Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ULUMUL HADITS

HADITS DHOIF DAN SEBAB KEDHOIFANNYA II


Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen pengampu : Ruaedah, S.Th.I, M.A.

Disusun oleh:
Kelompok 11
Hana Rufaidah (23212169)
Hanifa Inayatullah (23212170)
Haya Rafidatunnur’aini (23212171)
Helsa Tria Munawaroh (23212172)

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir


Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tahun Ajaran 1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah Ta’ala atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam
penulisan makalah ini, materi yang akan di bahas adalah “Hadits Dhoif dan sebab
Kedhoifannya II”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyusun makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing kami ibu Ruaedah, S.Th.I,
M.A.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah
wawasan kita dalam mempelajari “ulumul hadits” serta dapat digunakan sebagaimana
mestinya.

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW begitu banyak
hadits yang dhaif. Dengan begitu banyak sebab diantaranya, karena perawinya yang cacat,
banyak orang bingung mana hadis dhaif, mana hadits yang hasan serta sahih.
Sehingga banyak ulama muhadditsin yang mempelajari dan mengajarkan ilmunya
lewat buku ataupun secara tatap muka agar orang-orang tidak salah jalan, tidak salah hadis
untuk dijadikan hujjah ataupun landasan dalam kehidupan.
Dan sini akan membahas tentang hadis dhaif karena perawinya yang cacat dalam
kedhabitannya. Dalam hadis yang cacat dalam kedhabitannya ini dibagi menjadi 8 macam
dalam ilmu hadits diantaranya hadits munkar, hadits mu’allal, hadits mudraj, hadits maqlub,
hadits mudhtharib, hadits mushahhaf, hadits muharraf dan yang terakhir hadis syadzdz.
Hadits dhaif karena kedhabitan yaitu hadits yang lemah akan ingatan seorang perawi dalam
redaksi ataupun dalam sanadnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hadits Munkar?
2. Apa itu Hadits Mu’allal?
3. Apa itu Hadits Mudraj?
4. Apa itu Hadits Maqlub?
5. Apa itu Hadits Mudhtharib?
6. Apa itu Hadits Mushahhaf?
7. Apa itu Hadits Muharraf?
8. Apa itu Hadits Syadzdz?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Hadits Munkar.
2. Mengetahui Hadits Mu’allal.
3. Mengetahui Hadits Mudraj.
4. Mengetahui Hadits Maqlub.
5. Mengetahui Hadits Mudhtharib.
6. Mengetahui Hadits Mushahhaf.
7. Mengetahui Hadits Muharraf
8. Mengetahui Hadits Syadzdz.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits Munkar
Hadits munkar adalah :
‫الحديث الذي يرويه الضعيف مخالفا رواية الثقة‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhaif) yang
bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan”.1

1 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 110.
Munkar secara bahasa artinya: yang diingkari. Hadits munkar berdasarkan definisi
dari imam Ibn Hajar al-Asqalani adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
dhaif sedangkan riwayat tersebut berbeda dengan riwayat lain tentang hadits itu juga, namun
perawinya tsiqah semua.
Contoh hadits munkar :
، َ‫وب ْبنُ ُس ْفيَ ان‬ َّ ‫اد َأ َن ا َع ْب ُد‬
ُ ‫الل ِه ْبنَ َج ْع َف ِر ْب ِن َد َر ْس َت َو ْي ِهثنا َي ْع ُق‬ ُ ‫اخب ََر َنا َأ ُبو ْال ُح َس ْي ِن ْب ُن ْال َف ْض ِل ْال َق َط‬
َ ‫ان ِبب َْغ َد‬ ْ

،‫يد‬ َ ‫ َأ ْخ َب َر ِني َي ْحيَ ى ْب ُن َأ ُّي‬.‫ َح َّد َث ِني ا ْبنُ َو ْه ٍب‬،‫يحيَ ى ْب ُن ُس َل ْي َمانَ ْال ُج ْع ِف ُّي‬
ٍ ‫ َع ْن َي ْحيَ ى ْب ِن َس ِع‬،‫وب‬ ْ ‫يد‬ ‫َأ‬
ٍ ‫َح َّد َث ِني ُب و َس ِع‬
‫ َو ُه َو‬، ‫ار َو ْح ِش‬
ِ ‫ ْه َدى ِلل َّن ِبي َع ُج َز ِح َم‬.‫ام َة‬
‫ب َبنَ َج َث َ َأ‬ َّ ‫ َأ َّن‬،‫ َع ْن َأ ِبي ِه‬، ‫الض ْم ِري‬
َ ‫الص ْع‬ َّ ‫َع ْن َج ْع َف ِر ْبن َع ْم ِرو ْبن ُأ َميَّ َة‬
ِ ِ
)‫ َوَأ َك َل ْال َق ْو ُم (رواه البيهقي‬،‫ِب ْال ُج ْح َف ِة َفَأ َك َل ِم ْن ُه‬

