Anda di halaman 1dari 7

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif


Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia

Source: http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2006−02/msg00282.html

• From: "wongsony" <wongsony@xxxxxxxxxxx>


• Date: 9 Feb 2006 03:10:39 −0800

From: adhi hahaha


Date: Wed Feb 8, 2006 7:24am
Subject: Diskusi Nim Dps Febuari

DISKUSI NIM di AK CENTER DENPASAR


SABTU, 4 FEBRUARI 2006, 19.10 − 21.10 WITA

RUU PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DALAM PERSPEKTIF PARIWISATA,


BUDAYA, DAN HAK ASASI MANUSIA

Narasumber : Prof. Dr. I Gde Parimartha MA (Ketua Kajian Budaya


S3
UNUD)
Gede Nurjaya (Kepala Dinas Pariwisata Bali)

Gede Nurjaya : Pertama kali ke tempat seperti ini (AK Center), tapi
merasakan rasa damai. Menceritakan pengalaman hidup. Lahir di Bon
Dalem,
Tejakula, Buleleng. Setamat SMP, melanjutkan pendidikan ke kota
Mataram,
sampai mendapatkan jodoh dan punya anak dua orang disana. Pindah ke
Bali,
sekarang punya anak tiga dan cucu satu orang. Sering pindah tugas, si
kantor gubernur, ke Bangli, Denpasar dan pernah menjadi Camat di Kuta.
Pengalaman menjadi camat di daerah yang paling heterogen telah
menjadikan
dirinya orang yang tidak fanatik dengan salah satu agama. Sering di
undang
ke acara peringatan hari−hari besar agama, seperti Natal, Idul Fitri,
Imlek, dan lain−lain. Sekarang setelah jadi Kadiparda Bali, tidak
berani
fanatik dan egois dengan menganggap pariwisata sebagai satu−satunya
sumber
pendapatan daerah terbesar di Bali. Sebab tanpa bantuan dari PU yang
membangun prasarana jalan dan jembatan, tanpa bantuan POLRI yang
mengatur
keamanan dan bantuan pihak−pihak lain, maka pariwisata
tidak akan bisa jalan sendiri. Dalam hal ini, kebersamaan adalah hal

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia 1
RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia
yang
paling mendasar. Memasuki yang katanya jaman Kaliyuga ini, mulai timbul

pertentangan−pertentangan yang dapat mengoyakkan rasa kebersamaan


tersebut.
Tanda−tandanya adalah timbulnya pemaksaan−pemaksaan kehendak. Tanda
kedua
adalah upaya penyamaan disegala bidang. Padahal kita terdiri dari
berbagai
suku budaya. Mau di bawa ke mana bangsa ini ? Ada hal esensial yang
masih
perlu dibicarakan, malah sekarang membahas RUU Pornografi dan
Pornoaksi.
Padahal masalah ini tidak bisa dilakukan secara tergesa−gesa, karena
menyangkut Hak Asasi Manusia dan harus disikapi dengan kebersamaan dan
kepala dingin. Sebagai Kadiparda telah menetapkan bahwa pariwisata di
Bali
adalah pariwisata budaya. Budaya yang berasal dari kata budi dan daya,
yang
nanti akan dijelaskan lebih lanjut oleh profesor Parimartha.
Definisi tentang Pornografi dan Pornoaksi (P & P) itu tidak jelas.
Mudah−mudahan hasil diskusi ini akan ada hasilnya. Karena kalau RUU ini

jadi di undangkan akan menimbulkan masalah di masyarakat Bali


khususnya.
Memanggil orang dengan menyebutkan nama alat kelamin (sebagai tanda
keakraban di Buleleng) bisa terancam pasal pornografi. Mandi telanjang
seperti yang sering kita temui di sungai di pinggir jalan di Klungkung,

bisa ditahan. Berciuman di muka umum yang sering dilakukan turis, bisa
ditangkap. Bolehlah diberlakukan (RUU P & P ini) kalau tujuannya memang

baik, tapi kalau hanya dipaksakan, maka hasilnya tidak akan baik. Hasil

diskusi ini diharapkan bisa sampai ke DPRD Bali untuk kemudian


diteruskan
ke pusat. Sekarang kita jangan berangkat dari perasaan negatif
thinking,
tapi pakailah prinsip positif thinking. Kita orang Bali jangan bersikap

