Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

PEMAKNAAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADITS JAMINAN


KEAMANAN BAGI AHL AL-DZIMMAH

A. Analisis Bahasa
Ahl al-Dzimmah atau biasa disebut dengan kafir dzimmi yang terdapat dalam hadits
tentang jaminan keamanan, terdeteksi adanya sedikit perbedaan dalam penggunaan kata
(lafadnya). Namun perbedaan tersebut tidak sampai membelokkan substansi maknanya
hingga menjadi rusaknya pemahaman akan hadits tersebut.
Pada matan hadits al-Bukhari dan lainya seperti Abu Daud dan al-Darimiy,
menggunakan redaksi dengan teks hadits al-mu’ahad, dan dalam riwayat jalur lain
seperti al-Nasa’i dan Ahmad, memakai al-dhimmah, begitu juga dengan riwayat Ahmad
disatu sisi memakai teks riwayat al-dhimmah, sedangkan disisi yang lain memakai al-
mu'ahad dan al-mu'ahadah. Adapun redaksi matan yang digunakan oleh al-Bukhari  
Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Darimiy, hanya bentuk teks al-mu'ahad.
Dalam Syarah Shahih al-Bukhari, keterangan mengenai dua lafad hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhariy dan al-Nasa’i antara al-mu’ahad dan al-dzimmah memiliki
makna dan maksud yang sama.

‫اه ِد َو ُت ْر َج ُم يِف ْ اجلِْزيَ ِة بِلَ ْف ِظ َم ْن َقتَ َل‬ ِ ِ


َ ‫َق ْولُ هُ َم ْن َقتَ َل َن ْف ًس ا ُم َعاه ًدا َك َذا ُت ْر َج ُم بِال ِّذمي َو ََأر َد اخلََب َر يِف ْ الْ ُم َع‬
‫اهُر اخلَرَبِ َوالْ ُم َراُد بِ ِه َم ْن لَ هُ َع ْه ٌد َم َع الْ ُم ْس لِ ِمنْي َ َس َواءٌ َك ا َن بِ َع ْق ِد ِجْزيَ ِة َْأو ُه ْدنَ ِة ِم ْن‬ ِ َ‫اه ًدا َكم ا ه و ظ‬
َُ َ
ِ ‫مع‬
َُ
ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ
َ ِ‫َأش َار ب‬
‫التْرمَجَة ُهنَ ا ِإىَل ِر َوايَة َم ْر َوا َن بْ ِن ُم َعا ِويَةَ الْ َم ْذ ُك ْو َر ِة فَا َّن لَ ْفظُهُ َم ْن‬ َ ُ‫ُس ْلطَان َْأو ََأم ان م ْن ُم ْس ل ٍم َو َكَأنَّه‬
‫اهلل َو ِذ َّمةُ ِر ُس ْولِِه‬
ِ ُ‫اه ًدا لَه ِذ َّمة‬
ُ
ِ ‫ث َأيِب هري ر َة من َقت ل َن ْفس ا مع‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َقتَ ل قَتِيالً ِمن َأه ِل ِّ ِ ِ رِت‬
َ ُ ً َ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ ْ‫الذ َم ة َولل ْم ذي م ْن ح دي‬ ْ ْ ْ َ
.‫احلديث‬
Pada keterangan di atas bahwasanya maksud dari hadits yang redaksinya memakai
al-mu’ahad masih satu pemahaman dengan hadits yang diriwayatkan oleh Marwan bin
Mu’awiyah yang menggunakan redaksi ahl al-dhimmah, atau hadits riwayat al-Tirmidzi
dari haditsnya Abi Hurairah yang menggunakan redaksi nafsan mu’ahidani.
Kesimpulan dari dua bentuk redaksi tersebut memiliki hubungan yang erat, yang
mana substansi tujuan maknanya sama, yaitu perlindungan dari sebuah perjanjian. Istilah
al-dzimmah merupakan bentuk perjanjian tertulis, konstitusional, dan bersifat permanen
antara pemerintah muslim dengan kelompok non muslim. Yang mana non-muslim
(kafir) mendapatkan perlindungan dan hidup damai dari pemerintah muslim, dengan
syarat membayar pajak perlindungan, yang dikenal dengan jizyah.1
Sedangkan istilah al-mu'ahad berarti treaty atau pact (perjajnjian). Dalam sejarah
perkembangan hubungan antara kelompok minoritas dan pemerintah Islam, mu'ahadah
berarti persetujuan genjatan senjata, damai atau persekutuan. Adapun mu'ahid adalah
orang tua atau kelompok yang terikat dalam suatu kesepakatan dengan kelompok Islam
dan berjanji untuk tidak saling melakukan kecurangan. Kesepakatan ini juga dikenal
dengan al-mu'ahadah.2
Pemaknaan hadits tentang jamninan keamanan bagi kafir dhimmi, sebagaimana
diungkapkan:
ِ ‫اه ُد عن عب ِد‬
‫اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو‬ ِ ِ ِ ‫ص ح َد َثنا عب ُد‬
ْ َ ْ َ َ‫الواح د َح َد َثنَا احلَ َس ُن بْ ُن َع ْم ٍرو َح َد َثنَا جُم‬ َ َْ َ َ ٍ ‫س بْ ُن َح ْف‬ ُ ‫َح َد َثنَا َقْي‬
‫ِح َراِئ َح ةَ اجلَن َِّة َوِإ َّن ِرحْيَ َه ا ُت ْو َج ُد‬ ِ
َ ِّ ‫اع ْن النَّيِب‬
ْ ‫ص لَى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَ َم قَ َال َم ْن َقتَ َل ُم َع ْاه ًدا مَلْ يَر‬ َ ‫َرض َي اهللُ َعْن ُه َم‬
ِ
)‫ِم ْن َم ِسْيَر ِة َْأربَعِنْي َ َع ًاما (رواه البخاري‬
(Bukhari berkata)menceritakan kepada kami Qays bin Hafsh (Qays bin Hafsh)
menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Amr (Hasan bin ‘Amr) menceritakan kepada
kami Mujahid (Mujahid) dari Abdullah bin ‘Amr r.a dari Nabi Saw bersabda : barang
siapa membunuh kafir mu’ahad maka dia tidak akan mencium aroma surga, dan
sesungguhnya aroma surga dapat tercium dari jarak tempuh empat puluh tahun. (H.R.
al-Bukhari).3

