Ringkasan Culture and Crisis Communication
Ringkasan Culture and Crisis Communication
Kaem
Preview Chapter
Chapter ini mengajarkan
- Membantu memahami perbedaan strategi yang digunakan oleh pemerintah di
tingkat yang berbeda dikarenakan minat yang berbeda beda.
- Menggambarkan bagaimana budaya dapat atau tidak dapat mempengaruhi
respon pemerintah selama crisis.
- Melihat bahwa adanya faktor faktor lain (seperti korupsi dan minat personal)
yang mempengaruhi respon komunikasi crisis
- Menghargai pentingnya penyebaran pesan yang tepat menggunakan satu suara
dan sinkronisasi pesan disaat krisis.
Gambaran Singkat Indonesia dan Kebudayaannya
- Indonesia memulai reformasi desentralisasi pemerintahan, pelimpahan kekuasaan dari
pemerintah pusat ke unit-unit provinsi.
- Budaya Indonesia tidak dapat dijelaskan dengan kata kata karena Indonesia merupakan
rumah dari lebih dari 200 etnis yang berbicara lebih dari 300 bahasa lokal.
- Indonesia memiliki motto “Unity in Diversity.” Berbeda beda namun Satu.
- Indonesia juga telah diidentifikasi sebagai masyarakat kolektivis, yang menunjukkan
bahwa orang Indonesia menekankan pada loyalitas, hubungan, dan tanggung jawab
bersama
Pemerintah Daerah
Gubernur dilaporkan tidak bertanggung jawab dan menunjukkan upaya minimal dalam
mengatasi kebakaran. Gubernur mengakui adanya kebakaran dan kabut asap namun
meminimalkan tanggung jawab pemerintah daerah dengan menyerahkan masalah kabut asap
kepada Tuhan. Gubernur berkata, “Kita biarkan Tuhan yang mengurus kabut asap”.
Selain itu, pejabat pemerintah daerah menunjukkan ketidaktahuan mereka atas masalah ini
dengan menganggap enteng krisis kabut asap dan banyak pemimpin lokal tidak yakin bahwa
menjaga kelestarian hutan akan mengarah pada pembangunan
Pemerintah Nasional
Menurut Benoit dan Pang, ada 5 strategi yang digunakan oleh negara untuk memulihkan citra
mereka:
· Penolakan melibatkan 2 varian, yaitu penyangkalan sederhana atau mengalihkan
kesalahan kepada pihak lain untuk memposisikan penuduh sebagai korban.
· Penghindaran tanggung jawab mencakup 4 varian, yaitu;
- Provokasi, di mana suatu negara bereaksi dengan menanggapinya karena
didorong untuk melakukannya
- Penolakan, ketika sebuah negara memperdebatkan kasusnya atas dasar
kurangnya informasi dan kontrol
- Kecelakaan, di mana “ terdakwa” menyatakan bahwa kecelakaan itu terjadi
secara tidak sengaja
- Niat baik, di mana suatu negara berpendapat bahwa tindakan ofensif itu
dilakukan dengan niat baik.
· Mengurangi penyerangan dapat dilakukan dengan 5 strategi, yaitu;
- strategi minimisasi dapat digunakan untuk mengurangi keparahan situasi
- strategi diferensiasi berusaha mengurangi ofensif dengan menyarankan bahwa
tindakan itu kurang ofensif daripada yang dirasakan
- strategi transendensi berusaha menempatkan situasi pada tingkat yang lebih
tinggi dengan masalah yang lebih penting
- menyerang penuduh berusaha mengurangi kredibilitas tuduhan
- strategi kompensasi adalah di mana mereka yang bertanggung jawab
memutuskan untuk menawarkan sesuatu yang berharga kepada para korban.
· Tindakan korektif bertujuan untuk meyakinkan pemangku kepentingan bahwa
situasi krisis seperti itu tidak akan terulang kembali.
· Mortifikasi adalah ketika seseorang mengakui kesalahan dan mencari pengampunan.
Sejalan dengan strategi yang dijabarkan oleh Benoit dan Pang, respon pemerintah pusat
bervariasi sesuai dengan institusi masing-masing. Beberapa pejabat kementerian Indonesia
menunjukkan tanggapan penolakan dan berdebat tentang siapa yang harus disalahkan atas
kabut asap, dengan beberapa bahkan mengalihkan kesalahan ke Malaysia dan Singapura.
Menteri lingkungan hidup Indonesia menyoroti fakta bahwa perusahaan Malaysia terlibat dalam
kebakaran tersebut. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat memperburuk situasi melalui
komentar agresif, mengalihkan kesalahan ke alam dan menegur Singapura. Sedangkan, Agung
Laksono, menteri koordinator tanggapan Indonesia, mengatakan kepada wartawan, “Ini bukan
yang diinginkan bangsa Indonesia, ini karena alam”.
