Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS PENANGANAN BEGAL DI KOTA MEDAN

Dosen Pengampu : Khairunnisah Lubis, S.Sos, M.I.Pol

Oleh:

1. Mazaya Sahira Harsya 218530028


2. Iffat Yoshyfani A.P 218530073
3. Debby Lutvia Syabila 218530093
4. Nazwa Sahila 218530012

UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

MEDAN

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Belakangan ini kasus “BEGAL” sangat ramai terjadi di beberapa kota di Indonesia
khususnya Medan, dan hal ini cukup menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Aksi
pembegalan tersebut dilakukan dengan cara mencuri atau merampas kendaraan bermotor
dengan disertai kekerasan. Sasaran pembegalan ini umumnya adalah pengendara sepeda
motor, sehingga saat ini rasa aman menjadi sesuatu yang dirindukan oleh masyarakat,
terutama para pengendara sepeda motor.

Kasus begal banyak meresahkan masyarakat karena pada umumnya pembegalan


dilakukan pada malam hari. Tidak jarang Pembegal melakukan aksinya di daerah yang sepi.
Hal tersebut sangatlah meresahkan, terutama masyarakat yang bekerja dan pulang saat malam
hari. Pembegal tidak segan-segan untuk melakukan aksi begal pada siapa saja seperti wanita,
pria, bahkan kepada anak-anak. Polisi dalam tugasnya sebagai penegak hukum harus lebih
tegas dalam menindak kasus tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan
atau pembegalan. Maka dari itu peran kepolisian sangatlah penting untuk menjaga keamanan
dan kesejahteraan masyarakat.

Kata begal ialah kata yang sering digunakan oleh masyarakat di Sumatera, karena kasus
“BEGAL” sering ditemui di daerah tersebut. Namundemikian, kasus pencurian kendaraan
bermotor dengan kekerasan tidak hanya terjadi di Sumatra tetapi juga telah terjadi di daerah-
daerah Indonesia. Maka kata “BEGAL” kini menjadi populer dikalangan masyarakat
Indonesia.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pengertian khusus
mengenai tindak pidana begal atau pembegalan. Perbuatan pembegalan dapat ditindak
dengan aturan yang tercantum dalam pasal 365 ayat (1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan
maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan,
untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasi
barang curiannya.

Di dalam KUHP perbuatan ini tidak disebut dengan sebutan “BEGAL” melainkan
CURAS (Pencurian dengan Kekerasan) yang sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 365
KUHP tersebut, dikarenakan “BEGAL” selalu identik dengan kekerasan dan mengambil atau
merampas barang yang bukan haknya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara dan peran penegak hukum menangani kasus begal di kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana cara dan peran penegak hukum dalam menangani kasus
begal di kota Medan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Teori Komunikasi

Law of Effect

Proses ini merupakan bentuk tingkah laku yang memberi kepuasan sesuai tuntutan
situasi yang ada. Kemudian, tingkah laku tersebut akan selalu diingat dan dipelajari
dalam kurun waktu yang lama. Sebaliknya, semua tingkah laku yang memberi
dampak negatif perlahan akan ditinggalkan. Proses tingkah laku ini terjadi secara
alamiah. Dan juga, dapat dilatih berdasarkan syarat -syarat yang berlaku.Kemudian,
Thorndike memiliki pandangan bahwa organisme adalah suatu mekanismus. Ia hanya
akan melakukan gerakan atau tindakan apabila terdapat rangsangan yang memiliki
pengaruh terhadap dirinya. Gerakan tersebut terjadi secara otomatis. Terjadinya
otomatis me menurut Thorndike dikarenakan adanya law of effect.

Kemudian, dalam kehidupan sehari-hari, law of effect dapat dilihat saat pemberian
penghargaan atau ganjaran, dan juga pemberian hukuman dalam pendidikan. Karena
adanya law of effect, timbul reaksi antara hubungan (connection) atau asosiasi antara
tingkah laku reaksi yang menghasilkan sesuatu yang kemudian disebut dengan
dampak atau hasil (effect). Karena, adanya relasi antara reaksi dengan dampaknya itu,
maka teori Thorndike disebut juga Connectionism.

2.2. Teori Managemen Bencana


1. Mitigasi

Definisi mitigasi bencana menurut Joko, (2011 : 279).

“Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana.”
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa mitigasi bencana yaitu upaya penanggulan
bencana agar dapat mengurangi resiko bencana. Mitigasi bencana harus dilakukan
secara terencana dan komprehensif melalui berbagai upaya dan pendekatan antara lain:

a) Pendekatan teknis yaitu secara teknis mitigasi bencana dilakukkan untuk


mengurangi dampak suatu bencana.
b) Pendekatan manusia yaitu pendekatan secara manusia ditujukan unttuk
membentuk manusia yang paham dan sadar mengenai bahaya bencana.
c) Pendekatan administratif yaitu pendekatan yang biasa dilakukan oleh
pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi.
d) Pendekatan kultural yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran mengenai bncana. Melalui pendekatan ini, pencegahan bencana
disesuaikan dengan kearifan masyarakat lokal yang telah
membudaya sejak lama.

