalitas formal kedudukan harta wakaf. Pasal 9 (1)

PP No. 28 Tahun 1977 menyebutkan bahwa pihak yang hendak mewakafkan

tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk

melaksanakan Ikrar Wakaf. Pasal ini memperkuat dan menjadi ketentuan legalitas

formal tentang keabsahan perbuatan wakaf sebelum dibentuknya Peraturan

160
Mohammad Daud Ali, hal. 111. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:
Jambatan, 1993), hal. 7.
161
PP No. 28 Tahun 1977 pasal 1 ayat (3).
162
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 2 ayat (1dan 2).
173

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Ikrar wakaf sebelum dibentuknya peraturan

pemerintah hanya dilakukan secara lisan berdasarkan pada adat kebiasaan

keberagamaan yang bersifat lokal. Kebiasaan ikrar ini dilakukan karena kuatnya

pemahaman masyarakat hasil ijtihad ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan

bahwa pernyataan lisan secara jelas termasuk bentuk pernyataan wakaf yang sah.

Pernyataan ikrar yang dimaksud PP ini yaitu harus disampaikan dari pihak

wakif kepada penerima yang hendak mengelola harta benda wakaf (nadzir)

dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dengan disaksikan oleh 2

(dua) orang saksi, untuk selanjutnya ikrar tersebut dituangkan secara tertulis

dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf (AIW).163 Tujuan dibuatnya akta ikrar wakaf

adalah untuk memperoleh pembuktian secara legal atau bukti otentik yang

digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk pendaftaran tanah wakaf pada

Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat. Di samping itu juga untuk

mencegah timbulnya persengketaan tanah wakaf di kemudian hari. Oleh karena

itu guna memenuhi persyaratan sebelum pelaksaaan ikrar wakaf, maka wakif

diharuskan membawa serta menyerahkan beberapa dokumen atau surat-surat

penting lainnya seperti sertifikat hak milik atau benda bukti pemilikan tanah

lainnya, surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang dikuatkan oleh Camat

yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu

sengketa, surat keterangan pendaftaran tanah, dan ijin dari Bupati/Walikota

Kepala Daerah, dalam hal ini Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional.

Menurut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor

28 Tahun 1977, pelaksanaan ikrar wakaf dianggap sah apabila dihadiri dan
Ibid..
163
174

disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Dengan demikian

apabila pelaksanaan ikrar wakaf tersebut tidak dihadiri oleh saksisaksi, maka

wakaf tersebut tidak sah. Untuk menjadi saksi seseorang harus memenuhi syarat-

syarat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama

Nomor 1 Tahun 1978, yaitu dewasa, sehat akalnya, tidak terhalang untuk

melakukan perbuatan hukum. Adapun yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat

Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri Agama yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. 164 Dalam hal di

kecamatan tidak ada Kantor Urusan Agamanya, Kantor Wilayah Departemen

Agama menunjuk Kantor Urusan Agama Kecamatan terdekat sebagai PPAIW di

kecamatan tersebut. Apabila di suatu daerah tingkat II Kabupaten/Kota belum ada

Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama

menunjuk Kepala Seksi Urusan Agama pada Kantor Departemen Agama

Kabupaten/Kota sebagai PPAIW.

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai PPAIW selain bertugas

melakukan proses administrasi perwakafan tanah milik, juga bertugas meneliti

kehendak wakif, memeriksa kelengkapan surat-surat yang diperlukan, meneliti

dan mengesahkan nadzir, meneliti saksi-saksi, menyaksikan pelaksanaan ikrar

wakaf dan menandatangani (mengetahui) formulir ikrar wakaf, membuat Akta

Ikrar Wakaf, menyampaikan Akta Ikrar Wakaf atau salinannnya kepada para

pihak (wakif, nadzir, Kepala Desa, Ketua PA, dan Kepala Kantor Departemen

Agama), menyelenggarakan daftar Akta Ikrar Wakaf, menyampaikan dan

memelihara Akta dan Daftarnya, dan mengurus proses permohonan pendaftaran


164
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan pasal 5.
175

tanah wakaf kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah dalam hal ini Kantor Badan

Pertanahan Nasional setempat.165

Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas

pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.166 Nadzir yang terdiri dari kelompok

orang harus memenuhi persyaratan sebagai warga negara Republik Indonesia,

beragama Islam, sudah dewasa, sehat jasmaniah dan rohaniah, tidak berada

dibawah pengampuan, dan bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah

yang diwakafkan.167 Adapun jika nadzir berbentuk badan hukum, maka harus

memenuhi persyaratan sebagai badan hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia, mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang

diwakafkan, harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat

untuk mendapatkan pengesahan, dan jumlah nadzir yang diperbolehkan untuk

sesuatu daerah ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.168

Adanya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi nadzir dalam

menjalankan tugas-tugas kenadzirannya yaitu selain memiliki tanggungjawab dan

kewajiban terhadap pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, nadzir juga

dapat memperoleh hak yang dapat diperoleh dari hasil usaha pengelolaan dan

pengembangan wakaf. Penegasan mengenai kewajiban dan hak nadzir tersebut

sebagaimana dijelaskan oleh PP Nomor 28 Tahun 1977 yang menyebutkan bahwa

nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta

hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri

165
Lihat dan bandingkan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 7 dan
Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78.
166
PP Nomor 28 Tahun 1977 Pasal 1 ayat (4).
167
Ibid. Pasal 6 ayat (1)
168
Ibid. Pasal 6 ayat (2, 3, dan 4).
176

Agama sesuai dengan tujuan wakaf, nadzir diwajibkan membuat laporan secara

berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf, dan nadzir berhak

mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan

lebih lanjut oleh Menteri Agama.169 Adanya tanggungjawab dan kewajiban nadzir,

serta hak yang dapat diperoleh nadzir hal tersebut menunjukan bahwa adanya

keseriusan dan perhatian besar pemerintah terhadap lembaga wakaf terutama

pengelola wakaf baik nadzir perorangan maupun badan hukum yang diangkat

sebagai nadzir mereka tidak hanya memiliki integritas yang tinggi, akan tetapi

harus memiliki profesionalisme dalam mengelola dan mengembangkan wakaf.

Tata cara pendaftaran wakaf tanah hak milik secara rinci diatur oleh

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 Tanggal 26 November 1977.

Peraturan Menteri ini mengatur tentang penerbitan sertifikat tanah wakaf sebagai

bukti bahwa tanah yang telah dibuatkan akte peralihan haknya (dari status hak

milik menjadi status tanah wakaf), kemudian didaftarkan kepada kantor

pertanahan kabupaten/kota berdasarkan lokasi tanah wakaf.

Tahun 1978 Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 1

Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

tentang perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini meliputi tata cara pembuatan akta

dari sejak pembuatan akta ikrar wakaf, siapa pejabat yang diberi wewenang untuk

membuat akte wakaf yang lazim disebut Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

(PPAIW), dan aturan tentang pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum

terbitnya PP Nomor 28 Tahun 1977 sebagai peraturan transisi. 170 Selanjutnya oleh

169
Ibid. pasal 7 dan 8
170
Jurnal Hukum Bisnis Volume 11, 2000, hal.101.
177

Departemen Agama dan Departemen dalam Negeri telah dikeluarkan Instruksi

bersama, masing-masing bernomor 1 Tahun 1978 (bernomor sama) tentang

peraturan pelaksanaan peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang

perwakafan tanah milik. Kemudian. Instruksi ini ditujukan kepada para Gubernur

Kepala Daerah dan para Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Seluruh

Indonesia untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya ketentuan-ketentuan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara

Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, serta Peraturan Menteri

Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, memerintahkan kepada

Instansi dan Pejabat bawahannya untuk mentaati dan melaksanakan Instruksi ini

serta segenap peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan oleh Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing, mengamankan

dan mendaftarkan Perwakafan Tanah Milik yang terjadi sebelum berlakunya

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tanpa biaya apapun kecuali biaya

pengukuran dan meterai, dan memberikan laporan tentang pelaksanaan instruksi

ini kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Secara administratif, pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk

membuat keseragaman bentuk akta wakaf yang bertujuan mencegah timbulnya

pemalsuan yaitu diterbitkannya Peraturan Nomor Kep./D/75/1978 tanggal 19

April 1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan

tentang Perwakafan Tanah Milik, Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun


178

1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah

Departemen Agama Provinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk

mengangkat/memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Instruksi Menteri Agama

Nomor 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama

Nomor 73 Tahun 1978, dan Surat Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji

Nomor D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai dengan Lampiran

Surat Dirjen Pajak Nomor S-629/PJ.331/1980 tentang Penentuan Jenis Formulir

Wakaf yang Bebas Materai dan Yang Tidak Bebas Materai. Surat Dirjen Bimas

Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/5/Ed/11/1981 tentang Petunjuk Pemberian

Nomor pada Formulir Perwakafan Tanah Milik.

Tujuan dan manfaat yang dapat diperoleh dari ketentuan ikrar wakaf yang

dilakukan secara tertulis dan pencatatan wakaf yang dilakukan oleh PPAIW yaitu

untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diharapkan seperti usaha-usaha untuk

melakukan perubahan status dan penyalahgunaan wewenang terhadap pengelolaan

dan pengembangan wakaf. Meskipun sejatinya melakukan perubahan peruntukan

wakaf tidak boleh dilakukan kecuali atas persetujuan menteri kecuali ada alasan-

alasan yang telah ditentukan.171

Penyelesaian perselisihan perwakafan tanah milik

171
PP Nomor 28 Tahun 1977 pasal 11 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pada
dasarnya tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau
penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf. penyimpangan dari ketentuan
tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni karena tidak sesuai lagi dengan tujuan
wakaf seperti diikrarkan oleh wakif dan karena untuk kepentingan umum.
179

Pasal 12

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah,


disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan pidana bagi pelanggar peraturan perundang-


undangan wakaf (belum)
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).

Pasal 15

Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama Badan
Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan,
baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau
penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.

Beberapa ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 1977 tersebut ternyata masih belum memberikan peluang yang maksimal

bagi tumbuhnya pemberdayaan benda-benda wakaf secara produktif dan

peningkatan profesional nadzir, karena dalam peraturan tersebut hanya mengatur

benda-benda wakaf tidak bergerak yang peruntukannya lebih banyak untuk

kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid, mushalla, pesantren, kuburan, dan

lain-lain. Di samping itu pula ketentuan tentang nadzir tidak mengakomodir

persyaratan dan hak-hak serta kewajiban yang perlu dilakukan.

D. Sejarah Peraturan Perundang-undangan Wakaf Tahun 1991-2004

1. Fungsi: sama dengan PP


180

2. Tujuan : sama dengan pp


3. Benda: bergerak dan tidak bergerak
4. Ikrar wakaf: lisan dan dihadapan ppaiw
5. Nazir: [kelompok orang atau badan hukum, penghasilan nazir
6. Pendaftaran benda wakaf
7. Perubahan benda wakaf
8. Penyelesaian sengketa benda wakaf

Ketentuan wakaf sebagaimana diatur oleh PP Nomor 28 Tahun 1977 telah

berjalan selama 14 tahun sampai lahirnya ketentuan tentang wakaf sebagaimana

diatur dalam Buku III Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam yang ditunjang oleh Keputusan Menteri Agama

Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Namun demikian, posisi Kompilasi Hukum Islam

sebagai landasan hukum yang diputuskan berdasarkan Intruksi Presiden tersebut

di kalangan para ahli hukum masih dipermasalahkan. KHI dihadapkan pada dua

pandangan. (1) KHI ditempatkan sebagai hukum tidak tertulis seperti yang

ditunjukan oleh penggunaan instrumen Instruksi Presiden yang tidak termasuk

dalam rangkaian tata urutan peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber

hukum tertulis. Kelemahan pandangan ini seperti pada pembagian KHI terhadap

beberapa sumber pengambilan bagi penyusunan Buku III KHI tentang

Perwakafan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang menjadikan

KHI lebih akrab dengan hukum tertulis. (2) KHI dapat ditempatkan sebagai

hukum tertulis sekalipus tidak seluruhnya. Sumber KHI berisi rule yang dapat
181

dikembangkan sebagai sumber hukum yang pada gilirannya dapat dianggap

menjadi law dengan potensi political power yang dimiliki.172

Ide dan gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam sebenarnya telah

dimulai sejak tahun 1958 bertepatan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Biro

Peradilan Agama Nomor B/1/737 Tanggal 18 Februari 1958 tentang Anjuran

Penggunaan Referensi/Kitab-kitab Fikih oleh Hakim Pengadilan Agama. Gagasan

pembentukan Kompilasi Hukum Islam ini tidak lepas dari beberapa landasan

pemikiran, yaitu landasan filosofis, historis, sosiologis, yuridis, dan politis.

Beberapa landasan pemikiran tersebut merupakan akumulasi yang

melatarbelakangi dibentuknya KHI.

Landasan filosofis adalah landasan yang sangat mendasar, yaitu bahwa

hukum Islam pada prinsipnya bersifat dinamis, pleksibel, dan tidak rigid. Hukum

Islam selalu membuka diri untuk diinterpretasi dan selalu mengikuti

perkembangan sesuai perkembangan dinamika zaman.sehingga memiliki nuansa

yang membumi dan mampu berdialog dengan realitas. Landasan ini dimunculkan

karena adanya kebutuhan hukum materil bagi lembaga Peradilan Agama untuk

dijadikan referensi pasti bagi hakim PA dalam penetapan hukum (tathbiq al-

hukm). Munculnya kebutuhan tersebut dikarenakan adanya keputusan berbeda

yang ditetapkan hakim dalam kasus yang sama, sehingga perlu adanya upaya

kodifikasi dan unifikasi madzhab yang direduksi dari berbagai kitab fikih. Upaya

ini diawali adanya tim bersama yang dibentuk berdasarkan SKB Ketua MA dan

Menteri Agama Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985, Tgl. 25 Maret

Amir bin Mu’allim, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam di
172

Lingkungan Pengadilan Agama se-Jawa Tengah dan PTA Semarang, 1991-1997) , (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006), hal. 2.
182

1985 tentang Pembentukan Tim Bersama untuk menyusun KHI yang terdiri dari

beberapa unsur yaitu unsur pejabat pemerintah, hakim, ulama, dan cendekiawan.

SKB tersebut merekomendasikan kepada tim untuk melakukan langkah-langkah

kongkrit dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam dengan melakukan

penelitian terhadap sejumlah kitab fikih, melakukan wawancara terhadap sejumlah

tokoh/ulama di berbagai wilayah Indonesia, dan melakukan studi banding ke

beberapa negara muslim yang telah ditentukan.

Kitab-kitab fikih yang dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan

keputusan hakim sebagaimana yang dimaksud oleh surat edaran tersebut adalah

kitab Al-Bajuri, Fath al-Mu’in, Syarqowi ‘ala al-Tahrir, Qolyubi/ al-Mahalli ,

Fath al-wahhab bi al-Syarhih, Al-Tukhfah, Targhib Al-Musytaq, Qowam al-

Syari’ah li al-Sayyid bin Yahya, Qowam al-Syari’ah li al- Sayyid Shadaqah

Dahlan, Syamsuri fi al- Fara’id, Bughyat al-Musytarsyidin, Al-Fiqh ’ala

Madzahib al-Arba’ah, dan Mughn al-Muhtaj.

Penugasan untuk melakukan penelitian terhadap kitab-kitab fikih

dimandatkan kepada sejumlah perguruan tinggi Islam atau IAIN se Indonesia.

IAIN Ar-Raniri Aceh bertugas meneliti kitab al-Bajuri, Fathu al-Mu’in, Syarqawi

al-Attahrir, Mughn al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, dan Ass-Syarqawi. IAIN

Jakarta meneliti kitab I’anat al-Thalibin, Tuhfah, Targhib al-Musytaq, Bulghat al-

Salik, Syamsuri Fara’id, dan al-Mudawanah. IAIN Antasari Banjarmasin

meneliti kitab al-Mahalli, Fath al-Wahhab, al-Umm, Bughyat al-Mustarsyidin,

Bidayat al-Mujtahid, dan Aqidah as-Syar’iyyah. IAIN Sunan Kalijaga meneliti

kitab al-Muhalla, al-Wajiz, Fath al-Qadir, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-’Arba’ah,


183

dan Fiqh Sunnah. IAIN Sunan Ampel meneliti kitab Kasyf al-Qina, Majmu’ al-

Fatawa Ibn Taimiyyah, Qawamin Syar’iyyah Yahya, al-Mughni, dan al-Hidayah.

IAIN Alauddin Ujung Pandang meneliti kitab Qawanin as-Syar’iyyah Dahlan,

Nawab al-Jalil, Syarh al-Muwatha, dan Hasyiyyah al-Dasuki. IAIN Imam Bonjol

Padang meneliti kitab Bada’i as-Shanai, Tabyin al-Haqaiq, al-Fatawa al-

Hindiyah, Fath al-Qadir, dan Nihayah.

Tugas tim bersama selain melakukan penelitian terhadap kitab-kitab fikih,

bertugas juga melakukan wawancara ke berbagai wilayah Indonesia dijadikan

sebagai sample dalam pengumpulan data. Adapun wilayah pengumpulan data

yang dijadikan sample tersebut adalah Palembang terdiri dari 20 orang responden,

Banda Aceh terdiri dari 20 orang responden, Medan terdiri dari 19 orang

responden, Padang terdiri dari 2 orang responden, Bandung terdiri dari 16 orang

responden, Surabaya terdiri dari 18 orang responden, Surakarta terdiri dari 18

orang responden, Banjarmasin terdiri dari 15 orang responden, Ujung Pandang

terdiri dari 19 orang responden, dan Mataram terdiri dari 20 orang responden,

Pada tahun 1986 tim bersama juga melakukan studi banding ke beberapa

negara muslim. Negara-negara yang dijadikan sample pengumpulan data adalah

Maroko, Turki dan Mesir. Pelaksanaan studi banding ke Marokko dilakukan pada

tanggal 28-29 Oktober 1986, Turki pada tanggal 1-2 Nopember 1986, dan Mesir

pada tanggal 3-4 Nopember 1986.

Hasil telaah berbagai kitab fikih, wawancara, dan studi banding yang

dilakukan oleh tim bersama telah rampung pada tahun 1988 yang dapat

menghasilkan rumusan Kompilasi Hukum Islam. Pada tanggal 2-6 Februari 1989
184

yang dilaksanakan di Jakarta tim tersebut menyelenggarakan lokakarya yang

dihadiri oleh 124 orang. Penyelenggaraan lokakarya tersebut bertujuan untuk

menyamakan persepsi dan sebagai bahan untuk diajukan kepada pemerintah

dalam rangka proses menuju legalitas terbentuknya sebuah aturan hukum

perundang-undangan yang terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II

tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan.

Landasan historis adalah landasan yang berangkat dari aspek kesejarahan,

yaitu bahwa upaya pembentukan KHI adalah upaya dalam melakukan

pembaharuan dalam hukum Islam. Upaya unifikasi, kompilasi, dan kodifikasi ini

dalam pemikiran hukum Islam pernah diusulkan Ibn al-Muqaffa kepada al-

Mansur khalifah Dinasti Abbasyiah untuk melakukan pengkajian ulang doktrin-

doktrin atau ajaran yang berbeda-beda diunifikasi dan dikodifikasi dalam sebuah

aturan perundang-undangan yang menjadi rujukan bagi para hakim dan bersifat

mengikat.173

Landasan sosiologis dibentuknya KHI adalah sebagai upaya untuk

mengakomodasi hukum dan peraturan adat serta tradisi yang hidup di masyarakat

yang dapat diterima oleh kaidah dan prinsip-prinsio hukum Islam, untuk

membangun kehidupan sosial yang lebih baik melalui pembangunan keagamaan,

dan untuk hantarkan masyarakat muslim pada pandangan-pandangan yang lebih

fleksibel, aplikatif, dan adaftif sesuai dengan kondisi dan alam pikiran masyarakat

Indonesia sehingga KHI dapat memberikan advantage yang berisi muatan-muatan

173
Ahmad Imam Mawardi, Rationale Sosial Politik Pembuatan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, dalam Dody S Truna dan Ismatu Rofi (Penyunting), Pranata Islam di Indonesia:
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
2002) , hal. 98 dan 112.
185

otoritatif kepada pengadilan agama dalam menangani masalah-masalah melalui

KHI.174

Landasan yuridis dibentuknya KHI bersandar kepada Undang-Undang

Nomor 14/1970 Pasal 10: ”Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan

Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, Undang-Undang No.1 Tahun

1974, PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang No.

7/1989 tentang Peradilan Agama, dan landasan-landasan lainnya yang diatur

dalam ketentuan hukum Islam.175

Secara politis, awal tahun 1990 merupakan waktu yang tepat bagi

pemerintah untuk meluncurkan KHI. Sikap pemerintah ini dilakukan untuk

mendapatkan dukungan pemilu 1992. Di samping itu, pendekatan politis ini

ditempuh dalam rangka meyakinkan masyarakat muslim bahwa pemerintah

memiliki komitmen dan dukungan terhadap pengkodifikasian hukum Islam

menjadi hukum tertulis. Salah satu yang masuk dalam kodifikasi tersebut adalah

tentang perwakafan.

Aturan yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini membawa

pembaharuan dalam pengelolaan wakaf walaupun secara substansi masih

berbentuk elaborasi dari aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor

28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Di sisi lain, instruksi presiden

yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor

wakaf. KHI masih mengadopsi paradigma lama yang literal yang cenderung

174
Ibid., hal. 109
175
Ketentuan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an surah al-Nisa: 59 dan
beberapa kaidah ushul dan kaidah fikih seperti kaidah ilzām al-syulthān fī masāil al-ijtihād yarfa’
al-khilāf, tasharruf al-imām ‘ala al-ra’iyyah manūthun bī al-mashlahah, dan kaidah taghayyur al-
fatwā bī taghayyur al-azminah wa al-amkinah.
186

bersifat fiqh minded. Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan

bentuk univikasi pendapat-pendapat mazhab dan Hukum Islam di Indonesia yang

berkaitan dengan perwakafan. Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi

dan demokratisasi dipenghujung tahun 1990-an, membawa perubahan dan

mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan politik di panggung nasional,

sampai munculnya undang-undang yang secara khusus mengatur wakaf.

Wakaf secara substansi menurut KHI telah mengalami perubahan dan

perluasan dari peraturan-peraturan sebelumnya seperti makna wakaf itu sendiri,

jenis-jenis benda yang boleh diwakafkan, perubahan status wakaf, dan lain-lain.

Menurut KHI, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang

atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan

melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan

umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Pengertian wakaf tersebut telah

mengalami perluasan dari sisi benda yang boleh diwakafkan sebagaimana telah

diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977.

Menurut PP Nomor 28 Tahun 1977 disebutkan bahwa wakaf adalah

perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari

harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama

lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai

dengan ajaran agama Islam. Beberapa definisi tentang wakaf di atas terlihat sama

bahwa wakaf merupakan  pemisahan atau penyerahan wakif terhadap sebagian

harta benda miliknya untuk dimanfaatkan menurut ketentuan syari’ah.


187

Objek atau benda wakaf menurut PP Nomor 28 Tahun 1977 adalah harus

berupa tanah milik, sedangkan menurut KHI benda wakaf tidak hanya terbatas

pada tanah namun dapat berupa benda-benda lainnya. Menurut KHI jenis benda

yang boleh diwakafkan dapat berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak

yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut

ajaran Islam.176

Pengelolaan wakaf pada periode ini hampir sama dengan periode

sebelumnya (1977-1991), namun telah dikembangkan pola-pola pemberdayaan

wakaf produktif meskipun belum maksimal. Pengembangan pengelolaan wakaf

pada periode ini masih dilakukan semi professional. Pada periode ini objek wakaf

tidak hanya terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah, tetapi telah

mengalami perluasan pada benda bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak

hanya sekali pakai dan bernilai menurut hukum Islam. Demikian pula dengan

adanya PPAIW yang berkewajiban menerima ikrar dari wakif dan

menyerahkannya kepada nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian

perwakafan.

D. Sejarah Peraturan Perundang-undangan Wakaf Tahun 2004-Sekarang

Naskah Akademik RUU No 41 Tahun 2004

Latar belakang/Alasan Dibentuknya Undang-Undang Wakaf

1. Alasan Filosofis
176
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 (4).
188

a. Wakaf sebagai salah satu ajaran Islam memiliki nilai ibadah bagi

yang melaksanakan

b. Wakaf sebagai pranata keagamaan yang berkembang di Indonesia

c. Potensi wakaf cukup besar sehingga perlu digali dan dikembangkan

d. Praktik wakaf belum tertib dan efisien sehingga perlu payung hukum

tentang pengelolaan wakaf

2. Alasan Sosiologis:

a. Banyaknya kasus wakaf, seperti:

1) Kepemilikan nazhir terhadap harta wakaf

2) Pertukaran tanah wakaf

3) Penyalahgunaan fungsi harta wakaf

4) Terlantarnya harta benda wakaf

5) Adanya pengingkaran terhadap harta wakaf

b. Pengelolaan wakaf bersifat konsumtif

c. Respons masyarakat dalam mengembangkan harta wakaf benda

bergerak

d. Perkembangan dan praktek pengelolaan wakaf di negara-negara

muslim

3. Alasan Yuridis

a. UUD 1945 Pasal 29 tentang Agama

b. UUD 1945 Pasal 33 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan

sosial
189

TUJUAN DIBENTUKNYA UNDANG-UNDANG WAKAF

1. Menjamin kepastian hukum wakaf

2. Memperluas ruang lingkup objek wakaf

3. Memperluas ruang lingkup penggunaan wakaf

4. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nazhir

5. Meningkatkan optimalisasi pengelolaan potensi wakaf

6. Instrumen bagi para pengelola wakaf

7. Koridor hukum dalam penyelesaian kasus-kasus wakaf di masyarakat

SUSUNAN UNDANG-UNDANG WAKAF

1. Bab I Ketentuan Umum

2. Bab II Dasar-dasar Wakaf

3. Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta benda Wakaf

4. Bab IV Perubahan Status Harta Benda Wakaf

5. Bab V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf

6. Bab VI Badan Wakaf Indonesia

7. Bab VII Penyelesaian Sengketa Wakaf

8. Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan

9. Bab IX Pidana dan Sanksi

10. Bab X-XI Peralihan dan Penutup

1. Fungsi wakaf: mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf
untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum
2. Harta Benda wakaf (benda tidak bergerak dan benda bergerak)
3. Wakif (perseorangan, organisasi, dan badan hukum)
4. Nazir wakaf (perseorangan, organisasi, dan badan hukum)
190

5. Ikrar wakaf (jenis ikrar=lisan dan tulisan dan jangka waktu)


6. Peruntukan harta benda wakaf
7. Wakaf wasiat
8. Wakaf uang
9. Pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf
10. Perubahan status harta benda wakaf
11. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
12. Lembaga wakaf –BWI- (organisasi, anggota, pengangkatan dan pemberhentian,
pertanggungjawaban)
13. Penyelesaian sengketa wakaf
14. Pembinaan dan pengawasan
15. Ketentuan pidana dan sanksi administratif

Krisis ekonomi yang mendera bangsa Indonesia, sejak Juli 1997 perlahan

namun pasti terus merambat ke berbagai aspek kehidupan. Melemahnya kegiatan

perekonomian, sebagai akibat depresiasi nilai tukar yang sangat tajam dan inflasi

yang tinggi, tidak hanya menyebabkan merosotnya tingkat pertumbuhan ekonomi,

tetapi juga memaksa sektor ekonomi lainnya menurunkan atau bahkan

menghentikan usahanya. Keadaan ini mengakibatkan munculnya permasalahan

baru seperti bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya memicu berbagai

masalah sosial seperti meningkatnya angka kemiskinan dan kriminalitas yang

mengancam stabilitas politik.

