A. Konsep Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Secara bahasa “wakaf” berasal dari bahasa Arab yaitu kata ( الوقفal-
waqfu) yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja ( وقفwaqafa). Kata kerja
ini dalam bahasa Indonesia berarti lawan dari duduk yaitu berdiri. Jika dikatakan
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti
tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah
berhenti, berdiri dan mencegah. Sedangkan kata yang semakna adalah ( الحبسal-
wakaf secara bahasa memiliki dua makna yaitu ( الوقفal-waqfu) dan ( الحبسal-
Habsu) di mana kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu berdiri,
Secara istilah, wakaf bermakna penahanan hak milik atas materi benda
dengan :
74
kebajikan.1
tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif
adalah :
cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat)
atau tempat yang berhak saja. Sementara ulama Madzhab Syafi‘iyah mengartikan
wakaf dengan:
1
Lihat Tabyiin Ad-Daqaiq Syarah Kanzul Daqaiq dan Kitab Dar al-Mukhtar Juz IV hal.
532, Maktabah Syamilah Edisi III.
2
Khalil Kharasy, Syarh Al-Mukhtasar, hal. 389, Maktabah Syamilah Edisi III
75
Menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal
materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau
Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
dengan “Tanah negara yg tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan
untuk tujuan amal” dalam definisi lainnya disebutkan “Benda bergerak atau tidak
yang ikhlas dan “Hadiah atau pemberian yang bersifat suci”.6 Majelis Ulama
3
Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Mukhtaj ila Ma’rifat al-Fadz Al-Minhaj, Maktabah
Syamilah Edisi III
4
Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Al-Mughni, Maktabah Syamilah Edisi III
5
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 215 ayat (1)
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan Nasional
76
harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan
tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan
untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
nomor 41 tahun 2004, pasal satu yang menyebutkan wakaf adalah “Perbuatan
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
menurut syariah”.7
wakaf adalah akad tabaru’ yaitu menahan pokok harta dan memberikan manfaat
dari harta tersebut untuk kepentingan umat Islam. Wakaf bertujuan untuk
memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang
berhak dan kemaslahatan umat Islam dan dipergunakan sesuai dengan ajaran
syariah IslamSecara bahasa “wakaf” berasal dari bahasa Arab yaitu kata ( الوقفal-
waqfu) yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja ( وقفwaqafa). Kata kerja
ini dalam bahasa Indonesia berarti lawan dari duduk yaitu berdiri. Jika dikatakan
7
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
77
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti
tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah
berhenti, berdiri dan mencegah. Sedangkan kata yang semakna adalah ( الحبسal-
wakaf secara bahasa memiliki dua makna yaitu ( الوقفal-waqfu) dan ( الحبسal-
Habsu) di mana kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu berdiri,
Secara istilah, wakaf bermakna penahanan hak milik atas materi benda
dengan :
kebajikan.8
tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif
8
Lihat Tabyiin Ad-Daqaiq Syarah Kanzul Daqaiq dan Kitab Dar al-Mukhtar Juz IV hal.
532, Maktabah Syamilah Edisi III.
78
adalah :
cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat)
atau tempat yang berhak saja. Sementara ulama Madzhab Syafi‘iyah mengartikan
wakaf dengan:
Menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal
materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau
9
Khalil Kharasy, Syarh Al-Mukhtasar, hal. 389, Maktabah Syamilah Edisi III
10
Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Mukhtaj ila Ma’rifat al-Fadz Al-Minhaj, Maktabah
Syamilah Edisi III
79
Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
dengan “Tanah negara yg tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan
untuk tujuan amal” dalam definisi lainnya disebutkan “Benda bergerak atau tidak
yang ikhlas dan “Hadiah atau pemberian yang bersifat suci”. 13 Majelis Ulama
harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan
tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan
untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
nomor 41 tahun 2004, pasal satu yang menyebutkan wakaf adalah “Perbuatan
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
menurut syariah”.14
11
Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Al-Mughni, Maktabah Syamilah Edisi III
12
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 215 ayat (1)
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan Nasional
14
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
80
bahwa wakaf adalah akad tabaru’ yaitu menahan pokok harta dan memberikan
manfaat dari harta tersebut untuk kepentingan umat Islam. Wakaf bertujuan untuk
memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang
berhak dan kemaslahatan umat Islam dan dipergunakan sesuai dengan ajaran
syariah Islam.
yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ umat Islam. Di dalam Al-Qur’an wakaf
masuk ke dalam infaq fi sabilillah, di antara ayat-ayat yang memerintahkan hal ini
۟ ت مˆا َك َسˆ ْبتُ ْم َو ِم َّمٓا َأ ْخ َرجْ نَˆا لَ ُكم ِّمنَ ٱَأْلرْ ض ۖ َواَل تَيَ َّم ُم
َ ِˆوا ْٱلخَ ب ۟ ُٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ٓو ۟ا َأنفِق
َيث ِم ْنˆهُ تُنفِقُˆˆون ِ َ ِ َطيِّ ٰب
َ وا ِمن َ
ُوا فِي ِه ۚ َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا َأ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّى َح ِمي ٌد
۟ َولَ ْستُم بـَٔا ِخ ِذي ِه ٓاَّل َأن تُ ْغ ِمض
ِإ ِ
Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Q.S. Ali Imran: 92.
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
yang kita miliki dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala agar
mendapatkan pahala dan kebaikan. Infaq sendiri dalam Islam berupa zakat,
Sumber hukum selanjutnya yaitu dari hadits Nabi, di antara hadis yang
menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah
petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal
tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah;
ِإ ْن: ط ه َُو َأ ْنفَسُ ِع ْن ِدي ِم ْنه ُ قَˆˆا َل ِ ْت َأرْ ضًا بِ َخ ْيبَ َر لَ ْم ُأ
ُّ َصبْ َمااًل ق َ يَا َرسُو َل هَّللَا ِ ! ِإنِّي َأ: فَقَا َل,يَ ْستَْأ ِم ُرهُ فِيهَا
ُ صب
ُ ˆور
َواَل, ث ْ ع َأ
َ ˆُ َواَل ي,صˆلُهَا ُ ˆر] َأنَّهُ اَل يُبَˆˆا َ ˆََصˆ َّد ْقتَ بِهَˆˆا ق
َ فَت: ˆال
َ َصˆ َّد
َ ˆ ] َغ ْي,ُق بِهَˆˆا ُع َمˆ ر ْ ِشْئتَ َحبَسْتَ َأ
َ َوت,صˆلَهَا
Dari Ibnu umar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata “Umar bin Khattab memperoleh
tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata, “Wahai
82
Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan
tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang
bersabda “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau
untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang
musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang
sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diriwayatkan oleh
ُ ( ِإ َذا َماتَ اَِإْل ْن َسانُ اِ ْنقَطَ ˆ َع َع ْنˆهُ َع َملُ ˆه: ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرةَ رضي هللا عنه َأ َّن َرسُو َل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم قَا َل
ح يَ ْدعُو لَهُ ) َر َواهُ ُم ْسلِم َ َأوْ َولَ ٍد، َأوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه، اريَ ٍة
ٍ َصال ِ ص َدقَ ٍة َج ٍ ِإاَّل ِم ْن ثَاَل
َ :ث
perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu
yang dimaksud dalam hadits ini adalah wakaf.15 Hal ini bisa dipahami karena
15
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz III, Kairo : Dar Al-Fatha li ‘Ilam wa al-Araby , hal.
432.
83
harta wakaf akan senantiasa abadi sedangkan manfaat darinya akan terus
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’)
menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak
ada satu orangpun yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam
karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan
oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga
sekarang.
kepada pihak lain. Harta wakaf masih tetap menjadi milik wakif sebagaimana
sebelum terjadinya wakaf. Wakif, selaku pemilik, boleh melakukan apa saja
seperti ‘ariyah, yakni pinjam meminjam. Perbedaan antara wakaf dengan ‘ariyah
ialah pada bendanya. Dalam ‘ariyah benda ada di tangan si peminjam sebagai
pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Sedangkan benda
dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil
16
Muhammad Musththafa Salabi, al-Waqfu wa al-Wasyiyat (Iskandariah: Dar al-Ta’rif, 1957), h.
19; Zuhdy Yakun, Ahkam al-Waqfi,(Beirut: t.p, t.t.),h. 15
84
manfaat dari benda itu. Dengan demikian benda yang diwakafkan itu tetap
Oleh karena itu, wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti ghair lazim,
1) Wakaf masjid,
wakaf wasiat.
1) Hadits Riwayat Nasa’I dan Ibnu Majah bahwa Nabi SAW memberi petunjuk
kepada Umar bin Khaththab, yaitu: “…..tahanlah modal pokoknya, dan salurkan
harta wakaf masih tetap milik waqif, karena yang disalurkan adalah manfaatnya.
Apabila yang dimaksud dengan wakaf itu memisahkan harta wakaf dari milik
manfaatnya.
2) Hak manusia tidak terputus dari harta yang telah diwakafkan, dengan bukti
boleh diambil manfaatnya, ditanami atau didiami. Tetap adanya hak adalah bukti
17
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h. 15; Ali Fikri, , Al-
Mu’amalat (Mesir: Dar al-Kitab, 1938), h. 299.
18
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh (Damaskus: Dar al-fikr, 1989), h. 170
85
bahwa milik itu masih di tangan si pewakaf. Hak-hak itu, seperti menentukan
Menurut Anas bin Malik, perbuatan wakaf tidak memisahkan harta yang
diwakafkan dari milik wakif. Artinya, harta wakaf tetap milik wakif. Akan tetapi
tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan, selama masa wakafnya belum
habis.20 Hal ini karena menurut Malik, wakaf itu bisa muaqqat, bisa juga
mu’abbad, tergantung waktu ikrar. Jika dalam shigat atau ikrar wakaf itu wakif
(mu’abbad).21
pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain supaya tetap sampai
pahala tersebut, kecuali dengan tidak terputusnya harta wakaf dengan wakif.24
19
Mahmoud Syaltout, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang,
1973),h. 261
20
Muhammad Abu Zahrah,Muhadharat fi al-Waqfi, h. 106; Zuhdi Yakun, op.cit.h. 8
21
Juhaya S. Praja, op.cit, h.18
22
Muhammad Abu Zahrah, Loc.cit.
23
Ibid
24
Mahmoud Syaltut, op.cit. h. 262
86
Isyarat itu terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tarmizi dari Abu
Hurairah tentang ada tiga hal yang tidak akan pernah putus sekalipun manusia
menjadi milik wakif dan tidak pula berpindah kepada mawquf ‘alaih, tetapi
berubah statusnya menjadi milik Allah. Wakif selaku pemilik pertama tidak lagi
menguasai harta wakaf, tetapi ia akan menerima pahala dari amal wakafnya.
Mawquf ‘alaih juga tidak mengauasai secara mutlak, tetapi akan menerima hasil
demikian, jelaslah bahwa harta wakaf pada hakikatnya menjadi milik Allah,
bukan milik mauquf alaih dan bukan pula milik wakif, sehingga tidak boleh
wakif kepada lembaga atau orang yang menjadi sasaran wakif (mauquf ‘alaih),
dengan ketentuan tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh
25
Zuhdy Yakun, op.cit.n h. 8;Sayyid sabiq, Fikih Sunnah, jilid 14
26
Juhaya S. Praja, op.cit.. h.19
87
diwariskan, karena milik yang diperoleh mawquf ‘alaih hanya manfa’atnya, tidak
bendanya27. Dengan kata lain, kepemilikan mawquf ‘alaih terhadap harta wakaf
Umar r.a mempunyai sepetak kebun yang disebut Tsamagh. Kebun itu berisi
pohon kurma yang baik sekali. Beliau datang kepada Nabi dan bertanya: Ya
Rasulullah. Saya mendapat harta yang menurut saya sangat baik. Apakah saya
tidak dijual, tidak dihibah dan tidak diwarisi. Akan tetapi, dinafkahkan
kepada budak yang mau menebus diri, untuk tamu, untuk orang-orang miskin,
ibnu sabil, dan kepada ahli kerabat. Tidak dilarang bagi orang yang mengurusnya
makan menurut yang layak atau memberi makan kawan dengan tidak berlebihan-
lebihan. Tanah itu adalah bagian Umar di Khaibar, dan Tsamagh adalah nama
tanah itu. Hadits ini diriwayatkan pula dalam sahih Bukhari dan dalam kitab yang
mereka sependapat dengan gurunya, Abu Hanifah. Akan tetapi, setelah mereka
pergi beribadah haji dan bertemu dengan Malik bin Anas, pendapat mereka
27
Muhammad Abu,op.cit., h. 108
28
Kamal al- Din Muhammad bin abd al-Wahid al-Hamam, Fath al-Qadir, juz VI(Beirut: Dar al-
fikr, 1977, h. 205.
29
Mahmoud Syaltut, op.cit.,h.261-262
88
adanya kepastian hukum. Namun ada perbedaan pendapat dengan Malik bin Anas
dalam menetapkan kepemilikan benda wakaf. Menurut Malik, benda wakaf itu
masih tetap menjadi milik wakif, sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhammad,
benda wakaf itu keluar dari kepemilikan wakif menjadi fii hukmi milkillah.30
f. Pendapat Zhahiriyah
makna lahiriyah atau harfiah, baik al-Quran maupun al-Sunnah yang dalam
terminologi ahli hukum Islam dan ushul fiqh disebut zhahir al-qur’an wa al-
memerdekakan budak yang disebut al-‘itq. Ini artinya pendapat Zhahiriyah sama
dengan pendapat Syafi’iyyah yang memandang harta wakaf menjadi milik Allah.
Menurut mereka, wakaf yang boleh dan sah menurut hukum hanyalah
terbatas, yaitu sekitar benda-benda yang boleh diwakafkan di zaman Rasul SAW
sesuai dengan nash secara tekstual saja (zhahir al-nash). Benda-benda yang boleh
diwakafkan itu ialah bangunan, tanah, tanah untuk rekreasi yang disebut arhal,
mushaf, buku, hamba sahaya, senjata atau benda yang dipakai uuntuk sabilillah
atau berjihad seperti baju besi (al-adra’), atau al-sillah. Demikian pula kendaraan
yang dapat diwakafkan itu hanyalah yang dapat digunakan dalam perang, yaitu al-
kebolehan wakaf kuda tunggangan untuk berperang, jika diterapkan dalam kondisi
Zuhdi Yakan, Ahkam al-Waqf, (Beirut: t.tp, t.th),h.11-12; Kamal al-Din Muhamad bin Abdul
30
dewasa ini akan timbul kesulitan. Umpamanya wakaf kendaraan perang, selain
kuda tunggang tidak sah. Padahal, dewasa ini kendaraan perang sudah
menggunakan mesin dan teknologi yang kapasitas dan daya gunanya jauh lebih
Mengenai mawkuf ‘alaih dalam pandangan madzab ini boleh siapa saja
Rasulullah SAW kepada Umar ra yang mengatakan: “Jika engkau mau, tahanlah
pengertian bahwa wakaf itu diserahkan kepada orang atau lembaga yang
dikehendaki si wakif sebagaimana tergambar dalam kata jika engkau mau (in
syi’ta). Selain itu, Zhahiri pun menggunakan teks hadits lain sebagai
menshadaqahkan hasilnya” disertai ikrar si wakif dengan jelas dan tegas, seperti
dengan menggunakan kata waqaftu. Jika menggunakan kata yang lain, maka
yang menunjukkan maksud wakaf secara tegas. Wakaf itu sah apabila telah terjadi
penyerahan benda wakaf kepada si penerima, yakni bila telah terjadi qabul, atau
iqbadl. Namun demikian, iqbadl tiu pun dapat diartikan sebagai “penguasaan
atas benda wakaf itu”. Bentuk-bentuk wakaf mencakup segala yang membawa
31
Juhaya S. Praja, op.cit., h. 25-26
90
orang yang dewasa menurut hukum. Jika wakaf itu diserahkan kepada anak di
bawah umur, maka nadzirnya adalah wali anak tersebut. Disyaratkan pula bahwa
wakaf itu harus dilakukan secara langsung (tanjiz) dan tidak boleh ditangguhkan
(mustaqbal).32
Dalam hal kepemilikan harta wakaf, golongan ini memandang bahwa harta
wakaf masih tetap menjadi milik wakif, tidak berpindah ke tangan mawkuf ‘alaih.
masyarakat Muslim Indonesia sejak awal kedatangan Islam di negeri ini. Oleh
Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di
kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali
32
Ibid
33
Muhammad Abu zahroh, op.cit., h.106
91
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari
صˆلَّى
َ ِ صˆ َدقَةُ َر ُسˆو ِل هَّللا َ َوقَا َل اَأْل ْن، ص َدقَةُ ُع َم َر
َ : صا ُر َ : َ فَقَا َل ْال ُمهَا ِجرُون، س فِي اِإْل ْساَل ِم
ٍ َسَأ ْلنَا ع َْن َأ َّو ِل َح ْب
Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar
bin Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia
berkata:
ْف ِ فِي ْالفُقَ َرا ِء َو َذ ِوي ْالقُˆˆرْ بَى َوال ِّرقَˆˆا، ث
َّ ب َو
ِ الض ˆي َ ق بِهَا ُع َم ُر َعلَى َأ ْن اَل تُبَا َع َواَل تُوه
َ َب َواَل تُو َر َ َ فَت، بِهَا
َ ص َّد
َمااًل
92
Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa shahabat Umar ra, memperoleh sebidang
Wasalam untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka
Wasalam. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan
tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil
dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari
hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab
disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya yaitu kebun
lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang
yang subur. Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan
sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin
Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Istri Rasulullah.
34
Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat Fi al-Waqf, Kairo: Qismu Dirasah Al-
Qanuniyah, Tahun 1959 hal. 9.
93
Hal ini berarti wakaf telah dikenal pada masa nabi masih hidup, para
Masa Dinasti-Dinasti Islam: Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa
melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin
membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan
masyarakat.
baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada
aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya
memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau
Pada masa Dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah
bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ia sangat
Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di
Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah
bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan
kepada yang berhak dan yang membutuhkan. Pada masa Dinasti Abbasiyah
terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus
wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat
wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal).
meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitul mal masih berbeda
pendapat di antara para ulama. Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik
negara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid
dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah
Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta
36
www.bwi.or.id, akses 23 januari 2012
95
dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada
lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa
orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea
(fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-
Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni
menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti
Fathimiyah.
diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah
tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di
wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan
pertama kali oleh penguasa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman
wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk
membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar Islam adalah
wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah
(kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir
yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap
tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam dan
punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian
khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya
undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa
tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.
Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori:
Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang
97
yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan
Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan
menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih
tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi
negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan
sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa
waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari
kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima
(diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu
kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf
benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara
98
muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal
inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual
(Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian
Wakaf adalah bagian dari ibadah dalam Islam yang memiliki rukun dan
syarat yang harus dipenuhi. Hal ini sebagai bentuk jaminan akan keabsahan
ibadah yang dilakukan oleh seseorang. Rukun adalah unsur yang terlibat pada saat
pelaksanaan akad, dalam hal ini rukun adalah bagian yang tidak dipisahkan dari
sutu akad jika rukun tersebut tidak dipenuhi maka batallah akad tersebut. Dalam
37
www.bwi.or.id akses 23 Januari 2012
99
1. Waqif (Orang yang berwakaf) harus memiliki secara penuh harta yang
2. Waqif mestilah orang yang berakal, maka tidak sah wakaf orang idiot,
Implikasinya orang yang belum cukup umur, tidak cakap hukum, orang
yang sedang muflis (bangkrut) dan orang lemah ingatan tidak sah
mewakafkan hartanya.
