Anda di halaman 1dari 13

Bab VII

Eksistensial dalam psikologi (Rollo May)

Banyak psikiater dan psikologi dewasa ini mulai menyadari adanya jurang pemisah antara
pemahaman tentang manusia dengan manusianya itu sendiri. Kesadaran itu terutama tampak
pada para ahli psikoterapi yang berapa berada di dalam ruang klinis dan konsultasi. Mereka
melihat adanya jarak yang begitu lebar antara rumus rumus teoritis dalam ilmu psikologi dan
psikiatri dengan kenyataan yang sebenamya dari pribadi pasien Oleh sebab itu, sering muncul
pertanyaan pada diri mereka mengenai jembatan antara sistem (teoretis) yang telah mereka
ketahui dengan pasien yang nyata-nyata mereka hadapi. "Apa jaminannya bahwa pengetahuan
saya bisa menangani seorang individu, yang sudah duduk dihadapan saya dalam ruang konsultasi
ini?" pertanyaan yang juga sering muncul dalam benak mereka adalah: "bagaimana kita tahu
bahwa kita melihat pasien dalam dunianya yang nyata (real) bagi dia, dunia tempat dia hidup,
bergerak, dan menyituasikan diri, yakni dunia yang bagi dia merupakan dunia yang unik,
konkret, dan berbeda dari yang dideskripsikan dalam teori-teori umum yang kita ketahui tentang
dunia manusia?" Tentu saja kecil kemungkinan buat kita untuk ikut berpartisipasi di dalam dunia
pasien dan mengetahuinya secara langsung; namun sejauh kita mempunyai kesempatan untuk
itu, tidak ada salahnya kita berupaya untuk berpartisipasi dan dalam batas-batas tertentu berada
di dalam dunianya.
Dua pertanyaan yang tadi diajukan telah mendorong para psikiater dan psikolog di Eropa untuk
menyelidiki dunia (eksistensi) individu secara cermat dan langsung, tanpa perantara sistem
(teon). Usaha mereka kemudian terkenal dengan sebutan gerakan Daseinanalyse atau Analisis
Eksistensial. "orientasi riset eksistensial dalam: psikiatri," Tulis Ludwing Binswanger, juru
bicara utama gerakan itu, muncul dan ketidakpuasaan terhadap usaha yang luar biasa untuk
mendapatkan pemahaman ilmiah dalam psikiatri. Psikolog dan psikoterapi sebagai ilmu memang
berkenaan dengan manusia tetapi sama sekali bukan dengan manusia yang secara mental sakit.
melainkan dengan manusia pada umumnya Pemahaman baru tentang manusia, yakni
pemahaman yang didasari oleh Analisis Eksistensial Heidegger, mempunyai landasannya dalam
konsepsi baru tentang manusia yang lain dari yang sudah ada sebelumnya. Menurut konsepsi
baru itu, manusia tidak lagi dimengerti berdasarkan pada beberapa teori, yakni teori yang
mekanistik, biologis, atau psikologis, melainkan pada manusia itu sendiri sebagai individu yang
konkret dan yang mengalami.
Selain Binswanger sendiri, beberapa psikolog dan psikiater yang termasuk ke dalam gerakan
Analsis Eksistensial di antaranya adalah Eugene Minkowski (Paris), Erwin Staraus dan V.O. von
Gabsattel (Jerman), Roland Khun (Swiss), Van den Berg, Buytendijk (Belanda), dan masih
banyak lagi psikitater dan psikolog lainnya. Pada mulanya banyak di antara mereka yang
merupakan pengikut Freud dan Jung. Namun dalam praktik terapeutik yang mereka lakukan,
mereka menyadari kekurangan psikoanalisis dalam memahami eksistensi pasien yang
sesungguhnya pun meragukan superiotas teori ketidaksadaran sebagai suatu carte yang dapat
menjelaskan setiap perilaku manusia. Mereka mengkritik teori itu dengan mengatakan, "the
unconscious ideas of the patient are more often than not the conscious theories of the theraphist”.
Tanpa bermaksud untuk menyangkal kegunaan psikoanalisis dalam kasus-kasus tertentu, mereka
mengkritis dan meragukan teori yang berasal dari Freud tentang manusia. Kesulitan dan
keterbatasan dalam memahami hakikat manusia, demikian kritik mereka, bukan hanya
menghambat riset-riset mereka, tetapi juga dalam jangka panjang akan membatasi efektivitas dan
perkembangan teknik-tekni terapeutik mereka. Oleh sebab itu, mereka mencoba untuk mencar
alternative pendekatan baru, dan alterative pendekatan yang mereka pilih adalah dengan cara
menyelidiki dan memahami secara langsung kekhasan seseorang pribadi atau pasien. Dalam
rangka memahami gejala neorosis atau psikosis (atau situasi-situasi kris psikologis lainnya)
misalnya, mereka memahaminya bukan sebagai penyimpangan di dalam struktur eksistensi
pasien itu sendiri. Artinya, kondisi kemanusian pasien (condition humaine) mengalami
gangguan. Selain itu, dimensi waktu mendapat perhatian yang sangat besar dalam analisis
eksistensial. Seperti ditulis oleh Binswanger, "psikoterapi yang berdasarkan pada analisis
eksistensial adalah psikoterapi yang menyelidiki sejarah-hidup pasien.... tetapi tidak menjelaskan
sejarah hidup dan keanehan-keanehan patalogi menurut ajaran mazhab-mazhab psikoterapi atau
berdasarkan pada kategori-kategori tertentu yang sudah diketahui... Psikoterapi eksistensial
memahami sejarah-hidup sebagai modifikasi-modifikasi dari struktur menyeluruh Ada-dalam-
dunia pasien."
