Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan banyak pembelajaran bagi
masyarakat Indonesia dan dunia bahwa banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam musibah
tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat dalam mengantisipasi
bencana. Di samping itu, kejadian-kejadian bencana tersebut pun semakin menyadarkan banyak
pihak tentang pentingnya perencanaan dan pengaturan dalam penanggulangan bencana.
Pengalaman terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias (Sumatera
Utara) tahun 2004 telah membuka wawasan pengetahuan di Indonesia dan bahkan di dunia.
Kejadian tersebut mengubah paradigma manajemen penanggulangan bencana dari yang bersifat
tanggap darurat menjadi paradigma pencegahan dan pengurangan risiko bencana (PRB).
Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan pada berbagai tahapan
kegiatan, yang berpedoman pada kebijakan pemerintah yaitu Undang-Undang No.24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah terkait lainnya yang telah
memasukkan Pengurangan Risiko Bencana. Pentingnya pemahaman mengenai dasar-dasar
penanggulangan bencana akan menjadi landasan atau dasar dalam mengembangkan pengurangan
risiko bencana dalam penanggulangan bencana.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Manajemen Bencana?
2. Bagaimana Tahapan Manajemen Bencana?
3. Apa Prinsip Penanggulangan Bencana?
4. Apa Prinsip Penanggulangan Bencana Internasional?
5. Bagaimana Sistem Penanggulangan Bencana dalam Pembangunan ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui defenisi manajemen bencana
2. Untuk memahami dan mengetahui tahapan manajemen bencana
3. Untuk mengetahui prinsip penanggulangan bencana
4. Untuk mengetahui penanggulangan bencana internasional
5. Untuk mengetahui sistem penanggulangan bencana dalam pembangunan
BAB II
PEMBAHASAN

A. MANAJEMEN BENCANA
1. Definisi Manajemen Bencana
Tirah baring yang lama,maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan
tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrissi ke
jaringan ,jika hal in dbiarkan akan terjadi ischemia,Hyperemis dan akan normal
kembal jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasse untuk meningkatkan suplai darah.

2. Tahapan Manajemen Bencana


Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana, dilaksanakan
melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut :
1) Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika tidak terjadi bencana dan terdapat
potensi bencana
2) Tahap tanggap darurat yang diterapkan dan dilaksanakan pada saat sedang
terjadi bencana.
3) Tahap pasca bencana yang diterapkan setelah terjadi bencana.

Dalam keseluruhan tahapan penanggulangan bencana tersebut, ada 3 (tiga)


manajemen yang dipakai yaitu :
1) Manajemen Risiko Bencana
Adalah pengaturan/manejemen bencana dengan penekanan pada faktor-faktor
yang bertujuan mengurangi risiko saat sebelum terjadinya bencana. Manajemen
risiko ini dilakukan dalam bentuk :
a. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
b. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
c. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan ini sebenarnya masuk
manajemen darurat, namun letaknya di pra bencana. Dalam fase ini juga
terdapat peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

2) Manajemen Kedaruratan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada
faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan
pengungsi saat terjadinya bencana dengan fase nya yaitu :
a. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

3) Manajemen Pemulihan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada
faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan
hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan,
prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh
setelah terjadinya bencana dengan fase-fasenya nya yaitu :
a. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pascabencana.
b. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

3. Prinsip Penanggulangan Bencana


Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana Nasional berdasarkan UU No. 24 Tahun
2007 adalah sebagai berikut:
1) Cepat dan Akurat
Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam
penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai
dengan tuntutan keadaan.
2) Prioritas
Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan
pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. . Koordinasi – Yang dimaksud
dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana
didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
3) Keterpaduan
Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada
kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4) Berdaya Guna
Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan
biaya yang berlebihan.
5) Berhasil Guna
Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan
penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan.
6) Transparansi
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
7) Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik
dan hukum.
8) Kemitraan (Cukup jelas)
9) Pemberdayaan (Cukup jelas)
10) Nondiskriminasi
Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa negara
dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda
terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
11) Nonproletisi
Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan
agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui
pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