'koh ngomong' (malas bicara), tapi harus berani mengkaji masalah


ini secara
lebih mendalam. Kita jangan langsung apriori. Kita harus
memberi masukan. Untunglah bangsa kita masih berbudaya dan tidak
ikut−ikutan meniru budaya barat seperti berciuman di muka umum. Tingkat

pendidikan harus ditingkatkan agar kita semakin berbudaya. Pendidikan


agama
juga harus diajarkan sejak usia dini. Semakin tinggi pendidikan kita,
maka
kita harus semakin berbudaya. Budaya kita mengajarkan agar kita

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia 2
RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia
bertingkah
laku menurut norma yang berlaku di masyarakat kita.

Prof. Dr. I Gde Parimartha MA : Pusing (mumet) juga


membayangkan
RUU P & P ini. Mungkin DPR ingin memecahkan problem pornografi, agar
rakyat
makin tertib. Kita tidak bisa melihat dari satu sudut saja, tapi harus
dilihat dari segala sisi. Baik dari sisi politik, sosial, ekonomi, dan
budaya. Karena bangsa kita adalah bangsa yang multi di segala bidang.
Kita
harus bisa hidup berdampingan dan saling memaafkan. Apakah batas
pornografi
dan pornoaksi tersebut ? Hal ini masih belum jelas karena masih rancu.
Hal
ini disebabkan karena benturan nilai−nilai. Ada yang menganggap ini
porno,
ada yang menganggap seni. Ini adalah masalah nilai−nilai. Orang mandi
di
pemandian umum jelas harus telanjang. Itu adalah nilai yang ada di
Bali.
Cuma karena seniman luar yang mengekploitasi orang mandi di kali
tersebut
yang mengakibatkan citra seolah−olah orang Bali suka bertelanjang di
muka
umum. Jangan samakan nilai yang berlaku di Papua, Kalimantan, Sulawesi,

Aceh dan lain−lain. Kita sekarang


sedang mengindonesia. Tapi kita sekarang kelihatan tercerai−berai
karena
otonomi daerah. Kita harus ingat bahwa kita adalah multi budaya.
Kebudayaan
yang beraneka tersebut bak mutiara−mutiara yang menghias Indonesia.
Sekarang seolah−olah ada budaya yang menganggap wajar orang yang
bersekolah tinggi, semakin tinggi juga korupsinya. Makin banyak orang
sekolah, korupsi juga makin banyak. Karena persaingan global adalah
hanya
bersaing untuk keserakahan (mementingkan urusan perut). Dulu kita cukup

puas dengan hidup sederhana dan seadanya. Kalau sekarang kita


berlomba−lomba mencari kekayaan. Bangsa kita bisa hancur karena hal
ini.
Setuju dengan pendapat pak Gede, bahwa pendidikan harus ditingkatkan
dan
ajaran agama harus semakin digalakkan.
Nilai−nilai budaya susah kalau diberlakukan sebagai hukum yang
mengikat.
Karena budaya bersifat fleksibel dan saling mempengaruhi. Kita harus
bisa
merasakan satu rasa satu bangsa. Nilai−nilai itu harus dilestarikan,

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia 3
RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia
pokok−pokok ajaran agama harus dilaksanakan. Tetapi bila tidak
dilaksanakan
kita tidak bisa menindaknya. Nilai−nilai ini tidak bisa bersifat hitam
putih. Ajaran agama menuntun kita ke arah hidup yang benar. Makanya
sangat
sulit menyamakan semua ajaran agama. Kaidah−kaidah agama dan budaya
jelas
berbeda. Agama tidak bisa dihukum, budaya bisa dihukum ( benar−salah,
hitam−putuh). Kesepakatan−kesepakatan sosial adalah hukum (norma−norma
sosial yang disepakati). Nilai−nilai budaya adalah kesepakatan yang
saling
menyesuaikan. Kita umumnya munafik., pura−pura tidak mau tapi mau.
Anak−anak harus dididik sedini mungkin tentang fungsi−fungsi organ
seksualnya. Semua harus kembali ke nilai−nilai budaya. Kita tidak bisa
berciuman di jalan, tidak seperti di Belanda, disana nilainya
memang berbeda. Di Indonesia hal tersebut tidak bisa dilakukan.
Karena
kita ada patokan−patokan. Kita masih punya budaya nasional. Akar budaya
di
Indonesia sama, tidak jauh berbeda. Tapi masih ada yang mempertanyakan,