(’ainu ma’lum), pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif), dan harta itu
mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarradzan) atau
segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama
38
Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat Fi al-Waqf, al. 136
39
Al-Nawawi, Raudhatu Al-Thalibin Wa Umdatu Al-Muftiin, hal. 254, Maktabah
Syamilah Edisi Ke III
100
dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua
orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah.
Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan
secara terperinci, umpamanya untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll.
mu’ayyan) bahwa ia haruslah orang yang dapat untuk memiliki harta (ahlan li al-
tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini
boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang idiot, hamba sahaya, dan orang gila
tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan;
pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mustilah dapat menjadikan
wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Syarat ikrar berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa
untuk wakaf. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa
bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Apabila rukun dan syarat tersebut telah terpenuhi maka penguasaan atas
harta benda wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi
menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan
harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap
101
pemiliknya tapi bersifat ghairu tammah. Kecuali harta benda wakaf yang ikrarnya
5. Jenis-jenis Wakaf
Para ulama mutaqaddimin tidak pernah membagi wakaf, baik antara wakaf
untuk anak keturunan sendiri maupun wakaf untuk publik, semua jenis wakaf,
menurut mereka hanya disebut wakaf semata atau shadaqah. Namun, para ulama
mutaakhirin mulai membagi antara wakaf yang diniatkan untuk anak keturunan
dan wakaf untuk publik, seperti untuk fakir-miskin, pencari ilmu, atau untuk
nama: Al-Waqf Al-y atau Al-Dzurriy, sedangkan wakaf untuk umum dengan
a. Wakaf (khusus)
atau banyak, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang
sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang
b. Wakaf Khairi
40
Lihat: Muhadharah fii Al-Waqf, Abu Zahrah, hal 4, 36, Ahkam Al-Waqf, Al-Kubaisiy
1/42
102
tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan praktik wakaf
yang jelaskan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus
Untuk mengelola harta wakaf maka dibutuhkan pengelola atau dalam fiqh
disebut dengan nadzir. Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara-
mengawasif. Adapun nadzir adalah isim fa'il dari kata nadzir yang kemudian
nadzir wakaf atau biasa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk
mengelola wakaf.
Nadzir wakaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amanat
untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan
1 ayat (4) tentang wakaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima
hartabenda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya.
Pada umumnya, para ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan nadzir wakaf
hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan
41
Mod Zain B. aji Otman, Islamic Law wit Special Reference To Te Institusion of Waqf,
Kuala Lumpur : Prime Ministers Departement Reliios Affairs Division (Islamic Center)., tahun
1982, al. 111
42
Pasal 1 UU RI No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
103
dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban nadzir adalah mengerjakan
segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Dengan demikian
nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk
Pada masa kini masih banyak masyarakat khususnya umat Islam belum
Indonesia telah dikenal dan berlangsung seiring dengan usia agama Islam masuk
ekonomi umat Islam. Masalah wakaf merupakan masalah yang masih kurang
dibahas secara intensif. Hal ini disebabkan karena umat Islam hampir melupakan
wakaf (pengelola wakaf) secara nasional, sehingga wakaf dapat berfungsi untuk
Tugas utama badan ini adalah memberdayaan wakaf melalui fungsi pembinaan,
baik wakaf benda bergerak maupun benda yang bergerak yang ada di Indonesia
mempunyai tugas:
dan internasional
wilayah tugas:
kepada masyarakat.
44
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (sebuah Upaya
Progresif Untuk Kesejahteraan Umat)., (Jakarta Selatan: Mitra Abadi Press, III. 2006) Hal.79
105
kepada pemerintah.45
persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengelola wakaf (nadzir) ataupun dalam
1. Nadzir Perseorangan
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
2. Organisasi
45
Departemen Agama. Pedoman pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta: Depag RI,
2006) Hal 105-106
106
3. Badan Hukum
syariah.
penjamin syariah.
107
melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin
bentuk investasi yang produktif yang dibenarkan secara syariah. Kemampuan ini
tidak hanya harus dimiliki oleh seorang nazir tapi juga lembaga keuangan terkait
sebagai instrumen penting dalam wakaf uang. Karena itu, pengelolaan wakaf
dimanfaatkan secara luas bagi kesejahteraan umat Islam. Di Indonesia lembaga ini
dikenal dengan sebutan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Lembaga ini secara
resmi ditunjuk oleh pemerintah dan memililiki dasar hukum yang cukup kuat
Indonesia. Peran strategis ini salah satunya terkait dengan status hukum lembaga
ini karena ditunjuk langsung oleh Menteri Agama sebagai lembaga berwenang
dalam penerimaan wakaf uang. Hal ini disebutkan dalam UU No. 41 tahun 2004
Pasal 28 tentang wakaf yang berbunyi: ‘Wakif dapat mewakafkan benda bergerak
berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri.
dengan syarat-syarat:
108
benda wakaf sesuai yang diamanatkan oleh wakif kepada nazir. Pengelolaan dan
pengembangan wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-
produk LKS atau instrumen keuangan syariah berdasarkan akad syariah seperti
syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah. Dengan cara ini dana wakaf
uang umat yang terkumpul dapat terjamin keamanannya serta memberikan rasa
biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Hal ini berlaku pada proyek penyedia jasa
untuk merekonstruksi harta gerak wakaf atau untuk meningkatkan modal harta
tetap wakaf tidak dibahas dalam fiqih klasik. Oleh karena itu Kahf (March 1-2,
wakaf tradisional dan model pembiayaan baru harta wakaf secara institusional.
dengan menciptakan wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf yang lama.
panjang dengan lump sum pembayaran di muka yang besar). Model pembiayaan
yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui surat kontrak
harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu kontrak
kontraktor untuk memenuhi pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga
Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan makmur;
kesejahteraan:
الحالة التى تتحقق فيها الحاجات االساسˆˆية للفˆرد والمجتمˆˆع من غˆˆداء وتعليم وصˆحة وتˆˆأمين ضˆˆد:الرفاهية
.كوارث الحياة
kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan makan,
(bencana) kehidupan.
dijelaskan:
نسˆق منظم من الخˆدمات االجتماعيˆة والمؤسسˆات يˆˆرمى الى مسˆاعدة االفˆˆراد:الرفاهية االجتماعية
والجماعات للوصول الى مستويات مال ئمة للمعيشة والصحة كما يهدف الى قيˆˆام عالقˆˆات اجتماعيˆˆة
.سوية بين االفراد بتنمي̂ة قدراتهم وتحسين الحياة االنسانية بما يتفق مع حاجات المجتمع
Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-
lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok
mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan
menegakkan hubungan kemasayarakatan yang setara antar individu sesuai
dengan kemampuan pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki
kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
kebutuhan akan mobil pribadi untuk menunjang mobilitas aktivitas yang tinggi,
menengah ke bawah, mobil pribadi merupakan barang lux dan masuk kategori
politik). Hal ini sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126
ت َم ْن َءا َمنَ ِم ْنهُ ْم بِاهَّلل ِ َو ْاليَˆوْ ِم اآْل ِخˆ ِر َ َوِإ ْذ قَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم َربِّ اجْ َعلْ هَ َذا بَلَدًا َءا ِمنًا َوارْ ُز ْق َأ ْهلَهُ ِمنَ الثَّ َم
ِ ˆرا
)126(ُصير ِ س ْال َمَ ار َوبِْئ
ِ َّب الن ِ قَا َل َو َم ْن َكفَ َر فَُأ َمتِّ ُعهُ قَلِياًل ثُ َّم َأضْ طَرُّ هُ ِإلَى َع َذا
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari
kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri
kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan
itulah seburuk-buruk tempat kembali. QS. al-Baqarah: 126.
Kata balad disebut 8 kali dalam al-Qur’an, surat al-A’râf: 57 dan 58,
mempunyai arti: negeri, daerah, tanah, kota. Tafsir dari kata baladan âminan
فدعا لذريته، يعنى مكة، بلدا امنا: القرطبى. اى من الخوف ال يرعب اهله، رب اجعل هذا بلدا امنا:ابن كثير
adalah aman dari rasa takut yang menyelimuti warga negeri. Sedangkan menurut
al-Qurthubi, negeri yang aman itu adalah negeri Mekah, Ibrahim berdo’a untuk
keluarga dan penduduk negeri agar tercipta stabilitas keamanan dan kenyamanan
dalam kehidupan.
Wakaf sebagai bagian dari syariat Islam memiliki tujuan agar manfaatnya
dapat dirasakan oleh umat Islam. Oleh karena itu, maka wakaf adalah salah satu
konsumtif dan kebutuhan produktif bagi umat Islam. Kebutuhan konsumtif umat
umat Islam. sementera kebutuhan yang bersifat jangka panjang terpenuhi dengan
wakaf produktif di mana umat Islam bisa menggunakan harta wakaf untuk modal
antara si kaya dengan si miskin, serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia.
Allah berfirman dalam al-Quran, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai".
(QS. Ali Imran: 92). Ketika ayat itu turun, sahabat Nabi Abu Thalhah berkata,
Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku karena Allah. Kemudian,
113
Kemudian Umar ibn Khattab pun melakukan hal yang sama. Sebagaimana
diriwayatkan Imam Muslim dari Ibn Umar, ia berkata "Umar mempunyai tanah di
Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?
karib kerabat, budak belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang
berbagai bentuk. Pertama, wakaf untuk fasilitas umum, seperti wakaf sumur dan
sumber mata air. Ini bisa dijumpai di tepi-tepi jalan yang bisa menjadi lalu lintas
jamaah haji yang datang dari Irak, Syam, Mesir, dan Yaman, serta kafilah yang
bepergian menuju India dan Afrika. Di antara sumur-sumur itu, terdapat wakaf
Kedua, wakaf khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin. Wakaf ini
untuk pemberdayaan masyarakar yang masuk kategori fakir dan miskin. Wujud
114
dari wakaf ini kini bisa beraneka ragam, ada yang diwujudkan dalam bantuan
lingkungan, tentu perbaikan tersebut berjalan dengan paradoks. Karena itu, harus
seimbang, misalnya, wakaf tanah terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai
dan saluran air, serta wakaf untuk burung-burung merpati seperti di Masjidil
Haram, Makkah.
wakaf merupakan potensi ekonomi yang luar biasa besarnya. Fakta yang
mendukung adalah saat ini Indonesia merupakan Negara terbesar ke-4 dan
yang kaya dengan sumber daya alam dan wakaf bagian ajaran Islam yang sangat
potensial untuk pemberdayaan umat Islam, bangsa dan Negara. Bahkan, saat ini
tahun 2004 dan juga telah dikeluar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang
kebolehan wakaf uang pada bulan mei 2002 sebagai bukti bentuk dukungan,
dan Negara Indonesia. Untuk itu, dalam konteks berikutnya Peran Badan Wakaf
115
Hukum nasional yang berlaku saat itu adalah hukum dasar tidak tertulis dan
hukum dasar tertulis.47 Hukum dasar tidak tertulis terdiri dari hukum adat yang
berlaku turun menurun dan hukum Islam yang bersumber dari syari’at Islam,
sedangkan hukum dasar tertulis yaitu produk hukum yang dibuat pada masa
kolonial dan produk hukum nasional yang dibuat pasca kemerdekaan. Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 sebagai norma dasar menyebutkan bahwa segala
peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan peraturan yang baru
menurut UUD.
Hukum adat merupakan produk hukum tidak tertulis yang paling tua
berlaku di Indonesia. Oleh karena itu menjadi hal yang wajar jika pelaksanaan
hukum Islam sebagai hukum dasar tidak tertulis sangat dipengaruhi oleh hukum
adat, sehingga pelaksanaan hukum Islam boleh dilakukan jika tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang sejak dahulu telah
47
Hukum dasar tertulis terdiri dari produk hukum kolonial dan produk hukum nasional,
sedangkan hukum dasar tidak tertulis terdiri dari hukum adat dan hukum Islam. Lihat Abdul Gani
Abdullah, hal. 58.
116
berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup
masyarakat.48
Adat secara teoritis tidak pernah diakui sebagai salah satu sumber utama
dalam hukum Islam. Implementasi hukum adat menurut Joseph Schacht memiliki
peran penting dalam proses kreasi hukum Islam dari berbagai persoalan hukum
yang muncul di negara-negara Islam. Peranan adat dalam penciptaan hukum lebih
penting bahkan mampu mengalahkan praktek hukum yang datang dari ketentuan
Posisi adat dalam sistem hukum Islam di kalangan para ulama telah terjadi
dengan syara’. Jika terjadi pertentangan antara adat dengan dengan syara’, maka
menurut al-Suyuthi terbagi menjadi dua kategori. (1) mendahulukan adat apabila
hukum tersebut tidak ada relevansinya dengan syara’. (2) mendahulukan syara’
Sejarawan muslim menyatakan bahwa posisi hukum adat dan hukum Islam
sejak lama telah mengalami konflik. Konflik tersebut menurut Bustanul Arifin
menurut Danial S Lev menyatakan bahwa konflik tersebut pada dasarnya telah
48
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 10.
49
Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia, dalam Doddi S Truna
dan Ismatu Rofi, Pranata Islam di Indonesia (Pergulatan Sosial. Politik, Hukum, dan Pendidikan),
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran), hal. 59.
50
Adat atau tradisi yang baik telah dikenal dalam istilah hukum Islam sebagai ‘urf. ‘Urf
sebagai salah satu metodologi dalam hukum Islam kedudukannya masih diperdebatkan. Lihat Al-
Suyuthi, al-Ashbah wa al-Nadzair fi al- furu’, (Indonesia, al-Haramain, tt.), hal. 65.
51
Ibid., hal. 66
117
dengan perkembangan dan dinamika zaman. Para ulama sepakat bahwa ketika
adat berubah, maka pendapat hukum yang mendasarkan diri pada adat tersebut
modifikasi dialek yang diturunkan dari bahasa Arab ‘adah yang digunakan untuk
sesuatu yang biasa dilakukan dan memiliki konsekuensi hukum dalam masyarakat
seperti adat istiadat, kebiasaan, dan praktek-praktek sosial lainnya yang mengakar
atau dharma berupa tanah atau ladang yang diberikan oleh seorang raja kepada
52
Ahmad Imam Mawardi, Rationale Sosial Politik Pembuatan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, dalam Dody S Truna dan Ismatu Rofi (Penyunting), Pranata Islam di Indonesia:
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
2002) , hal. 104.
53
Ratno Lukito, hal. 60.
54
Ibid., hal. 61.
118
bakar dan keperluan-keperluan hidup lainnya.55 Pola seperti ini dalam Islam
sebagai wakaf.
masyarakat Banten Selatan, misalnya Huma serang atau ladang yang dikerjakan
Masyarakat Bali melakukan praktek sosial keagamaan seperti wakaf dalam bentuk
tanah atau barang seperti perhiasan untuk pesta menjadi milik candi atau dewa-
dewa yang tinggal disana. Demikian pula masyarakat lombok yang menggunakan
istilah tanah pareman atau tanah yang dibebaskan dari pajak yang diberikan
kepada desa, subak, kepala candi yang digunakan dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama.56
terbatas hanya tanah pertanian saja, tetapi dapat juga dalam bentuk benda lepas
(roerend) dan benda yang tidak lepas (onroerend). Wakaf dalam bentuk benda
lepas yaitu wakaf yang digunakan untuk untuk sarana masjid, surau, atau tanah
dalam bentuk benda yang tidak lepas (onroerend) yaitu wakaf yang digunakan
untuk dimanfaatkan oleh anak cucu pemberi wakaf.57 Namun kendati demikian,
55
Rahmat Djatnika. Wakaf Tanah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), hal. 18-19.
56
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 14)
57
Ibid.
119
tetap saja praktek dalam perwakafan masih banyak dijumpai dalam bentuk tanah
masyarakat. Aspek manfaat tersebut dalam istilah hukum Islam dikenal sebagai
perbuatan hukum yang bersifat personal dan kolektif yang memiliki kedudukan
hukum adat, orang yang berwakaf mempunyai hak dan kuasa penuh atas barang
yang diwakafkan dan harus ditunjuk dengan jelas serta tidak boleh digunakan
untuk hal yang dilarang oleh agama. Peruntukan tanah wakaf tersebut juga harus
diikrarkan dengan jelas, dan orang yang berwakaf juga harus menunjuk siapa
yang akan mengurus tanah tersebut. Jika ikrar wakaf sudah terlaksana, maka
kedudukan hukum dari tanah tersebut diatur oleh hukum adat, yaitu kewenangan
atas tanah berada di tangan pengurus wakaf yang ditunjuk oleh pemberi wakaf.59
Oleh karena itu, tanah yang diwakafkan bersifat tetap, mengikat, tidak dapat
58
Ibid.
59
Ibid.
60
Mura P. Hutagalung, Hukum Islam di Era Pembangunan, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1985),
hal. 101. Lihat Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria,Sejarah Penyusunan, Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Penerbit Djamabatan, 1971), hlm. 211
120
sebagai pemilik dan kuasa penuh atas barang yang diwakafkan yaitu tidak boleh
digunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan hokum Islam, ikrar wakafnya
adalah dalam bentuk tanah. Pandangan terhadap hakekat tanah dapat dibagi dalam
tiga ketegorisasi; (1) Tanah menurut hukum adat merupakan satu-satunya benda
perubahan.62 Di samping itu dalam perspektif masyarakat adat, tanah juga dapat
warga persekutuan yang meninggal dunia, dan tempat tinggal bagi pelindung
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. Hal ini menunjukan bahwa
kepemilikan tanah dalam perspektif hukum adat Indonesia dapat dimiliki secara
Untuk itu perlu adanya penataan tata ruang dan tata guna tanah agar pemanfaatan
61
Ter Haar, hal. 161-162.
62
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.
1).
121
dan pelestarian lingkungan hidup untuk mencegah penggunaan tanah yang dapat
hukum negara merupakan salah satu unsur essensial pembentuk negara agraris
dalam hukum, maka tanah yang diwakafkan termasuk ke dalam kategori hak
milik. Namun jika tidak demikian, maka tanah yang diwakafkan tanpa subjek
hukum tersebut kedudukan hukumnya sah jika ditentukan oleh surat akta tanah. 65
Model aturan pertanahan berdasarkan hukum adat ini terus berlangsung sampai
Manusia sebagai khalifah Allah memiliki peran dan tugas yaitu untuk mengelola
63
Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 1.
64
Yayasan yang dimaksud adalah badan atau organisasi non-pemerintah yang dikelola
oleh beberapa dewan pengurus atau beberapa orang yang tidak menerima subsidi dari masyarakat,
akan tetapi pendanaannya banyak diperoleh dari para pendiri yang berasal dari harta pribadi yang
ditujukan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat secara umum. Yayasan juga termasuk ke
dalam kategori badan wakaf sosial, meskipun tidak semua hal yang ada di dalamnya berorientasi
sosial. Lihat Mundzir Qahaf, hal. 51.
65
Ter Haar, hal. 90-94.