Usaha Binswanger untuk menjelaskan bagaimana analisis eksisntensialnya dapat menjelaskan
suatu kasus tertentu, dan bagaimana analisis ini berbeda dari metode-metode sebelumnya,
ditujukkan dalam kasus "Ellen West", la menyelidiki arsip-arsip di sanatorium dan memilih
kasus seorang gadis muda, yang pernah berusaha untuk melakukan bunuh diri. Kasus ini menarik
karena selain buku harian, catatan-catatan pribadi dan puisi-puisinya yang penuh pesona, juga
karena sebelum dirawat di sanatorium, ia sebelumnya telah dirawat lebih dan dua periode oleh
para psikoanalisis dan, selama di sanatorium, telah menerima perawatan dan Bleuler dan
Kraepelin. Binswanger menggunakan kasus ini sebagai dasar untuk mendiskusikan bagaimana
Ellen West didiagnosis dan dimengerti pertama-tama oleh para psikoanalisis, kemudia oleh
Bleuler dan Kraeplin dan oleh orang-orang yang berwenang di sanatorium, dan bagaimana
akhimya dimengerti sekarang atas dasar analisis eksistensial Dalam analysis eksistensial (yang
tekanannya lebih pada terapi), Binswanger pertama-ama menganalisis asumsi-asumsi yang
mendasari hakikat manusia dan kemudian ia berhasil sampai pada pemahaman mengenai struktur
tempat diletakkannya segenap sistem terapeutik
Munculnya gerakan analisis eksistensial berbeda dari munculnya gerakan-gerakan atau aliran-
aliran lain karena dua hal. Pertama, gerakan analisis eksistensial tidak didinkan oleh seorang
tokoh atau pimpinan, melainkan tumbuh secara spontan dan secara asli (Indigenous) di berbagai
tempat yang berbeda. Kedua, gerakan ini ditujukan untuk membangun sebuah mazhab atau
teknik terapi baru sebagai perlawanan terhadap mazhab-mazhab atau teknik-teknik terapi lain.
Gerakan ini hanya menganalisis struktur eksistensi manusia, yakni sebuah usaha yang. kalau
akan menghasilkan pemahaman mengenai kenyataan yang mendasari segenap situasi manusia
yang sedang berada dalam krisis (kemelut)
Jadi apa yang dilakuka oleh gerakan ini lebih dari sekedar menerangi sudut-sudut gelap dalam
diri manusia. Kalau Binswanger menulis,... analisis eksistensial dapat memperluas dan
memperdalam konsep-konseo dasar dan pemahaman-pemahaman tentang psikoanalisis...", maka
ia benar sekali, bukan hanya dalam hubungannya dengan analisis, tetapi juga dengan bentuk-
bentuk terapi
Ada kritik atau perlawanan terhadap gerakan analisis eksistensial, dan perlawanan itu berasal
dari berbagai sumber. perlawanan pertama adalah adanya prasangka, bahwa analisis eksistensial
merupakan campur tangan (intervensi) filsafat dalam psikiatri, dan tidak banyak manfaatnya
untuk ilmu pengetahuan. Perlawanan ini sejalan dengan semangat para ilmuan akhir abad ke-19
yang memproklamasikan bahwa ilmu pengetahuan harus lepas dari filsafat. Mengenai
perlawanan ini saya akan memberikan beberapa komentar. Perlu diingat bahwa gerakan
eksistensial dalam psikiatni dan psikologi muncul dari suatu gairah (passion) untuk
menempatkan fenomena manusia secara lebih empiris. Binswanger dan para tokoh yang lain
percaya bahwa metode-metode ilmiah tradisional bukan hanya menyembunyikan apa yang
sebenarnya terjadi dalam pengalaman pasien. Gerakan analisis eksistensial merupakan protes
terhadap kecenderungan untuk melihat pasien dalam bentuk-bentuk atau kategon kategori yang
disesuaikan dengan prakonsepsi-prakonsepsi kita, atau mendeskripsikan pasien berdasarkan pada
gambaran kita sendiri. Dalam konteks ini sesungguhnya analisis eksistensial berada dalam tradisi
ilmiah dalam artinya yang paling luas. Namun, di lain pihak, ia memperluas pengatahuan tentang
manusia melalui perspektif historis dan pemikiran radikal, yakni dengan menerima fakta bahwa
manusia mampu mengungkapkan dirinya dalam seni, Melatur, serta filsafat, dan dengan
menerima wawasan tentang gerakan-gerakan kultural, khususnya yang mengungkapkan
kecemasan-kecemasan dan konflik-konflik menusia kontemporer. Pendeknya, analsis
eksistensial menyajikan sekaligus kesatuan ilmu pengetahuan dan humanisme.
Perlu untuk disadari bahwa setiap metode ilmiah mendasarkan din pada asumsi-asumsi filsafati.
Asumsi asumsi itu menentukan bukan hanya berapa banyak kenyataan yang dapat dijaring oleh
pengamatan dengan metodenya itu, tetapi juga menentukan apakah kenyataan yang diobservasi
itu berhubungan dengan persoalan persoalan yang hendak dicari jawabannya atau tidak, dan oleh
sebab itu apakah pemikiran ilmiah itu akan diteruskan atau mencari lagi metode lain yang lebih
cocok Adalah suatu kekeliruan besar kalau orang beranggapan bahwa kita mampu menghindari
asumsi-asumsi tersebut. Anggapan seperti itu tidak lain adalah cerminan dari ketidak kritisan
yang disebabkan oleh kebudayaannya yang sempit dan terbatas. Akibatnya adalah bahwa pada
hari ini ilmu menjadi identik dengan metode mengisolasikan faktor-faktor atau variable-variabel
tersebut secara terpisah dari sumber asalnya, yakni manusia itu sendiri. Ini adalah metode yang
khas dan kebudayaan barat abad ke-17, yang berupaya memisahkan kenyataan subjek dani objek.
Akan tetapi, dibandingkan dengan keadaan pada waktu itu, kita dewasa ini tidak kurang
tunduknya pada pengkultusan metode (methodolatry) itu, kita yang bergerak dalam usaha untuk
masuk ke dalam suatu wilayah krusial seperti studi psikologi tentang manusia, yang tujuan
akhirnya adalah menuju kesehatan emosional dan mental, sangat tidak diuntungkan, karena harus
dibatasi oleh ketidak kritisan terhadap asumsi-asumsi yang membatasi itu. Oleh sebab itu,
sangatlah dibutuhkan suatu analisis atas asumsi-asumsi itu. Menurut hemat saya, kita sebagai
psikiater dan psikolog sangat berulang pada gerakan analisis eksistensial yang telah
mengklarifikasikan dasar-dasar atau asumsi-asumsi mereka. Ini dibutuhkan untuk mengamati
subjek manusia secara jernih dan untuk menerangi secara original segi-segi dari pengalaman
psikolognya
Sumber perlawanan kedua adalah tendensi dalam masyarakat ilmiah untuk bergelut hanya
dengan teknik dan tidak sabar dengan upaya mencari landasan yang mendasan teknik tersebut.
