Anda di halaman 1dari 7

Bagaimanakah Jenis Perwakilan yang dipraktikan di Indonesia dan Jelaskan

hubungan keseimbangan antar kamar yang ada ?

- JENIS PERWAKILAN DI INDONESIA

Dalam konsep demokrasi perwakilan (indirect democracy) ini warga dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok yang mewakili disebut wakil dan kelompok yang
diwakili disebut sebagai terwakil. Para wakil merupakan kelompok orang yang
mempunyai kemampuan/kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama
terwakil yang jumlahnya lebih besar.

Ada beberapa istilah yang biasa digunakan dalam menyebut lembaga perwakilan,
antara lain legislature, assembly, dan parliament. Istilah lembaga legislatif atau
legislature mencerminkan salah satu fungsi utama dari lembaga tersebut, yaitu
pembuatan undang-undang (legislasi), sedangkan istilah assembly menunjuk pada
pengertian bahwa lembaga tersebut merupakan wadah berkumpul untuk
membicarakan masalah-masalah publik. Istilah parliament mempunyai pengertian
yang hampir sama dengan istilah assembly. Dengan asal kata parler, yang berarti
bicara, parlemen dianggap sebagai tempat bicara atau merundingkan masalah-
masalah kenegaraan. (Budiardjo, 2008: 315) istilah-istilah tersebut menunjuk pada
sejarah perkembangan lembaga perwakilan di dunia, di mana istilah legislature
biasa digunakan di AS, sementara istilah parliament atau assembly lebih banyak
digunakan di negara-negara Eropa atau non-AS.

Lembaga-lembaga Negara merupakan pembagian tugas-tugas kepada pemerintah


yang berkuasa, dimana yang memrintah tidak hanya satu dua orang tetapi terdiri
dari beberapa lembaga, organisasi dan sebagainya. Pada pemerintahan pusat
terbagi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang memiliki tugas yang
berbeda-beda dan terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas maupun
mengenai alat perlengkapan yang melakukan. Dalam sistem pemerintahan
demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur yang paling penting di
samping unsur-unsur lainnya seperti, sistem pemilihan, persamaan di depan hukum,
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya. Setiap
sistem demokrasi adalah ide bahwa warga negara seharusnya terlibat dalam hal
tertentu dibidang pembuatan keputusan- keputusan politik, baik secara langsung
maupun melalui wakil pilihan mereka di lembaga perwakilan.

Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan


melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan atau pembagian
kekuasaan. Prinsip panutan pemisahaan kekuasaan atau pembagian kekuasaan ini
penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya akan sangat
mempengaruhi mekanisme kelembagaan negara secara keseluruhan, terutama
dalam hubungannya dengan penerapan prinsip ‘check and balances’ antara
lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk fungsi kekuasaan kehakiman dengan
keberadaan lembaga tertinggi negara dan bahkan format serta prosedur
penyusunan peraturan perundang-undangan.

Sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan setelah adanya


amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR pasca-Orde Baru. Perubahan tersebut
dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang
demokratis dan seimbang diantara cabang- cabang kekuasaan, mewujudkan
supremasi hokum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.
Pada lembaga legislatif terdiri dari tiga lembaga yaitu MPR, DPR dan DPD, yang
memiliki tugas dan wewenang yang berbeda-beda.

Eksekutif mempunyai tugas utama yaitu menjalankan undang-undang. Sedangkan


yudikatif memiliki tiga lembaga yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial. MPR merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atau pemegang
kedaulatan rakyat. Pada hukum tata negara terdapat kaidah-kaidah yang
mendelegasi kekuasaan dari pembuat UUD pada pembuat UU, dari organ yang
tertinggi kepada organ yang lebih rendah untuk membuat aturan-aturan yang
berlaku. Jadi, pendelegasi yang termasuk dalam hukum tata negara ini adalah
tingkat tertinggi.
Dengan demikian Lembaga-lembaga ini dibuat untuk memberikan tugas dan
wewenang dan untuk membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh setiap lembaga.
Pembatasan ini untuk mempermudah dan lebih memfokuskan lembaga-lembaga
yang bertanggungjawab pada tugas yang sudah di tetapkan. Setiap lembaga wajib
melakukan tugas yang meereka terima dan melaporkan hasil kerjanya serta adanya
pertanggungjawaban kepada tingkat pusat atau ke yang lebih tinggi. Apabila suatu
lembaga tidak melakukan tugasnya dengan baik, maka diberikan sanksi sampai
diberhentikan.

Di Indonesia, terdapat dua jenis perwakilan yang dipraktikkan, yaitu perwakilan


proporsional dan perwakilan distrik.
1. Perwakilan Proporsional: Sistem perwakilan proporsional digunakan dalam
pemilihan umum di Indonesia. Dalam sistem ini, partai politik memperoleh kursi
berdasarkan persentase suara yang mereka dapatkan dalam pemilihan. Semakin
banyak suara yang diperoleh, semakin banyak kursi yang akan didapatkan oleh
partai politik tersebut. Contoh dari perwakilan proporsional adalah pemilihan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
2. Perwakilan Distrik: Sistem perwakilan distrik digunakan dalam pemilihan
kepala daerah seperti pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Dalam sistem ini,
wilayah pemilihan dibagi menjadi distrik atau daerah pemilihan, dan setiap distrik
akan memilih satu perwakilan. Contoh dari perwakilan distrik adalah pemilihan
kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Sistem parlemen bicameral merupakan suatu sistem parlemen yang terdiri dari dua
kamar dimana dalam sistem parlemen bicameral dikenal adanya kamar pertama dan
kamar kedua.
Kamar pertama (first chamber) biasanya disebut sebagai Majelis Rendah (lower
house) atau house representative/house of common biasa juga disebut sebagai
lembaga DPR. Kemudian kamar kedua (second chamber) disebut sebagai majelis
tinggi (upper house) atau house of lord yang biasa disebut dengan senat atau DPD.
Kedua kamar di atas merupakan lembaga parlemen yang berasal dari keterwakilan
yang berbeda dimana majelis rendah (lower house) merupakan perwakilan dari
unsur partai politik sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat. Sedangkan
Majelis Tinggi (upper house) pada umumnya merupakan lembaga perwakilan yang
mewakili kepentingan daerah yang sifatnya kewilayahan.
Sistem parlemen dengan model parlemen bicameral dapat di bagi dalam tiga
kelompok bagian diantaranya, strong bicameralism, soft bicameralism dan weak
bicameralism. Ketiga model tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda dan untuk
mengetahui apakah parlemen tersebut merupakan strong bicameralism, soft
bicameralism atau weak bicameralism dapat diketahui melalui pengaturan sistem
parlemen dalam konstitusi setiap negara .

Secara umum sistem perwakilan bikameral dibedakan menjadi 3 (tiga) pola, yaitu:
1. RUU dalam sebagian atau seluruh bidang pemerintahan memerlukan
pembahasan dan persetujuan dua lembaga legislatif.
2. Terdapat pembagian tugas di antara dua lembaga legislatif, yang berarti RUU
dalam bidang tertentu hanya perlu dibahas dan disetujui satu lembaga legislatif.
3. Semua RUU hanya memerlukan pembahasan dan persetujuan dari satu
lembaga legislatif (biasanya DPR atau House of Representatives), sedangkan
lembaga legislatif lainnya hanya berperan sebagai pemberi pertimbangan.

Dalam arti sempit, sistem perwakilan rakyat hanya dapat dikategorikan sebagai
bikameral bila RUU dalam sebagian atau seluruh bidang pemerintahan harus
mendapat persetujuan dari dua lembaga legislatif. Selebihnya tidak dapat disebut
bikameral, karena untuk dapat diterapkan sebagai undang-undang hanya
memerlukan pembahasan dan persetujuan satu lembaga legislatif sehingga hanya
dapat disebut sistem unikameral saja. Karena itu Indonesia harus mengadopsi
sistem perwakilan rakyat bikameral dengan kewenangan yang sama, yang masing-
masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda, yaitu keterwakilan
penduduk diwadahi oleh DPR dan keterwakilan daerah oleh DPD, tetapi mempunyai
fungsi legislasi yang sama.

- HUBUNGAN KESEIMBANGAN DALAM SISTEM BICAMERAL

Dalam memilih suatu sistem ada kemungkinan ditemukan kekurangan dan


kelebihannya. Namun dalam suatu sistem ketatanegaraan, suatu pilihan sistem
diharapkan dapat memenuhi kepentingan rakyat mereka pada saat itu. Saat ini di
dalam konstitusi Indonesia, yaitu perubahan ke tiga dan ke empat UUD NRI Tahun
1945, ide parlemen Indonesia bersistem bikameral, dengan kamar pertama atau
majelis rendahnya bernama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan kamar ke dua
atau majelis tingginya bernama DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Sistem parlemen
bikameral ini dibentuk dengan tujuan menyuarakan aspirasi rakyat daerah dan
diharapkan dengan dibentuknya sistem ini, kepentingan rakyat daerah dapat
diakomodasikan.

Di Indonesia, terdapat dua kamar parlemen, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua kamar ini memiliki hubungan
keseimbangan yang penting dalam sistem politik Indonesia.
1. DPR
DPR adalah kamar parlemen yang mewakili rakyat secara langsung melalui
pemilihan umum. Anggota DPR dipilih berdasarkan perwakilan proporsional. DPR
memiliki peran dalam pembuatan undang-undang, pengawasan pemerintah, dan
pengambilan keputusan penting. DPR juga memiliki kekuasaan dalam menentukan
anggaran negara.
2. DPD
DPD adalah kamar parlemen yang mewakili daerah-daerah di Indonesia. Anggota
DPD dipilih oleh dewan perwakilan daerah di setiap provinsi. DPD memiliki peran
dalam mengawasi dan memberikan masukan terkait kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan daerah. DPD juga memiliki kekuasaan dalam menentukan
anggaran negara yang berkaitan dengan daerah.
Hubungan keseimbangan antara DPR dan DPD penting untuk menjaga kepentingan
rakyat dan daerah. Kedua kamar ini saling bekerja sama dalam proses pembuatan
undang-undang dan pengambilan keputusan penting. Meskipun DPR memiliki
kekuasaan yang lebih besar dalam pembuatan undang-undang, DPD memiliki peran
penting dalam memberikan perspektif daerah dan mengawasi kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan daerah.

Parlemen bicameral mengandung konsepsi dasar mengenai parlemen yang memiliki


tiga fungsi utama parlemen yaitu legislatif, pengawasan dan anggaran. Keberadaan
dua kamar dalam satu parlemen diciptakan untuk mengakomodasi semangat
checks and balances di parlemen itu sendiri.
Hal ini berimplikasi pada pola hubungan kamar pertama dan kedua dalam
menjalankan fungsi- fungsi tersebut. Terdapat pembagian tugas dan wewenang
dalam menjalankan fungsi serta mekanisme politik untuk menyalurkan kebuntuan
dalam melaksanakan tugasnya masing-masing yang merupakan wujud mekanisme
saling menyeimbangkan. Tujuan untuk memecah kebuntuan dinamika politik dengan
menghadirkan DPD sebagai lembaga penyeimbang senada dengan konsep sistem
bicameral yang digagas awal oleh Amerika.

Praktik di Indonesia terkait hubungan antar-kamar dalam lembaga perwakilan rakyat


tidak mungkin menciptakan dua kamar yang efektif . Sejak awal sebenarnya ada
kesalahan konsep mengenai bikameral sistem. Merujuk pada abstraksi yang
disampaikan oleh Arend Lijphart bahwa ukuran dari bikameral sistem adalah
wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan anggota dan
kemungkinan bahwa kamar kedua kamar terlepas dari pembedaan wewenang
konstitusionalnya mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan wewenang serta akan
bersatu dalam joint session dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Terlebih
dalam fungsi legislasi jika merujuk pada sistem bikameral kalau DPD tidak berhak
mengajukan rancangan undang- undang Majelis tinggi (DPD) berhak untuk
mengubah, mempertimbangkan atau menolak (veto) rancangan undang-undangan
dari majelis rendah. Hal ini juga sekirinya nihil, majelis tinggi juga tidak diberikan hak
menunda pengesahan undang-undang yang telah disetujui majelis rendah.

Pada konteks di Indonesia sebenranya konteks menerapkan bicameral sistem


didasarkan pada tiga tujuan.
Pertama Kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang berkaitan
dengan supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan tidak
efektif.
Kedua kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara struktural.
Ketiga kebutuhan Indonesia saat ini menerapkan sistem check and balances dan
mendorong terjadinya demokratisasi.
Ketiga tujuan ini tidak semuanya terpenuhi karena wewenang DPD yang terbatas.

Berbicara mengenai ideal berdasarkan tiga argumentasi di atas dan bagaimana


rancangan DPD di masa mendatang harus mendapatkan fungsi dan peran utuh
sebagai lembaga perwakilan rakyat sebagaimana halnya DPR dengan begitu DPD
mempunyai wewenang legislasi, pengawasan dan anggaran dengan mekanisme
yang diatur sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik masing-masing dewan dan
untuk mengatasi kebuntuan politik yang mungkin terjadi.

Pengaturan pasal yang terkait dengan wewenang DPD setidaknya harus mengatur
bahwa DPD mempunyai wewenang membahas dan ikut memutuskan mengenai
seluruh RUU yang dibahas di DPR.Namun wewenang untuk mengajukan RUU
hanya terbatas dibidang RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah.
Harus diatur ketentuan yang lebih jelas untuk prosedur pembahasan RUU antara
DPR dan DPD.

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/11450/9605

http://repository.untag-sby.ac.id/337/3/Bab%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai