Anda di halaman 1dari 9

Soal no 3

Praktik pemerintahan lokal otonom dimulai setelah diudangkan Undang-undang

Desentralisasi 1903. Pada saat ini pemerintah lokal otonom diselenggarakan oleh dewan

lokal/daerah (locale raaden). Dewan Daerah (Raad) membentuk Dewan Pemerintah Daerah

(College) untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari. Pada tingkat provinsi, College

dipimpin oleh gubernur sebagai wakil pemerintah dan pada tingkat kabupaten/kotapraja dipimpin

oleh bupati/walikota sebagai wakil pemerintah.

Ketika kita merdeka, dikeluarkan UU No. 22/1948. Dalam UU ini penyelenggaraan

pemerintahan daerah juga sama dengan zaman sebelum merdeka. Pemerintah Daerah

diselenggarakan oleh Raad atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Raad membentuk

College atau Dewan Pemerintah Daerah (DPD). DPD dipimpin oleh gubernur sebagai wakil

pemerintah untuk tingkat provinsi dan oleh bupati/walikotapraja sebagai wakil pemerintah untuk

tingkat kabupaten/kota.

Pada tahun 1949 NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam sistem

RIS pemerintah daerah diatur oleh negara bagian. Akan tetapi, RIS tidak berumur panjang. Pada

17 Agustus 1950 RIS berubah lagi menjadi NKRI. Setelah menjadi NKRI lagi, pemerintah

daerah diatur lagi oleh pemerintah pusat. Pada 1957 dikeluarkan UU No. 1/1957 berdasarkan

UUD Sementara 1950. UU ini masih mengatur bahwa pemerintah daerah diselenggarakan oleh

DPRD (Raad). DPRD (Raad) membentuk Dewan Pemerintah Daerah/DPD (College) untuk

melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari.

Pada 1959 UUS 1950 diganti dengan UUD 1945 lagi. Di bawah UUD 1945 hasil Dekrit

Presiden diundangkan UU No. 18/1965 dan UU No. 19/1965. Nah, mulai saat inilah pemerintah

daerah tidak diselenggarakan oleh Dewan Daerah (Raad atau Council) tapi oleh kepala daerah
(KD) dan DPRD. Model ini diikuti oleh semua undang-undang berikutnya: UU No. 5/1974, UU

No. 22/1999. UU No. 32/2004, dan UU No. 23/2014.

Kalau di AS pemerintah lokal/daerah diselenggarakan dengan empat model. Pertama,

diselenggarakan dengan model council - strong mayor. Council yang merupakan perwakilan dari

komunitas hukum (rechtgemeenschap) yang bersangkutan membuat kebijakan. Pengisiannya

melalui pemilihan oleh anggota komunitas. Dalam model council - strong mayor, mayor dipilih

oleh anggota komunitas juga. Di sini mayor diberi wewenang penuh oleh council untuk

menyelenggarakan kebijakannya. Pemberian wewenang penuh kepada mayor inilah membuat

kedudukan mayor sangat kuat. Oleh karena itu disebut strong mayor. Kedua, diselenggarakan

dengan model council – weak mayor. Model ini mirip dengan model pertama yaitu pemerintah

lokal diselenggarakan oleh council dan mayor. Hanya di sini mayor tidak dipilih oleh anggota

komunitas tapi diangkat dari anggota council (councillor). Di sini mayor tidak mempunyai

kekuasaan penuh karena hanya sebagai simbol saja. Kegiatan utamanya hanya seremonial saja.

Oleh karena itu, model ini disebut council – weak mayor. Ketiga, diselenggarakan oleh council –

manager. Model ini dikenal dengan council-manager karena council mengangkat manajer

profesional berdasarkan kontrak untuk melaksanakan kebijakan yang dibuatnya. Jadi, pemerintah

lokal tidak mempunyai mayor. Keempat, diselenggarakan oleh Komisi. Komsi ini dipilih oleh

anggota komunitas. Jadi, seperti council. Hanya jumlahnya tidak banyak, yaitu 5 sampai 7

anggota saja. Komisi ini lalu membuat kebijakan kemudian dilaksanakan oleh mereka sendiri

dengan cara setiap anggota Komisi memegang sektor tertentu. Komisi bertanggung jawab

langsung kepada pemilih.

Di negara lain misalnya di Inggris, Jerman, Belanda, dan Prancis penyelenggara

pemerintah lokal/daerah juga council, bukan mayor (KD). Hal ini terkait dengan konstruk
pemerintah daerah itu sendiri. Pemerintah daerah bukan pemerintah nasional dalam ukuran mini

di daerah tapi pemerintahan komunitas hukum (rechtsgemeenschap). Karena pemerintahan

rechtsgemeenschap maka penyelenggaranya ya wakil-wakil dari rechtsgemeenschap itu sendiri.

Wakil-wakil dari rechtsgemeenschap ini duduk dalam council. Council ini bukan DPR dalam

ukuran mini tapi dewan yang dipercaya oleh rechtsgemeenschap untuk mengatur dan mengurus

urusan rtumah tangganya.

Jadi, pada hampir semua negara, kecuali Indonesia peran council dan anggotanya

(councilors) sangat menonjol. Alfred de Gracia (dalam Sanit, 1985) menjelaskan bahwa pola

hubungan antara anggota badan legislatif dengan masyarakat mempunyai 4 tipe:

1) Sebagai wali (trustee);

2) Sebagai utusan (delegate);

3) Sebagai politico; dan

4) Sebagai partisan.

Tipe wali (trustee). Councilors cenderung bertindak bebas atas nama kepentingan mereka

sendiri. Oleh karena itu, pada tipe wali dalam proses memutuskan kebijaksanaan

memperkenankan Councilors untuk mempergunakan pertimbangan sendiri dalam memberikan

persetujuan terhadap pilihan-pilihan yang ada.

Tipe utusan atau delegasi, mengharuskan councilors mengadakan konsultasi secara

kontinu kepada pihak yang diwakilinya. Dalam tipe ini, wakil bertindak sebagai penyalur dari

tuntutan atau kehendak pihak yang diwakili. Dengan kata lain, orientasi councilors ialah kepada

anggota masyarakat yang diwakili.

Tipe politico merupakan gabungan dari tipe wali dan tipe utusan. Orientasi councilors

disesuaikan kepada isu atau masalah yang dihadapi. Sekiranya isu tersebut langsung menyangkut
kepentingan pihak yang diwakili, maka councilors bertindak selaku utusan. Sebaliknya jika isu

langsung menyangkut kepentingan diri sendiri maka councilors bertindak sebagai wali.

Sedangkan pada tipe partisan, wakil cenderung berorientasi kepada organisasi politik yang

menggerakkan dukungannya.

Tipe partisan, councilors (anggota DPRD) lebih mencerminkan kepentingan partainya

ketimbang kepentingan masyarakat.

Diskusikan!

1. Mana yang lebih memihak kepada kepentingan rakyat antara model council (DPRD)

sebagai penyelenggara pemerintahan daerah dengan model mayor (KD) dan council

(DPRD) sebagai penyelenggara pemerintahan daerah?

2. Termasuk tipe manakah kinerja councilors (anggota DPRD) kita saat ini? Berikan alasan

ilmiah!

3. Melalui saluran apa rakyat yang diwakili bisa ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan

daerah? Jelaskan prosedur dan mekanismenya!

4. Pengisian KD (mayor) di Indonesia baik di provinsi maupun di kabupaten/kota semuanya

dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana pengisian presiden. Padahal di AS dan negara

lain tidak semuanya dipilih langsung. Ada yang dipilih langsung, ada yang dipilih oleh

council (DPRD), dan ada yang tidak mempunyai KD. Untuk pemerintah lokal yang tidak

mempunyai KD, council (DPRD) mengangkat manajer profesional. Jadi, di negara kita

pengisian KD mirip pengisian kepala negara bagan (state) di semua negara

federasi/serikat. Tampaknya penyusun undang-undang tentang pemerintahan daerah di

Indonesia menyamakan pemerintah daerah dengan negara bagian pada negara serikat.

Berikan pemikiran kritis atas fenomena ini!


5. Berikan saran kepada DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki sistem pemerintahan

daerah ke depan agar sesuai dengan konsep dan teori local government!

Selamat Berdiskusi!

Untuk memperluas wawasan Anda tentang pemerintahan daerah bacalah rujukan di bawah ini!

1. Nurcholis, Hanif (2007). Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta:

Gramedia W.

2. Nurcholis, Hanif. (2019). Administrasi Pemerintahan Daerah, Tangerang Selatan: Pusat

Penerbit Universitas Terbuka

3. Norton, Alan. (1994). International handbook of local and regional government. UK:

Edward Elgar.

4. https://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Senate

Jawaban

1.

Yang lebih memihak kepada kepentingan rakyat adalah model mayor (KD) dan council (DPRD)

sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.

2.

Kinerja councilors (anggota DPRD) kita saat ini termasuk ke dalam Tipe partisan karena

kinerjanya lebih mencerminkan kepentingan partainya ketimbang kepentingan masyarakat.

Berdasarkan teori Abcarian jika dikontekskan dengan fenomena hubungan antatra wakil rakyat

dengan partai politiknya di Indonesia, terlihat bahwa hubungannya adalah "partisan" karena
wakil rakyat bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari organisasi sosial politik yang

mengusungnya. Setelah wakil dipilih oleh pemilihnya maka lepaslah hubungannya dengan

pemilihnya. Mulailah hubungan terjalin dengan partai politik yang mencalonkannya dalam

pemilihan tersebut. Hubungan partisan tersebut akan menjadi belenggu bagi wakil rakyat yang

benar-benar ingin menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya manakalah hal itu

berseberangan dengan kebijakan partai politiknya. Dalam posisi yang demikian seolah terjadi

"gap" antara wakil rakyat dengan rakyat yang pemilihnya.

3.

Kekuatan hukum yang menjamin keterlibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan publik adalah

dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”).

Pasal 96 UU 12/2011 mengatur mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan:

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan melalui:

a. rapat dengar pendapat umum;

b. kunjungan kerja;

c. sosialisasi; dan/atau

d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.


(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau

kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan

Perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau

tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-

undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Sebagaimana yang kami kutip dari Pengkajian Hukum tentang Partisipasi Masyarakat

dalam Penentuan Arah Kebijakan Prioritas Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, oleh

Tim Pengkajian Hukum Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan

Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (hal. 76)

yang mengutip pendapat Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera dalam Jurnal Ilmu

Hukum Amanna Gappa yang berjudul Hubungan Kewenangan Pemerintah Daerah dengan

Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Dalam Pelaksanaan

Otonomi Daerah, bahwa di antara model partisipasi yang dapat dilakukan dalam pembentukan

peraturan antara lain:

a. Mengikutsertakan anggota masyarakat yang dianggap ahli dan independen dalam team

atau kelompok kerja dalam penyusunan peraturan perundang-undangan;

b. Melakukan public hearing melalui seminar, lokakarya atau mengundang pihakpihak yang

berkepentingan dalam rapat-rapat penyusunan peraturan perundang-undangan,

musyawarah rencana pembangunan;

c. Melakukan uji sahih terhadap peraturan daerah;

d. Melakukan jejak pendapat, kontak public melalui media massa;


e. Melalui lembaga pemberdayaan masyarakat kelurahan (LPMK) atau membentuk forum

warga.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan melalui rapat dengar

pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Memang benar bahwa aspirasi masyarakat dapat disampaikan melalui kegiatan sosialiasi

pembentukan perda. Perlu diketahui bahwa proses pembentukan Perda terbagi menjadi 4 (empat)

bagian, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan dan penetapan, dan pengundangan.

Namun , dalam Pasal 96 UU 12/2011 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat,

tidak disebutkan secara eksplisit bagaimana masyarakat dapat menyampaikan masukan. Tetapi

jika kita cermati lagi, aspirasi masyarakat dapat ditampung sejak tahap perencanaan dalam

penyusunan Prolegda Provinsi.

4.

Penyusunan undang-undang tentang pemerintahan daerah di Indonesia tidak menyamakan

pemerintah daerah dengan negara bagian pada negara serikat. Pengisian KD (mayor) di

Indonesia baik di provinsi maupun di kabupaten/kota semuanya dipilih langsung oleh rakyat

sebagaimana pengisian presiden merupakan perwujudan daripada hak konstitusional warga

negara dalam hal berbangsa dan bernegara, dan perwujudan kewajiban konstitusional dalam hal

kewajiban mematuhi dan menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan

kesepakatan bersama yang tertuang dalam konstitusi. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negeri

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (1), (2), dan (5). Dapat dilihat bahwa Pemilihan

Umum kurang-lebihnya memenuhi amanat yang dirumuskan secara tegas dalam Pasal tersebut.
Hal ini memberikan suatu kejelasan perihal bagaimana demokrasi dalam Pemilihan Umum

berlangsung.

5.

Saran kepada DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki sistem pemerintahan daerah ke

depan, yaitu:

a. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia khususnya aparatur pemerintah masih

perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah secara terus

menerus.

b. Memperbaiki kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan dalam

rangka mewujudkan pelayanan publik sesuai harapan masyarakat, karena pelayanan

publik merupakan fungsi utama pemerintah yang akan diberikan kepada publik. Oleh

sebab itu penyelenggaraan pelayanan publik akan terwujud apabila prinsip dari Good

Governance diterapkan. Salah satu ciri dari tata kelola pemerintahan yang baik (Good

Governance) adalah pada kualitas pelayanan. Oleh sebab itu pemanfaatan perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi merupakan upaya yang dilakukan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

https://www.bphn.go.id/data/documents/lap.akhir_pengkajian_hukum_prioritas_perundang-
undangan.pdf (Diakses 7 April 2021)

Anda mungkin juga menyukai