Kecenderungan ini terutama tampak dari latar belakang sosial Amerika Serikat, yang cenderung
lebih pragmatis. Pragmatisme kebudayaan Amerika memengaruhi corak dan wama psikologi
negara ini, yang behavioristik, klinis dan terapan. Menurut Gordon Allport, psikologi Amerika
dan Inggris memang bertradisikan filsafat Locke, yang pragmatis dan sejalan dengan
behaviorisme. Konsekuensinya, psikolog di kedua negara ini menjadi psikolog "praktisi",
psikolog "tukang". Sebaliknya, tradisi continental (terutama Jerman dan Prancis) adalah
Leibnizian, bertradisikan filsafat Leibniz. Oleh sebab itu, tidak heran kalau psikolog Amenika
relatif kurang variatif, dibandingkan dengan tradisi continental yang jauh lebih kaya dalam
menghasilkan temuan-temuan yang original dan segar, baik dalam ilmu pengetahuan maupun
dalam pemikiran-pemikiran filsafati. Munculnya gerakan analisis eksistensial dalam tradisi
continental merupakan salah satau bukti dari kebudayaan tradisi tersebut.
Apakah Eksistensialisme itu?
Istilah "eksistensialisme" sering diartikan macam-macam mulai dari paham yang dianut oleh
para anggota kesenian avant garde di Paris; aliran filsafat yang membahas penderitaan hidup dan
mendukung tindakan bunuh din sistem pemikiran di Jerman yang bertendensi anti-rasional, pada
aliran dalam seni (tokoh-tokohnya antara lain Van Gogh, "Cezanne, dan Picasco) dan kesustraan
(tokoh-tokohnya misalnya Dostoeveski. Kaffka, Baudelaire, dan Rike). Namun, dalam tulisan ini
saya akan membatasi pengertian eksistensialisme sebagai sebuah pendekatan yang menganalisis
dan mengungkapkan eksistensi manusia (apakah itu dalam seni, kesusastraan, filsafat atau
psikologi) dengan cara menghapus dilema lama antara materialisme dan idealism. dengan
perkataan lain, eksistensialisme saya artikan sebagai usaha untuk memahami manusia dengan
mengatasi jurang pemisah antara subjek dan objek yang berurat berakar dalam tradisi ilmu
pengetahuan dan pemikiran di Barat sejak zaman Renaisance". Jurang pemisah ini, seperti
dikatakan oleh Binswanger, juga merupakan penyakit kanker yang telah lama didap oleh
psikologi jurang pemisah yang dimaksud adalah jurang antara subjek (idealism) dan objek
(materialism), Cara eksistensialisme dalam memahami manusia mempunyai beberapa
pendahulunya yang sangat terkenal dalam sejarah Barat seperti Sokrates dalam dialog-dialognya,
agustinus dalam analisis-analisis psikologi dalamnya, Pascal dalam perjuangannya untuk
menemukan sebuah tempat bagi "alasan-alasan hati yang tidak diketahui oleh rasio Namun, cara
pemahaman eksistensial yang saya maksudkan muncul secara khusus lebih dari seratus tahun
yang lalu dalam protes-protes keras Kierkegaard terhadap rasionalisme/idealism Hegel yang
sangat berpengaruh pada waktu itu, Kierkegaard menyatakan bahwa pengertian Hegel tentang
kebenaran yang abstrak mengenai kenyataan merupakan suatu ilusi dan penuh tipu daya.
Kebenaran itu ada, demikian tulisa Kierkegaard, hanya setelah individu membuat kebenaran itu
dalam tindakan, para eksistensialis lainnya yang mengkritis para rasionalis dan idealis yang
melihat manusia melulu sebagai subjek, yakni yang memandang manusia hanya melihat manusia
hanya sebagai mahkluk yang berpikir Akan tetapi, mereka pun mengecam keras materialisme
yang mempunyai kecenderungan untuk memperlakukan manusia hanya sebagai objek yang dapat
dikalkulasi dan dikontrol, seperti kecenderungan dunia Barat untuk menempatkan manusia
sebagai unit-unit anonym seperti robot dalam masyarakat industrial dan politis seperti sekarang.
Sambil itu semua, para eksistensialis sepakat dengan Feurbach, filsuf dari Jerman itu, yang
mengatakan, "jangan mau menjadi seorang filsuf yang berbeda dari seorang manusia, jangan
berpikir sebagai seorang pemikir, berpikirlan sebagai seorang makhluk hidup yang nyata."
Dengan perkataan lain, "Berpikirlah dalam Eksistensial!"
Istilah Eksistensial" berasal dan akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau
tumbuh ke luar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi
manusia (apakah itu terdapat dalam seni, filsafat, atau psikologi) seharusnya dipahami bukan
sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan
sebagai "gerak" atau "menjadi sebagai sesuatu yang mengada Dalam konteks ini, pertanyaan
yang krusial bukanlah, misalnya saja, apakah betul bahwa saya terbuat dari bahan bahan kimiawi
tertentu dan bertingkah laku menurut mekanisme atau pola-pola tertentu? Pertanyaan yang
muncul dalam konteks eksistensi haruslah berdasarkan pada kenyataan bahwa saya mengada
pada saat ini dalam ruang dan waktu tertentu, sehingga masalah yang saya hadapi adalah
bagaimana saya sadar akan kenyataan ini dan apa yang akan saya lakukan kemudian. Seperti
yang akan kita lihat nanti, para psikolog dan psikiater eksistensial sama sekali tidak
mengesampingkan studi mengenai dinamika-dinamika, dorongan-dorongan, dan pola-pola
perilaku Tetapi mereka percaya bahwa itu semua tidak dapat dimengerti ketika diaplikasikan
pada seorang pribadi atau individu tertentu karena ada fakta yang tak terbantahkan, bahwa di sini
ada seorang pribadi yang sedang mengada, yang sedang menjadi. Seandainya kita melupakan
konteks seperti itu, maka semua yang kita ketahui tentang pribadi atau individu itu akan
kehilangan maknanya. Itulah sebabnya pendekatan mereka selalu dianalisa. Menurut mereka,
eksistensi menunjuk pada kehadiran pribadi yang mengada atau menjadi Usaha mereka adalah
memahami ke mengada-an itu, bukan sebagai ekspresi sentimental, melainkan sebagai struktur
fundamental eksistensi manusia Kalau istilah "mengada" digunakan dalam uraian-uraian
berikutnya dalam tulisan ini, maka hal itu berarti bawa istilah itu bukan sebagai istilah statis,
melainkan dinamis. Istilah itu merupakan suatu bentuk kata kerja, partisipel dan kata kerja "ada"
Eksistensialisme pada prinsipnya memang merupakan ontology, yakni ilmu tentang yang ada.