4. Prinsip Penanggulangan Bencana Internasional


1) SPEHER
a. Piagam Kemanusiaan
Dalam Bab Piagam Kemanusiaan SPHERE, secara ringkas piagam ini
dapat dipahami sebagai point-point berikut :
 Komitmen lembaga-lembaga terhadap pemenuhan standar minimum
dalam melakukan respon bencana.
 Berisi persyaratan paling mendasar bagi kelangsungan hidup dan
martabat orang yang terkena dampak bencana.
 Memastikan Akuntabilitas upaya-upaya bantuan kemanusiaan.

Dan Piagam Kemanusiaan (Humanitarian Charter) disusun berdasarkan 3


prinsip berikut :
 Hak untuk kehidupan yang
bermartabat
 Hak untuk perlindungan dan keselamatan
 Hak untuk menerima bantuan kemanusiaan

Dimana dalam piagam ini ada penjelasan khusus tentang prinsip-prinsip khusus
dalam konteks “konflik bersenjata”, tentang prinsip “pembedaan antara
pemanggul senjata dan yang bukan”; dan “prinsip tidak mengusir paksa”.

b. Prinsip Perlindungan
Dalam suatu aksi kemanusiaan sebenarnya terdiri dari dua pilar utama yaitu :
perlindungan dan bantuan. Prinsip Perlindungan dalam SPHERE adalah sebagai
jawaban bahwa orang yang mendapat ancaman atau bahaya dalam suatu bencana
atau konflik harus tetap mendapat perlindungan. Prinsip ini akan menjadi
panduan bagi lembaga kemanusiaan bagaimana mereka menyelenggarakan
perlindungan dalam suatu aksi kemanusiaan.
Ada empat prinsip perlindungan dasar dalam suatu aksi kemanusiaan
dalam SPHERE yaitu :
 Menghindari terjadinya bantuan kemanusiaan yang semakin
menyengsarakan orang yang terkena dampak bencana
 Memastikan setiap orang memiliki akses terhadap bantuan kemanusiaan yang
proposional sesuai kebutuhan mereka tanpa diskriminasi.
 Melindungi orang yang terkena dampak bencana dari kekerasan secara fisik
dan mental akibat adanya tindak kekerasan dan pemaksaan.
 Mendampingi orang yang terkena dampak bencana untuk menyuarakan hak –
hak mereka dan memberikan akses penyembuhan atau rehabilitasi akibat dari
suatu tindak kekerasan.

Telah disepakati dalam klaster perlindungan global bahwa tiap lembaga


kemanusiaan harus memiliki focal point untuk beberapa isu perlindungan
dibawah ini yaitu :
 Perlindungan anak
 Kekerasan berbasis gender
 Perumahan, tanah dan hak milik
 Aksi penambangan
 Peraturan tentang hukum dan peradilan

c. Standar-Standar Inti (Core Standards)


Sebelum membahas ke standar-standar minimum, kita harus melihat terlebih
dahulu standar-standar inti dalam SPHERE. Standar ini ibaratnya yang
memayungi standar-standar lainnya dalam SPHERE. Standar-standar ini
terdiri dari enam point sebagai berikut :
 Aksi kemanusiaan yang berpusat pada orang yang terkena dampak bencana
atau konflik.
 Koordinasi dan kolaborasi
 Pengkajian
 Desain dan respon
 Kinerja, transparansi dan pembelajaran
 Kinerja pekerja kemanusiaan.