apakah budaya nasional itu? Yang kita kenal hanya budaya daerah. Kalau
terus begitu kita bisa pecah. Budaya harus bergerak maju. Budaya lokal
harus kita pegang. Di Bali ada desa pekraman (lokal). Desa dinas adalah

budaya nasional. Bali sudah mulai mengakomodasi budaya nasional.


Otonomi
daerah harus dipandang secara positif. Kita harus melokalisasi
konsep−konsep budaya daerah. Tapi jangan sampai terpecah belah.

Torchbearers : 20.15 − 20.20.

Made Eddy : (PNS) Ada yang menggelitik dengan RUU ini.


Seandainya
RUU ini berlaku, apa efeknya bagi pariwisata nasional khususnya di
Bali?
Juga dari segi budayanya?

Bastian : (Pengusaha di Kuta) Pernah baca RUU yang isinya


dapat menimbulkan kerugian bagi pelukis−pelukis di Ubud. Apakah Kuta
harus
diawasi polisi? Bagaimana membedakan goyangan erotis dan goyangan seni?

Bagaimana kita harus bersikap menghadapi RUU ini?

Gde Nurjaya : Ini baru rancangan. Kita diberi kesempatan untuk


memberikan keberatan dan tanggapan oleh yang membuat RUU ini. Kita
harus
menjelaskan argumentasi dan substansi RUU yang kita tidak setujui.
Wilayah/hukum agama dan pemahaman budaya tidak bisa disatukan. Agama
sama

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia 4
RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia
dengan keyakinan. Budaya sama dengan rasa. Hukum sama dengan
hitam−putih.
Kita diberi kesempatan, tapi bagaimana cara menyampaikan secara lebih
baik.
Kalau sungguh diberlakukan Kuta bisa sepi. Tolong beri masukan tentang
hal
ini. Bagaimana dengan orang Papua? Kalau diberlakukan tentu akan
merugikan
kita semua, termasuk seni−seni yang menonjolkan lekuk−lekuk tubuh
perempuan. Contoh Madame Syuga. Apakah ini termasuk seni atau porno.
Tuangkan secara tertulis dan sampaikan kepada yang berwenang, apa
kesimpulan dari hasil diskusi ini. Ramai−ramai beri masukan, bila tidak

setuju tuliskanlah, jangan demo−demo saja. Pendidikan juga dirugikan


apalagi pendidikan kedokteran. Pikiran, ucapan, tingkah laku kita harus
sama dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Jangan lihat Playboy,
bukan
karena dilarang, tapi karena kesadaran sendiri. Secara prinsip tidak
setuju
dengan Majalah Playboy. Semua pelaku pariwisata sudah dihimbau (karena
tidak bisa melarang) agar tidak menerima launching majalah Playboy.
Sebenarnya sudah ada UU yang mengatur tentang diskotik, kafe dan bar.

Prof.Parimartha : Dampaknya pasti ada, budaya Bali akan


hilang
dan merugikan daya tarik budaya Bali. Setuju majalah Playboy dilarang.
Dari
dulu seniman−seniman kita sudah biasa membuat patung−patung dan lukisan

seni yang bukan porno. Di Indonesia seniman−seniman juga terancam


eksistensinya. Di daerah−daerah Indonesia ada perbedaan nilai. Kalau
pun
diberlakukan, RUU ini tidak akan ditaati, karena nilai−nilai kita di
Bali
khususnya berbeda dengan daerah lain. Nanti bisa muncul otonomi khusus
karena perbedaan nilai budaya tersebut. Sulit diwujudkan dalam
kehidupan
sehari−hari. Definisi saja belum ada, bagaimana pula definisi dari
masyarakat umum? Mubazir kalau diberlakukan, harus lebih
disosialisasikan
dulu di masyarakat.

Gde Nurjaya : Contoh UU yang tidak bisa diberlakukan sampai


sekarang
secara tuntas : UU no 14 tahun 1992 tentang UU Lalu lintas, contoh
kecil
tentang sabuk pengaman. Ini adalah pemborosan anggaran. Jangan
dipaksakan
untuk segera diundangkan. Tetapi janganlah dianggap gagal, tapi bilang
saja
suksesnya tertunda, orang birokrasi harus halus ngomongnya (eufimisme).

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia 5
RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia

Kita harus berani mengatakan tidak setuju dengan RUU P & P ini karena
kita
masih punya tata nilai yang tidak bisa dinilai hitam−putih.

Adnyana : (Sastra UNWAR) semakin global, semakin banyak


peraturan, contoh kasus di Kuta. Siang hari ada desa adat melis, dan
ada
turis berjemur hampir telanjang. Ini mempengaruhi konsentrasi orang
yang
bersembahyang. Apakah ada unsur politiknya atas munculnya RUU P dan P
ini ?

Gde Nurjaya : RUU ini dari awal sampai akhir tidak jelas, kita
masih
banyak perasaan bingung karena RUU ini tidak jelas. Kita setuju untuk
tidak
usah diteruskan. Akan mengurangi ruang gerak turis. Ingat dengan Sapta
Pesona. Keamanan, Ketertiban peraturan. Kebersihan, cintai lingkungan.
Kesejukan dalam arti luas. Keramahan, dan terakhir Kenangan. Di Bali
sudah
dilarang telanjang dimuka umum, bahkan di Legian sudah dilarang sejak
tahun
70−an. Era global kita harus menghadapinya dengan moral dan mental yang

kuat. Jangan cari yang porno−porno. Kita tidak bisa membendung


globalisasi
tapi kita harus mulat sarira (introspeksi diri). Jangan berpikir
terlalu
ekonomis. Jangan menganggap uang di atas segalanya. Global bagus, tapi
menyama braya ( kekeluargaan) penting. Contoh ngaben tidak bisa hanya
dengan uang. Mental kita bisa membendung arus globalisasi. Ancaman,
hambatan, gangguan dan rintangan, harus kita hadapi bersama. Kita tidak

setuju RUU ini.

Peof. Parimarta : Globalisasi nilai−nilai ini adalah


perubahan
cara−cara yang sudah menunjukkan kita dihegemoni oleh industrialis
kapitalis. Kita sudah dibuat senang dengan McDonalds, KFC. Kita
terhegemoni
oleh nilai global. Keuntungannya lari ke Amerika, kita senang
dieksploitasi, tanpa sadar. Padahal kita dirugikan, hampir semua produk

yang kita pakai dari luar negeri. Kita harus bisa memberdaya diri
sendiri.
Beras masih impor, susu dari luar, hampir semua mobil dan motor masih
memakai merk asing. Kita bersama pemerintah harus memberdayakan
seluruh
rakyat Indonesia. Di jaman postmodern (setelah modern) kita harus
menggali

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia 6
RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia
kearifan−kearifan lokal, jangan sampai tergantung. Sedikit−sedikit kita

dinina bobokan dan sangat tergantung pada luar negeri. Kita harus
berjuang
mensejahterakan rakyat Indonesia. Semangat postmodern harus diangkat
dan
kita harus memberdayakan seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai ada
gepeng. Kita harus siap menghadapi bumi yang membulat /
mengglobal. ONE EARTH, ONE SKY, ONE HUMANKIND.

Notulen Oleh : Hardita

BARANG Indonesia... YES!!!!


BARANG Import... NOPE!!!!
−− === −− *** −− === −−
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:


http://groups.yahoo.com/group/anandkrishna/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:


anandkrishna−unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:


http://docs.yahoo.com/info/terms/

RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Pariwisata, Budaya, dan Hak Asasi Manusia 7

Anda mungkin juga menyukai