122
dalam meraih kebahagiaan baik di dunia maupun saat kembali kepada Yang Maha
Manusia secara nisbi sebagai penguasa harta yang dimiliki, tetapi bukan
sebagai pemilik hakiki. Dalam memelihara harta, manusia memiliki tugas dan
harta dengan baik yaitu sesuai tuntunan dan aturan yang telah ditetapkan pemilik
harta yaitu Allah SWT. Adapun kewajiban manusia sebagai pemilik harta adalah
menafkahkan harta sebagai wujud syukur atas karunia yang diberikan Allah
kepada orang lain, maka bagi yang menafkahkannya akan menerima imbalan
(pahala) dari Allah dan dapat memberikan rasa kepedulian sosial yang tinggi
dalam masyarakat. Salah satu pemanfaatan harta adalah melalui infak atau
sedekah yang memiliki nilai kebaikan bagi yang melaksanakanya maupun nilai
dalam Islam dikenal dengan istilah sedekah. Berdasarkan sumber hukum Islam
yaitu al-Qur’an dan Sunnah, sedekah terbagi menjadi dua jenis yaitu sedekah
wajib dan sunnah. Implementasi sedekah wajib yaitu dalam bentuk zakat,
sedangkan implementasi sedekah sunnah yaitu dalam bentuk wasiat, hibah, dan
wakaf. Ketiga aturan sedekah tersebut memiliki pengertian dan aturan masing-
wasiat; apabila memberikan sesuatu barang kepada orang lain untuk dimiliki (al-
tamlik al-muthlaq), maka disebut hibah; dan apabila memberikan sesuatu barang
untuk dimanfaatkan sementara barang itu tetap ada (tahbīs al-ashl wa talbīs al-
Kata wakaf sudah menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab
waqafa (fiil madhi), yaqifu (fi’il mudhari), dan Waqfan (mahdar) yang memiliki
pengertian sama dengan kata habasa (fi’il madhi), yahbisu (fi’il mudhari), dan
habsan (mahdar) artinya menahan, berhenti, berdiri, atau diam di tempat. Apabila
kata waqf dalam bentuk mutta’addī yang dihubungkan dengan harta maka akan
mempunyai pengertian sebagai pembekuan hak milik atas materi benda (al-‘ain)
kebaikan..67
66
Lihat Ahmad Ibnu Qadamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Kharqi, (Beirut: Dar al-
Fikr, tt), hal. 186.
67
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah, dan Hibah menurut
al-Qur’an dan al-Sunnah, Abu Hudzaifah (Penerjemah), (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2008),
hal. 6. Lihat Adijani al-Alabij, 1989. Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek.
(Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 23. Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Indonesia: Al- Haramain, tt), hal.
328.
124
memelihara asset aslinya sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu untuk kebaikan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. tidak diwariskan, tidak dijual,
sejenisnya68
sehingga dapat berimplikasi pada pembentukan dan corak hukum yang berbeda
pula, terutama dalam hal konsep, tukar menukar benda wakaf, dan perubahan
berikut:
(cxoomodate loan).71 Namun ada perbedaan spesifik antara wakaf dengan ariyah
68
Muhammad Jawad Al-Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama,
2003) hal. 635.
69
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa ‘Adilatuhu, Juz VII, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), hal. 153.
70
Penggunaan kata wakaf oleh ulama Hanafiyah bersandar kepada surat al-Shāffāt ayat
24 ””وقفوهم إنهم مسئولون. Lihat al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Juz 12, (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993),
hal. 27.
71
Juhaya S Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hal. 15. Lihat Al-Sarkhasi, hal. 27.
125
yaitu terletak pada kedudukan bendanya. Benda wakaf tetap berada menjadi hak
milik wakif tetapi tidak boleh dipergunakan atau tidak pula diambil manfaatnya,
hal ini didasarkan kepada hadis Nabi riwayat Ibnu Abbas bahwa bahwa sedangkan
benda pada ‘ariyah berada di tangan peminjam sebagai pihak yang menggunakan
memiliki kesamaan dengan hak milik. Hak milik menurut Abu Hanifah adalah
menjadi hak milik sepenuhnya bagi si pemilik harta, sehingga wakif sebagai
pemilik harta boleh jika melakukan perbuatan hukum seperti menarik wakafnya
mewariskannya.
habs al-mamluk ‘an al-tamlik min al-ghair.73 Pendapatnya tidak bersandar pada
hadis-hadis wakaf seperti hadis riwayat Ibnu Umar tentang tanah Khaibar yang
yang merupakan harta waris dan hadis riwayat Syuraih yang menjelaskan bahwa
72
Ibid,. hal 27.
73
Ibid.,
74
Ibid., hal. 17.
126
Pendapat Abu Hanifah tentang konsep wakaf diikuti oleh para pengikutnya
kecuali Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. 75 Menurut Ibnu Humam bahwa
wakaf adalah menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan
masih tetap menjadi milik wakif, karena transaksi dalam wakaf perpindahannya
milik secara mutlak, dan orang yang mewakafkan boleh saja menarik wakafnya
kembali kapan saja ia kehendaki dan boleh diperjualbelikan atau dapat ditukar
dengan benda lainya yang lebih bermanfaat. Menurut ulama Hanafiyah bahwa
penukaran tanah wakaf sangat tergantung pada ikrar yang dilakukan oleh wakif,
apabila pada waktu ikrar disebutkan boleh ditukar, maka penukaran itu sah
dilakukan. Selain itu benda wakaf dapat ditukar jika dalam keadaan darurat atau
ada izin atau syarat yang diikrarkan oleh wakif ketika wakaf dilaksanakan atau
diserahkan.77 Bahkan menurut Abu Hanifah, jika wakif tersebut meninggal dunia,
warisnya.78 Kendati demikian, apa yang disampaikan oleh Abu Hanifah dan Ibnu
Humam keduanya tetap mengakui eksistensi harta wakaf yang tidak dapat ditarik
75
Imam Abu Yusuf dan Muhammad berbeda pandangan tentang kepemilikan harta yang
telah diwakafkan. Kedua berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan status kepemilikannya
telah berakhir dari wakif dan berpindah menjadi milik Allah untuk suatu tujuan yang hasilnya
dipergunakan untuk manfaat makhluknya. Lihat Rachmadi Usman, hal. 52.
76
Kamaludin Ibnu al-Humam, Syarah Fath al-Qadir ‘Ala al-Hidayah, Juz VI, (Beirut,
Dar al-Fikr, 1977), hal. 203.
77
Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama, dalam Suhrawardi,
Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 150.
78
Ibid.
127
kembali yakni; (1) jika harta wakaf yang dipergunakan untuk pengembangan
masjid; (2) jika harta wakaf berdasarkan putusan hakim yang menyatakan bahwa
harta wakaf tidak boleh dan tidak dapat ditarik kembali; (3) jika wakaf
dihubungkan dengan kematian si wakif atau wakaf yang dilakukan dengan cara
wasiat.79
ِ ِك مْن َفعةً مَمْلُو َكةً ولَو َكا َن مَمْلُو َكةً بِاُجر ٍة اَو جعل َغالِبتِ ِه َك َدر ِاهم يستَح ُّق ب
صبغَ ٍة ِِ
َ ُْ َ َ َ ُ ْ َ ْ َْ ْ ْ َ ْ َ َ ف َج ْع ُل الْ َمال ُ ْاَلْ َوق
80 ِ
س ٍ
ُ ُمدَّة َم َايَراهُ الْ ُم ْحب
Wakaf ialah menjadikan manfaat harta sang wakif, baik berupa sewa atau
bersifat mengikat (memiliki arti lazim), tidak mesti dilembagakan secara abadi
(muabbad) dan boleh saja mewakafkan benda dalam tenggang waktu yang
ditentukan (muaqqat).81 Namun demikian wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah
perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya
sebelum tenggang waktu yang telah ditetapkan. Dengan demikian ada kepastian
Ibid. Lihat Hasan Mansur Nasution, Wakaf dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah,
79
dalam Suhrawardi dkk (editor), Wakaf dan Pemberdayaan Umat,), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hal. 4.
80
Wahbah al-Zuhaili, hal. 155.
81
Juhaya S Praja, hal. 18.
128
nilai ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si
wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut selama masih
masa wakafnya belum habis. Jika dalam akad atau shigat si wakif tidak
Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis riwayat
Ibn Umar tentang tanah Khaibar. Adapun alasan yang dikemukakan Imam Malik
tentang status harta wakaf tetap menjadi milik si wakif adalah berdasarkan hadis
Ibn Umar yang menjelaskan bahwa Umar telah mewakafkan tanah Khibar dan dia
tetap sebagai pemilik atas tanah Khaibar tersebut. Adapun pendapat Imam Malik
kenyataan bahwa tidak adanya dalil yang menyatakan wakaf itu harus muabbad.
manfaat benda itu hanya berlaku sementara saja, maka wakaf itu boleh dijual
Pendapat Imam Malik tentang konsep wakaf diikuti oleh para pengikutnya
manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa)
untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif.83 Dalam hal ini al-Dasuki
mempertegas bahwa kedudukan harta yang telah diwakafkan adalah masih tetap
82
Ibid.
83
Al-Dasuki, Juz II, Hasyiyah al-Dasuqi ‘Ala Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.),
hal. 187.
129
menjadi milik wakif yang berpindah hanya pada aspek manfaatnya saja dan masa
ه3ِ 3ُِّرفِ ِه َو َغرْيِ ِه ىِف َر َقبَت3ص ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّق الت3ِ َك مطْل3 ِ ِ ف حَتْبِي3
َ َّ ِع الت3ْه بِقط33اء َعْين3ع َب َق3َ 3ه َم33ِ ِع ب3ه الْ ُمْنتَف3 ُّرف َمال3صَ ُ س َمالُ ْ ُ 3ْاَلْ َوق
84ِ
ف ِر ْيعُهُ اِىَل بِِّر َت َقُّربًا اِىَل اهلل ِ اع الت
َ َُّصُّرف حَتْبِْي ًسا ي
ُ صِّر
ِ ِ ِ
َ ِ لَن ْو ِع م ْن ا ْن َو
mauqufat.85. Menurut al-Syafi’i wakaf adalah menahan harta yang tetap utuh yang
dapat diambil manfaatnya untuk sesuatu yang dibolehkan menurut syariat dan
status kepemilikannya berpindah dari wakif menjadi milik Allah. Alasan al-
Artinya ketika si wakif menyerahkan hartanya untuk diwakafkan maka status dari
harta beralih dari pemilik harta kepada Allah, atau harta yang diwakafkan tersebut
telah menjadi milik umat, bukan lagi milik orang yang mewakafkan. Dengan
84
Sayyid Ali Fikri, Al-Mu‘awalah al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz II, (Mesir: Mustafa al-
Bab al-Halabi, 1938), hal. 312
85
Al-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 51-52
130
adanya balasan (pahala) karena perbuatan wakaf yang telah dilakukan oleh wakif.
Oleh karena itu sesuai petunjuk hadis Nabi maka benda yang telah diwakafkan
harta yang dapat memberi manfaat dan materi bendanya (al-‘ain) bersifat kekal
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk
yang bersifat kekal materi bendanya (al-‘ain), dengan artian harta tersebut tidak
mudah rusak atau musnah dan dapat diambil manfaatnya secara terus menerus.87
Wakaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hambali pada
dasarnya sama seperti yang disampaikan Imam Malik dan al-Syafi’i yaitu
yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan seluruh hak
penguasaan terhadap harta yang digunakan untuk kebaikan dan mengharap pahala
dari Allah. Konsep wakaf menurut Ahmad bin Hanbal pada prinsifnya ditujukan
diperjual belikan seperti hewan, alat perang, benda tetap dan benda bergerak;
86
Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz II, (Kairo: Musthafa Halabi, tt.) hal. 376. Al-
Syirazi, Al-Muhadzab, Juz I, (Mesir: Al-Halabi, 1343 H), hal. 575. Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfat
al-Muhtaj bi al-Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 235.
87
Ibid.
131
wakaf harus diserahkan kepada orang yang merdeka dan tidak sah jika diserahkan
kepada hamba sahaya; dan wakaf harus dilaksanakan secara langsung tidak boleh
Konsepsi lain menurut Ahmad bin Hanbal adalah tentang ikrar dan
karakteristik benda wakaf. Menurut Ahmad bin Hanbal wakaf adalah sah jika
dilakukan melalui ucapan atau perbuatan. Ikrar (ucapan wakif) wakaf boleh
(muabbad) atau dalam arti lain jika benda wakaf tersebut kurang manfaat maka
dapat ditukar dengan benda lain yang dapat mendatangkan manfaat (talbīs al-
manfa’ah).
bahwa wakaf identik dengan pembebasan hamba sahaya. Menurut dia bahwa
wakaf yang sah menurut hukum adalah terbatas pada benda-benda yang telah
mushaf, buku, senjata, baju besi, dan lain sebagainya. Begitu juga kendaraan yang
Allah. Mengenai maukuf ‘alaih menurut madzhab ini boleh siapa saja sesuai
dengan kehendak si wakif.90 Alasan mereka adalah menggunakan hadis Ibn Umar.
88
Juhaya S Praja, hal. 24.
89
Dalam Madzhab Hanbali contoh ikrar sharikh seperti lafadz waqaftu (aku wakafkan),
habastu (aku tahan), dan sabaltu (aku peruntukan bagi kepentingan umum). Sedangkan ikrar yang
dilakukan secara kinayah seperti tashaddaqtu (aku sedekahkan), harramtu (aku haramkan), dan
abbadtu (aku berikan selama-lamanya). Lihat Ibnu Qadamah, hal. 186. Lihat Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, hal. 12.
90
Pendapat ini berbeda dengan ulama di kalangan Imamiyah yang menyatakan bahwa
harta yang telah diwakafkan status kepemilikannya telah berpindah kepada pihak maukuf ‘alaih,
132
Landasan lain yang digunakan oleh madzhab ini adalah hadis Nabi yang artinya:
ulama tersebut tampaknya ada kesepahaman bahwa wakaf adalah menahan harta
wakif untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kendati
demikian, masih terdapat cara pandang yang berbeda diantara mereka tentang hak
terjadi karena adanya perbedaan hasil telaah kajian (ijtihad) mereka terhadap
konsepsi wakaf yang terkandung dalam nash baik al-Qur’an maupun al-Sunnah.93
Dalil atau landasan hukum tentang wakaf secara eksplisit tidak disebut
oleh nash baik al-Qur’an maupun al-Sunnah. Sumber hukum wakaf diperoleh
melalui dalil yang penunjukannya bersifat umum (dilalat al-‘ammah) yaitu dalil-
dalil yang menyuruh manusia agar senantiasa melakukan kebaikan. Oleh karena
itu ajaran wakaf jika ditinjau dari aspek objek kajiannya tidak termasuk dalam
namun harta tersebut tidak boleh dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Lihat Departemen Agama
Republik Indonesia, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
2004), hal. 4
91
Juhaya S Praja, hal. 26.
92
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah memandang bahwa kepemilikan harta yang telah
diwakafkan tetap menjadi milik wakif, sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memandang
bahwa kepemilikan harta tersebut telah berpindah menjadi milik Allah SWT.
93
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pendapat di kalangan
para ulama selain yang dikemuakakan di atas yaitu: (1) perbedaan dalam menanggapi hadis. Ada
hadis yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama lain. Ada hadis yang
dipandang shahih oleh sebagian ulama, tetapi tidak shahih menurut ulama lainnya; (2) berbeda
dalam menanggapi kaidah-kaidah ushul; (3) berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan
antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil lainnya); (4) berbeda dalam menetapkan
dalil yang sifatnya ijtihadi. Lihat A.Djazuli, Ilmu Fiqih (Sebuah Pengantar), (Bandung: Orba Sakti,
1991), hal. 101-102.
94
Objek kajian wakaf termasuk ke dalam wilayah ijtihadi yang dapat membuka peluang
lahirnya berbagai pemikiran baru tentang paradigma wakaf, sehingga kelembagaan wakaf yang
awalnya dipahami sebagai lembaga keagamaan bersifat statis yang hanya berorientasi pada nilai-
nilai ‘ubuddiyah dapat beralih pemahaman menjadi lembaga yang fleksibel, dinamis, fururistis
133
amal kebaikan yang dipahami erat kaitannya dengan ajaran wakaf sebagaimana
ِ
ُ ـخْيَر لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفل
ـحو َن َ ْوا ْف َعلُوا ال...
َ
“…dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan”.
Ayat ini mengandung perintah secara umum kepada umat Islam untuk
melakukan kebaikan sebagai bentuk habl min al-nas (membangun hubungan baik
manfaat.95 Menurut al-Dimasqi dalam kitabnya Kifayat al-Ahyar fii Hall Gayat al-
Ayat lain yang dijadikan sebagai rujukan perintah untuk berwakaf sebagai
bentuk pengabdian kepada Allah, sebagaimana disinyalir dalam surat Ali Imran
ىت ُتْن ِف ُق ْوا مِم َّا حُتِ ُّب ْو َن َو َما ُتْن ِف ُق ْوا ِم ْن َش ْي ٍء فَِإ َّن اهللَ بِِه َعلِْي ٌم رِب
َ لَ ْن َتنَالُْوا الْ َّ َح
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
(beriorientasi pada masa depan), dan ekonomis khususnya pada aspek pengembangan serta
pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan, dan lain-lain.
95
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177 menegaskan bahwa perbuatan berdimensi sosial
mengandung nilai kebaikan yang dapat memberi manfaat kepada orang banyak adalah infak harta
yang dicintai kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang meminta-
minta, dan hamba sahaya.
96
Al-Dimasqi, Kifāyat al-Akhyār fī Hall Gayat al-Ikhtishār, Juz I, Syirkah al-Nur Asia,
tt.), hal. 319.
134
Menurut para ulama fikih, bahwa ayat ini dijadikan sebagai landasan
hukum wakaf. Ayat ini berisi anjuran kepada umat Islam untuk melakukan infak
secara umum. Dalam tulisan Mundzir Qahaf dijelaskan bahwa asbab al-nuzul
(sebab-sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan peristiwa Abu Thalhah
yang dilakukan oleh Abu Thalhah ini termasuk bentuk wakaf ahli, yaitu wakaf
mendapatkan manfaat dari hasil tanah wakaf Abu Thalhah ini adalah keluarga
berlipat ganda) merupakan konsekuensi yang akan diterima bagi mereka yang
melakukan infak di jalan Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surah al-
bagaikan benih yang menumbuhkan tujuh bulir dan tiap-tiap bulir seratus biji,
dalam tataran praktis efek dari ayat ini mengandung dampak peningkatan
dalam ayat di atas yaitu mengajak agar setiap muslim mampu mendayagunakan
harta melalui sedekah dan agar menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah
bagi kesejahteraan umat baik yang wajib maupun sunnah sesuai aturan yang telah
ditentukan.98
Infak atau sedekah sunnah seperti wakaf yang diberikan seseorang untuk
sebagai berikut:
ت إ ْن َتَر َك َخْيًرا الْ َو ِصيَّ ِة ل ْل َوالِ َديْن ُ َأح َد ُك ُم الْ َـم ْو
َ ضَر
ِ ُِكت
َ ب َعل ْـي ُك ْم ِإذَا َح َ
ِ ِ
َ ـني بِـالْ َـم ْع ُروف َح ّقا َعلَـى الْ ُـمتّقـنْي
َ َواأل ْقَرب
Kamu diwajibkan berwasiat apabila sudah didatangi (tanda-tanda)
kematian dan jika kamu meninggalkan harta yang banyak untuk ibu,
bapak, dan karib kerabat dengan cara yang ma’ruf; ini adalah kewajiban
98
Al-Razi, Tafsir al-Razi, (Dar Ihya al-‘Arabi, tt.), hal. 39.
136
unsur harta. Oleh karena itu perintah untuk melakukan kebaikan di sini adalah
menyangkut masalah kebendaan. Dan salah satu bentuk kebaikan dalam bentuk
harta adalah wakaf, seperti masjid, madrasah, kuburan, hewan, uang, dan lain-lain.
Nabi SAW yang menjelaskan tentang amalan sedekah jariyah, diantaranya adalah
ات ِ َ َاهلل صلَى اهلل علَي ِه وسلَّم ق ِ اَ َّن رسو ُل,عن اَىِب هريرةَ ر ِضي اهلل َتعاىَل عْنه
َ ال اذَا َم َ َ َ َْ ُ َ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َ َ َْ َ ُ ْ َ
ص َدقٍَة َجا ِريٍَّة َْأو ِع ْل ٍم يُْنَت َف ُع بِِه ٍ ِ ِ ِ ابن
َ آد َم ا ْن َقطَ َع َعْنهُ َع َملُهُ ااَّل م ْن ثَاَل ث
َ ُْ
ٍ
ُصا ٍِحل يَ ْدعُ ْو لَه
َ َْأو َولَد
99
hal, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, atau
Menurut para ulama bahwa yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadis di
orang lain yang dapat mendatangkan pahala terus mengalir kepada pelakunya
meskipun ia telah meninggal dunia. Prinsif ini dalam istilah perwakafan dikenal
bentuk sedekah jariyah telah dicontohkan oleh Nabi dan dianjurkan kepada para
99
Al-Nabhani, Al-Fath al-Kabir, Jilid I, (Beirut, Dar al-Arqam, t.t.), hal. 145. Lihat Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, (Semarang: Thaha Putra, tt.), hal.
