Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bergantinya kepemimpinan, biasanya diiringi dengan bergantinya
kebijakan. Begitu juga dengan keijakan pendidikan di Indonesia, namun satu hal
yang harus diingat, bahwa kebijakan itu tentu saja dalam rangka memperbaiki
kualitas pendidikan ke arah yang lebih baik.
Hiruk pikuk Ujian Nasional selama ini diakhiri dnegan lahirnya kebijakan
baru yang bernama Asesmen Nasional. Asesmen Nasional ini merupakan upaya
untuk memotret secara komprehensif mutu proses dan hasil belajar satuan
pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Informasi yang diperoleh
dari asesmen nasional ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas
proses pembelajaran di satuan pendidikan, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan mutu hasil belajar peserta didik dalam skala nasional.
Salah satu komponen hasil belajar peserta didik yang diukur pada asesmen
nasional adalah literasi membaca serta literasi matematika (numerasi). Asesmen
ini disebut sebagai Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) karenan mengukur
kompetensi mendasar atau minimum yang diperlukan individu untuk dapat secara
produktif di masyarakat.
Asesmen Nasional ini sangat berbeda dengan asesmen berbasis mata
pelajaran yang ada selama ini, di mana asesmen tersebut hanya memotret hasil
belajar peserta didik pada mata pelajaran tertentu, sedangkan AKM memotret
kompetensi mendasar yang diperlukan untuk sukses pada berbagai mata pelajaran.
Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap sekolah,
madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. Mutu
satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar peserta didik yang mendasar
(literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim
satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi-informasi tersebut
diperoleh dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum
(AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mengukur kompetensi
mendasar literasi membaca dan numerasi peserta didik. 
2. Survei Karakter yang mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang
mencerminkan karakter peserta didik
3. Survei Lingkungan Belajar yang mengukur kualitas berbagai aspek input dan
proses belajar-mengajar di kelas maupun di tingkat sekolah.
Seiring disosialisasikannya Asesmen Nasional, telah banyak respons yang
disampaikan terkait konsep dan pelaksanaannya. Peserta didik, orangtua, guru,
bahkan kepala sekolah mulai gelisah terkait penghapusan Ujian Nasional dan
pemberlakuan Asesmen Nasional. Untuk menghindari hal itu, pemahaman yang
utuh dan menyeluruh mengenai Asesmen Nasional pun perlu terus disebarluaskan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin membahas tentang
“Peran Pembelajaran Numerasi dan Literasi dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan di Sekolah Dasar” pada tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah pembelajaran numerasi dan
literasi pada pendidikan tingkat sekolah dasar.

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menambah khasanah
ilmu bagi mahasiswa dan guru dalam memahami Asesmen Kompetensi Minimum
(AKM) yang mengukur kompetensi mendasar literasi membaca dan numerasi
peserta didik terutama di tingkat sekolah dasar.

D. Metode
Makalah ini merupakan makalah deduktif yaitu makalah yang penulisan
didasarkan pada kajian teoritis (pustaka) yang relevan dengan masalah yang
dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Permasalahan Pendidikan di Indonesia