Arti istilah eksistensi akan kita pahami secara lebih jelas lagi kalau kita meninjau kembali
pembedaan tradisonal antara istilah eksistensi dan esensi." Esensi menunjuk pada, katakanlah,
kecokelatan dari tongkat kayu ini, pada kepadatannya, bobotnya, dan karakter-karakter lain yang
membuat tongkat itu sebagai substansi Pemikiran Barat sejak Renaisance berkenaan dengan
esensi-esensi. Ilmu tradisonal berusaha menemukan esensi esensi atau substansi-substansi
Mencari sesuatu yang esensial memang menghasilkan hukum-hukum universal yang sangat
signifikan dalam ilmu dan konseptualisasi-konseptualisasi yang sangat abstrak dalam logika atau
filsafat. Namun, untuk melakukan hal itu dibutuhkan abstraksi. Eksistensi dari hal-hal yang
individual, dengan demikian, di luar gambaran yang abstrak itu. Misalnya kita menunjukkan
bahwa tiga apel ditambah tiga apel sama dengan enam. Tetapi ini akan sama betulnya kalau apel
diganti jeruk atau anggur, secara matematis tidak ada perbedaan yang mendasar apakah apel atau
jeruk dan anggur itu ada atau tidak ada. Demikian bahwa sebuah proposisi dapat saja bener tanpa
masalah apakah yang ditunjuknya itu nyata (real) atau tidak. Ada jurang pemisah antara
kebenaran dan kenyataan (realitas). Pertanyaan yang melibatkan kita dalam psikolog dan aspek-
aspek lain dari ilmu-ilmu tentang manusia adalah jurang pemisah antara apa yang secara asbtrak
benar dan apa yang secara eksistensial nyata bagi pribadi-pribadi atau individu-individu tertentu.
Ada jurang pemisah antara kebenaran dan kenyataan diakui juga secara terus terang oleh
sejumlah tokoh dalam psikologi behavioristik dan conditioning. Kenneth W. Spence, salah
seorang tokoh utama dari sayap behaviorisme, menulis, pertanyaan mengenal apakah gejala
perilaku tertentu lebih dekat pada kehidupan nyata atau tidak, dan oleh sebab itu apakah ia harus
diberi prioritas dalam penyelidikan atau jangan, muncul dalam benak para psikolog sebagal
ilmuan." Artinya, bukanlah persoalan besar apakah yang akan diselidiki itu nyata atau tidak.
Bidang gejala apa yang perlu mendapat prioritas untuk segara diselidiki, tidak tergantung pada
nyata atau tidak nyatanya gejala itu, spence sendiri memberi prioritas pada gejala peniaku yang
mempunyai "derajat untuk dapat dikontrol dan dianalisis, sehingga memungkinkan untuk
diformulasikan dalam bentuk hukum-hukum yang abstrak." Gejala perilaku mendapat prioritas
yang tinggi sejauh gejala itu tunduk pada hukum-hukum yang abstrak, apakah yang kita selidiki
itu nyata atau tidak, adalah pertanyaan yang tidak relevan untuk tujuan ini. Harus diakui bahwa
atas dasar pendekatan seperti itu, maka kini telah banyak dibangun sistem yang sangat
mengesankan dalam psikolog Dengan abstarksi yang ditumpuk di atas abstraksi lain,
terbangunlah struktur pengetahuan yang mengagumkan dan mengesankan. Namun, kesulitannya
adalah bahwa landasan dari bangunan sistem atau struktur itu lebih sering terpisah dari
kenyataan manusia. Sambil menolak pandangan tersebut, para pemikiran dalam tradisi
eksistensial, dan para psikolog serta psikiater dalam gerakan analisis eksistensial, mempunyai
pandangan sendiri tentang bersatunya kebenaran dan kenyataan, mereka menegaskan bahwa
adalah mungkin dan mutlak perlu untuk memiliki ilmu pengetahuan tentang manusia yang
menyelidiki manusia dalam kenyataan manusia itu sendiri.
Kierkegaard (1813-1855). Nietzsche (1844-1900), dan para filsuf eksistensial lainnya melihat
adanya jurang pemisah antara kebenaran dan kenyataan itu dalam kebudayaan Barat, dan mereka
mengingatkan manusia Barat untuk kembali dari delusi yang menyatakan bahwa kenyataan dapat
dipahami dalam cara abstrak dan jauh. Namun, kendati mereka mengecam keras "intelektualisme
seperti itu, mereka sama sekali bukan anti-rasionalisme. Anti intelektualisme atau anti-
rasionalisme, serta gerakan-gerakan lain yang sedang menjamur pada zaman kita ini, yang
mengharuskan pikiran tunduk pada aksi, sama sekali jangan dikacaukan dengan eksistensialisme.
Memilih salah satu dari dua hal, yakni menjadikan manusia sebagai subjek atau objek, dipastikan
karena tidak mengetahui apa sesungguhnya manusia itu. Kierkegaard dan para pemikir
eksistensial justru menyerukan untuk kembali kepada realitas yang mendasari baik subjektivitas
maupun objektivitas. Kita jangan menyelidiki pengalaman seorang manusia begitu saja. Yang
seharusnya kita lakukan terutama adalah menyelidiki manusia yang sedang mengalami sesuatu.
Seperti yang ditulis Tillich, "Kenyataan atau Ada bukanlah objek pengalaman kognitif,
melainkan eksistensi', yakni kenyataan yang dialami secara langsung, dengan titik berat pada
karakter personal dan dalam pengalaman manusia." Ini menjadikan dekatnya para eksistensialis
dengan psikologi-dalam (depth-psychology) dewasa ini. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
tokoh-tokoh eksistensialis terbesar abad ke-19, Kierkegaard dan Nietszce, "mendahului" para
psikolog-dalam. Jika kita membaca analisis Kierkegaard yang sangat mendalam tentang perasan
cemas (anxiety) dan putus asa (despair), atau perasaan bersalah, dan permusuhan yang menyertai
energi-energi emisonal yang terapresi, kita mungkin tidak akan percaya bahwa yang sedang kita
baca adalah karya karya yang ditulis tujuh puluh dari seratus tahun yang lalu, dan bukan analisis
psikologi kontemporer. Para eksistensialis berusaha keras untuk menemukan kembali pribadi
yang hidup di tengah-tengah pengotakan dan dehumanisasi kebudayaan modem, dan untuk
melakukan itu mereka menggunakan analisis psikologi-dalam." Perhatian mereka bukan pada
reaksi-reaksi psikologis yang terisolasi dirinya sendin, melainkan pada kebedaraan psikologis
dari manusia hidup yang sangat mengalami. Katakanlah, mereka menggunakan istilah-istilah
psikologis dengan muatan makna-makna ontologis.
Kelak pemikiran mereka dilanjutkan dan diperdalam oleh para eksistensialis kontemporer seperti
Martin Heidegger. Filsuf Jerman ini sering dianggap sebagai "sumber mata air pemikiran
eksistensial masa kini dan karya besamya, ada dan waktu, sangat berpengaruh pada pemikiran
Binswanger dan para psikiater serta psikolog eksistensial lainnya. Selain Heidegger, terdapat
nama-nama besar seperti Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, Niclai Bardyaev, Gabriel Marcel,
Ortegay Gasset, dan Paul Tillich. Karya-karya mereka sangat kaya dengan analisis eksistensial
atas situasi-situasi fundamental manusia,
Novel-novel Kafka yang menggambarkan situasi tanpa harapan dan tidak manusiawi
(dehumanized) dalam kebudayaan modern pun, menyuarakan apa yang disuarakan oleh para
eksistensialis. Demikian juga karya-karya Albert Camus seperti Orang Asing dan Sampar, yang
bisa dijadikan sebagai contoh bagus dalam kesusustraan modern, di mana eksistensialisme
mengekspresikan dirinya dalam bahasa sastra. Namun, potret eksistensialisme justru tampak
paling kentara dalam seni modern mengartikulasikan makna eksistensi secara simbolis, dan
sebagain lain karena seni mengungkapkan secara jelas tabiat emosional dan spiritual yang
mendasari kebudayaan. Karya karya Van Gogh, Cezanne, dan Picasco misalnya bisa
diinterprestasikan sebagai (1) perlawanan terhadap kemunafikan dari tradisi akademis abad ke-
19 akhir, (2) usaha menyelam ke dasar akal-akal budi manusia untuk menemukan relasi-relasi
baru dengan alam, (3) usaha untuk mendapatkan kembali vitalis dan pengalaman estetis yang
langsung dan jujur, dan (4) semangat untuk mengungkapkan makna yang sesungguhnya dari
situasi manusia modem, meski hal ini berarti mengungkapkan kehidupan yang tanpa harapan dan
penuh dengan kekosongan. Seperti yang dinterpretasikan Tillich terhadap lukisan Picasco,
"Guernica, bahwa lukisan itu bukan hanya merupakan potret dari kondisi masyarakat Eropa yang
terpecah-pecah, tetapi juga memperlihatkan apa yang terjadi sekarang dalam roh-roh manusia
Amerika yang sedang mengalami kekacaun, keragu-raguan eksistensial, kekosongan, dan
ketidakbermaknaan."
Fakta bahwa pendekatan eksistesial muncul sebagai jawaban spontan dan asli (indigenius)
terhadap budaya modem, tampak bukan hanya dalam arti bahwa ia muncul dalam seni dan
kesusastraan, tetapi juga dalam arti bahwa para filsuf dari berbagai belahan bumi Eropa
mengembangkan gagasan-gagasan eksistensial tersebut tanpa saling berhubungan satu sama lain.
Meskipun karya utama Heidegger, Ada dan Waktu, dipublikasikan tahuan 1927 misalnya, namun
Ortega y Gasset pada tahun 1924 telah mempublikasikan karya-karya Heidegger, padahal
mereka tidak pemah saling kenal atau mengetahui satu sama lain.
Tentu saja betul bahwa eksistensialisme lahir pada saat kebudayaan kita mengalami krisis, dan
krisis itu sebetulnya masih dapat kita rasakan bahkan hingga saat ini. Ketika suatu kebudayaan
terperangkap dalam gejolak. gejolak besar yang disebabkan oleh masa transisi, maka individu-
individu dalam masyarakat dipastikan mengalami gangguan emosional dan spiritual. Demikian
juga, ketika cara-cara berpikir lama sudah tidak lagi memberikan jaminan keamanan, maka
individu-individu dalam masyarakat tersebut cenderung untuk tenggelam dalam dogmatism dan
konformisme, atau dipaksa untuk menjadi sadar-diri menemukan keyakinan baru dan dasar-dasar
baru untuk menjamin keberadaannya ini merupakan salah satu dari beberapa pertalian yang
sangat penting antara gerakan eksistensial dengan psikoterapi: kedua-duanya berkenaan dengan
individu-individu yang sedang mengalami "krisis. Jauh dan maksud untuk mengatakan bahwa
periode krisis disebabkan oleh kecemasan dan keputusasaan," kita justru menyaksikan bahwa
krisis itu sebetulnya dibutuhkan untuk menyadarkan manusia dan dependensinya pada dogma-
dogma yang berasal dari luar dan maksa mereka untuk menyingkirkan lapisan kepura-puraan itu
dalam kesadarannya. Eksistensialisme adalah suatu sikap yang menerima manusia sebagai
sesuatu yang selalu menjadi yang berarti bahwa manusia selalu dalam keadaan tanpa harapan.
Sokrates, yang pendekatan dialektis atau dialogisnya menjadi prototype dari eksistensialisme,
adalah orang yang sangat optimis. Tetapi pendekatan ini justru sangat pas dan berguna pada
masa-masa transisi, yaitu ketika suatu periode waktu yang lama nyaris tenggelam. Namun,
periode yang baru belum juga lahir. Dalam keadaan demikian, individu berada dalam keadaan
cemas dan gelisah serta lupa akan kesadaran dirinya.