191.
100
Al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz VI, (Musthafa al-Bab al-Halabi, t.t.), hal. 24.
137
sebidang tanahnya di Khaibar adalah sebagai bukti bahwa wakaf telah banyak
،ا3يه3َ ِ ف3ُتَْأِم ُره3 النَّيِب َّ يَ ْس3َأتَى3َ ف،ر3َ 3اً خِب َْيَب3ر َْأرض3ُ م3َ ُاب عَ 3صَ َأ:ال3 َ 3َ ق، ر3َ م3َ َُع ِن ابْ ِن ع
ُّ ِ خِب ِ َ يا رس:ال
ُ و َأْن َف3َ ط ُه3َاالً ق3ب َم
س ْ مَلْ ُأص،ت َْأرضاً َْيَبَر ُ َأصْب
َ ول اللّه إيِّن ُ َ َ َ َف َق
تَ ْ َّدق3 ص
َ َلَ َها َوت3 ص ْ ت َأ َ 3 ت َحبَ ْس
ِ
َ ْئ3 «إ ْن ش:ال3 َ 3َه؟ ق3ِ 3ِْأ ُم ُريِن ب3 َا ت3م3َ َ ف،ُه33دي ِمْن3ِ 3ِعْن
د َ هِب3 َفتص:ال3 هِب
،ث ُ ور3َ ُ َوالَ ي،ُاع3َ َوالَ يُْبت،لُ َها3ص ْ اعُ َأ3َر َأنَّهُ الَ يُب3ُ ا عُ َم3َ َّق َ َ َ َ ق،»َا
َويِف،اب ِ َالرق ِّ َويِف، َويِف الْ ُق ْرىَب،َّق عُ َمُر يِف الْ ُف َقَر ِاء َ صدَ َ َفت: قَ َال،ب ُ وه َ َُوالَ ي
ِ والضَّْي،السبِ ِيل ِ ِ
...ف َ َّ َوابْ ِن،َسب ِيل اللّه
101
Islam Indonesia terus berlangsung, dan mengalami pasang surut sesuai dinamika
hukum adat, secara praktek dilakukan atas dasar kaidah-kaidah hukum Islam yang
101
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, (Semarang: Thaha
Putra, tt.), hal. 191.
138
politik.102 Dengan kata lain, lembaga ini tidak hanya dipandang sebagai institusi
keagamaan, tetapi juga sebagai pranata sosial yang menempati posisi sentral
Keberadaan lembaga sosial ini banyak memberi nilai kebaikan dan manfaat baik
langgar, pondok pesantren, dan sarana-sarana sosial lainnya yang didirikan di atas
lahan mereka. Jika dilihat dari fungsi dan manfaatnya, bentuk wakaf yang
dilakukan tersebut adalah menyerupai wakaf keluarga (al-waqf al-ahli). Hal ini
dengan wakaf telah dikenal dan sangat populer dengan nama tanah perdikan
yaitu tanah yang diberikan raja kepada tokoh agama. Praktek perwakafan yang
dilakukan masyarakat muslim saat itu sesuai hukum Islam yang digunakan dalam
pahala dan ridha Allah SWT, namun dalam perkembangan selanjutnya tujuan
Wakaf ditinjau dari aspek tujuannya dapat terbagi menjadi tiga macam
yaitu; (1) Wakaf ahli (keluarga), yaitu apabila wakaf bertujuan untuk memberi
Wakaf khairi (sosial), yaitu apabila tujuan wakaf digunakan untuk kepentingan
umum. (3) Wakaf musytarak (gabungan), yaitu apabila tujuan wakaf tersebut
macam yaitu wakaf abadi (muabbad) dan wakaf sementera (muaqqat). Wakaf
abadi adalah jika harta yang diwakafkan tersebut dalam bentuk benda tidak
diberikan oleh pihak wakif kepada pihak pengelola dengan memberi batasan
sementara ini berdasarkan pendapat yang dipegang oleh ulama dari kalangan
berubah yaitu menjadi milik wakif dan peruntukannya boleh digunakan dalam
macam, yaitu wakaf konsumtif dan wakaf produktif. Wakaf komsumtif, yaitu
wakaf yang tujuan penggunaannya ditujukan secara tertentu, seperti wakaf untuk
sarana masjid, jalan umum, kuburan, madrasah, rumah sakit, dan lain-lain.
Adapun wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
tujuan wakaf.106
selanjutnya.
selain diatur menurut ketentuan hukum adat dan hukum Islam juga telah diatur
105
Jaih Mubarok, hal. 43.
106
Mundzir Qahaf, hal. 162.
141
produk hukum kolonial Belanda. Hukum wakaf yang dibentuk oleh pemerintah
bahwa hukum Islam sekalipun tidak dapat diaplikasikan dengan maksimal selagi
hukum adat masih bertahan. Kedudukan hukum Islam hanya sebagai bahan
pertimbangan sejauh ia bisa diterima oleh salah satu sistem yang utama dari adat.
Wakaf dalam pandangan ahli hukum pada masa kolonial telah disepakati
sebagai bagian dari hukum adat, meskipun hukum wakaf bersumber dari hukum
bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik)
seseorang, maka tanah tersebut menjadi milik negara. Asas ini pada hakikatnya
kepemilikannya, adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial.
Tanah-tanah yang inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan
negeri yang berfungsi sebagai penyedia bahan baku, pasar penjualan hasil
industri, sasaran investasi raksasa, dan penyedia tenaga kerja murah bagi industri-
industri milik imperialis. Aturan ini memang sengaja diterapkan agar pemerintah
Hindia Belanda dapat memiliki tanah-tanah rakyat Indonesia yang pada waktu
hampir seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Karena pemilikan atas
tanah berdasarkan sistem adat, tidak ada satupun yang menyamai hak eigendom.
tanam paksa yang mengharuskan petani untuk menanam jenis tanaman ekspor
milik pemerintah seperti tebu, kopi, nila, dan tembakau pada seperlima bagian
dari luas tanah pertaniannya atau bekerja cuma-cuma pada perkebunan negara
selama 66 hari dalam setahun membuat rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Pada tahun 1938 di Hindia Belanda terdapat sekitar 2.500.000 hektar tanah
yang dikuasai oleh 2.400 perusahaan perkebunan yang sebagian besar dikuasai
daerah pedesaan, yaitu dari petani pemilik tanah menjadi buruh serta merebaknya
usaha tani yang berskala gurem. Kebijakan ini sangat melukai hati dan merampas
Tanah masyarakat pada awalnya harus berdasarkan hukum adat dan tidak
mengharuskan adanya sertifikat hak milik, kemudian beralih fungsi menjadi tanah
milik negara. Ini adalah bentuk perampasan negara terhadap hak milik rakyat
karena mengandung kebijakan kasar dan sangat tidak manusiawi. Kebijakan ini
secara langsung berimbas pada tanah-tanah wakaf. Saat itu, tak sedikit tanah
wakaf beralih fungsi menjadi tanah negara yang dilakukan dengan cara paksa.
memicu protes di kalangan umat Islam saat itu. Mereka menganggap bahwa
144
kebijakan ini bagian dari intervensi negara terhadap agama. Dalam hal ini, agama
yang masuk kategori ruang privat seharusnya tidak perlu diintervensi oleh negara.
Karena tugas negara adalah hanya berhak mengatur hal-hal yang terkait dengan
kepentingan publik tidak dalam hukum privat. Protes yang sampaikan umat Islam
kepada pemerintah kolonial tersebut tidak digubris sama sekali bahkan disikapi
masyarakat muslim. Di satu sisi wakaf terkait dengan persoalan hukum agraria,
namun di sisi lain harus bebas dari biaya pajak. Oleh karena itu, dalam rangka
Indonesia untuk berwakaf demi kepentingan umat Islam. Aturan ini mengatur
seluruh hal yang berhubungan dengan tanah wakaf yang ada di Indonesia seperti
111
Uswatun Hasanah, Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, (Jurnal
al-Awqaf dan Ekonomi Islam, 2008), hal. 9.
112
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, (Bandung: Alumni, 1979), hal. 19-20.
145
edaran ini juga ditujukan kepada para kepala wilayah yang mengharuskan agar
para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat bagi orang Islam. Artinya
hanya sekedar mengawasi dan menertibkan administrasi. Dalam daftar itu harus
dimuat asal-usul tiap rumah ibadat dipakai shalat Jumat atau tidak, keterangan
tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari
peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain. Namun,
tampaknya alasan ini tidak dapat meredam kekesalan umat Islam. Sehingga aturan
yang dibuat oleh pemerintah Belanda ini tidak berjalan efektif karena aturan ini
dijadikan sebagai alat pemerintah Hindia Belanda demi mendapat simpati dari
rakyat Indonesia.
Surat edaran tersebut ternyata menimbulkan reaksi keras dari umat Islam
yang membikin umat Islam gusar adalah keharusan wakif meminta izin Bupati
sebelum melakukan ikrar wakaf. Dengan adanya kebijakan ini banyak calon wakif
kolonial Belanda yaitu harus adanya persetujuan atau izin dari Bupati. Jika
menurut kaca mata Bupati, maka permohonan izin wakaf pasti ditolak.
113
Imam Suhadi, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1983),
hal. 6-7.
146
Surat edaran yang meresahkan masyarakat itu telah diperkuat kembali oleh
sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1931 No. 125/3, tentang Toezich Van de
Dalam surat edaran ini terdapat beberapa perubahan Bijblad 6196 antara lain
ibadat tersebut dipergunakan untuk shalat Jum’at atau tidak, mencatat asal usulnya
dan berupa wakaf atau bukan. Bijblad 6196 harus diperhatikan dengan baik
supaya diperoleh register harta benda wakaf. Perubahan yang mendasar pada surat
edaran tersebut bukan hanya mengatur mesjid dan tempat-tempat ibadah, namun
mengatur juga tentang penggunaan dan status tanah wakaf secara jelas. Teknis
dalam pelaksanaannya adalah harus mendapat izin terlebih dahulu dari penguasa
kekuasaan setiap wilayah khususnya untuk wilayah Jawa dan Madura yang
jumlah masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya yang ada di setiap kabupaten
masing-masing. Sistem pendataan yang diatur dalam Surat Edaran tersebut harus
pendukung yang ada di dalamnya, dan jenis barang tidak bergerak yang telah
114
Abdurrahman, hal. 19-20.
115
Ibid.
147
Islam masih saja dipertahankan yaitu keharusan mendapatkan izin dari Bupati.
Dengan kata lain, siapapun yang hendak berwakaf harus tetap mengantongi izin
izin, berdasarkan peraturan tersebut, Bupati ingin mengetahui secara jelas lokasi
dan luas tanah yang akan diwakafkan dan peruntukannya apa. Pemerintah Belanda
melakukan ini, sekali lagi, dengan dalih tertib administrasi. Data tanah wakaf
yang sudah mendapat izin ini akan dimasukkan dalam daftar yang dipelihara oleh
Wedana untuk digunakan sebagai bahan baginya dalam membuat laporan kepada
kantor Landrente.116
Hanya saja kebijakan ini masih belum dapat diterima oleh masyarakat Indonesia,
dan masih dimaknai sebagai bentuk campur tangan pemerintah atas tindakan
hukum privat (meteriil privaatrecht). Karena masalah privat, maka sah atau
terpenuhi atau tidak. Karena adanya desakan dari berbagai elemen masyarakat
pembebasan lembaga wakaf dari pajak. Kedua tentang kewenangan Bupati untuk
sengketa shalat Jum’at. Aturan yang terdapat dalam surat edaran ini pada akhirnya
tidak berjalan efektif disebabkan oleh proses perizinan yang sangat rumit dan
terkesan berbelit-belit.117
Sekretaris Gubernemen Nomor 1273/A termuat dalam Bijblad No. 13480 Tanggal
Jumat Umat Islam dan Wakaf).118 Kebijakan pemerintah dalam surat edaran ini
disebutkan dengan jelas bahwa orang yang akan berwakaf tidak perlu lagi
kepada Bupati. Berbeda dengan peraturan sebelumnya, pada edaran ini Bupati
hanya punya peran mempertimbangkan dan meneliti. Peran ini digunakan untuk
wakaf. Jika ada, Bupati hanya berhak mengajukan alternatif wakaf tanah-tanah
lain. Lalu, tanah-tanah wakaf tersebut didaftarkan oleh Kepala Raad Agama atas
Agraria). Dibanding dengan peraturan sebelumnya, surat edaran ini jauh lebih
117
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta, Ciputat Press, 2005), hal. 80.
118
Ibid.
149
administrasi perwakafan dalam edaran ini lebih tertata rapi, karena di dalamnya
wakaf.
masalah yang dihadapi dalam periode ini pada dasarnya menyangkut masalah
perekonomian pasca kolonial dan masalah sosial politik yang timbul akibat
diakibatkan oleh sektor pertanian yang sangat dominan dan relatif kurang
bahwa pada masa pemerintahan Orde Lama masalah ekonomi tidak mendapat
119
Subandi, Ekonomi Pembangunan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hal. 115.
120
Ibid. hal. 116-119.
150
berbagai sektor utama sejak tahun 1950 menunjukan kemunduran. Pendapatan riil
per kapita dalam tahun 1966 sangat mungkin lebih rendah daripada tahun 1938.
Sektor industri menymbangkan hanya sekitar 10% dari GDP dihadapkan pada
terjadi defisit anggaran belanja negara mencapai 50% dari keperluan total negara,
Baru merupakan masa pembenahan dalam bidang ekonomi secara prioritas yang
pertanian. Prioritas ini dilakukan dengan asumsi karena Indonesia sebagai negara
catur tertib pertanahan, terutama yang berkaitan dengan hak kepemilikan atas
121
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, hal. 206.
122
Ibid.
151
tanah. Dalam upaya mewujudkan tertib kepemilikan tanah oleh badan hukum dan
tanah yang bertujuan untuk meningkatkan catur tertib pertanahan. Catur tertib
perlu perhatian khusus dari semua pihak. Masalah tanah merupakan persoalan
yang sangat dominan yang sering menimbulkan perselisihan dan sengketa diantara
sebelumnya, namun sejatinya belum memiliki kekuatan hukum secara formal atau
belum adanya payung hukum yang mengatur serta mengikat berdasarkan produk
dimasyarakat.
Sebelum tahun 1960 institusi wakaf menjadi bagian hukum agraria. Wakaf
termasuk ranah privat yang dilakukan seseorang melalui pemindahan hak milik
123
Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional
Sadar Tertib Pertanahan.
152
pemerintah. Hukum wakaf pada masa ini masih ditempatkan sebagai ajaran murni
termasuk dalam kategori ibadah mahdhah (pokok), meskipun pada sisi lain wakaf
juga dipahami sebagai amal shaleh dalam bentuk habl min al-nas, namun
perlu dicatat.
konsumtif.124 Aset-aset yang berhubungan dengan wakaf dari sisi kegunaan atau
sesuai nilai-nilai keagamaan yang mereka adop dari kitab-kitab fikih bermadzhab
Syafi’i, seperti ketentuan ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, penunjukan
dengan dalil bahwa tidak ada satu-pun ketentuan hukum yang mengharuskan
perbuatan wakaf harus dicatat, kecuali penggunaan lafaz tertentu yang harus
diucapkan pada saat ikrar wakaf.126 Al-Syarbini dalam kitab Mughnī al-Muhtāj ilā
124
Muhammad Syafii Antonio, Kata Pengantar dalam Ahmad Djunaedi dan Thobieb al-
Asyhar, Menuju Wakaf Produktif, (Jakarta: Mumtaz Publising, 2010), hal. vii.
125
Departemen Agama, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Dirjen
Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2003), hal. 49. Ahmad Djunaidi dan Thabieb al-Asyhar,
Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok, Mumtaj Fublising, 2010), hal. 48.
126
Ketentuan ikrar tersebut menjadi pedoman dalam pelaksanaan wakaf sebagaimana
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh bermazhab Syafi’i.
153
Ma’rifat Ma’āni al-Faz al-Minhāj menyataan صˆˆحُّ ْال َو ْقˆˆفُ ِإالََّ بِلَ ْفˆˆ ٍظ
ِ َ( َوالَ يtidak sah
transaksi wakaf kecuali dilakukan secara lisan).127 Demikian juga Ibnu Hajar al-
Haitami dalam kitab Tuhfāt al-Muhtāj fi Syarh al-Minhāj ia menyataan َأيْ ْال ُمتَ َعلِّقَ ِة
Ikrar wakif secara lisan dianggap sebagai bentuk pernyataan wakaf yang
sah, telah memenuhi prosedur, dan memiliki keabsahan serta legalitas hukum
terhadap harta benda yang diwakafkan.129 Namun meskipun demikian tidak berarti
bahwa seorang wakif yang mewakafkan harta bendanya melalui tulisan atau
isyarat bukan berarti wakafnya tidak sah. Ikrar yang dilakukan dengan tulisan
dapat menjadi alat bukti kuat bahwa wakif benar-benar melakukan transaksi
pemindahan harta benda yang diwakafkan dari wakif kepada pengelola wakaf
(nadzir).
Penyerahan harta benda yang dilakukan wakif kepada nadzir secara kultur
benda-benda tidak bergerak dan bersifat kekal (muabbad) serta digunakan untuk
kepentingan tidak produktif. Tradisi ini dilakukan karena pengaruh kuat mazhab
Syafi’i yang menyatakan bahwa kekal tanpa dibatasi oleh waktu menjadi syarat
mutlak untuk harta benda yang diwakafkan. Mereka berargumentasi bahwa wakaf
127
Lihat Al-Khatib al-Syarbini, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat Ma’ānī al-Faz al-Minhāj,
Juz II, (Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2000) hal. 517.
128
Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfāt al-Muhtāj fī Syarh al-Minhāj, (Dar al-Nasr, t.t.), 41.
129
Ibid.
154
yang boleh diwakafkan pada akhirnya wakaf sulit berkembang dan manfaat
wakafpun tidak sampai pada tujuan yang seharusnya dicapai yaitu terciptanya
siapapun bisa ditunjuk sebagai nadzir. Anak atau keluarga terdekat tidak sedikit
yang menjadi nadzir. Hal tersebut dilakukan agar pelestarian harta yang
diserahkan wakif tidak berpindah tangan kepada pihak lain. Penomena seperti ini
menjadi hal yang wajar jika praktek wakaf yang berkembang peruntukannya
hanya terbatas pada kepentingan keluarga atau disebut wakaf ahli. Bentuk
perwakafan seperti ini tak ayal lagi sering memicu timbulnya konflik yang terjadi
antara keluarga atau keturunan dari pihak wakif dan nadzir dikemudian hari.
membicarakan tentang boleh atau tidaknya melakukan tukar menukar harta wakaf.
Dalam masalah ini, mayoritas umat Islam Indonesia berpegang pada pendapat al-
Syafi’i yang melarang melakukan tukar menukar harta wakaf kecuali dalam
kondisi apapun.131 Al-Nawawi menyatakan bahwa ada harta wakaf yang tidak
bermanfaat atau tidak dapat digunakan sesuai syarat yang ditentukan wakif.
Bentuk harta seperti inipun tidak boleh dijual dan dihibahkan, kecuali perlu
130
Lihat Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, hal. 74.
131
Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, hal. 186. Lihat Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-
Asyhar, hal. 50.