Penyakit kronis yang melanda bangsa Indonesia tersebut seakan sulit

diselesaikan, meskipun pemerintah telah banyak melakukan upaya dalam

mengatasi kemiskinan seperti kebijakan tentang Inpres Desa Tertinggal (IDT),

Jaringan Pengaman Sosial (JPS), PNPM Mandiri dan banyak program

pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat lainnya. Berdasarkan

hasil evaluasi Badan Pusat Statistik tahun 2000 menyimpulkan bahwa program
191

yang tepat sasaran hanya 30,52%, 41,81% tidak tepat sasaran, dan 27, 67% tidak

diketahui.177

Pada tahun 2007 BPS melakukan evaluasi kembali dan menyebutkan

bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia telah berkurang menjadi 16,5%, turun

drastis dibandingkan dengan awal tahun 1998 yang mencapai 24,2%.178 Data BPS

tersebut sebenarnya pada angka semata, karena tidak sesuai dengan fakta tingkat

kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan standar yang ditetapkan Bank Dunia

menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi yakni

49,5%. Keadaan ini disebabkan karena sektor ril tidak bergerak, PHK (Pemutusan

Hubungan Kerja) terus terjadi karena alasan keterpurukan ekonomi antara

lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang.

Akibatnya, sejumlah persoalan terutama pengangguran dan kemiskinan masih

menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.

Islam memiliki konsep pemberdayaaan ekonomi umat, yaitu dengan

memaksimalkan peran lembaga pemberdayaan ekonomi umat seperti wakaf dan

zakat. Sebetulnya kalau wakaf dikelola secara baik, dapat meningkatkan taraf

hidup masayarakat. Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah

pada pemberdayaan ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan

kegiatan ibadah, pendidikan, dan pemakaman semata, kurang mengarah pada

pengelolaan wakaf produktif. Beban sosial ekonomi yang dihadapi bangsa saat

177
Badan Pusat Statistik, Evaluasi Pelaksanaan Program Pengentasan Kemiskinan
Terpadu 2000, (Jakarta: BPS, 2001).
178
http://rozalinda.wordpress.com/2010/05/04/perkembangan-perwakafan-di-
indonesia/ diakses 10-4-2014
192

ini, seperti tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara mendasar dan

menyeluruh melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup yang lebih luas

yakni pengelolaan wakaf produktif.

Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi tahun

1998, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan

politik di panggung nasional, sampai munculnya undang-undang yang secara

khusus mengatur wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan

dalam bentuk undang-undang. Pada masa reformasi, peraturan perwakafan

berhasil disahkan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang–

undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti,

kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. Pensahan undang-

undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan

umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja,

tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan

kesejahteraan umum. Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini,

objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja,

tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak

sewa dan sebagainya. Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat

pencatatan dan mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan

tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai,

atau menjadikan benda wakaf menjadi milik negara.


193

Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara

simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan permasalahan

sosial umat Islam. Perkembangan peraturan perundang-undangan tentang wakaf

hari ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan

harmonis antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan

berkembangnya filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan

arena bagi artikulasi politik Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik

filantropi Islam ditentukan oleh proses integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-

politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf, terjadi pembaharuan di bidang perwakafan di Indonesia. Dikatakan terjadi

pembaharuan, karena dengan berlakunya Undang-Undang ini banyak terjadi

perubahan-perubahan yang signifikan dari peraturan perundang-undangan

mengenai wakaf yang ada sebelumnya. Apalagi sebelum Undang-Undang ini,

tidak ada Undang-Undang yang khusus mengatur perwakafan di Indonesia. Baru

setelah Undang-Undang inilah ada Undang-Undang yang yang secara sfesifik

mengatur perwakafan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ini mengatur

substansi yang lebih luas dan membawa pembaharuan di bidang pengelolaan

wakaf secara umum.

Kini Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf telah memasuki

usia sepuluh tahun. Setelah melalui perjuangan  politik yang panjang, diajukan

sejak era pemerintahan Megawati baru disahkan tepatnya tanggal 27 Oktober

2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono setelah disetujui oleh DPR RI.
194

Berdasarkan kebijakan politik sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang

tersebut, pemerintah secara operasional tidak mengelola wakaf, tetapi pemerintah

berfungsi sebagai regulator, motivator dan fasilitator bagi pengelola wakaf yang

dilakukan oleh nazir dari masyarakat dan diberi kewibawaan formal melalui

pengukuhan pemerintah.

Pengembangan wakaf di Indonesia secara riil banyak mengalami hambatan

sehingga wakaf di Indonesia tidak mengalami kemajuan yang berarti. Menurut

Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, minimal 4 hal yang menjadi kendala

atau faktor penghambat laju perkembangan wakaf di Indonesia, yaitu terjadinya

krisis ekonomi dalam negeri, lemahnya politicall will, nadzir tidak profesional,

dan pemahaman terhadap konsep wakaf.179

Periode ini memasuki era baru dalam sejarah perkembangan wakaf di

Indonesia. Pengelolaan wakaf dilakukan secara produktif merupakan ciri utama

dalam periode ini. Pengembangan lembaga wakaf yang dicapai pada periode ini

yaitu adanya ketentuan tentang pelaksanaan wakaf uang, nadzir professional

(batasan jabatan nadzir dan profit bagi nadzir), perluasan makna benda bergerak,

pembentukan lembaga indefenden BWI, pengawasan, pembinaan dan

pemberdayaan, ketentuan sanksi hukum, dan lain-lain).

Tujuan dibentuknya UU Wakaf ini adalah; (1) unifikasi berbagai

peraturan tentang wakaf. (2) menjamin kepastian hukum dalam bidang wakaf. (3)

melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif, nazir perorangan, organisasi,

maupun badan hukum. (4) sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa

tanggung jawab bagi para pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf.
179
Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, hal. 47-60.
195

(5) sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian

perkara dan sengketa wakaf. (6) mendorong optimalisasi  pengelolaan dan

pengembangan wakaf. Dan (7) memperluas pengaturan wakaf sehingga mencakup

pula wakaf benda tidak bergerak dan benda bergerak termasuk wakaf uang.

Adapun sasaran yang ingin diwujudkan melalui penyusunan UU Wakaf adalah (1)

terciptanya tertib hukum dan tertib aturan di bidang wakaf dalam wadah negara

kesatuan Republik Indonesia; (2) terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi

pengelolaan dan pemanfaatan aset wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah;

(3) tersedianya landasan peraturan perundang-undangan bagi pembentukan dan

pelaksanaan peran, tugas dan fungsi Badan Wakaf Indonesia (BWI); (4)

terwujudnya akumulasi aset wakaf sebagai baitul mal atau Lumbung Nasional

untuk kesejahteraan umat.180

Lahirnya UU Wakaf tersebut merupakan penggabungan dari beberapa

peraturan yang ada, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,

PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 38 Tahun 1963 tentang

Petunjuk Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah,

serta PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Melalui UU ini,

diharapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf akan memperoleh dasar hukum

yang lebih kuat serta dapat menampung praksis perwakafan di Tanah Air.

Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti,

kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. Pengesahan undang-

undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan

umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja,
180
Lihat Naskah Akademik Penyusunan Rancangan Undang-Undang Wakaf, hal. 27.
196

tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan

kesejahteraan umum. Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini,

objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja,

tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak

sewa dan sebagainya. Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat

pencatatan dan mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan

tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai,

atau menjadikan benda wakaf menjadi milik negara. Kehadiran Undang-undang

Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara simbolik menandai kemauan politik

negara untuk memperhatikan permasalahan sosial umat Islam. Perkembangan

peraturan perundang-undangan tentang wakaf hari ini sangat ditentukan oleh

dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis antara Islam dan negara.

Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan berkembangnya filantropi Islam

seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik

Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh

proses integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-politik Islam ke dalam sistem dan

konfigurasi sosial politik nasional.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ini menjadi

momentum pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung

pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi

wakaf secara modern. Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf

mengandung dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun

yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak
197

terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum

yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner. Jika dapat

direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam

kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial

(social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan

perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut.

Dengan disahkannya undang-undang wakaf, agenda politik umat bergeser dari

orientasi ideologis menuju visi sosial ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini

membantu pembentukan proses integrasi gagasan sosial politik Islam ke dalam

sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Umat mulai menyadari bahwa

eksistensi mereka lebih bermakna. Apabila mereka kuat secara sosial dan ekonomi

dan tidak hanya sekedar unggul dalam statistik. Dengan posisi sosial ekonomi

yang kuat, negara akan lebih memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan

gerakan umat Islam. Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya

undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib

hukum. Selain bermaksud mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat

Islam, pemerintah menyadari bahwa berkembanganya lembaga wakaf dapat

meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Karenanya tidak mengherankan,

pemerintah diwakili Departemen Agama memainkan peranan yang signifikan

dalam menginisiasi dan menfasilitiasi lahirnya seperangkat peraturan filantropi,

khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang-undang ini


198

pemerintah bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola wakaf tapi

pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, motivator, fasilitator, dan publik

servis bagi pengelolaan wakaf. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah dibantu

oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf, pemerintah (Departemen Agama) melakukan

berbagai upaya dalam rangka mendorong dan menfasilitasi agar pengelolaan

wakaf dapat dilakukan secara profesional, amanah, dan transparan sehingga tujuan

pengelolaan wakaf dapat tercapai. Untuk itu, sebagai langkah kongkrit

Departemen Agama dalam merespon kebutuhan tersebut, dibentuklah Direktorat

Pemberdayaan Wakaf yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam. Dengan lahirnya Direktorat Pemberdayaan Wakaf

yang terpisah dari Direktorat Pemberdayaan Zakat merupakan bentuk

kesungguhan pemerintah dalam mendorong dan menfasilitasi bagi pemberdayaan

wakaf secara lebih baik. Walaupun terlambat dari negara Islam lainnya,

pembentukan Direktorat Pemberdayaan Wakaf di Indonesia merupakan bentuk

political will pemerintah untuk menuju apa yang sudah dilakukan di negara-

negara Islam yang terbukti berhasil mengelola wakaf.

Konsideran UU No. 41 Tahun 2004 menjelaskan bahwa lembaga wakaf

sebagai  pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu

dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, dan bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum

yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang  pengaturannya

belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-


199

undangan. Pada waktu yang lampau, peraturan tentang perwakafan dalam suatu

peraturan  perundangan belum jelas dan terperinci sehingga mudah terjadi

penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf.

Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum

sepenuhnya  berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda

wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlontar atau beralih ke tangan

pihak ketiga dengan cara melawan hukum atau bertentangan dengan syariat. Hal

ini terutama disebabkan terdapatnya keanekaragaman  bentuk benda yang akan

diwakafkan dan tidak ada keharusan untuk didaftarkan, sehingga  banyaklah harta

benda wakaf yang tidak diketahui lagi keberadaannya, dan banyak sekali terjadi

persengketaan-persengketaan lainnya tentang harta wakaf. Kondisi demikian,

tidak hanya diakibatkan oleh adanya kelalaian atau ketidakmampuan nazir dalam

mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, tetapi sikap masyarakat yang

kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya

dilindungi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi dan

peruntukan wakaf. Atas dasar itulah, lahir UU No. 41 Tahun 2004 tanggal 27

Oktober 2004 yang dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 159 tahun 2004. UU

ini dibuat untuk—sebagaimana diterangkan dalam Penjelasan UU No. 41 Tahun

2004—memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka  pembangunan hukum

nasional. Juga untuk memajukan kesejahteraan umum—sebagaimana

diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945—melalui wakaf yang merupakan

pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana

ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi.
200

Mengenai ketentuan umum perwakafan yang dimuat dalam pasal 1 (1) UU No. 41

Tahun 2004, isinya mengemukakan pengertian wakaf, wakif, ikrar wakaf, nazir,

harta benda wakaf, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Badan Wakaf

Indonesia (BWI), pemerintah dan menteri.

Wakaf menurut UU ini didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif

untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk

dimanfaatkan selamanya atau untuk  jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

syariah. Pengertian wakaf di atas cakupannya tampak semakin luas dibanding

pengertian wakaf yang disebutkan dalam PP No. 28 tahun 1977 pasal 1 yang

hanya menyebutkan tanah sebagai satu-satunya harta benda yang dapat

diwakafkan atau dalam KHI pasal 215 yang hanya dapat dipahami untuk selama-

lamanya, artinya wakif tidak dapat mewakafkan harta bendanya untuk jangka

waktu tertentu. Pengertian wakaf tersebut dalam pasal 215 belum benar-benar

sesuai dengan syariat Islam yang membolehkan wakaf dalam jangka waktu

tertentu.

Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung

terbatas pada wakaf  benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut

Undang-Undang ini wakif dapat  pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa

harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam

mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda

bergerak lainnya. Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat

mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah.


201

Wakaf uang adalah wakaf yang diberikan oleh wakif dalam bentuk uang

tunai sementara pokoknya tidak habis sampai kapanpun yang diberikan kepada

lembaga pengelola wakaf untuk dikembangkan dan hasilnya dipergunakan untuk

kemaslahatan umat. Wakaf ini dulu dipandang sebagai sesuatu yang mustahil

dilakukan, namun pada akhirnya masuk dan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun

2004.181 Abdul Manan menyatakan bahwa seiring dengan berkembangnya sistem

perekonomian dan pembangunan yang memunculkan inovasi-inovasi baru, maka

sudah saatnya menjadikan wakaf tunai sebagai instrumen finasial, keuangan dan

perbankan sosial.182

Pasal 1 ayat (6) UU No. 41 Tahun 2004 menjelaskan tentang PPAIW atau

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang merupakan pejabat berwenang yang

ditetapkan oleh Menteri untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW). Penjelasan

PPAIW di sini tidak serinci sebagaimana disebut dalam pasal 251 ayat 6 dan 7.

Menurut Pasal 215 ayat 6 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas  pemerintah yang diangkat

berdasarkan peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dari wakif dan

menyerahkannya kepada nazir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian

perwakafan. Pasal 215 ayat 7 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Ikrar

Wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 adalah pejabat yang diangkat dan

diberhentikan oleh Menteri Agama. Ketentuan selanjutnya yang dimuat di dalam

181
Ada perdebatan di kalangan para ulama tentang kebolehan wakaf uang. Abdullah al-
Anshari membolehkan wakaf uang. Ibnu Qudamah mengutif sebagian besar ulama tidak
membolehkan wakaf dalam bentuk uang baik dinar maupun dirham dengan alasan bahwa kedua
mata uang tersebut akan lenyap wujudnya pada saat dibayarkan. Lihat Depag, Proses Lahirnya
UU Wakaf, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hal. 95-97.
182
Ibid., hal. 1.
202

UU adalah mengenai Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah dan Menteri, yang

ketiganya sama sekali tidak dibahas dalam peraturan  perundangan sebelumnya.

BWI (Badan Wakaf Indonesia) yang dimaksud adalah lembaga

independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. Lebih lanjut

diterangkan dalam Penjelasan UU bahwa badan tersebut merupakan lembaga

independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan

pembinaan terhadap nazir, melakukan pengelolaan dan  pengembangan harta

benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas

perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan

pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang

perwakafan. Dua ayat selanjutnya dan merupakan dua ayat terakhir di dalam BAB

I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 41 tahun 2004 adalah tentang

Pemerintah dan Menteri, yang sifatnya sebagai pelengkap dan penegas.

Pemerintah dimaksud dalam ayat 8 pasal 1 adalah perangkat  Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. Dan Menteri

adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama (pasal 1 ayat 9)

Naskah Akademik RUU Wakaf


D. Izin Prakarsa Penyusunan RUU Wakaf
Usul pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dari Menteri Agama kepada
Presiden berbuah usulan dari Sekretariat Negara agar Departemen Agama RI
mengirim surat izin prakarsa untuk menyusun draft Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Wakaf.
Langkah yang kemudian disiapkan oleh Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf cq. Menteri Agama adalah mengirim surat bernomor: MA/451/2002
tanggal 27 Desember 2002 kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
perihal izin prakarsa RUU Perwakafan. Dalam surat tersebut dimuat perlunya
203

penyempurnaan peraturan perundangundangan tentang wakaf selama ini setelah


mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perwakafan merupakan perbuatan hukum yang melepaskan hak milik untuk
kepentingan orang banyak sesuai dengan ketentuan Syariah Islam. Praktik ini
telah lama tumbuh dan terpelihara sebagai suatu pranata keagamaan dalam
kehidupan keagamaan di Indonesia. Sejauh ini perwakafan diatur, antara lain oleh
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, pasal 14 ayat (1) huruf b dan pasal 49 ayat (3) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor
28 tentang Perwakafan Tanah Milik, Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang
memuat Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sebagian materinya berkaitan
dengan Hukum Wakaf, dan beberapa peraturan lain termasuk Intruksi Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, dan beberapa peraturan yang bersifat
teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Agama.
2. Ketentuan mengenai Perwakafan yang tercantum dalam peraturan perundang
undangan tersebut belum dapat dijadikan landasan hukum yang cukup kuat untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut perwakafan yang dihadapi
oleh Lembaga Keagamaan yang bertindak sebagai nazhir. Sementara itu, akhir-
akhir ini
semakin besar kecenderungan untuk melakukan perbuatan hukum berupa wakaf
tunai (cash waqf) yang dinilai sebagai sumber dana keagamaan yang secara
ekonomi dapat dipergunakan sebagai sarana pengembangan kehidupan
masyarakat.
3. Dari hasil pertemuan-pertemuan, seminar-seminar dan diskusi di kalangan
ulama, Ormas-ormas Islam dan Akademisi pada umumnya menghendaki perlunya
dibentuk Undang-Undang Perwakafan dan hal ini didasarkan adanya
perkembangan tentang perwakafan, yaitu dari tanah milik (benda tidak bergerak)
meningkat menjadi wakaf tunai (benda bergerak).
4. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional 2000-2004, disebutkan bahwa salah satu indikator
keberhasilan pembangunan nasional di sektor hukum adalah ditetapkannya
undang-undang tentang Hukum terapan Peradilan Agama, yaitu salah satunya
tentang Undang- Undang Wakaf.
5. Berdasarkan pemikiran di atas, kami berpendapat perlu dibentuk suatu Undang-
Undang yang mengatur substansi hukum perwakafan untuk menyatukan berbagai
peraturan perundang-undangan dan menampung hal-hal yang berkembang di
kalangan masyarakat mengenai wakaf, dengan maksud untuk menjamin kepastian
hukum di bidang perwakafan, serta melindungi dan memberikan rasa aman bagi
perwakafan dan sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab
bagi para pihak yang mendapat kepercayaan sebagai nazhir untuk mengelola harta
wakaf.
6. Sehubungan dengan hal tersebut, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
dan (2) serta Pasal 2 Keppres Nomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, maka Departemen Agama RI
bermaksud mengajukan izin prakarsa Penyusunan Rancangan Undang-Undang
204

Perwakafan kepada Presiden RI sebagaimana tergambar dalam Konsepsi


Pengaturan tentang Perwakafan terlampir. Untuk itu kami mohon pertimbangan
Saudara Menteri tentang rencana tersebut.
Bersamaan dengan surat izin prakarsa penyusunan RUU Wakaf yang ditujukan
kepada Menteri Kehakiman dan HAM tersebut disertakan Konsepsi Pengaturan
tentang Perwakafan sebagai landasan awal upaya penyusunan RUU Wakaf.
Konsepsi Pengaturan tentang Perwakafan tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Latar Belakang
Kebijakan di bidang hukum (legal development policy) dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004, TAP MPR No. IV/MPR/1999, yang diwarnai
oleh tekad bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi di segala bidang
kehidupan, dirumuskan sebagai bagian integral (integral part) dari seluruh
kebijakan sosial (social policy) yang pada dasarnya merupakan usaha sistematis
dari seluruh bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warganya di
berbagai bidang kehidupan.
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, negara Indonesia berkewajiban menjaga
dan mengendalikan pembinaan dan pembaharuan hukum agar berjalan dengan
baik, serta menunjang penyelenggaraan kenegaraan yang sehat dan kondusif.
Dalam melakukan tugas ini, pemerintah mengadakan pengkajian dan penelitian
yang berkaitan dengan pembangunan hukum nasional, pengembangan mekanisme
dan pranata hukum baru, serta penyusunan naskah akademik peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan tugas-tugas tersebut, tetap memperhatikan setiap perkembangan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat, agar setiap kegiatan memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan serta memenuhi aspirasi masyarakat. Pembangunan
nasional didasarkan atas visi terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah negara Kesatuan RI
yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai
iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Atas dasar visi di atas,
maka Arah Kebijakan Hukum yang harus dicapai antara lain adalah menata sistem
hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan
warisan kolonial melalui program legislasi; mengembangkan peraturan
perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi
era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Sementara itu
perkembangan sosial budaya yang begitu cepat melahirkan keniscayaan untuk
menciptakan perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir
dan melindungi keseimbangan berbagai aspek kepentingan dan kemaslahatan
masyarakat sebagai stakeholder. Salah satu aspek kepentingan dan kemaslahatan
yang dimaksud adalah pengembangan pranata keagamaan yang sesungguhnya
menempati kedudukan yang sentral dalam kehidupan masyarakat kita yang
religius. Praktik wakaf yakni pelepasan hak milik menjadi harta wakaf untuk
diambil manfaatnya secara tetap dan selamalanya bagi kepentingan orang banyak
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang ada telah sejak lama
205

tumbuh, dan terpelihara sebagai suatu pranata keagamaan dalam kehidupan umat
Islam di tanah air.
Sejarah perwakafan dapat ditelusuri sejak tersiarnya agama Islam di kepulauan
nusantara. Hal ini terbukti dengan berdirinya tempat-tempat ibadah, lembaga
pendidikan Islam, maupun sarana sosial lainnya di atas tanah wakaf. Pada
prinsipnya, aset atau investasi wakaf harus terusterpelihara dan berkembang
sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan umat. Ketentuan hukum Islam
secara tegas melarang tindakan melenyapkan keabadian wakaf dengan alasan
apapun, atau mengurangi nilai aset yang telah diwakafkan atau membiarkan
terlantar tanpa diolah atau dimanfaatkan.
Potensi tanah wakaf di Indoesia pada saat ini (2002) cukup besar, yakni 359.462
lokasi dengan luas keseluruhan 1.472.047.607 M2 yang selalu berkembang
mengikuti perkembangan ekonomi umat. Sebagian tanah wakaf tersebut berada
pada tempat/lokasi strategis di kawasan perkotaan seluruh Indonesia. Seiring
dengan perkembangan wacana wakaf, yang dahulu wakaf hanyalah harta tetap
(fixed asset), tapi kini makin luas dengan dikenalnya wakaf aset bergerak atau aset
lancar (current asset), bahkan berkembang juga wakaf tunai (cash waqf)
berbentuk uang, maka dibutuhkan landasan hukum yang lebih memadai.
Pembuatan landasan hukum wakaf yang memadai sangat penting, di samping
perkembangan wakaf ternyata terjadi kasus-kasus perwakafan yang cenderung
meningkat belakangan ini.
Pengelolaan wakaf di tanah air kita memiliki peluang dan prospek pengembangan
yang positif, baik dari segi kuantitas maupun pemanfaatannya. Perkembangan
wakaf pada waktunya akan mengarahkan menjadi kegiatan investasi dan ekonomi
produktif dalam rangka pengentasan kemiskinan dan memajukan kesejahteraan
masyarakat, sebagaimana yang telah berjalan di beberapa negara muslim seperti
Arab Saudi, Mesir, Tunisia, Turki, Bangladesh dan lain-lain.
Substansi perwakafan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sektor
pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private sector), sehingga
memerlukan pengaturan tersendiri. Apalagi dalam menghadapi era pasar bebas
mutlak diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan yang memiliki visi
masa depan, tetapi tetap berpijak pada prinsip kedaulatan nasional. Oleh kartena
itu, pelembagaan hukum Islam ke dalam produk perundang-undangan negara
tentang wakaf memiliki argumen historis, sosiologis dan strategis yang
merefleksikan kehendak dan aspirasi umat Islam Indonesia.

2. Tujuan Penyusunan
Prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang wakaf bertujuan untuk:
a. Menjamin kepastian hukum di bidang wakaf;
b. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nazhir;
c. Meningkatkan kesejahteraan umat Islam dan bangsa Indonesia;
d. Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak
yang mendapat kepercayaan mengelola harta wakaf;
e. Sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian
kasus-kasus wakaf;
206

f. Mendorong optimalisasi pengelolaan potensi wakaf; dan


g. Untuk menampung berkembangnya potensi wakaf yang semakin beragam
sejalan dengan perekonomian modern, seperti wakaf tunai, wakaf obligasi, wakaf
surat berharga, wakaf Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan lainlain.

3. Sasaran yang Ingin Diwujudkan Sasaran yang ingin diwujudkan melalui


penyusunan RUU Wakaf ialah:
a. Terciptanya tertib hukum dan tertib aturan di bidang wakaf dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia;
b. Terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan
aset wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah;
c. Tersedianya landasan peraturan perundang-undangan bagi pembentukan dan
pelaksanaan peran, tugas dan fungsi Badan Wakaf Indonesia (BWI);
d. Terwujudnya akumulasi aset wakaf sebagai baitul mal atau Lumbung Nasional
untuk kesejahteraan umat.

4. Pokok Pikiran, Lingkup dan Objek Materi Pokok pikiran, lingkup dan objek
yang akan diatur dalam materi RUU Wakaf yang akan disusun antara lain,
meliputi:
(1) Pengertian wakaf
(2) Syarat-syarat, macam dan bentuk wakaf
(3) Syarat-syarat wakif dan nazhir
(4) Tata cara dan registrasi wakaf
(5) Fungsi wakaf
(6) Perubahan status dan penggantian benda wakaf
(7) Pendaftaran wakaf
(8) Nazhir wakaf
(9) Penerima wakaf
(10) Badan wakaf
(11) Tata cara dan persyaratan kemitraan
(12) Kewajiban dan hak-hak nazhir
(13) Pengawasan harta wakaf
(14) Penyelesaian perselisihan wakaf
(15) Sanksi pelanggaran hukum wakaf
(16) Peran organisasi non-pemerintah dalam pengelolaan wakaf
(17) Ketentuan peralihan

5. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan dalam RUU
Wakaf ialah:
a. Peran dan tanggung jawab pemerintah dalam membina, melindungi dan
memajukan lembaga wakaf;
b. Peran dan tanggung jawab masyarakat, termasuk di dalamnya organisasi atau
lembaga pranata keagamaan, dalam mengelola, memelihara, memberdayakan dan
mengembangkan serta akuntabilitas wakaf;
c. Pelembagaan dan pengelolaan wakaf berdasarkan sistem ekonomi syariah untuk
memajukan dan menyejahterakan umat;
207

d. Pengaturan wakaf yang melibatkan warga negara dan pemerintahan asing.


Disamping mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
(HAM), Menteri Agama juga mengajukan surat permohonan persetujuan prakarsa
penyusunan RUU tentang Wakaf kepada presiden bernomor: MA/25/2003
tertanggal 24 Januari 2003.