Para eksistensialis sering mengutip Pascal, yang dengan gemilang berhasil menggambarkan
pengalaman seorang individu yang tengah mengalami transisi dari abad Pertengahan keabad
Renaisance, dari zaman religius ke zaman duniawi. Pengalaman itu disebut oleh para
eksistensialis, "pengalaman Dasein"

Pada saat aku merenungkan masa yang singkat dari hidupku, yang ditelan oleh gelembung besar
keabadian, maka ruang sempit yang aku isi, atau apa pun yang kusaksikan, nyaris tenggelam
dalam ketidakberhinggaan ruang batas yang sama sekali tidak kukenal, dan yang sama sekali
tidak mengenaliku juga. Aku takut dan bertanya-tanya melihatku sendirian di sini. Temyata jauh
lebih mengerikan dan mengherankan melihatku di sini ketimbang melihatku di sana (dalam
keabadian). Tidak ada alasan sama sekali mengapa aku harus berada di sini dan bukan di sana.
Pesan yang disampaikan dari kutipan di atas adalah: (1) bahwa terdapat kontingensi dalam hidup
manusia yang oleh para eksistensialis disebut "keterampilan," (2) bahwa hidup manusia adalah
hidup yang sudah berada di sana." (3) bahwa meskipun Pascal pada dasarnya adalah seorang
ilmuan, tetapi ia menyadari bahwa penjelasan tentang ruang dan waktu secara ilmiah tidak
menolongnya untuk bisa memahami alam semesta yang penuh misteri ini, dan (4) bahwa
kecemasan yang mencekam muncul dari kesadaran akan eksistensi sendiri.
Perlu dicatat mengenai hubungan antara eksistensialisme dengan pemikiran Timur seperti filsafat
Laotzu dan Budisme Zen, Kesamaan-kesamaan diantara dua tradisi filsafat tersebut cukup
menarik Kita bisa melihat: kesamaan-kesamaan tersebut misalnya dan kutipan-kutipan dalam
The Way of Life dari Laotzu: "membuat definisi tentang eksistensi adalah di luat kekuatan
bahasa, istilah-istilah dalam bahasa barang kali dapat digunakan untuk menjelaskan eksistensi,
tetapi itu tidak mutlak. Eksistensi, sama sekali tidak diperanakan, melainkan memperanakan
segala-galanya, la adalah ibu alam semesta. Esksistensi adalah tidak berhingga, jadi tidak bisa
dibatasi, meski eksistensi itu tampak, tetapi tidak seperti sepotong kayu di tanganmu yang bisa
kamu pahat sesuka hatimu, ia tidak bisa dipermainkan ataupun disalahgunakan." "Jalan satu-
satunya untuk berbuat adalah mengada terlebih dahulu. "Ada baiknya kamu tinggal di pusat
keberadaanmu, karena semakin kamu menjauhinya semakin kurang yang bisa kamu pelajar."
Kemiripan antara filsafat Timur dan eksistensialisme, tentu saja, jauh lebih mendalam dan pada
kesamaan dalam bentuk kata-kata. Kedua filsafat tersebut sama-sama berkenaan dengan
ontology, dengan studi tentang ada Kedua-duanya mencari relasi dengan kenyataan dan caranya
adalah dengan memperpendek atau menghilangkan jurang pemisah antara subjek dan objek
Kedua-duanya menegaskan bahwa pergulatan Barat dalam menaklukkan kekuatan alam telah
menghasilkan bukan hanya keterasingan manusia dari alam, tetapi juga secara tidak langsung
keterasingan manusia dari diirinya sendiri.
Tentu saja kedua pendekatan tersebut (yakni, filsafat Timur dan eksistensialisme) tidak identik
sama sekali; kedua-duanya ada pada tarap yang berbeda. Eksistensialisme bukanlah filsafat atau
the way of life yang komprehensif, melainkan suatu cara dan upaya untuk menangkap kenyataan.
Perbedaan pokok di antara kedua pendekataan tersebut adalah bahwa eksistensialisme muncul
secara langsung dari kecemasan-kecemasan, keterasingan-keterasingan, dan konflik-konflik
manusia Barat dan asli berasal dari kebudayaan Barat. Seperti psikoanalisis, eksistensialisme
tidak mencari jawaban dari dan untuk kebudayaan lain, tetapi menggunakan konflik konflik
dalam kepribadian kontemporer sebagai jalan menuju pemecahan atas masalah-masalah yang
kita hadapi dalam hubungan dengan krisis-krisis historis dan budaya yang melahirkannya. Dalam
hal ini, nilai yang bisa diambil dan pemikiran Timur bukanlah bahwa ia "(pemikiran Timur)
dapat ditransfer ke dalam pemikiran Barat, melainkan bahwa ia bisa berfungsi sebagai koreksi
untuk bias-bias kita dan menyoroti asumsi-asumsi kita yang keliru, yang telah membawa
manusia dan kebudayaan Barat kepada pesoalan-persoalan seperti yang akan kita lihat dan
rasakan dewasa ini.
Kita sekarang akan melihat paralelisme antara persoalan manusia modem yang ditangani oleh
esksitensialisme di satu pihak dan oleh psikoanalisis di lain pihak. Dan perspektif dari taraf yang
berbeda, kedua jenis pendekatan tersebut berupaya keras menganalisis kecemasan, keputusasaan,
dan keterasingan manusia tidak baik dan dirinya sendiri maupun dari masyarakat. Freud
mendeskripsikan kepribadian neurotic abad kesembilan belas sebagai kepribadian manusia yang
menderita dari fragmentasi, yakni dari penindasan (represi) atas dorongan dorongan naluriah,
terhambatnya kesadaran, hilangnya otonomi, lemah dan pasifnya ego, dan berbagai symptom
neurotic lainnya yang disebabkan oleh fragmentasi itu. Kierkegaard, yang telah menulis sebuah
buku terkenal sebelum Freud, mengonsentrasikan diri bukan hanya pada masalah kecemasan,
tetapi secara khusus juga pada masalah depresi dan keputusasaan yang disebabkan oleh
keterasingan diri individu (yakni keterasingan yang diklasifikasikan olehnya dalam bentuk-
bentuk dan derajat-derajat kepelikan yang berbeda). Nietzsche, yang telah menulis buku sepuluh
tahuan sebelum buku, pertama Freud ditulis, secara tegas mengatakan bahwa penyakit manusia
modem tidak lain adalah bahwa rohnya telah berbau busuk," sehingga ia merasa mau muntah,"
dan bahwa apa pun yang ada di sana "bususk dan berbau kegagalan.... Penyamarataan dan
penyusutan manusia Eropa adalah bahaya paling besar yang kita hadapi saat ini. "ia kemudian
menggambarkan bagaimana menindas atau menghalangi kekuatan-kekuatan naluriah justru
membawa individu dalam amarah, benci terhadap diri sendin, permusuhan, dan agresi. Freud
memang tidak mengenal karya Kierkegaard, tetapi iya menilai Nietzsche sebagai salah seorang
manusia besar sepanjang waktu.
Bagaimana hubungan di antara ketiga tokoh raksasa abad kesembilan belas itu dan bagaimana
pula hubungan antara kedua pendekatan yang mereka gunakan-yakni eksistensialisme dan
psikoanalisis? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus menyelidiki terlebih dulu situasi
budaya Abad Pertengahan dan akhir abad kesembilas belas. Cara yang tepat untuk memahami
suatu pendekatan seperti eksistensialisme dan psikoanalisis tidak pernah dapat dilihat secara
abstrak (in abstracto), jauh dari realitasnya, melainkan hanya dalam konteks situasi historis yang
melahirkannya. Diskusi kita dalam bab ini akan mengarah ke sana, meski dibatasi pada
pertanyaan tentang bagaimana teknik khusus yang dikembangkan oleh Freud, untuk menyelidiki
fragmentasi individu pada periode Victorian, berhubungan dengan pemahaman tentang manusia
dan krisis-krisisnya yang disumbungkan oleh Kiergaard dan Nietzsche.
Keretakan dan Gangguan Batin pada Abad Kesembilan Belas

Karakteristik utama paruh pertama abad kesembilan belas adalah tercerai-berainya atau retaknya
(fragmentasi) kepribadian Fragmentasi ini, seperti yang akan kita lihat, tampak dari gejala-gejala
emosional psikologis, dan spiritual baik yang terjadi pada tingkat kebudyaan maupun pada
tingkat individu. Kita bisa melihat adanya keretakan pada kepribadian itu, bukan hanya dari
laporan-laporan atau teori-teoni psikologi dan ilmu-ilmu tentang manusia dari periode itu, tetapi
juga dari hampir setiap aspek kebudayaan abad kesembilan belas akhir. Kita sekarang masih
dapat menyaksikan retaknya kepribadian itu misalnya dengan membaca karya Ibsen dalam Doll's
House-nya Warga negara yang baik yang memerhatikan istri dan keluarganya dalam ruang yang
terpisah, serta menempatkan pekerjaan dan aktivitas-akitivitas lainnya juga secara terpisah, pada
dasarnya sedang membuat rumahnya sebagai rumah boneka dan dengan demikian
mempersiapkannya menuju kehancuran," demikian tus Ibsen. Kita pun dapat melihat keretakan
itu misalnya dalam pemisahan seni dari kenyataan hidup, penggunaan seni dalam bentuk-bentuk
yang dipercantik, yang romantic, dan yang akademik pada dasarnya merupakan usaha
terselubung untuk melepaskan diri dan eksistensi dan alam. (Bentuk kesenian yang demikian ini
adalah bentuk kesenian yang dikecam keras oleh Cezane, Van Gogh, para impresionis, dan
gerakan-gerakan seni modern). Kita pun dapat melihat adanya fragmentasi dalam pemisahan
agama dari hari kerja dan pemisahan moral atau etika dan pekerjaan. Segmentasi itu pun
sebetulnya berlangsung dalam filsafat dan psikolog-misalnya ketika Kierkegaard mengecam
tahta rasio yang kering dan abstrak dan menganjurkan kita untuk kembali kepada kenyataan, ia
sama sekali tidak mengada-ada, Manusia Victorian melihat dirinya terbagi ke dalam rasio,
kehendak, dan emosi dan dengan pembagian ini mereka merasa telah menemukan diri mereka
sebagai sebuah gambar manusia yang bak Rasionya dianggap mampu mengatakan apa yang
harus dilakukan, kehendak bebasnya dianggap mampu memberi alat atau kemampuan untuk
melaksanakan apa yang harus dilakukan itu, dan emosinya dianggap harus disalurkan dalam
dorongan-dorongan pekerjaan yang kompulsif dan terstruktur dalam adat istiadat. Emosi-emosi
yang bisa menumbangkan segmentasi formal, seperti seks dan permusuhan, harus dicegah atau
direpresi atau dibiarkan terekspresi "hanya dalam pesta pora hari Minggu, agar hari seninnya
bisa bekerja lebih aktif." Manusia Victorian sungguh-sungguh menekankan "rasiobalitas." Istilah
irrasional berarti sesuatu yang tidak perlu dipikirkan atau dibicarakan. Schachtel menunjukkan
bagaimana warga negara pada zaman Victorian perlu mempertahankan rasionalitasnya, dan
menolak fakta bahwa pernah menjadi seorang anak atau mempunyai irrasionalitas seorang anak
yang bisa lepas dari kendali. Keretakan antara orang dewasa dan anaklah yang kemudian
menjadi isyarat untuk penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Freud.
Retaknya kepribadian ini sejalan dengan industrialisme yang sedang bekembang, baik sebagai
sebab maupun sebagai akibat. Seorang manusia yang dapat menjaga atau mempertahankan
bagian-bagian yang berbeda dan kehidupannya secara terpisah, yang selalu mempunyai program
kerja yang sama pada setiap hari dan setiap saat yang tindakan-tindakannya selalu dapat
diramalkan, yang tidak pernah merasa terganggu atau tersentuh oleh dorongan-dorongan
irrasional atau visi-visi puitis, yang dapat memanipulasi sebuah mesin-tentunya saja orang
semacam ini merupakan pekerja yang sangat beruntung bukan hanya karena sudah terpola seperti
sebuah mesin, tetapi juga karena sudah mencapai taraf tinggi dari sebuah produk. Namun,
akibatnya adalah seperti yang dikatakan oleh Marx dan Nietzche, yakni keberhasilan sistem
industry dengan akumulasi uang yang bisa mengabsahkan suatu kebajikan dan harga diri pribadi,
dan yang sepenuhnya merupakan hasil tangan-tangan manusia, mempunyai akibat timbal balik
yang mendepersonalisasikan dan mendehumanisasikan manusia dalam hubungannya dengan
orang lain dan dengan dirinya sendiri." Terhadap kecenderungan-kecenderungan yang
mendehumanisasikan inilah, yakni kecenderungan yang menjadikan manusia sebagai mesin, dan
yang membuat manusia mempunyai citra. sebagai komponen dari sebuah sistem industri besar,
yang sesungguhnya dilawan oleh para eksistensialis. Dan mereka sadar bahwa sumber dari
segala ancaman yang sangat serius pada dasarnya berasal dari rasio yang dipadukan ke dalam
mekanika, yang pada akhimya memperlemah vitalitas dan kekuatan individu. Rasio,
dibayangkan oleh para eksistensialis, ditundukan pada sejenis teknik baru.