‫َأخَبَرنَا َعْب ُد الرَّمْح َ ِن بْ ِن ِإْبَر ِاهْي َم ُد َحْي ِم قَ َال َح َد َثنَا َم ْر َوا ُن َو ُه َو بْ ُن ُم َعا ِويَةَ قَ َال َح َد َثنَا احلَ َس ُن َو ُه َو بْ ُن َع ْم ٍرو‬
ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ َم ْن َقتَ َل‬: ‫صلَى اهللُ َعلَْيه َو َسلَ َم‬ َ ‫َع ْن جُمَاهد ع ْن ُجنَ َاد َة بْ ِن َأيِب ْ َُأميَةَ َع ْن َعْب ُد اهلل بْ ِن ع ْم ٍرو قَ َال قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل‬
)‫الذ َم ِة مَلْ جَيِ ْد ِريْ َح اجلَن َِّة َوِإ َّن ِرحْيَ َها لَُي ْو َج ُد ِم ْن َم ِسْيَر ِة َْأربَعِنْي َ َع ًاما (رواه النسائي‬ ِّ ‫قَتِْيالً ِم ْن َْأه ِل‬
(Al-Nasa’i berkata) mengkhabarkan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim bin Duhaim
(Abdurrahman bin Ibrahim berkata) menceritakan kepada kami Marwan yaitu bin
Mu’awiyah (Marwan berkata) menceritakan kepada kami Hasan yaitu bin ‘Amr (Hasan)
dari Mujahid (Mujahid) dari Juanadah bin Abi Umayah (Junadah) dari Abdillah bin
‘Amr (Abdillah bin ‘Amr) berkata: Rasulullah SAW bersabda : barang siapa membunuh
ahli dhimmah, maka ia tidak akan bisa menghirup bau surga, dan sesungguhnya bau
surga itu bisa dihirup dari jarak tempuh perjalanan empat puluh tahun. (HR. al-Nasa’i)4

1
Murni Djamal, Op. cit., hal.13. 
2
Ibid., hal.17. 
3
Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il, Op. cit., juz X hal.423.
4
Abu Abdir Rahman bin Syu’aib al-Nasa’i, Op. Cit., juz IV hal.221.
Menilik dari beberapa redaksi hadits yang ada, pemakaian lafad mu’ahad
sebagaimana riwayat Bukhari dan lainnya mencakup terhadap lafad ahlu al-dzimmah.
Hadits yang diriwayat oleh al-Nasa’i, jika menengok beberapa syarh hadits seperti Syarh
Shahih Bukhari dan lainnya dapat diartikan sebagai berikut:
1) Mu’ahad adalah suatu perjanjian yang mencakup akad dzimmah dan al-aman.
2) Mu’ahad dan aqdu al-dzimmah terikat dengan suatu jizyah (upeti).
3) Membunuh kafir mu’ahad baik orang kafir dengan aqdu al-dzimmah atau al-
aman akan dikenakan sanksi.
4) Pembunuhan yang dimaksud disini ialah; yang mencakup penindasan fisik atau
penghilangan nyawa dengan tanpa hak.
5) Tidak dapat mencium bau surga adalah sanksi di akhirat, sedangkan di dunia
pembunuh ahlu al-dzimmah atau kafir yang mengadakan aqdu al-aman dikenakan
suatu qishash ataupun dziyat.
6) Maksud dari empat puluh tahun atau tujuh puluh tahun ialah; selama itulah orang
Islam yang membunuh kafir dzimmi atau mu'ahad dengan tanpa hak dan suatu
sebab yang jelas, akan disiksa di akhirat. Abdullah bin ‘Amr berpendapat, bahwa
siksaan bagi orang muslim tersebut tidak dikekalkan dalam neraka, sebab mereka
orang-orang Islam telah dijamin masuk Surga, walaupun sebelumnya terlebih
dahulu disiksa dalam Neraka akibat perbuatannya.5

B. Analisis Pandangan Ulama Hadits


Tulisan ini mengangkat tentang jaminan keamanan bagi ahlu al-dzimmah dengan
objek penelitian suatu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukahri dan al-Nasa’i:

َ‫ِح َراِئ َح ة‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َع ْن َعْب د اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو َرض َي اهللُ َعْن ُه َم‬
َ ِّ ‫اع ْن النَّيِب‬
ْ ‫ص لَى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَ َم قَ َال َم ْن َقتَ َل ُم َع ْاه ًدا مَلْ يَر‬
)‫اجلَن َِّة َوِإ َّن ِرحْيَ َها ُت ْو َج ُد ِم ْن َم ِسْيَر ِة َْأربَعِنْي َ َع ًاما (رواه البخاري‬
dari Abdullah bin ‘Amr r.a dari Nabi Saw bersabda : barang siapa membunuh kafir
mu’ahad maka dia tidak akan mencium aroma surga, dan sesungguhnya aroma surga
dapat tercium dari jarak tempuh empat puluh tahun. (H.R. al-Bukhari).6

5
Muhammad Abdul Rauf al-Manawi, Faidlul al-Qadir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), juz VI
hal.251.
6
Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il, Op. cit., juz X hal.423.
‫الذ َم ِة مَلْ جَيِ ْد ِريْ َح‬
ِّ ‫ َم ْن َقتَ ل قَتِْيالً ِم ْن َْأه ِل‬: ‫ص لَى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَم‬
َ َ
ِ ِ ِ
َ ‫َع ْن َعْب ُد اهلل بْ ِن ع ْم ٍرو قَ َال قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل‬
)‫اجلَن َِّة َوِإ َّن ِرحْيَ َها لَُي ْو َج ُد ِم ْن َم ِسْيَر ِة َْأربَعِنْي َ َع ًاما (رواه النسائي‬
dari Abdillah bin ‘Amr (Abdillah bin ‘Amr) berkata: Rasulullah SAW bersabda : barang
siapa membunuh ahli dhimmah, maka ia tidak akan bisa menghirup bau surga, dan
sesungguhnya bau surga itu bisa dihirup dari jarak tempuh perjalanan empat puluh
tahun. (HR. al-Nasa’i)7

Dua hadits yang diriwayatkan dari al-Bukhari dan al-Nasa’i, secara jelas
memberikan ancaman bagi mereka yang menggangu ketentraman orang kafir yang telah
mengadakan perjanjian kebebasan hidup bersama (ahlu al-dzimmah) dan orang kafir
yang mengadakan perjanjian genjatan senjata, damai atau sejenisnya (kafir mu’ahid).
Pada dasarnya pemungutan jizyah yang dibebankan kepada orang kafir yang telah
mengadakan perjanjian, sebagai pengganti zakat dan juga bukti tunduknya mereka
kepada kepada kaum muslimin, sebagaiman telah disinggung oleh Allah SWT pada
Qur’an surat al-Taubah (9) ayat 29:

‫ين احْلَ ِّق ِم َن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ


َ ‫ين الَ يُْؤ منُو َن باللّه َوالَ ب الَْي ْوم اآلخ ِر َوالَ حُيَِّر ُم و َن َم ا َح َّر َم اللّهُ َو َر ُس ولُهُ َوالَ يَدينُو َن د‬
َ ‫قَاتلُواْ الذ‬
﴾٢٩ : ‫اغُرو َن ﴿التوبة‬ ِ ‫الَّ ِذين ُأوتُواْ الْ ِكتَاب حىَّت يعطُواْ اجْلِزيةَ عن ي ٍد وهم ص‬
َ ْ ُ َ َ َ َْ ُْ َ َ َ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-
orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.8

Maksud dari ayat di atas adalah perintah untuk memerangi mereka yang masih
tidak mau beriman kepada Allah dan hari akhir sedangkan mereka telah menerima wahyu
akan hal itu. Peperangan itu akan dihentikan ketika mereka mau memberikan jizyah
(upeti) kepada kaum muslimin. Jizyah yang diberikan adalah sebagai bentuk rasa tunduk
mereka kepada kaum muslimin, dan mereka diberikan jaminan keamanan sebagai
imbalan karena mereka telah mematuhi hukum Islam.9
Selain mereka yang telah mengadakan diplomasi dengan kaum muslimin, Allah
SWT juga melarang membunuh orang kafir yang yang telah mengadakan perjanjian

7
Abu Abdir Rahman bin Syu’aib al-Nasa’i, Op.cit., juz IV hal.221.
8
QS. Al-Taubah (9):29.
9
Jalaludin al-Suyuthi, Tafsir Jalalain, (Beirut: Dar al-Kutub, 2005), hal.136.
untuk tidak berperang selama sekian waktu (kafir mu’ahad), dan juga mereka yang
meminta jaminan keamanan di waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian
itu. Jaminan keamanan akan diberikan kepada mereka yang telah mengadakan perjanjian
tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah SWT.