Di dalam riwayat ini terdapat dua orang perawi yang dhaif yaitu Abu Hatim dan
Yahya bin Ayyub. Setelah kita tahu bahwa dalam riwayat ini ada dua periwayat yang dhaif,
kemudian terdapat periwayat lain yang meriwayatkan hadits ini. Bunyi lafadz riwayat ini
berbeda, bahkan maknanya bertolak belakang dengan riwayat pertama. Riwayat ini semua
perawinya tsiqah.2
Riwayat tersebut sebagai berikut:
‫ َع ِن‬، ‫َّاس‬
ٍ ‫الل ِه ْب ِن َعب‬ َّ ‫ َع ْن َع ْب ِد‬، ‫ود‬ ٍ ‫الل ِه ْب ِن ُع ْت َب َة ْب ِن َم ْس ُع‬ َّ ‫ َع ْن ُعب َْي ِد‬،‫َأ ْخب ََر َنا َما ِل ُك َعن ا ْبن ِش َهاب‬
َّ ‫الل ِه ْبن َع ْب ِد‬
ِ ٍ ِ ِ
‫ َف َل َّما َرَأى َم ا‬.‫ َف َر َّد ُه َع َل ْي ِه‬، َ‫اء َأ ْو ِب َو َذان‬
ِ ‫ َو ُه َو ِب ْالَأ ْب َو‬.‫ارا َو َح ِش ًّيا‬ َّ ‫الل َب ِني َأ َّن ُه َأ ْه َدى ِل َر ُسول‬
ً ‫الل ِه َو َلا ِح َم‬ ِ
َّ ‫ام َة‬ َّ
َ ‫الص ْع ِب ْب ِن َج َّن‬

)‫ «ِإ َّنا لَ ْم َن ُر َّد ُه َع َل ْي َك ِإ َّلا َأ َّنا ُح ُرم» (رواه البخاري ومسلم‬:‫ال‬


َ ‫ِفي َو ْجه ِه َق‬
ِ

Riwayat ini menginformasikan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬. tidak menerima hadiah. Dan
beliau serta sahabatnya tidak makan dari hadiah tersebut. Informasi ini bertolak belakang
dengan informasi yang disampaikan dari riwayat pertama bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬. serta
sahabatnya makan dari pemberian hadiah. Hukum hadits munkar adalah dho’if, tidak
diterima.3
Beberapa pengertian dikemukakan oleh kebanyakan ahli hadits mutaqaddimin, dan
berikut ini beberapa contoh ungkapan mereka:
1. Imam Ahmad berkata tentang Aflah bin Humaid Al-Anshari, salah seorang periwayat
Shahihain yang tsiqat: Aflah telah meriwayatkan dua hadits munkar, yakni hadits
“Sesungguhnya Rasulullah ‫ﷺ‬. berambut lebat dan panjang” dan hadits “Rasulullah ‫ﷺ‬.
menentukan miqat bagi penduduk Irak Dzati Irqin”.4 Imam Ahmad menemani dua
2 Achmad Faiz Abian IBF, dkk, Mutiara Ilmu Hadits (Banten: Maktabah AS-Sunnah, 2022), 66.
3 Achmad Faiz Abian IBF, dkk, Mutiara Ilmu Hadits, 67.
4 Hadyu Al-Sari, 2nd ed., 117 vols., n.d.
buah hadits tersebut sebagai hadits munkar karena kedua-duanya hanya diriwayatkan
oleh Aflah, padahal ia adalah seorang raawi yang tsiqat.
2. Hadits Abu Al-Zubair Al-Makki, ia berkata “Aku bertanya kepada Jabir tentang
hukum uang hasil menjual kucing dan anjing. Maka ia menjawab: Rasulullah ‫ﷺ‬.
telah mencegah pemanfaatan uang hasil penjualan kucing dan anjing itu.” Demikian
dikeluarkan oleh Muslim.5
Al-Nasa’i juga meriwayatkan, ia berkata, “Menceritakan kepadaku Ibrahim
bin Al-Hasan, katanya: Menceritakan kepada kami Hajjaj bin Muhammad dari
Hammad bin Salamah dan Abu Al-Zubair dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah
‫ﷺ‬. melarang pemanfaatan uang hasil menjual anjing dan kucing kecuali anjing untuk
berburu.” Abu Abdirrahman (Al-Nasa’i) berkata, “Hadits ini munkar”.6
Para rawi sanad ini tsiqot7, tetapi hanya pada sanad ini terdapat kata-kata
“kecuali anjing untuk berburu”, dari karenanya Al-Nasa’i menilai hadits ini munkar.8