Sama halnya dengan standar-standar minimum, maka Core Standards


juga memiliki strukstur sebagai berikut :
 Core Standards (Standar Inti) : yaitu 6 point di atas yang merupakan
ukuran
 kualitatif yang harus dicapai dalam suatu aksi kemanusiaan.
 Key Actions (Aksi Kunci) : berisi aktivitas yang disarankan untuk
mencapai standar.
 Key Indicators (Indikator Kunci) : merupakan suatu sinyal atau tanda-
tanda bahwa suatu standar telah tercapai.
 Guidance Notes (Catatan Panduan) : menjelaskan tentang
beberapa point penting yang harus dipertimbangkan dalam mencapai
Core Standards, Key Actions maupun Key Indicators.
 CHS (Core Humanitarian Standard on Quality and Accountability)
adalah Perangkat yang terdiri dari sembilan komitmen terhadap komunitas
dan warga terdampak krisis yang menyatakan apa yang dapat mereka
harapkan dari oganisasi dan perorangan yang menyampaikan bantuan
kemanisiaan. Setiap komitmen didukung oleh sebuah kriteria mutu
yang menandai bagaimana organisasi kemanusiaan dan staf harus bekerja
untuk memenuhinya.

Sembilan komitmen dan kriteria kualitas :


a) Komunitas dan warga terdampak krisis menerima bantuan yang tepat
dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kriteria kualitas : Respons kemanusiaan harus sesuai dan relevan.
b) Komunitas dan warga terdampak krisis mempunyai akses terhadap
bantuan kemanusiaan yang mereka perlukan pada waktu yang tepat.
Kriteria kualitas : Respons kemanusiaan harus efektif dan tepat waktu.
c) Komunitas dan warga terdampak krisis bebas dari dampak negatif dan
akan menjadi lebih siap, lebih tangguh dan kurang berisiko setelah menerima
aksi kemanusiaan.
Kriteria kualitas : Respons kemanusiaan harus mendorong
peningkatan kapasitas lokal dan tidak menimbulkan akibat buruk.
d) Komunitas dan warga terdampak krisis mengetahui hak-hak mereka
yang dijamin oleh hukum, mempunyai akses terhadap informasi dan terlibat
dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada diri mereka.
Kriteria kualitas: Respons kemanusiaan berdasarkan pada
komunikasi, partisipasi dan umpan balik.
e) Komunitas dan warga terdampak krisis mempunyai akses terhadap
mekanisme pengaduan yang aman dan responsif.
Kriteria kualitas: Pengaduan disambut baik dan ditangani.
f) Komunitas dan warga terdampak krisis menerima bantuan yang
terkoordinasi dan saling melengkapi.
Kriteria kualitas: Respons kemanusiaan harus terkoordinasi dan
saling melengkapi.
g) Komunitas dan warga terdampak krisis dapat mengharapkan
penyaluran bantuan yang lebih baik, karena organisasi belajar dari
pengalaman dan refleksi.
Kriteria kualitas: Pekerja kemanusiaan senantiasa belajar dan
meningkatkan diri.
h) Komunitas dan warga terdampak krisis menerima bantuan yang
mereka butuhkan dari staf dan relawan yang kompeten dan dikelola dengan
baik.
Kriteria kualitas: staf didukung dalam melaksanakan pekerjaannya
dengan efektif dan diperlakukan dengan adil dan setara.
i) Komunitas dan warga terdampak krisis dapat mengharapkan bahwa
organisasi yang membantu mereka mengelola sumber-sumber daya dengan
efektif, efisien dan etis.
Kriteria kualitas: sumber-sumber daya dikelola dan digunakan
dengan bertanggungjawab sesuai peruntukkannya.
B. SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA

1. LEGISLASI
a. Yang sifatnya nasional, mulai UU No. 24 Tahun 2007, Peraturan Pemerintah
ada 3 : PP 21/2008 ttg penyelenggaraan penanggulangan bencana, PP22/2008
ttg pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana, PP23/2008 ttg peran serta
lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam
penanggulangan bencana. Perpres No. 8 Tahun 2008 ttg BNPB, peraturan
menteri terkait penanggulangan bencana, peraturan Kepala BNPB (liat di
www.bnpb.go.id) dsb
b. Yang sifatnya daerah : perda, pergub, perbup, perwali, qanun biasanya
mengatur mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah,
pembentukan BPBD.

2. KELEMBAGAAN
Kelembagaan penanggulangan bencana dapat dibagi 2 : formal dan non formal Untuk
formal : di pusat ada BNPB, di provinsi ada BPBD provinsi dan dikab/kota ada
BPBD kab/kota. Dengan melihat umur UU No. 24 Tahun 2007 baru jalan 5 tahun,
capaian kelembagaan per 1 agustus 2011 untuk sudah terbentuk 34 BPBD
Provinsi dan 506 BPBD kab/kota. BNPB sebagaimana dengan BPBD Prov dan
BPBD kab/kota terdiri dari unsur pelaksana dan unsur pengarah, yang membedakan
hanya jumlah dan komposisi unsur pengarah.
3. PERENCANAAN
Perencanaan dalam penanggulangan bencana dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Perencanaan yang berlaku untuk semua jenis bencana, yaitu rencana
penanggulangan bencana, yang kemudian didiskripsikan menjadi rencana aksi.
b. Perencanaan untuk 1 (satu) jenis bencana, yaitu :
 Rencana mitigasi : pra bencana tanpa potensi bencana, satu jenis
bencana, upaya mitigasi (struktural dan non struktural), siapa melakukan apa,
budget
 Rencana kontijensi : pra bencana dengan potensi bencana, satu jenis
bencana, gunakan skenario kejadian yang paling mungkin, siaps melakukan
apa, budget, dokumen komitmen antar stakeholder
 Rencana operasi : saat bencana, melaksanakan rencana kontijensi
 Rencana pemulihan : pasca bencana, dasar wilayah terdampak, apa saja
yang dipulihkan, siap melakukan apa, budget.

4. PENDANAAN
Pendanaan dalam penangulangan bencana dikelompokkan menjadi 2 :
1) Pendanaan dari pemerintah, dibedakan menjadi 4 berdasarkan
peruntukkannya :
 Kegiatan rutin dan operasional untuk pengurangan risiko bencana digunakan
dana DIPA, termasuk Dana Alokasi Khusus,
 Kegiatan penanganan kesiapsiagaan dengan Dana Kontigensi
 Untuk bantuan kemanusiaan pada saat terjadi bencana digunakan Dana
Siap Pakai (ON CALL), yang penggunaannya dengan kemudahan akses
(rincian baca : PP22/2008),
 Kegiatan pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) pasca bencana dengan
Dana Bantuan Sosial Berpola Hibah.

2) Pendanaan dari masyarakat, merupakan dana yang dikumpulkan oleh


masyarakat, baik organisasi masyarakat (Ormas), perguruan tinggi, media
massa, maupun masyarakat internasional.
5. PENGEMBANG KAPASITAS
1) Pengembangan kapasitas secara efektif akan terjadi bila 3 (tiga) sub sistem
dalam sistem penangulangan bencana dijalankan dengan baik yang secara
umum dikelompokkan sebagai berikut:
Kelembagaan meliputi kelembagaan formal dan non formal sumberdaya,
meliputi sumberdaya manusia termasuk aparat, masyarakat terlatih, relawan
dsb. Dan sumberdaya sarana prasarana termasuk kantor, alat komunikasi,
trasnsportasi, obat-obatan dsb.

2) Iptek
 Bagaimana penguasaan iptek di daerah mis : sudah menggunakan
komputer atau masih pakai kalkulator dan mesin ketik untuk olah data, fax,
email, udahkah digunakan penerapan iptek terapan untuk pembangunan
rumah tahan gempabumi, sistem peringatan dini,
 Berapa banyak aparat BPBD/stakehoder lain yang sudah mempelajari
penanggulangan bencana lewat jalur perguruan tinggi ? Mengingat
beberapa perguruan tinggi sudah membuka program khusus tentang
penanggulangan bencana seperti UGM, ITB, IPB, Untar (Univ.
tarumanegara), Unhan (univ. pertahanan) dsb.
 Meningkatkan kapasitas koordinasi, komando dan pelaksanaan
penanggulangan bencana termasuk pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan.