ِ ِ ِ
َ ‫اس تَ َج َار َك فَ َأج ْرهُ َحىَّت يَ ْس َم َع َكالَ َم اللّ ِه مُثَّ َأبْل ْغ هُ َمْأ َمنَ هُ ذَل‬
‫ك بَِأن َُّه ْم َق ْو ٌم الَّ َي ْعلَ ُم و َن‬ ِ
َ ‫َأح ٌد ِّم َن الْ ُم ْش ِرك‬
ْ ‫ني‬ َ ‫ْن‬
‫ِإ‬
﴾٦ : ‫﴿التوبة‬

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia
ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui.10

‫َأح داً فَ َأمِت ُّواْ ِإلَْي ِه ْم َع ْه َد ُه ْم ِإىَل‬ ِ


َ ‫ص و ُك ْم َش ْيئاً َومَلْ يُظَ اهُرواْ َعلَْي ُك ْم‬
ِ
َ ‫اه دمُّت ِّم َن الْ ُم ْش ِرك‬
ُ ‫ني مُثَّ مَلْ يَن ُق‬
ِ َّ ‫ِإ‬
َ ‫الَّ الذ‬
َ ‫ين َع‬
﴾٤ : ‫ني ﴿التوبة‬ ِ ُّ ِ‫م َّدهِتِم ِإ َّن اللّه حُي‬
َ ‫ب الْ ُمتَّق‬ َ ْ ُ
Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan
mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian) mu dan tidak
(pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaqwa.11

Dua ayat di atas menegaskan bahwa mereka (orang kafir) yang meminta
perlindungan atau mengadakan perjanjian tidak melakukan aktifitas peperangan, maka
mereka berhak atas jaminan keamanan. Selama perjanjian itu terus terjaga sampai batas
waktu yang telah disepakati, selama itu pula mereka mendapatkan jaminan keamanan
oleh kaum muslim.
Selain mereka mau menepati perjanjian yang telah disepakati, mereka juga tidak
melakukan tindakan-tindakan yang berbau penghinaan dan propaganda terhadadap Islam.
Jika itu terjadi maka perjanjian itu dinyatakan batal, dan mereka tidak lagi mendapatkan
hak mereka berupa jaminan keamanan. Sebagaimana firman Allah SWT.

10
QS. Al-Taubah (9):6.
11
QS. Al-Taubah (9):4.
‫َوِإن نَّ َكثُ واْ َأمْيَا َن ُهم ِّمن َب ْع ِد َع ْه ِد ِه ْم َوطَ َعنُ واْ يِف ِدينِ ُك ْم َف َق اتِلُواْ َأِئ َّمةَ الْ ُك ْف ِر ِإن َُّه ْم الَ َأمْيَا َن هَلُ ْم لَ َعلَّ ُه ْم يَ َنت ُه و َن‬
﴾١٢ :‫﴿التوبة‬

Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca
agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya,
agar supaya mereka berhenti.12

Dari keterangan di atas sudah cukup jelas, bahwa Islam tidak semerta-merta
melegalkan pembunuhan dengan dalih mereka adalah musuh kita dalam peperangan,
perlu dipahami, bahwa perintah memerangi orang yang tidak mau beriman kepada Allah
memlalui tahapan-tahapan.
1) Memberikan mereka pengetahuan tentang Islam.
2) Mengajaknya untuk beriman kepada Allah.
3) Memeranginya jika mereka telah menampakkan kebencian atas apa yang kita
kebenaran yang kita sampaikan.
Inilah Islam, agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan hak-hak manusia
selama mereka mau mengikuti ketentuan-ketentuan yang Allah SWT dan Rasul-Nya,
selama itu pula Islam akan membela hak-hak yang semestinya mereka peroleh.

Ibnu al-Atsir13 berpendapat kata mu’ahad dalam hadits itu mencakup segala hal
yang berkaitan dengan orang kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan kaum
muslimin baik secara kolektif ataupun personal. Larangan yang tekandung pada hadits
tersebut suatu ketegasan untuk tidak melakukan penindasan kepada mereka (non-
muslim) yang telah mengadakan akad damai, yang mana pembunuhan kepada kafir
mu’ahad dikategorikan sebagai dosa besar.
Muhammad Abdul Hadi 14
dalam Hasiyah al-Sindi-nya menjelaskan bahwa;
ancaman dalam hadits tersebut adalah bentuk majaz, bahwa orang Islam yang membunuh
orang kafir yang telah mengadakan akad damai tidak akan masuk surga.