B. Hadits Mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang terdapat ‘illat tersembunyi mempengaruhi
keshahihan hadits tersebut. Padahal secara kasat mata hadits tersebut aman dari illat. Hadits
mu’allal adalah hadits yang terdapat kecacatan (‘illat) tersembunyi di dalam sanad atau
matannya. Sedangkan dilihat secara zahir, hadits ini tidak bermasalah.
Cara mengetahui keberadaan ‘illat ada beberapa cara:
1. Mengumpulkan semua jalur periwayatan untuk suatu hadits, lalu memeriksa kualitas
tiap perawi.
2. Merujuk pada perkataan para imam ilmu hadits yang sudah diketahui kedalaman
ilmunya. Kita bisa melihat kitab kitab illat hadits atau syarh/penjelasannya yang
ditulis oleh mereka. Sebagaimana perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar, bahwasanya
pembahasan tentang ‘illat yang tersembunyi ini sangatlah samar dan sulit.
Orang yang bisa memecahkannya hanyalah orang-orang yang Allah beri
kepahaman cemerlang, hafalan yang luas, pengetahuan yang sempurna, serta
penguasaan yang kuat terhadap sanad-sanad dan matan-matan hadits. Diantara orang-
orang tersebut adalah: Imam Ali al-Madani, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Al-
Bukhari, dan lain-lain.
5 Muslim, 5:35.
6 Al-Nasa'i, 3:272.
7 Sebagaimana dikatakan al-Hafidz ibnu Hajar. Lihat Subulussalam, 2:223 .
8 Dr. Nuruddin ’Itr, ‘Ulumul Hadits (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), hal. 462.
Ditinjau dari tempat terdapatnya ‘illat hadits mu’allal itu dibagi menjadi tiga macam,
yaitu mu’allal dalam sanad, mu’allal dalam matan, dan mu’allal dalam kedua-duanya.
1. Hadits mu’allal dalam sanad
Kadang-kadang ‘illat yang terdapat dalam hadits mu’allal jenis ini dapat
mencatatkan sanad dan mencacatkan matan, seperti apabila suatu hadits tidak dikenal
kecuali melalui seorang periwayat, lalu ternyata padanya terdapat ‘illat, seperti
idhthirab, inqitha yang tersembunyi, atau merupakan hadits mauquf yang marfu, dan
sebagainya.
Diantara contohnya adalah hadits Ibnu Jurraj dari Musa bin ‘Uqbah dari
Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah r.a. dengan marfu:
َ‫اس َت ْغ ِف ُرك‬ َ ‫ْحا َن َك اللهم وبحمدك لا ال ه الا‬
ْ ‫انت‬ َ ‫ال َقب َْل لَ ْن َي ُق‬
َ ‫وم ُسب‬ َ ‫ثر ِف ْي ِه لَ َق َط ُه َف َق‬
َ ‫َم ْن َج َل َس َت ْج ِل َسا َك‬

. ‫َو انوا ِإ لَ ْي َك ال ْأغ ِف َر لَ ُه َما َكانَ ِم ْن َت ْج ِل ِس ِه‬

Barang siapa hadir dalam suatu majelis yang padanya banyak terjadi
kegaduhan kemudian sebelum berdiri ia berkata, "Maha suci Engkau, Ya Allah, dan
segala puji bagi-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Aku mohon ampun kepada-Mu dan
aku bertobat kepada-Mu", maka ia mendapat ampunan atas dosa yang terjadi dalam
majelis tersebut.
Lahir hadits ini shahih, sehingga banyak hafiz tertipu lalu mensahihkannya,
tetapi padanya terdapat 'illat yang samar dan merusak. Yang benar dalam hal ini
adalah riwayat Wahib bin Khalid al-Bahili dan Suhail dari 'Aun bin Abdillah dari
perkataan Abu Hurairah, tidak marfu. Dalam periwayatan hadits ini terjadi perbedaan
antara Wahib dan Musa bin 'Uqbah. Al- Bukhari menyatakan keunggulan riwayat
Wahib, dan menjelaskan bahwa di dunia ini tidak ia ketahui sanad Ibnu Juraij
demikian kecuali dalam hadits ini. Selanjutnya ia berkata, "Kami tidak pernah
menyatakan bahwa Musa mendengar hadits dari Suhail. Indikasi-indikasi ini
memperkuat orang yang berbeda riwayat dengan Musa bin 'Uqbah."
2. Hadits mu’allal dalam matan
Contoh hadits Abdullah bin Mas’ud, katanya: Rasulullah ‫ﷺ‬. bersabda :
َ ‫الش ْر ِت َو َما ِم َّنا ِإ َّلا َولَ ِك َّن‬
‫الله ُي ْذ ِهب ُُه بالتوكل‬ َّ ‫المطيرة من‬

Tenung itu termasuk perbuatan syirik, dan setiap orang dari kita pasti. Akan
tetapi Allah menghilangkannya dengan jalan kita bertawakal.
Secara lahir, sanad dan matan hadits ini sahih. Hanya saja matannya ternodai
'illat yang samar, yakni pada kata-kata “wa ma minna illa” Al-Bukhari berkata:
Sulaiman bin Harb berkata sehubungan dengan hadits ini:
َّ ‫َو َما ِم َنا الَأ َولَ ِك ْن ُي ْذ ِهب ُُه ِب‬
‫الت َو ُكل‬