Usul tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:


1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000–2004 yang dibentuk
berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004 menetapkan arah kebijakan Pembangunan
Hukum yang antara lain melakukan penataan sistem hukum nasional yang
menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan
hukum adat.
2. Penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terpadu tersebut perlu dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan dibidang perwakafan dengan latar
belakang pemikiran sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria Pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut
Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang
secara teknis pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Di samping itu telah dikeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam yang
sebagian materinya mengatur tentang Wakaf.
b. Ketentuan mengenai perwakafan yang tercantum dalam peraturan perundang-
undangan tersebut belum dapat dijadikan landasan hukum yang cukup kuat untuk
mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut perwakafan
yang dihadapi oleh lembaga keagamaan yang bertindak sebagai nadzir. Sementara
itu akhir-akhir ini semakin besar kecenderungan masyarakat untuk melakukan
perbuatan hukum berupa wakaf uang, yang belum ada pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan, padahal wakaf uang itu dinilai secara ekonomi
dapat dipergunakan sebagai sarana pengembangan penghidupan dan kehidupan
masyarakat. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia Pusat juga telah
mengeluarkan fatwa pada tanggal 11 Mei 2002 tentang ketentuan wakaf uang.
3. Pada prinsipnya aset atau investasi wakaf harus terus terpelihara dan
berkembang sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan masyarakat, sehingga
perlu ada pengaturan hukum untuk mencegah tindakan melenyapkan keabadian
wakaf dengan alasan apa pun, atau mengurangi nilai aset yang telah diwakafkan
atau membiarkan terlantar tanpa diolah atau dimanfaatkan.
4. Berdasarkan data yang ada bahwa potensi tanah wakaf di Indonesia pada saat
ini (2002) berjumlah 359.462 lokasi dengan luas keseluruhan 1.472.047.607 m2,
dan diperkirakan lebih banyak lagi yang belum terdaftar termasuk yang dikelola
208

oleh Ormas Islam. Sebagian tanah wakaf itu ada yang terletak di tempat/lokasi
yang strategis di kawasan perkotaan. Pengelolaan perwakafan di tanah air kita
memiliki peluang dan prospek perkembangan yang positif, baik dari segi kuantitas
maupun pemanfaatannya. Diharapkan perkembangan wakaf pada waktunya akan
mengarah menjadi kegiatan investasi atau dana abadi dan dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan ekonomi produktif dalam rangka pengentasan kemiskinan dan
memajukan kesejahteraan masyarakat.
5. Penyusunan RUU tentang Wakaf bertujuan untuk:
a. mengintegrasikan peraturan perundang-undangan bidang perwakafan.
b. menjamin kepastian hukum di bidang perwakafan.
c. melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nadzir.
d. sebagai intrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak
yang mendapat kepercayaan mengelola benda wakaf.
e. sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian
kasus-kasus perwakafan.
f. mendorong optimalisasi pengelolaan potensi wakaf, dan
g. memperluas pengaturan mengenai wakaf sehingga mencakup pula wakaf uang
dan surat-surat berharga.
6. Sasaran yang ingin diwujudkan melalui penyusunan RUU tentang Wakaf
adalah :
a. terciptanya tertib hukum dan tertib aturan di bidang perwakafan dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia;
b. terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan
asset wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah; tersedianya landasan peraturan
perundang-undangan bagi pembentukan dan pelaksanaan peran, tugas dan fungsi
Badan Wakaf Indonesia;
c. terwujudnya akumulasi asset wakaf sebagai alternatif sumber pendanaan bagi
pembangunan masyarakat.
7. Pokok-pokok pikiran, lingkup dan obyek materi RUU tentang wakaf diatur
dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Dasar-Dasar Wakaf
Bab III Kelembagaan
Bab IV Tata Cara Perwakafan
Bab V Kemitraan Dan Pemberdayaan
Bab VI Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan
Bab VII Ketentuan Pidana
Bab VIII Ketentuan Peralihan
Bab IX Ketentuan Penutup

8. Jangkauan dan arah pengaturan dalam RUU Wakaf ialah :


a. Peran dan tanggung jawab pemerintah dalam membina, melindungi dan
memajukan lembaga wakaf;
b. Peran dan tanggung jawab masyarakat, termasuk di dalamnya organisasi atau
lembaga pranata keagamaan, dalam mengelola, memelihara, memberdayakan dan
mengembangkan serta akuntabilitas wakaf;
209

c. Pelembagaan dan pengelolaan Wakaf berdasarkan sistem ekonomi syariah


untuk memajukan dan mensejahterakan umat.

Bersamaan dengan surat yang dikirimkan kepada presiden tersebut, Menteri


Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengirim surat kepada presiden
bernomor: M.UM.01.06-30 tertanggal 3 Februari 2003 yang berisi rekomendasi
atas usul prakarsa penyusunan RUU tentang Wakaf. Dalam surat rekomendasi
tersebut disebutkan bahwa Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
(HAM) telah melaksanakan rapat pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsep RUU tentang Wakaf yang dihadiri oleh wakil-wakil dari
instansi terkait, yaitu:
1. Departemen Dalam Negeri;
2. Badan Pertanahan Nasional;
3. Mahkamah Agung;
4. Bank Indonesia;
5. Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
6. Badan Pembinaan Hukum Nasional;
7. Departemen Agama; dan
8. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Dalam rapat tersebut dinyatakan kesetujuannya atas konsepsi Rancangan Undang-


Undang tentang Wakaf sehingga dapat ditindaklanjuti untuk diajukan usul
prakarsa dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Praktik wakaf yaitu perbuatan hukum melepaskan hak milik menjadi harta
wakaf untuk diambil manfaatnya secara tetap dan selama-lamanya bagi
kepentingan orang banyak sebagai suatu pranata keagamaan dalam kehidupan di
Indonesia. Sejauh ini ketentuan mengenai perwakafan diatur, antara lain, oleh
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria,
pasal 14 ayat (1) huruf b dan pasal 49 ayat (3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat Kompilasi Hukum Islam
yang sebagian materinya berkaitan dengan hukum wakaf, serta beberapa peraturan
lain termasuk Intruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, dan
beberapa peraturan yang bersifat teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Agama.
2. Ketentuan mengenai perwakafan tanah milik yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan tersebut belum mengatur substansi hukum wakaf secara utuh
sehingga belum dapat dijadikan landasan hukum untuk menyelesaikan berbagai
persoalan wakaf yang dihapi oleh lembaga keagamaan yang bertindak sebagai
nazhir. Sering terjadi perselisihan antara nazhir dengan pewakaf atau ahli waris
pewakaf, dan adakalanya melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang
belum diatur oleh masyarakat yang belum ada ketentuan hukum mengenai cara
menyelesaikannya. Jika hal itu tidak segera diatasi dengan terlebih dahulu
membentuk suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf,
dikuatirkan akan semakin banyak harta wakaf beralih ke pihak lain tanpa hak
akibat kesengajaan atau kelalaian nazhir yang dapat merugikan kepentingan
210

masyarakat. Sementara itu akhirakhir ini terdapat kecenderungan untuk


melakukan perbuatan hukum berupa wakaf tunai (cash waqf) yang dinilai sebagai
cara yang lebih praktis untuk berwakaf dan memiliki prospek ekonomi yang
cukup baik.

Perluasan obyek wakaf berupa benda bergerak tersebut yang secara hukum
berkaitan pula dengan masalah transaksi keuangan pada umumnya memerlukan
pengaturan yang cermat, karena itu perlu diatur dengan undang-undang.
3. Berdasarkan pemikiran di atas perlu dibentuk suatu undangundang yang
mengatur substansi hukum wakaf untuk menyatukan berbagai peraturan
perundang-undangan mengenai wakaf, dengan maksud untuk menjamin kepastian
hukum di bidang perwakafan, serta melindungi dan memberikan rasa aman bagi
pewakaf dan sebagai landasan hukum bagi pembentukan Badan Wakaf Indonesia
yang akan mempromosikan potensi wakaf dalam pembangunan.

Keberadaan Undang-Undang tentang Wakaf tersebut diharapkan dapat


mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak yang mendapat
kepercayaan sebagai nazhir untuk mengelola harta wakaf. (Sudah dipakai
dalam pemikiran lahirnya UU Wakaf)
E. Persetujuan Prakarsa Penyusunan RUU Wakaf
Di tengah penantian izin prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Wakaf dari presiden, Menteri Agama melalui surat nomor:
MA/27/2003 tertanggal 24 Januari 2003 mengirim surat kepada Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang berisi perlunya pembentukan
Tim Kecil antara Departemen Agama dengan Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia (HAM). Tugas dari Tim Kecil tersebut adalah menyiapkan bahan-
bahan yang terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Wakaf, yang sebelumnya sudah dibuat draft awalnya oleh pihak
Departemen Agama.
Pembentukan Tim Kecil tersebut ditanggapi oleh Menteri Kehakiman dan HAM
dengan surat bernomor: M.UM.01.06-35 tanggal 10 Pebruari 2003. Dalam surat
tersebut, Menteri Kehakiman dan HAM menyampaikan nama-nama pejabat yang
duduk sebagai TIM Kecil dalam penyusunan Rancangan Undang-undang tentang
Wakaf, yaitu :
1. Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH (Direktur Jenderal Peraturan Perundang-
Undangan).
2. Abdul Wahid, SH (Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan).
3. Dr. Wahiduddin Adams, MA (Plt. Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan ).
4. Drs. Zafrullah Salim, SH (Kasubdit Harmonisasi bidang EKUINDANG).
5. Fiqi Nana Kania, SH, MH (Staf Subdit Harmonisasi bidang EKUINDANG).
Pada tanggal 7 Maret 2003, Sekretariat Negara RI menyampaikan surat kepada
Menteri Agama RI dengan Nomor. B.61 yang bersifat segera, perihal Persetujuan
Prakarsa Penyusunan RUU tentang Wakaf (surat Menteri Nomor. MA/25/2003
tanggal 24 Januari 2003). Dalam surat tersebut, pihak Sekretaris Negara yang
211

ditandatangani Bambang Kesowo sangat mengharapkan agar dalam penyusunan


Rancangan Undang-undang Wakaf supaya selalu dikoordinasikan dengan
Departemen/Instansi terkait sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor: 188 tahun
1998 tentang Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.

Dengan keluarnya surat persetujuan Presiden dalam rencana penyusunan


Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf dimaksud telah memberikan angin
segar bagi upaya yang dilakukan oleh Departemen Agama bersama Departemen
Kehakiman dan HAM dalam menyusun RUU tentang Wakaf. Sehingga secara
resmi, upaya penyusunan RUU Wakaf telah mendapat izin dari presiden RI,
Megawati Soekarnoputri, dan langkah berikutnya akan dibentuk Tim Penyusunan
RUU Wakaf yang terdiri dari berbagai instansi terkait


BAGIAN KEDUA
PENYUSUNAN DRAFT AWAL RUU WAKAF
A. Penyusunan Naskah Akademik RUU Wakaf
Berbekal dari dasar pemikiran, baik analisa ajaran fikih, fenomena sosiologis
maupun landasan hukum berupa persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan
Undang-Undang Wakaf dari Presiden melalui Sekretaris Negara, Bambang
Kesowo, maka Direktorat Zakaf dan Wakaf menindaklanjuti dengan menyiapkan
Naskah Akademik sebagai landasan pemikiran dalam penyusunan RUU tentang
Wakaf. Naskah akademik ini disusun oleh Dr. Uswatun Hasanah, pakar
perwakafan dari Universitas Indonesia.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Wakaf ini
adalah dalam rangka memberi alasan pentingnya penyusunan RUU tentang
Wakaf. Konsep-konsep yang dimuat dalam naskah ini mengacu pada
perkembangan perwakafan di Indonesia dan tuntutan masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial.
Naskah ini selain ditujukan sebagai prakarsa penyusunan RUU tentang Wakaf,
juga dapat dijadikan sebagai bahan masukan oleh Tim Penyusun RUU Tentang
Wakaf. Pokokpokok pikiran yang terkandung dalam naskah ini selain
memperhatikan hukum positif yang langsung berkaitan dengan masalah
perwakafan juga undang-undang yang berkaitan secara tidak langsung.
Sedangkan metode dan pendekatan dalam penyusunannya dilakukan melalui dua
tahap, yakni tahap penelitian dan tahap penyusunan naskah akademik. Penelitian
dilakukan dengan pendekatan sosio-legal research yang tujuannya untuk
mengumpulkan data primer. Untuk mengumpulkan data primer tersebut, cara
yang ditempuh adalah melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Studi
kepustakaan dilakukan terhadap berbagai bahan kepustakaan tentang wakaf baik
berupa peraturan perundang-undangan, berbagai literatur, dan hasil penelitian
terdahulu. Selain itu, dilakukan juga studi komparatif terhadap ketentuan
perundang-undangan yang memuat peraturan perwakafan di berbagai negara
seperti Mesir dan Bangladesh.
212

Penelitian lapangan dilakukan dengan menghimpun pendapat dari berbagai pakar,


wakif, nazhir, anggota masyarakat, akademisi dan pejabat Dep. Agama tentang
persepsi mereka terhadap urgensi diaturnya wakaf dalam suatu undang-undang
tersendiri di Indonesia dan substansi muatannya.
Metode penyusunan Naskah Akademik ini didasarkan pada alur pikir untuk
memberikan justifikasi akademik dalam bentuk alasan-alasan ilmiah sebagai
bahan pertimbangan formasi norma-norma hukum yang diusulkan.
Naskah ini merupakan konsep dasar substansi norma hukum yang akan dijadikan
materi muatan RUU Tentang Wakaf. Atas dasar itu, cara penyusunan Naskah
Akademik ini akan dilakukan dengan memberikan: (a). uraian deskripsi tentang
norma yang berlaku dan berbagai permasalahan yang dihadapi; (b). uraian tentang
kondisi perwakafan di Indonesia dan perkembangan wakaf di berbagai negara; (c).
uraian tentang rekomendasi sebagai bahan pertimbangan penyusunan RUU
Tentang Wakaf.
Adapun naskah akademik tersebut meliputi lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Landasan Hukum
c. Tujuan dan Manfaat Penyusunan Naskah Akademik
d. Metode dan Pendekatan
Bab II Kerangka Konsepsional
a. Dasar Hukum Disyariatkannya Wakaf
b. Hukum Wakaf
Bab III Perkembangan Perwakafan di Indonesia
a. Wakaf dan Permasalahannya di Indonesia
b. Wakaf dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Bab IV Substansi Pengaturan Rancangan Undang-undang tentang Wakaf
a. Uraian
b. Materi Pengaturan Perwakafan
Bab V Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
b. Saran-saran
Bab VI Sistematika Rancangan Undang-undang tentang Wakaf

Rancangan Undang-undang tentang Wakaf ini disusun berdasarkan sistematika


sebagai berikut:
Bab I: Ketentuan Umum,
Bab II: Dasar-dasar Wakaf, Tujuan dan Fungsi,
Bab III: Administrasi Wakaf,
Bab IV: Pengelolaan Wakaf dan Pembinaan Nazhir,
Bab V: Badan Wakaf Indonesia,
Bab VI: Perubahan Peruntukan, Penggunaan dan Status Benda Wakaf,
Bab VII: Penyelesaian Sengketa,
Bab VIII: Pengawasan,
Bab IX: Sanksi,
Bab X: Ketentuan Peralihan,
213

Bab XI: Ketentuan


Penutup.

B. Penyusunan Draft RUU Wakaf Tahap Pertama


Setelah ada konsep naskah akademik yang menggambarkan dasar pentingnya
kehadiran Undang-Undang Wakaf, maka Direktorat Pengambangan Zakat dan
Wakaf cq. Sub Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang dipelopori oleh Drs. H.
Achmad Djunaidi (Kasubdit) bersama H. Asrory Abdul Karim, SH, MH (Kasi
Penyuluhan Wakaf) dan Drs. H. Ma’ruf (Kasi Inventarisasi Wakaf) menyusun
draft awal Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf.

Draft Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf ini menjadi cikal bakal


Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf yang dibahas dan digodok, baik
internal maupun eksternal. Draft tersebut terdiri dari 10 bab dan 65 pasal yang
memuat berbagai substansi yang mengiringi semangat pemberdayaan wakaf
produktif. Paling tidak ada beberapa latar belakang formil yang menjadi dasar
penyusunan draft tersebut, yaitu:
a. Masih belum terintegrasikannya peraturan teknis pengelolaan wakaf. Jika suatu
persoalan yang cukup strategis seperti lembaga wakaf tidak diatur secara intergral
dan lengkap dalam pengelolaannya, maka lembaga tersebut sulit diharapkan maju
dan berkembang secara baik. Pengintegrasian peraturan dan penambahan klausul
penting secara lengkap dalam suatu undang undang sangat mendesak dilakukan
agar wakaf bisa tertangani secara terpadu dan maksimal. Seperti kita ketahui
bahwa di negeri muslim lainnya seperti Mesir telah ada Qanun No. 46 tahun 1946
yang mengatur seluruh potensi dan pengelolaann wakaf secara umum dan terus
dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan tetap berdasarkan
Syari’at Islam. Sehingga wakaf di Mesir berkembang secara dinamis dan
memberikan dampak sosial ekonomi secara nyata kepada masyarakat banyak.
b. Karena masih ada kelemahan dalam pengaturan hukumnya, persoalan hukum
wakaf belum memberikan kepastian jaminan dan perlindungan rasa aman bagi
wakif, nazhir dan mauquf ‘alaihi (penerima wakaf), baik perorangan, kelompok
orang maupun badan hukum. Sehingga peraturan perundangan mengenai wakaf
selama ini belum bisa dijadikan instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung
jawab bagi pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf. Belum adanya
ketegasan yang utuh dalam memberikan sanksi-sanksi bagi pihak yang tidak
menjalankan amanah perwakafan membuka peluang terjadinya penyimpangan
yang cukup lebar dalam pengelolaan dan atau pengabaian tugas-tugas kenazhiran.
Sehingga ketika ditemukan penyelewengan yang dilakukan oleh perseorangan,
kelompok orang maupun badan hukum nazhir sulit bisa diselesaikan karena belum
adanya koridor publik dalam advokasi persengketaan atau penyelesaian
penyelewengan wakaf.

Penyelewengan yang dilakukan oleh para nazhir nakal misalnya, dalam


sejarahnya, belum ada yang diteruskan kepada penyelesaian pidana, karena
peraturan perundangan yang ada belum mampu memberikan sanksi pidana yang
tegas dan konkrit. Hal ini banyak terjadi pada harta wakaf yang dikelola oleh
214

perorangan, seperti penggunaan tanah untuk kepentingan pribadi, golongan


bahkan diwariskan kepada keturunannya, sementara bukti perwakafan sulit
ditemukan atau bahkan tidak ada, dan lain-lain.

c. Peraturan perundangan yang ada mengatur pada lingkup perwakafan yang


sangat terbatas, misalnya hanya pada wakaf tanah hak milik seperti UU No. 5
Tahun 1960 Tentang Undang-undang Pokok Agraria, PP No. 28 Tahun 1977.
Pengaturan perwakafan yang menyangkut dana cash (cash waqf), hak
kepemilikan intelektual dan surat-surat berharga lainnya belum tersentuh,
sedangkan di era seperti sekarang ini dimana uang dan surat-surat berharga
lainnya menjadi variable ekonomi yang cukup penting. Sehingga pengelolaan
wakaf ini belum bisa dilaksanakan secara optimal. Kondisi peraturan perundangan
di negeri kita yang belum memadai itu secara tidak langsung menghambat
optimalisasi pengelolaan potensi wakaf secara umum. Dan tentu saja hambatan
pengembangan dan pemberdayaan wakaf dalam rangka kesejahteraan masyarakat
akan hilang, minimal terkurangi jika peraturan perundang-undangan wakaf
diterapkan.

Banyaknya peraturan perundang-undangan tentang wakaf selama ini seperti UU


No. 5 Tahun 1960 Tentang Undangundang Pokok Agraria, PP No. 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri agama RI No. 1 Tahun 1978
Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, Peraturan Dirjen Bimas Islam
Depag RI No. Kep./D/75/1978, Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) ternyata belum memberikan dampak perbaikan sosial yang
berarti bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat. Karena memang pengelolaan dan
pengembangan wakaf masih berkisar pada perwakafan tanah dan belum
menyentuh pada aspek pemberdayaan ekonomi umat yang melibatkan banyak
pihak. Sehingga perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan karena
kendala formil yang belum mengatur tentang harta benda wakaf bergerak yang
mempunyai peran sangat sentral dalam pengembangan ekonomi makro. Apalagi
diperparah oleh kebanyakan nazhir wakaf yang kurang atau tidak profesional
dalam pengelolaan wakaf. Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia, apalagi di saat negeri kita sedang mengalami krisis
ekonomi yang belum berkesudahan ini, maka UU Wakaf untuk mendukung
pengelolaan wakaf secara produktif sangat dinantikan kehadirannya.

Disamping latar belakang formil di atas, draft Rancangan Undang-Undang ini


juga memuat substansi yang memiliki misi dalam pemberdayaan wakaf secara
profesional produktif, yaitu:
1. Pentingnya memasukkan benda wakaf bergerak seperti uang, logam mulia,
saham dan surat berharga lainnya dalam Rancangan Undang-Undang Wakaf.
Komponen wakaf benda bergerak ini sangat urgen dimasukkan dalam draft karena
memiliki posisi yang cukup penting dalam pengembangan perwakafan secara
produktif.
2. Nazhir yang memiliki posisi kunci dalam pengelolaan wakaf, selama ini, masih
terhitung tradisional. Ketradisionalan nazhir ditandai dengan beberapa aspek:
215

a. Tingginya aspek “kepercayaan” kepada para tokoh agama seperti kyai, ustadz,
ajengan, tuan guru dan lain-lain sebagai nazhir, meskipun mereka sering tidak
memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf secara optimal. Bahkan karena
terlalu percaya, proses penyerahan harta wakaf tidak disertakan dengan sertifikat
wakaf sebagai bukti tertulis jika di kemudian hari terjadi penyelewengan dan atau
sengketa dengan pihak ketiga.
b. Tradisionalisme nazhir dalam memahami wakaf yang lebih menempatkannya
sebagai bagian dari ibadah mahdhah, sehingga banyak dari mereka yang kurang
sungguh-sungguh dalam mengurus atau mengelola benda-benda wakaf.
c. Terbatasnya wawasan dan keandalan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam
memaksimalisasi potensi wakaf yang ada, sehingga banyak benda-benda wakaf
yang belum memberikan manfaat bagi kepentingan umat, bahkan banyak benda-
benda wakaf yang terbengkelai.
3. Perlunya pengaturan secara khusus agar wakaf memiliki daya dorong ekonomi
yang tinggi dengan memberikan peluang kerjasama dengan pihak ketiga.
4. Perlunya pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) di tingkat pusat, dan di
tingkat daerah jika dianggap perlu.
Badan wakaf ini diharapkan memiliki fungsi: (a) melakukan pembinaan terhadap
nazhir-nazhir wakaf dalam pengelolaan perwakafan di seluruh nusantara, (b)
melakukan pengelolaan dan pengembangan benda-benda wakaf secara mandiri,
baik yang bersifat nasional maupun internasional, (c) dan, memberikan
pertimbangan dan usulan baik yang bersifat teknis maupun yuridis kepada pihak-
pihak yang terkait dengan perwakafan.
5. Perlunya pendaftaran dengan administrasi perwakafan dan mengumumkan
kepada masyarakat banyak, sehingga wakaf dapat terdata dengan baik dan
memiliki kekuatan hukum yang kuat.
6. Secara operasional, wakaf sebaiknya dikelola oleh nazhir yang berbentuk
lembaga atau badan hukum yang memiliki kemampuan dan pengalaman
pengelolaan benda-benda wakaf secara produktif dan mempersempit atau
menutup sama sekali peluang nazhir perseorangan. Karena pengalaman
membuktikan, bahwa nazhir perseorangan kurang memiliki kemampuan dalam
mengelola benda-benda wakaf. Dalam banyak kasus, benda-benda wakaf yang
ditangani oleh nazhir perseorangan cenderung terbengkelai, bahkan tidak sedikit
yang lenyap karena diserobot oleh pihak ketiga atau disalahgunakan para nazhir
nakal.
7. Dimasukkannya persyaratan sebagai nazhir agar memiliki sifat amanah dan
mampu secara jasmani dan rohani. Amanah, mampu secara jasmani dan rohani
adalah profesional, karena selama ini wakaf lebih banyak ditangani seadanya
sehingga benda-benda wakaf banyak yang kurang memberikan manfaat bagi
kepentingan umum.
8. Dalam pelaksanaan wakaf uang, Lembaga Keuangan Syariah harus diberi ruang
sebagai tempat penyerahan benda wakaf (uang) sekaligus dapat mengeluarkan
Serifikat Wakaf Uang. Penyerahan wakaf uang dan penerbitan Sertifikat Wakaf
Uang kepada Lembaga Keuangan Syariah ini dimaksudkan agar pengelolaan
wakaf uang dapat dipantau secara lebih mudah dan masyarakat yang ingin
berwakaf lebih mudah untuk mengaksesnya.
216

9. Sistem pengelolaan wakaf harus menggunakan prinsip Syariah, baik melalui


musyarakah atau mudharabah. Penggunaan sistem Syariah dimaksudkan agar
pengelolaan wakaf sesuai dengan nilai-nilai Islam dan memang diakui sistem
Syariah memiliki keunggulan
dibandingkan dengan sistem ribawy.
10. Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk
mencari mufakat. Namun jika dalam proses penyelesaian tidak ditemukan kata
sepakat, maka para pihak bisa menyerahkan masalahnya kepada arbitrase dan juga
pengadilan agama.
11. Perlunya pengaturan secara tegas terkait dengan ketentuan pidana dan sanksi
administratif bagi pihak yang menyalahgunakan harta benda wakaf. Selama ini
ketentuan pidana dan sanksi administratif tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Untuk itu, dalam rangka
memayungi problem-problem legal terhadap harta wakaf, khususnya kasus tanah
wakaf harus dibuat klausulklausul tentang hal ini.

C. Penyusunan Draft RUU Wakaf Tahap Kedua


Setelah proses penyusunan draft RUU Wakaf tahap pertama dianggap selesai,
maka proses penyusunan draft tahap kedua digelar. Dalam penyusunan tahap ini
telah mengakomodir berbagai dinamika dan ide yang harus dimasukkan ke dalam
draft RUU Wakaf, atau mempertajam masalah-masalah yang dianggap penting,
sehingga akan dihasilkan draft yang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan,
pembinaan dan pemberdayaan wakaf secara utuh.
Beberapa klausul yang diangkat dalam penyusunan draft tahap kedua yang cukup
menonjol adalah sebagai berikut:
1. Selain Lembaga Keuangan Syariah yang mengeluarkan Sertifikat Wakaf Uang
(SWU), ada instansi berwenang lain yang juga berhak mengeluarkan Surat Tanda
Bukti Wakaf, yaitu lembaga notaris;

2. Hak penggantian nazhir wakaf akan dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia
(BWI), bukan lagi wewenang Menteri Agama. Wewenang BWI ini sebagai
sebuah upaya agar pengawasan dan pembinaan nazhir dapat berjalan dengan baik.
3. Perlunya menjalin kemitraan dalam pengelolaan wakaf dengan pihak ketiga
seperti investor independen dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga
profesional yang terkait dengan pemberdayaan dan pengembangan wakaf.
4. Perlunya lembaga penjamin Syariah dalam proses pengelolaan benda-benda
wakaf untuk menghindari berkurangnya nilai keabadian benda jika terjadi lost
atau kerugian.
5. Kalau selama ini nazhir wakaf kurang mendapat perhatian terhadap hak-haknya
secara layak bahkan banyak dari mereka yang terpaksa mengeluarkan anggaran
pribadi untuk menutupi pemeliharaan benda wakaf, maka dalam draft RUU
Wakaf ini perlu dipertegas bahwa nazhir harus mendapat hak secara lebih layak.
Sebagai sebuah perbandingan, nazhir wakaf di Turki mendapat alokasi 5 persen
dari net income wakaf, demikian juga dinegara-negara muslim lain yang memiliki
pengalaman panjang terhadap wakaf. Oleh karena itu, perlu ada pengaturan lebih
217

layak lagi bagi pengelola wakaf maksimal 10 persen dari hasil pemberdayaan
wakaf.
6. Perlunya pembatasan masa bhakti nazhir wakaf dalam sebuah kepengurusan
sebagai upaya pengawasan dan membuka peluang proses regenerasi kenazhiran
agar tercipta kinerja yang optimal. Kenyataan telah berbicara banyak, bahwa
nazhir-nazhir wakaf di seluruh tanah air tidak dibatasi masa bhaktinya, bahkan
sebagian dari mereka ada yang memegang jabatan sapanjang umur (seumur
hidup).
7. Untuk meningkatkan kinerja Badan Wakaf Indonesia (BWI) diusulkan
keberadaannya di Ibu Kota dalam rangka efektifitas kinerja dan tidak disibukkan
dalam urusan penyusunan kepengurusan di daerah. Namun, jika dianggap perlu di
daerah akan dibentuk kepengurusan Badan Wakaf Indonesia (BWI), sebagai
contoh tingginya volume benda wakaf di suatu daerah tertentu, sehingga perlu
dicover secara terpadu.
8. Sebagai upaya membentuk struktur organisasi Badan Wakaf Indonesia (BWI),
maka perlu diatur bentuk organisasi yang terdiri dari Dewan Pelaksana dan
Dewan Pertimbangan.
9. Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib
membantu biaya operasional. Sebagai lembaga yang masih baru dengan peran dan
tugas yang cukup berat, maka BWI harus dibantu pembiayaannya agar dapat
menjalankan program-programnya. Namun setelah beberapa waktu dimana badan
ini sudah mengalami peningkatan dalam mengelola harta wakaf dengan
keuntungan yang dianggap perlu, Pemerintah akan melepaskan dari pembiayaan
sebagai sebuah lembaga independen.

Catatan:
Dalam proses penyusunan draft awal RUU tentang Wakaf, baik pada tahap
pertama maupun tahap kedua sesungguhnya melalui tahapan sharing (tukar
pendapat) beberapa kali, baik bersifat internal maupun eksternal. Yang dimaksud
internal adalah para pihak yang terkait dengan upaya RUU Wakaf, yaitu
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf cq. Sub Direktorat Pemberdayaan
Wakaf yang dimotori oleh Ka. Subdit dan para Kasi. Sedangkan eksternal adalah
para pihak yang diterkait dengan upaya pemberdayaan wakaf secara produktif,
seperti para pakar ekonomi Islam, MUI, Perguruan Tinggi, Badan Pertanahan
Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM dan lain sebagainya.

Adapun tema-tema atau issu-issu yang dibahas pun sangat beragam dan tidak
bersifat sistemik karena perubahan dan dinamikanya terus berkembang.
Betapapun tema-tema tersebut tidak dibahas secara berurutan, namun substansi
yang diinginkan agar RUU Wakaf memiliki watak yang menitikberatkan pada
pemberdayaan ekonomi dapat dicover secara baik. Hal ini tidak berhenti pada
tahap penyusunan draft, namun juga pada saat penyempurnaan konsep secara
umum. Dengan demikian, untuk memudahkan dalam penggambaran proses
penyusunan draft RUU Wakaf dikelompokkan pada dua tahap. Hal ini
dimaksudkan agar dapat dipetakan secara lebih simpel dan dimengerti secara lebih
218

mudah


BAGIAN KETIGA
PENYEMPURNAAN DRAFT RUU WAKAF
A. Pertemuan Ulama, Pakar/Tokoh dan Ormas Islam
Sebagai sebuah upaya penyempurnaa draft RUU Wakaf yang sudah disiapkan
sebelumnya agar mencakup banyak klausul dan substansi dengan semangat
pemberdayaan wakaf secara produktif, maka diadakan pertemuan ulama,
pakar/tokoh dan Ormas Islam pada tanggal 6 Maret 2003 di Operation Room,
yang dibuka oleh Menteri Agama. Dalam forum tersebut diundang para ulama,
pakar/tokoh dan Ormas Islam yang memiliki katerkaitan dalam pengelolaan
wakaf. Adapun peserta yang diundang sebagai berikut:
Peserta Pertemuan Ulama, Tokoh/Pakar Jmlh Ket
1 Prof. DR. Erman Radjagukguk, SH 1 orang
2 Drs. H. Taufiq Kamil 1 orang
3 Prof. DR. H. Abdul Gani Abdullah, SH 1 orang
4 Prof. DR.H. Rahmat Djatnika 1 orang
5 Prof. DR. Amin Summa, MA 1 orang
6 Prof. DR. Ismail Sunny, SH, LML 1 orang
7 Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH 1 orang
8 Prof. DR. Qodri Azizi 1 orang
9 DR .H. Syafi'i Antonio, MSc 1 orang
10 Prof. DR. H. Atho Mudhar 1 orang
11 DR. Wahidudin Adam 1 orang
12 Abdul Wahid, SH 1 orang
13 Prof. DR. M. Din Syamsudin 1 orang
14 DR. Mulya Siregar 1 orang
15 DR. Mustafa E Nasution 1 orang
16 H. Muchtar Zarkasi, SH 1 orang
17 DR. Uswatun Hasanah 1 orang
18 Prof. KH. Ali Yafie 1 orang
19 Prof. DR. H. Achmad Sukardja, SH. MA 1 orang
20 Prof. DR. Fathurrahman Djamil, SH. 1 orang
21 DR. H. Zein Bajeber 1 orang
22 Prof. DR. Tahir Azhari SH. 1 orang
23 KH. Ma'ruf Amin 1 orang
24 Drs. H. Taufiq, SH. MH (MA) 1 orang
25 DR.H.Rifyal Ka'bah 1 orang
26 DR. Anwar Ibrahim 1 orang
27 H. Fauzan Misra El Muhamady, MA 1 orang
28 Prof. Drs. Asymuni Abdurrahim 1 orang
29 Drs. Fauzan Afandi 1 orang
30 Prof. DR. Amir Sarifuddin 1 orang
31 DR. Ahmad Sutarmadi 1 orang
32 H. Fauzi Amnur, LC. 1 orang
219

33 Drs. H. T u l u s 1 orang
34 Drs. H. Wahyu Widiyana 1 orang
35 Drs. H. Zainal Arifin Nurdin, SH 1 orang
36 Universitas Islam Sumatera Utara 1 orang
37 PB.NAHDATUL ULAMA 2 orang
38 PP.MUHAMMADIYAH 2 orang
39 DEWAN DAKWAH ISLAMMIYAH 2 orang
40 MAJELIS ULAMA INDONESIA 2 orang
41 AL - IRSYAD 2 orang
42 AL- WASHLIYAH 2 orang
43 PERSIS 2 orang
44 MATHLA'UL ANWAR 2 orang
45 BADAN WAKAF UII 1 orang
46 BADAN WAKAF GONTOR 1 orang
47 BAPPENAS 1 orang
48 Ketua Badan Pertanahan Nasional 1 orang
49 U I N JAKARTA (SAHID) 2 orang
50 Badan Wakaf Sultan Agung Semarang 1 orang
J u m l a h 59 orang

Dalam sambutan pembukaannya, Direktur Jenderal Bimas Islam dan


Penyelenggaraan Haji (BIPH), Drs. H. Taufiq Kamil, menyatakan bahwa acara
tersebut mengiringi keluarnya Izin Prakarsa Penyusunan Rancangan Undang-
undang tentang Wakaf dari presiden RI, Megawati Soekarnoputri. Tujuan dari
pertemuan tersebut:
Menggali pemikiran dan pendapat dari para ulama, pakar/tokoh dan ormas
Islam dalam rangka menyiapkan Rancangan Undang-undang tentang Wakaf.
Menyamakan persepsi tentang konsep Rancangan Undangundang tentang
Wakaf terkait dengan materi, organisasi dan pengaturan wakaf.
Sedangkan Menteri Agama RI, Prof. Dr. Said Agil Husin Al- Munawar, MA
mengungkapkan bahwa pelaksanaan perwakafan di masyarakat muslim
sesungguhnya sudah berjalan lama.
Bersamaan dengan itu, ada beberapa peraturan perundangundangan tentang
wakaf, seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan
Paraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Namun, sampai saat ini peraturan-perauran tersebut dinilai kurang memadai.
Perkembangan nazhir (pengelola wakaf) misalnya, dari waktu ke waktu
mengalami perkembangan. Sehingga sudah saatnya diadakan regulasi di bidang
perwakafan dalam rangka mengoptimalkan pemberdayaan wakaf secara produktif,
seperti uang.
Di negara-negara muslim seperti Mesir, Qatar, Kuwait, Bangladesh dan lain-lain,
wakaf merupakan sektor utama di bidang pengembangan ekonomi. Dari upaya
pemberdayaan wakaf tersebut dapat menggerakkan bidang pendidikan, dakwah
dan ekonomi umat. Bahkan di negara-negara tersebut, wakaf masuk dalam
departemen tersendiri, yaitu: wizaratul awqaf walhajj.
220

Untuk konteks Indonesia, proses pemberdayaan wakaf secara produktif bisa


dilakukan secara bertahap dan perlu mencontoh model-model pemberdayaan yang
sudah pernah dilakukan di negara-negara muslim. Dalam kondisi krisis ekonomi
seperti saat ini, perlu pengembangan ekonomi alternatif sebagai upaya ikut serta
menanggulangi krisis yang berkepenjangan seperti zakat yang dikelola secara
profesional yang diparalelkan dengan pemberdayaan wakaf. Dengan Undang-
undang tentang Wakaf diharapkan dapat dijadikan pijakan dalam pengelolaan
wakaf. Untuk itu, para ulama, pakar/tokoh dan ormas Islam perlu mendiskusikan
konsep Undang-undang Wakaf yang memenuhi aspirasi masyarakat. Setelah
Menteri Agama menyampaikan pandangannya, Dirjen BIPH menyampaikan
Position Paper sebagai kerangka acuan dalam acara tersebut, yaitu:
I. Latar belakang
Wakaf sebagai perbuatan hukum telah lama melembaga dalam kehidupan umat
Islam di tanah air kita. Pengaturan mengenai wakaf tertuang dalam Undang-
Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) yang ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Masalah wakaf juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991) yang menjadi pedoman bagi hakim
Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Pengaturan yang ada tersebut dirasakan
kurang memadai karena permasalahan wakaf yang mengemuka di masyarakat dan
dihadapi oleh lembaga keagamaan yang bertindak sebagai nazhir dari waktu ke
waktu kian berkembang. Di samping itu masyarakat amat membutuhkan
pengaturan mengenai wakaf produktif dan wakaf uang yang selama ini belum
pernah diatur dalam regulasi wakaf di negara kita.
Sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
yang antara lain menetapkan arah kebijakan Pembangunan Hukum, maka
penyusunan RUU Wakaf merupakan bagian yang inheren dengan penataan sistem
hukum nasional. Penataan sistem hukum nasional seperti dimaksud dalam GBHN
adalah yang bersifat menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati
hukum agama dan hukum adat. Dengan adanya Undang-undang Wakaf maka
pengembangan wakaf memperoleh dasar hukum yang lebih kuat, antara lain untuk
memberikan kepastian hukum kepada wakif (pewakaf), nazhir (pengelola wakaf)
dan mauquf alaih (pihak yang berhak menerima hasil wakaf).

II. Tujuan penyusunan RUU Wakaf


Penyusunan Rancangan Undang-undang Wakaf bertujuan sebagai berikut:
1. Mengintegrasikan berbagai peraturan teknis tentang wakaf;
2. Menjamin kepastian hukum dalam bidang wakaf;
3. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nazhir, dan mauquf
alaih, baik perorangan maupun badan hukum;
4. Sebagai intrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak
yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf;
5. Sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian
sengketa wakaf;
221

6. Mendorong optimalisasi pengelolaan potensi wakaf, dan


7. Memperluas pengaturan mengenai wakaf sehingga mencakup pula wakaf uang
dan surat-surat berharga.

III. Sasaran yang ingin diwujudkan


Sararan yang ingin diwujudkan melalui penyusunan
Rancangan Undang-undang Wakaf adalah:
1. Terciptanya tertib hukum dan tertib aturan tentang wakaf dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia;
2. Terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan
benda wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah;
3. Tersedianya landasan peraturan perundang-undangan bagi pembentukan dan
pelaksanaan peran, tugas dan fungsi Badan/Pusat Wakaf Indonesia, dan
4. Terwujudnya akumulasi aset wakaf sebagai alternatif sumber pendanaan bagi
pembangunan kesejahteraan masyarakat.

IV. Lingkup Materi RUU tentang Wakaf


Lingkup materi Rancangan Undang-undang Wakaf diatur dengan sistematika
sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum;
Bab II Dasar-dasar Wakaf;
Bab III Kelembagaan organisasi pengelola Wakaf;
Bab IV Tata cara perdaftaran benda Wakaf;
Bab V Pemberdayaan dan Kemitraan;
Bab VI Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan;
Bab VII Ketentuan Pidana;
BabVIII Ketentuan-ketentuan Lain;
Bab IX Ketentuan Peralihan;
Bab X Ketentuan Penutup

V. Hal-hal yang perlu diatur dalam RUU Wakaf


Kita perlu menentukan hal-hal yang perlu diatur dalam Undang-Undang Wakaf
dan bagaimana konsep pengaturannya. Untuk itu diharapkan pembahasan pada
kali ini adalah terfokus pada hal tersebut. Sebagai gambaran umum, berikut ini
kami sampaikan beberapa catatan:
1. Tujuan dan fungsi wakaf Wakaf yang sering kita jumpai di masyarakat pada
umumnya adalah wakaf tanah milik untuk kepentingan sarana ibadah seperti
masjid, mushalla, atau sekolah dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya.
Wakaf produktif di tanah air kita masih sedikit sekali jumlahnya. Jarang tanah
wakaf yang didayagunakan untuk kepentingan komersial, misalnya dibangun real
estate, pertokoan, dan sebagainya (wakaf produktif). Sejalan dengan perubahan
struktur masyarakat modern yang banyak bertumpu pada sektor kegiatan industri
dan jasa, maka potensi wakaf yang memiliki nilai ekonomi perlu dikembangkan
sehingga menghasilkan manfaat secara nyata bagi umat. Hal ini didukung oleh
kenyataan banyak tanah wakaf yang berada di lokasi strategis dan memiliki nilai
komersial tinggi, namun belum dikelola sebagai wakaf produktif.
222

Untuk itu perlukah dinyatakan dalam undangundang, bahwa selain untuk


kepentingan ibadah wakaf dapat dikelola dan diberdayakan untuk kepentingan
komersial yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah Islam?
2. Wakif
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wakif adalah orang atau orang-
orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Perlukah batasan
pengertian tersebut disempurnakan/ dikembangkan dalam undang-undang wakaf
itu ,umpamanya wakif adalah orang, kelompok orang, organisasi ataupun
perkumpulan badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
Di samping itu, bagaimana kalau ada wakif pemeluk agama lain (non muslim)?
Perlukah hal itu diatur dalam undang-undang? Bagaimana pula pengaturan wakaf
yang berasal dari warga negara atau lembaga asing untuk mewakafkan hartanya
menurut peraturan wakaf di Indonesia?
3. Benda yang dapat diwakafkan
Pada masa lalu masyarakat hanya mengenal wakaf berupa benda tetap (tidak
bergerak) seperti tanah atau bangunan. Tetapi praktik wakaf di dunia Islam
dewasa ini menunjukkan makin luasnya objek wakaf yang terdiri dari wakaf
benda tetap (fixed asset) wakaf benda bergerak atau aset lancar (current asset)
seperti wakaf uang yang dipelopori oleh Dr. Monzen Kaft (ekonom asal Turki)
dan Prof.Dr. M.A. Mannan (ekonom Islam dan Ketua Pendiri Sosial Investmen
Bank Ltd Dhaka, Bangladesh) yang memaparkan konsep ekonomi Islam yang
bercorak kerakyatan ialah wakaf tunai. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah
mengeluarkan fatwa mengenai wakaf uang. Menurut pengamatan, wakaf uang
kini telah berjalan seperti yang dikelola Dompet Dhuafa Republika, Badan Wakaf
Kota Bekasi dan lain -lain. Untuk itu perlu diakomodasikan dalam undangundang,
pengertian wakaf yang meliputi benda tetap (benda tidak bergerak) dan benda
bergerak, seperti wakaf uang, saham, surat-surat berharga, hak atas kekayaan
intelektual dan lain-lain?
4. Nazhir
Nazhir wakaf yang ada selama ini sebagian besar adalah nazhir tradisional dan
perorangan (tidak berbadan hukum). Peran nazhir tradisional dan perorangan lebih
dominan sebagai pengurus atau penjaga wakaf, daripada sebagai pengelola
wakaf. Dalam pada itu tidak ada ketentuan selama ini bahwa penunjukan seorang
nazhir didasarkan atas pertimbangan kemampuan dan keahlian yang diperlukan
untuk mengembangkan dan memberdayakan wakaf.
Mengingat makin kompleksnya persoalan wakaf dan banyaknya terjadi sengketa
tanah wakaf di masyarakat, maka apakah perlu ditetapkan dalam undang-undang
bahwa nazhir harus berbadan hukum?
Disamping itu, menurut ketentuan yang sekarang berjalan, nazhir disyaratkan
mempunyai cabang atau perwakilan di kecamatan dimana tanah wakaf terletak
yang dalam pelaksanaanya di lapangan kerap menimbulkan kesulitan dan
hambatan, terutama jikanazhir itu bersifat perorangan atau perkumpulan yang
tidak memiliki cabang atau perwakilan. Apakah ketentuan tersebut masih perlu
dipertahankan atausebaiknya dihilangkan?
5. Jenis wakaf
223

Menurut hukum fikih yang masyhur dan sesuai dengan pendapat mayoritas
mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali), bahwa wakaf berlaku untuk selamanya sesuai
dengan makna hakiki wakaf itu sendiri sebagai amal jariah yang pahalanya terus
mengalir meskipun pewakaf telah meninggal dunia. Tetapi pada waktu terakhir ini
lahir pembaharuan hukum Islam yang membolehkan wakaf berjangka (pada
wakaf benda bergerak), seperti yang dipraktekkan di Mesir dengan mengacu pada
mazhab Hanafi. Seorang muslim yang suatu saat membutuhkan kembali benda
yang telah diwakafkan, misalnya deposito, saham dan sebagainya, memiliki
peluang untuk berwakaf dengan adanya alternatif wakaf berjangka.
Di Indonesia, wakaf berjangka sampai sejauh ini belum popular, apalagi umat
Islam Indonesia umumnya adalah pengikut mazhab Syafi’i. Tetapi dalam era
globalisasi tidak mustahil di masa mendatang wakaf berjangka akan menjadi
wacana di tanah air kita.
Salah satu fungsi hukum dan perundang-undangan dalam Islam, tidak hanya
mengatur apa yang sudah ada, tetapi hukum dan perundang-undangan mempunyai
fungsi untuk mengarahkan perkembangan masyarakat.
Untuk itu perlukah undang-undang mengakomodasi wacana wakaf
kontemporer,dengan menetapkan adanya dua jenis wakaf yaitu wakaf selamanya
dan wakaf berjangka?
6. Organisasi pengelola wakaf
Wakaf yang telah berjalan selama ini dikelola oleh masyarakat melalui nazhir
wakaf perorangan atau yayasan berbadan hukum yang sekaligus bertindak sebagai
nazhir.

Wacana yang berkembang dan perlu diakomodasikan dalam Undang-undang


Wakaf adalah perlunya dibentuk organisasi atau badan wakaf. Ada beberapa
pemikiran mengenai hal tersebut antara lain :
1. Organisasi pengelola wakaf terdiri dari Badan Wakaf yang dibentuk oleh
Pemerintah di tingkat pusat dan daerah propinsi, dan Lembaga Wakaf yang
dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah.
Opsi pertama ini hampir menyerupai organisasi pengelola zakat.
2. Organisasi pengelola wakaf adalah Badan Wakaf yang dibentuk oleh
pemerintah di tingkat pusat dan daerah propinsi, sedangkan yayasan/lembaga
pengelola wakaf yang dibentuk oleh masyarakat menjadi unit pengelola wakaf
yang berinduk kepada Badan Wakaf.
3. Organisasi pengelola wakaf adalah Pusat Wakaf yang dibentuk oleh pemerintah
untuk tingkat nasional dan propinsi dan Badan Wakaf yang dibentuk oleh
masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah.
4. Organisasi pengelola wakaf adalah lembaga wakaf yang dibentuk oleh
masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, sedangkan pemerintah dalam hal ini
membentuk Badan Pengawas Wakaf di tingkat pusat dan daerah.
5. Dan lain-lain.
7. Pengelolaan wakaf uang dll
Wakaf uang, saham, surat-surat berharga dan sebagainya merupakan bentuk
wakaf yang relatif baru di masyarakat. Pengelolaan wakaf benda bergerak, seperti
224

wakaf uang, saham dan lain-lain memiliki tingkat risiko yang perlu
diperhitungkan karena wakaf tersebut harus diinvestasikan melalui kolaborasi atau
joint venture dengan investor (pihak swasta).
Untuk itu perlukah undang-undang menetapkan bahwa pengelolaan wakaf uang,
saham, surat berharga dan lain-lain hanya dapat dilakukan oleh organisasi
pengelola wakaf yang dibentuk pemerintah.

8. Pemberdayaan dan Pengembangan Wakaf


Pemberdayaan dan pengembangan wakaf produktif merupakan sebuah langkah
maju bagi lembaga perwakafan di tanah air. Dalam rangka pemberdayaan dan
pengembangan wakaf, maka organisasi pengelola wakaf memerlukan kerjasasama
kemitraan dengan lembaga profesional. Dalam perumusan bentuk kerjasama
kemitraan itu harus memperhatikan prinsip-prinsip syariah/fikih Islam mengenai
wakaf.
Untuk itu perlukah undang-undang mengatur masalah pemberdayaan dan
pengembangan wakaf, misalnya menetapkan kriteria dan syarat-syarat kerjasama
kemitraan tersebut? Dan bagaimana hubungan pemerintah dan swasta dalam
rangka pemberdayaan dan pengembangan wakaf?
9. Penyelesaian perselisihan wakaf
Peradilan Agama perlu difungsikan sebagai peradilan syariah bagi setiap warga
negara pemeluk Islam dalam kacamata pemahaman yang komprehensif. Dalam
kedudukannya di atas maka Peradilan Agama harus diberdayakan sebagai satu-
satunya payung hukum bagi umat Islam dalam penyelesaian semua kasus-kasus
perdata dan pidana yang berkaitan dengan hukum muamalat. Peran dan fungsi
serta wewenang Peradilan Agama dari waktu ke waktu harus ditingkatkan sejalan
dengan perkembangan hukum dan kemasyarakatan.
Untuk itu perlukah undang-undang wakaf menetapkan bahwa penyelesaian kasus
yang menyangkut persoalan wakaf maupun yang menyangkut pelanggaran tindak
perdata dan pidana dalam bidang wakaf menjadi wewenang Peradilan Agama?.

10. Pembebasan pajak atas benda wakaf


Perlukah dinyatakan dalam undang-undang bahwa benda wakaf dibebaskan dari
kewajiban pajak dan biaya lainnya?

11. Pejabat KUA sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf


Bagaimana dengan kedudukan hukum pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan
(KUA) dalam Undangundang Wakaf. Perlukah ditetapkan bahwa seperti halnya
Camat ditunjuk menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), maka Kepala
KUA ditunjuk menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dengan izin dan
akreditasi dari Menteri Agama.

VI. Penutup
Demikian hal-hal yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan ini, kami
mengharapkan hal-hal tersebut dapat dibahas dalam pertemuan ini dan
menghasilkan rumusan yang disepakati bersama.
225

Setelah Position Paper diungkapkan oleh Dirjen BIPH yang dibacakan oleh
Direktur Pengembangan Zakaf dan Wakaf, Drs. H. Tulus, kemudian pimpinan
pertemuan memberikan kesempatan kepada para ulama, pakar/tokoh dan ormas
Islam agar menyampaikan pendapat dan pandangannya terkait dengan aspek-
aspek yang pelu diatur dalam RUU Wakaf.

Beberapa Pandangan dan Pendapat


Prof. DR. Amir Syarifuddin Batubara:
Tujuan dari wakaf adalah untuk kepentingan umum (keagamaan). Terkait
dengan masalah-masalah yang sering disinggung yaitu komsumtif dan produktif
itu merupakan cara, bukan tujuan dari wakaf itu sendiri;
Benda wakaf ada kalanya tidak bergerak, seperti tanah, kebun, pekarangan,
masjid dan lain-lain. Sedangkan benda wakaf bergerak seperti uang jika sebagai
alat tukar tidak bisa diwakafkan, tapi yang boleh diwakafkan adalah nilai manfaat
dari benda tersebut, sehingga dapat menghasilkan manfaat;
Jika benda wakaf berupa uang, maka seharusnya dibelikan dulu berupa benda
sehingga manfaatnya dapat dirasakan;
Wakif dari non muslim dalam kitab-kitab fikih tidak dilarang selama tidak
dikaitkan dengan sesuatu yang bertentangan dengan fikih;
Nazhir terdiri dari: perseorangan dan lembaga;
Wakaf berjangka waktu merupakan konsep yang sudah keluar dari paham
wakaf. Pendapat wakaf berjangka digulirkan oleh Imam Abu Hanifah, tapi tidak
populer di kalangan Hanafiyah;
Badan pengelola: pengurus dan pengelola tidak diperlukan Badan Pengelola,
atau tidak perlu nama lain selain nazhir wakaf;
Tarkait dengan upaya kemitraan dalam pemberdayaan wakaf diserahkan
kepada nazhir, apakah diperlukan kemitraan atau tidak;
Persengketaan: UU tentang peradilan sudah diatur, namun perlu diatur
hukuman pidana agar memiliki power;
Bagi lembaga/badan wakaf, apakah perlu dikenakan pajak atau tidak?

Prof. Drs. Asymuni Abdurrahim:


Dalam tujuan mencakup pengembangan wakaf, yang berarti pula
pengembangan pemikiran. Oleh karena itu perlu disebutkan dalam ketentuan
umum tentang pengertian wakaf.
Penyusunan dalam position paper seharusnya menyebutkan jenis-jenis wakaf,
benda-benda wakaf, wakif dan nazhir.
Kalau pengelola wakaf diharuskan berbentuk badan hukum, pertanyaannya
adalah dimana posisi nazhir perseorangan yang memang banyak di Indonesia?
Kalau yang ditekankan hanya pengelolaan uang, bagaimana pengelolaan
benda wakaf bergerak selain uang?
Bagaimana membedakan antara pengelolaan dengan pengembangan benda
wakaf?
Wakaf produktif itu dikenakan zakat atau pajak tidak? Hal ini perlu dipelajari
lebih jauh.
226

Pejabat KUA sebagai PPAIW, apakah satu-satunya lembaga yang berhak


mengeluarkan atau juga bisa lembaga lain?
Dalam penyelesaian perselisihan wakaf sebagaimana dalam PP No. 28 1977
dan KHI oleh KUA dan MUI, jika akan diterapkan hukum pidana kita sudah siap
atau belum?
KH. Hafid Usman (PBNU):
Lahirnya UU tentang Wakaf sangat diperlukan, karena praktik wakaf di Indonesia
memang bukan hal baru. Oleh karena itu, UU Wakaf kelak harus bisa melindungi
dan bisa dijadikan payung perlindungan terhadap wakaf-wakaf masyarakat agar
tetap memberi manfaat. Terkait dengan kerangka RUU Wakaf, berikut hal-hal
yang perlu dicermati:
Sebelum kita bicara banyak tentang wakaf, maka kita harus mengerti betul
terminologi wakaf itu apa saja. Memang banyak pendapat ulama sekitar akar
pemikiran wakaf, tapi mana yang akan dipakai sesuai dengan kondisi kita?
Secara konsep fikih, wakif dari non muslim jangan dibatasi karena tidak
dilarang.
Bagaimana peruntukan wakaf agar lebih memberi manfaat lebih nyata bagi
masyarakat?
Siapa pengelola wakaf, apakah badan hukum saja atau juga boleh
perseorangan? Bagaimana pola pemberdayaannya?
Perselisihan wakaf yang bersifat perdata sampai saat ini tidak masalah, tapi
kalau sudah menyangkut pidana rasanya kita belum siap.
Pemberdayaan wakaf itu perlu zakat atau pajak, perlu koordinasi dengan pihak
lain.
Terkait dengan pejabat AIW yang diserahkan kepada KUA masih sangat
relevan demi kepastian hukum.
Dalam penyusunan materi harus melibatkan pihak-pihak yang dianggap perlu.

Zainal Abidin (UII):


Mampukah RUU Wakaf yang akan disusun ini dapat mengakomodasi praktik-
praktik perwakafan yang selama ini sudah berjalan?
RUU Wakaf harus mampu memproyeksikan ke depan agar dapat membawa
dan mendorong perubahan masyarakat muslim sepanjang sesuai dengan kaidah
Islam.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan kelak harus menyebutkan:
- badan hukum pengelola wakaf harus sampai kecamatan, karena terkait dengan
teknis perwakafan masyarakat, jika badan hukum hanya berada di kabupaten akan
menyulitkan bagi calon wakif;
- SDM atau personalia kenazhiran harus dari orang-orang profesional dan dihargai
pula secara profesional;
- Harus juga disebutkan tentang sarana dan prasarana yang diperluakn dalam
pemberdayaan wakaf;

Prof. Dr. H. Achmad Sukardja, SH (UIN):


227

Kalau melihat kecenderungan masyarakat dimana ada sebagian orang yang


memiliki hak-hak sementara seperti HGB, Hak Pakai dan lain-lain, maka wakaf
berjangka sangat dimungkinkan.
Dalam penyelesaian perdata wakaf hendaknya melibatkan Badan Arbitrase
agar tidak berbelit-belit dalam proses pengadilan, yang masalahnya sudah sangat
menumpuk dan badan arbitrase itu melibatkan masyarakat dalam proses
penyelesaian sengketa.
Pengelola nazhir nasional dan daerah diperlukan Badan Koordinasi Pengelola
Wakaf.

Miftahul Munir (UIN):


Dalam pembentukan Badan Wakaf Nasional harus bisa simetris dengan Badan
Amil Zakat, sehingga badan tersebut akan lebih mudah mengelola benda-benda
wakaf yang datangnya dari pihak pemerintah.
Pembentukan UU dapat dilanjutkan dengan 3 bentuk:
- dilaksanakan dengan Kepmen;
- dilaksanakan dengan dengan PP;
- dilaksanakan sambil menggu PP, melaksanakan Kepmen.
Mungkin bisa dipertimbangkan bahwa nazhir wakaf bisa pula mengelola
benda wakaf seperti yang diungkapkan oleh Moundzer Kaff.
Dalam pembentukan BWN nantinya jangan sampai terjadi overlapping
dengan birokrasi baik pusat maupun daerah.

Dr. Uswatun Hasanah (UI):


Wakif dari non muslim yang ingin mewakafkan harta perlu diatur.
Dalam banyak kasus, banyak orang asing yang ingin mewakafkan hartanya,
oleh karena itu juga perlu diatur.
Terkait dengan wakaf uang, meskipun merupakan pendapat minoritas
(Hanafiah), pertanyaannya adalah mampukah nazhirnya? Kalau kita
membolehkan, siapa yang berhak mengelola? Tapi, yang sangat tepat untuk
mengelola adalah perbankan syariah dan dijaminkan kepada lembaga penjamin
syariah.
Dalam pembuatan klausul syarat-syarat nazhir, perlu dibedakan antara benda
tidak bergerak dan benda bergerak.
Kalau ikrar wakaf benda tidak bergerak sudah jelas karena sudah berjalan, tapi
kalau wakaf benda bergerak bagaimana bentuk ikrarnya?
Untuk menerapkan wakaf berjangka harus hati-hati, karena Maliki sendiri
yang berpendapat cukup hati-hati. Oleh karena itu bisa diterapkan khusus di
wilayah-wilayah yang memiliki kecenderungan terhadap masyarakat yang tidak
bisa berwakaf secara muabbad (abadi).
Sebagaimana dalam PP No. 28 Tahun 1977, nazhir perseorangan tidak
menjadi masalah bagi benda wakaf tidak bergerak, tapi kalau benda wakaf berupa
uang tidak bisaperseorangan (harus organisasi).
Fungsi BWN kelak adalah mengelola wakaf secara nasional dan diisi oleh
orang-orang yang ahli dalam bidangnya.
228

Hasil pemberdayaan wakaf seharusnya tidak dikenai pajak/zakat karena sama-


sama organisasi sosial.

KH. Syukri Zarkasyi (Gontor):


Melihat kecenderungan saat ini dimana diperlukan peran wakaf secara
produktif, UU tentang Wakaf harus segera diundangkan.
Dalam pengelolaan benda-benda wakaf banyak yang terdiri dari yayasan,
pertanyaannya adalah yayasan itu harus menginduk kemana?
Dalam penyusunan UU Wakaf kelak, jangan memposisikan pemerintah
sebagai penguasa yang serba mengatur sehingga dapat mengiliminir nazhir-nazhir
yang sudah ada.
Dalam pelaksanaan wakaf kelak diatur tentang ruislah sebagai upaya “uver
maslahah” dalam rangka memberdayakan benda wakaf (khususnya tanah) secara
optimal.
Dalam pemberdayaan wakaf, apakah hartanya saja atau juga peran
yayasannya? Bagi Gontor kedua-duanya harus dikembangkan. Yayasan harus
dikembangkan sehingga memiliki kekayaan selain dari wakaf.
Wakif dari non muslim perlu diakomodir dalam UU tentang Wakaf.

Muhammadiyah:
Sangat menyambut baik insiatif pemerintah yang akan menyusun UU tentang
Wakaf.
Dalam penyusunan RUU kelak perlu memperhatikan:
- harta kekayaan yang ingin diwakafkan perlu diperjelas;
- dalam pembuatan AIW perlu disebutkan wakif, nazhir, peruntukan dan ijab
qabul;
- Nazhir wakaf yang berbadan hukum harus hati-hati, apakah sesuai dengan
prinsip syariah atau tidak?
- Wakaf berjangka hakikatnya abadi, untuk itu tidak perlu dibedakan antara yang
muabbad dengan muaqqat; Untuk yang terbilang berjangka disebutkan sebagai
wakaf bersyarat;
- Jenis wakaf perlu diatur, wakif itu berhak mewakafkan sesuai dengan
kehendaknya baik pada saat hidup maupun sudah meninggal dengan cara
berwasiat;
- Pembentukan badan wakaf bisa berbentuk: Badan Wakaf (dibawah koordinasi
pemerintah) dan Lembaga Wakaf (yang dibentuk dan dikembangkan oleh
masyarakat).
- Perlu pengaturan tentang hak-hak atas tanah yang ingin diwakafkan;
- Harta wakaf yang ingin diwakafkan harus milik wakif secara sempurna dan tidak
dapat ditarik kembali;
- Bagi wakaf wasiat tidak dibolehkan melebihi dari 1/3 harta, karena sisanya ada
hak waris.

Badan Wakaf Sultan Agung Semarang:


229

Banyaknya peluang dalam pengelolaan wakaf dari lembaga internasional seperti


mengajukan kepada IDB. Ada usulan ke depan perlunya lembaga wakaf
internasional yang dikoordinasikan oleh OKI dalam rangka kesejahteraan Islam
secara global.

Prof. DR. Tahir Azhari, SH:


Peraturan perundang-undangan tentang wakaf kelak harus berbentuk Undang-
undang, jangan berbentuk Peraturan Pemerintah.
Setelah substansi makalah dicermati, belum ada yang mengatur tentang
subyek dan obyek wakaf (wakif dan benda wakaf).
Nazhir wakaf agar berbentuk badan hukum agar mudah dipantau dan
dilindungi
SDM nazhir harus dari kalangan profesional atau memiliki kemampuan
manajerial, dan kalau perlu ada kontraknya agar bisa devaluasi setiap saat.
Dalam menerapkan ancaman pidana bagi nazhir wakaf yang menyimpang
agar diberi hukuman yang tegas.
Tentang wakif dari kalangan non muslim tidak relevan untuk diangkat, karena
wakaf adalah ajaran Islam yang diperuntukkan bagi kesejehtaraan umat Islam.
Pengembangan wakaf diperuntukkan untuk kesejahteraan umum secara lebih
luas dan bukan hanya untuk masjid.

Persatuan Islam (Persis):


Undang-undang tentang wakaf harus lengkap agar bisa dijadikan sebagai
payung hukum terhadap wakaf yang sudah menjadi tradisi masyarakat.
Harta wakaf dari pihak asing juga perlu diatur.
Organisasi pengelola wakaf dibuat oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh
pemerintah. Fungsi dari pemerintah adalah mengawasi dan melindungi dengan
menjalankan UU agar dapat mengamankan benda-benda wakaf yang
disengketakan.
Perlu tindakan tegas terhadap nazhir yang menyeleweng.

Dr. Mulya Siregar (Bank Indonesia):


Dalam hal pengelolaan wakaf harus sesuai dengan syariah.
Praktik wakaf di negara-negara muslim ada kalanya yang bersifat muthlaqah
(wakif sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada nazhir untuk mengelola, dan
ada juga yang bersifat muqayyad (wakif mensyaratkan tertentu kepada
nazhir).
Dalam pengelolaan wakaf tunai yang diperoleh dari dana masyarakat
diperlukan pengelolaan secara profesional, transparan dan acountable.
Agar dalam proses pengelolaan wakaf menggunakan lembaga penjamin untuk
menghindari lost (kerugian).
Organisasi wakaf tunai perlu diatur secara lebih jelas karena terkait dengan
bank-bank syariah.
Badan Wakaf Nasional sebagai pengawas cukup di tingkat pusat karena di
tingkat wilayah sudah ada nazhir-nazhir.
230

Dr. Mustafa E. Nasution:


Kalau kita bicara wakaf harusnya kita bicara ekonomi Islam sebagai upaya
untuk menandingi sistem ekonomi kapitalis yang sudah dirasakan
ketidakadilannya. Jadi yang ada dalam benak kita sebelumnya membuat UU
tentang Wakaf agar bagaimana sistem ekonomi Islam dapat dilaksanakan tanpa
kita terjebak dalam perbedaan-perbedaan fikih.
Dalam pengelolaan wakaf uang agar sesuai dengan prinsip syariah. Dan
dengan wakaf uang akan bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, baik yang
kaya maupun tidak.

Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA:


Sebelum membuat UU, harus diketahui terlebih dahulu, apa dan bagaimana
fungsi dari UU tersebut?
- kalau untuk regulasi, apa yang boleh dan tidak?
- Jika kita akan membolehkan wakaf tunai harus disesuaikan dengan implikasi
hukumnya, sehingga tidak hanya mengotak-atik PP No. 28 1977 dan KHI saja;
Dalam tataran implementasi, struktur dan pengawas wakaf perlu diatur karena
terkait dengan lembaga dan departemen lain.
Dalam penggunaan akuntan publik untuk mengawasi pelaksanaan wakaf,
sesungguhnya tidak mudah dan tidak otomatis akuntan publik umum bisa
mengerti akuntan yang sesuai dengan prinsip syariah.

H. Fauzan Misra El Muhammady, MA:


Segera percepat penyelesaian penyusunan UU Wakaf agar segera
diundangkan.
Untuk kasus nazhir perseorangan harus diatur agar tidak ada istilah nazhir
seumur hidup dan ini yang memungkinkan terjadinya penyelewengan.
Harus diatur secara khusus pengelolaan wakaf yang pada akhirnya diserahkan
kepada pemerintah, seperti sekolah swasta dari wakaf yang sudah dinegerikan.

Mathla’ul Anwar (MA):


Dalam penyusunan RUU harus diperhatikan tentang pengaturan secara jelas
terhadap nazhir, wakif dan mauquf bih agar bisa dihindari penyimpangan.
Dalam pengelolaan wakaf uang sebenarnya MA memiliki pengalaman yang
cukup baik, yaitu melakukan pengumpulan bekerja sama dengan BRI yang
disebut dengan Dana Firdaus.

Al-Irsyad:
Wakaf itu diibaratkan seperti sumur, siapapun bisa mengambil airnya,
termasuk nazhir sendiri, tapi sumurnya tetap utuh.
Diharapkan dengan UU ini bisa memberikan perlindungan dan mengamankan
tanah-tanah wakaf.
Terkait dengan hak, seperti HAKI dapat diwakafkan.
Pendaftaran wakaf bukan semata-mata untuk mendata peralihan hak
kepemilikan tapi mendata semua perbuatan yang terkait dengan hukum Islam.
Pengelola wakaf dari badan hukum pengawasannya lebih mudah.
231

Wakaf uang tidak hanya peralihan hak milik, maka dalam ikrar wakaf harus
dicantumkan kemauan wakif.

B. Pembentukan TIM Interdep RUU Wakaf


Sebagai tindak lanjut dari upaya penyusunan Rancangan Undang-undang tentang
Wakaf, Menteri Agama memohon kepada lembaga-lembaga terkait agar
mengirimkan utusan dalam penyiapan penyusunan draft RUU Wakaf.
Lembaga yang pertama kali diminta agar menunjuk wakil yang duduk dalam Tim
Penyusun Draft RUU tentang Wakaf dari Interdep adalah Menteri Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia (HAM) melalui surat Nomor: 27/2003 tertanggal 24 Januari
2003. Dalam isi surat tersebut disebutkan bahwa pihak Departemen Agama dan
Departemen Kehakiman dan HAM sebagai penanggung jawab penyusunan dan
pembahasan dengan DPR RI sesuai kesepakatan dalam rapat sebelumnya. Dan
karena itu, pihak Departemen Agama perlu membentuk Tim Kecil yang bertugas
menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan.
Setelah surat persetujuan prakarsa penyusunan RUU tentang Wakaf dikeluarkan
oleh presiden melalui surat nomor: B.61 tertanggal 7 Maret 2003, maka
Departemen Agama mengirim surat bernomor: MA/74/2003 tertanggal 13 Maret
2003 kepada Sekretariat Negara untuk menyiapkan bahan-bahan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf.
Kemudian juga pada tanggal 17 Maret 2003 Menteri Agama mengirim surat ke
Interdep bernomor: MA/79/2003, MA/80/2003, MA/81/2003 dan MA/82/2003
secara berurutan, yaitu kepada Mahkamah Agung, Ketua Badan Pertanahan
Nasional, Gubernur Bank Indonesia dan Rektor Universitas Indonesia.
Setelah Tim Interdep terbentuk, mereka segera menjalankan tugas. Tugas yang
diemban oleh Tim Interdep adalah menggali dan menyiapkan seluruh materi yang
terkait dengan perwakafan sesuai dengan bidang masing-masing untuk kemudian
dikemas dalam klausul-klausul undang-undang. Adapun perincian dari masing-
masing tugas sebagai berikut:
Perwakilan Sekretariat Negara menyiapkan bahan yang terkait dengan sistem
penyusunan Undang-undang.
Perwakilan Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM)
menyiapkan semua unsur dan prosedur hukum dalam penyusunan UU.
Perwakilan Badan Pertanahan Nasional menyiapkan konsepkonsep peraturan
yang terkait dengan kebijakan pertanahan di Indonesia.
Perwakilan Mahkamah Agung menyiapkan hal-hal yang terkait dengan aspek
yuridis dalam peraturan perundangundangan.
Perwakilan Gubernur Bank Indonesia menyiapkan hal-hal yang berhubungan
dengan kebijakan keuangan dalam masalah perwakafan uang (cash).
Perwakilan Rektor Universitas Indonesia, dalam hal ini diwakili dari Program
Pasca Sarjana Studi Timur Tengah dan Islam menyiapkan keseluruhan konsep
penyusunan undang-undang melalui pendekatan ilmiah-akademik.

Keseluruhan aspek nilai dan norma yang disusun oleh masing-masing bidang
(spesialisasi) akan disusun secara lengkap dan utuh dalam rumusan Rancangan
232

Undang-undang tentang Wakaf. Sehingga diharapkan RUU tersebut dapat


menampung keseluruhan masalah yang terkait dengan perwakafan.

C. Penyelarasan dan Penyempurnaan Draft RUU Wakaf


Setelah semua konsep dirumuskan dan dituangkan dalam bab, pasal dan ayat
Rancangan Undang-undang tentang Wakaf, maka diadakan proses penyelarasan
oleh Tim Kecil yang dibentuk berdasarkan kesepakatan dalam rapat Tim
Penyusunan RUU tentang Wakaf. Anggota dari Tim Kecil tersebut terdiri dari
semua departemen, sehingga diharapkan dapat rumusan konsep yang utuh dan
sempurna. Upaya penyelarasan draft RUU tentang Wakaf ini terkait dengan hal-
hal sebagai berikut:
Menyelaraskan bahasa secara efektif dan efisien agar memiliki satu kesatuan
makna hukum sesuai bidang masingmasing, sehingga tidak ditemukan klausul
yang multitafsir. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya intepretasi yang
bersifat ganda yang bisa mengakibatkan sulitnya penerapan hukum itu sendiri.
Menyelaraskan pasal per-pasal dalam bab dan bab dengan bab yang lain agar
tidak terjadi tumpang tindih dan kerancuan. Urutan logika hukum dan logika
substanstif Undang-undang dapat ditemukan secara utuh, sehingga diupayakan
agar RUU sudah mencapai kesempurnaan dan lebih mudah untuk dibahas di
tingkat Dewan Perwakilan Rakyat kelak.
Tahapan akhir dalam penyusunan draft RUU adalah penyempurnaan konsep
secara keseluruhan, baik materi, substansi, urutan logika maupun panjelasan
RUU.
Proses penyempurnaannya meliputi aspek:
Penyempurnaan bahasa setiap pasal dan ayat agar lebih baik dan mengoreksi
setiap kesalahan tulis untuk diperbaiki.
Penyempurnaan dengan menambah atau mengurangi item yang dirasa perlu
untuk mendapatkan konsep RUU yang lebih ideal dan mencakup keseluruhan
masalah perwakafan, baik ditinjau dari segi hukum, konsep fikih Islam, norma
dan kebiasaan masyarakat serta hal-hal yang terkait dengan praktik perwakafan

BAGIAN KEEMPAT
PENGAJUAN RUU WAKAF KE PRESIDEN
A. Pengajuan RUU Wakaf ke Presiden RI
Setelah semua konsep RUU tentang wakaf disempurnakan di tingkat Tim
Penyusunan RUU tentang Wakaf, maka RUU Wakaf dikirimkan ke Presiden
Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Pengiriman berkas konsep RUU ini
disertai dengan surat Nomor: MA/180/2003 tertanggal 18 Juni 2003 tahap
pertama dan surat Nomor: MA/02/2004 tertanggal 5 Januari 2004 untuk tahap
kedua.
Dalam surat yang pertama disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia
bahwa sesuai dengan persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-
undang Wakaf Nomor: B.61 tanggal 7 Maret 2003, Menteri Agama
menyampaikan telah disiapkannya Rancangan Undang-undang Wakaf oleh Tim
yang terdiri dari unsur Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan HAM,
233

Sekretaris Negara, Mahkamah Agung, Badan Pertanahan Nasional, Bank


Indonesia, Universitas Indonesia dan para pakar di berbagai bidang.
Penyampaian RUU Wakaf kepada Presiden RI ini sebagai langkah mendekati
tahap akhir sebelum diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dari kantor
kepresidenan RI tersebut, konsep RUU Wakaf dipelajari dan digodok ulang oleh
pihak Sekretariat Negara agar lebih matang lagi sebelum diajukan kepada DPR
RI.

B. Pembahasan Interdep tentang Review RUU Wakaf


Konsep RUU Wakaf di tangan Sekretariat Negara diolah kembali dengan
mengundang beberapa departemen terkait dan unsur Ormas Islam dalam upaya
pembentukan Tim Perumus untuk mencermati keseluruhan materi, substansi,
urutan logis dan susunan dalam RUU Wakaf.
Pada tahap ini (di tangan Sekretariat Negara) merupakan tahapan yang cukup
krusial. Karena beberapa kali konsep RUU Wakaf dikembalikan kepada Tim
Penyusun RUU dari pihak Sekretariat Negara untuk kemudian digodok dan dikaji
ulang dalam beberapa kali pertemuan.
Memang kalau dikaji secara lebih mendalam, konsep RUU Wakaf yang telah
disiapkan oleh Tim Penyusun sudah mendekati pada tahap sempurna. Namun, dari
pihak Sekneg menelusuri secara lebih detail dan mendalam agar penyusunan
Rancangan Undang-undang sesuai dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden.
Tugas dari Tim Perumus yang dibentuk oleh pihak Sekretariat Negara adalah
mengkaji keseluruhan aspek RUU, yaitu dengan:

Menerima masukan dari berbagai pihak tentang hal-hal yang terkait dengan
fikih, paham keagamaan, aspek hukum positif, aspek kebijakan ekonomi, aspek
pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan wakaf, aspek kesejahteraan
masyarakat luas dan hal-hal lain yang dinilai perlu diatur dalam rumusan RUU
Wakaf;
Merumuskan kembali keseluruhan materi, substansi dan susunan RUU Wakaf
setelah dikaji secara lebih detail, mendalam dan menyeluruh agar tidak ditemukan
lagi kelemahan atau kekurangan yang dapat mengurangi bobot
sebuah Undang-undang.
Setelah semua tugas dari Tim Perumus diselesaikan dengan hasil rumusan baru,
kemudian diserahkan kembali kepada Menteri Agama, dan Menteri Agama
mengirimkan surat yang kedua kepada Presiden RI dengan melampirkan RUU
Wakaf rumusan baru hasil pendalaman Tim Perumus disertai penyampaian
alasan-alasan. Alasan tersebut disampaikan bahwa pembahasan RUU Wakaf
secara intensif sudah dilakukan beberapa kali di Kantor Sekretariat Kabinet pada
tanggal 18 Juni 2003, 12 September 2003, 23 September 2003, 29 Desember
2003, 3 Maret 2004 dan terakhir 29 Maret 2004. Seperti surat yang pertama,
dalam surat yang kedua disebutkan bahwa Rancangan Undang-undang Wakaf
telah disiapkan oleh Tim yang lebih lengkap, yaitu terdiri dari unsur Departemen
234

Agama, Departemen Kehakiman dan HAM, Sekretariat Negara, Mahkamah


Agung, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Keuangan (Ditjen Pajak),
Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, Menko Kesra, Bank Indonesia,
Universitas Indonesia, unsur ormas Islam seperti PB NU, PP Muhammadiyah dan
Majelis Ulama Indonesia.

C. Amanat Presiden dan Penunjukan Wakil Pemerintah


dalam Pembahasan di DPR
Setelah semua konsep RUU Wakaf dirumuskan ulang dan dikirimkan kembali
kepada Presiden RI, Presiden kemudian mengeluarkan amanatnya berdasarkan
surat nomor: R.16/PU/VII/2004 tertanggal 9 Juli 2004 yang ditujukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi: dengan ini pemerintah menyampaikan:
---------------------Rancangan Undang-undang tentang Wakaf-----------------------
untuk dibicarakan dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, guna mendapatkan
persetujuan.
Dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa untuk keperluan pembahasan
Rancangan Undang-undang tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden
menugaskan Menteri Agama guna mewakili Pemerintah. Di akhir surat
ditembuskan kepada:
1. Yth. Wakil Presiden;
2. Yth. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
3. Yth. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
4. Yth. Menteri Agama;
5. Yth. Menteri Sosial;
6. Yth. Menteri Keuangan;
7. Yth. Menteri Dalam Negeri;
8. Yth. Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kemudian pada tanggal 12 Juli 2004, Sekretariat Negara Republik Indonesia
mengirimkan surat bernomor: B.212 kepada Menteri Agama yang berisi
Penunjukan Wakil Pemerintah untuk Pembahasan RUU tentang Wakaf.
Dalam surat tersebut memberitahukan bahwa Presiden telah menunjuk Menteri
Agama untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-
undang tentang Wakaf dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Presiden memberi petunjuk agar dalam pembahasan tersebut Menteri Agama tetap
mempertahankan substansi yang telah menjadi kesepakatan Pemerintah dan
apabila terdapat rencana perubahan substansi tersebut agar melaporkannya kepada
Presiden.
Surat tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Negara, Bambang Kesowo yang
ditembuskan kepada: Yth. Presiden RI dan Wakil Presiden (sebagai laporan).