12
QS. Al-Taubah (9):12.
13
Muhammad Abdul Rauf al-Manawi, Op.cit., juz VI hal.251.
14
Muhammad bin Abdul Hadi al-Sindi, hasiyah al-Sindi ala sunan Ibnu Majjah, (Mauki’ al-Islam), juz V
hal.332.
Bilangan waktu yang tertera yaitu disebutkan 40 tahun, 70 tahun dan bahkan 500
tahun pada teks hadits lebih kepada faidah mubalagah (memberikan efek rasa takut yang
berlebih) sebagaimana pendapat Zainudin Abdul Rauf al-Manawi.15
Ibnu Abddil Barr 16(W.463 H) dalam al-Istidzkarnya berpendapat “Dan saya tidak
mengetahui ada silang pendapat di kalangan para ulama bahwa siapa yang memberi
jaminan keamanan kepada seorang kafir harbi dengan bentuk pernyataan yang dipahami
bahwa ia memberi keamanan, maka telah (terjalin) sempurna jaminan keamanan
untuknya. Dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa walaupun sekedar isyarat,
namun dipahami, maka hal itu terhitung jaminan keamanan sebagaimana halnya
pernyataan.”
Berkata Ibnul Qayyim17 rahimahullah, “Adapun (kafir) musta`man, ia adalah
orang yang masuk ke negara kaum muslimin bukan untuk menetap padanya. Mereka ini
empat macam; (1) para utusan, (2) para pedagang, (3) orang-orang yang meminta
perlindungan untuk dihadapkan kepadanya keislaman dan Al-Qur`an, kalau mereka ingin
masuk ke dalam (Islam), dan kalau mereka ingin, mereka ke negeri mereka, (4) serta
orang-orang yang punya hajat berupa kunjungan dan selainnya. Hukum terhadap mereka
adalah tidak boleh diboikot, tidak boleh dibunuh, tidak boleh dipungut jizyah darinya,
dan terhadap orang-orang yang meminta perlindungan agar diperlihatkan kepada mereka
keislaman dan Al-Qur`an, kalau mereka masuk (Islam), maka itu (yang diinginkan),
kalau mereka ingin kembali kepada keamanannya (negaranya), mereka dibiarkan
kembali.

C. Analisis Kekinian
Aksi terorisme yang mengatasnamakan jihad dan diidentikan kepada Islam
menjadi hiasan layar kaca setiap hari. Hal demikian tidak benar adanya, karena Islam
dengan tegas melarang tindak kekerasan baik kepada pemeluknya (muslim) maupun non-
muslim. Kesadaran akan hidup bersama, damai dan sejahtera tidak lagi menjadi tujuan
hidup, dan telah digantikan oleh paham kapitalisme yang menjadikan seseorang bak singa
yang kelaparan masuk dalam perkampungan.
15
Zainudin Abdul Rauf al-Manawi, Al-Taisir Bijam’i Al-Jami’ Al-Shagir, (Riyad: Dar al-Nasyr, 1998), hal. II
hal.841.
16
Ibnu Abddil Barr, Al-Istidzkar, (Beirut: Dar al-Kutub, t.t), juz V hal.36.
17
Ibnu Qayyim, Op. cit., juz II hal.475.
Indonesia suatu negara yang mencakup beberapa pulau yang sarat dengan etnis
yang beragam. Perbedaan yang sering terjadi bahkan menyulut api permusuhan,
seharusnya mampu diredam dengan falsafah negara ini yaitu pancasila, dimana telah
disebutkan pada sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab) dan ke-5 (keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia) dari kedua sila tersebut nampak bahwa negara telah melindungi
seluruh warganya tanpa menegdepankan suku, budaya ataupun agama.
Pemahaman fiqih sebelum masa modern melihat bahwa dunia ini terdiri dari dua
wilayah hukum atau yuridiksi, 18
yaitu dar al-Islam dan dar al-Harb.19 Dar al-Islam
adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan muslim dan dar al-Harb adalah wilayah
dimana tidak ada kekuasaan Islam. Pada era kontemporer ini, konsep wilayah hukum
yang berlaku adalah nation state, konsep kekuasaan dar al-Islam dan dar al-Harb sudah
tidak berlaku lagi, tetapi kaum muslimin berada di bawah suatu tatanan keamanan
bersama-sama dengan pemimpin politik baik dari muslim maupun non-muslim, dengan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama-sama berdasarkan undang-undang
yang dianut, demikian menurut Ebrahim Moosa.20
Dengan adanya sistem nation state, sudah tidak ada lagi pembedaan antara warga
negara yang seagama, sesuku, satu ras, maupun satu etnis. Tidak ada lagi pembedaan
antara kelompok minoritas non-muslim dengan kelompok mayoritas muslim ataupun
sebaliknya. Semuanya tunduk dan patuh terhadap hukum atau peraturan yang dibuat
berdasarkan kesepakatan bersama. Semua warga menjunjung tinggi keamanan nasional,
kesejahteraan sosial, dan kerukunan hidup. Pandangan hidup seperti ini sebenarnya jauh-
jauh hari telah digagas oleh Rasul SAW. Sejarah mencatat bahwa dia telah melakukan
perjanjian dengan penduduk Madinah yang mencakup beberapa ketentuan ras dan agama
untuk hidup saling berdampingan demi tercapainya masyarakat yang ideal, perjanjian
tersebut yang kemudian dikenal dengan piagam Madinah.