…dan tidak ada dari kita. Akan tetapi Allah menghilangkannya dengan
tawakal.
Sulaiman berkata: "Demikianlah yang aku ketahui dari perkataan Abdullah bin
Mas'ud”.
Al-Khaththabi berkata: Kata-kata "Wa ma minna illa" artinya adalah dari
setiap kita pasti dapat terkena tenung.' Namun beliau tidak melanjutkan ucapannya
karena terhalang oleh kebencian beliau terhadapnya. Karenanya beliau membuang
kelanjutan kata-kata tersebut untuk meringkas pembicaraan dan mengandalkan
pemahaman orang yang mendengarnya.
Makna kalimat ‫ولكن الل َه ُي ْذ ِهب ُه‬
َّ ‫الت َو ُك ل‬
َّ ‫ ِب‬adalah bahwa Allah menghilangkan

pengaruh yang tidak menyenangkan itu dengan jalan bersandar dan menyerahkan diri
kepada-Nya.
Penilaian tentang adanya 'illat itu menjadi lebih kuat karena permulaan hadits ini
diriwayatkan oleh banyak rawi dari Ibnu Mas'ud tanpa ada tambahannya.

3. Hadits mu’allal dalam sanad dan matan


Contoh hadits yang dikeluarkan oleh al-Nasa’i dan Ibnu Majah dari riwayat
Baqiyyah dari Yunus dari al-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar dari Nabi ‫ﷺ‬. Beliau
bersabda:
.‫من أدرك ركعة ِم ْن َص َل ِاة ْال ُج ُم َع ِة َو َغ ْي ِر َها َف َق ْد أدرك‬

Barangsiapa mendapatkan satu rakaat (dari sisa waktu) dalam salat Jumat
atau lainnya, maka ia telah menunaikan (salatnya).
Abu Hatim al-Razi berkata: "Hadits ini salah matan dan sanadnya. Yang benar
hadits ini dari al-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi ‫ﷺ‬.:
.‫َم ْن َأ ْد َركَ ِم ْن َص َل ٍاة َر ْك َع ًة َف َق ْد َأ ْد َر َك َها‬

Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari suatu salat (masih pada
waktunya), maka ia mendapatkan shalat itu.
Adapun kata-kata "min salat al jum'ati wa ghairiha" tidak terdapat dalam
hadits ini. Jadi matan dan sanad tersebut dipertanyakan. Hadits ini diriwayatkan
dalam Shahihain dan lainnya dari banyak jalan dengan redaksi yang berbeda dengan
riwayat Baqiyyah dari Yunus. Hal ini menunjukkan adanya illat dalam hadits riwayat
Baqiyyah itu.
C. Hadits Mudraj
Secara etimologi, Al-Mudraj merupakan ism maf’ul dari adraja yang berarti
memasukkan dan menyisipkan. Sedangkan secara terminologi, Al-Mudraj adalah hadits yang
dirubah urutan sanadnya, dan dimasukkan di dalam matannya hadits yang bukan darinya
tanpa terpisah. Mudraj memiliki dua macam: mudraj pada sanad, dan mudraj pada matan.
Definisi mudraj pada sanad adalah hadits yang dirubah urutan sanadnya.
Gambarannya, seorang rawi menyebutkan susunan sanad hadits, kemudian ia terhenti oleh
sesuatu, lalu dia menyebutkan perkataan dari dirinya sendiri, akan tetapi orang yang
mendengarkan perkataan tersebut mengira bahwa itu adalah matan dari sanad tersebut,
kemudian mereka meriwayatkannya seperti itu.9
Contohnya kisah seorang yang zuhud Tsabit bin Musa, dalam riwayatnya:
‫من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار‬

"Barangsiapa yang banyak shalat ketika malam hari, wajahnya akan indah di siang
hari.”10
Asli kisah tersebut adalah ketika Tsabit bin Musa mendatangi Syarik bin Abdillah Al-
Qadhi dan dia sedang mendiktekan sanad: Telah menceritakan kepada kita Al-A’amasy dari
Abu Sufyan dari Jabir yang berkata, “Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda…” Kemudian ia diam agar para
muridnya menulis, ketika dia melihat Tsabit, dia berkata, “Barangsiapa yang banyak shalat
ketika malam hari, wajahnya akan indah di siang hari,” yang dia maksud adalah Tsabit karena
kezuhudan dan kewara’annya, namun Tsabit mengira bahwa perkataan tersebut adalah matan
dari sanad yang didiktekan, lalu dia meriwayatkannya sebagai hadits.
Kemudian, definisi mudraj pada matan adalah perkataan yang dimasukkan ke dalam
matan hadits dan bukan bagian dari matan, tanpa pemisah. Mudraj terbagi menjadi tiga
macam yaitu;
1. Terjadinya mudraj pada awal suatu hadits, dan ini sedikit, akan tetapi lebih banyak
terjadi daripada terjadinya mudraj pada pertengahan suatu hadits.

9 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, hal.123


10 Muhammad Alawi Al-Malik, Ilmu Ushul Hadits, hal. 130.
2. Terjadinya mudraj pada pertengahan suatu hadits, ini lebih sedikit dari yang pertama.
3. Terjadinya mudraj pada akhir suatu hadits, kebanyakan seperti ini.11
Contoh terjadinya mudraj pada awal suatu hadits, sebab terjadinya adalah perkataan
seorang rawi yang ingin dia jadikan sebagai pengantar suatu hadits, akan tetapi tanpa ada
pembatas, maka orang yang mendengarkannya mengira bahwa semua perkataan itu adalah
hadits, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Khatib, dari riwayat Abu Qathn dan Syababah -dia
membedakan antara keduannya- dari Syu’bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah,
dia berkata, “Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
‫ٌ َأ‬ ْ ‫َأ‬
ِ ‫ َو ْيل ِلل ْع َق‬،‫ْس ِب ُغوا ال ُو ُض ْو َء‬
ِ ‫اب ِمنَ ال َّن‬
‫ار‬

“Sempurnakanlah wudhu, celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu) dari api
neraka.” Perkataan “Sempurnakanlah wudhu” mudraj dari perkataan Abu Hurairah, seperti
yang diterangkan dalam riwayat Al-Bukhari dari Adam dari Syu’bah dari Muhammad bin
Ziyad dari Abu Hurairah dia berkata, “Sempurnakanlah wudhu, sesungguhnya saya
mendengar dari Abu Al-Qasim ‫ ﷺ‬bersabda, “Celakalah tumit-tumit dari api neraka.”
Al-Khatib mengatakan, “Abu Qathn Syababah telah lalai dalam meriwayatkan hadits
ini dari Syu’bah, seperti yang telah kita sebutkan, sebab para rawi dengan jumlah yang besar
telah meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah seperti riwayat Adam.
Contoh terjadinya Mudraj pada pertengahan suatu hadits, ialah hadits rwyat Aisyah
dalam kitab Bad'ul wahyu, “Sesungguhnya Rasulullah ‫ ﷺ‬berdiam di dalam gua Hira’ -yaitu
beribadah- selama beberapa malam,” perkataan, “-yaitu beribadah-” mudraj dari perkataan
Az-Zuhri.
Kemudian contoh terjadinya mudraj pada akhir suatu hadits, yaitu hadits Abu
Hurairah secara marfu’:
“ Hamba sahaya memiliki dua pahala, demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
andaikata tidak ada kewajiban jihad dijalan Allah, dan berbakti kepada ibuku,
sesungguhnya saya lebih senang meninggal dan saya sebagai seorang hamba sahaya.”
Perkataan “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya…” dari perkataan Abu
Hurairah, karena perkataan itu mustahil terucap oleh Nabi , sebab ibunya sudah tiada
sehingga beliau dapat berbakti kepadanya.12
Sebab-sebab terjadinya idraj yang bermacam-macam, berikut yang paling masyhur:
Sebab pertama, ialah menerangkan hukum dalam syariat. Kemudian, menyimpulkan hukum

11 Nuruddin 'Itr, 'Ulumul Hadits, hal. 148


12 Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, (Ummul Qura, Jakarta Timur), hal. 120
syar’i dari hadits sebelum selesai hadits tersebut. Dan terakhir, menjelaskan lafal asing di
dalam suatu hadits.
Menyisipkan lafal selain dari hadits hukumnya haram menurut kesepakatan pakar
hadits, fikih dan yang lainnya, kecuali untuk menerangkan lafal yang asing, hal tersebut tidak
dilarang, oleh karena itu Az-Zuhri dan ulama lainnya melakukannya.13

D. Hadits Maqlub
Definisi secara etimologi14, al-maqlub merupakan ism maf’ul dari al-qalb yang berarti
mengubah sesuatu dari asalnya. Sedangkan secara terminologi, adalah mengganti lafal yang
asli dalam sanad atau matan hadits yang lainnya, baik dengan memajukan atau mengakhirkan
atau yang semisalnya.
Maqlub terbagi menjadi dua bagian pokok, yaitu: maqlub dalam matan dan maqlub
dalam sanad. Maqlub pada sanad ini memiliki dua gambaran, yaitu:
Pertama, seorang rawi mengganti nama rawi tertentu dengan memajukan dan
mengakhirkan namanya dan nama bapaknya, seperti hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin
Murrah, sebagian rawi mengatakan dalam riwayatnya Murrah bin Ka’ab. Selanjutnya,
seorang rawi mengganti seorang (rawi) dengan yang lainnya agar sanad tersebut terlihat aneh,
seperti hadits yang populer dari riwayat Salim, rawi tersebut menjadikannya dari riwayat
Nafi’.15
Diantara perawi hadits yang melakukan hal tersebut adalah Hammad bin Amru An-
Nashibi,seperti hadits riwayat Hammad bin Amru An-Nashibi dari Al-Aa’masy dari Abu
Shaleh dari Abu Hurairah secara marfu’:
“Jika kalian bertemu orang-orang musyrik di jalan, janganlah kalian mendahului mereka
dengan salam.”
Hadits ini maqlub, Hammad yang membalikkannya dan menjadikan dari Al-Aa’masy,
hadits ini masyhur dari Suhail bin Abu Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah, seperti yang
diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya. Hadits maqlub yang seperti ini menjadikan
rawinya dinamakan sebagai orang yang mencuri hadits.
Yang kedua maqlub pada matan, yaitu hadits yang terjadi perubahan dalam matannya,
maqlub macam ini juga terdapat dua gambaran, yaitu:

13 HR. Ibnu Majah, Bab Shalat Malam, 1/442


14 Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, hal. 121
15 Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, hal. 122
Pertama, seorang rawi memajukan atau mengakhirkan sebagian matan suatu hadits,
seperti hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang tujuh golongan
yang dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya, yang pada hari itu tidak ada naungan kecuali
naungan-Nya, salah satunya, “Orang yang bersedekah merahasiakannya, hingga tangan
kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kirinya.”
Hadits ini termasuk yang dibalik oleh beberapa rawi, sebab asalnya, “Hingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”16
Contoh selanjutnya seorang rawi menaruh matan hadits tertentu untuk sanad hadits yang lain,
dan menaruh sanadnya untuk matan hadits lain, dengan tujuan menguji dan lainnya.
Seperti yang dilakukan penduduk Baghdad kepada Imam Al-Bukhari, mereka
membolak-balik (sanad dan matan) seratus hadits, kemudian mereka menanyakan hadits-
hadits tersebut kepada Imam Al-Bukhari untuk menguji hafalan nya, Imam Al-Bukhari pun
mengembalikan hadits-hadits tersebut menjadi semula, dan tidak ada kesalahan walaupun
hanya satu hadits.17
Sebab-sebab yang mendorong sebagian rawi untuk merubah hadits berbeda-beda,
yaitu: sebab yang pertama, agar terlihat berbeda, sehingga orang meriwayatkan dan
mengambil hadits darinya. Sebab selanjutnya, Untuk menguji dan memastikan hafalan dan
kedhabithan seseorang ahli hadits. Terakhir ialah, terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan
tanpa sengaja.18

E. Hadis Mudtharib
Kata “mudhtharib” secara etimologi merupakan ism fa’il yang dikeluarkan dari kata
mashdar “idhtiraaban” yang berarti “kacau dan tidak beraturan”. Sedang menurut
terminologi “hadits mudhtharib” ialah hadits yang diriwayatkan melalui beberapa cara yang
berlainan dan nilai kekuatan sanad-sanadnya sederajat serta hadits itu bertentangan satu sama
lainnya, sehingga tidak mungkin dikompromikan, atau ditingkatan kadarnya secara urinal
“mempersatukannya”, serta terdapat unsur nasikh-mansukh.19
Hadits mudhtharib juga dapat disebut sebagai sebuah hadits yang diriwayatkan
melalui beberapa jalur yang sanad atau matannya saling berlawanan, baik periwayat itu saling

16 Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, hal. 123


17 Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, hal. 124
18 Lihat Al-Qamus, 1/123
19 HR. Al-Bukhari, Bab Al-Jama’ah; Muslim, Kitab Zakat, Bab Menyembunyikan Sedekah, Syarah An-Nawawi
ala Muslim, 7/120; Malik dalam Al-Muwatta’, Kitab Syair, Bab Orang-Orang yang Saling Mencintai karena Allah,
3/952.
berlawanan, baik periwayat satu satu atau beberapa orang. Pertentangan tersebut tidak dapat
disatukan atau salah satunnya dikalahkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pertentangan itu,
yang satu menghapus (naskh) terhadap lain, maka hadits yang menghapus dipergunakan
sebagai dalil.20
Adapun hukum hadis mudhtharib ialah bahwa oleh karena suatu hadits menjadi dhaif
sebab mudhtharib, maka hadits itu tidak boleh diamalkan, dengan syarat apabila salah satu
dari riwayat yang kontradiktif itu terdapat riwayat yang lebih kuat, misalnya rawi-rawinnya
lebih dhabith, atau bilangan rawi-rawinya lebih banyak menyertai rawi atasnya, maka hadis
yang lebih kuat harus diamalkan, dan yang tidak kuat harus ditinggalkan.21
Contoh hadits mudhtharib dalam sanadnya ialah hadis Abu Bakar, dia berkata:
‫اخ َوا ُت َها‬ ٌ ‫ال َش ْيب َُتنى ُه‬
ْ ‫ود َو‬ َ ‫ول الله َأ َراكَ شب‬
َ ‫ْت َق‬ َ ‫َيا َر ُس‬

Artinya:
“Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬, aku telah melihat engkau beruban, Nabi
menjawab, yang menyebabkan ubanku ini adalah surat Hud dan saudara-
saudaranya.”
Imam Al-Daruquthni mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib, karena tidak
diriwayatkan kecuali melalui jalur Abu Ishaq, padahal dia seorang rawi yang masih
diperselisihkan oleh para ulama mengenai riwayat nya sampai terdapat sepuluh pendapat.
Diantaranya dengan jalan mursal, jalan maushul, menjadikannya musnad dari Sa’ad, Abu
Bakar, dan Aisyah. Padahal mereka adalah rawi-rawi yang terpercaya yang tidak mungkin
mengkompromikan antara mereka, menguatkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.22

F. Hadits Mushahhaf Dan Muharraf


Istilah “tashiif (mushahhaf)” dimaksudkan sebagai tinjauan kesalahan dari segi huruf
terbatas pada sisi fonim, yaitu huruf-huruf yang bertitik, kemudian istilah “tahrif (muharraf)”
dimaksudkan sebagai tinjauan kesalahan dari segi perubahan syakal atau harakat. 23
Menurut muhadditsin:
َ َ‫الحديث ِمن‬
‫اله ْيَئ ِة المتعارفة إلى غيرها‬ ِ ‫الت ْص ِح ْي َف تحويل الكلمة في‬
ّ

Tashhif adalah mengubah suatu kata dalam hadis dari bentuk yang telah dikenal
kepada bentuk lain.
20 Lihatlah kisah secara terperinci dalam Tarikh Al-Baghdad, 2/20
21 Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), hal. 100.
22 Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, hal. 124.
23 Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, hal. 124-125
Ditinjau dari tempatnya, tashif dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Tashhif dalam sanad, seperti nama Jawab Al-Taimi yang dibaca oleh Habib,
sekretaris pribadi Mali dengan Jirab. Kata Abu Hurah dibaca oleh sebagian ulama
dengan Abu Jarrah.
2. Tashhif dalam matan, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Luhai'ah
dari kitab Musa bin Uqbah yang dikirim kepadanya dengan sanad dari Zaid Bin
Tsabit.24
Sedangkan ditinjau dari panca indra yang menimbulkannya, tashhif dapat dibagi
menjadi dua macam:
1. Tashhif karena mata (salah lihat).
2. Tashhif karena salah dengar, seperti dalam hadis yang diriwayatkan dari Ashim al-
Ahwal. Sebagian periwayatnya men-tashhif-nya menjadi Washil al-Ahdab. Perkara
ini menurut al-Daraquthni termasuk tashhif karena salah dengar, bukan karena salah
lihat. Mengingat dalam tulisan kedua nama itu sangat berbeda tetapi dalam
pengucapan berdekatan.25
Al Hafiz Ibnu Hajar membagi hadis yang mengalami tashhif dengan tinjauan keempat
menjadi dua macam: Yaitu hadits mushahhaf, yaitu hadits yang padanya terjadi perubahan
titik dan tanda baca lainnya. Dan hadits muharraf, yaitu hadis yang padanya terjadi
perubahan syakal, sedangkan hurufnya masih sama.26

G. Hadits Syadzdz
Al-Syadzdz (seorang yang janggal) menurut bahasa adalah seseorang yang
memisahkan diri dari jama’ah.
Menurut istilah muhadditsin, hadis syadzdz adalah:

،‫اد‬ َّ ‫ والمحف وظ ُم َق ِاب ُل‬.‫اد ِة ِح ْفظ‬


ِ ‫الش‬ َ ‫الشاذ ما رواه المقبول ُم َخا ِل ًفا ِم ْن َه َوا َولَى ِم ْن ُه ِل َك ْث َر ِة َع َد ٍد لَ ْو‬
َ ‫زي‬

.‫الث َق ُة ُم َخا ِل ًفا ِل َم ْن ُه َو ُدو َن ُه ِفي ال َقبول‬


َّ ‫َو ُه َو َما رواه‬

Hadits syadzdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul yang
menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak
ataupun lebih tinggi daya hafalnya. Sedangkan hadits mahfuzh adalah kebalikan hadits

24 Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, hal. 126


25 Nuruddin 'Itr, 'Ulumul Hadits, hal. 480
26 Nuruddin 'Itr, 'Ulumul Hadits, hal. 481
syadzdz, yakni hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqat yang menyalahi riwayat
orang yang lebih rendah daripadanya.
Hadits syadzdz, sesuai dengan tempat terjadinya kejanggalan itu, dapat dibagi menjadi
dua, yaitu syadzdz dalam sanad dan syadzdz dalam matan, contohnya ialah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Daruquthni dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬kadang-kadang
mengqashar shalat dalam perjalanan dan kadang-kadang melaksanakannya dengan sempurna,
kadang-kadang berbuka puasa dan kadang-kadang berpuasa.
Hadits ini para rawinya tsiqat dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Daraquthni. Akan
tetapi hadis ini janggal dalam sanad dan matannya. Kejanggalan dalam sanadnya adalah
karena riwayat ini menyalahi riwayat yang disepakati oleh para rawi yang tsiqat dari ‘Aisyah,
bahwa kandungan riwayat itu merupakan tindakan ‘Aisyah sendiri, tidak marfu’ kepada
Rasulullah ‫ﷺ‬.
Adapun kejanggalannya dalam matan adalah bahwa tindakan Nabi yang sahih,
menurut mereka, adalah beliau senantiasa melaksanakan shalat qashar dalam perjalanan. Oleh
karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Bulughul Maram "Yang mahfuzh adalah
bahwa tindakan itu adalah tindakan A'isyah, yakni riwayatnya itu mauquf pada A'isyah, tidak
marfu’."
Hukum hadits syadzdz itu harus ditolak, tidak boleh diterima. karena meskipun
rawinya itu tsiqat tetapi ketika riwayatnya menyalahi riwayat orang yang lebih kuat
daripadanya, maka dapatlah kita pastikan bahwa ia tidak dhabith.
Jenis hadis ini sangat rumit, karena banyak sekali menyerupai ziyadah al-tsiqat dalam
matan atau sanad, dan karenanya membutuhkan pengkajian lebih lanjut dengan lebih cermat
untuk membedakannya. Al-Hakim dan al-Khalili punya pendapat lain tentang definisi hadis
syadzdz. Al-Hakim berkata, “Hadits syadzdz itu bukan hadits maʼlul (bercacat), karena hadits
maʼlul itu adalah hadits yang cacatnya berupa penyisipan suatu hadis dalam hadis yang lain,
atau salah seorang rawinya dicurigai negatif, atau di-irsal-kan oleh seorang rawi dan, di-
washal-kan oleh rawi lain yang dicurigai negatif."
Jadi hadits syadzdz menurut al-Hakim adalah:

‫الث َقات َولَي َس ل ْل ُم َحد َأ‬


ِ ‫يث َص ُل َم َت ِاب ُع ِل َذ ِل َك‬
‫الث َق ِة‬ ِ ِ ِ ُ ‫اذ ُه َو َح ِد‬
ْ ِ َّ َ‫يث َي َت َف ِّر ُد ِب ِه ِث َق ٌة ِمن‬ ُ ‫الش‬
َّ

Hadits syadzdz adalah hadis yang hanya diriwayatkan salah seorang rawi yang tsiqat
dan hadits tersebut tidak memiliki sumber yang menjadi tabi' bagi rawi yang tsiqat tersebut.
Al-Khalili menjelaskan dalam kitabnya, al-Irsyad. “Pendapat yang dipegangi oleh
para penghafal hadis adalah bahwa hadits syadzdz adalah hadis yang hanya memiliki satu
sanad yang dengannya seorang guru menyendiri, baik ia tsiqat maupun tidak tsiqat. Hadis
syadzdz yang rawinya tidak tsiqat harus ditinggalkan, tidak boleh diterima. Dan hadis
syadzdz yang rawinya tsiqat harus dibekukan, tidak boleh dipakai hujah."
Ibnu al-Shalah mengkritik pendapat ini karena menurut pendapat ini hadits syadzdz
itu mencakup pula hadits-hadits gharib dan hadits-hadits fardu yang shahih, seperti yang
telah kami sebutkan beberapa contohnya pada pembahasan hadits gharib dan para ulama pun
telah sepakat untuk menilai sahih terhadap sejumlah besar hadis gharib dan hadits fard.
Jelasnya dikatakan Ibnu al-Shalah sebagaimana ketentuan yang disampaikan oleh al-Hakim
dan al-Khalili itu tidaklah mutlak.
Dengan demikian, tetaplah bahwa pendapat yang paling pantas sehubungan dengan
definisi hadits syadzdz adalah definisi yang dikemukakan oleh al-Syafi'i r.a.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

“Hai orang-orang yang beriman apabila datang kepadamu orang fasik yang
membawa suatu kabar, maka carilah kejelasannya supaya kamu sekalian tidak dibodohi,
sehingga kamu menyesali perbuatan kamu.” QS. Al-Hujuraat(49): 6.

Dhaif menurut bahasa adalah lemah, maksudnya adalah hadits yang lemah.
Sedangkan menurut istilah, Hadits dhaif adalah hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat
hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan.
Syarat/kriteria hadits dhaif diantaranya : Sanadnya tidak bersambung,kurang adilnya
perawi, kurangnya dhabith perawi, ada syadz atau masih menyelisih dengan hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya, dan ada illat atau
ada penyebab samar dan tersembunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shahih
meski secara zahir terlihat bebas dari cacat.
Macam-macam hadits-hadits dhaif yang bukan disebabkan tidak adanya
persambungan sanad:
1. Hadits Munkar,
2. Hadits Mu’allal,
3. Hadits Mudraj,
4. Hadits Maqlub,
5. Hadits Mudhtharib,
6. Hadits Mushahhaf,
7. Hadits Muharraf, dan
8. Hadits Syadzdz.

B. Saran
Demikianlah makalah kami dapat kami selesaikan. Kami berharap agar makalah yang
kami susun ini menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan
mengenai studi al-hadits khususnya tentang materi ini.

Namun dalam penyusunan ini, kami sadar terdapat banyak kekurangan, karena kami
pun masih dalam tahap belajar, dan menyusun. Maka dari itu, kami membutuhkan kritik dan
saran yang konstruktif dari para pembaca dan pembimbing.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Alawi Al-Malik, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Achmad Faiz Abian IBF, dkk, Mutiara Ilmu Hadits (Banten: Maktabah AS-Sunnah, 2022)
Dr. Nuruddin ’Itr, ‘Ulumul Hadits (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017)
Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, (Ummul Qura, Jakarta Timur, 2017)
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2011)
Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008)

Anda mungkin juga menyukai