Para ilmuan dewasa ini sering tidak menyadari bahwa keretakan itu pun sebenarnya merupakan
karakterisktik dari ilmu yang kita warisi sekarang, Abad kesembilas belas adalah era "ilmu yang
otonom," meminjam peristilahan dari Cassirer. Setiap ilmu dikembangkan menurut arahnya
sendin; tidak ada prinsip yang menyatukan, khususnya dalam hubungannya dengan manusia.
Pandangan tentang manusia pada periode itu didukung oleh fakta fakta empiris yang yang
ditumpuk oleh ilmu-ilmu yang sedang berkembang, tetapi setiap teon menjadi tempat tidur
Procustean, yang diatasnya tersebar fakta-fakta empiris yang cocok dengan pola-pola yang telah
diasumsikan sebelumnya karena perkembangan ini maka teori-teori modem tentang manusia
kehilangan pusat intelektualnya. Kita sekarang menghadapi anarki berpikir.... Para teolog,
ilmuwan, sosiolog, biology, psikolog, etnolog, ekonomi semua mendekati persoalan dari titik
pandang mereka sendiri. Tidak heran kalau Max Scheler pun memprihatinkan keadaan itu ketika
ia menulis: "Tidak ada periode lain dalam pengetahuan manusiawi, di mana manusia menjadi
semakin problematis, seperti pada periode kita ini. Kita mempunyai antropologi ilmiah, filsafat,
dan teologis yang tidak saling kenal satu sama lain. Kita tidak lagi memiliki gambaran yang jelas
dan konsisten tentang manusia. Makin bertumbuh banyaknya ilmu-ilmu khusus yang terjun
mempelajari manusia tidak semakin menjernihkan konsepsi kita tentang manusia, sebaliknya,
malah semakin membingungkan dan mengaburkannya."
Di atas permukaan, periode Victorian tampaknya tenang, memuaskan, dan teratur. Namun,
ketenangan ini dibeli dengan harga yang sangat mahal, yakni dengan penindasan yang
menyeluruh, mendalam, dan lambat laun menjadi rapuh. Seperti pada kasus neurotic individual,
keretakan ini semakin lama semakin kaku, sampal akhimya mencapi satu titik, yakni tanggal 1
Agustus 1914 (Perang Dunia 1), ketika ia hancur sama sekali.
Demikian bahwa keretakan budaya mempunyai kesamaan psikologisnya dengan penindasan
(represi) radikal dalam kepribadian individu. Freud pada waktu itu sedang mengembangkan
teknik-teknik ilmiah untuk memahami, dan juga merawat kepribadian-kepribadian retak yang
dialami oleh banyak individu. Namun, ia tidak menyadari bahwa penyakit neurotic tersebut pada
dasarnya hanyalah salah satu sisi dari kekuatan-kekuatan penghancur yang memengaruhi
segenap masyarakat. Justru Kierkegaard yang sebelum Freud, telah menyadan adanya kehidupan
emosional dan spiritual yang mampu menghancurkan tatanan masyarakat (dan kepribadian).
Kehidupan emosional dan spiritual itu adalah kecemasan, kesendirian, keterasingan seorang
manusia dari manusia lain yang bersifat endemis, dan akhirnya kondisi yang akan membawa
manusia kearah keputusan yang mencekam, kearah alienasi manusia dari dirinya sendiri.
Nietzsche pun melihat kenyataan yang sama ketika ia menulis "Kita hidup dalam suatu periode
atom-atom, khaos atomis" dan berdasarkan pada khaos itu ia meramalkan (mungkin menunjuk
pada abad kedua puluh) bakal adanya "hantu yang menyeramkan... dan perburuan menuju
kebahagian tidak akan pemah lebih besar daripada ketika perburuan antara hari ini dan besok;
sebab lusa semua kebahagiaan mungkin sudah bakal berakhir.... Freud melihat fragmentasi
kepribadian itu dalam terang ilmu alam dan bekenaan dengan perumusan aspek-aspek teknisnya.
Kierkegaard dan Nietzsche tidak mengabaikan pentingnya analisis psikologis khusus, tetapi
mereka lebih tertarik untuk memahami manusia sebagai "ada" yang merepresi, "ada" yang
menaklukan kesadaran-diri sebagai perlindungan dalam melawan kenyataan dan kemudian
menderita konsekuensi konsekuensi neurotik. Pertanyaan yang sangat menank adalah: apakah
hal itu berarti bahwa manusia, ada-dalam dunia yang mampu menyadan bahwa ia ada dan
mampu mengetahui keberadaannya, harus memilih atau dipaksa memilih untuk menutupi
kesadaran ini dan harus menderita kecemasan, dorongan untuk menghancurkan diri sendiri, dan
keputusasaan?Kiekegaard dan Nietzsche sangat sadar bahwa "penyakit jiwa" yang dialami oleh
manusia Barat pada dasamya adalah penyakit yang lebih dalam dan lebih ekstensif daripada yang
dapat dijelaskan oleh persoalan persoalan sosial dan individual yang spesifik. Ada yang salah
dalam hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri manusia telah menjadi problematik bagi
dirinya sendiri. "Ini merupakan situasi yang teramat sulit untuk Eropa demikian tulis Nietzche,
bersama dengan ketakutan pada manusia, kita telah kehilangan cinta dan kepercayaan pada
manusia, bahkan kehilangan kehendak untuk menjadi manusia.

Anda mungkin juga menyukai