Pendidikan adalah sebuah kesadaran, ia adalah gerakan semesta yang
melibatkan semua pihak. Karena pendidikan itu adalah tanggung jawab semua
pihak, ia bersifat partisipatif, karena semua membutuhkannya dan semua memiliki
hak yang sama untuk dapat mengakses pendidikan tersebut secara baik. Sebagai
kebutuhan semua orang, maka pendidikan haruslah memiliki aturan yang jelas
dari hulu ke hilirnya.
Pada dasarnya, pendidikan itu sendiri secara pengertian mengalami
perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Menurut Ahmad D.
Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama. Ia mengandung unsur-unsur yang
mengikat, mulai dari usaha (kegiatan), di mana usaha itu bersifat bimbingan atau
pertolongan dan dilakukan secara sadar, unsur lainnya adalah adanya pendidik,
pembimbing atau penolong, selain itu juga ada yang dididik atau si terdidik, dan
bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan yang jelas.
Undang-undang Sisdiknas menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.
Asri Budiningsih dalam bukunya “Belajar dan pembelajaran” menuliskan
bahwa memasuki era millenium ketiga, masyarakat dan bangsa Indonesia perlu
mempersiapkan diri menghadapi berbagai tuntutan global. Tidak hanya berupa
materi namun pengetahuan dan keterampilan yang cukup memadai hendaknya
dimiliki oleh generasi muda kita. Anak-anak bangsa perlu dipersiapkan menjadi
generasi tangguh, siap bersaing dan berkompeten. Maksudnya anak-anak
dipersiapkan menjadi pribadi yang berfikir kreatif, mampu mengambil keputusan
tepat, memecahkan masalah, berkolaborasi dan pengelolaan diri.
Pada tahun 2015 berdasarkan survey United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di
negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10
dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kualiatsnya berada pada level
14 dari 14 negara berkembang. Pada tahun 2016, tingkat partisipasi pendidikan di
Indonesia mulai meningkat, namun mutu pendidikan yang didapat setiap anak,
belum setara. Padahal, penyediaan kualitas pendidikan yang baik merupakan
kunci menciptakan generasi berkualitas. Kesenjangan mutu pendidikan masih
menjadi kendala banyak negara, khususnya Indonesia.
Selain kesenjangan tersebut, kurikulum yang sentralistik membuat potret
pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan
pemerintah tanpa memerhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi,
pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Jadi, para lulusan
hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,
padahal lapangan pekerjaan yang tersedia sangatlah terbatas.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “tidak
sehat”. Dunia pendidikan yang “tidak sehat” ini disebabkan karena pendidikan
yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Serigkali pendidikan tidak memanusiakan manusia.
Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia
menghasilkan “manusia robot”. Karena pendidikan ternyata mengorbankan
keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku
belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang
terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika
orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan
berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan,
menyukai, semangat dan sebagainya.
Beberapa contoh di atas adalah gambaran sederhana persoalan pendidikan
di Indonesia, karena sebetulnya masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang
menjadi tugas pemerintah dan semua elemen masyarakat yang ada. Kondisi-
kondisi tersebut pada akhirnya melahirkan kebijakan baru dengan
mengidentifikasikasi standar-standar minimum pendidikan yang seharusnya
dilakukan.

B. Tujuan dan Manfaat Asseemen Nasional


Perubahan sistem evaluasi dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional
merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Asesmen Nasional dirancang untuk menghasilkan informasi akurat untuk
memperbaiki kualitas belajar-mengajar, yang pada gilirannya akan meningkatkan
hasil belajar peserta didik. 
Asesmen Nasional menghasilkan informasi untuk memantau: (a)
perkembangan mutu dari waktu ke waktu, dan (b) kesenjangan antar bagian di
dalam sistem pendidikan (misalnya di satuan pendidikan: antara kelompok sosial
ekonomi, di satuan wilayah antara sekolah negeri dan swasta, antar daerah,
ataupun antar kelompok berdasarkan atribut tertentu). 
Asesmen Nasional bertujuan untuk menunjukkan apa yang seharusnya
menjadi tujuan utama sekolah, yakni pengembangan kompetensi dan karakter
peserta didik. 
Asesmen Nasional juga memberi gambaran tentang karakteristik esensial
sebuah sekolah yang efektif untuk mencapai tujuan utama tersebut. Hal ini
diharapkan dapat mendorong sekolah dan Dinas Pendidikan untuk memfokuskan
sumber daya pada perbaikan mutu pembelajaran.
Maka dari itu, hasil Asesmen Nasional sendiri diharapkan mampu
memberikan manfaat, bukan sekedar nilai belaka. Pada tahun 2021, Mendikbud
telah menyatakan bahwa hasil Asesmen Nasional dimaksudkan sebagai peta awal
mutu sistem pendidikan secara nasional. Asesmen Nasional tidak akan digunakan
untuk mengevaluasi kinerja sekolah maupun daerah.
Gambar 1. Manfaat Asesmen Nasional
Asesmen Nasional akan diikuti oleh seluruh satuan pendidikan tingkat
dasar dan menengah di Indonesia, serta program kesetaraan yang dikelola oleh
PKBM. Di tiap satuan pendidikan, Asesmen Nasional akan diikuti oleh sebagian
peserta didik kelas V, VIII, dan XI yang dipilih secara acak oleh Pemerintah.
Untuk program kesetaraan, Asesmen Nasional akan diikuti oleh seluruh peserta
didik yang berada pada tahap akhir tingkat 2, tingkat 4 dan tingkat 6 program
kesetaraan.
Bentuk soal Asesmen Nasional AKM,  terdiri dari pilihan ganda, pilihan
ganda kompleks, menjodohkan, isian singkat dan uraian.
1. Pilihan ganda, peserta didik hanya dapat memilih satu jawaban benar
dalam satu soal. 
2. Pilihan ganda kompleks, peserta didik dapat memilih lebih dari satu
jawaban benar dalam satu
3. Menjodohkan, peserta didik menjawab dengan cara menarik garis dari
satu titik ke titik lainnya yang merupakan pasangan pertanyaan dengan
jawabannya.
4. Isian singkat, peserta didik dapat menjawab berupa bilangan, kata
untuk menyebutkan nama benda, tempat, atau jawaban pasti lainnya. 
5. Uraian, peserta didik menjawab soal berupa kalimat-kalimat untuk
menjelaskan jawabannya.
6. Murid kelas V akan mengerjakan 30 butir soal untuk mengukur
kompetensi literasi membaca dan 30 butir soal untuk mengukur
kompetensi numerasi. Sedangkan siswa kelas VIII dan XI akan
mengerjakan 36 butir soal untuk mengukur kompetensi literasi
membaca dan 36 butir soal untuk mengukur kompetensi numerasi.
AKM dilaksanakan secara adaptif, sehingga setiap peserta didik akan
menempuh soal yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik itu sendiri.
AKM mengukur kompetensi mendasar yang perlu dipelajari semua peserta didik
tanpa membedakan peminatannya. Oleh karena itu seluruh peserta didik akan
mendapat soal yang mengukur kompetensi yang sama. Keunikan konteks beragam
materi kurikulum lintas mata pelajaran dan peminatan tercermin dalam ragam
stimulus soal-soal AKM.
AKM disusun berdasarkan indikator-indikator kompetensi yang
membentuk lintasan kompetensi hasil belajar yang bersifat kontinum.

C. Konsep Literasi Membaca


Literasi membaca termasuk dalam kompetensi yang paling mendasar yang
ingin dievaluasi dalam Asesmen Kompetensi Minimum. Literasi baca dan tulis
adalah pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari,
menelusuri, mengolah, dan memahami informasi untuk menganalisis,
menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan,
mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di
lingkungan sosial.
Literasi membaca dan menulis, tidak seperti sebutannya, mencakup
kemampuan yang lebih dari sekedar mampu mengeja kalimat dan menuliskannya.
Literasi membaca dan menulis, perlu dikembangkan untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih bermakna terkait berbagai cakupan dan konteks
kehidupan. Di dalam lingkungan satuan pendidikan, kompetensi literasi yang
terus berkembang memungkinkan peserta didik untuk dapat menggunakannya
dalam berbagai mata pelajaran.
Dalam penilaiannya asesmen literasi membaca tidak hanya mengukur
topik atau konten tertentu tetapi berbagai konten, berbagai konteks dan pada
beberapa tingkat proses kognitif. 
Konten pada Literasi Membaca menunjukkan jenis teks yang digunakan,
dalam hal ini dibedakan dalam dua kelompok yaitu teks informasi dan teks fiksi.
Kemudian, tingkat proses kognitif menunjukkan proses berpikir yang dituntut atau
diperlukan untuk dapat menyelesaikan masalah atau soal. Pada Literasi Membaca,
level tersebut adalah menemukan informasi, interpretasi dan integrasi serta
evaluasi dan refleksi. Sedangkan konteks menunjukkan aspek kehidupan atau
situasi untuk konten yang digunakan. Konteks pada AKM dibedakan menjadi tiga,
yaitu personal, sosial budaya, dan saintifik.

Gambar 2. Komponen AKM Literasi Membaca

D. Konsep Numerasi
Numerasi merupakan suatu kompetensi yang mencakup pengetahuan,
keterampilan, perilaku, dan disposisi yang dibutuhkan peserta didik untuk
menggunakan matematika dalam cakupan dan situasi yang lebih luas. Numerasi
menuntut peserta didik untuk mengenali dan memahami peran matematika di
dunia, memiliki disposisi dan kapasitas untuk menggunakan pengetahuan dan
keterampilan matematika untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.
Secara umum kompetensi numerasi ditandai dengan kemampuan
seseorang untuk; bernalar, mengambil keputusan yang tepat, dan memecahkan
masalah. Kemampuan ini dalam penerapannya terkait dengan mata pelajaran lain
yang peserta didik pelajari.
Pada numerasi, konten dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Bilangan, meliputi representasi, sifat urutan, dan operasi beragam jenis
bilangan (cacah, bulat, pecahan, decimal)
2. Pengukuran dan geometri, meliputi mengenal bangun datar hingga
menggunakan volume dan luas permukaan dalam kehidupan sehari-
hari. Juga menilai pemahaman peserta didik tentang pengukuran
panjang, berat, waktu, volume dan debit serta satuan luas
menggunakan satuan baku.
3. Data dan ketidakpastian, meliputi pemahaman, interpretasi serta
penyajian data maupun peluang.
4. Aljabar, meliputi persamaan dan pertidaksamaan, relasi dan fungsi
(termasuk pola bilangan), serta rasio dan proporsi.

E. Asesmen Literasi dan Numerasi Tingkat SD


Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa terdapat dua jenis
kompetensi yang diujikan pada AKM, yakni asesmen literasi membaca dan
numerasi. Asesmen kemampuan literasi dirancang untuk menguji kemampuan
literasi membaca peserta didik dengan mengukur kemampuannya dalam
memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksi beragam jenis teks.
Sedangkan asesmen kemampuan numerasi ditujukan untuk mengukur
kemampuan peserta didik dalam hal numerasi. Dalam hal ini peserta didik akan
diuji untuk melihat kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta,
dan alat matematika.
Berikut detail asesmen literasi membaca dan numerasi tingkat SD
1. Literasi Teks Fiksi Level Pembelajaran 1 (Kelas 1 dan 2)
a. Menemukan Informasi
1) Mengakses dan mencari informasi dalam teks
a) Menemukan informasi tersurat (siapa, kapan, di mana,
mengapa, bagaimana) pada teks sastra atau teks informasi
yang terus meningkat sesuai jenjangnya (7 soal)
b. Memahami
1) Memahami teks secara literal
a) Mengidentifikasi kejadian yang dihadapi tokoh cerita pada
teks sastra sesuai jenjangnya. (3 soal)
2) Menyusun inferensi, membuat koneksi dan prediksi baik teks
tunggal maupun teks jamak
a) Menyimpulkan perasaan dan sifat tokoh pada teks sastra
sesuai jenjangnya. (4 soal)
b) Membandingkan hal-hal utama (misalnya karakter tokoh
atau elemen intrinsik lain) dalam teks sastra yang terus
meningkat sesuai jenjangnya. (1 soal)
c. Mengevaluasi dan merefleksi
1) Menilai format penyajian dalam teks
a) Menilai kesesuaian antara ilustrasi dengan isi teks sastra
atau teks informasi yang terus meningkat sesuai jenjangnya.
(5 soal)