18
Yurisdiksi adalah Pengadilan; daerah hukum; wilayah hukum. Lihat Kamus Ilmiah Populer, Pius A. Partanto
dan M. Dahlan Al-Barry, (Surabaya: Arkola, 1994), hal.788.
19
Sebenarnya, istilah dar al-Islam dan dar al-Harbi tidak digunakan dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi.
Istilah dar al-Harbi memang digunakan dalam kitab Shahîh al-Bukhârî, tetapi hal itu hanya digunakan sebagai judul
dalam salah satu pasalnya, yaitu “Ketika Seseorang Memeluk Islam di dâr al-Harb ”, dan sama sekali tidak terdapat
dalam hadits yang ada di pasal tersebut. Lihat Akhmad Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalan Hukum Islam:
Ijtihad Baru tentang Posisi Minoritas Non-Muslim,” dalam Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi,
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hal.354.
20
Ebrahim Moosa, Islam Progresif: Refleksi Dilematis tentang HAM, Modernitas dan Hak-Hak Perempuan di
Dalam Hukum Islam, (Jakarta: ICIP, 2004), hal.41.
Namun demikian, meski telah dibentuk sebuah negara dengan sistem nation state,
ternyata nuansa pembedaan antara kelompok muslim dan non-muslim masih menjadi
momok yang menodai kesepakatan tertulis untuk mendirikan sebuah negara atau bangsa
yang menganut nilai-nilai persamaan (egalitarianisme).
Pemahaman parsial yang dianut oleh sekelompok muslim eksklusif terhadap
maksud kafir harbi dan kafir dzimmi membuat mereka berasumsi bahwa non-muslim
adalah musuh dan harus diperangi. Menurut Abu A’la al-Maududi, sebagaimana dikutip
Nurcholis Madjid, ahlu al-dzimmah tidak boleh menjadi pemimpin eksekutif dan
legislative, Karena dalam Negara Islam, pemberlakuan hukum Islam adalah mutlak. Dan
ahlu al-dzimmah sebagai komunitas yang sama sekali tidak mengetahui syari’at Islam,
sudah barang tentu tidak akan mampu menduduki posisi tersebut.21
Pandangan klasik terhadap kafir harbi dan kafir dzimmi menjadikan kafir dzimmi
sebagai kelompok nomor dua setelah muslim. Mereka tidak bisa menduduki posisi
strategis dalam pemerintahan, mereka tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota
Majelis Permusyawaratan, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah. Dalam kitab-
kitab fiqh klasik, kafir dzimmi merupakan kelompok yang dituntut dengan sejumlah
kewajiban, tapi tidak mendapatkan hak yang sejajar dan setara sebagaimana komunitas
muslim.22
Indonesia sendiri telah mengatur tentang kebebasan beragama sebagaimana
disebutkan pada undang-undang dasar ‘45 yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat meneurut
agamanya. Memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, meilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak kembali.23
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa; setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu pada pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga
mengakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal

21
Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta:
Paramadina, 2004), hal.189.
22
Ibid.
23
Undang-Undang Republk Indonesia tentang kebebasan beragama, Jakarta: Armas duta jaya 2010.
29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agama.
Akan tetapi hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan, dalam Pasal 28J ayat
(1) UUD 1945 selanjutnya mengatur; bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada
pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam
pelaksanaannya tetap patuh pada pembatsan-pembatasan yang diatur dalam undang-
undang.
Pada dasarnya, sebagai agama rahmatan li al-alamin, Islam tidak pernah
mengajarkan untuk melakukan sebuah tindakan diskriminasi terhadap non muslim. Justru
sebaliknya, Islam mengajarkan perbuatan untuk saling menghormati terhadap sesama
manusia (keturunan Adam), sebagaimana telah tercantum dalam al-Qur’an:

‫اه ْم َعلَى َكثِ ٍري مِّم َّْن َخلَ ْقنَا‬ ِ ‫ولََق ْد َكَّرمنَا بيِن آدم ومَح ْلنَاهم يِف الْبِّر والْبح ِر ورز ْقنَاهم ِّمن الطَّيِّب‬
ُ َ‫ض ْلن‬
َّ َ‫ات َوف‬َ َ ُ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ََ َ ْ َ
﴾‫ا‬٧٠ : ‫ضيالً ﴿اإلسراء‬ ِ ‫َت ْف‬

Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautanKami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.24

Pada ayat lain juga dijelaskan, bahwa sesungguhnya Allah meminta kepada setiap
agama dan aliran untuk menebarkan kebaikan, membangun silaturrahmi dan berlaku adil.
Allah berfirman:

‫وه ْم َو ُت ْق ِسطُوا ِإلَْي ِه ْم ِإ َّن‬ ِ ِ ِ َّ


ُ ‫ين مَلْ يُ َقاتلُو ُك ْم يِف الدِّي ِن َومَلْ خُيْ ِر ُجو ُكم ِّمن ديَا ِر ُك ْم َأن َتَبُّر‬
َ ‫اَل َيْن َها ُك ُم اللَّهُ َع ِن الذ‬
﴾٨ : ‫ني ﴿املمتهنة‬ ِِ ُّ ِ‫اللَّهَ حُي‬
َ ‫ب الْ ُم ْقسط‬
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.25

Secara politis, sikap kooperatif dan simpatik terhadap ahlu al-dzimmah


sebenarnya telah mendapatkan legalitas dalam Piagam Madinah, yaitu tatkala Rasulullah
SAW menyebut orang-orang non-muslim (Yahudi dan Kristiani) sebagai ummatun
24
QS. Bani Isra’il (17):70.
25
QS. Al-Mumtahanah (60):8.
wahidah (umat yang satu). Dan mereka berhak mendapatkan perlakuan sebagaimana
mestinya warga muslim yang lain. Dalam pasal 25 Piagam Madinah dijelaskan: “Kaum
Yahudi dari Bani 'Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang dzalim dan jahat. Hal demikian
akan merusak diri dan keluarganya.”26
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka diskriminasi terhadap minoritas dzimmi
dalam hukum Islam disebut sebagai perbuatan yang tidak berdasar. Sebaliknya, justru
dalil-dalil tersebut mendeklarasikan persamaan hak antara kaum muslim dan non-muslim,
sebagaimana Abu Hanifa yang membolehkan orang Kafir melaksanakan ritual-ritual dan
hukum yang sesuai dengan ajaran mereka, bahkan mereka diperkenankan mendirikan
gereja dan tempat penyembelihan babi.27
Konsep ahlu al-dzimmah merupakan cikal bakal munculnya penomorduaan
terhadap non muslim. Dalam kitab-kitab fiqih, sebagaimana disinyalir Dr. Abdul Karim
Zaidan, ahlu al-dzimmah adalah komunitas non-muslim yang melakukan kesepakatan
untuk hidup di bawah tanggungjawab dan jaminan kaum muslimin. Mereka mendapat
perlindungan dan keamanan. Mereka juga mendapatkan hak hidup dan tempat tinggal di
tengah-tengah komunitas muslim.28
Namun dalam kapasitasnya sebagai non-muslim, ahlu al-dzimmah tidak
mendapatkan perlakuan sebagaimana komunitas muslim. Mereka tidak bisa menduduki
posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Mereka tidak boleh menjadi pemimpin politik
dan majelis permusyawaratan. Mereka tidak mempunyai hak suara, bahkan mereka
diwajibkan membayar jizyah. Dalam kitab-kitab fiqh, ahlu al-dzimmah merupakan
kalangan yang dituntut dengan sejumlah kewajiban, tapi tidak mendapatkan hak yang
sejajar dan setara, sebagaimana komunitas muslim. Atas dasar ini ahlu al-dzimmah sering
di sebut kelompok kelas kedua, (almuwahin bi al-darajah al-tsaniyah).
Pandangan ulama fiqh terhadap ahlu al-dzimmah telah mewarnai sikap
kebanyakan umat Islam terhadap agama lain. Ahl al-dzimmah dianggap sebagai
kelompok minoritas, dan karenanya harus tunduk kepada kelompok mayoritas. Dalam
26
W Montgomery Watt, Mohammad at Medina, (ttp.:tp., 1956), hal.223.
27
Topo Santoso, Memebumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda,
(Jakarta: Gema Insani, 2003), hal.74-75.
28
Fahmi Huwaydi, Muwathinun la Dzimmiyun, cet. Ke-3, (Kairo: Dâr el-Shorouq, 1999), hal.112
kitab fiqh klasik, mereka tidak mendapatkan perhatian dan pelayanan sebagai umat Islam.
Dan ini sejalan dengan karakter fiqh klasik, yang mana secara eksplisit ditulis untuk
kepentingan umat Islam saja. Sedangkan fiqh yang berkaitan dengan agama lain hampir
tidak dijelaskan secara penjang lebar. Di sinilah, amat terkesan bahwa fiqh klasik telah
menelantarkan dan mendiskriminasikan non-muslim.29
Sejauh pembacaan yang cukup komprehensif terhadap konsep ahlu al-dzimmah
dan latar belakang historisnya, mestinya konsep tersebut ditinjau kembali. Apalagi jika
membaca secara detail, maka terdapat perbedaan yang tajam antara semangat yang
dibawa al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW untuk memberikan perlindungan
terhadap ahlu al-dzimmah di satu sisi, dan di sisi lain nuansa fiqh yang cenderung
menomorduakan mereka. Perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap ahlu al-dzimmah
seringkali menggunakan analogi (qiyas) terhadap kewajiban bagi non muslim untuk
membayar jizyah. Dan ini merupakan pandangan mazhab Syafi’i. Beberapa ulama
kontemporer, seperti Abu al-A’la al-Madudi, Majid Khadrawi dan Hisyam Syarabi
merujuk kepada para ulama fiqh yang beraliran Syafi’iyah30
Sedangkan mazhab Hanafî misalnya terlihat memberikan ruang bagi ahlu al-
dzimmah. Menurut mazhab Hanafî, mereka diperbolehkan melaksanakan ritual-ritual dan
hukum yang sesuai dengan ajaran mereka, walaupun ajaran-ajaran tersebut diharamkan
bagi umat Islam, seperti mendirikan gereja, membangun tempat penyembelihan babi dan
lain-lain. Mereka mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan keberagammaan
mereka secara terbuka.31
Ibnu Qayyim al-Jawziyah dalam Ahkam Ahl al-Dzimmah-nya justru memberikan
pandangan yang relatif progresif. Dalam dialog dengan seorang muslim yang menikahi
perempuan ahli kitab, ia berpendapat bahwa sang suami mesti menghargai sang istri yang
hendak meminum khamr (arak). Sang suami berhak untuk memperingati sang istri untuk
tidak meminum khamr (arak). Tetapi apabila sang istri tidak menerimanya, maka sang
suami tidak boleh memaksa sang istri untuk tidak minum khamr (arak).32