2. Pasca Bencana

Pengertian Rehabilitasi menurut Giri, (2017 : 20) dalam buku tanggap darurat
bencana alam yaitu :

Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.

Pengertian diatas dijelaskan bahwa rehabilitasi merupakan suatu bentuk kegiatan


pemulihan yang diberikan kepada masyarakat sebagai dasar pelayanan setelah terjadi
nya bencana. Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi, prinsip dasar yang digunakan
adalah sebagai berikut:

a. Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana, namun juga


sebagai pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi.
b. Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa tanggap darurat (sesuai
dengan presiden tentang penetapan status dan tingkatan bencana) dan diakhiri
setelah tujuan utama rehabilitasi tercapai.
2.3. Teori Tanggung Jawab Pemerintah

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi


penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Undang-undang penanggulangan bencana yang disahkan pada tahun 2007 jelas


mencantumkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung
jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dan penanggulangan bencana
dilakukan pada saat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana.

Menurut pasal 6 undang-undang penanggulangan bencana, tanggung jawab


pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi :

a. Pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan resiko bencana


dengan program pembangunan
b. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana
c. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana
secra adil sesuai dengan standar pelayanan minimum
d. Pemulihan kondisi dari dampak bencana
e. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara yang memadai
f. Pengalokasian anggaran penaggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai
g. Pemeliharaan arsip atau dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan
dampak bencana.

Di dalam pasal tersebut sudah sangat jelas bahwa pemerintah memiliki tanggung
jawab untuk memulihkan kondisi dari dampak bencana dan tahap ini dilakukan dalam tahap
pasca bencana atau periode setelah tanggap darurat.

Pasca bencana merupakan momentum untuk mengembalikan kehidupan korban


bencana seperti semula dan penyelenggaraannya dilakukan dengan proses rehabilitasi dan
rekonstruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran
utama untuk normalisai atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Sedangkan rekonstruksi adalah
pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca
bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
dan kembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pascabencana.

Rehabilitas dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana,


perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat,
pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik,
pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi
pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.

Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembanggunan yang lebih baik, meliputi


pembanggunan kembali prasarana dan sarana pembangunan kembali sarana sosial
masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan
rancangan bangunan yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana,
partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, peningkatan kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik, dan peningkatan pelaanan
utama dalam masyarakat.

2.4. Teori - Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan

Masalah sebab-sebab kejahatan selalu merupakan persoalan yang sangat menarik.


Berbagi teori yang menyangkut sebab kejahatan telah diajukan oleh para ahli dari berbagai
disiplin dan bidang ilmu pengetahuan. Namun, sampai dewasa ini masih belum juga ada satu
jawaban penyelesaian yang memuaskan.

Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik dengan
pendekatan deskriptif, maupun dengan pendekatan kausal. Sebenarnya dewasa ini tidak lagi
dilakuakn penyidikan sebab musabab kejahatan, karena smapai saat ini belum dapat
ditentukan faktor pembawa resiko yang besar atau yang lebih kecil dalam menyebabkan orng
tertentu melakuakn kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik
individu maupun secara kelompok.

Meskipun demikian,para ahli belum bisa menemukan faktor lingkungan apa den
bagaimana, yang menjadi sebab yang pasti daripada terjadinya kejahatan, seperti dinyatakan
oleh Mardjono Reksodiputro bahwa kriminologi saat ini belum sampai memungkinkan untuk
dengan tegas menentukan sebab-sebab orng melakukan pelanggaran norma hukum (berbuat
kejahatan). Tingkat pengetahuan kriminologi dewasa ini masih dalam taraf mencari, melalui
penelitian dan penyusunan teori.

Dalam usaha mencari dan meneliti sebab-sebab kejahatan dalam lingkungan


masyarakat. Terdapat beberapa teori-teori berbeda dengan teori-teori lainnya, teori dari aspek
sosiologis memiliki alasan-alasan penyebab kejahatan didalam lingkungan sosial. Teori-teori
penyebab kejahatan dari aspek sosiologis tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori
umum, yaitu:

1. Anomie (ketiadaan norma) atau Strain (keterangan)

2. Cultural Deviance (penyimpangan budaya)

3. Social Control (control sosial)

Teori Anomie dan penyimpangan budaya,memusatkan perhatian pada kekuatan-


kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Teori
ini berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal saling berhubungan. Pada
penganut teori anomie beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti
seperangkat nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah, yakni adanya
anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah kesuksesan dalam ekonomi.

Oleh karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai saranasarana yang sah
(legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, seperti gaji tinggi, bidan usaha yang maju,
dan lain-lain, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah
(illegitimate means). Lain halnya dengan teori penyimpangan budaya yang mengklaim bahwa
orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat nilai-nilai yang berbeda, dan cederung
konflik dengan nilai-nilai kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, manakala orang-orang
bawah mengikuto sistem nilai mereka sendiri. Mereka mungkin telah melanggar norma-
norma konvensional.

Anda mungkin juga menyukai