2. Literasi Teks Fiksi Level Pembelajaran 2 (kelas 3 dan 4)


a. Menemukan Informasi
1) Mengakses dan mencari informasi dalam teks
a) Menemukan informasi tersurat (siapa, kapan, di mana,
mengapa, bagaiman) pada teks sastra atau teks informasi
yang terus meningkat sesuai jenjangnya. (5 soal)
b. Memahami
1) Memahami teks secara literal
a) Mengidentifikasi dan menjelaskan permasalahan yang
dihadapi tokoh cerita pada teks sastra sesuai jenjangnya. (2
soal)
2) Menyusun inferensi, membuat koneksi dan prediksi baik teks
tunggal maupun teks jamak
a) Menyimpulkan perasaan dan sifat tokoh serta elemen
intrinsic lain seperti latar cerita, kejadian-kejadian dalam
cerita berdasarkan informasi rinci di dalam teks sastra yang
terus meningkat sesuai jenjangnya. ( 5 soal)
b) Menyusun inferensi (kesimpulan) terkait isi teks untuk
menentukan apakah suatu komentar/pertanyaan/pernyataan
relevan dengan isi teks pada teks sastra atau teks informasi.
(6 soal)
c) Membandingkan hal-hal utama (misalnya karakter tokoh
atau elemen intrinsik lain) dalam teks sastra yang terus
meningkat sesuai jenjangnya. (2 soal)
c. Mengevaluasi dan merefleksi
1) Menilai format penyajian dalam teks
2) Merefleksi isi wacana untuk pengambilan keputusan,
menetapkan pilihan, dan mengaitkan isi teks terhadap
pengalaman pribadi
a) Mengaitkan isi teks sastra atau teks informasi dengan
pengalaman pribadi sesuai jenjangnya (1 soal)

3. Literasi Teks Fiksi Level Pembelajaran 3 (kelas 5 dan 6)


a. Menemukan informasi
1) Mengakses dan mencari informasi dalam teks
a) Menemukan informasi tersurat (siapa, kapan, di mana,
mengapa, bagaimana) pada teks sastra atau teks informasi
yang terus meningkat sesuai jenjangnya. (10 soal)

b. Memahami
1) Memahami teks secara literal
a) Mengidentifikasi perubahan dalam eleman intrinsik
(kejadian, karakter, setting, konflik, alur cerita) pada teks
sesuai jenjangnya. (6 soal)
2) Menyusun inferensi, membuat koneksi dan prediksi baik teks
tunggal maupun teks jamak
a) Menyimpulkan perasaan dan sifat tokoh serta elemen
intrinsic lain seperti latar cerita, kejadian-kejadian dalam
cerita berdasarkan informasi rinci di dalam teks satra yang
terus meningkat sesuai jenjangnya. (4 soal)
b) Menyusun inferensi (kesimpulan) berdasarkan unsur-unsur
pendukung (grafik, gambar, tabel, dan lain-lain) di dalam
teks sastra atau teks informasi sesuai jenjangnya. (2 soal)
c) Membandingkan hal-hal utama (misalnya karakter tokoh
atau elemn intrinsik lain) dalam teks sastra yang terus
meningkat sesuai jenjangnya. (1 soal)
c. Mengevaluasi dan merefleksi
1) Menilai format penyajian dalam teks
a) Menilai kesesuaian antara ilustrasi dengan isi teks sastra
atau teks informasi yang terus meningkat sesuai jenjangnya.
2) Merefleksi isi wacana untuk pengambilan keputusan,
menetapkan pilihan, dan mengaitkan isi teks terhadap
pengalaman pribadi
a) Merefleksi pengetahuan baru yang diperoleh dari teks sastra
atau teks informasi terhadap pengetahuan yang dimilikinya
yang terus meningkat sesuai jenjangnya. (1 soal)

F. Peran Literasi dan Numerasi dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan


Literasi dianggap sebagai dan modal utama bagi peserta didik maupun
generasi muda dalam belajar dan menghadapi tantangan-tantangan masa depan.
Literasi pada awal kemunculannya dimaknai sebagai keberaksaraan atau melek
aksara yang fokus utamanya pada kemampuan membaca dan menulis, dua
keterampilan yang menjadi dasar untuk melek dalam berbagai hal. Namun
selanjutnya, literasi dimaknai sebagai melek membaca, menulis dan numeric.
(Priyatni, 2017: 157).
Pada mulanya literasi hanya dimaknai sekadar kemampuan membaca dan
menulis saja. Namun seiring perkembangan zaman, kemampuan literasi selain
membaca dan menulis, juga ada kemampuan numerik. Ketiga keterampilan ini
merupakan dasar dalam kecakapan hidup seseorang.
Dalam Kamus Besar Kahasa Indonesia atau KBBI (2005: 598), literasi
adalah 1) kemampuan menulis dan membaca, 2) pengetahuan atau keterampilan
dalam bidang atau aktivitas tertentu, 3) kemampuan individu dalam mengolah
informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Literasi juga merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa. Literasi sangat
perlu dipupuk agar generasi gemar membaca dan menulis. Apalagi pada era
digital ini, segala sesuatu membutuhkan kemampuan literasi. Istilah literasi
merupakan sesuatu yang terus berkembang dan terbagi dalam beberapa jenis, di
antaranya:
1. Literasi sekolah
Salah satu amanat Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 adalah 15
menit membaca sebelum pembelajaran sebagai pengaplikasian
Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Pengertian dari literasi sekolah itu
sendiri adalah upaya mengasah kemampuan dalam hal mendapatkan
dan memahami pengetahuan sedangkan proses pemahaman tersebut
dapat didapatkan melalui aktivitas membaca, menulis bahkan
menyimak.
2. Literasi lingkungan
Literasi lingkungan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan karena manusia hidup selalu berdampingan dengannya,
seperti halnya menyediakan ventilasi rumah agar sirkulasi udara
berjalan lancar, membangun rumah di tempat yang landai agar
terhindar dari longsor dan menjaga hutan dari gundul agar terhindar
dari banjir serta longsor. Kemampuan yang dimiliki oleh setiap
individu untuk berperilaku baik dalam kesehariannya dengan
menggunakan pemahamannya terhadap kondisi lingkungan pada
contoh di atas adalah pengertian dari literasi lingkungan.
3. Literasi numerasi
Pengertian literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk:
a. Menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang
terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah
praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari.
b. Menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk
(sperti grafik, tabel, bagan, dsb.) lalu menggunakan interpretasi
hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan digunakan dalam
mengambil keputusan.
Ada banyak manfaat yang di dapat dari kegiatan literasi. Salah satunya
adalah meningkatnya kualitas masyarakat dan menunjang terlaksananya
pembangunan yang berkelanjutan, seperti pemberantasan kemiskinan,
pertumbuhan penduduk, serta berkurangnya angka kematian. Hal tersebut bisa
terjadu karena proses literasi mampu membuat masyarakat memiliki sikap-sikap
positif, seperti memiliki keunggulan komparatif,, meningkatkan pengetahuan diri,
mengetahui hal-hal yang terjadi di lingkungan, dapat mengurangi stress,
menambah wawasan dan pengetahuan, menambah kosakata, melatih keterampilan
untuk berfikir dan menganalisis, melatih untuk dapat menulis dengan baik, dapat
membantu mencegah penurunan fungsi kognitif, serta dapat membantu kita
terhubung dengan dunia luar.
Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat
dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai
budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah
seperangkat keterampilan nyata. khususnya keterampilan kognitif membaca dan
menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari
siapa memperolehnya. Unesco menjelaskan bahwa kemampuan literasi
merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat.
Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu,
keluarga, masyarakat. Karena sifatnya yang dapat memberikan efek untuk ranah
yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan,
mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin
pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian.
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan
memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar
berbahasa, yaitu membaca dan menulis. Jadi, makna dasar literasi sebagai
kemampuan baca tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi
secara lebih luas. Cara yang digunakan untuk memperoleh literasi adalah melalui
pendidikan.
Pendidikan dan kemampuan literasi adalah dua hal yang sangat penting