D. Persiapan Pembahasan RUU Wakaf di DPR RI


Turunnya Amanat Presiden dan Penunjukan Wakil Pemerintah dalam
Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Wakaf merupakan momentum
yang sangat menggembirakan bagi Departemen Agama sebagai inisiator
penyusunan RUU dan Tim Penyusun yang menggodok RUU Wakaf. Dan hal
235

tersebut merupakan momentum akhir dan strategis untuk diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (Komisi VI).
Merespon kepastian turunnya Amanat Presiden RI, Departemen Agama
mengadakan rapat Tim Penyusun RUU Wakaf dalam rangka mempersiapkan
secara lebih matang menghadapi proses pembahasan di tingkat Komisi VI DPR
RI.
Adapun hal-hal yang disiapkan dalam rapat tersebut sebagai berikut:
Mendalami materi, substansi dan sistematika secara detail dan menyamakan
persepsi kapada semua anggota Tim Penyusun, khususnya antar departemen yang
mewakili bidang masing-masing dalam mendampingi pemerintah (Tim
Pendamping) agar dalam proses pembahasan di DPR RI, baik dalam Rapat Kerja
Pra-Konsinyiring maupun saat Konsinyiring berlangsung. Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi simpang siur (kontradiktif) antara anggota satu dengan yang lain.
Membagi dan menunjuk juru bicara dari Tim Pendamping pemerintah dalam
rangka mengefektifkan lalu lintas permasalahan yang diungkapkan dan
dipertanyakan oleh anggota Dewan perwakilan Rakyat yang tergabung dalam
Panitia Kerja (Panja) Komisi VI.
Setelah semua proses persiapan materi RUU Wakaf, penguasaan substansi dan
teknis pembahasan bersama DPR, Departemen Agama mengirimkan draft RUU
Wakaf yang disertai Amanat Presiden RI, Megawati Soekarnoputri, kepada
Komisi VI DPR RI untuk dibahas, baik pendalaman DPR prapembahasan seperti
Rapat dengar Pendapat Umum (RDPU), Rapat Kerja maupun Pembahasan antara
DPR dengan Pemerintah di Hotel Santika pada tanggal 13 sampai dengan 18
September 2004


BAGIAN KELIMA
PROSES PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN
RUU WAKAF
Sebagai tindak lanjut dari proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Wakaf, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dalam hal ini Panitia Kerja (Panja)
dari Komisi VI yang ditugaskan menggodok RUU Wakaf yang diajukan oleh
pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

A. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Organisasi Massa


(Ormas) Islam
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) merupakan wahana penyerapan aspirasi
dan pandangan dari berbagai pihak yang terkait dengan RUU yang diajukan oleh
pemerintah untuk dijadikan bahan pertimbangan dan landasan dalam pengambilan
keputusan DPR. Meskipun, Ormas-ormas Islam sudah dilibatkan secara intensif
dalam proses penyusunan draft RUU Wakaf yang disiapkan oleh pemerintah,
namun dalam rangka untuk memenuhi tuntutan konstitusional DPR RI sebelum
mengambil keputusan-keputusan menjadi Undang- Undang, maka DPR RI merasa
perlu meminta pendapat dan usulan dari pihak-pihak yang terkait langsung dengan
wacana dan pelaksanaan perwakafan, yaitu lembaga atau organisasi
massa Islam di tanah air.
236

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa organisasi Islam seperti Nahdhatul


Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan Al-Washliyah
memiliki sejarah panjang dalam mengelola wakaf. Di lingkungan NU misalnya,
memiliki banyak pesantren, madrasah, masjid, musholla dan lembaga keagamaan
yang berstatus wakaf, khususnya tanah dan bangunan.
Muhammadiyah juga demikian, lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit,
gedung-gedung serba guna dan lembaga-lembaga usaha di bawah Muhammadiyah
banyak yang berupa wakaf. Hal sama juga terjadi di lingkungan Persis dan Al-
Washliyah yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan benda-benda wakaf,
khususnya benda-benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan.
Oleh karena itu, mereka adalah pihak yang sangat berkepentingan dan berkaitan
langsung, sehingga diminta untuk memberikan masukan dan pandangan agar
RUU wakaf yang akan dibahas pada tingkat Panja DPR ini dapat dirumuskan
secara lebih sempurna dan dapat memberikan dampak yang positif bagi
perkembangan wakaf ke depan di tanah air. Sehingga diharapkan persoalan wakaf
dapat mendorong bagi kesejahteraan masyarakat banyak, baik di bidang
pendidikan, kesehatan, peningkatan sarana ibadah, perbaikan ekonomi umat
dan kebajikan umum.
Adapun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ormas Islam ini atas
undangan Komisi VI DPR yang dilaksanakan di Gedung Nusantara I pada tanggal
26 Agustus 2004. Ormas Islam yang diundang adalah Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat, Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis)
dan Al-Washliyah. Ada beberapa hal yang disampaikan oleh Ormas Islam
tersebut, meskipun secara umum pandangan dan pendapat mereka sangat
mendukung terhadap diajukannya RUU tentang Wakaf. Beberapa pandangan dan
usulannya bisa dijabarkan sebagai berikut:

Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diwakili oleh DR. KH. Anwar Ibrahim dan
H. Amidhan secara garis umum memberikan gambaran tentang pentingnya
kehadiran Undang-Undang Wakaf. Undang-Undang ini merupakan keniscayaan
di tengah kondisi umat Islam yang memerlukan stimulasi peningkatan
kesejahteraan ekonomi. Sejarah telah membuktikan, bahwa wakaf sebagai
institusi dalam Islam telah memiliki peran yang sangat signifikan dalam
menunjang kesahteraan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan
pemberdayaan ekonomi umat.
Wacana wakaf tunai sesungguhnya sudah direspon secara positif oleh Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan keluarnya fatwa tentang wakaf
uang pada tanggal 11 Mei 2002 M/28 Shafar 1423 H. Hal tersebut sebagai upaya
MUI mendorong pengembangan sektor di bidang wakaf, khususnya yang terkait
dengan uang. Sebagai pilar penting dalam pengembangan ekonomi, wakaf uang
dan wakaf benda bergerak lainnya seperti saham dan surat berharga lainnya harus
mendapatkan perhatian secara serius oleh semua pihak, khususnya pemerintah
yang memiliki fungsi regulasi.
237

Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut dengan gembira
terhadap inisiatif pemerintah yang mengajukan RUU tentang Wakaf kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MUI berharap agar UU tentang Wakaf kelak
bisa dijadikan sandaran dan payung hukum yang dapat menstimulasi perwakafan
di tanah air. Namun dalam kesempatan kali ini Majelis Ulama memberikan
penekanan agar UU ini tidak sekedar berhenti pada aspek normatif dan tidak
dijalankan secara optimal sebagaimana mestinya.

Karenanya, Majelis Ulama memberikan usulan, pertama, dalam pasal 62 ayat (2)
RUU Wakaf yang terkait dengan masalah penyelesaian sengketa perwakafan jika
tidak ditemukan jalan tengah bisa melibatkan Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Hal ini dimaksudkan agar MUI sebagai lembaga keagamaan
memiliki fungsi kontrol dan terlibat aktif dalam setiap masalah sengketa
perwakafan. Karena bagaimanapun, wakaf merupakan bagian dari ajaran yang
memerlukan pengawalan kelembagaan seperti Majelis Ulama.

Kedua, perlunya penjelasan tentang wakaf benda bergerak seperti


tanaman.

Nahdlatul Ulama (NU)


Organisasi terbesar di Indonesia ini terhitung memiliki peran yang cukup besar
dalam pengelolaan wakaf di tanah air.
Hampir seluruh pondok pesantren, lembaga pendidikan dan tanah-tanah kekayaan
organisasi dalam naungan Nahdhatul Ulama (NU) berasal dari wakaf. Karena itu,
NU sangat berkepentingan dengan hadirnya UU tentang Wakaf. Oleh karena itu
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengajukan pendapat sebagai berikut:
1. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyambut gembira dan
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dengan pembahasan
RUU tentang Wakaf, karena PBNU melihat bahwa peraturan perundangundangan
tentang pengaturan dan pengelolaan wakaf memerlukan penyempurnaan,
meskipun relatif agak terlambat. Mengingat lahan dan potensi wakaf di Indonesia
cukup besar dan memberikan banyak harapan untuk dimanfaatkan secara optimal
guna kesejahteraan masyarakat, maka perlu diatur secara khusus. Selama ini,
wakaf diatur dalam beberapa pasal Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5
Tahun 1960) dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1877. Kekayaan Wakaf di
Indonesia yang sangat banyak lebih dimanfaatkan secara konsumtif seperti
masjid, musholla, kuburan, pesantren dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam rangka
meningkatkan potensi wakaf secara produktif, maka tidak ada alasan lain untuk
menunda pengesahan RUU Wakaf ini.
2. Substansi RUU tentang Wakaf mungkin perlu disempurnakan mengingat wakaf
adalah produk fikih yang tidak terlepas dari khilafiyah. Oleh karena itu, kehadiran
RUU tentang wakaf merupakan upaya konkrit menengahi khilafiyah yang ada,
seperti kaidah fikih:
“Hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf” (keputusan pemerintah itu mengikat
dan menghilangkan perbedaan).
238

3. Dalam RUU Wakaf perlu penegasan dan perlu penyempurnaan pada pasal-
pasal yang kurang mengakomodasi aspirasi masyarakat, misalnya pada:
Pada pasal 25, perlu ada ketegasan tentang boleh tidaknya wasiat lebih dari
1/3 harta. Kalau mendapat ijin, boleh atau tidak?
Dalam pelaksanaan wakaf uang (pasal 23 ayat (3) harus ada lembaga
penjamin (syariah) untuk menghindari terjadinya lost (kerugian), karena sifat dari
benda wakaf itu sendiri harus tetap dan bersifat abadi.
Pada bab V pasal 44 ayat (2) semestinya ada jaminan bahwa perubahan harus
tidak menyalahi syarat peruntukan yang telah ditentukan oleh wakif, karena:
“Syarthul waqif ka nashshisy-syari”
Artinya: “syarat pewakif adalah laksana nash asy-syari”
4. PB Nahdlatul Ulama menyarankan agar kekurangan-kekurangan pengaturan
dalam RUU ini dapat disempurnakan dan jika tidak memungkinkan diakomodir
dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Agama atau lainnya.
5. Dan yang terakhir, sebelum disahkan, RUU Wakaf ini agar lebih didalami dan
dicermati secara seksama oleh anggota DPR untuk disempurnakan. Diharapkan
Undang-undang ini kelak akan melindungi dan menjamin kepastian hukum wakaf
dan menjadi pendorong bagi tumbuhnya wakaf produktif demi kesejahteraan
umum.

Persatuan Islam (Persis)


Sebagaimana Majelis Ulama, Persis juga sangat menantikan kehadiran Undang-
Undang Wakaf. Bagi Persis yang memiliki pengalaman panjang dalam
pengelolaan wakaf, menganggap peraturan perundang-undang tentang wakaf saat
ini masih kurang memadai. Apalagi jika dikaitkan dengan adanya kecenderungan
umum pengembangan wakaf produktif. Di negara kita, kekayaan wakaf sangat
besar, namun yang kita lihat dan rasakan sampai saat ini masih belum
memberikan dampak kesejahteraan yang baik bagi umat Islam. Oleh karena itu,
dalam rangka meningkatkan peran wakaf di masa mendatang perlu dipayungi
sebuah Undang-undang khusus agar pengelolaan wakaf lebih baik dan meningkat
demi kesejehteraan masyarakat banyak. Ada beberapa usul yang diajukan oleh
Persis: Pertama, tentang wakaf berjangka (waktu tertentu) masih menjadi
perdebatan diantara para ulama. Oleh karenanya, jenis wakaf ini agar dipikirkan
kembali. Kedua, dalam pasal 10 yang mengatur tentang persyaratan nazhir wakaf
agar dimasukkan unsur amanah, selain yang telah disebutkan, yaitu: warga negara
Indonesia, beragama Islam, dewasa, sehat secara jasmani dan ruhani serta tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum.
Unsur amanah merupakan unsur yang cukup penting dalam pengelolaan wakaf.
Karena amanah merupakan pokok dari

91

seluruh proses keberhasilan pengelolaan dan dapat tersalurkan secara benar.


Ketiga, dalam menentukan wakaf uang agar dikiaskan dengan nilai harga mas
tertentu. Hal ini dimaksudkan agar keberadaannya memiliki standar nilai yang
239

stabil. Keempat, dalam ketentuan pidana dan sanksi administrasi agar lebih
dipertegas lagi. Karena kenyataan telah membuktikan bahwa banyak pihak yang
menyalahgunakan harta benda wakaf tanpa adanya sanksi pidana dan perdata.
Oleh karena itu, dalam Undang-undang tentang Wakaf kelak harus diatur
ketentuan pidana lebih tegas bagi pihak yang menyalahgunakan benda wakaf. Dan
yang, kelima, dalam pengelolaan wakaf agar dimasukkan dalam Peraturan
Pemerintah. Karena hal tersebut menyangkut opersional teknis.

Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah, RUU Wakaf setelah ditelaah secara
umum sudah sangat baik dan siap untuk dibahas serta disahkan
menjadi Undang-undang. Bagi Muhammadiyah yang selama ini
sudah dilibatkan dalam proses penyusunan oleh pemerintah,
RUU Wakaf dianggap sudah cukup ideal dan sudah memenuhi
aspek yuridis dalam mengayomi pengelolaan wakaf secara
produktif.
Di lingkungan Muhammadiyah sendiri, sesungguhnya sudah
dimulai kerja-kerja pengelolaan wakaf secara produktif. Namun,
sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal
disebabkan oleh kondisi riil masyarakat kita yang belum
memahami wakaf sebagai ibadah sosial. Di sisi yang lain,
keberadaan benda-benda wakaf banyak dikelola oleh nazhir
wakaf perseorangan yang minim atas profesionalitas.
Oleh karena itu, Muhammadiyah mengusulkan agar nazhir
wakaf kelak hanya berupa nazhir organisasi. Karena nazhir
perseorangan yang kebanyakan dari kalangan agamawan seperti
92
kyai, ustadz, ajengan dan lain-lain banyak yang tidak memiliki
kemampuan manajerial yang baik. Sehingga dalam
pengelolaannya tidak bisa dikontrol dan sangat memberi
peluang terjadinya penyelewengan. Sedangkan jika nazhir wakaf
berupa organisasi atau badan hukum dapat dikelola secara lebih
baik dan profesional karena adanya sistem kontrol yang baik.
Adapun usul yang disampaikan dari perwakilan
Muhammadiyah adalah agar pasal 50 dari RUU Wakaf yang
melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibuang. Pasal
tersebut berbunyi: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49, Badan Wakaf Indonesia
memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis
Ulama Indonesia. Peran MUI tersebut, bagi Muhammadiyah
agar dihilangkan karena BWI merupakan lembaga independen
yang cukup memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri
dan tidak MUI.
240

B. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan


BAZNAS/LAZNAS
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang kedua
dilakukan oleh DPR RI Komisi VI dengan Badan Zakat
Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Zakat Nasional (LAZNAS).
Maksud dari RDPU ini adalah meminta penjelasan dan
gambaran umum dari para praktisi yang mengelola langsung
terhadap harta-harta zakat. Apalagi sebagian dari mereka
memiliki pengalaman dalam pengelolaan wakaf produktif,
khususnya uang tunai.
Dari pihak BAZNAS diwakili oleh Ketua Baznas saat itu,
Bapak Prof. Dr. Achmad Subiyanto, sedangkan dari pihak LAZ
diwakili oleh beberapa organisasi nirlaba, yaitu: LAZ Dompet
Dhuafa Republika, LAZ Al-Falah, LAZ Pos Keadilan Peduli
Umat (PKPU). Adapun beberapa masukan yang mereka
kemukakan sebagai berikut:
93
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Meskipun Baznas tergolong Lembaga Amil Zakat yang relatif
baru dan terbentuknya setelah diundangkannya UU RI No. 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tapi paling tidak
BAZNAS memiliki pandangan secara lebih operasional untuk
memperbandingkan antara pengelolaan zakat dengan
pengelolaan wakaf secara lebih efektif. Bagi BAZNAS setelah
mempelajari RUU Wakaf, paling tidak ada usul yang
disampaikan:
Dalam bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 disebutkan tentang
pengertian wakaf yaitu: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan. BAZNAS mengusulkan agar
klausul tersebut ditambah dengan menurut Syariat Islam.
Terkait dengan hak nazhir wakaf dalam pasal 12 yang
berbunyi: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih
atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
besarnya tidak melebihi 12% (dua belas persen). Angka 12 persen
menurut BAZNAS terlalu tinggi. Karena amil dengan nazhir
memiliki posisi yang sama sebagai pengelola harta. Oleh
karena itu, BAZNAS mengusulkan agar hak nazhir
disamakan dengan hak amil.
LAZ Dompet Dhuafa Republika (DDR)
Sebagai sebuah lembaga yang sudah lama berkecimpung
dalam pengelolaan zakat, infak dan sedekah serta wakaf tunai,
DDR memiliki pandangan terhadap RUU Wakaf agar kelak jika
241

disahkan menjadi undang-undang dapat memberikan


perlindungan terhadap harta-harta wakaf dan menjadi pemicu
bagi tumbuhnya semangat pemberdayaan wakaf produktif.
94
Setelah dicermati, paling tidak ada beberapa catatan yang
disampaikan oleh DDR, yaitu:
Kehadiran Undang-undang Wakaf kelak jangan sampai
mengeliminir keberadaan lembaga-lembaga wakaf (nazhir)
yang ada. Karena nazhir-nazhir yang sudah ada merupakan
realitas sosial yang sudah lama dipercaya oleh masyarakat
untuk mengelola harta-harta ZIS. Harta ZIS yang sudah
dikelola, disalurkan dan dikembangkan secara baik, sehingga
diharapkan kehadiran Undang-undang Wakaf dapat
memacu pertumbuhan wakaf ke depan dan tidak
“mengancam” keberadaan lembaga-lembaga tersebut. Ada
sebuah asumsi di lingkungan LAZ bahwa kehadiran UU
Wakaf kelak justru akan membatasi bahkan menghilangkan
peran lembaga-lembaga tersebut dengan adanya usulan
Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Pengelola wakaf (nazhir) memiliki tugas selain
memberdayakan harta-harta wakaf yang ada, harus pula
mengumpulkan harta wakaf dalam rangka meningkatkan
jumlah kekayaan wakaf. Sehingga dengan demikian, dari
hari ke hari, kekayaan wakaf diharapkan dapat bertambah
dan dapat ditingkatkan pemberdayaannya secara lebih luas.
Dalam pasal 10 dikatakan: syarat-syarat nazhir adalah WNI,
beragama Islam, dewasa, amanah, sehat secara jasmani dan
ruhani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Dalam point sehat jasmani dan ruhani ditambah kemudahan
bagi mereka yang memiliki kekurangan jasmani, tapi mampu
secara ruhani dengan “mampu” bukan “sehat”. Karena kata
“mampu” memiliki makna yang lebih luas, sehingga tidak
mengeliminir peran bagi mereka yang cacat secara jasmani
tapi mampu secara ruhani.
Dalam pasal 28 disebutkan: wakif dapat mewakafkan benda
bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang
ditunjuk oleh Menteri belum jelas mekanismenya. Oleh karena
95
itu, dalam Peraturan Pemerintah kelak agar diatur secara
detail mekanisme tersebut.
LAZ Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
Sebagai lembaga pengelola harta Zakat, Infak dan Sedekah
(ZIS), termasuk wakaf tunai yang sudah berpengalaman, PKPU
sangat berkepentingan dengan hadirnya UU Wakaf. Namun,
secara umum PKPU menyesalkan kepada pemerintah (dalam hal
ini Departemen Agama) yang sejak awal tidak melibatkan
242

lembaga-lembaga pengelola zakaf (LAZ), yang secara teknis


menguasai pengelolaan harta ZIS dan juga wakaf. Namun,
sebelum RUU Wakaf ini dibahas dan diundangkan menjadi UU
Wakaf, PKPU menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Sebelum kita menyusun sebuah Rancangan Undang-undang
tentang Wakaf, sebaiknya kita memahami terhadap landasan
wakaf secara lebih mendalam. Sehingga wakaf dapat
dijabarkan dan dikelola secara lebih operasional dan tidak
ditempatkan sebagai ajaran yang hanya berhenti pada aspek
ibadah belaka. Wakaf sesungguhnya memiliki tujuan dan
substansi terhadap kesejahteraan sosial. Untuk itu, dalam
menyusun RUU Wakaf harus lebih matang, dan kalau
memungkinkan agar DPR tidak terburu-buru untuk
membahas. Lebih baik mengkaji lebih mendalam terlebih
dahulu, namun akan menghasilkan UU Wakaf yang
komprehensif dan dapat mendorong bagi tumbuhnya
semangat pemberdayaan wakaf secara produktif.
Dalam hal peran nazhir wakaf, agar lebih diberikan porsi
yang maksimal, sehingga harta wakaf dapat dikembangkan
secara optimal.
Dalam klausul pengadministrasian harta wakaf yang
melibatkan pemerintah, khususnya KUA sebagai Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), agar dihilangkan.
Karena keterlibatan pihak pemerintah akan menambah
96
rumitnya birokrasi wakaf yang tidak perlu. Dengan demikian
peran nazhir wakaf harus lebih ditingkatkan, sehingga
pengelolaan wakaf murni ditangani oleh pihak masyarakat
(swasta).
LAZ Al-Falah
Sebagaimana lembaga LAZ lainnya, Al-Falah yang memiliki
kantor pusat di Surabaya juga telah memiliki pengalaman dalam
pengelolaan harta ZIS. Adapun usul dam masukan dari Al-Falah
dapat dijabarkan sebagai berikut:
Sebagai sebuah lembaga yang sudah melembaga dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, wakaf seharusnya diatur
secara lebih lengkap dan memberikan peluang bagi
tumbuhnya pemberdayaan secara produktif untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam pasal 33 yang berbunyi: Dalam pendaftaran harta
benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW
menyerahkan: salinan akta ikrar wakaf; surat-surat dan/atau
bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
Proses pendaftaran harta wakaf agar nantinya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan
Menteri Agama (KMA), sehingga memudahkan bagi
243

masyarakat yang ingin mewakafkan hartanya (wakif). Upaya


ini dilakukan agar tidak ada perasaan dari para calon wakif
merasa berat untuk mewakafkan hartanya.
Dalam pasal 38 yang berbunyi: Menteri dan Badan Wakaf
Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf
yang telah terdaftar. Apakah diperlukan pemerintah dan BWI
selalu mengumumkan semua jenis harta wakaf yang telah
terdaftar? Kalau memang dianggap perlu, maka harus
diperjelas lagi, sehingga nantinya tidak tumpang tidih
terhadap tugas-tugas nazhir yang juga memiliki tugas
97
mengumumkan semua hasil pengelolaan wakaf kepada
masyarakat.
Terkait dengan wakaf uang, apakah uang itu yang
diwakafkan ataukah hasil dari pengelolaannya yang
diwakafkan? Untuk itu perlu ditegaskan dalam Undang-
Undang sehingga dapat dijabarkan kepada masyarakat secara
lebih operasional.
Wakaf berjangka yang disebutkan dalam RUU Wakaf ini
perlu didiskusikan kembali, karena kalau melihat dari sifat
wakaf itu sendiri bersifat abadi.

C. Rapat Kerja Komisi VI DPR RI dengan Menag RI


Dalam Rapat Kerja yang dilaksanakan pada tanggal 6
September 2004 di Ruang Sidang DPR RI Komisi VI ini
dilakukan dalam rangka meminta penjelasan pemerintah cq.
Departemen Agama RI terhadap RUU tentang Wakaf yang akan
dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi VI.
Adapun penjelasan pemerintah terhadap RUU tentang
Wakaf tersebut sebagai berikut:
Segala puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa, atas berkat, rahmat dan karunia-Nya kita diberikan
kekuatan dan kesempatan untuk bersama-sama melaksanakan
tugas konstitusional yang sangat penting bagi kehidupan bangsa
dan negara Indonesia yang kita cintai bersama. Untuk
memenuhi ketentuan Pasal 123 Keputusan DPR-RI
No.03A/DPR-RI/2001 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, perkenankanlah kami
menyampaikan penjelasan pemerintah atas Rancangan Undang-
Undang yang kami usulkan.
a. Latar Belakang
244

Wakaf sebagai perbuatan hukum telah lama melembaga dan


dipraktekkan dalam kehidupan umat Islam di tanah air kita.
98
Pengaturan mengenai wakaf selama ini tertuang dalam Undangundang
Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) yang
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik). Masalah wakaf
juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991) yang
menjadi pedoman bagi Hakim Peradilan Agama di seluruh
Indonesia. Peraturan yang ada itu dan tersebar tersebut
dirasakan kurang memadai karena permasalahan wakaf yang
mengemuka di masyarakat atau yang dihadapi oleh lembaga
keagamaan yang bertindak sebagai nazhir dari waktu ke waktu
kian berkembang. Di samping itu masyarakat amat
membutuhkan pengaturan mengenai wakaf produktif dan wakaf
uang yang selama ini belum diatur dalam regulasi wakaf di
negara kita.
Kita perlu melakukan penyatuan hukum bagi perundangundangan
yang mengatur tentang Wakaf dalam satu undangundang
yang akan dilengkapi berbagai peraturan perundangundangan
di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan sebagainya.
Dengan akan diundangkannya Undang-undang Wakaf ini yang
sedang diajukan kepada Dewan adalah merupakan
penggabungan dari beberapa peraturan yang ada seperti Undangundang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (LN.1960-104 TLN.2043), Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang
Petunjuk Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak
Milik Atas tanah (LN.1963-61 TLN.2555), Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik (I-N.1977-38,TLN.3107).
Sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
25 tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
99
(PROPENAS) tahun 2000-2004 dan Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999 Tentang Garis Besar Haluan Negara Tahun
1999-2004 yang antara lain menetapkan arah kebijakan
pembangunan hukum, maka penyusunan Rancangan Undang-
Undang Wakaf merupakan bagian inheren dengan penataan
Sistem Hukum Nasional. Sistem Hukum Nasional seperti
dimaksud dalam GBHN adalah yang bersifat menyeluruh,
terpadu dengan mengakui dan menghormati Hukum Agama
serta Hukum Adat. Dengan adanya Undang-undang Wakaf,
245

maka pengembangan wakaf akan memperoleh dasar hukum


yang lebih kuat, dan dapat menampung perkembangan
perwakafan di tanah air tercinta.
b. Tujuan Penyusunan RUU Wakaf
Penyusunan Rancangan Undang-undang Wakaf bertujuan
sebagai berikut:
1. Mengunifikasikan berbagai peraturan tentang wakaf;
2. Menjamin kepastian hukum dalam bidang wakaf;
3. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif, nazhir
perorangan, organisasi maupun badan hukum;
4. Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung
jawab bagi para pihak yang mendapat kepercayaan mengelola
wakaf;
5. Sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan
penyelesaian perkara dan sengketa wakaf;
6. Mendorong optimalisasi pengelolaan dan pengembangan
wakaf; dan
7. Memperluas pengaturan mengenai wakaf sehingga
mencakup pula wakaf benda tidak bergerak dan wakaf benda
bergerak termasuk wakaf uang.
100
c. Sasaran Yang Ingin Diwujudkan
Sasaran yang ingin diwujudkan melalui penyusunan
Rancangan Undang-undang tentang Wakaf adalah:
1. Terciptanya tertib hukum dan tertib administrasi tentang
wakaf dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan
dan pemanfaatan benda wakaf sesuai dengan sistem
ekonomi syari`ah;
3. Tersedianya landasan peraturan perundang-undangan bagi
pembentukan Badan Wakaf Indonesia.
4. Terwujudnya akumulasi aset wakaf sebagai alternatif
pengembangan potensi ekonomi wakaf dan sebagai sumber
pendanaan bagi pembangunan kesajahteraan masyarakat.
d. Pokok-Pokok Pembahasan RUU Wakaf
Pokok-pokok pembahasan RUU Wakaf secara garis besar
terdiri dari 11 (sebelas) Bab dengan uraian singkat sebagai
berikut:
a. BAB I
KETENTUAN UMUM.
Bab ini membahas tentang ketentuan umum yang berisi
penjelasan atau pengertian dari beberapa istilah yang dipakai
dalam RUU Wakaf yaitu:
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
sebagian harta miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya
atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya
246

guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum


menurut syari`ah.
Wakif adalah pihak yang mewakafkan benda miliknya.
Nazhir adalah pihak yang menerima dan mengelola benda
wakaf untuk dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
101
Benda wakaf adalah benda yang diwakafkan oleh wakif yang
memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang serta
mempunyai nilai ekonomi menurut syari`ah.
Pejabat pembuat akta ikrar wakaf adalah pejabat berwenang
yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk membuat akta
ikrar wakaf.
b. BAB II
DASAR-DASAR WAKAF
Bab ini membahas tentang tujuan dan fungsi wakaf, rukun
dalam perwakafan, benda-benda wakaf, ikrar wakaf serta
peruntukan benda wakaf. Wakaf bertujuan mengekalkan
manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan. Rukun
wakaf meliputi wakif, nazhir, benda wakaf, ikrar wakaf dan
peruntukan wakaf. Wakif dalam undang-undang ini meliputi
perorangan, baik warga negara Indonesia atau warga negara
asing, organisasi atau badan hukum Indonesia atau badan
hukum asing.
Nazhir yang selama ini tradisional dalam Undang-undang
ini nazhir mengarah pada nazhir profesional yang terdiri dari
perorangan, organisasi atau badan hukum yang bertugas
disamping menjaga harta wakaf untuk kepentingan ibadah juga
memberdayakan dan mengelola secara ekonomis dan produktif.
Benda wakaf selama ini baru berupa benda tidak bergerak
(tanah milik), dalam undang-undang ini benda wakaf antara lain
meliputi: benda tidak bergerak dan benda bergerak termasuk
uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas
intelektual (Haki) dan lain-lain.
102
c. BAB III
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN BENDA
WAKAF
Bab ini menjelaskan bahwa seluruh benda wakaf harus
didaftarkan kepada pemerintah, dan selanjutnya pihak
pemerintah wajib mendaftar benda wakaf dimaksud dan
mengumumkan kepada masyarakat. Agar jaminan kepastian
hukum atas wakaf dapat dilindungi, maka jaminan tersebut
berupa akta ikrar wakaf atau dalam bentuk sertifikat tanah
wakaf.
d. BAB IV
PERUBAHAN STATUS BENDA WAKAF
247

