Anda di halaman 1dari 2

Mata uang elektronik (e-money) dan mata uang kripto (cryptocurrency) adalah dua hal yang

makin marak digunakan belakangan ini. Perkembangan dunia di sekitar kita yang makin go-
digital mendorong kehadiran kedua hal yang beberapa dekade sebelumnya tidak ada ini. Kamu
termasuk pengguna e-money dan cryptocurrency?

Untuk menyikapi kehadiran dua ‘uang baru’ ini, ada baiknya kita juga melihat melalui perspektif
syariah. Tentu perdebatan sering terjadi jika membahas masalah ini. Namun pada akhirnya,
Islam selalu punya jawaban, bukan?

E-Money menurut fatwa DSN MUI dan perspektif keuangan syariah

Menurut fatwa DSN MUI, uang elektronik adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur
berikut:

1. diterbitkan atas dasar jumlah nominal uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;
2. jumlah nominal uang disimpan secara elektronik dalam suatu media yang teregistrasi;
3. jumlah nominal uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan; dan
4. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagan yang bukan merupakan penerbit
uang elektronik tersebut.

Uang elektronik pada dasarnya sama seperti uang biasa, memiliki fungsi dan nilai yang sama,
namun dalam bentuk yang berbeda. E-money ini bergantung pada substansi dan barang yang
ditransaksikan. Jadi bisa disimpulkan, bermuamalah dengan uang elektronik adalah mubah, sah,
dan halal, selama memenuhi prinsip-prinsip syariah muamalah.

Sekilas Tentang Cryptocurrency

Mata uang kripto adalah mata uang digital yang tidak tersentralisasi oleh bank, dan dibuat
menggunakan teknologi enkripsi komputer yang terekam dalam platform Blockchain. Transaksi
mata uang kripto dilakukan tanpa perantara, artinya pembayaran digital langsung dari pengirim
ke penerima.

Salah satu uang kripto yang paling dikenal adalah Bitcoin yang juga dikenal sebagai
cryptocurrency pertama. Bitcoin ini dibuat oleh seorang pemrogram dengan pseudonim Satoshi
Nakamoto. Seiring berjalannya waktu, banyak bermunculan mata uang kripto yang baru. Berapa
banyak? Ratusan!

Fenomena dan Pro-Kontra Cryptocurrency di Indonesia

• Di awal 2021, Bitcoin jadi salah satu di antara banyak aset kripto yang nilainya naik
berkali-kali lipat. Kenaikan yang begitu cepat ternyata juga diikuti penurunan tajam yang
terjadi bulan Mei kemarin. Fluktuasi yang tidak stabil ini membuat perdebatan tentang
aset kripto jadi kian panas.
• Di Indonesia sendiri, perdagangan mata uang kripto dilegalkan dalam Peraturan Bappebti
Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto
di Bursa Berjangka. Meski begitu, regulasi yang masih baru ini tetap bisa menimbulkan
risiko bagi nasabah mata uang kripto.
• Cryptocurrency sebagai alat pembayaran masih jadi perdebatan di Indonesia dan negara-
negara lain. Salah satunya adalah belum terpenuhinya unsur dan kriteria Bitcoin dan mata
uang digital lainnya sebagai mata uang yang berlaku. Bahkan Bank Indonesia melarang
penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran dan hanya mengakui Rupiah.

Cryptocurrency menurut DSN-MUI

DSN-MUI belum/tidak merilis fatwa terkait hukum fikih transaksi dengan Bitcoin. Namun bisa
ditinjau dengan melihat syarat-syarat suatu benda dapat dikatakan sebagai uang menurut Al-
Ghazali:

1. uang tersebut dicetak dan diedarkan pemerintah,


2. pemerintah menyatakan bahwa uang tersebut merupakan alat pembayaran yang resmi di
suatu wilayah, dan
3. pemerintah memiliki cadangan emas dan perak sebagai tolak ukur dari uang yang
beredar.

Persoalan mata uang kripto ini juga mulai sering dibahas oleh ulama-ulama islam karena tentu,
perspektif islam sangat dibutuhkan melihat fenomena yang terjadi sekarang.

Menyikapi E-Money dan Cryptocurrency

• DSN-MUI telah merilis fatwa mengenai mengenai penggunaan uang elektronik. Namun,
tetap perlu berhati-hati dalam menggunakannya dengan mengikuti batasan syariah dalam
bermuamalah dan memperhatikan akad transaksi yang terjadi.
• Masih minimnya regulasi cryptocurrency berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.
Untuk menghindari mudarat, ada baiknya menunggu regulasi resmi, terutama fatwa
ulama terkait kegiatan muamalah tersebut.
• Perlu diperhatikan, bahwa pada dasarnya dalam segala kondisi, perlunya menerapkan
kaidah “Menolak kerusakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan”.

Anda mungkin juga menyukai