dalam hidup kita. Kemajuan suatu negara secara langsung tergantung pada tingkat
melek huruf di negara tersebut. Orang berpendidikan diharapkan dapat melakukan
tugasnya dengan baik. Secara historis, menurut Tarwotjo dalam Wiyanto (2006)
dalam pengantar bukunya yang berjudul Terampil Menulis Paragraf, produk dari
aktivitas literasi berupa tulisan adalah sebuah warisan intelektual yang tidak akan
kita temukan di zaman prasejarah. Dengan kata lain, apabila tidak ada tulisan,
sama saja kita berada di zaman prasejarah. Tulisan merupakan bentuk rekaman
sejarah yang dapat diwariskan dari generari ke generasi, bahkan hingga berabad-
abad lamanya.
Dalam dunia pendidikan, tulisan mutlak diperlukan. Buku-buku pelajaran
maupun buku bacaan yang lainnya merupakan sarana untuk belajar para peserta
didik di lembagalembaga sekolah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Tanpa tulisan dan membaca, proses transformasi ilmu pengetahuan tidak akan
bisa berjalan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tulisan, budaya membaca,
serta menulis di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, kita harus terus berupaya
mendorong serta membimbing para generasi muda termasuk pelajar dan
mahasiswa untuk membudayakan kegiatan literasi.
Budaya literasi tentunya sangat penting ditingkatkan di sekolah.
Kemampuan dasar literasi yang berupa kemampuan membaca menulis harus
menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan. Banyak manfaat yang
didapatkan dari hasil membaca. Dengan membaca, kita bisa mendapatkan
informasi dan pengetahuan, misalnya membaca koran atau majalah. Dengan
membaca kita juga bisa mendapatkan hiburan seperti membaca cerpen, novel, dll.
Dengan membaca, kita mampu memenuhi tuntutan intelektual, meningkatkan
minat terhadap suatu bidang, dan mampu meningkatkan konsentrasi.
Menurut Lerner (1988:349), kemampuan membaca merupakan dasar untuk
menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak
segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak
kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya.
National Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan
individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan
masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan
masyarakat. Definisi ini memaknai literasi dari perspektif yang lebih kontekstual.
Dari definisi ini, terkandung makna bahwa definisi literasi tergantung pada
keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (Unesco) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat
Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk
yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan
Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Melihat rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia, ini
akan berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang
akan menghadapi MEA (Mayarakat Ekonomi Asean) sehingga masyarakat
Indonesia akan sangat sulit untuk bisa bersaing dengan masyarakat dari negara
lain di Asean. Untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia, bisa
dimulai dari sekolah yang melaksanakan proses pembelajarannyaa tidak terlepas
dari aktifitas membaca karena dari sinilah pentingnya mengembangkan budaya
membaca di sekolah.
Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti
melalui pembiasaan membaca buku nonpelajaran selama 15 menit setiap hari
sebelum pembelajaran dimulai sekarang ini juga sudah diterapkan di sekolah-
sekolah. Jenis buku yang dibaca beragam, tidak harus buku pelajaran, bisa juga
buku-buku sastra, seperti cerpen, novel, dll. Tujuan kegiatan membaca tersebut
adalah untuk membudayakan cinta membaca.
Literasi dan numerasi juga merupakan kompetensi yang perlu
dikembangkan secara lintas mata pelajaran. Kemampuan membaca yang diukur
melalui AKM literasi sebaiknya dikembangkan tidak hanya melalui pelajaran
bahasa Indonesia, tapi juga pelajaran agama, IPA, IPS, dan pelajaran lainnya.
Kemampuan berpikir logis-sistematis yang diukur melalui AKM Numerasi juga
sebaiknya dikembangkan melalui berbagai pelajaran. Dengan mengukur literasi
dan numerasi, Asesmen Nasional mendorong guru semuat mata pelajaran untuk
berfokus pada pengembangan kompetensi membaca dan berpikir logis sistematis
Selain aspek kognitif di atas, Asesmen Nasional juga memotret hasil
belajar social emosional. Dengan ini asesmen nasional diharapkan dapat memotret
sikap, nilai, keyakinan, serta perilaku yang dapat memprediksi tindakan dan
kinerja peserta didik diberbagai konteks yang relevan. Hal ini penting untuk
mengirim pesan bahwa proses belajar-mengajar haris mengembangkan potensi
peserta didik secara utuh baik kognitif maupun non kognitif.
BAB III
PENUTUP

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1086842&val=13296&title=MANFAAT%20LITERASI%20UNTUK
%20MENINGKATKAN%20MUTU%20PENDIDIKAN

Anda mungkin juga menyukai