29
Nurcholis Madjid, dkk., Op. cit., hal.146.
30
TIM Pembukuan Manhaji Tamatan MHM 2003, Paradigma Fiqh Masai: Kontekstualisasi Hasil Bahtsul
Masaiil, (Lirboyo: Sumenang, 2003), hal.150-153.
31
Topo Santoso, Op. cit., hal.74-75.
32
Fahmi Huwaydi, Op. cit., hal.117.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa sikap terhadap non-muslim relatif lebih
toleran dan terbuka. Perbedaan agama tidak menyebabkan adanya perlakuan yang
diskriminatif terhadap agama lain. Mereka justru diberikan kebebasan untuk
melaksanakan ritual keagamaannya sesuai dengan ajaran yang di yakini.33
Sikap kooperatif dan simpatik terhadap ahlu al-dzimmah sebenarnya telah
dipraktekan para ulama terdahulu di tengah-tengah pemerintahan Islam. Dalam sebuah
kisah yang sangat menarik, tatkala Qatlushah, raja Tatar hanya ingin membebaskan
tawanan Muslim. Ibnu Taimiyah langsung menginterupsi dan menolak sikap
diskriminatif raja Tatar tersebut. Ibnu Taimiyah meminta agar raja membebaskan semua
tawanan, termasuk di dalamnya tawanan orang- orang yahudi dan Kristen, karena mereka
sebagi ahlu al-dzimmah.34
Pembelaan terhadap mereka membuktikan, bahwa konsep ahlu al-dzimmah bukan
untuk menomorduakan non-muslim, melainkan memberikan perlindungan dan
pembelaan yang bersifat total terhadap non-muslim. Perbedaan agama tidak menjadi
penghalang bagi setiap muslim untuk membela dan memberikan perlindungan hak
terhadap kaum minoritas.
Di sini, kita mesti mengembalikan konsep ahlu al-dzimmah pada semangat
awalnya, yaitu sebagai pembelaan dan perlindungan terhadap non-muslim. Sikap seperti
ini merupakan komitmen utama al-Qur’an untuk menghormati setiap keturunan Adam
dan bersikap egaliter terhadap sesama manusia, karena mereka diciptakan dari satu asal
muasal, dan Tuhan meminta kepada setiap agama dan aliran untuk menebarkan kebaikan,
membangun silaturahmi dan berlaku adil.
Nilai-nilai dan praktek kooperatif yang terdapat dalam al-Quran, hadist dan
sejarah awal Islam bisa di jadikan modal dasar untuk mengambil langkah yang lebih jauh,
bahwa tidak ada pertentangan antara konsep Islam mengenai ahlu al-dzimmah dengan
konsep kewarganegaraan (al-muwathanah). Bahkan bila dilihat secara substansial, maka
konsep ahlu aldzimmah sejalan dengan konsep kewarganegaraan, yang mana setiap
penganut agama dan aliran kepercayaan mesti mendapat perlindungan sebagaimana
mestinya, sesuai dengan undang-undang dan konsensus bersama.

33
Akhmad. Minhaji, Op. cit., hal.355.
34
Ibid., hal.115.
Dengan demikian, perlakuan diskriminatif terhadap ahlu al-dzimmah sama sekali
tidak dibenarkan. Apalagi dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, yang
mana setiap warga negara mempunyai hak yang sama.35 Karenanya, fiqh klasik amat
tidak memadai, apalagi jika mempertahankan sikap ketatnya terhadap ahlu al-dzimmah.
Fiqh klasik mesti direformasi dan merujuk kepada semangat awalnya sebagai komitmen
untuk membangun toleransi, kesepahaman dan kesetaraan antara penganut agama.
Pluralisme dan multikulturalisme merupakan fenomena terkini yang tidak bisa
dihindarkan, dan fiqh sejatinya dapat membawa pesan-pesan moralnya guna
mengukuhkan semangat keragaman tersebut.

35
Ibid.,73-74

Anda mungkin juga menyukai