Namun, dua menteri lain yang terlibat langsung dalam krisis, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan,
dan Menteri Pertanian Suswono Asyraf, menahan diri. Mereka mengatakan bahwa pemerintah
tidak akan menoleransi perusahaan yang melakukan tebas bakar untuk membuka lahan di Riau
dan perusahaan yang terbukti melakukannya akan ditindak tegas. Berbeda dengan beberapa
menterinya, Presiden Yudhoyono saat itu menerima tanggung jawab dengan mengeluarkan
permintaan maaf penuh kepada Singapura dan Malaysia.
Pemerintah Daerah
Menurut studi Hofstede dan GLOBE, semakin tinggi jarak kekuasaan dan semakin lemahnya
kekhawatiran tentang penghindaran ketidakpastian dalam masyarakat Indonesia akan
mengkondisikan para pemimpin Indonesia untuk menggunakan strategi defensif dalam
menanggapi krisis. Ciri-ciri budaya ini terlihat dalam strategi penghindaran tanggung jawab
yang dilakukan oleh `pemerintah daerah, di mana mereka kurang terlihat dan kurang terlibat
dalam krisis.
Strategi penghindaran tanggung jawab ini sebagian dipengaruhi oleh lemahnya kapasitas
pemerintah daerah untuk menangani kebakaran. Strategi ini semakin diperparah oleh praktik
kolektivisme dalam kelompok. Pemerintah daerah memberikan prioritas yang lebih tinggi pada
tujuan in-group daripada tujuan publik, seperti minat pemerintah daerah dalam memberikan
akses ilegal bagi perusahaan untuk membakar gambut dengan imbalan suap yang diterima
oleh pejabat pemerintah daerah menunjukkan bahwa praktik kolektivisme dalam kelompok
sangat menonjol.
Praktik kolektivisme in-group, bukan praktik kolektivisme institusional, dari era Suharto telah
berpindah ke tingkat provinsi dan itu memicu praktik korupsi. Orang-orang ini menafsirkan
hukum, aturan, dan peraturan untuk kepentingan kelompok dan teman dekat mereka.
Akibatnya, tiga gubernur Riau divonis penjara karena korupsi.
Pemerintah Nasional
Serupa dengan pemerintah daerah, jarak kekuasaan yang tinggi, penghindaran ketidakpastian
yang rendah, dan karakteristik kolektivisme kelembagaan yang rendah tampak jelas dalam
tanggapan beberapa pejabat di tingkat nasional. Namun, dimensi budaya ini tidak tercermin
dalam tanggapan Presiden Yudhoyono terhadap krisis kabut asap lintas batas. Sebagai
pemimpin, Presiden Yudhoyono memikul tanggung jawab dan meminta maaf kepada Singapura
dan Malaysia menyusul serangkaian komentar negatif para menterinya yang ditujukan kepada
kedua negara.
Menariknya, Presiden Yudhoyono dilaporkan meminta maaf pada tahun 2013 hanya ketika
kabut asap berdampak buruk pada negara tetangga Indonesia. Namun ia tidak meminta maaf
kepada masyarakat di Riau atas kabut asap yang terjadi sejak 1985. Tanggapan ini
menunjukkan bahwa karakteristik budaya Hofstede hanya relevan di lingkungan domestik,
bukan internasional. Ada beberapa kemungkinan alasan untuk perbedaan sikap ini, yaitu:
Namun, dalam hal ini, realitas politik tampaknya lebih diutamakan. Latar belakang militer
Presiden Yudhoyono yang berfokus pada ketahanan kawasan dan menghindari konfrontasi
dengan negara tetangga yang tidak sejalan dengan menteri sipil Indonesia yang kepentingan
dan aspirasinya berbeda. Kemungkinan perbedaan kepentingan ini, bersama dengan
kurangnya koordinasi, membuat pemerintah tidak mungkin melakukan pendekatan yang
terpusat dan konsisten dalam komunikasi krisis ini.
Singkatnya, dimensi budaya dari jarak kekuasaan yang tinggi, penghindaran ketidakpastian
yang rendah, dan kolektivisme institusional yang rendah tampaknya hanya mempengaruhi
tanggapan Presiden Yudhoyono di lingkungan domestik. Dimensi budaya ini kurang terlihat
dalam komunikasi krisis lintas batas karena latar belakang dan kepentingan politiknya.
Selain dampak negatif kabut asap terhadap masyarakat (misalnya, peningkatan dua kali lipat
infeksi saluran pernapasan akut di Riau, kenaikan 20% harga bahan pokok karena gangguan
distribusi), lintas batas kabut asap merenggangkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan
tetangganya Malaysia dan Singapura, karena beberapa pejabat pemerintah Indonesia saling
menyalahkan dan menghindari untuk memikul tanggung jawab.
Pentingnya untuk memahami bagaimana budaya bekerja secara berbeda dalam berbagai
situasi pada tingkat yang berbeda:
Malaysia: “Almost without a trace”: Missing Flight MH370, Culture and Transboundary
Crisis Communication in the Era of Social Media
Preview Chapter
Penerbangan MH370 Hilang, Budaya dan Komunikasi Krisis Lintas di Era Media Sosial
- Pada 8 Maret 2014 peristiwa yang luar biasa yang pernah menimpa negara itu yaitu
hilangnya pesawat Malaysia Airlines Boeing 777 (Penerbangan MH370) dalam
penerbangan rutin dari Kuala Lumpur menuju Beijing, China.
- Malaysia secara resmi menyatakan bahwa hilangnya pesawat itu adalah kecelakaan
dan menambahkan bahwa semua penumpang dan awak pesawat diduga tewas.
- Namun, banyak kerabat dari 239 orang di dalamnya yang marah dengan keputusan
pihak berwenang Malaysia
- Pencarian selama hampir 3 tahun, tidak menghasilkan petunjuk yang signifikan
mengenai keberadaan pesawat, namun hanya beberapa bagian pesawat yang
ditemukan terdampar di pantai, di tempat-tempat yang jauh seperti Pulau Reunion.
- Dengan demikian, ini tetap menjadi krisis yang belum terselesaikan bagi pemerintah
Malaysia.
Menghadapi Peristiwa yang Belum Pernah Terjadi: Bagaimana Pemerintah dan MAS
Menanggapi
● · Tujuan utama dari media repot dari kejadian ini adalah untuk mendapatkan
kepastian mengenai kabar terkini pesawat yang hilang kontak dan menyampaikannya
kepada seluruh anggota keluarga penumpang, kru, dan kepada seluruh dunia. Untuk
mencapai hal ini, ada beberapa langkah yang salah telah diambil.
Beberapa langkah besar yang salah itu:
● - Informasi yang kontradiktif dan membingungkan
● - Salah menyebut penumpang Iran yang bepergian dengan paspor palsu sebagai Mario
Balotelli
● - Memberikan harapan palsu kepada orang yang dicintai penumpang pesawat bahwa
orang yang mereka cintai mungkin selamat
● - Tidak melaporkan ping terakhir yang terdengar dari pesawat
● - Bertentangan dengan kata-kata terakhir yang diduga diucapkan oleh kapten pesawat
● · Kesalahan tidak hanya terdapat pada MAS, namun juga pemerintah Malaysia
melakukan langkah yang kurang tepat dalam menanggapi kejadian ini
● · Perdana menteri Malaysia, Najib Razak menyebutkan "Dalam beberapa hari
pertama setelah pesawat menghilang, kami sangat fokus untuk mencari pesawat
sehingga kami tidak memprioritaskan komunikasi kami". Hal ini dinilai kurang tepat
seperti disampaikan Fuad Sharuji (Direktur Krisis MAS) bahwa kesalahan telah terjadi,
namun tim telah bergerak mengatasi ‘celah’ (berita tentang hilangnya MH370) ini.
Respon yang ditunjukkan MAS dalam menanggapi publik menunjukkan adanya tingkat hirarki
yang jelas sehingga mereka terkesan selalu pada “defensive mode”.
Sejak tragedi MH370, menariknya MAS telah melakukan saran-saran dari Pownall dan
beberapa hal lainnya seperti:
1. Melakukan rebranding nama menjadi MAB-Malaysia Airline Berhad.
2. Menjalankan strategi media sosial yang konsisten.
3. Menggunakan endorse dari pihak luar untuk membentuk persepsi MAS (sekarang MAB)
sebagai perusahaan penerbangan yang aman.
4. Tingkat keamanan dalam penerbangan ditingkatkan untuk memastikan bahwa pilot tidak
akan pernah sendiri di cockpit.
Conclusion
Insiden MH370 telah menjadi sejarah sebagai “one of the world’s greatest aviation mysteries”.
Respon terhadap krisis ini dapat menjadi pelajaran penting dalam bidang komunikasi krisis
khususnya penggunaan media sosial dalam komunikasi krisis, komunikasi dalam konteks
krisis lintas negara dan bahkan pada industri penerbangan.
Shrivastava: masih menilai tragedi MH370 sebagai kegagalan organisasi yang tidak belajar dari
krisis sebelumnya (Air France 447). Menurut Shrivastava, bertindak secara cepat dalam
pencarian memang tidak pasti menghindari terjadinya tragedi ini, tetapi ia menyatakan
“it would very likely make it harded for an aircraft to simply disappear, and easier to find any
aircraft that did and certainly reassure the traveling public and reduce the chances of such a
drawn-out disaster reoccurring”.
Hal positif yang dapat dipetik adalah Malaysia berhasil menyatukan 26 negara bersama untuk
mengadakan peacetime search operations terbesar. Selain itu, hal penting lainnya yang perlu
dicatat adalah memiliki strategi media sosial yang memperkuat pesan disebarluaskan
dalam media tradisional adalah kebutuhan mutlak. Kesimpulannya, dari kasus ini,
kebutuhan memberikan respon pada berbagai budaya, nilai, dan praktis komunikasi yang
berbeda di tiap negara adalah hal yang sangat krusial.