Dalam manajemen kualitas, terdapat 2 (dua) definisi konsumen yang, yaitu konsumen
external dan konsumen internal. Konsumen internal merupakan karyawan yang menggunakan
fasilitas dari perusahaan, baik sifatnya produk ataupun jasa yang perusahaan sediakan untuk
pengguna akhir dari produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan (Foster, 2013). Konsumen
merupakan individu dalam organisasi yang memegang peranan penting bagi proses bisnis
(Albrecht, 2018).
Kepuasan karyawan merupakan hasil dari persepsi karyawan atas nilai yang diterima dari
dari kondisi kerja dengan nilai atas harapan yang diinginkan karyawan. Dalam hal ini, kepuasan
karyawan didefinisikan sebagai bentuk respons bagaimana karyawan dalam sebuah perusahaan
puas dengan kondisi kerja yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja, budaya organisasi serta metode
kerja yang digunakan (P. Venkata Siva Durga et al., 2017). Kepuasan karyawan dapat juga
dipahami sebagai perasaan senang yang dimiliki oleh karyawan, keinginan dan hasrat yang kuat
untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam pekerjaan yang diberikan perusahaan. (Sageer et al.,
2012).
Sementara itu, menurut Wangenheim (2003), kepuasan merupakan hasil dari perbandingan
antara kinerja yang diharapkan dan kinerja yang dirasakan dalam sepanjang hubungan perusahaan
dengan konsumen. Kotler (2009) menyatakan bahwa secara umum, kepuasan (satisfaction) adalah
perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang
6
dipersepsikan produk atau jasa (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka. Jika kinerja gagal
memenuhi ekspektasi, pelanggan akan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan ekspektasi,
pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi ekspektasi, pelanggan akan sangat puas atau senang.
Definisi kepuasan tersebut menggarisbawahi hubungan yang kuat dengan kualitas yang
dirasakan konsumen. Penelitian mengenai kepuasan pelanggan telah menjadi perhatian banyak
peneliti terutama karena banyaknya manfaat yang dapat diperoleh. Berdasarkan penelitian dari
yang dilakukan Harvard Business Review (2011), menunjukkan bahwa karyawan yang merasa
puas dengan tempatnya bekerja menunjukkan peningkatan produktivitas kerja rata-rata sebesar
Menurut Hague & Hague (2013), mengembangkan program kepuasan pelanggan bukan
hanya mengenai pelaksanaan survei. Survei memberikan gambaran mengenai di mana perhatian
fundamental di dalam perusahaan, yang melibatkan pelatihan karyawan dan perubahan budaya.
Hasil dari upaya tersebut dapat sangat berguna secara finansial, dengan semakin sedikitnya
customer churn, pangsa pasar lebih besar, harga yang premium, reputasi yang kuat, serta karyawan
yang lebih bahagia. Namun, hasil ini harus diperoleh dengan upaya yang besar di mana
Employee Experience (EX) adalah salah satu cara baru untuk mengukur kualitas
perusahaan dalam mengelola organisasi dan karyawan. Perhatian terhadap kualitas EX dapat
membantu organisasi untuk melakukan diferensiasi dari organisasi lain dan memperoleh
keunggulan kompetitif yang bertahan lama yang turut membantu peningkatan pendapatan. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh EX terhadap peningkatan kepuasaan karyawan (Gautier et al., 2022).
7
Berdasarkan penelitian yang dilakukan International Business Manchine (2016), menunjukkan
bahwa EX memiliki hubungan signifikan dengan performa kerja karyawan, employee retention,
1. Physical environment, merupakan area tempat karyawan bekerja. Hal ini meliputi kursi, meja,
jenis ruang kerja (kubikel, ruang terbuka), interior ruangan, fleksibilitas kerja dan hal lainnya
berkaitan dengan kondisi fisik tempat karyawan bekerja. Physical environment merupakan
pusat dari EX, atau aspek yang paling pertama karyawan rasakan sebelum aspek lainnya.
di mana hal ini berkaitan dengan apa yang karyawan gunakan untuk berkomunikasi,
malfungsi, maka segala sesuatu disekitarnya termasuk hubungan dengan sesama rekan kerja
aksesbilitas teknologi untuk semua orang, teknologi yang dibutuhkan karyawan apakah sesuai
dengan kebutuhan perusahaan, serta kemudahaan teknologi untuk dapat digunakan karyawan.
3. Cultural environment, merupakan atmosfir lingkungan kerja yang dirasakan oleh karyawan.
jenis produk atau layanan yang diciptakan, bentuk kerjasama tercipta serta metode yang
digunakan karyawan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Culture sendiri merupakan elemen
yang bentuknya biasanya tercipta dari akumulasi metode kerja yang organisasi pergunakan
sehingga terkadang ada elemen-elemen yang tidak disadari muncul. Evaluasi cultural
8
environment di suatu organisasi bertujuan untuk mengontrol aspek apa yang harus dieliminasi
(Morgan, 2017)
didasarkan pada dua prinsip: mereka menyatakan bahwa kualitas jasa dapat dibagi menjadi
beberapa dimensi serta dapat diukur sebagai perbedaan (gap) antara ekspektasi dan persepsi.
terdiri dari 5 dimensi, yakni Tangibles, Empathy, Reliability, Responsibility, dan Assurance.
Model ini menunjukkan aktivitas-aktivitas yang efektif di dalam organisasi yang mempengaruhi
persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Model SERVQUAL yang dikembangkan Parasuraman
Evaluasi EX dalam suatu organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode dari
Jacob Morgan (2017) menggunakan survey dengan 17 pertanyaan. Pertanyaan yang sediakan
terbagi atas 3 (tiga) dimensi dengan bobot yang berbeda. Nilai Employee Experience (EX) Nilai
physical environment (P), culture environment (C) dan technological environment dapat dipakai
untuk melihat seberapa ada ditahap mana suatu organisasi dalam mengelola employee experience
yang turut berpengaruh terhadap kepuasaan karyawan terhadap organisasinya, yakni melalui
9
Hasil interpretasi dari nilai EXI, yakni: EXI < 60% (Inexperienced Organization), 60 – 70%
Organization).
Menurut Jacob Morgan (2017), ada 9 (sembilan) jenis interpretasi berdasarkan nilai EXI,
yaitu:
1. Inexperienced, merupakan tipe organisasi yang tidak aktif melakukan improvisasi EX.
3. Physically emergent, merupakan tipe organisasi yang berfokus pada perbaikan kondisi fisik
lingkungan kerja, di mana organisasi ini lebih mementingkan interior lingkungan kerja.
budaya kerja, baik itu bagaimana berkolaborasi antar karyawan, sistem penghargaan bagi
5. Engaged, merupakan tipe organisasi yang berfokus melakukan improvisasi terhadap aspek
6. Empowered, merupakan tipe organisasi yang berfokus melakukan improvisasi terhadap aspek
7. Enabled, merupakan tipe organisasi yang berfokus terhadap aspek fisik lingkungan kerja dan
employee experience, namun belum menemukan kondisi yang ideal untuk meningkatkan
10
9. Experiential, merupakan tipe organisasi yang menciptakan employee experience yang
membuat karyawan selalu ingin bekerja di organisasi ini tanpa diminta. Tipe organisasi ini
Kualitas employee experience (EX) merupakan hasil perbandingan antara ekspektasi dan
persepsi karyawan terhadap kualitas lingkungan kerja. Karyawan memiliki sejumlah harapan
terhadap perusahaan mengenai lingkungan kerja seperti apa yang seharusnya perusahaan berikan
kepada mereka ketika melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, kualitas EX yang dirasakan oleh
karyawan merupakan perbedaan antara kondisi lingkukan kerja yang didapatkan atau dirasakan
11
Dimensi No Atribut
15 Anda familiar dengan teknologi yang Anda gunakan di kantor.
Secara umum, setiap karyawan boleh menggunakan teknologi
Technological 16
yang disediakan oleh perusahaan Anda
Environment
Teknologi yang digunakan di perusahaan Anda berfokus
17
mempermudah pekerjaan Anda.
produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh kualitas employee experience (EX) yang disediakan
oleh organisasi kepada para karyawannya. Organisasi yang mampu memberikan EX yang sesuai
dengan kebutuhan karyawan memiliki employee engagement level 16 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak. Hal ini juga mempengaruhi keputusan karyawan yang 8 kali lipat lebih
tinggi untuk tetap bertahan di organisasi tempat mereka bekerja sekarang, dibandingkan organisasi
EX juga sangat mempengaruhi performa keuangan suatu organisasi, di mana organisasi yang
memiliki EX yang baik tercatat menghasilkan dua kali lipat return on sales daripada organisasi
yang belum membenahi EX yang dimilikinya. Selain itu, peningkatan 3 (tiga) kali lipat terjadi
pada return on assets pada perusahaan yang memperbaiki kualitas EX yang dimiliki. (International
Business Machines Corporation, 2016). Selain itu, organisasi yang membenahi EX nya mampu
organisasi yang belum membenahi EX yang tercatat berpengaruh terhadap penurunan pendapatan
sebesar 6-10 % (Watson, 2020). Selain itu, peningkatan mutu EX pada suatu organisasi dapat
terhadap angka ketidakhadiran, turnover, serta peningkatan kepuasan konsumen eksternal suatu
12
2.3. Gap Analysis
Gap analysis merupakan teknik analisis dan metode pengujian untuk menilai aspek bisnis
yang diinginkan dibandingkan dengan kondisi saat ini (Kenton, 2020). Dengan menggunakan
pendekatan gap analysis, suatu organisasi dapat mengevaluasi kondisi manajemen dengan target
atau harapan terhadap aspek bisnis dan kemudian membuat rencana improvisasi untuk mencapai
target yang diinginkan. Gap analysis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi aspek bisnis pada
sebuah organisasi, baik melalui persepsi pengguna, observasi atau kajian khusus terhadap
performa organisasi dan menentukan harapan atau ekspektasi terhadap kondisi aspek bisnis yang
bersangkutan. Kesenjangan antara ekspektasi dan harapan diukur dan kemudian organisasi dapat
mengukur perubahan apa yang dapat dilakukan sesuai dengan kapabilitas organisasi (Kim & Ji,
2018).
Berdasarkan Sora Kim dan Yingru Ji, jenis kesenjangan (gap) terbagi menjadi 3 (tiga), yakni:
1. Expectation gap
Kesenjangan ini terjadi Ketika ada perbedaan pandangan antara konsumen dengan organisasi
mengenai “apa seharusnya” disediakan atau dimiliki organisasi dibandingkan dengan “kondisi
saat ini” yang dimiliki organisasi. Expectation gap terbagi menjadi tiga, yakni:
a. Factual gap, merupakan kesenjangan yang dinilai antar kedua grup, yaitu konsumen dan
organisasi. Kesenjangan ini mengukur kondisi saat ini yang dirasakan oleh organisasi dan
b. Conformance gap, kesenjangan ini dilakukan oleh organisasi secara mandiri untuk
mengukur suatu kondisi aspek bisnis saat ini dan kondisi aspek bisnis yang harusnya
terjadi.
13
c. Ideal gap, merupakan kesenjangan antar dua subjek, yaitu organisasi dan konsumen.
Kesenjangan ini mengukur ekspektasi organisasi dan ekspektasi dari konsumen yang
2. Legitimacy gap, merupakan kesenjangan yang dirasakan konsumen mengenai “apa yang
harusnya ada” dengan persepsi konsumen mengenai kondisi aspek bisnis organisasi saat ini.
3. Performance gap, merupakan kesenjangan performa aspek bisnis yang dirasakan oleh
untuk memahami kepuasan pelanggan dengan mencocokkan persepsi mereka terhadap tingkat
kepentingan dan kinerja atribut kualitas layanan (James, 1997). Penilaian tingkat kepentingan dan
kinerja ditampilkan pada matriks dua dimensi, dan dibagi ke dalam empat kuadran, yaitu keep up
the good work, potential overkill, low priority, dan concentrate here. Pendekatan klasifikasi lain
adalah dengan memasukkan garis diagonal 45 derajat ke atas kanan (iso-rating) untuk
mengidentifikasi prioritas manajemen. Atribut-atribut yang berada pada garis iso-rating memiliki
tingkat kinerja sama dengan kepentingan, sementara atribut-atribut yang berada di atas garis iso-
rating menandakan bahwa kinerja masih di bawah kepentingan sehingga diperlukan adanya
IPA merupakan teknik yang sederhana dan berguna dalam mengidentifikasi atribut-atribut
dari suatu produk atau jasa yang paling membutuhkan peningkatan atau yang biayanya dapat lebih
ditekan tanpa mengurangi kualitas keseluruhan secara signifikan (Huang & Kuo, 2008). Gambar
2 di bawah ini menunjukkan posisi relatif dari atribut-atribut dalam bentuk matriks, dengan nilai
kepentingan berada pada sumbu vertikal sedangkan nilai kinerja berada pada sumbu horizontal.
14
Atribut-atribut kualitas employee experience diklasifikasikan pada salah satu dari kuadran-kuadran
di dalam matriks IPA, yakni : Kuadran I (Keep up the good work), Kuadran II (Possible overkill),
Gambar 2. Model Matriks IPA dengan Iso-rating Line (Deng & Pierskalla, 2018).
Menurut Lee and Hu (2012) serta Tileng et al. (2013), penjelasan dari kuadran-kuadran pada
matriks IPA adalah sebagai berikut: - Kuadran I (Keep up the good work), pada kuadran ini tingkat
kepentingan dan kinerja sama-sama tinggi. Atribut-atribut pada kuadran ini sudah memenuhi
ekspektasi pelanggan sehingga kualitas jasa harus tetap dipertahankan. - Kuadran II (Possible
overkill), pada kuadran ini, tingkat kepuasan tinggi meskipun pelanggan menganggap atribut-
atribut kurang penting. Oleh karena itu, alokasi sumber daya untuk peningkatan kualitas atribut di
dalam kuadran ini dapat dikurangi sehingga biaya dapat lebih dihemat. - Kuadran III (Low
15
priority), pada kuadran ini, tingkat kepentingan dan kinerja dari atribut-atribut sama-sama rendah.
Atribut pada kuadran ini tidak diprioritaskan karena pengaruhnya terhadap kepuasan cenderung
kecil.
Kuadran IV (Concentrate here), pada kuadran ini, tingkat kepentingan tinggi namun kinerja
masih rendah. Atribut-atribut yang masuk dalam kuadran ini dianggap penting oleh pelanggan.
Akan tetapi, atribut-atribut tersebut masih belum memenuhi ekpektasi pelanggan sehingga tingkat
kepuasan masih cenderung rendah. Dengan demikian, kualitas atribut-atribut di dalam kuadran ini
harus ditingkatkan. IPA dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk mengevaluasi posisi
kompetitif dari suatu perusahaan di dalam pasar, serta peluang-peluang peningkatan dan upaya-
upaya perencanaan strategis (Hawes & Rao, 1985). Kemudahan dalam penyajian data serta saran
dan implikasi strategis merupakan beberapa dari sekian keuntungan penggunaan teknik ini (Choi
& Chu, 2000). IPA mampu memberikan petunjuk bagi manajer untuk memfokuskan kekuatan
pada aspek-aspek penting dari layanan dan memotong anggaran dengan mengurangi biaya pada
area-area yang kurang penting (Frauman & Banks, 2011). Lebih lanjut lagi, menurut Rahman &
Islam (2018), IPA dapat membantu manajemen dalam mengevaluasi atribut-atribut jasa mana yang
dan mana yang tidak perlu perlu perhatian segera. Oleh karena itu, manajemen dapat
mengidentifikasi atribut-atribut jasa mana saja yang harus difokuskan untuk perbaikan ke depan
dan tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan (gap) antara tingkat
16
2.6. Kerangka Analisis
Berikut ini ada kerangka analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan peneitian di
Penentuan Atribut
Kualitas Employee Experience
Importance-Performance
Analysis (IPA)
Pada tahap pertama, langkah yang dilakukan adalah menentukan atribut-atribut kualitas
Employe Experience (EX) yang relevan dengan kondisi perusahaan. Atribut-atribut ini diperoleh
melalui studi literatur berupa hasil penelitian mengenai model kualitas EX. Atribut-atribut kualitas
yang dihasilkan selanjutnya akan digunakan untuk memperoleh data primer dari surveu ke
Kemudian, tahap kedua adalah melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara persepsi
dan ekspektasi karyawan. Data persepsi dan ekspektasi ini diperoleh dari survei karyawan
berdasarkan atribut-atribut kualitas EX yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah hasil survei
diperoleh, maka nilai rata-rata dari setiap atribut dapat dihitiung dan gap antara persepsi dan
17
ekspektasi dapat diperoleh. Dengan demikian, akan ditekaui atribut kualitas jasa mana saja yang
masih belum memenuhi ekspektasi karyawan. Pada tahap ini, nilai kepentingan (importance) juga
dapat diambil dari survei untuk melihat seberapa besar tingkat kepentingan relatif dari setiap
atribut.
Tahap selanjutnya adalah Importance-Performance Analysis (IPA). Pada tahap ini, hasil
survei berupa nilai rata-rata importance serta persepsi (performance) dari hasil survei digunakan
untuk membuat matriks IPA. Matiks IPA merupakan bidang 2 (dua) dimensi yang terbagi menjadi
empat kuadran. Setiap kuadran memiliki kriteria tertentu dalam penentuan prioritas atribut-atribut
Tahap ke-empat adalah penentuan atribut kualitas employee experience. Setelah matriks IPA
terbentuk, maka atribut-atribut yang masuk ke kuadran I (concentrate here) dan kuadran II (keep
up the good work) ditentukan sebagai atribut kualitas jasa yang perlu ditingkatkan oleh
manajemen. Selain itu, jika atribut-atribut jasa tertentu pada kuadran tersebut belum ada layanan
yang diberikan oleh perusahaan, maka manajemen perlu mempertimbangkan untuk memasukkan
18