Anda di halaman 1dari 3

Kehormatan Lembaga Publik Negara

(Catatan buat Para Calon Wakil Rakyat)


Drs. Rudy Tonubessi, S.H., M.Hum., M.Si.

Advokat Magang pada “Freedom Y. Radjah, SH and Partners”

Tidak jarang terjadi keluhan terhadap kinerja para anggota DPRD kita. Berbagai tingkah-
laku baik terang-terangan, bahkan juga “terbungkus rapi” dalam menikmati berbagai keuntungan
dan kenikmatan sendiri dan kelompok politiknya, telah menodai hakikatnya sebagai pengemban
aspirasi rakyat. Sebagai Rakyat Indonesia yang berdomisili di Kota Kupang merasa prihatin
karena para Anggota DPRD yang sering disapa “Anggota Dewan yang Terhormat” justru
mengingkari dan tidak menghormati komitmennya terhadap Rakyat–pemilik kedaulatan dalam
Negara ini, salah satu bentuknya adalah kebiasaan untuk tidak menghadiri persidangan-
persidangan DPRD yang membahas nasib rakyat agar bisa hidup lebih baik, tanpa ada alasan
substantif dan terhormat.

DPRD sebagai Lembaga Publik Negara


Secara sederhana, publik dimaknai sebagai rakyat umum. Dalam buku The Spirit of Public
Administration yang ditulis H. George Frederickson, Konsep Publik dimaknai dari lima
perspektif, yakni Publik sebagai: (i) kelompok kepentingan; (ii) pemilih rasional; (iii) perwakilan
kepentingan masyarakat; (iv) konsumen; dan (v) warga negara. Kesemua perspektif tersebut
memaknai publik sebagai yang berkenaan dengan masyarakat (warga negara). Pemaknaan
konsep publik tersebut dirujuk untuk membuat batasan pengertian Lembaga Publik, yakni
sebagai lembaga yang berkaitan dengan masyarakat, dan bertujuan menghasilkan pelayanan
kepada masyarakat tanpa membedakan status dan latar belakang sosialnya.
Lembaga Publik Negara dipersamakan maknanya dengan Badan Publik Negara
sebagaimana terbaca dalam Ketentuan Pasal 1 angka 3 PP Nomor 61 Tahun 2010. Badan Publik
Negara adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN dan/atau APBD.

Dipublikasi lewat SKH TIMOR EXPRESS; Selasa, 06 Mei 2014; halaman 4


Batasan pengertian secara normatif ini menempatkan DPRD sebagai salah satu lembaga
publik negara. Predikat sebagai Lembaga Publik Negara memosisikan DPRD sebagai salah satu
lembaga pemerintahan daerah dengan otoritas menjalankan fungsi negara (pemerintah) melalui
berbagai produk kebijakan yang dihasilkan untuk melayani warga negara ke arah tercapainya
kesejahteraan bersama. Melalui pelaksanaan fungsi anggaran, legislasi, dan kontrol, DPRD
memainkan peran penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena semua produk
yang dihasilkan akan berdampak luas pada kehidupan warganya. Jika produk yang dilahirkan
DPRD baik, diyakini berdampak baik bagi warganya, tetapi jika produk tersebut buruk menjadi
sebuah keniscayaan merusak kualitas hidup warganya. Dengan kata lain–dalam konteks hidup
bernegara, nasib warga negara secara umum di daerah bergantung pada kualitas produk
kebijakan lembaga DPRD.
Melalui fungsi anggaran, DPRD dan Kepala Daerah diberi wewenang untuk membahas
hingga melahirkan persetujuan bersama suatu Rancangan APBD untuk ditetapkan menjadi
APBD yang memuat rincian alokasi dan distribusi anggaran daerah dalam rangka mendukung
tugas-tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan di daerah.
Fungsi legislasi memberi wewenang kepada DPRD untuk membentuk Peraturan Daerah
bersama Kepala Daerah. Produk berupa Peraturan Daerah ini menjadi landasan pijak berbagai
tindakan pemerintahan dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan di daerah, termasuk pula memberi beban kepada
rakyat berupa pajak dan retribusi daerah.
Fungsi kontrol DPRD menempatkan DPRD dalam hubungan kekuasaan secara vertikal di
atas Kepala Daerah. Melalui fungsi kontrol, DPRD memiliki wewenang menilai dan memberi
catatan kritis terhadap kinerja Kepala Daerah melalui Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Kepala Daerah setiap akhir tahun anggaran dan Keterangan Pertanggungjawaban lima tahun di
akhir masa jabatan Kepala Daerah.
Sebagai lembaga publik negara, lembaga DPRD dilindungi pula oleh Perudang-undangan
dari tindakan berupa contempt of parliament. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 207 memuat sanksi pidana kepada barangsiapa yang menghina suatu badan kekuasaan
umum, termasuk lembaga DPRD. Makna dibalik ketentuan Pasal 207 KUHP ini hendak
menyatakan kepada umum bahwa lembaga DPRD harus dihormati, dan dijaga martabat
kelembagaannya oleh karena fungsi-fungsi yang diperankan lembaga DPRD merupakan fungsi
negara di bidang kekuasaan legislatif dalam rangka melayani warga negara di daerah
bersangkutan tanpa ada diskriminasi.
Tuntutan untuk menghormati dan menjaga martabat lembaga DPRD, diikuti pula tuntutan
untuk menghormati dan menjaga martabat para Anggota DPRD. Beberapa wujud penghormatan
kepada para Anggota DPRD, misalnya: (i) mereka disapa dengan “Anggota Dewan yang
Terhormat”; (ii) pakaian dinas mereka berupa safari untuk membedakan dengan orang biasa,
dibiayai oleh APBD; (iii) mereka diberi mobil operasional dan bahan bakar minyak yang
dibebankan kepada APBD; (iv) mereka memperoleh gaji dan tunjangan dengan besaran amat
jauh di atas UMR; (v) jalan-jalan ke luar daerah bahkan bisa juga ke luar negeri dengan sebutan
“studi banding” yang dibiayai oleh APBD; (vi) karena begitu dihormati, membuat pihak
Dipublikasi lewat SKH TIMOR EXPRESS; Selasa, 06 Mei 2014; halaman 4
eksekutif tidak berdaya walau dimarah-marah oleh para Anggota DPRD; (vii) bersidang di dalam
ruangan ber-ac dan duduk di atas kursi empuk, hingga makan siang yang dibiayai dari APBD;
(viii) di setiap acara resmi, para anggota DPRD selalu disambut dan diberi tempat duduk pada
jajaran orang-orang yang dihormati; (ix) tidak jarang pula dalam mengakses pelayanan publik,
misalnya pengurusan IMB, KTP, dan perijinan lainnya, para Anggota DPRD selalu mendapat
prioritas pelayanan. Potret seperti inilah yang nampak sebagai wujud penghormatan Rakyat
kepada Wakil Rakyat yang duduk di lembaga DPRD.
Semua penghormatan tersebut diberikan dengan tulus agar para Anggota DPRD dapat
bekerja secara optimal memperjuangkan perbaikan kesejahteraan rakyat seluruhnya.
Pertanyaannya: apakah pengutamaan penghormatan yang diberikan kepada para Anggota DPRD
berbanding lurus dengan kinerja mereka dalam memainkan peran menjalankan fungsi-fungsi
lembaga DPRD yang memungkinkan tingkat kesejahteraan warganya terukur secara kuantitatif
maupun kualitatif ke arah yang lebih baik?
Ketidakhadiran Anggota DPRD berulang-kali dalam sidang DPRD merupakan penghiatan
terhadap Kehormatan Lembaga DPRD sebagai Lembaga Publik Negara terlebih kepada Rakyat–
sang Pemilik Kedaulatan Negara. Pernyataan tersebut pantas dilontarkan oleh karena produk
kebijakan publik yang harus dilahirkan Lembaga DPRD, memerlukan proses pengambilan
keputusan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah–secara institusional dan bukan perorangan,
di mana pengambilan keputusan tersebut diambil dalam rapat paripurna yang memenuhi quorum.
Jika para anggota DPRD apatis terhadap perannya sebagai wakil rakyat, tidak heran jika muncul
“gelar” berupa plesetan yang dilekatkan pada Anggota DPRD, yakni 7D: Datang Dari Deker
Duduk Dengar Diam, dan pasti dapat Duit. Semoga “gelar” ini tidak dilekatkan pada
Anggota DPRD kita…

Dipublikasi lewat SKH TIMOR EXPRESS; Selasa, 06 Mei 2014; halaman 4

Anda mungkin juga menyukai