6. PENYELENGGARA PENANGGULANGAN BENCANA


Dengan meningkatnya kapasitas di daerah diharapkan dapat melakukan
penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan lebih baik. Penyelenggaraan
penanggulangan dibagi menjadi 3 (tiga) sesuai siklus penanggulangan bencana
(baca : UU No. 24 Tahun 2007 dan PP21/2008).

C. SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA DALAM PEMBANGUNAN


Hal yang perlu direkomendasikan pada sistem penanggulangan bencana dalam
pembangunan:
1) Pertama, perlu kerangka yang jelas bagi kegiatan penanggulangan bencana
berbasis komunitas
2) Kedua, integrasi kegiatan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan daerah;
3) Ketiga, peningkatan kapasitas masyarakat;
4) Keempat, adanya nilai dan pemahaman yang sama antar lembaga
pendamping
5) Kelima, fokus pada kebutuhan masyarakat
6) Keenam, penanggulangan bencana berbasis masyarakat merupakan tanggung jawab
semua pihak;
7) Ketujuh, peningkatan kapasitas dan kepedulian Pemerintah Daerah terkait
pelibatan masyarakat; dan kedelapan, peningkatan peran Pemerintah Daerah dalam
mendorong kegiatan penanggulangan bencana berbasis masyarakat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan mengenai bencana yang
telah terjadi di Indonesia memberikan banyak pembelajaran bagi masyarakat Indonesia.
1. Karakteristik responden di Kota bukittinggi sebagian besar berjenis kelamin perempuan
dengan persentase sebanyak 50,2%,golongan usia sebagian besar berada pada usia 41-50
tahun denganpersentase sebanyak 39,4%, tingkat pendidikan sebagian
besarberpendidikan SMA dengan persentase sebanyak 54,2%, jenis pekerjaansebagian
besar memiliki pekerjaan sebagai IRT dengan persentasesebanyak 38,3%
2. Kesiapsiagaan yang dimiliki oleh masyarakat kota bukiittinggi sebagian besar berada
pada kategori yang siapsiaga.
3. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat sebagian besar berada pada kategori
baik tentangkesiapsiagaan menghadapi bencana alam gunung meletus
4. Sikap yang dimiliki oleh masyarakat sebagian besar berada pada kategori kurang tentang
kesiapsiagaanmenghadapi bencana alam gunung meletus.enghadapi bencana alam
gunung meletus
5. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan masyarakatdengan kesiapsiagaan
masyarakat menghadapi bencana alam gunungmeletus di kota bukittinggi
6. Terdapat hubungan yang signifikan antara sikapmasyarakat dengankesiapsiagaan
masyarakat menghadapi bencana alam gunung meletus
7. Terdapat hubungan yang signifikan antara peran petugas kesehatan dengan kesiapsiagaan
masyarakat menghadapi bencana alam gunung meletus .

B. SARAN
1. Bagi masyarakat setempat sebaiknya terus siap siaga dalam menghadapi bencana alam
gunung meletus, mengikuti berbagai pelatihan terkait penanganan bencana, selalu
mengikuti informasi terbaru dari keadaan gunung apabila menunjukkan keadaan yang
berbahaya
2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan sebaiknya dalam penelitian selanjutnya
memperhatikan hal-hal yang dapat diteliti yang belum tercantum dalam penelitian ini.
Contohnya sistem informasi bencana yang ada di daerah bukuttinggi dan Pengelolaan
Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK).Bagi pemerintah sebaiknya membentuk
komunitas masyarakat darurat bencana agar masyarakat lebih mandiri dan
berpengalaman serta mengetahui tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi bencana
3. Bagi pelayanan kesehatan, sebaiknya petugas kesehatan yang berada dekat dengan lokasi
gunung membuat program kesehatan terkait manajemen bencana alam seperti pengadaan
sosialisasi bahaya gunung meletus bagi kesehatan, ketersediaan fasilitas yang cukup dan
memadai dan berperan sebagai pemberi informasi dan motivasi yang baik kepada
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai