Anda di halaman 1dari 4

Integritas Publik

Roh yang harus ada dalam diri Pejabat Publik

Oleh: Rudyanto Tonubessi

Alumni PPs MSP UKSW Salatiga;


Rakyat Kota Kupang

Lakon-lakon para wakil rakyat di Kota ini, sudah menjadi tontonan yang tak menarik lagi
bagi siapa saja yang menyadari statusnya sebagai rakyat–pemegang kedaulatan di Negara ini.
Suguhan pemberitaan media massa cetak maupun elektronik dalam kurun waktu hampir setahun
ini, tidak jarang dipublikasikan lakon-lakon mereka. Bagi kami–rakyat yang berdaulat, merasa
prihatin–untuk tidak mengatakan menyesal, karena banyak waktu telah terbuang sia-sia,
sehingga agenda pemerintahan untuk melayani rakyat cenderung terabaikan. Saya tercengang
sesaat ketika membaca SKH Timor Express, salah satu edisinya, Kamis, 3 Nopember 2011,
halaman 10, tertera pernyataan Sdra Tellendmark J. Daud, yakni: Pembahasan yang dilakukan
bersama oleh beberapa anggota DPRD Kota Kupang bersama Ketua DPRD Kota Kupang itu
ujung-ujungnya hanya uang. Entah apa maksud pernyataan itu, namun pertanyaannya, apakah
para wakil rakyat di Kota ini masih memiliki roh Integritas Publik?

Siapakah Wakil Rakyat itu?


Wakil rakyat adalah Pejabat Publik. Mereka adalah orang-orang yang terpilih oleh rakyat
dalam pemilihan umum yang bebas untuk bertindak sesuai kehendak rakyat, menjalankan
pemerintahan dalam bidang kekuasaan legislatif. Kehendak rakyat di sini adalah kehendak rakyat
umum (volunte generale). Mereka adalah orang-orang terpilih yang mewakili rakyat untuk
berjuang meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan bukan hanya untuk kesejahteraan diri sendiri,
keluarga, atau kelompok politiknya. Karena mereka merupakan orang-orang terpilih untuk
Dipublikasi lewat SKH TIMOR EXPRESS; Selasa, 08 Nopember 2011; halaman 4
terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan melayani rakyat, maka mereka adalah Pejabat
Publik, dan kepada mereka dianugerahi predikat sebagai Anggota DPR-Daerah Yang Terhormat,
dan tentunya dengan segenap konsekuensi kenikmatan ikutannya.

Apa Integritas Publik itu?


Integritas Publik merupakan unsur pokok etika publik. Secara etimilogis, pengertian etika
publik mengungkapkan kualitas utama yang diharapkan dari pejabat publik. A. J. Brown dalam
Haryatmoko (2011), menulis, Integritas Publik diamati sebagai tindakan seorang/lembaga
pemegang kekuasaan yang sesuai dengan nilai, tujuan, dan kewajiban yang dipercayakan
kepadanya atau dengan norma jabatan kekuasaan yang dipegangnya. Integritas publik dapat
terukur melalui: (i) visi, perilaku, dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai atau standar etika,
artinya jujur dan sepenuh hati menjalankan pelayanan publik; (ii) bersikap adil dan responsif
terhadap kebutuhan publik; (iii) kompeten untuk menepati janji dan kewajibannya terhadap
tanggungjawab jabatannya demi kepentingan publik karena menghormati hak-hak warga negara.
Patrick J. Dobel (1999) menulis tujuh prinsip integritas publik yang harus dijalankan oleh
setiap pejabat publik, yaitu: (i) pejabat publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
yang melegitimasi kekuasaan pemerintah yang konstitusional dengan menghormati setiap warga
negara sebagai yang memiliki martabat, hak-hak asasi, dan kesetaraan di depan hukum; (ii)
pejabat publik harus menyetujui untuk menomorduakan keputusan pribadi dengan menghargai
hasil dari proses yang sah secara hukum dan sesuai dengan pertimbangan profesional; (iii)
mereka harus akuntabel terhadap semua tindakan baik terhadap atasan maupun publik, serta jujur
dan tepat ketika mempertanggungjawabkannya; (iv) mereka harus bertindak secara kompeten
dan efektif dalam mencapai tujuan dengan batas-batas yang sudah ditetapkan; (v) mereka harus
menghindari favoritisme, berusaha independen dan objektif dengan tetap mendasarkan pada
alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil keputusan; (vi) mereka setuju untuk
menggunakan dana publik secara hati-hati dan efisien untuk tujuan-tujuan yang telah disetujui,
bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya; (vii) mereka harus menjaga kepercayaan
dan legitimasi lembaga-lembaga Negara.

Wakil Rakyat dan Integritas Publik

Dipublikasi lewat SKH TIMOR EXPRESS; Selasa, 08 Nopember 2011; halaman 4


Secara ideal, menjadi Pejabat Publik harus terukur tiga aspek sekaligus, yaitu: Kompetensi,
Konstituensi, dan Integritas. Kompetensi seseorang untuk menjadi pejabat publik harus terukur
dari aspek kemampuan intelektualitas, baik karena pendidikan formal, maupun pengalaman yang
dapat menopang kinerjanya sebagai wakil rakyat. Konstituensi berkaitan dengan dukungan
rakyat yang menjadi tolok-ukur legitimasi politiknya. Sementara, integritas (Fleishman, 1981)
lebih difokuskan pada kejujuran serta kesungguhan untuk melakukan yang benar dan adil dalam
setiap situasi sehingga mempertajam setiap keputusan dan tindakannya. Ketiga kompetensi ini
menjadi modal yang kuat bagi setiap pejabat publik–termasuk wakil rakyat, dalam mengemban
peran sebagai wakil rakyat.
Menjadi wakil rakyat merupakan suatu kehormatan yang patut dibanggakan. Ya, harus
bangga, oleh karena mereka telah memperoleh kekuasaan langsung dari sumbernya, yaitu:
rakyat–pemegang kedaulatan negara. Tidak semua orang memperoleh kesempatan dan
kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat. Tidak sedikit orang berkompetisi menjadi wakil rakyat,
namun hanya orang-orang pilihan saja yang bisa mengungguli kompetisi menjadi wakil rakyat,
terlepas dari penggunaan cara-cara yang tidak fair. Kehormatan, dan kepercayaan rakyat itu
harus tetap dijaga, dan dinampakkan dalam berbagai dimensi pengabdiannya sebagai wakil
rakyat, karena mereka dipandang telah memiliki kompetensi, konstituensi, dan integritas yang
layak menjadi wakil rakyat.
Para anggota DPRD sebagai pejabat publik dituntut memiliki integritas publik.
Kepercayaan yang diperoleh dari rakyat bukan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan bagi
kepentingan diri sendiri dan keluarga, bahkan kelompok politiknya. Kekuasaan yang diperoleh
itu digunakan untuk melayani publik dalam berbagai aspek kebutuhan dan kepentingan publik.
Pelayanan publik tersebut terformulasi melalui produk-produk Program Pembangunan, Peraturan
Daerah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang diarahkan bagi kesejahteraan masyarakat
secara umum. Kualitas produk-produk tersebut, amat bergantung pada efektifitas kinerja DPRD
melalui pelaksanaan wewenang, tugas, dan fungsi lembaga DPRD, serta hak, dan kewajiban
masing-masing anggota DPRD. Kekuasaan untuk menggunakan kewenangan, melaksanakan
tugas, dan fungsi lembaga DPRD, menikmati hak, serta kesediaan untuk melaksanakan
kewajiban sebagai anggota DPRD merupakan konsekuensi dari hakikat anggota DPRD sebagai
pengemban amanat rakyat dalam suatu negara demokrasi, karena Negara ini menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat.

Dipublikasi lewat SKH TIMOR EXPRESS; Selasa, 08 Nopember 2011; halaman 4


Bernard L. Tanya (2011) menulis, demokrasi di Negara ini adalah demokrasi yang
merakyat, demokrasi-nya rakyat secara keseluruhan! Sebuah demokrasi substantif, di mana
seluruh rakyat dan kepentingannya, menjadi poros penyelenggaraan negara. Ia menegaskan
untuk menolak “demokrasi angka” karena yang dipentingkan bukan mayoritas-minoritas, tetapi
keseluruhan rakyat, serta menolak “demokrasi lalat”, karena yang dipentingkan adalah hikmat
dan kebijaksanaan, bukan hal-hal yang busuk di mana lalat suka berkumpul. Karena itu, menurut
Bernard, produk-produk dalam bentuk keputusan menyangkut hidup bernegara: (i) harus
merakyat, dalam arti harus merupakan hasil persetujuan dan berisi kehendak/kepentingan rakyat
seutuhnya; (ii) keputusan yang merakyat, yang dihasilkan melalui wakil-wakilnya (konstitusi,
UU; termasuk juga PERDA dan APBD, pen.), harus dijadikan titik tolak seluruh kebijakan
lembaga dan aparatur negara (termasuk daerah, pen.); dan (iii) penentuan isi keputusan mengenai
apa pun (tentang baik-buruk, indah-jelek, berhak-tidak berhak), bukan ditentukan oleh selera
wakil-wakil di parlemen dan penyelenggara negara, tetapi oleh rakyat seutuhnya.
Pendapat Bernard tersebut makin mempertegas bahwa, wakil rakyat harus bertindak
sesuai kehendak/kepentingan rakyat seutuhnya. Tampilan wakil rakyat semestinya
merepresentasi kondisi rakyatnya. Hal ini tidak berarti, jika rakyat berjalan kaki, pejabat publik
tidak boleh menggunakan mobil dengan biaya negara; tidak juga bermaksud untuk melarang
pejabat publik melakukan perjalanan dinas ke luar daerah berkali-kali, di saat rakyat antri
membeli minyak tanah; bukan juga melarang anggota DPRD untuk tidak menyelenggarakan
sidang, walaupun gaji dan tunjangannya lancar, sementara rakyat masih menggelar tikar di
emperan toko menanti rejeki hanya untuk makan sehari. Menjalani peran mewakili rakyat ini,
roh integritas publik dibutuhkan sebagai roh penyangga demi efektifnya pelayanan publik yang
terarah pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seutuhnya. Semoga…!!!

Dipublikasi lewat SKH TIMOR EXPRESS; Selasa, 08 Nopember 2011; halaman 4

Anda mungkin juga menyukai