Oleh:
MEDAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Belakangan ini kasus “BEGAL” sangat ramai terjadi di beberapa kota di Indonesia
khususnya Medan, dan hal ini cukup menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Aksi
pembegalan tersebut dilakukan dengan cara mencuri atau merampas kendaraan bermotor
dengan disertai kekerasan. Sasaran pembegalan ini umumnya adalah pengendara sepeda
motor, sehingga saat ini rasa aman menjadi sesuatu yang dirindukan oleh masyarakat,
terutama para pengendara sepeda motor.
Kata begal ialah kata yang sering digunakan oleh masyarakat di Sumatera, karena kasus
“BEGAL” sering ditemui di daerah tersebut. Namundemikian, kasus pencurian kendaraan
bermotor dengan kekerasan tidak hanya terjadi di Sumatra tetapi juga telah terjadi di daerah-
daerah Indonesia. Maka kata “BEGAL” kini menjadi populer dikalangan masyarakat
Indonesia.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pengertian khusus
mengenai tindak pidana begal atau pembegalan. Perbuatan pembegalan dapat ditindak
dengan aturan yang tercantum dalam pasal 365 ayat (1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan
maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan,
untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasi
barang curiannya.
Di dalam KUHP perbuatan ini tidak disebut dengan sebutan “BEGAL” melainkan
CURAS (Pencurian dengan Kekerasan) yang sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 365
KUHP tersebut, dikarenakan “BEGAL” selalu identik dengan kekerasan dan mengambil atau
merampas barang yang bukan haknya.
1. Untuk mengetahui bagaimana cara dan peran penegak hukum dalam menangani kasus
begal di kota Medan
BAB II
PEMBAHASAN
Law of Effect
Proses ini merupakan bentuk tingkah laku yang memberi kepuasan sesuai tuntutan
situasi yang ada. Kemudian, tingkah laku tersebut akan selalu diingat dan dipelajari
dalam kurun waktu yang lama. Sebaliknya, semua tingkah laku yang memberi
dampak negatif perlahan akan ditinggalkan. Proses tingkah laku ini terjadi secara
alamiah. Dan juga, dapat dilatih berdasarkan syarat -syarat yang berlaku.Kemudian,
Thorndike memiliki pandangan bahwa organisme adalah suatu mekanismus. Ia hanya
akan melakukan gerakan atau tindakan apabila terdapat rangsangan yang memiliki
pengaruh terhadap dirinya. Gerakan tersebut terjadi secara otomatis. Terjadinya
otomatis me menurut Thorndike dikarenakan adanya law of effect.
Kemudian, dalam kehidupan sehari-hari, law of effect dapat dilihat saat pemberian
penghargaan atau ganjaran, dan juga pemberian hukuman dalam pendidikan. Karena
adanya law of effect, timbul reaksi antara hubungan (connection) atau asosiasi antara
tingkah laku reaksi yang menghasilkan sesuatu yang kemudian disebut dengan
dampak atau hasil (effect). Karena, adanya relasi antara reaksi dengan dampaknya itu,
maka teori Thorndike disebut juga Connectionism.
“Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana.”
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa mitigasi bencana yaitu upaya penanggulan
bencana agar dapat mengurangi resiko bencana. Mitigasi bencana harus dilakukan
secara terencana dan komprehensif melalui berbagai upaya dan pendekatan antara lain:
2. Pasca Bencana
Pengertian Rehabilitasi menurut Giri, (2017 : 20) dalam buku tanggap darurat
bencana alam yaitu :
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Di dalam pasal tersebut sudah sangat jelas bahwa pemerintah memiliki tanggung
jawab untuk memulihkan kondisi dari dampak bencana dan tahap ini dilakukan dalam tahap
pasca bencana atau periode setelah tanggap darurat.
Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik dengan
pendekatan deskriptif, maupun dengan pendekatan kausal. Sebenarnya dewasa ini tidak lagi
dilakuakn penyidikan sebab musabab kejahatan, karena smapai saat ini belum dapat
ditentukan faktor pembawa resiko yang besar atau yang lebih kecil dalam menyebabkan orng
tertentu melakuakn kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik
individu maupun secara kelompok.
Meskipun demikian,para ahli belum bisa menemukan faktor lingkungan apa den
bagaimana, yang menjadi sebab yang pasti daripada terjadinya kejahatan, seperti dinyatakan
oleh Mardjono Reksodiputro bahwa kriminologi saat ini belum sampai memungkinkan untuk
dengan tegas menentukan sebab-sebab orng melakukan pelanggaran norma hukum (berbuat
kejahatan). Tingkat pengetahuan kriminologi dewasa ini masih dalam taraf mencari, melalui
penelitian dan penyusunan teori.
Oleh karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai saranasarana yang sah
(legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, seperti gaji tinggi, bidan usaha yang maju,
dan lain-lain, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah
(illegitimate means). Lain halnya dengan teori penyimpangan budaya yang mengklaim bahwa
orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat nilai-nilai yang berbeda, dan cederung
konflik dengan nilai-nilai kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, manakala orang-orang
bawah mengikuto sistem nilai mereka sendiri. Mereka mungkin telah melanggar norma-
norma konvensional.