Bab ini menerangkan bahwa benda yang telah diwakafkan


tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual,
diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya. Adapun perubahan status dapat dimungkinkan apabila
untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata
ruang dengan memperoleh ganti rugi sekurang-kurangnya sama
dengan nilai benda wakaf semula dan mendapat izin tertulis dari
Menteri Agama serta persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
e. BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN BENDA
WAKAF
Bab ini menerangkan sistem, cara pengelolaan dan
pengembangan benda wakaf yang dilakukan secara produktif
sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak bertentangan
dengan prinsip syari`ah. Pengelolaan benda wakaf selain
berfungsi sebagai sarana ibadah diarahkan untuk dapat dikelola
dan dikembangkan untuk mendukung ekonomi umat.
103
f. BAB VI
BADAN WAKAF INDONESIA
Bab ini menerangkan tentang perlunya dibentuk Badan
Wakaf Indonesia yang independen dalam melaksanakan
tugasnya. Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di Ibukota
Negara Republik Indonesia, dan bertugas melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta wakaf. Tugas lain Badan Wakaf
Indonesia antara lain memberikan persetujuan dan perubahan
peruntukan status benda wakaf, Badan Wakaf Indonesia dapat
pula mengelola dan mengembangankan wakaf berskala
internasional. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Wakaf
Indonesia dapat bekerja sama dengan instansi terkait baik
pemerintah atau swasta. Pembiayaan bagi pelaksanaan tugas
Badan Wakaf Indonesia dibebankan pada anggaran Badan
Wakaf Indonesia sendiri.
Pertanggung jawaban Badan Wakaf Indonesia dilakukan
melalui audit yang dilakukan oleh lembaga audit independent,
selanjutnya hasil audit diumumkan kepada masyarakat.
g. BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA
Bab ini menerangkan tentang penyelesaian sengketa yaitu:
bahwa dalam hal penyelesaian sengketa wakaf dapat ditempuh
melalui musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak berhasil
maka penyelesaiannya melalui mediasi, arbitrase atau
pengadilan.
h. BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
248

Bab ini menerangkan bahwa pemerintah wajib melakukan


pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf
dengan melibatkan Badan Wakaf Indonesia dan Majelis Ulama
104
Indonesia. Dalam melakukan pembinaan pemerintah dan
Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan
organisasi kemayarakatan, para ahli dan badan-badan
internasional yang bergerak di bidang wakaf.
i. BAB IX
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI
ADMINISTRASI, BAB X KETENTUAN PERALIHAN
DAN BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Bab-bab ini merupakan pasal-pasal yang mengatur tentang
hukum pidana dan sanksi administrasi, ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup, yang terdapat pada setiap RUU sebagai
bagian dari ketentuan formal Undang-undang.
Demikian penjelasan pemerintah mengenai latar belakang
penyusunan RUU Wakaf dan pokok-pokok materi RUU Wakaf
sebagai pengantar pembahasan lebih lanjut. Kami yakin
pembahasan atas RUU tentang Wakaf ini akan semakin
memantapkan konsep dan peran serta kedudukan Wakaf dalam
melaksanakan pembangunan masyarakat di bidang Perwakafan
untuk kesejahteraan umat.

Tanggapan Fraksi-fraksi DPR RI


Dari penjelasan pemerintah ini kemudian anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VI menyampaikan pandangan
umumnya terkait dengan RUU tentang Wakaf yang diajukan
oleh pemerintah sebagai berikut:
Fraksi Partai Golkar (FPG)
Fraksi Partai Golkar (FPG) menyambut dengan gembira
terhadap inisiatif Pemerintah yang menyampaikan Rancangan
Undang-undang tentang Wakaf. Langkah penyampaian RUU
Wakaf ini merupakan langkah maju dalam rangka kita bersama
dapat memberikan status hukum positif terhadap nilai-nilai
105
agama yang dijadikan landasan amal saleh oleh sebagian besar
rakyat Indonesia yang beragama Islam.
Wakaf adalah suatu amal yang mempunyai kaitan dengan
kepemilikan dan peruntukan harta kekayaan yang berasal dari
pribadi, keluarga maupun lembaga untuk lebih luas.
Kemanfaatan dari suatu harta untuk kepentingan bersama
tersebut di dalam wakaf diserahkan kepada satu mekanisme dan
249

manajemen yang akan mengatur lebih lanjut. Dan sifat dari


pemanfaatan harta atau benda ini bersifat permanen atau untuk
selama-lamanya.
Secara sosiologis, wakaf merupakan bagian dari sumber
kekayaan yang dapat dijadikan sarana untuk melakukan
kebajikan-kebajikan umum, baik kebajikan ibadah mahdhah
kebajikan ibadah sosial. Oleh karena itu penting dilakukan
pengaturan dan penataan, baik yang bersifat administratif,
maupun manajerial yang terkait dengan wakaf. Dengan
demikian praktek wakaf yang sudah dilaksanakan berabad-abad
di kalangan masyarakat muslim ini, perlu diatur secara khusus
dan terukur, sehingga dapat dilakukan pengawasan terhadap
penggunaan harta wakaf sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama.
Oleh karena itu, maka rancangan Undang-Undang tentang
Wakaf ini merupakan terobosan yang sudah lama kita tunggu.
Sehingga dengan adanya Undang-Undang ini merupakan suatu
kemajuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia dalam
melengkapi peraturan perundang-undangan wakaf yang sudah
ada.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dengan
mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, Fraksi Partai Golkar
menyatakan setuju untuk dapat bersama dengan Fraksi-fraksi
lain membahas RUU ini sesuai dengan Tata tertib yang ada. Halhal
terkait dengan usul-usul, saran, perbaikan dan
penyempurnaan selanjutnya akan disampaikan dalam Daftar
106
Inventarisasi Masalah (DIM) maupun di dalam rapat PANJA
dan seterusnya sampai kepada tingkat II yang akan datang.

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP)


Bagi FPDIP, wakaf adalah suatu hukum dimana seseorang
memisahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
guna kepentingan ibadah, baik ibadah mahdhah maupun sosial.
Oleh karena itu, hal tersebut harus didukung dan digalakkan
pelaksanaannya di tengah-tengah masyarakat.
Dalam pelaksanaan wakaf tersebut, FPDIP mengharapkan
agar landasannya sesuai dengan syariah Islam, karena tujuan dari
wakaf itu sendiri adalah untuk mengekalkan manfaat benda
wakaf sesuai dengan fungsinya. Namun, dalam rangka upaya
pengekalan manfaat tersebut, harus juga diupayakan agar wakaf
memiliki fungsi sosial dengan pemberdayaan demi kepentingan
kesejahteraan sosial.
Di samping itu, FPDIP sangat mendukung agar segera
membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) mulai dari Pusat
250

hingga ke daerah-daerah (kecamatan) yang merupakan lembaga


independen dalam melaksanakan tugasnya. Badan ini nantinya
bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan, melakukan
pengelolaan dan pembangunan, memberikan saran persetujuan
kepada pemerintah dalam hal perubahan status benda wakaf.
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB)
RUU tentang Wakaf yang kini ada tangan komisi VI DPR
RI siap untuk dilakukan pembahasan. RUU ini sesungguhnya
telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat, khususnya umat
Islam yang kelak akan menjadi payung hukum dalam
penanganan, pengelolaan, pendayagunaan dan pertanggung
jawaban terhadap benda atau barang wakaf.
Sebagaimana dimaklumi, penyerahan benda atau barang
untuk wakaf selama ini telah berkembang di tengah kehidupan
107
umat Islam. Hal tersebut menandai tumbuhnya kesadaran
kolektif keagamaan dalam rangka perkembangan agama Islam,
terutama meningkatkan syiar Islam dan pendidikan. Namun,
pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf selama ini berjalan
secara apa adanya, tanpa acuan pengelolaan yang baku, bahkan
tak jarang muncul perselisihan menyangkut harta wakaf. Kondisi
ini disiapkan belum adanya payung hukum, baik berupa
peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain, yang
menjadi pedoman bagaimana mekanisme dan ketentuan yang
berkaitan dengan harta dan benda wakaf.
Harta wakaf selama ini merupakan aset dan kekayaan umat
yang sangat besar. Fraksi Kebangkitan Bangsa berpandangan,
harta wakaf itu bisa menjadi aset umat yang produktif dan
bermanfaat besar bagi kehidupan umat, kalau dikelola dan
diarahkan oleh sebuah institusi atau perorangan yang memiliki
jiwa amanah, bertanggungjawab dan profesional dalam
mengelola harta wakaf. UU tentang Wakaf ini diharapkan
mampu mengarahkan spirit pengelolaan harta wakaf ke arah
idealisme seperti itu.
FKB mencatat, ada beberapa poin penting yang meliputi
perhatian kalangan pimpinan ormas yang memberikan masukan
dalam proses pembahasan RUU ini. Antara lain adalah: wakif
dari kalangan non muslim, waqaf secara tunai atau berupa uang,
harta wakaf yang tidak boleh diubah pemanfaatannya, struktur
organisasi dan persyaratan bagi nazhir dan lain-lain.
Dari masukan yang ada, FKB berkesimpulan bahwa telah
terjadi perkembangan dinamis, maka mau tidak mau kita
memerlukan pijakan dari perspektif ketentuan fiqih Islam yang
juga mengalami perkembangan dinamis. Artinya, FKB
mengharapkan, ketentuan apapun yang akan kita bahas dan kita
ditetapkan dalam UU ini, harus tetap berpijak pada garis yang
251

ditentukan menurut perspektif fiqih.


108
Kami juga berpandangan agar hadirnya UU ini tidak
mendistorsi eksistensi lembaga-lembaga yang selama ini
menagani harta wakaf. Hal ini penting diperhatikan, karena
pandangan seperti juga merupakan aspirasi yang muncul dari
kalangan tokoh ormas yang memberikan masukan kepada
Dewan.
Terkait dengan RUU ini FKB berpandangan kelak
Pemerintah atau lembaga yang memberikan perlindungan,
memfasilitasi, mengarahkan, mengoordinasikan dan
menyinergikan pengelolaan wakaf, sehingga benda atau harta
wakaf bisa memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan
umat, sesuai dengan tujuan disyaratkannya wakaf tersebut.
Demikianlah Pandangan Umum Fraksi Kebangkitan Bangsa
atas RUU tentang Wakaf. Akhirnya, FKB menyampaikan
kesiapan untuk membahas dan menidaklanjuti RUU ini
sehingga bisa disahkan tepat waktunya, dan menjadi UU yang
aspiratif dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP)
Wakaf adalah salah satu pranata keagamaan yang kita
dikelola secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip syariah
akan memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang tidak hanya
bermanfaat untuk kepentingan ibadah, namun juga kepentingan
kesejahteraan umum. Namun demikian, wakaf dalam praktiknya
belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien. Dalam berbagai
kasus, harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana
mestinya, terlantar, atau bahkan beralih tangan ke pihak ketiga
secara melawan hukum, akibat kelalaian Nazhir maupun
masyarakat, fungsinya melenceng dari tujuan semula.
Wakaf itu sendiri merupakan perbuatan hukum yang telah
lama hidup dan dilaksanakan di masyarakat. Namun demikian,
sistem pengaturannya selama ini belum lengkap dan masih
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk
109
itu, guna memaksimalkan pengelolaan harta benda wakaf secara
efektif dan efisien dan guna memenuhi kebutuhan hukum
dalam rangka pembentukan hukum nasional maka dibentuk
Undang-Undang tentang Wakaf sebagaimana yang akan kita
putuskan pengesahannya pada hari ini.
Setelah FPP mempelajari secara seksama terhadap RUU
tentang Wakaf yang diajukan oleh pihak pemerintah, FPP
menyatakan kesiapannya untuk membahas bersama dengan
fraksi-fraksi lain. FPP berharap, dalam pembahasan kelak dapat
diselesaikan dalam waktu yang cepat sebelum berakhirnya masa
bhakti DPR RI periode 1999 - 2004
252

Fraksi Reformasi (FR)


Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia telah diberi
panduan bagaimana mengembangkan kehidupan sosial dan
ekonomi. Manusia tidak boleh hidup dalam kelompok keluarga
yang terbatas tetapi harus berkembang dalam kehidupan
masyarakat melalui berbagai kerjasama dan tolong menolong
antara satu dengan lain.
Amalan wakaf telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Abu
bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabatnya. Dari dana
wakaf masjid-masjid didirikan, kegiatan dan aktivitas Islam
dilaksanakan.
Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan wakaf dalam ajaran
Islam amat tinggi nilainya. Paling tidak ada tiga dimensi dalam
ajaran wakaf, yaitu pertama memberi pahala yang berganda
kepada orang yang berwakaf, kedua menunaikan tanggungjawab
sosial untuk membantu golongan masyarakat yang kurang
mampu, dan ketiga meningkatkan syiar Islam.
Dalam era pembangunan dan kemajuan ekonomi yang
sedang berlangsung saat ini, institusi Islam seperti wakaf
hendaklah digerakkan bersama-sama menyertai arus
pembangunan. Hal ini akan membuktikan bahwa Islam
110
merupakan ajaran yang dinamik dan progresif sesuai dengan
perkembangan dan perubahan masa.
Untuk menanggapi penjelasan pemerintah mengenai
Rancangan Undang-undang tentang Wakaf, perkenankanlah
FR menyampaikan beberapa pandangan berikut ini:
Pertama, sararan yang ingin diwujudkan
Penyusunan rancanagn Undang-undang tentang Wakaf pada
dasarnya dalam rangka menciptakan tertib hukum dan tertib
administrasi tentang wakaf, terjaminnya kesinambungan dan
optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan benda wakaf sesuai
dengan ekonomi syariah dan memberikan landasan peraturan
perundang-undangan bagi pelaksanaan perwakafan
Fraksi Reformasi mengharapkan agar tujuan tersebut dapat
dicapai secara konsisten dan dibingkai secara demokratis melalui
Rancangan Undang-undang yang kita akan bahas nanti.
Kedua, pendaftaran dan pengumuman
Dalam rancangan undang-undang ini dijelaskan bahwa
seluruh benda wakaf harus didaftarkan kepada pemerintah dan
selanjutnya pihak pemerintah wajib mendaftar benda wakaf
dimaksudkan dan mengumumkan kepada masyarakat.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk jaminan kepastian
hukum atas wakaf dapat dilindungi maka jaminan tersebut
berupa akta ikrar wakaf atau dalam bentuk sertifikat tanah
wakaf.
253

Terhadap rumusan ini, Fraksi Reformasi mengharapkan agar


pendaftaran dan pengumuman ini disederhanakan sehingga
tidak memberatkan masyarakat tetapi hanya bersifat
administratif karena pada dasarnya wakaf merupakan kegiatan
sosial yang bersifat sukarela yang tidak perlu melalui birokrasi
yang sangat panjang.
111
Ketiga, pengelolaan dan pengembangan benda wakaf
Dalam Rancangan Undang-undang ini dinyatakan sistem,
tata cara pengelolaan dan pengembangan benda wakaf yang
dilakukan secara produktif pelaksanaannya harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Fraksi Reformasi menegaskan
bahwa pengelolaan benda wakaf harus betul-betul untuk
mewujudkan sarana ibadah yang dikembangkan untuk
mendukung kegiatan ibadah dan kegiatan ekonomi masyarakat.
Keempat, Badan Wakaf Indonesia
Dalam Rancangan Undang-undang ini dijelaskan tentang
perlunya pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang
independen dalam melaksanakan tugasnya. Keberadaan Badan
Wakaf ini mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap nahzir dalam mengelola dan
mengembangkan harta wakaf.
Terhadap keberadaan Badan Wakaf ini Fraksi Reformasi
berpendapat agar kewenangannya tidak terlalu luas dan tidak
bersifat sentralistik serta konsisten dengan semangat otonomi
daerah dan desentralisasi. Sekali lagi, Fraksi Reformasi
menegaskan agar Rancangan Undang-Undang ini betul-betul
mewadahi semangat otonomi daerah dengan memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah atau pejabat yang
berwenang.
Kelima, pembinaan dan pengawasan
Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan, Rancangan
Undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah wajib
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan wakaf dengan melibatkan Badan Wakaf dan
Majelis Ulama Indonesia.
112
Pengaturan masalah pembinaan ini hendaknya tidak terlalu
kaku, tidak bersifat intervensi dan tidak mengekang masyarakat.
Pembinaan hendaknya diartikan sebagai salah bentuk untuk
memberdayakan Badan Wakaf yang bersifat demokratis.
Demikian pemandangan umum Fraksi Reformasi terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf, dan selanjutnya
dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, Farksi Reformasi
254

“menyetujui” untuk dibahas pada tahap berikutnya.


Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB)
Sebagaimana kita ketahui Rancangan Undang-Undang
tentang Wakaf ini lebih setahun menjadi wacana dalam Rapatrapat
Kerja dan rapat-rapat Dengan Pendapat antara Komisi VI
dan pihak Departemen Agama.
Dibandingkan dengan draf Rancangan Undang-Undang
tentang wakaf yang diajukan oleh Menteri Agama kepada
Presiden lebih setahun yang lalu, maka draf Rancangan Unfang-
Undang tentang Wakaf yang disampaikan oleh Presiden kepada
DPR-RI dengan surat tanggal 9 Juli 2004 dan sekarang kita
bicarakan mengalami banyak perbaikan. Namun demikian tentu
dalam pembicaraan-pembicaraan selanjutnya antara fraksi-fraksi
dalam komisi dan pemerintah masih akan ada usul-usul
perbaikan-perbaikan lebih lanjut.
Kami menghargai sumbangan-sumbangan pikiran yang
disampaikan oleh masyarakat, yang dalam hal ini diwakili oleh
organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga seperti antara lain
PB. Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, PP Persis, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, Baznas,
Yayasan Dana Sosial Al-Falah dan lain-lain. Masukan-masukan
dari masyarakat ini sungguh membantu kami dan memperluas
wawasan kami. Kami sangat berterima kasih.
Waktu yang tersedia untuk menyelesaikan Rancangan
Undang-Undang ini sangat terbatas, hanya berbilang hari,
113
sebelum masa bhakti DPR-RI 1999-2004 berakhir. Tapi dengan
mengharapkan hidayah dan taufiq serta maunah dari Allah
SWT, kemudian dengan kerja keras dan kerjasama yang baik
antara fraksi-fraksi dalam komisi, serta antara komisi dan
pemerintah, kami ber-husnudzan rancangan Undang-Undang
tentang Wakaf ini dapat kita selesaikan dengan baik pada
waktunya.
Tidak berlebihan kalau kami nyatakan, bahwa dalam
pembicaraan-pembicaraan permulaan Rancangan Undang-
Undang ini dalam komisi, kami menangkap kesan adanya
kemauan dan semangat yang tinggi dari pimpinan dan seluruh
fraksi-fraksi dalam komisi untuk menyelesaikan Rancangan
Undang-Undang ini sebelum masa bhakti berakhir. Kami sangat
percaya bahwa pada pihak pemerintahpun terdapat kemauan
dan semangat yang sama. Semoga Allah SWT menolong,
memberkahi dan meridlai upaya-upaya kita ini.
Selanjutnya kami menyatakan kesiapan kami untuk
menyertai Fraksi-fraksi membicarakan Rancangan Undang-
Undang tentang wakaf ini, seraya mengharapkan kerjasama yang
baik dari semua pihak terkait, terutama dari pemerintah dan
255

fraksi-fraksi dalam komisi. Dan untuk itu semua, kami


menyampaikan penghargaan dan terima kasih.
Fraksi TNI/POLRI
Wakaf telah lama melembaga dan dipraktekkan dalam
kehidupan umat Islam di tanah air kita. Di dalam wakaf terjadi
penyerahan harta benda kepada seseorang atau lembaga sebagai
harta amanah untuk ditahan dan dimanfaatkan guna kebaikan
karena mencari ridho Allah.
Pengaturan wakaf selama ini telah diatur dalam Undangundang
Pokok Agraria ( Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960) yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Milik.
114
Masalah wakaf juga dimuat dalam kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Inpres RI Tahun 1991 ) yang menjadi pedoman bagi
Hakim Peradilan Agama di seluruh Indonesia.
Peraturan yang sudah ada tersebut kurang memadai karena
permasalahan wakaf yang mengemuka di masyarakat atau yang
dihadapi oleh lembaga keagamaan yang bertindak sebagai Nazhir
dari waktu ke waktu semakin berkembang. Disamping itu wakaf
perlu dikelola secara efektif dan efisien karena memiliki potensi
dan manfaat ekonomi guna kepentingan ibadah dan memajukan
kesejahteraan umum.
Masyarakat amat membutuhkan pengaturan mengenai wakaf
ini baik itu wakaf produktif dan wakaf uang yang selama ini
belum diatur dalam regulasi wakaf.
Kekayaan yang diserahkan untuk wakaf tidak bisa dihibahkan,
tidak bisa diwariskan atau dijual oleh yang menerima harta
benda amanah.
Pemerintah memang sudah seharusnya memberikan
perlindungan dengan membuat peraturan perundang-undangan
sehingga masyarakat yang menyerahkan harta bendanya untuk
diwakafkan terlindungi dan tidak disalahgunakan oleh lembaga
atau perorangan yang menerima harta benda amanah wakaf.
Pembahasan RUU tentang Wakaf harus melihat peraturan
perundang-undangan terdahulu dalam pengaturan wakaf serta
masukan dari masyarakat, sehingga dihasilkan undang-undang
yang berintegrasi dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, tidak bertentangan dengan syariah
serta bermanfaat bagi kepentingan umat.
Atas uraian tersebut diatas, Fraksi TNI/Polri dapat
menerima, menyetujui dan mendukung pembahasan rancangan
Undang-Undang tentang wakaf ini dengan harapan:
115
1. RUU ini tidak bertentangan/berbenturan dengan undangundang
ataupun peraturan lain yang telah dibuat oleh
256

Pemerintah.
2. RUU ini tidak kontra produktif, karena wakaf selama ini
sudah berjalan secara kultural.
3. RUU ini dapat menggantikan undang-undang serta
peraturan sebelumnya demi kemaslahatan umat.
Fraksi Persatuan Daulat Umat (FPDU)
Sebagaimana kita ketahui, praktek wakaf yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan secara tertib
dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak
terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau malah beralih
ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan
ini setidaknya disebabkan tidak hanya karena kelalainan atau
ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan
benda wakaf melainkan juga dikarenakan sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum sepenuhnya memahami status benda
wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Tujuan dari Rancangan Undang-undang ini adalah untuk
menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf. Dalam
rangka melindungi harta benda wakaf dari penyalahgunaan.
Oleh karena itu, perbuatan hukum wakaf harus dicatat dan
dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf dan didaftarkan serta
diumumkan oleh Menteri Agama.
Dengan mempelajari secara seksama terhadap RUU ini,
maka Fraksi Daulat Umat menyatakan siap membahas bersama
dengan fraksi-fraksi lain.
116

D. Konsinyiring (Pembahasan) Tingkat Panja


Komisi VI DPR RI
Konsinyiring (pembahasan) RUU tentang Wakaf
dilaksanakan di hotel Santika yang terletak di Jl. Aipda KS.
Tubun, Slipi Jakarta Barat, yang berlangsung antara tanggal 13
sampai dengan 18 September 2004. Dalam pembahasan ini
perlu disampaikan mengenai hal yang terkait dengan:
a. Peserta Pembahasan
Dalam pembahasan RUU tentang Wakaf ini diikuti oleh 19
anggota Panitia Kerja (Panja) Komisi VI yang membidangi
keagamaan, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan olah raga
bersama dengan pihak pemerintah, dalam hal ini Departemen
Agama RI yang didampingi oleh para ahli di bidang wakaf.
Adapun nama-nama peserta dari Panja RUU tantang Wakaf
tersebut adalah:
1. H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH (FPKB)
2. Prof. Dr. H. Anwar Arifin (FPG)
3. Dra. Hj. Siti Soepami (FPDIP)
257

4. Dra. Hj. Chodijah HM Saleh (FPP)


5. H. Syahrul Azmir Matondang (FPDIP)
6. KH. Drs. A. Aris Munandar, M. Sc. (FPDIP)
7. Rusydi Ambudalle, Lc. (FPDIP)
8. H. Sambas Soeryadi (FPG)
9. Drs. H. Agusman St. Basa (FPG)
10. Drs. H. AD. Jahidin (FPG)
11. Drs. HM. Irsyad Sudiro (FPG)
12. Drs. H. Lukman Hakim Syaifuddin (FPPP)
13. Drs. HM. Abduh Paddare (FPPP)
14. Drs. KH. Muhyiddin Suwondo, MA (FPKB)
15. KH. Khalilurrahman (FPKB)
16. Drs. KH. Muchtar Adam (FR)
17. H. Koesmadi, SE/Marsda TNI (FTNI/POLRI)
117
18. KH. Nadjih Ahjad (FPBB)
19. KH. Muharror, AM (FPDU)
Sedangkan dari pihak pemerintah dihadiri oleh:
1. Drs. H. Taufiq Kamil (Dirjen BIPH)
2. Prof. Dr. H. Atho Mudzhar, MA
3. Drs. H. Tulus
4. Drs. H. Romly, MHum
5. Drs. H. Achmad Djunaidi
6. Drs. H. Abd. Ghafur Djawahir
7. Drs. H. Nurhilal Pasya
8. H. Nandi Naqsyabandi, SH
9. H. Asrory Abdul Karim, SH, MH
10. Drs. H. Muh. Ma’ruf
Tim Pendamping Pemerintah
1. KH. Hafid Usman (PBNU)
2. Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA (Muhammadiyah)
3. Dr. KH. Anwar Ibrahim (MUI)
4. Dr. Hj. Uswatun Hasanah (UI)
5. Dr. H. Mustafa E Nasution (UI)
6. Dr. H. Wahiduddin Adam (Depkeh HAM)
7. Dr. Wicipto Setiadi, SH, MH (Depkeh HAM)
8. Dr. Partomuan Pohan, SH, LLM (Notaris)
9. Dr. Mulya Siregar (BI)
10. Sri Maharani, SH (BPN)
11. Zafrullah Salim, SH (Depkeh HAM)
12. Dra. Junayyah (Ahli bahasa)
b. Mekanisme pembahasan
Konsinyiring (pembahasan) RUU tentang Wakaf
menggunakan mekanisme pembahasan setiap pasal dan point
118
yang tertera dalam konsep yang telah disiapkan oleh pihak
258

pemerintah (Departemen Agama Republik Indonesia).


Dalam setiap pembahasan dipimpin oleh salah seorang
pimpinan dari unsur pimpinan Komisi VI, yaitu: H.
Taufiqurrahman Saleh, SH (Ketua Komisi), Prof. Dr. H. Anwar
Arifin (Wakil Ketua), Dra. Hj. Soepami (Wakil Ketua), Dra. Hj.
Khadijah Saleh (Wakil Ketua). Pimpinan rapat membacakan
pasal per pasal dan ayat per ayat untuk kemudian memberikan
kesempatan kepada Fraksi-fraksi untuk berpendapat dan atau
usulan yang relevan dengan masalah yang sedang diangkat.
Namun, jika dalam proses perdebatan fraksi mengalami
perselisihan yang membutuhkan penjelasan, maka pimpinan
sidang mempersilahkan wakil dari pemerintah untuk
menguraikan maksud dan substansi yang dimaksud. Dari pihak
pemerintah diwakili oleh pejabat Eselon I (Dirjen) di unit
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji (BIPH), Drs. H. Taufiq Kamil, disertai
para pejabat terkait di bidang zakat dan wakaf, yaitu Direktur
Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bangzawa), Drs. H. Tulus dan
Kepala Subdit Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Drs. H.
Achmad Djunaidi.
Bersamaan dengan para pejabat tersebut, dari pihak
pemerintah didampingi oleh para pakar (ahli) di bidang
perwakafan dan hal-hal terkait, seperti Ahli Fikih, Ahli
Perbankan Islam, Ahli Hukum (notaris), Ahli Bahasa,
perwakilan dari Ormas Islam dan perwakilan departemendepartemen
terkait, seperti: BPN, Depkeh HAM. Para ahli dan
perwakilan departemen tersebut diberi kesempatan oleh pihak
pemerintah untuk memberikan penjelasan secara lebih detail
sesuai dengan keahlian di bidangnya.
119
c. Dinamika pembahasan
Selama pembahasan RUU tentang Wakaf, banyak dinamika
yang mengemuka selama sidang berlangsung, baik yang bersifat
kajian akademik maupun yang bersifat politis. Namun, yang
paling menonjol dalam proses pembahasan tersebut lebih
banyak mengemuka hal-hal yang terkait dengan substansi RUU
itu sendiri yang dianggap krusial, sehingga terjadi perdebatan
yang cukup sengit antar fraksi selama pembahasan. Ada
beberapa isyu yang cukup menonjol dan menjadi perdebatan di
antara para anggota fraksi, yaitu diantaranya:
(1) Prinsip umum tentang posisi pemerintah yang tidak boleh
berperan terlalu besar dalam pengelolaan wakaf;
(2) Hal-hal yang terkait dengan wakaf khairi dan wakaf ahli;
(3) Syarat-syarat nazhir, khususnya dari organisasi;
(4) Benda wakaf bergerak berupa uang dan selain uang;
(5) Peran LKS dalam pengelolaan wakaf benda bergerak berupa
259

uang;
(6) Peran notaris dalam pengelolaan wakaf benda bergerak
selain uang;
(7) Hal-hal yang terkait dengan pembentukan Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Seperti hak-hak istimewa: menangani
ruislah, memberhentikan dan mengangkat nazhir, membina
dan mengelola wakaf nasional dan internasional, hak-hak
nazhir, struktur BWI dan lain-lain;
(8) Pembinaan dan pengawasan; dan
(9) Ketentuan pidana;
d. Laporan singkat selama pembahasan RUU tentang Wakaf
Tahap Pertama
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
:
:
:
2004-2005
I
2

120

Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 14 September 2004
260

Pukul 14.00 – 17.00 WIB


Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Prof. Dr. H. Anwar Arifin
didampingi H. Taufikurrahman
Saleh (Ketua Komisi VI DPR RI), Hj.
Chodidjah HM Saleh (Wakil Ketua
Komisi VI DPR RI), Dra. Hj. Siti
Soepami (Wakil Ketua Komisi VI
DPR RI
Dra. Anita Ariyati
1. Pembahasan DIM Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf.
2. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Dirjen BIPH beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang di dalam Rapat
Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf, maka Pansus sepakat menyimpulkan
hal-hal penting sebagai berikut :
1. DIM 29 disetujui dengan penambahan kata “pendidikan” setelah kata “sosial”
pada butir b, sehingga bunyi selengkapnya:
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
b hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi
persyaratan:

121

a. pengurus organisasi yang bersangkutan


memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan
b. organisasi yang bersangkutan bergerak di bidang
sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.
2. DIM 30 disetujui dengan penambahan kata “pendidikan”
setelah kata “sosial” pada butir b, sehingga bunyi
selengkapnya:
(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat
menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan :
a. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
b. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
3. DIM 32 masuk dalam forum loby dan Timus untuk menetapkan besarnya
prosentase antara “10% atau 12,5 %” pada pasal 12. Pasal 12 yang masuk forum
loby adalah sebagai berikut:
261

Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir
dapat menerima fasilitas dan/atau penghasilan atas hasil pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 %
(sepuluh persen).

122

4. DIM 34 disetujui, pasal 14 ayat (1), diserahkan kepada Tim Perumus untuk
mengganti pemerintah dengan kata atau frasa yang lebih sesuai. Selengkapnya:
Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir
harus terdaftar pada Pemerintah.
Selanjutnya dalam penjelasan perlu ditegaskan, bahwa
pemerintah harus bersikap lebih proaktif untuk
mendaftar organisasi wakaf yang ada dalam masyarakat.
(TIM PERUMUS)
5. DIM 36 disetujui tanpa ada perubahan pada Bagian Keenam. Harta Benda
Wakaf, pasal 15 , sehingga bunyi selengkapnya:
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai
oleh Wakif secara sempurna.
Sedangkan dalam penjelasan perlu dijelaskan mengenai tentang “dimiliki
dan dikuasai oleh Wakif secara sempurna” (TIM PERUMUS)
6. DIM 39 disetujui dengan perubahan penambahan kalimat
“adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi” point (3),
sehingga bunyi selengkapnya:

123

(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b adalah harta
benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan “Buku dan Kitab” perlu dimasukan dalam penjelasan (TIM
PERUMUS).
262

7. DIM 40 disetujui dengan perubahan penambahan kalimat “dan/atau tulisan”


setelah kata “lisan” pada Bagian Ketujuh. Ikrar Wakaf pasal 17 ayat (2), sehingga
bunyi selengkapnya:
Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf
Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang
disaksikan oleh 2 (dua) orang Saksi.
(2) Ikrar Wakaf dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan.
Selanjutnya dalam penjelasan ayat (1) perlu penegasan
bahwa laki-laki dan/atau perempuan dapat menjadi saksi
(TIM PERUMUS).

124

8. DIM 41 disetujui dimasukan penjelasan Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi: Ikrar
wakaf harus dinyatakan secara tegas, dengan menggunakan setidak-
tidaknya kata-kata "Aku mewakafkan".
9. DIM 46 disetujui dengan penambahan “huruf e. Jangka waktu wakaf” pada
pasal 21 ayat (2), sehingga bunyi selengkapnya:
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama Wakif;
b. nama Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. Jangka waktu wakaf

10. DIM 50 disetujui, pasal 23 ayat (2) selengkapnya: (2) Dalam hal Wakif tidak
menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat menetapkan peruntukan
harta benda wakaf yang dilakukan dengan memperhatikan tujuan dan fungsi
wakaf.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 23 ayat (2) disesuaikan
dengan semangat yang berkembang
Rapat Panitia Kerja (PANJA) ditutup pukul 17.00 WIB
Tahap Kedua
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
:
:
:
:
263

:
:
2004-2005
I
3
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 14 September 2004
Pukul 20.00 – 23.00 WIB

125

Tempat
Ketua Rapat
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
:
:
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Hj. Chodijah HM. Soleh didampingi
H. Taufikurrahman Saleh (Ketua
Komisi VI DPR RI), Prof. DR. Anwar
Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR
RI), Dra. Hj. Siti Soepami (Wakil
Ketua Komisi VI DPR RI.
Dra. Anita Ariyati
3. Pembahasan DIM Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf.
4. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja Dirjen BIPH beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat (1) kourum telah
terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat Panja Kerja RUU tentang Wakaf,
yang dipimpin oleh Hj. Chodijah HM. Soleh dan rapat dinyatakan tertutup untuk
umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang di dalam Rapat
Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf, maka Panja sepakat menyimpulkan
hal-hal penting sebagai berikut:
1. DIM 51 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga bunyi selengkapnya:
264

Bagian Kesembilan
Wakaf Dengan Wasiat
Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara
tertulis hanya dapat dilakukan apabila disaksikan oleh

126

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
PENJELASAN pasal 24 cukup jelas, diubah penjelasan sehingga menjadi
“saksi yang dimaksud tidak membedakan antara saksi laki-laki dan saksi
perempuan”.
2. DIM 52 disetujui adanya penambahan kalimat “kecuali dengan persetujuan
segenap atau seluruh ahli waris”
setelah kata “pewasiat” pada pasal 25, sehingga bunyi selengkapnya:
Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu
pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan hutang
pewasiat kecuali dengan persetujuan segenap atau seluruh ahli waris.
3. DIM 57 disetujui tanpa adanya perubahan pasal 28, sehingga bunyi
selengkapnya sebagai berikut:
Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 28 Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui
lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
4. DIM 61, DIM 62, DIM 64, DIM 66, DIM 70, DIM 71, dan
DIM 74 dipending, sampai diperolehnya kejelasan mengenai pasal 30.
5. DIM 75 disetujui tanpa ada perubahan sesuai usul pemerintah pada pasal 40 ,
sehingga bunyi selengkapnya:
127
Pasal 40
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
6. DIM 77 disetujui dengan perubahan kata “dan” menjadi
“atas” pada pasal 41 ayat (2), sehingga bunyi selengkapnya:
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan
265

Wakaf Indonesia.
7. DIM 78 diserahkan kepada pemerintah (ahli bahasa)
untuk menyusun rumusan yang tepat mengenai nilai tukar
harta benda wakaf.
Rapat Panitia Kerja (PANJA) ditutup pukul 23.00 WIB
Tahap Ketiga
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
:
:
:
:
:
:
:
:
:
2004-2005
I
4
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 14 September 2004
Pukul 14.00 – 17.00 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Hj. Siti Soepami didampingi Hj.
Chodidjah HM Saleh (Wakil Ketua
128
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
Komisi VI DPR RI), Prof.DR. Anwar
Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR
RI.
Dra. Anita Ariyati
266

5. Pembahasan DIM Rancangan


Undang-Undang tentang Wakaf.
6. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Dirjen BIPH BIPH (diwakili
Kabalitbang Depag) beserta
jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat
(1) kourum telah terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat
Panja Kerja RUU tentang Wakaf, yang dipimpin oleh Hj. Siti
Soepami dan rapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang
di dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf,
maka Pansus sepakat menyimpulkan hal-hal penting sebagai
berikut :
DIM-DIM yang membahas BAB III mengenai Pendaftaran
dan Pengumuman Harta Benda Wakaf dalam RUU tentang
Wakaf yaitu (DIM 61, DIM 62, DIM 64, DIM 66, DIM 70 dan
DIM 71) belum dapat disetujui dikarenakan banyak pemikiran
yang berkembang khususnya berkaitan dengan “alur pikir
pendaftaran harta benda wakaf” yang disusun oleh
pemerintah, hingga akhir rapat tidak ada DIM yang disepakati.
Setelah konsep alur fikir pendaftaran benda wakaf dan
penjelasan dari pemerintah disepakati sebagai acuan
pembahasan DIM, maka rapat ditutup.
129
Rapat Panitia Kerja (PANJA) ditutup pukul 17.00 WIB
Tahap Keempat
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
:
267

:
:
:
:
:
:
:
2004-2005
I
5
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 15 September 2004
Pukul 20.00 – 23.00 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH
didampingi Hj. Chodidjah HM Saleh
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI),
Prof.DR. Anwar Arifin (Wakil Ketua
Komisi VI DPR RI, dan Hj. Siti
Soepami
Dra. Anita Ariyati
7. Pembahasan DIM Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf.
8. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Dirjen BIPH (diwakili Kabalitbang
Depag) beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat (1) kourum telah
terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat Panja Kerja RUU tentang Wakaf,
yang dipimpin oleh H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH. dan rapat dinyatakan
tertutup untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang di dalam Rapat
Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf,

130

maka Pansus sepakat menyimpulkan hal-hal penting sebagai berikut :


1. DIM 61 disetujui melalui mekanisme voting, karena Fraksi PBB tetap bertahan
pada usulan kata “Sertifikat Wakaf Uang” diubah menjadi “Sertifikat Uang
Wakaf”, dan dengan perubahan kata “pemerintah” diganti menjadi “instansi yang
berwenang”, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan benda wakaf
berupa uang kepada instansi yang berwenang selambat-lambatnya 30 (tiga
268

puluh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang yang


pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara pendaftaran harta benda
wakaf yang diatur dalam Undang-undang ini.
2. DIM 62 dibahas dalam TIMSIN.
3. DIM 64 disetujui dengan perubahan kata “pemerintah” diganti menjadi
“instansi yang berwenang”, dan kata “30 (tigapuluh) hari kerja” diubah menjadi
“7 (tujuh) hari kerja”, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan benda wakaf kepada instansi yang
berwenang selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf
ditandatangani.
Catatan: Istilah “instansi yang berwenang” pada DIM 61 dan DIM 64 perlu
dimasukan ke dalam penjelasan yang konsiderannya diserahkan kepada anggota
Panja pemerintah.

131

4. DIM 66 disetujui tanpa perubahan.


5. DIM 70 disetujui tanpa perubahan.
6. DIM 71 disetujui tanpa perubahan, dengan catatan perlu diberi keterangan
dalam penjelasan tentang istilah pemerintah.
7. DIM 74 usulan F-KB mengenai penambahan pasal baru dihapus.
8. DIM 81 disetujui dengan catatan ditambah kata “tujuan, fungsi, dan” sebelum
kata “peruntukannya”, sehingga selengkapnya menjadi:
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan benda
wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.
Rapat Panitia Kerja (PANJA) ditutup pukul 23.00 WIB
Tahap Kelima
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
:
:
:
:
:
:
:
:
2004-2005
269

I
6
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Kamis , 16 September 2004
Pukul 09.00 – 12.00 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Prof. DR. Anwar Arifin didampingi
H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI),
Hj. Chodidjah HM Saleh (Wakil
Ketua Komisi VI DPR RI), dan Hj.
132
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
Siti Soepami
Dra. Anita Ariyati
9. Pembahasan DIM Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf.
10. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Dirjen BIPH (diwakili Kabalitbang
Depag) beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat
(1) kourum telah terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat
Panja Kerja RUU tentang Wakaf, yang dipimpin oleh Prof. DR.
Anwar Arifin dan rapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang
di dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf,
maka Pansus sepakat menyimpulkan hal-hal penting sebagai
berikut :
1. DIM 83 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga kalimat
selengkapnya menjadi:
Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara produktif, pengelolaan, dan pengembangan harta
benda wakaf yang bersangkutan dilaksanakan dengan
menggunakan lembaga penjamin syariah.
2. DIM 84 disetujui dengan ada perubahan kata “Menteri”
270

diganti “Badan Wakaf Indonesia”, sehingga kalimat


selengkapnya menjadi:
Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf, Nazhir dilarang melakukan perubahan
133
peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin
tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
3. DIM 85 disetujui dengan ada perubahan kata “tujuan dan
fungsi wakaf serta telah mendapat persetujuan Badan
Wakaf Indonesia” diganti “peruntukan yang dinyatakan
dalam ikrar wakaf”, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya
dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata
tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan
yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
4. DIM 87 disetujui dengan ada perubahan kata “PPAIW atas
saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia” diganti
menjadi “Badan Wakaf Indonesia sesuai dengan ayat (1)
huruf d”, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan
Wakaf Indonesia sesuai dengan ayat (1) huruf d.
5. DIM 93 disetujui dengan penambahan kata “dan dapat
membentuk perwakilan di provinsi dan atau
kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan” setelah kata
“Indonesia”, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
Pasal 48
Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk
perwakilan di provinsi dan atau kabupaten/kota sesuai
dengan kebutuhan.
134
6. DIM 94 disetujui dengan penambahan kata “dan
wewenang”, menghapus “butir b”, mengubah “butir c”
menjadi “butir b”, menambah “butir c” baru berbunyi
“memberhentikan dan mengganti nazhir”, menambah
“butir d” berbunyi “memberikan persetujuan atas
penukaran harta benda wakaf”, mengubah “butir d” lama
menjadi “butir e”, sehingga selengkapnya menjadi:
Pasal 49
(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan
wewenang:
a. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf;
271

b. memberikan persetujuan dan atau izin atas


perubahan peruntukan dan status harta benda
wakaf;
c. Memberhentikan dan mengganti Nazhir; (perlu
ada penjelasan pada huruf c);
d. memberikan persetujuan atas penukaran harta
benda wakaf;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.
7. DIM 95 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga
selengkapnya menjadi:
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Badan Wakaf Indonesia dapat
bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat
maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli,
135
badan internasional, dan pihak-pihak lain yang
dipandang perlu.
8. DIM 97 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga
selengkapnya menjadi:
(1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana
dan Dewan Pertimbangan.
9. DIM 100 disetujui dengan perubahan kata “seorang”
menjadi “(1) satu orang”, menambah kata “dan 2 (dua)
orang Wakil Ketua”, mengubah kata “sendiri” menjadi
“dari dan”, sehingga selengkapnya menjadi:
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan
Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang
Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih
dari dan oleh anggota.
Rapat Panitia Kerja (PANJA) diskors pukul 12.00 WIB
Tahap Keenam
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
:
:
:
:
272

:
:
:
:
2004-2005
I
7
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Kamis, 16 September 2004
Pukul 20.15 – 22.30 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Prof. DR. Anwar Arifin didampingi
H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI),
136
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
Hj. Chodidjah HM Saleh (Wakil
Ketua Komisi VI DPR RI), dan Hj.
Siti Soepami
Dra. Anita Ariyati
11. Pembahasan DIM Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf.
12. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Menteri Agama RI dan Dirjen BIPH
beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat
(1) kourum telah terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat
Panja Kerja RUU tentang Wakaf, yang dipimpin oleh Prof.
DR. Anwar Arifin dan rapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang
di dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf,
maka Pansus sepakat menyimpulkan hal-hal penting sebagai
berikut :
1. DIM 102 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga kalimat
selengkapnya menjadi:
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari
273

sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang dan sebanyakbanyaknya


30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur
masyarakat.
2. DIM 103 disetujui dengan mengadopsi pasal 10 ayat (1)
ditambah huruf d. Amanah; huruf d. Mampu secara
jasmani dan rohani (lama) menjadi e; g. Memiliki
pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang
perwakafan dan/atau ekonomi khususnya di bidang
ekonomi syariah; dan h. Mempunyai komitmen untuk
137
mengembangkan perwakafan nasional, sehingga kalimat
selengkapnya menjadi:
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf
Indonesia, setiap calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Dewasa;
d. Amanah;
e. Mampu secara jasmani dan rohani;
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
g. Memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau
pengalaman di bidang perwakafan dan/atau
ekonomi khususnya di bidang ekonomi syariah;
dan
h. Mempunyai komitmen untuk mengembangkan
perwakafan nasional.
3. DIM 104 dihapus.
4. DIM 105 disetujui dengan menjadikan usulan pemerintah
menjadi ayat (1), ditambah ayat “(2) Keanggotaan
Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia”, dan ayat “(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf
Indonesia”, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
138
Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden;
(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di
daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf
Indonesia;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
274

pengangkatan dan pemberhentian anggota


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan Badan Wakaf Indonesia.
5. DIM 106 disetujui sesuai usulan pemerintah, sehingga
kalimat selengkapnya menjadi:
Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk
masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
6. DIM 107 disetujui sesuai usulan pemerintah, sehingga
kalimat selengkapnya menjadi:
Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan
Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden
oleh Menteri.
7. DIM 112 disetujui sesuai usulan pemerintah dengan
menghapus angka “(2)” dikarenakan ayat (1) pasal 59
dihapus, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
139
Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia,
Pemerintah wajib membantu biaya operasional.
8. DIM 118 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga kalimat
selengkapnya menjadi:
(2) Apabila cara penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, maka dapat
diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau
pengadilan.
Catatan: perlu penjelasan mengenai “mediasi”.
9. DIM 121 disetujui dengan mengganti kata “Dalam
melakukan” menjadi “khusus mengenai” dan
menghilangkan kata “pengawasan”, serta memasukan ayat
(1) dan ayat (3) ke dalam pembahasan DIM 121 ini,
sehingga kalimat selengkapnya menjadi:
(1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan
tujuan dan fungsi wakaf;
(2) khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pemerintah mengikutsertakan Badan
Wakaf Indonesia;
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis
Ulama Indonesia.
140
10. DIM 127 disetujui tanpa perubahan dengan sinkronisasi
275

kata “harta”, sehingga kalimat selengkapnya menjadi:


Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 67
(1) Barang siapa dengan sengaja menjaminkan,
menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda
wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda
wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Rapat Panitia Kerja (PANJA) ditutup pukul 23.00 WIB
Tahap Ketujuh
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
Sekretaris Rapat
Acara
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
2004-2005
I
8
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Kamis , 17 September 2004
Pukul 09.00 – 11.00 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Hj. Chodijah HM Soleh (Wakil
Ketua Komisi VI DPR RI)
276

Dra. Anita Ariyati


13. Pembahasan DIM Rancangan
141
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
Undang-Undang tentang Wakaf.
14. Lain-lain.
8 orang dari 11 Anggota Tim
Perumus
Dirjen BIPH (diwakili Kabalitbang
Depag) beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat
(1) kourum telah terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat
Tim Perumus Panja Kerja RUU tentang Wakaf, yang dipimpin
oleh Hj. Chodijah HM Soleh dan rapat dinyatakan tertutup
untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang
di dalam Rapat Tim Perumus Panitia Kerja (Panja) RUU
tentang Wakaf, maka Pansus sepakat menyimpulkan hal-hal
penting sebagai berikut :

C. Sejarah Perkembangan Wakaf Tahun 1977-1991 (membahas sejarah,

Alasan terjadinya perubahan, dan aspek-aspek yang berubah: subyek, obyek,

dan pengelolaan)

Ada beberapa aspek yang berubah dari peraturan sebelumnya (uraian atau

rincian peraturan sebelumnya yaitu rincian tentang subyek, obyek, dan

pengelola)
277

1. Fungsi wakaf : mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai tujuan wakaf:

untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya (obyek 1)

2. Harta benda wakaf: benda tidak bergerak yaitu tanah hak milik atau tanah

milik (obyek 2)

3. Nazir : perseorangan dan badan hukum (subyek)

4. Tata cara perwakafan tanah milik (obyek 3)

5. Pendaftaran wakaf tanah milik (obyek 4)

6. Perubahan wakaf: pada dasarnya tidak dapat dilakukan perubahan

peruntukan kecuali atas persetujuan menteri (pengelolaan)

7. Penyelesaian sengketa wakaf: wakaf tanah disalurkan melalui PA

(pengelolaan)

8. Ketentuan pidana

Sejarah Perkembangan Wakaf Tahun 1991-2004 (membahas sejarah, Alasan

terjadinya perubahan, dan aspek-aspek yang berubah: subyek, obyek, dan

pengelola)

(Rahmadi Usman hal. 51-71)

Ada beberapa aspek yang berubah (obyek wakaf berubah yaitu

penambahan wakaf benda bergerak)

1. Fungsi: sama dengan PP (obyek 1: tidak berubah)


2. Tujuan : sama dengan pp (obyek 2: tidak berubah)
3. Benda: bergerak dan tidak bergerak (obyek 3 ada perubahan)
4. Ikrar wakaf: lisan dan dihadapan PPAIW (obyek 4 tidak
berubah)
5. Nazir: [kelompok orang atau badan hukum, penghasilan nazir
278

6. Pendaftaran benda wakaf


7. Perubahan benda wakaf
8. Penyelesaian sengketa benda wakaf

Sejarah Perkembangan Wakaf Tahun 2004-sekarang; (membahas sejarah,

Alasan terjadinya perubahan, dan aspek-aspek yang berubah: subyek, obyek,

dan pengelola)

Ada beberapa aspek yang berubah (subyek, obyek: perluasan wakaf

benda bergerak dan wakaf uang, dan pengelola: wakaf produktif)

(Rahmadi Usman hal. 106-115, Suhrawardi hal. 99, 151, 156-165, Ijma

Ulama hal. 299, Himpunan Fatwa hal. 80, Fiqh Lima Madzhab hal. 635,

Widyawati, hal. 103 -116).

PP No 28 Tahun 1977

9. Fungsi wakaf : mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai tujuan wakaf: untuk

kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya

10. Harta benda wakaf: tanah hak milik atau tanah milik

11. Nazir : perseorangan dan badan hukum

12. Tata cara perwakafan tanah milik

13. Pendaftaran wakaf tanah milik

14. Perubahan wakaf: pada dasarnya tidak dapat dilakukan perubahan

peruntukan kecuali atas persetujuan menteri

15. Penyelesaian sengketa wakaf: wakaf tanah disalurkan melalui PA

16. Ketentuan pidana


279

Inpres No 1 Tahun 1991

17. Fungsi: sama dengan PP (tidak berubah)


18. Tujuan : sama dengan pp (tidak berubah)
19. Benda: bergerak dan tidak bergerak (ada perubahan)
20. Ikrar wakaf: lisan dan dihadapan PPAIW (
21. Nazir: [kelompok orang atau badan hukum, penghasilan nazir
22. Pendaftaran benda wakaf
23. Perubahan benda wakaf
24. Penyelesaian sengketa benda wakaf

UU No. 41 Tahun 2004


1. Fungsi wakaf: mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum
2. Harta Benda wakaf (benda tidak bergerak dan benda bergerak)
3. Wakif (perseorangan, organisasi, dan badan hukum)
4. Nazir wakaf (perseorangan, organisasi, dan badan hukum)
5. Ikrar wakaf (jenis ikrar=lisan dan tulisan dan jangka waktu)
6. Peruntukan harta benda wakaf
7. Wakaf wasiat
8. Wakaf uang
9. Pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf
10.Perubahan status harta benda wakaf
11.Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
12.Lembaga wakaf –BWI- (organisasi, anggota, pengangkatan dan pemberhentian,
pertanggungjawaban)
13.Penyelesaian sengketa wakaf
14.Pembinaan dan pengawasan
15.Ketentuan pidana dan sanksi administratif

Anda mungkin juga menyukai