155
adanya upaya melestarikan status wakaf yang melekat pada harta benda yang
tidak bermanfaat tersebut, yaitu dengan cara menyewakan atau dengan bentuk-
bentuk transaksi lainnya.132 Meskipun demikian, jika dalam kondisi darurat ada
yaitu dalam bentuk harta benda wakaf yang tidak dapat dimanfaatkan sesuai
disembelih, dagingnya boleh dijual, dan hasil penjualannya dibelikan hewan yang
pengalihan fungsi tanah wakaf sesuai keinginan wakif, pengalihan fungsi tanah
wakaf yang digunakan untuk kepentingan umum, pengakuan kembali sebagai hak
milik yang dilakukan oleh ahli waris si wakif, dan lain sebagainya, semua itu
dipicu karena adanya perbedaan dalam memahami hakikat dan tujuan wakaf itu
seolah-olah tanah yang diwakafkan sudah menjadi milik ahli waris atau menjadi
miliki pengelola wakaf (nadzir).135 Padahal, yang demikian itu semestinya tidak
132
Al-Nawawi, Mughni al-Muhtaj, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 550.
133
Ibid.
134
Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj, Juz V, (Kairo: Musthafa al-Halabi, tt.), hal. 391.
135
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita. Alumni, Bandung, 1979, hlm 2.
156
Untuk memenuhi hasrat rakyat Indonesia dan umat Islam pada khususnya
zaman kolonial Belanda dengan cara membentuk peraturan tertulis sebagai produk
hukum nasional dan untuk merespos tuntutan konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD
mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta sejahtera, maka pada tahun 1960
UUD 1945.
sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1948, yaitu sejak lahirnya UU Nomor
Tahun 1948 ini terus dilengkapi oleh peraturan-peraturan yang lahir sesudahnya,
Pertikelir yakni tanah eigendom yang bercorak istimewa karena adanya hak
Pemindahan Atas Tanah, UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang diubah dan
136
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 332.
157
Pemakaian Tanah Tanpa Izin, dan UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil dengan memuat materi yang lebih adil karena menghapus praktek-
dan tahun 1951 mengeluarkan Kepres Nomor 36 Tahun 1951 tentang Panitia
menyampaikan tiga belas butir saran yang disampaikan kepada DPR, yaitu
pembelian hasil panen yang dapat melindungi petani kecil, koordinasi pengairan
dibentuk kembali oleh Presiden dengan tugas menyusun RUU Pokok Agraria
Nasional. Berdasarkan hasil rumusan yang dicapai panitia berupa penegasan baru
atas hasil-hasil rumusan panitia sebelumnya yaitu penghapusan asas domein dan
diganti dengan asas hak menguasai dari negara, serta WNI yang menjadi
tidak terlalu lama yaitu hanya memakan waktu dua minggu persis; 45 jam
137
Ibid. hal. 333.
138
Ibid.
158
relatif cepat bahkan dikatakan sangat singkat. Hal ini terjadi karena lamanya
proses pembentukan RUU tergolong waktu yang cukup panjang dan pengambilan
keputusan yang matang yaitu dalam rentang waktu lebih kurang dua belas tahun.
Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip
UUPA ini lahir selain untuk memenuhi kedua tuntutan tersebut di atas, UU
kepastian hukum agraria sebagai produk hukum nasional.141 Lahirnya UU ini telah
139
AP. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 6.
140
Mahfud MD menyatakan bahwa dengan diundangkannya UUPA (UU Nomor 5 Tahun
1960) sebenarnya masalah-masalah dasar yang menyangkut politik hukum agraria sudah
diselesaikan dan dikristalisasikan dalam norma hukum pada era orde lama. Lihat Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 279.
141
Lihat Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
159
secara fundamental yaitu hukum agraria yang dibentuk oleh pemerintah kolonial
Belanda sehingga menjadi unifikasi hukum tanah dan memperkokoh dasar hukum
ketentuan hukum tanah adat dan memiliki jaminan dari aspek kepastian hukum
tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa harus sesuai dengan kepentingan
yang ada pada saat itu disebut sebagai revolusi nasional. Revolusi nasional yang
tujuan agar terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
yang mengatur tentang hukum agraria seperti Agrarische Wet 1870 yang berwatak
142
Juhaya S Praja, hal. 33.
160
yaitu mengubah gaya lama penguasaan tanah yang kolonial dengan program
dimaksud oleh UUPA adalah bukan sekedar tanah pertanian, tetapi tanah yang
menjadi penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa, dan
untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya seperti lembaga wakaf
yang mengandung unsur agama yang telah diresipir oleh hukum adat harus
menjadi skala prioritas bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk
dibuatkan aturan-aturannya.
b. Pasal 5 menjelaskan bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria
Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
143
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hal.
334.
161
bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh
Pasal 2 (1) menyebutkan bahwa hak atas tanah dikuasai oleh negara
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
144
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960.
162
hak untuk menguasai dan mengatur adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah yang dimiliki oleh orang-orang, baik sendiri maupun
dalam ranah publik, karena hal ihwal yang menyangkut wakaf diatur oleh negara
mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa, serta
pasal ini mengandung perintah kepada pemerintah untuk membuat skala prioritas
dalam hal pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan
kepentingan suci lainnya. Dalam konsep Islam menggunakan fasilitas tanah untuk
menyatakan bahwa perbuatan wakaf adalah sah apabila telah diikrarkan oleh
pihak wakif secara lisan kepada seseorang atau lembaga tertentu yang diserahi
145
Kewenangan negara untuk menguasai tanah tersebut adalah sesuai amanat UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
163
harta wakaf. Tradisi berwakaf secara lisan atas dasar saling percaya antara kedua
belah pihak dalam kurun waktu yang sangat lama terus dipertahankan. Mereka
berpandangan bahwa wakaf adalah salah satu bentuk amal saleh yang mempunyai
nilai mulia di hadapan Allah dan harta yang telah diwakafkan dianggap telah
menjadi milik Allah. Dengan demikian, maka ikrar wakaf tidak harus ditempuh
melalui prosedur administratif karena tidak ada seorangpun yang akan berani
atau sering terjadinya sengketa antara wakif dengan pihak ketiga karena akibat
tidak adanya bukti wakaf dilaksanakan secara tertulis, seperti akta ikrar wakaf,
sertifikat tanah, dan lain-lain. Dari kenyataan itulah, paling tidak sejak
tidak, pelaksanaan pembaharuan paham yang selama ini sudah dan sedang
penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 146 Dalam rumusan
146
UU Nomor 5 Tahun 1960 pasal 14 ayat (1).
164
pasal ini terkandung amar kepada pemerintah agar membuat skala prioritas dalam
kepentingan suci lainnya. Dua kata terakhir yang disebutkan melalui Undang-
tanah yang ada di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk tanah wakaf
peraturan tentang bagaimana penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan ruang
147
Departemen Agama, Pola Pembinaan Lembaga Pengelola Wakaf (Nazhir), (Jakarta:
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004), hal. 21.
148
Menurut Mahfud MD, ada tiga masalah pokok yang harus dihadapi pemerintah setelah
dibentuknya UUPA. Sesuai namanya sebagai UU Pokok, maka UUPA tersebut baru merupakan
hukum dalam keadaan tidak bergerak sehingga masih memerlukan berbagai peraturan pelaksanaan
untuk mengoperasikannya sesuai dengan isi peraturan-peraturan tertentu di bidang agraria. Lihat
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hal. 280.
165
pada satu bentuk berdasar hak delegasi, tetapi juga mencakup UU, PP, Perda, dan
dikenal oleh bangsa Indonesia. Perwakafan merupakan salah satu bentuk dari
pemindahan hak atas tanah dan bukan pemindahan hak atas tanah biasa, karena
agama Islam. Dengan demikian perbuatan hukum di dalam perwakafan tanah ini
milik ini dinyatakan bahwa tanah yang diwakafkan itu dikeluarkan dari lalu lintas
ekonomi. Tanah yang sudah diwakafkan tidak bisa lagi untuk dijual, diwariskan
Milik disahkan pada tanggal 17 Mei 1977 merupakan implementasi dari pasal 49
ayat 3 UUPA sebagai payung hukum bagi institusi wakaf. Periode ini merupakan
149
Lihat Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1960.
166
lanjutan dan penguatan hukum perwakafan yang berlaku pada periode sebelumnya
Bijblaad op het Staatsblad Nomor 6196 Tahun 1905, 12573 Tahun 1931, 13390
Tahun 1934, dan 13480 tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang
tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data yang nyata dan lengkap mengenai
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal,
yaitu: (1) aturan tentang perwakafan tanah pada masa lampau belum memenuhi
kebutuhan dan belum diatur secara tuntas dalam suatu peraturan perundang-
tujuan wakaf. Implikasinya banyak tanah wakaf yang menjadi hak milik ahli waris
setelah terjadinya perebutan antara ahli waris wakif dengan nadzir. Kemenangan
ahli waris tersebut karena wakaf hanya dilakukan dengan cara ikrar lisan saja
150
Lihat Pasal 17 PP No. 28 Tahun 1977.
167
sedangkan nazhir tidak mempunyai alat bukti wakaf secara tertulis dari wakif.
Memang pada waktu itu tidak adanya ketentuan yang mengharuskan untuk
diwakafkan tidak diketahui lagi keadaannya, bahkan ada di antaranya yang telah
menjadi milik ahli waris dari pengurus (nazhir) wakaf bersangkutan. (2) belum
mengatasi masalah yang muncul dari praktik perwakafan di Indonesia. (3) tidak
adanya instrumen hukum kuat yang mendukung aturan wakaf. Hal ini
tukar guling tanah wakaf, perubahan peruntukan, pergantian nazhir, dan, lain
sebagainya. Karena tidak adanya aturan yang detail semacam itu, maka
perwakafan tanah pun berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
nazhir dengan tanpa ada panduan yang jelas dari pemerintah. Inilah yang juga
turut menyebabkan ruwetnya perwakafan tanah saat itu. (4) adanya antipati
terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu dapat dipergunakan sebagai salah
satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam. (5)
maraknya kasus wakaf karena adanya ketidakjelasan pada status tanah wakaf.151
151
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press,
1988), hal. 99. Lihat Abdullah ‘Ubaid, Pasang Surut Tanah Wakaf di Tengah Kemelut Agraria,
Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 31 Tahun 2012.
168
memberi penjelasan dan rincian lebih luas tentang hukum perwakafan yang
dimaksud dalam UUPA, diantaranya tentang fungsi wakaf, batasan harta benda
wakaf, nazir, tata cara perwakafan tanah milik, pendaftaran wakaf tanah milik,
secara rinci Peraturan Pemerintah meliputi tujuh bab dan delapan belas pasal.
tentang ketentuan umum, terdiri satu pasal yaitu pasal 1 menjelaskan definisi
wakaf, wakif, ikrar, dan nazir. Bab II tentang fungsi wakaf, terdiri tujuh pasal
unsur dan syarat-syarat wakaf, serta pasal 7 dan 8 menjelaskan kewajiban dan
hak-hak nazir. Bab III mengenai tata cara mewakafkan dan pendaftarannya, terdiri
dari dua pasal yaitu pasal 9 menjelaskan tentang tata cara perwakafan tanah milik,
dan pasal 10 tentang pendaftaran wakaf tanah milik. Bab IV tentang perubahan,
penyelesaian dan pengawasan perwakafan tanah milik, terdiri dari tiga pasal yaitu
pengawasan perwakafan tanah milik. Bab V tentang ketentuan pidana, terdiri dari
dua pasal yaitu pasal 14 menjelaskan tentang ketentuan pidana bagi pelanggar
bagi pelanggar atas nama badan hukum. Bab VI tentang ketentuan peralihan,
terdiri dari dua pasal yaitu pasal 16 menjelaskan tentang ketentuan penyesuaian
1977, dan pasal 17 tentang pencabutan segala peraturan tentang perwakafan tanah
ketentuan penutup terdiri dari satu pasal yaitu pasal 18 menjelaskan tentang
adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
sesuai dengan ajaran agama Islam.152 Pengertian ini diperkuat oleh pasal 1 hurup b
No. 28 Tahun 1977. Substansi pasal 1 (1) di atas adalah mengatur tentang batasan
harus berupa tanah milik, bentuk wakaf yang diakomodir adalah wakaf khairi
(sosial) bukan wakaf dzurri (keluarga), batasan wakaf adalah untuk selama-
beberapa unsur dan persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 1 dan pasal 3 UU No.
28 Tahun 1977 menjelaskan tentang beberapa unsur yang harus ada dalam
perwakafan, yaitu, orang yang berwakaf (wakif), benda yang diwakafkan (tanah
kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak lain, dan memperhatikan peraturan
harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan seperti bank yang
didirikan oleh negara (bank negara) sepanjang untuk penunaian tugas-tugas dan
luasnya tidak boleh lebih dari batas maksimum kepemilikan tanah pertanian,
154
PP No. 28 Tahun 1977 pasal 1 dan 4.
155
Ibid. pasal 1 ayat (2)
156
Ibid. pasal 3 ayat (1)
157
PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat
Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
171
seorang wakif atau lembaga yang mengatasnamakan wakif pada saat melakukan
perbuatan wakaf harus memiliki tujuan yaitu untuk mengekalkan manfaat benda
dipandang sebagai perbuatan suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu tanah yang diwakafkan dari sudut kepemilikanya harus betul-betul
sempurna menjadi hak milik wakif, di dalamnya tidak memiliki cacat, tidak
lain, serta tidak dalam sengketa. Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor
5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun menurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan
Benda wakaf yang dimaksud adalah tanah hak milik atau tanah milik yang
bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara .159 Batasan benda wakaf
sebagaimana diatur oleh PP hanya mengatur batasan wakaf relatif sempit karena
hanya terbatas pada wakaf tanah dan tidak mengakomodasi jenis-jenis harta wakaf
yang lainnya. Kedua jenis tanah yang dimaksud oleh PP tersebut memiliki
pengertian yang berbeda. Tanah milik adalah tanah turun temurun atau disebut
juga tanah adat, sedangkan tanah hak milik adalah tanah yang telah bersertifikat,
gangguan atau gugatan dari pihak lain, dan bebas menggunakan tanah tersebut
158
Lihat PP No. 28 Tahun 1977 pasal 2.
159
Ibid. pasal 4.
172
berlaku.160 Oleh karena itu, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan
hak sewa tidak dapat disebut sebagai tanah hak milik sehingga tidak dapat
seperti tanah bengkok dan tanah-tanah lain yang sejenis, tidak dapat diwakafkan,
Benda wakaf dalam konteks hukum akan memiliki legalitas formal atau
kekuatan hukum jika wakif telah menyatakan perbuatannya melalui ikrar. Ikrar
adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. 161
Peraturan Pemerintah ini telah menegaskan bahwa wakaf tidak hanya berdasarkan
hasil kesepakatan perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak, tetapi
sahnya perbuatan wakaf adalah jika dilakukan ikrar. Ikrar yang dimaksud dalam
PP harus dilakukan secara tertulis, sehingga jika wakif tidak dapat hadir, maka ia
dapat menyatakan ikrarnya secara tertulis dan harus mendapat persetujuan dari
Kepala Kantor Departemen Agama yang mewilayahi tanah wakaf.162 Hal ini
dilakukan untuk memberi penegasan bahwa ikrar memiliki urgensi yang sangat
penting untuk mendapatkan legalitas formal kedudukan harta wakaf. Pasal 9 (1)
tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk
melaksanakan Ikrar Wakaf. Pasal ini memperkuat dan menjadi ketentuan legalitas
160
Mohammad Daud Ali, hal. 111. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:
Jambatan, 1993), hal. 7.
161
PP No. 28 Tahun 1977 pasal 1 ayat (3).
162
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 2 ayat (1dan 2).
173
keberagamaan yang bersifat lokal. Kebiasaan ikrar ini dilakukan karena kuatnya
bahwa pernyataan lisan secara jelas termasuk bentuk pernyataan wakaf yang sah.
Pernyataan ikrar yang dimaksud PP ini yaitu harus disampaikan dari pihak
wakif kepada penerima yang hendak mengelola harta benda wakaf (nadzir)
dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dengan disaksikan oleh 2
(dua) orang saksi, untuk selanjutnya ikrar tersebut dituangkan secara tertulis
dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf (AIW).163 Tujuan dibuatnya akta ikrar wakaf
adalah untuk memperoleh pembuktian secara legal atau bukti otentik yang
digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk pendaftaran tanah wakaf pada
itu guna memenuhi persyaratan sebelum pelaksaaan ikrar wakaf, maka wakif
penting lainnya seperti sertifikat hak milik atau benda bukti pemilikan tanah
lainnya, surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang dikuatkan oleh Camat
Kepala Daerah, dalam hal ini Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional.
Menurut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977, pelaksanaan ikrar wakaf dianggap sah apabila dihadiri dan
Ibid..
163
174
apabila pelaksanaan ikrar wakaf tersebut tidak dihadiri oleh saksisaksi, maka
wakaf tersebut tidak sah. Untuk menjadi saksi seseorang harus memenuhi syarat-
Nomor 1 Tahun 1978, yaitu dewasa, sehat akalnya, tidak terhalang untuk
Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. 164 Dalam hal di
Ikrar Wakaf, menyampaikan Akta Ikrar Wakaf atau salinannnya kepada para
pihak (wakif, nadzir, Kepala Desa, Ketua PA, dan Kepala Kantor Departemen
tanah wakaf kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah dalam hal ini Kantor Badan
Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.166 Nadzir yang terdiri dari kelompok
beragama Islam, sudah dewasa, sehat jasmaniah dan rohaniah, tidak berada
yang diwakafkan.167 Adapun jika nadzir berbentuk badan hukum, maka harus
dapat memperoleh hak yang dapat diperoleh dari hasil usaha pengelolaan dan
165
Lihat dan bandingkan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 7 dan
Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78.
166
PP Nomor 28 Tahun 1977 Pasal 1 ayat (4).
167
Ibid. Pasal 6 ayat (1)
168
Ibid. Pasal 6 ayat (2, 3, dan 4).
176
Agama sesuai dengan tujuan wakaf, nadzir diwajibkan membuat laporan secara
berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf, dan nadzir berhak
lebih lanjut oleh Menteri Agama.169 Adanya tanggungjawab dan kewajiban nadzir,
serta hak yang dapat diperoleh nadzir hal tersebut menunjukan bahwa adanya
pengelola wakaf baik nadzir perorangan maupun badan hukum yang diangkat
sebagai nadzir mereka tidak hanya memiliki integritas yang tinggi, akan tetapi
Tata cara pendaftaran wakaf tanah hak milik secara rinci diatur oleh
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 Tanggal 26 November 1977.
Peraturan Menteri ini mengatur tentang penerbitan sertifikat tanah wakaf sebagai
bukti bahwa tanah yang telah dibuatkan akte peralihan haknya (dari status hak
tentang perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini meliputi tata cara pembuatan akta
dari sejak pembuatan akta ikrar wakaf, siapa pejabat yang diberi wewenang untuk
membuat akte wakaf yang lazim disebut Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW), dan aturan tentang pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum
terbitnya PP Nomor 28 Tahun 1977 sebagai peraturan transisi. 170 Selanjutnya oleh
169
Ibid. pasal 7 dan 8
170
Jurnal Hukum Bisnis Volume 11, 2000, hal.101.
177
perwakafan tanah milik. Kemudian. Instruksi ini ditujukan kepada para Gubernur
Kepala Daerah dan para Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Seluruh
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara
Instansi dan Pejabat bawahannya untuk mentaati dan melaksanakan Instruksi ini
serta segenap peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan oleh Menteri Agama dan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tanpa biaya apapun kecuali biaya
sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Instruksi Menteri Agama
Nomor 73 Tahun 1978, dan Surat Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji
Wakaf yang Bebas Materai dan Yang Tidak Bebas Materai. Surat Dirjen Bimas
Tujuan dan manfaat yang dapat diperoleh dari ketentuan ikrar wakaf yang
dilakukan secara tertulis dan pencatatan wakaf yang dilakukan oleh PPAIW yaitu
wakaf tidak boleh dilakukan kecuali atas persetujuan menteri kecuali ada alasan-
171
PP Nomor 28 Tahun 1977 pasal 11 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pada
dasarnya tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau
penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf. penyimpangan dari ketentuan
tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni karena tidak sesuai lagi dengan tujuan
wakaf seperti diikrarkan oleh wakif dan karena untuk kepentingan umum.
179
Pasal 12
Pasal 15
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama Badan
Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan,
baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau
penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.
Tahun 1977 tersebut ternyata masih belum memberikan peluang yang maksimal
diatur dalam Buku III Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Namun demikian, posisi Kompilasi Hukum Islam
di kalangan para ahli hukum masih dipermasalahkan. KHI dihadapkan pada dua
pandangan. (1) KHI ditempatkan sebagai hukum tidak tertulis seperti yang
hukum tertulis. Kelemahan pandangan ini seperti pada pembagian KHI terhadap
KHI lebih akrab dengan hukum tertulis. (2) KHI dapat ditempatkan sebagai
hukum tertulis sekalipus tidak seluruhnya. Sumber KHI berisi rule yang dapat
181
dimulai sejak tahun 1958 bertepatan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Biro
pembentukan Kompilasi Hukum Islam ini tidak lepas dari beberapa landasan
hukum Islam pada prinsipnya bersifat dinamis, pleksibel, dan tidak rigid. Hukum
yang membumi dan mampu berdialog dengan realitas. Landasan ini dimunculkan
karena adanya kebutuhan hukum materil bagi lembaga Peradilan Agama untuk
dijadikan referensi pasti bagi hakim PA dalam penetapan hukum (tathbiq al-
yang ditetapkan hakim dalam kasus yang sama, sehingga perlu adanya upaya
kodifikasi dan unifikasi madzhab yang direduksi dari berbagai kitab fikih. Upaya
ini diawali adanya tim bersama yang dibentuk berdasarkan SKB Ketua MA dan
Menteri Agama Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985, Tgl. 25 Maret
Amir bin Mu’allim, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam di
172
Lingkungan Pengadilan Agama se-Jawa Tengah dan PTA Semarang, 1991-1997) , (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006), hal. 2.
182
1985 tentang Pembentukan Tim Bersama untuk menyusun KHI yang terdiri dari
beberapa unsur yaitu unsur pejabat pemerintah, hakim, ulama, dan cendekiawan.
keputusan hakim sebagaimana yang dimaksud oleh surat edaran tersebut adalah
IAIN Ar-Raniri Aceh bertugas meneliti kitab al-Bajuri, Fathu al-Mu’in, Syarqawi
Jakarta meneliti kitab I’anat al-Thalibin, Tuhfah, Targhib al-Musytaq, Bulghat al-
dan Fiqh Sunnah. IAIN Sunan Ampel meneliti kitab Kasyf al-Qina, Majmu’ al-
Nawab al-Jalil, Syarh al-Muwatha, dan Hasyiyyah al-Dasuki. IAIN Imam Bonjol
yang dijadikan sample tersebut adalah Palembang terdiri dari 20 orang responden,
Banda Aceh terdiri dari 20 orang responden, Medan terdiri dari 19 orang
responden, Padang terdiri dari 2 orang responden, Bandung terdiri dari 16 orang
terdiri dari 19 orang responden, dan Mataram terdiri dari 20 orang responden,
Pada tahun 1986 tim bersama juga melakukan studi banding ke beberapa
Maroko, Turki dan Mesir. Pelaksanaan studi banding ke Marokko dilakukan pada
tanggal 28-29 Oktober 1986, Turki pada tanggal 1-2 Nopember 1986, dan Mesir
Hasil telaah berbagai kitab fikih, wawancara, dan studi banding yang
dilakukan oleh tim bersama telah rampung pada tahun 1988 yang dapat
menghasilkan rumusan Kompilasi Hukum Islam. Pada tanggal 2-6 Februari 1989
184
pembaharuan dalam hukum Islam. Upaya unifikasi, kompilasi, dan kodifikasi ini
dalam pemikiran hukum Islam pernah diusulkan Ibn al-Muqaffa kepada al-
doktrin atau ajaran yang berbeda-beda diunifikasi dan dikodifikasi dalam sebuah
aturan perundang-undangan yang menjadi rujukan bagi para hakim dan bersifat
mengikat.173
mengakomodasi hukum dan peraturan adat serta tradisi yang hidup di masyarakat
yang dapat diterima oleh kaidah dan prinsip-prinsio hukum Islam, untuk
fleksibel, aplikatif, dan adaftif sesuai dengan kondisi dan alam pikiran masyarakat
173
Ahmad Imam Mawardi, Rationale Sosial Politik Pembuatan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, dalam Dody S Truna dan Ismatu Rofi (Penyunting), Pranata Islam di Indonesia:
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
2002) , hal. 98 dan 112.
185
KHI.174
Nomor 14/1970 Pasal 10: ”Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Secara politis, awal tahun 1990 merupakan waktu yang tepat bagi
menjadi hukum tertulis. Salah satu yang masuk dalam kodifikasi tersebut adalah
tentang perwakafan.
Aturan yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini membawa
berbentuk elaborasi dari aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Di sisi lain, instruksi presiden
yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor
wakaf. KHI masih mengadopsi paradigma lama yang literal yang cenderung
174
Ibid., hal. 109
175
Ketentuan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an surah al-Nisa: 59 dan
beberapa kaidah ushul dan kaidah fikih seperti kaidah ilzām al-syulthān fī masāil al-ijtihād yarfa’
al-khilāf, tasharruf al-imām ‘ala al-ra’iyyah manūthun bī al-mashlahah, dan kaidah taghayyur al-
fatwā bī taghayyur al-azminah wa al-amkinah.
186
bersifat fiqh minded. Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan
jenis-jenis benda yang boleh diwakafkan, perubahan status wakaf, dan lain-lain.
Menurut KHI, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Pengertian wakaf tersebut telah
mengalami perluasan dari sisi benda yang boleh diwakafkan sebagaimana telah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama
dengan ajaran agama Islam. Beberapa definisi tentang wakaf di atas terlihat sama
Objek atau benda wakaf menurut PP Nomor 28 Tahun 1977 adalah harus
berupa tanah milik, sedangkan menurut KHI benda wakaf tidak hanya terbatas
pada tanah namun dapat berupa benda-benda lainnya. Menurut KHI jenis benda
yang boleh diwakafkan dapat berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak
yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam.176
pada periode ini masih dilakukan semi professional. Pada periode ini objek wakaf
tidak hanya terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah, tetapi telah
mengalami perluasan pada benda bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak
hanya sekali pakai dan bernilai menurut hukum Islam. Demikian pula dengan
perwakafan.
1. Alasan Filosofis
176
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 (4).
188
a. Wakaf sebagai salah satu ajaran Islam memiliki nilai ibadah bagi
yang melaksanakan
d. Praktik wakaf belum tertib dan efisien sehingga perlu payung hukum
2. Alasan Sosiologis:
bergerak
muslim
3. Alasan Yuridis
sosial
189
1. Fungsi wakaf: mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf
untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum
2. Harta Benda wakaf (benda tidak bergerak dan benda bergerak)
3. Wakif (perseorangan, organisasi, dan badan hukum)
4. Nazir wakaf (perseorangan, organisasi, dan badan hukum)
190
Krisis ekonomi yang mendera bangsa Indonesia, sejak Juli 1997 perlahan
perekonomian, sebagai akibat depresiasi nilai tukar yang sangat tajam dan inflasi
hasil evaluasi Badan Pusat Statistik tahun 2000 menyimpulkan bahwa program
191
yang tepat sasaran hanya 30,52%, 41,81% tidak tepat sasaran, dan 27, 67% tidak
diketahui.177
drastis dibandingkan dengan awal tahun 1998 yang mencapai 24,2%.178 Data BPS
tersebut sebenarnya pada angka semata, karena tidak sesuai dengan fakta tingkat
49,5%. Keadaan ini disebabkan karena sektor ril tidak bergerak, PHK (Pemutusan
lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang.
zakat. Sebetulnya kalau wakaf dikelola secara baik, dapat meningkatkan taraf
pengelolaan wakaf produktif. Beban sosial ekonomi yang dihadapi bangsa saat
177
Badan Pusat Statistik, Evaluasi Pelaksanaan Program Pengentasan Kemiskinan
Terpadu 2000, (Jakarta: BPS, 2001).
178
http://rozalinda.wordpress.com/2010/05/04/perkembangan-perwakafan-di-
indonesia/ diakses 10-4-2014
192
ini, seperti tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara mendasar dan
menyeluruh melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup yang lebih luas
1998, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan
umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja,
objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja,
tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak
sewa dan sebagainya. Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat
tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai,
hari ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan
harmonis antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan
arena bagi artikulasi politik Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik
usia sepuluh tahun. Setelah melalui perjuangan politik yang panjang, diajukan
2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono setelah disetujui oleh DPR RI.
194
berfungsi sebagai regulator, motivator dan fasilitator bagi pengelola wakaf yang
dilakukan oleh nazir dari masyarakat dan diberi kewibawaan formal melalui
pengukuhan pemerintah.
Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, minimal 4 hal yang menjadi kendala
krisis ekonomi dalam negeri, lemahnya politicall will, nadzir tidak profesional,
dalam periode ini. Pengembangan lembaga wakaf yang dicapai pada periode ini
(batasan jabatan nadzir dan profit bagi nadzir), perluasan makna benda bergerak,
peraturan tentang wakaf. (2) menjamin kepastian hukum dalam bidang wakaf. (3)
melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif, nazir perorangan, organisasi,
tanggung jawab bagi para pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf.
179
Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, hal. 47-60.
195
(5) sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian
pula wakaf benda tidak bergerak dan benda bergerak termasuk wakaf uang.
Adapun sasaran yang ingin diwujudkan melalui penyusunan UU Wakaf adalah (1)
terciptanya tertib hukum dan tertib aturan di bidang wakaf dalam wadah negara
pengelolaan dan pemanfaatan aset wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah;
pelaksanaan peran, tugas dan fungsi Badan Wakaf Indonesia (BWI); (4)
terwujudnya akumulasi aset wakaf sebagai baitul mal atau Lumbung Nasional
peraturan yang ada, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 38 Tahun 1963 tentang
Petunjuk Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah,
serta PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Melalui UU ini,
yang lebih kuat serta dapat menampung praksis perwakafan di Tanah Air.
umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja,
180
Lihat Naskah Akademik Penyusunan Rancangan Undang-Undang Wakaf, hal. 27.
196
objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja,
tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak
sewa dan sebagainya. Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat
tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai,
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara simbolik menandai kemauan politik
dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis antara Islam dan negara.
seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik
Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh
wakaf secara modern. Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf
mengandung dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun
yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak
197
terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum
yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner. Jika dapat
orientasi ideologis menuju visi sosial ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini
sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Umat mulai menyadari bahwa
eksistensi mereka lebih bermakna. Apabila mereka kuat secara sosial dan ekonomi
dan tidak hanya sekedar unggul dalam statistik. Dengan posisi sosial ekonomi
yang kuat, negara akan lebih memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan
gerakan umat Islam. Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya
undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib
wakaf dapat dilakukan secara profesional, amanah, dan transparan sehingga tujuan
wakaf secara lebih baik. Walaupun terlambat dari negara Islam lainnya,
political will pemerintah untuk menuju apa yang sudah dilakukan di negara-
sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu
dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk
yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang pengaturannya
undangan. Pada waktu yang lampau, peraturan tentang perwakafan dalam suatu
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda
pihak ketiga dengan cara melawan hukum atau bertentangan dengan syariat. Hal
diwakafkan dan tidak ada keharusan untuk didaftarkan, sehingga banyaklah harta
benda wakaf yang tidak diketahui lagi keberadaannya, dan banyak sekali terjadi
tidak hanya diakibatkan oleh adanya kelalaian atau ketidakmampuan nazir dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, tetapi sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya
peruntukan wakaf. Atas dasar itulah, lahir UU No. 41 Tahun 2004 tanggal 27
Oktober 2004 yang dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 159 tahun 2004. UU
ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi.
200
Mengenai ketentuan umum perwakafan yang dimuat dalam pasal 1 (1) UU No. 41
Tahun 2004, isinya mengemukakan pengertian wakaf, wakif, ikrar wakaf, nazir,
harta benda wakaf, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Badan Wakaf
pengertian wakaf yang disebutkan dalam PP No. 28 tahun 1977 pasal 1 yang
diwakafkan atau dalam KHI pasal 215 yang hanya dapat dipahami untuk selama-
lamanya, artinya wakif tidak dapat mewakafkan harta bendanya untuk jangka
waktu tertentu. Pengertian wakaf tersebut dalam pasal 215 belum benar-benar
sesuai dengan syariat Islam yang membolehkan wakaf dalam jangka waktu
tertentu.
Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung
terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut
harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda
bergerak lainnya. Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat
Wakaf uang adalah wakaf yang diberikan oleh wakif dalam bentuk uang
tunai sementara pokoknya tidak habis sampai kapanpun yang diberikan kepada
kemaslahatan umat. Wakaf ini dulu dipandang sebagai sesuatu yang mustahil
dilakukan, namun pada akhirnya masuk dan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun
sudah saatnya menjadikan wakaf tunai sebagai instrumen finasial, keuangan dan
perbankan sosial.182
Pasal 1 ayat (6) UU No. 41 Tahun 2004 menjelaskan tentang PPAIW atau
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang merupakan pejabat berwenang yang
ditetapkan oleh Menteri untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW). Penjelasan
PPAIW di sini tidak serinci sebagaimana disebut dalam pasal 251 ayat 6 dan 7.
Menurut Pasal 215 ayat 6 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
berdasarkan peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dari wakif dan
perwakafan. Pasal 215 ayat 7 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 adalah pejabat yang diangkat dan
181
Ada perdebatan di kalangan para ulama tentang kebolehan wakaf uang. Abdullah al-
Anshari membolehkan wakaf uang. Ibnu Qudamah mengutif sebagian besar ulama tidak
membolehkan wakaf dalam bentuk uang baik dinar maupun dirham dengan alasan bahwa kedua
mata uang tersebut akan lenyap wujudnya pada saat dibayarkan. Lihat Depag, Proses Lahirnya
UU Wakaf, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hal. 95-97.
182
Ibid., hal. 1.
202
perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan
perwakafan. Dua ayat selanjutnya dan merupakan dua ayat terakhir di dalam BAB
Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. Dan Menteri
tumbuh, dan terpelihara sebagai suatu pranata keagamaan dalam kehidupan umat
Islam di tanah air.
Sejarah perwakafan dapat ditelusuri sejak tersiarnya agama Islam di kepulauan
nusantara. Hal ini terbukti dengan berdirinya tempat-tempat ibadah, lembaga
pendidikan Islam, maupun sarana sosial lainnya di atas tanah wakaf. Pada
prinsipnya, aset atau investasi wakaf harus terusterpelihara dan berkembang
sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan umat. Ketentuan hukum Islam
secara tegas melarang tindakan melenyapkan keabadian wakaf dengan alasan
apapun, atau mengurangi nilai aset yang telah diwakafkan atau membiarkan
terlantar tanpa diolah atau dimanfaatkan.
Potensi tanah wakaf di Indoesia pada saat ini (2002) cukup besar, yakni 359.462
lokasi dengan luas keseluruhan 1.472.047.607 M2 yang selalu berkembang
mengikuti perkembangan ekonomi umat. Sebagian tanah wakaf tersebut berada
pada tempat/lokasi strategis di kawasan perkotaan seluruh Indonesia. Seiring
dengan perkembangan wacana wakaf, yang dahulu wakaf hanyalah harta tetap
(fixed asset), tapi kini makin luas dengan dikenalnya wakaf aset bergerak atau aset
lancar (current asset), bahkan berkembang juga wakaf tunai (cash waqf)
berbentuk uang, maka dibutuhkan landasan hukum yang lebih memadai.
Pembuatan landasan hukum wakaf yang memadai sangat penting, di samping
perkembangan wakaf ternyata terjadi kasus-kasus perwakafan yang cenderung
meningkat belakangan ini.
Pengelolaan wakaf di tanah air kita memiliki peluang dan prospek pengembangan
yang positif, baik dari segi kuantitas maupun pemanfaatannya. Perkembangan
wakaf pada waktunya akan mengarahkan menjadi kegiatan investasi dan ekonomi
produktif dalam rangka pengentasan kemiskinan dan memajukan kesejahteraan
masyarakat, sebagaimana yang telah berjalan di beberapa negara muslim seperti
Arab Saudi, Mesir, Tunisia, Turki, Bangladesh dan lain-lain.
Substansi perwakafan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sektor
pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private sector), sehingga
memerlukan pengaturan tersendiri. Apalagi dalam menghadapi era pasar bebas
mutlak diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan yang memiliki visi
masa depan, tetapi tetap berpijak pada prinsip kedaulatan nasional. Oleh kartena
itu, pelembagaan hukum Islam ke dalam produk perundang-undangan negara
tentang wakaf memiliki argumen historis, sosiologis dan strategis yang
merefleksikan kehendak dan aspirasi umat Islam Indonesia.
2. Tujuan Penyusunan
Prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang wakaf bertujuan untuk:
a. Menjamin kepastian hukum di bidang wakaf;
b. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nazhir;
c. Meningkatkan kesejahteraan umat Islam dan bangsa Indonesia;
d. Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak
yang mendapat kepercayaan mengelola harta wakaf;
e. Sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian
kasus-kasus wakaf;
206
4. Pokok Pikiran, Lingkup dan Objek Materi Pokok pikiran, lingkup dan objek
yang akan diatur dalam materi RUU Wakaf yang akan disusun antara lain,
meliputi:
(1) Pengertian wakaf
(2) Syarat-syarat, macam dan bentuk wakaf
(3) Syarat-syarat wakif dan nazhir
(4) Tata cara dan registrasi wakaf
(5) Fungsi wakaf
(6) Perubahan status dan penggantian benda wakaf
(7) Pendaftaran wakaf
(8) Nazhir wakaf
(9) Penerima wakaf
(10) Badan wakaf
(11) Tata cara dan persyaratan kemitraan
(12) Kewajiban dan hak-hak nazhir
(13) Pengawasan harta wakaf
(14) Penyelesaian perselisihan wakaf
(15) Sanksi pelanggaran hukum wakaf
(16) Peran organisasi non-pemerintah dalam pengelolaan wakaf
(17) Ketentuan peralihan
5. Jangkauan dan Arah Pengaturan Jangkauan dan arah pengaturan dalam RUU
Wakaf ialah:
a. Peran dan tanggung jawab pemerintah dalam membina, melindungi dan
memajukan lembaga wakaf;
b. Peran dan tanggung jawab masyarakat, termasuk di dalamnya organisasi atau
lembaga pranata keagamaan, dalam mengelola, memelihara, memberdayakan dan
mengembangkan serta akuntabilitas wakaf;
c. Pelembagaan dan pengelolaan wakaf berdasarkan sistem ekonomi syariah untuk
memajukan dan menyejahterakan umat;
207
oleh Ormas Islam. Sebagian tanah wakaf itu ada yang terletak di tempat/lokasi
yang strategis di kawasan perkotaan. Pengelolaan perwakafan di tanah air kita
memiliki peluang dan prospek perkembangan yang positif, baik dari segi kuantitas
maupun pemanfaatannya. Diharapkan perkembangan wakaf pada waktunya akan
mengarah menjadi kegiatan investasi atau dana abadi dan dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan ekonomi produktif dalam rangka pengentasan kemiskinan dan
memajukan kesejahteraan masyarakat.
5. Penyusunan RUU tentang Wakaf bertujuan untuk:
a. mengintegrasikan peraturan perundang-undangan bidang perwakafan.
b. menjamin kepastian hukum di bidang perwakafan.
c. melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nadzir.
d. sebagai intrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak
yang mendapat kepercayaan mengelola benda wakaf.
e. sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian
kasus-kasus perwakafan.
f. mendorong optimalisasi pengelolaan potensi wakaf, dan
g. memperluas pengaturan mengenai wakaf sehingga mencakup pula wakaf uang
dan surat-surat berharga.
6. Sasaran yang ingin diwujudkan melalui penyusunan RUU tentang Wakaf
adalah :
a. terciptanya tertib hukum dan tertib aturan di bidang perwakafan dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia;
b. terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan
asset wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syariah; tersedianya landasan peraturan
perundang-undangan bagi pembentukan dan pelaksanaan peran, tugas dan fungsi
Badan Wakaf Indonesia;
c. terwujudnya akumulasi asset wakaf sebagai alternatif sumber pendanaan bagi
pembangunan masyarakat.
7. Pokok-pokok pikiran, lingkup dan obyek materi RUU tentang wakaf diatur
dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Dasar-Dasar Wakaf
Bab III Kelembagaan
Bab IV Tata Cara Perwakafan
Bab V Kemitraan Dan Pemberdayaan
Bab VI Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan
Bab VII Ketentuan Pidana
Bab VIII Ketentuan Peralihan
Bab IX Ketentuan Penutup
Perluasan obyek wakaf berupa benda bergerak tersebut yang secara hukum
berkaitan pula dengan masalah transaksi keuangan pada umumnya memerlukan
pengaturan yang cermat, karena itu perlu diatur dengan undang-undang.
3. Berdasarkan pemikiran di atas perlu dibentuk suatu undangundang yang
mengatur substansi hukum wakaf untuk menyatukan berbagai peraturan
perundang-undangan mengenai wakaf, dengan maksud untuk menjamin kepastian
hukum di bidang perwakafan, serta melindungi dan memberikan rasa aman bagi
pewakaf dan sebagai landasan hukum bagi pembentukan Badan Wakaf Indonesia
yang akan mempromosikan potensi wakaf dalam pembangunan.
BAGIAN KEDUA
PENYUSUNAN DRAFT AWAL RUU WAKAF
A. Penyusunan Naskah Akademik RUU Wakaf
Berbekal dari dasar pemikiran, baik analisa ajaran fikih, fenomena sosiologis
maupun landasan hukum berupa persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan
Undang-Undang Wakaf dari Presiden melalui Sekretaris Negara, Bambang
Kesowo, maka Direktorat Zakaf dan Wakaf menindaklanjuti dengan menyiapkan
Naskah Akademik sebagai landasan pemikiran dalam penyusunan RUU tentang
Wakaf. Naskah akademik ini disusun oleh Dr. Uswatun Hasanah, pakar
perwakafan dari Universitas Indonesia.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Wakaf ini
adalah dalam rangka memberi alasan pentingnya penyusunan RUU tentang
Wakaf. Konsep-konsep yang dimuat dalam naskah ini mengacu pada
perkembangan perwakafan di Indonesia dan tuntutan masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial.
Naskah ini selain ditujukan sebagai prakarsa penyusunan RUU tentang Wakaf,
juga dapat dijadikan sebagai bahan masukan oleh Tim Penyusun RUU Tentang
Wakaf. Pokokpokok pikiran yang terkandung dalam naskah ini selain
memperhatikan hukum positif yang langsung berkaitan dengan masalah
perwakafan juga undang-undang yang berkaitan secara tidak langsung.
Sedangkan metode dan pendekatan dalam penyusunannya dilakukan melalui dua
tahap, yakni tahap penelitian dan tahap penyusunan naskah akademik. Penelitian
dilakukan dengan pendekatan sosio-legal research yang tujuannya untuk
mengumpulkan data primer. Untuk mengumpulkan data primer tersebut, cara
yang ditempuh adalah melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Studi
kepustakaan dilakukan terhadap berbagai bahan kepustakaan tentang wakaf baik
berupa peraturan perundang-undangan, berbagai literatur, dan hasil penelitian
terdahulu. Selain itu, dilakukan juga studi komparatif terhadap ketentuan
perundang-undangan yang memuat peraturan perwakafan di berbagai negara
seperti Mesir dan Bangladesh.
212
a. Tingginya aspek “kepercayaan” kepada para tokoh agama seperti kyai, ustadz,
ajengan, tuan guru dan lain-lain sebagai nazhir, meskipun mereka sering tidak
memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf secara optimal. Bahkan karena
terlalu percaya, proses penyerahan harta wakaf tidak disertakan dengan sertifikat
wakaf sebagai bukti tertulis jika di kemudian hari terjadi penyelewengan dan atau
sengketa dengan pihak ketiga.
b. Tradisionalisme nazhir dalam memahami wakaf yang lebih menempatkannya
sebagai bagian dari ibadah mahdhah, sehingga banyak dari mereka yang kurang
sungguh-sungguh dalam mengurus atau mengelola benda-benda wakaf.
c. Terbatasnya wawasan dan keandalan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam
memaksimalisasi potensi wakaf yang ada, sehingga banyak benda-benda wakaf
yang belum memberikan manfaat bagi kepentingan umat, bahkan banyak benda-
benda wakaf yang terbengkelai.
3. Perlunya pengaturan secara khusus agar wakaf memiliki daya dorong ekonomi
yang tinggi dengan memberikan peluang kerjasama dengan pihak ketiga.
4. Perlunya pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) di tingkat pusat, dan di
tingkat daerah jika dianggap perlu.
Badan wakaf ini diharapkan memiliki fungsi: (a) melakukan pembinaan terhadap
nazhir-nazhir wakaf dalam pengelolaan perwakafan di seluruh nusantara, (b)
melakukan pengelolaan dan pengembangan benda-benda wakaf secara mandiri,
baik yang bersifat nasional maupun internasional, (c) dan, memberikan
pertimbangan dan usulan baik yang bersifat teknis maupun yuridis kepada pihak-
pihak yang terkait dengan perwakafan.
5. Perlunya pendaftaran dengan administrasi perwakafan dan mengumumkan
kepada masyarakat banyak, sehingga wakaf dapat terdata dengan baik dan
memiliki kekuatan hukum yang kuat.
6. Secara operasional, wakaf sebaiknya dikelola oleh nazhir yang berbentuk
lembaga atau badan hukum yang memiliki kemampuan dan pengalaman
pengelolaan benda-benda wakaf secara produktif dan mempersempit atau
menutup sama sekali peluang nazhir perseorangan. Karena pengalaman
membuktikan, bahwa nazhir perseorangan kurang memiliki kemampuan dalam
mengelola benda-benda wakaf. Dalam banyak kasus, benda-benda wakaf yang
ditangani oleh nazhir perseorangan cenderung terbengkelai, bahkan tidak sedikit
yang lenyap karena diserobot oleh pihak ketiga atau disalahgunakan para nazhir
nakal.
7. Dimasukkannya persyaratan sebagai nazhir agar memiliki sifat amanah dan
mampu secara jasmani dan rohani. Amanah, mampu secara jasmani dan rohani
adalah profesional, karena selama ini wakaf lebih banyak ditangani seadanya
sehingga benda-benda wakaf banyak yang kurang memberikan manfaat bagi
kepentingan umum.
8. Dalam pelaksanaan wakaf uang, Lembaga Keuangan Syariah harus diberi ruang
sebagai tempat penyerahan benda wakaf (uang) sekaligus dapat mengeluarkan
Serifikat Wakaf Uang. Penyerahan wakaf uang dan penerbitan Sertifikat Wakaf
Uang kepada Lembaga Keuangan Syariah ini dimaksudkan agar pengelolaan
wakaf uang dapat dipantau secara lebih mudah dan masyarakat yang ingin
berwakaf lebih mudah untuk mengaksesnya.
216
2. Hak penggantian nazhir wakaf akan dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia
(BWI), bukan lagi wewenang Menteri Agama. Wewenang BWI ini sebagai
sebuah upaya agar pengawasan dan pembinaan nazhir dapat berjalan dengan baik.
3. Perlunya menjalin kemitraan dalam pengelolaan wakaf dengan pihak ketiga
seperti investor independen dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga
profesional yang terkait dengan pemberdayaan dan pengembangan wakaf.
4. Perlunya lembaga penjamin Syariah dalam proses pengelolaan benda-benda
wakaf untuk menghindari berkurangnya nilai keabadian benda jika terjadi lost
atau kerugian.
5. Kalau selama ini nazhir wakaf kurang mendapat perhatian terhadap hak-haknya
secara layak bahkan banyak dari mereka yang terpaksa mengeluarkan anggaran
pribadi untuk menutupi pemeliharaan benda wakaf, maka dalam draft RUU
Wakaf ini perlu dipertegas bahwa nazhir harus mendapat hak secara lebih layak.
Sebagai sebuah perbandingan, nazhir wakaf di Turki mendapat alokasi 5 persen
dari net income wakaf, demikian juga dinegara-negara muslim lain yang memiliki
pengalaman panjang terhadap wakaf. Oleh karena itu, perlu ada pengaturan lebih
217
layak lagi bagi pengelola wakaf maksimal 10 persen dari hasil pemberdayaan
wakaf.
6. Perlunya pembatasan masa bhakti nazhir wakaf dalam sebuah kepengurusan
sebagai upaya pengawasan dan membuka peluang proses regenerasi kenazhiran
agar tercipta kinerja yang optimal. Kenyataan telah berbicara banyak, bahwa
nazhir-nazhir wakaf di seluruh tanah air tidak dibatasi masa bhaktinya, bahkan
sebagian dari mereka ada yang memegang jabatan sapanjang umur (seumur
hidup).
7. Untuk meningkatkan kinerja Badan Wakaf Indonesia (BWI) diusulkan
keberadaannya di Ibu Kota dalam rangka efektifitas kinerja dan tidak disibukkan
dalam urusan penyusunan kepengurusan di daerah. Namun, jika dianggap perlu di
daerah akan dibentuk kepengurusan Badan Wakaf Indonesia (BWI), sebagai
contoh tingginya volume benda wakaf di suatu daerah tertentu, sehingga perlu
dicover secara terpadu.
8. Sebagai upaya membentuk struktur organisasi Badan Wakaf Indonesia (BWI),
maka perlu diatur bentuk organisasi yang terdiri dari Dewan Pelaksana dan
Dewan Pertimbangan.
9. Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib
membantu biaya operasional. Sebagai lembaga yang masih baru dengan peran dan
tugas yang cukup berat, maka BWI harus dibantu pembiayaannya agar dapat
menjalankan program-programnya. Namun setelah beberapa waktu dimana badan
ini sudah mengalami peningkatan dalam mengelola harta wakaf dengan
keuntungan yang dianggap perlu, Pemerintah akan melepaskan dari pembiayaan
sebagai sebuah lembaga independen.
Catatan:
Dalam proses penyusunan draft awal RUU tentang Wakaf, baik pada tahap
pertama maupun tahap kedua sesungguhnya melalui tahapan sharing (tukar
pendapat) beberapa kali, baik bersifat internal maupun eksternal. Yang dimaksud
internal adalah para pihak yang terkait dengan upaya RUU Wakaf, yaitu
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf cq. Sub Direktorat Pemberdayaan
Wakaf yang dimotori oleh Ka. Subdit dan para Kasi. Sedangkan eksternal adalah
para pihak yang diterkait dengan upaya pemberdayaan wakaf secara produktif,
seperti para pakar ekonomi Islam, MUI, Perguruan Tinggi, Badan Pertanahan
Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM dan lain sebagainya.
Adapun tema-tema atau issu-issu yang dibahas pun sangat beragam dan tidak
bersifat sistemik karena perubahan dan dinamikanya terus berkembang.
Betapapun tema-tema tersebut tidak dibahas secara berurutan, namun substansi
yang diinginkan agar RUU Wakaf memiliki watak yang menitikberatkan pada
pemberdayaan ekonomi dapat dicover secara baik. Hal ini tidak berhenti pada
tahap penyusunan draft, namun juga pada saat penyempurnaan konsep secara
umum. Dengan demikian, untuk memudahkan dalam penggambaran proses
penyusunan draft RUU Wakaf dikelompokkan pada dua tahap. Hal ini
dimaksudkan agar dapat dipetakan secara lebih simpel dan dimengerti secara lebih
218
mudah
BAGIAN KETIGA
PENYEMPURNAAN DRAFT RUU WAKAF
A. Pertemuan Ulama, Pakar/Tokoh dan Ormas Islam
Sebagai sebuah upaya penyempurnaa draft RUU Wakaf yang sudah disiapkan
sebelumnya agar mencakup banyak klausul dan substansi dengan semangat
pemberdayaan wakaf secara produktif, maka diadakan pertemuan ulama,
pakar/tokoh dan Ormas Islam pada tanggal 6 Maret 2003 di Operation Room,
yang dibuka oleh Menteri Agama. Dalam forum tersebut diundang para ulama,
pakar/tokoh dan Ormas Islam yang memiliki katerkaitan dalam pengelolaan
wakaf. Adapun peserta yang diundang sebagai berikut:
Peserta Pertemuan Ulama, Tokoh/Pakar Jmlh Ket
1 Prof. DR. Erman Radjagukguk, SH 1 orang
2 Drs. H. Taufiq Kamil 1 orang
3 Prof. DR. H. Abdul Gani Abdullah, SH 1 orang
4 Prof. DR.H. Rahmat Djatnika 1 orang
5 Prof. DR. Amin Summa, MA 1 orang
6 Prof. DR. Ismail Sunny, SH, LML 1 orang
7 Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH 1 orang
8 Prof. DR. Qodri Azizi 1 orang
9 DR .H. Syafi'i Antonio, MSc 1 orang
10 Prof. DR. H. Atho Mudhar 1 orang
11 DR. Wahidudin Adam 1 orang
12 Abdul Wahid, SH 1 orang
13 Prof. DR. M. Din Syamsudin 1 orang
14 DR. Mulya Siregar 1 orang
15 DR. Mustafa E Nasution 1 orang
16 H. Muchtar Zarkasi, SH 1 orang
17 DR. Uswatun Hasanah 1 orang
18 Prof. KH. Ali Yafie 1 orang
19 Prof. DR. H. Achmad Sukardja, SH. MA 1 orang
20 Prof. DR. Fathurrahman Djamil, SH. 1 orang
21 DR. H. Zein Bajeber 1 orang
22 Prof. DR. Tahir Azhari SH. 1 orang
23 KH. Ma'ruf Amin 1 orang
24 Drs. H. Taufiq, SH. MH (MA) 1 orang
25 DR.H.Rifyal Ka'bah 1 orang
26 DR. Anwar Ibrahim 1 orang
27 H. Fauzan Misra El Muhamady, MA 1 orang
28 Prof. Drs. Asymuni Abdurrahim 1 orang
29 Drs. Fauzan Afandi 1 orang
30 Prof. DR. Amir Sarifuddin 1 orang
31 DR. Ahmad Sutarmadi 1 orang
32 H. Fauzi Amnur, LC. 1 orang
219
33 Drs. H. T u l u s 1 orang
34 Drs. H. Wahyu Widiyana 1 orang
35 Drs. H. Zainal Arifin Nurdin, SH 1 orang
36 Universitas Islam Sumatera Utara 1 orang
37 PB.NAHDATUL ULAMA 2 orang
38 PP.MUHAMMADIYAH 2 orang
39 DEWAN DAKWAH ISLAMMIYAH 2 orang
40 MAJELIS ULAMA INDONESIA 2 orang
41 AL - IRSYAD 2 orang
42 AL- WASHLIYAH 2 orang
43 PERSIS 2 orang
44 MATHLA'UL ANWAR 2 orang
45 BADAN WAKAF UII 1 orang
46 BADAN WAKAF GONTOR 1 orang
47 BAPPENAS 1 orang
48 Ketua Badan Pertanahan Nasional 1 orang
49 U I N JAKARTA (SAHID) 2 orang
50 Badan Wakaf Sultan Agung Semarang 1 orang
J u m l a h 59 orang
Menurut hukum fikih yang masyhur dan sesuai dengan pendapat mayoritas
mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali), bahwa wakaf berlaku untuk selamanya sesuai
dengan makna hakiki wakaf itu sendiri sebagai amal jariah yang pahalanya terus
mengalir meskipun pewakaf telah meninggal dunia. Tetapi pada waktu terakhir ini
lahir pembaharuan hukum Islam yang membolehkan wakaf berjangka (pada
wakaf benda bergerak), seperti yang dipraktekkan di Mesir dengan mengacu pada
mazhab Hanafi. Seorang muslim yang suatu saat membutuhkan kembali benda
yang telah diwakafkan, misalnya deposito, saham dan sebagainya, memiliki
peluang untuk berwakaf dengan adanya alternatif wakaf berjangka.
Di Indonesia, wakaf berjangka sampai sejauh ini belum popular, apalagi umat
Islam Indonesia umumnya adalah pengikut mazhab Syafi’i. Tetapi dalam era
globalisasi tidak mustahil di masa mendatang wakaf berjangka akan menjadi
wacana di tanah air kita.
Salah satu fungsi hukum dan perundang-undangan dalam Islam, tidak hanya
mengatur apa yang sudah ada, tetapi hukum dan perundang-undangan mempunyai
fungsi untuk mengarahkan perkembangan masyarakat.
Untuk itu perlukah undang-undang mengakomodasi wacana wakaf
kontemporer,dengan menetapkan adanya dua jenis wakaf yaitu wakaf selamanya
dan wakaf berjangka?
6. Organisasi pengelola wakaf
Wakaf yang telah berjalan selama ini dikelola oleh masyarakat melalui nazhir
wakaf perorangan atau yayasan berbadan hukum yang sekaligus bertindak sebagai
nazhir.
wakaf uang, saham dan lain-lain memiliki tingkat risiko yang perlu
diperhitungkan karena wakaf tersebut harus diinvestasikan melalui kolaborasi atau
joint venture dengan investor (pihak swasta).
Untuk itu perlukah undang-undang menetapkan bahwa pengelolaan wakaf uang,
saham, surat berharga dan lain-lain hanya dapat dilakukan oleh organisasi
pengelola wakaf yang dibentuk pemerintah.
VI. Penutup
Demikian hal-hal yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan ini, kami
mengharapkan hal-hal tersebut dapat dibahas dalam pertemuan ini dan
menghasilkan rumusan yang disepakati bersama.
225
Setelah Position Paper diungkapkan oleh Dirjen BIPH yang dibacakan oleh
Direktur Pengembangan Zakaf dan Wakaf, Drs. H. Tulus, kemudian pimpinan
pertemuan memberikan kesempatan kepada para ulama, pakar/tokoh dan ormas
Islam agar menyampaikan pendapat dan pandangannya terkait dengan aspek-
aspek yang pelu diatur dalam RUU Wakaf.
Muhammadiyah:
Sangat menyambut baik insiatif pemerintah yang akan menyusun UU tentang
Wakaf.
Dalam penyusunan RUU kelak perlu memperhatikan:
- harta kekayaan yang ingin diwakafkan perlu diperjelas;
- dalam pembuatan AIW perlu disebutkan wakif, nazhir, peruntukan dan ijab
qabul;
- Nazhir wakaf yang berbadan hukum harus hati-hati, apakah sesuai dengan
prinsip syariah atau tidak?
- Wakaf berjangka hakikatnya abadi, untuk itu tidak perlu dibedakan antara yang
muabbad dengan muaqqat; Untuk yang terbilang berjangka disebutkan sebagai
wakaf bersyarat;
- Jenis wakaf perlu diatur, wakif itu berhak mewakafkan sesuai dengan
kehendaknya baik pada saat hidup maupun sudah meninggal dengan cara
berwasiat;
- Pembentukan badan wakaf bisa berbentuk: Badan Wakaf (dibawah koordinasi
pemerintah) dan Lembaga Wakaf (yang dibentuk dan dikembangkan oleh
masyarakat).
- Perlu pengaturan tentang hak-hak atas tanah yang ingin diwakafkan;
- Harta wakaf yang ingin diwakafkan harus milik wakif secara sempurna dan tidak
dapat ditarik kembali;
- Bagi wakaf wasiat tidak dibolehkan melebihi dari 1/3 harta, karena sisanya ada
hak waris.
Al-Irsyad:
Wakaf itu diibaratkan seperti sumur, siapapun bisa mengambil airnya,
termasuk nazhir sendiri, tapi sumurnya tetap utuh.
Diharapkan dengan UU ini bisa memberikan perlindungan dan mengamankan
tanah-tanah wakaf.
Terkait dengan hak, seperti HAKI dapat diwakafkan.
Pendaftaran wakaf bukan semata-mata untuk mendata peralihan hak
kepemilikan tapi mendata semua perbuatan yang terkait dengan hukum Islam.
Pengelola wakaf dari badan hukum pengawasannya lebih mudah.
231
Wakaf uang tidak hanya peralihan hak milik, maka dalam ikrar wakaf harus
dicantumkan kemauan wakif.
Keseluruhan aspek nilai dan norma yang disusun oleh masing-masing bidang
(spesialisasi) akan disusun secara lengkap dan utuh dalam rumusan Rancangan
232
BAGIAN KEEMPAT
PENGAJUAN RUU WAKAF KE PRESIDEN
A. Pengajuan RUU Wakaf ke Presiden RI
Setelah semua konsep RUU tentang wakaf disempurnakan di tingkat Tim
Penyusunan RUU tentang Wakaf, maka RUU Wakaf dikirimkan ke Presiden
Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Pengiriman berkas konsep RUU ini
disertai dengan surat Nomor: MA/180/2003 tertanggal 18 Juni 2003 tahap
pertama dan surat Nomor: MA/02/2004 tertanggal 5 Januari 2004 untuk tahap
kedua.
Dalam surat yang pertama disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia
bahwa sesuai dengan persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-
undang Wakaf Nomor: B.61 tanggal 7 Maret 2003, Menteri Agama
menyampaikan telah disiapkannya Rancangan Undang-undang Wakaf oleh Tim
yang terdiri dari unsur Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan HAM,
233
Menerima masukan dari berbagai pihak tentang hal-hal yang terkait dengan
fikih, paham keagamaan, aspek hukum positif, aspek kebijakan ekonomi, aspek
pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan wakaf, aspek kesejahteraan
masyarakat luas dan hal-hal lain yang dinilai perlu diatur dalam rumusan RUU
Wakaf;
Merumuskan kembali keseluruhan materi, substansi dan susunan RUU Wakaf
setelah dikaji secara lebih detail, mendalam dan menyeluruh agar tidak ditemukan
lagi kelemahan atau kekurangan yang dapat mengurangi bobot
sebuah Undang-undang.
Setelah semua tugas dari Tim Perumus diselesaikan dengan hasil rumusan baru,
kemudian diserahkan kembali kepada Menteri Agama, dan Menteri Agama
mengirimkan surat yang kedua kepada Presiden RI dengan melampirkan RUU
Wakaf rumusan baru hasil pendalaman Tim Perumus disertai penyampaian
alasan-alasan. Alasan tersebut disampaikan bahwa pembahasan RUU Wakaf
secara intensif sudah dilakukan beberapa kali di Kantor Sekretariat Kabinet pada
tanggal 18 Juni 2003, 12 September 2003, 23 September 2003, 29 Desember
2003, 3 Maret 2004 dan terakhir 29 Maret 2004. Seperti surat yang pertama,
dalam surat yang kedua disebutkan bahwa Rancangan Undang-undang Wakaf
telah disiapkan oleh Tim yang lebih lengkap, yaitu terdiri dari unsur Departemen
234
tersebut merupakan momentum akhir dan strategis untuk diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (Komisi VI).
Merespon kepastian turunnya Amanat Presiden RI, Departemen Agama
mengadakan rapat Tim Penyusun RUU Wakaf dalam rangka mempersiapkan
secara lebih matang menghadapi proses pembahasan di tingkat Komisi VI DPR
RI.
Adapun hal-hal yang disiapkan dalam rapat tersebut sebagai berikut:
Mendalami materi, substansi dan sistematika secara detail dan menyamakan
persepsi kapada semua anggota Tim Penyusun, khususnya antar departemen yang
mewakili bidang masing-masing dalam mendampingi pemerintah (Tim
Pendamping) agar dalam proses pembahasan di DPR RI, baik dalam Rapat Kerja
Pra-Konsinyiring maupun saat Konsinyiring berlangsung. Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi simpang siur (kontradiktif) antara anggota satu dengan yang lain.
Membagi dan menunjuk juru bicara dari Tim Pendamping pemerintah dalam
rangka mengefektifkan lalu lintas permasalahan yang diungkapkan dan
dipertanyakan oleh anggota Dewan perwakilan Rakyat yang tergabung dalam
Panitia Kerja (Panja) Komisi VI.
Setelah semua proses persiapan materi RUU Wakaf, penguasaan substansi dan
teknis pembahasan bersama DPR, Departemen Agama mengirimkan draft RUU
Wakaf yang disertai Amanat Presiden RI, Megawati Soekarnoputri, kepada
Komisi VI DPR RI untuk dibahas, baik pendalaman DPR prapembahasan seperti
Rapat dengar Pendapat Umum (RDPU), Rapat Kerja maupun Pembahasan antara
DPR dengan Pemerintah di Hotel Santika pada tanggal 13 sampai dengan 18
September 2004
BAGIAN KELIMA
PROSES PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN
RUU WAKAF
Sebagai tindak lanjut dari proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Wakaf, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dalam hal ini Panitia Kerja (Panja)
dari Komisi VI yang ditugaskan menggodok RUU Wakaf yang diajukan oleh
pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut dengan gembira
terhadap inisiatif pemerintah yang mengajukan RUU tentang Wakaf kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MUI berharap agar UU tentang Wakaf kelak
bisa dijadikan sandaran dan payung hukum yang dapat menstimulasi perwakafan
di tanah air. Namun dalam kesempatan kali ini Majelis Ulama memberikan
penekanan agar UU ini tidak sekedar berhenti pada aspek normatif dan tidak
dijalankan secara optimal sebagaimana mestinya.
Karenanya, Majelis Ulama memberikan usulan, pertama, dalam pasal 62 ayat (2)
RUU Wakaf yang terkait dengan masalah penyelesaian sengketa perwakafan jika
tidak ditemukan jalan tengah bisa melibatkan Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Hal ini dimaksudkan agar MUI sebagai lembaga keagamaan
memiliki fungsi kontrol dan terlibat aktif dalam setiap masalah sengketa
perwakafan. Karena bagaimanapun, wakaf merupakan bagian dari ajaran yang
memerlukan pengawalan kelembagaan seperti Majelis Ulama.
3. Dalam RUU Wakaf perlu penegasan dan perlu penyempurnaan pada pasal-
pasal yang kurang mengakomodasi aspirasi masyarakat, misalnya pada:
Pada pasal 25, perlu ada ketegasan tentang boleh tidaknya wasiat lebih dari
1/3 harta. Kalau mendapat ijin, boleh atau tidak?
Dalam pelaksanaan wakaf uang (pasal 23 ayat (3) harus ada lembaga
penjamin (syariah) untuk menghindari terjadinya lost (kerugian), karena sifat dari
benda wakaf itu sendiri harus tetap dan bersifat abadi.
Pada bab V pasal 44 ayat (2) semestinya ada jaminan bahwa perubahan harus
tidak menyalahi syarat peruntukan yang telah ditentukan oleh wakif, karena:
“Syarthul waqif ka nashshisy-syari”
Artinya: “syarat pewakif adalah laksana nash asy-syari”
4. PB Nahdlatul Ulama menyarankan agar kekurangan-kekurangan pengaturan
dalam RUU ini dapat disempurnakan dan jika tidak memungkinkan diakomodir
dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Agama atau lainnya.
5. Dan yang terakhir, sebelum disahkan, RUU Wakaf ini agar lebih didalami dan
dicermati secara seksama oleh anggota DPR untuk disempurnakan. Diharapkan
Undang-undang ini kelak akan melindungi dan menjamin kepastian hukum wakaf
dan menjadi pendorong bagi tumbuhnya wakaf produktif demi kesejahteraan
umum.
91
stabil. Keempat, dalam ketentuan pidana dan sanksi administrasi agar lebih
dipertegas lagi. Karena kenyataan telah membuktikan bahwa banyak pihak yang
menyalahgunakan harta benda wakaf tanpa adanya sanksi pidana dan perdata.
Oleh karena itu, dalam Undang-undang tentang Wakaf kelak harus diatur
ketentuan pidana lebih tegas bagi pihak yang menyalahgunakan benda wakaf. Dan
yang, kelima, dalam pengelolaan wakaf agar dimasukkan dalam Peraturan
Pemerintah. Karena hal tersebut menyangkut opersional teknis.
Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah, RUU Wakaf setelah ditelaah secara
umum sudah sangat baik dan siap untuk dibahas serta disahkan
menjadi Undang-undang. Bagi Muhammadiyah yang selama ini
sudah dilibatkan dalam proses penyusunan oleh pemerintah,
RUU Wakaf dianggap sudah cukup ideal dan sudah memenuhi
aspek yuridis dalam mengayomi pengelolaan wakaf secara
produktif.
Di lingkungan Muhammadiyah sendiri, sesungguhnya sudah
dimulai kerja-kerja pengelolaan wakaf secara produktif. Namun,
sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal
disebabkan oleh kondisi riil masyarakat kita yang belum
memahami wakaf sebagai ibadah sosial. Di sisi yang lain,
keberadaan benda-benda wakaf banyak dikelola oleh nazhir
wakaf perseorangan yang minim atas profesionalitas.
Oleh karena itu, Muhammadiyah mengusulkan agar nazhir
wakaf kelak hanya berupa nazhir organisasi. Karena nazhir
perseorangan yang kebanyakan dari kalangan agamawan seperti
92
kyai, ustadz, ajengan dan lain-lain banyak yang tidak memiliki
kemampuan manajerial yang baik. Sehingga dalam
pengelolaannya tidak bisa dikontrol dan sangat memberi
peluang terjadinya penyelewengan. Sedangkan jika nazhir wakaf
berupa organisasi atau badan hukum dapat dikelola secara lebih
baik dan profesional karena adanya sistem kontrol yang baik.
Adapun usul yang disampaikan dari perwakilan
Muhammadiyah adalah agar pasal 50 dari RUU Wakaf yang
melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibuang. Pasal
tersebut berbunyi: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49, Badan Wakaf Indonesia
memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis
Ulama Indonesia. Peran MUI tersebut, bagi Muhammadiyah
agar dihilangkan karena BWI merupakan lembaga independen
yang cukup memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri
dan tidak MUI.
240
Pemerintah.
2. RUU ini tidak kontra produktif, karena wakaf selama ini
sudah berjalan secara kultural.
3. RUU ini dapat menggantikan undang-undang serta
peraturan sebelumnya demi kemaslahatan umat.
Fraksi Persatuan Daulat Umat (FPDU)
Sebagaimana kita ketahui, praktek wakaf yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan secara tertib
dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak
terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau malah beralih
ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan
ini setidaknya disebabkan tidak hanya karena kelalainan atau
ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan
benda wakaf melainkan juga dikarenakan sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum sepenuhnya memahami status benda
wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Tujuan dari Rancangan Undang-undang ini adalah untuk
menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf. Dalam
rangka melindungi harta benda wakaf dari penyalahgunaan.
Oleh karena itu, perbuatan hukum wakaf harus dicatat dan
dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf dan didaftarkan serta
diumumkan oleh Menteri Agama.
Dengan mempelajari secara seksama terhadap RUU ini,
maka Fraksi Daulat Umat menyatakan siap membahas bersama
dengan fraksi-fraksi lain.
116
uang;
(6) Peran notaris dalam pengelolaan wakaf benda bergerak
selain uang;
(7) Hal-hal yang terkait dengan pembentukan Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Seperti hak-hak istimewa: menangani
ruislah, memberhentikan dan mengangkat nazhir, membina
dan mengelola wakaf nasional dan internasional, hak-hak
nazhir, struktur BWI dan lain-lain;
(8) Pembinaan dan pengawasan; dan
(9) Ketentuan pidana;
d. Laporan singkat selama pembahasan RUU tentang Wakaf
Tahap Pertama
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
:
:
:
2004-2005
I
2
120
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 14 September 2004
260
121
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir
dapat menerima fasilitas dan/atau penghasilan atas hasil pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 %
(sepuluh persen).
122
4. DIM 34 disetujui, pasal 14 ayat (1), diserahkan kepada Tim Perumus untuk
mengganti pemerintah dengan kata atau frasa yang lebih sesuai. Selengkapnya:
Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir
harus terdaftar pada Pemerintah.
Selanjutnya dalam penjelasan perlu ditegaskan, bahwa
pemerintah harus bersikap lebih proaktif untuk
mendaftar organisasi wakaf yang ada dalam masyarakat.
(TIM PERUMUS)
5. DIM 36 disetujui tanpa ada perubahan pada Bagian Keenam. Harta Benda
Wakaf, pasal 15 , sehingga bunyi selengkapnya:
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai
oleh Wakif secara sempurna.
Sedangkan dalam penjelasan perlu dijelaskan mengenai tentang “dimiliki
dan dikuasai oleh Wakif secara sempurna” (TIM PERUMUS)
6. DIM 39 disetujui dengan perubahan penambahan kalimat
“adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi” point (3),
sehingga bunyi selengkapnya:
123
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b adalah harta
benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan “Buku dan Kitab” perlu dimasukan dalam penjelasan (TIM
PERUMUS).
262
124
8. DIM 41 disetujui dimasukan penjelasan Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi: Ikrar
wakaf harus dinyatakan secara tegas, dengan menggunakan setidak-
tidaknya kata-kata "Aku mewakafkan".
9. DIM 46 disetujui dengan penambahan “huruf e. Jangka waktu wakaf” pada
pasal 21 ayat (2), sehingga bunyi selengkapnya:
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama Wakif;
b. nama Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. Jangka waktu wakaf
10. DIM 50 disetujui, pasal 23 ayat (2) selengkapnya: (2) Dalam hal Wakif tidak
menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat menetapkan peruntukan
harta benda wakaf yang dilakukan dengan memperhatikan tujuan dan fungsi
wakaf.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 23 ayat (2) disesuaikan
dengan semangat yang berkembang
Rapat Panitia Kerja (PANJA) ditutup pukul 17.00 WIB
Tahap Kedua
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
:
:
:
:
263
:
:
2004-2005
I
3
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 14 September 2004
Pukul 20.00 – 23.00 WIB
125
Tempat
Ketua Rapat
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
:
:
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Hj. Chodijah HM. Soleh didampingi
H. Taufikurrahman Saleh (Ketua
Komisi VI DPR RI), Prof. DR. Anwar
Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR
RI), Dra. Hj. Siti Soepami (Wakil
Ketua Komisi VI DPR RI.
Dra. Anita Ariyati
3. Pembahasan DIM Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf.
4. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja Dirjen BIPH beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat (1) kourum telah
terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat Panja Kerja RUU tentang Wakaf,
yang dipimpin oleh Hj. Chodijah HM. Soleh dan rapat dinyatakan tertutup untuk
umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang di dalam Rapat
Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf, maka Panja sepakat menyimpulkan
hal-hal penting sebagai berikut:
1. DIM 51 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga bunyi selengkapnya:
264
Bagian Kesembilan
Wakaf Dengan Wasiat
Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara
tertulis hanya dapat dilakukan apabila disaksikan oleh
126
Wakaf Indonesia.
7. DIM 78 diserahkan kepada pemerintah (ahli bahasa)
untuk menyusun rumusan yang tepat mengenai nilai tukar
harta benda wakaf.
Rapat Panitia Kerja (PANJA) ditutup pukul 23.00 WIB
Tahap Ketiga
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Jenis Rapat
Hari, tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
:
:
:
:
:
:
:
:
:
2004-2005
I
4
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 14 September 2004
Pukul 14.00 – 17.00 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Hj. Siti Soepami didampingi Hj.
Chodidjah HM Saleh (Wakil Ketua
128
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
Komisi VI DPR RI), Prof.DR. Anwar
Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR
RI.
Dra. Anita Ariyati
266
:
:
:
:
:
:
:
2004-2005
I
5
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Rabu , 15 September 2004
Pukul 20.00 – 23.00 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH
didampingi Hj. Chodidjah HM Saleh
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI),
Prof.DR. Anwar Arifin (Wakil Ketua
Komisi VI DPR RI, dan Hj. Siti
Soepami
Dra. Anita Ariyati
7. Pembahasan DIM Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf.
8. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Dirjen BIPH (diwakili Kabalitbang
Depag) beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat (1) kourum telah
terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat Panja Kerja RUU tentang Wakaf,
yang dipimpin oleh H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH. dan rapat dinyatakan
tertutup untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang di dalam Rapat
Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf,
130
131
I
6
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Kamis , 16 September 2004
Pukul 09.00 – 12.00 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Prof. DR. Anwar Arifin didampingi
H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI),
Hj. Chodidjah HM Saleh (Wakil
Ketua Komisi VI DPR RI), dan Hj.
132
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
Siti Soepami
Dra. Anita Ariyati
9. Pembahasan DIM Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf.
10. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Dirjen BIPH (diwakili Kabalitbang
Depag) beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat
(1) kourum telah terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat
Panja Kerja RUU tentang Wakaf, yang dipimpin oleh Prof. DR.
Anwar Arifin dan rapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang
di dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf,
maka Pansus sepakat menyimpulkan hal-hal penting sebagai
berikut :
1. DIM 83 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga kalimat
selengkapnya menjadi:
Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara produktif, pengelolaan, dan pengembangan harta
benda wakaf yang bersangkutan dilaksanakan dengan
menggunakan lembaga penjamin syariah.
2. DIM 84 disetujui dengan ada perubahan kata “Menteri”
270
:
:
:
:
2004-2005
I
7
Rapat Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf
Kamis, 16 September 2004
Pukul 20.15 – 22.30 WIB
Hotel Santika Ruang Rapat Mawar II
Prof. DR. Anwar Arifin didampingi
H. Taufiqurrahman Saleh, SH, MH
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI),
136
Sekretaris Rapat
Acara
Anggota yang hadir
Pemerintah
:
:
:
:
Hj. Chodidjah HM Saleh (Wakil
Ketua Komisi VI DPR RI), dan Hj.
Siti Soepami
Dra. Anita Ariyati
11. Pembahasan DIM Rancangan
Undang-Undang tentang Wakaf.
12. Lain-lain.
18 orang dari 19 Anggota Panja
Menteri Agama RI dan Dirjen BIPH
beserta jajarannya.
KESIMPULAN RAPAT
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 95 ayat
(1) kourum telah terpenuhi, maka Ketua Rapat membuka Rapat
Panja Kerja RUU tentang Wakaf, yang dipimpin oleh Prof.
DR. Anwar Arifin dan rapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat yang berkembang
di dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Wakaf,
maka Pansus sepakat menyimpulkan hal-hal penting sebagai
berikut :
1. DIM 102 disetujui tanpa ada perubahan, sehingga kalimat
selengkapnya menjadi:
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari
273
dan pengelolaan)
Ada beberapa aspek yang berubah dari peraturan sebelumnya (uraian atau
pengelola)
277
2. Harta benda wakaf: benda tidak bergerak yaitu tanah hak milik atau tanah
milik (obyek 2)
(pengelolaan)
8. Ketentuan pidana
pengelola)
dan pengelola)
(Rahmadi Usman hal. 106-115, Suhrawardi hal. 99, 151, 156-165, Ijma
Ulama hal. 299, Himpunan Fatwa hal. 80, Fiqh Lima Madzhab hal. 635,
PP No 28 Tahun 1977
9. Fungsi wakaf : mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai tujuan wakaf: untuk
10. Harta benda wakaf: tanah hak milik atau tanah milik