NIM : P07120219087
KELAS/PRODI : 3B/Str Keperawatan
KEPERAWATAN KRITIS
1. Pengertian
Diabetes Melitus (DM) pengertian penyakit diabetes adalah suatu gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi
insulin.
2. Faktor Resiko
- Kelebihan berat badan
- Memiliki keluarga dengan riwayat diabetes tipe 2
- Kurangnya olahraga
- Riwayat tekanan darah tinggi
- Memiliki kadar kolesterol dan trigliserida abnormal
3. Patofisiologi
Kasus DM umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya
resistensi insulin. Resistensi insulin awalnya belum menyebabkan DM secara klinis. Sel beta
pankreas masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai overkompensasi, insulin
disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan tujuan
normalisasi kadar gula darah. Mekanisme kompensasi yang terus menerus menyebabkan
kelelahan sel beta pankreas (exhaustion) yang disebut kompensasi, mengakibatkan produksi
insulin yang menurun secara absolute. Kondisi resistensi insulin yang menurun akibatnya
kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga memenuhi criteria diagnosis DM
5. Pencegahan Primer :
Sasaran :
Penyuluhan :
6. Pencegahan Sekunder :
Melakukan pemeriksaan gula darah, Syarat pencegahan terjadinya komplikasi kadar gula
darah harus selalu terkendali hingga mendekati angka normal sepanjang hari dengan
melakukan rajin berolahraga, menjaga berat badan, mengurangi konsumsi karbohidrat,
perbanyak makanan berserat. Jika tidak berhasil baru menggunakan baik obat oral maupun
insulin.
7. Pencegahan Tersier :
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk kedalam
pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :
- Pencegahan komplikasi diabetes yang pada consensus dimasukkan sebagai pencegahan
sekunder.
- Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menerus kepada penyakit organ.
- Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan
A. Stroke
1. Pengertian
Stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh
darah otak, bukan oleh sebab yang lain (WHO). Gangguan fungsi syaraf pada stroke
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.
Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota
badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), perubahan kesadaran, gangguan
penglihatan, dan lain-lain.
2. Faktor Resiko
- Hipertensi
- Diabetes Melitus
- Merokok
- Atrial Fibrilasi
- Penyakit Jantung lainnya
- Pasca Stroke
- Dislipidemia
- Konsumsi alkohol
- Penyalahgunaan obat
- Stenosis arteri karotis
- Hiperfibrinogenemia
- Hiperhomosisteinemia
- Obesitas
- Pemakaian kontrasepsi hormonal
- Stres mental fisik
- Migrain
- Kurang aktivitas fisik
- Sickle cell anemia
3. Patofisiologi
Stroke dibagi menjadi dua jenis:
1. Stroke iskemik
Stroke iskemik merupakan stroke yang disebabkan adanya sumbatan pada pembuluh
darah di otak atau di luar otak yang menyebabkan infark di bagian otak. Stroke iskemik
dapat disebabkan oleh plak aterosklerosis atau emboli, dan dapat diperparah dengan
hipertensi, diabetes, dan berbagai faktor risiko lainnya.
2. Stroke hemorrhagik
Stroke hemoragik merupakan suatu kondisi gawat darurat, yang disebabkan oleh
pecahnya salah satu pembuluh darah di dalam otak, yang memicu perdarahan di sekitar
otak. Akibatnya, aliran darah pada sebagian otak berkurang atau terhenti, yang kemudian
menyebabkan pasokan oksigen ke otak berkurang, sehingga memicu kematian sel otak
dan dapat mengganggu fungsi otak secara permanen. Jika perdarahan terjadi di dalam
otak disebut dengan perdarahan intraserebral, sedangkan jika perdarahan terjadi pada
ruang di antara selaput pembungkus otak bagian tengah dan dalam disebut dengan
perdarahan subarachnoid.
5. Pencegahan Primer :
Pencegahan primer dilakukan dimana pasien belum pernah mengalami stroke yakni dengan
melakukan 3M :
1) Menghindari : rokok, stres mental, minum kopi dan alkohol, kegemukan, dan golongan obat-
obatan yang dapat mempengaruhi serebrovaskuler(amfetamin, kokain, dan sejenisnya).
2) Mengurangi : asupan lemak, kalori, garam, dan kolesterol berlebih.
3) Mengontrol atau mengendalikan : hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dan
asterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi makanan seimbang, serta olahraga teratur 3-4
kali seminggu.
6. Pencegahan Sekunder :
Pencegahan sekunder dilakukan ketika seprang pasien telah mengalami serangan stroke
sebelumnya yakni dengan cara :
1) Mengontrol faktor risiko stroke atau aterosklerosis, melalui gaya hidup, seperti mengobati
hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung dengan obat dan diet, stop merokok dan
minum beralkohol, turunkan berat badan dan rajin berolah raga, serta menghindari stress.
2) Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, yang dapat mengatasi krisis sosial dan
emosional penderita stroke dengan cara memahami kondisi baru bagi pasien pasca stroke
yang bergantung pada orang lain.
3) Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan stroke, seperti anti agregasi
trombosit dan anti koagulan.
7. Pencegahan Tersier :
Pencegahan tersier dilakukan kepada pasien yang telah menderita stroke dan mengalami
kelumpuhan pada tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat mengalihkan fungsi
anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang masih normal, yaitu dengan cara :
1) Gaya hidup : reduksi stres, exercise sedang, dan berhenti merokok.
2) Lingkungan : menjaga keamana dan keselamatan (tinggal di rumah lantai pertama,
menggunakan wheel-chair) dan dukungan penuh keluarga.
3) Biologi : keptuhan berobat, terapi fisik dan bicara. 4) Pelayanan kesehatan : emergency
medical techmic dan asuransi.
5. Pencegahan Primer :
Penyakit gagal ginjal kronik memang tidak dapat disembuhkan, namun kita masih bisa
mempertahankan agar dapat berfungsi seoptimal mungkin dengan cara melakukan
pencegahan primer, antara lain:
- Terapi obat-obatan
- Transplantasi atau cangkok ginjal
- Dialisis atau cuci darah
- Modifikasi gaya hidup sesuai anjuran dokter
6. Pencegahan Sekunder :
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal
sedini mungkin. Pengobatan konservatif penyakit Gagal ginjal Kronik (GGK) terdiri dari :
1. Deteksi dini dan terapi penyakit primer. 4 Identifikasi (deteksi dini) dan segera
memperbaiki (terapi) penyakit primer atau faktor-faktor yang dapat memperburuk
faal ginjal sangat penting untuk memperlambat laju progresivitas gagal ginjal menjadi
gagal ginjal terminal.
2. Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan.
- Protein, diet protein yang tepat akan memperlambat terjadinya keracunan ureum.
Pembatasan protein dimulai pada saat permulaan terjadinya penyakit ginjal
dengan masukan protein sebesar 0,5-0,6 g/kg BB/hari, dengan nilai biologik yang
tinggi
- Kalium, Tindakan utama untuk mencegah terjadinya hiperkalemia adalah
membatasi pemasukan kalium dalam makanan.
- Natrium, Jumlah natrium yang dianjurkan adalah 40 sampai 90 mEq/hari (1
sampai 2 gr natrium).Asupan natrium maksimum harus ditentukan secara
tersendiri untuk tiap penderita agar hidrasi yang baik dapat tetap dipertahankan.
- Cairan, Asupan cairan yang diminum penderita GGK harus diawasi dengan
seksama. Asupan cairan yang terlalu bebas mengakibatkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, edema dan intoksitasi air.
7. Pencegahan Tersier :
Pencegahan ini dilakukan pada pasien GGK yang telah atau sedang menjalani
tindakan pengobatan atau terapi pengganti berupa:
- Mengurangi stress, menguatkan system pendukung social atau keluarga untuk
mengurangi pengaruh tekanan psikis pada penyakit GGK.
- Meningkatakan aktivitas sesuai toleransi, hindari imobilisasi Karena hal tersebut dapat
meningkatkan demineralisasi tulang. Dan untuk membantu meyakinkan tingkat aktivitas
yang aman, perlu dilakukan pengkajian gaya berjalan pasien, rentang gerak dan kekuatan
otot.
- Meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik.
- Mematuhi program diet yang dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang
optimal agar kualitas hidup dan rehabilitasi dapat dicapai.
2. Faktor Resiko
Tanda dan gejala khas PJK adalah keluhan rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada
(angina) yang berlangsung selama lebih dari 20 menit saat istirahat atau saat aktivitas yang
disertai gejala keringat dingin atau gejala lainnya seperti lemah, rasa mual, dan pusing.
- Nyeri dada
- Tertekan di daerah dada
- Rasa berat di dada
- Rasa mual atau nyeri ulu hati
- Keringat Dingin
- Rasa terbakar
5. Pencegahan Primer :
Pencegahan primer adalah upaya yang ditunjukkan pada orang-orang yang termasuk
kelompok berisiko, seperti orang yang usianya sudah tua (>45 tahun), orang yang punya
riwayat hipertensi, dan factor risiko lainnya. Tujuan pencegahan primer adalah untuk
membatasi timbulnya penyakit dengan mengendalikan penyebab spesifik dan factor risiko
tersebut. Beberapa contoh pencegahan primer PJK antara lain :
- Menjaga pola dan jenis makanan agar tidak terlalu gemuk
- Hindari minuman yang mengandung alcohol
- Tidak merokok
- Melakukan aktifitas jasmani secara teratur
6. Pencegahan Sekunder :
pencegahan sekunder dalam mengendalikan PJK adalah dengan melakukan skrinning
untuk tekanan darah tinggi di usia pertengahan, karena hipertensi merupakan salah satu
factor risiko terkena PJK.
7. Pencegahan Tersier :
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi perkembangan atau komplikasi
penyakit dan merupakan aspek penting dari pengobatan terapi dan rehabilitasi. Ini terdiri
dari langkah-langkah yang dimaksudkan untuk mengurangi gangguan dan cacat,
meminimalkan penderitaan yang disebabkan oleh memburuknya kesehatan dan
membantu pasien dalam menyesuaikan kondisi yang 38 tidak dapat disembuhkan. Contoh
pencegahan tersier untuk PJK ialah rehabilitasi jantung. Pelaksanaan program rehabilitasi
jantung dikelompokan menjadi empat fase, yaitu
- fase I adalah upaya yang segera dilakukan disaat pasien masih dalam masa perawatan,
tujuan utama fase ini adalah mengurangi atau menghilangkan efek buruk akibat tirah
baring lama, melakukan edukasi dini serta agar pasien mampu melakukan aktifitas
hariannya secara mandiri dan aman.
- Fase II dilakukan segera setelah pasien keluar dari RS, merupakan program intervensi
untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal mungkin, segera mengontrol faktor risiko,
edukasi dan konseling tambahan mengenai gaya hidup sehat.
- Fase III dan IV merupakan fase pemeliharaan, dimana diharapkan pasien tersebut telah
mampu melakukan program rehabilitasi secara mandiri, aman, dan mempertahankan pola
hidup sehat untuk selamanya, dibantu atau bersama-sama keluarga dan masyarakat
sekitarnya
D. Penyakit Paru obstruktif kronik (PPOK)
1. Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang umum, dapat dicegah
dan dapat diobati yang ditandai dengan gejala berupa respirasi yang menetap dan
keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh abnormalitas saluran udara dan/atau alveolar
yang biasanya disebabkan oleh pajanan partikel atau gas-gas berbahaya.1 World Health
Organization (WHO) memperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi PPOK di masa
depan. Hal ini berkaitan dengan industrialisasi yang meningkatkan polusi udara dan
lingkungan serta kebiasaan merokok yang meningkat.2,3 PPOK akan menjadi penyakit
penting pada dekade yang akan datang serta banyak masalah yang dapat ditimbulkannya.
2. Faktor Resiko
- Pajanan asap rokok pada perokok aktif maupun pasif merupakan faktor utama penyebab
PPOK serta sejumlah penyakit pernapasan lainnya. Diperkirakan, sekitar satu dari empat
orang perokok aktif mengidap PPOK.
- Pajanan polusi udara, Misalnya asap kendaraan bermotor, debu jalanan,gas buangan
industri, briket batu bara, debu vulkanik gunung meletus, asap kebakaran hutan, asap obat
nyamuk bakar, asap kayu bakar, asap kompor, polusi di tempat kerja (bahan kimia,
debu/zat iritasi, dan gas beracun)Usia. PPOK akan berkembang secara perlahan selama
bertahun-tahun. Gejala penyakit umumnya muncul pada pengidap yang berusia 35 hingga
40 tahun
- Faktor keturunan. Jika memiliki anggota keluarga yang mengidap PPOK, Anda juga
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit yang sama.
3. Patofisiologi
Asap rokok atau polutan dapat memicu inflamasi yang dapat merusak paruparu. Secara
normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan. Namun, Iritasi yang terus-
menerus yang berasal dari asap rokok dan pulutan ini menyebababkan respon berlebihan
terhapan mekanisme pertahanan mukosiliar yaitu penjagaan terhadap paru-paru yang
dilakukan oleh mukus dan siliari. Faktor yang menghambat pembersihan mukosiliar adalah
karena adanya poliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan yang tidak
bersilia. Poliferasi adalah pertumbuhan atau perkembangbiakan pesat sel baru. Sehingga
terjadi hiperplasia yaitu meningkatnya jumlah sel dan hipertropi yaitu bertambahnya ukuran
sel kelenjar penghasil mukus. Hal ini menyebabkan hipersekresi mukus di saluran nafas.
Iritasi dari asap rokok juga menyebabkan inflamasi pada bronkiolus dan alveoli. Fungsi dari
silia menurun dan lebih banyak sekret yang dihasilkan, dengan banyaknya mukus yang
kental dan lengket serta menurunya pembersihan mukosiliar menyebabkan masalah pada
bersihan jalan napas sehingga menjadi bersihan jalan napas tidak efektif (Ikawati, 2016)
4. Tanda dan Gejala
- Batuk kronis selama 3 bulan dalam setahun, terjadi berselang atau setiap hari, dan
seringkali terjadi sepanjang hari.
- Produksi sputum secarakronis
- Lelah,lesu
- Sesak nafas (dispnea) bersifat progresif sepanjang waktu, memburuk jika berolahraga,
dan memburuk jika terkena infeksipernapasan.
- Penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik (cepat lelah,terengah-engah)
5. Pencegahan Primer :
Pendidikan mengenai PPOK bertujuan untuk menginformasikan faktor risiko PPOK dan
faktor yang dapat memperparah penyakit kepada orang yang berisiko dan keluarganya agar
dapat menghindari faktor pencetus tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan seperti
penyuluhan di lingkungan masyarakat, di lingkungan kerja terutama lingkungan yang
memiliki risiko tinggi terhadap PPOK seperti daerah industri yang Universitas Sumatera
Utara mengandung banyak partikel berbahaya, dan lingkungan sekolah untuk berupa
pencegahan dini untuk tidak merokok karena ini merupakan faktor pencetus yang paling
utama. Mengurangi paparan asap rokok, polutan tempat kerja, dan udara dingin. Rokok
merupakan faktor utama pencetus PPOK. Selain itu rokok juga dapat memperparah keadaan
penderita. Untuk itu rokok harus dihindari, sekitar 10-15 perokok menderita PPOK. Angka
kematian PPOK pada perokok juga lebih tinggi dibanding yang bukan perokok.
6. Pencegahan Sekunder :
Pencegahan sekunder merupakan diagnosa dini pada penderita agar dengan cepat dapat
ditangani sehingga tidak semakin buruk dan bahkan terkena komplikasi. Bagi yang berada di
lingkungan polutan tinggi agar mengurangi paparan polutan maupun polusi udara. Penderita
yang merupakan perokok untuk mengurangi ataupun menghindari paparan rokok agar
kondisi penderita tidak semakin parah. 37 Vaksinasi harus dilakukan untuk mengurangi
risiko terjadinya komplikasi eksaserbasi. 38 Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa Hasil anamnesa diperoleh umumnya penderita berusia pertengahan keatas,
riwayat merokok atau bekas perokok, pernah terpajan dengan bahan iritan seperti asap
rokok, polutan bahan kimia beracun, dan polusi udara dalam jangka waktu yang lama,
serta memiliki riwayat keluarga penderita emfisema.
b. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda hiperinflasi paru, penggunaan
otot napas sekunder, perubahan pola napas dan suara napas yang abnormal mengi.
7. Pencegahan Tersier :
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi
keterbatasan penderita PPOK. Hal- hal yang dapat dilakukan adalah:
a. Latihan fisik Latihan ini bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh terutama otot
pernapasan pada saat beraktivitas.
b. Terapi psikososial Terapi ini meliputi dukungan dari pihak keluarga kepada penderita,
konsultasi masalah yang dialami penderita, karena penderita PPOK biasanya mengalami
depresi dan kecemasan sehingga perlu diberikan motivasi oleh orang-orang yang dekat
dengan penderita.
c. Terapi nutrisi Penurunan berat badan dan pengecilan otot terjadi pada 20-35 penderita
PPOK. Pada tahap lanjut akan terjadi gangguan keseimbangan energi dengan protein. Hal
yang perlu dilakukan adalah pengaturan pola makan bagi penderita. Akan tetapi harus
diikuti dengan berolahraga.