Anda di halaman 1dari 13

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Manajemen Kualitas

Dalam manajemen kualitas, terdapat 2 (dua) definisi konsumen yang, yaitu konsumen

external dan konsumen internal. Konsumen internal merupakan karyawan yang menggunakan

fasilitas dari perusahaan, baik sifatnya produk ataupun jasa yang perusahaan sediakan untuk

karyawan demi mendukung aktivitas perusahaan. Sedangkan, konsumen eksternal adalah

pengguna akhir dari produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan (Foster, 2013). Konsumen

internal. Sebagai konsumen internal yang mendukung produktivitas perusahaan, karyawan

merupakan individu dalam organisasi yang memegang peranan penting bagi proses bisnis

(Albrecht, 2018).

2.2.1. Kepuasaan Karyawan

Kepuasan karyawan merupakan hasil dari persepsi karyawan atas nilai yang diterima dari

dari kondisi kerja dengan nilai atas harapan yang diinginkan karyawan. Dalam hal ini, kepuasan

karyawan didefinisikan sebagai bentuk respons bagaimana karyawan dalam sebuah perusahaan

puas dengan kondisi kerja yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja, budaya organisasi serta metode

kerja yang digunakan (P. Venkata Siva Durga et al., 2017). Kepuasan karyawan dapat juga

dipahami sebagai perasaan senang yang dimiliki oleh karyawan, keinginan dan hasrat yang kuat

untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam pekerjaan yang diberikan perusahaan. (Sageer et al.,

2012).

Sementara itu, menurut Wangenheim (2003), kepuasan merupakan hasil dari perbandingan

antara kinerja yang diharapkan dan kinerja yang dirasakan dalam sepanjang hubungan perusahaan

dengan konsumen. Kotler (2009) menyatakan bahwa secara umum, kepuasan (satisfaction) adalah

perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang

6
dipersepsikan produk atau jasa (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka. Jika kinerja gagal

memenuhi ekspektasi, pelanggan akan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan ekspektasi,

pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi ekspektasi, pelanggan akan sangat puas atau senang.

Definisi kepuasan tersebut menggarisbawahi hubungan yang kuat dengan kualitas yang

dirasakan konsumen. Penelitian mengenai kepuasan pelanggan telah menjadi perhatian banyak

peneliti terutama karena banyaknya manfaat yang dapat diperoleh. Berdasarkan penelitian dari

yang dilakukan Harvard Business Review (2011), menunjukkan bahwa karyawan yang merasa

puas dengan tempatnya bekerja menunjukkan peningkatan produktivitas kerja rata-rata sebesar

31% dan peningkatan penjualan sebesar 37% (Achor, 2011).

Menurut Hague & Hague (2013), mengembangkan program kepuasan pelanggan bukan

hanya mengenai pelaksanaan survei. Survei memberikan gambaran mengenai di mana perhatian

harus difokuskan. Seringkali, perbaikan untuk jangka panjang membutuhkan transformasi

fundamental di dalam perusahaan, yang melibatkan pelatihan karyawan dan perubahan budaya.

Hasil dari upaya tersebut dapat sangat berguna secara finansial, dengan semakin sedikitnya

customer churn, pangsa pasar lebih besar, harga yang premium, reputasi yang kuat, serta karyawan

yang lebih bahagia. Namun, hasil ini harus diperoleh dengan upaya yang besar di mana

memerlukan komitmen dari manajemen senior maupun karyawan.

2.2.2. Kualitas Employee Experience

Employee Experience (EX) adalah salah satu cara baru untuk mengukur kualitas

perusahaan dalam mengelola organisasi dan karyawan. Perhatian terhadap kualitas EX dapat

membantu organisasi untuk melakukan diferensiasi dari organisasi lain dan memperoleh

keunggulan kompetitif yang bertahan lama yang turut membantu peningkatan pendapatan. Hal ini

disebabkan oleh pengaruh EX terhadap peningkatan kepuasaan karyawan (Gautier et al., 2022).

7
Berdasarkan penelitian yang dilakukan International Business Manchine (2016), menunjukkan

bahwa EX memiliki hubungan signifikan dengan performa kerja karyawan, employee retention,

serta usaha karwayan untuk menghasilkan yang terbaik bagi organisasinya.

EX terbagi atas tiga dimensi, yaitu:

1. Physical environment, merupakan area tempat karyawan bekerja. Hal ini meliputi kursi, meja,

jenis ruang kerja (kubikel, ruang terbuka), interior ruangan, fleksibilitas kerja dan hal lainnya

berkaitan dengan kondisi fisik tempat karyawan bekerja. Physical environment merupakan

pusat dari EX, atau aspek yang paling pertama karyawan rasakan sebelum aspek lainnya.

2. Technological environment, merupakan alat kerja yang digunakan karyawan untuk

menyelesaikan tugasnya. Fungsi technological environment, sangat penting bagi perusahaan,

di mana hal ini berkaitan dengan apa yang karyawan gunakan untuk berkomunikasi,

berkolaborasi dan menyelesaikan tanggungjawabnya. Apabila peralatan yang digunakan

malfungsi, maka segala sesuatu disekitarnya termasuk hubungan dengan sesama rekan kerja

pun dapat terpengaruh. Aspek pengukuran technological environment pada EX meliputi:

aksesbilitas teknologi untuk semua orang, teknologi yang dibutuhkan karyawan apakah sesuai

dengan kebutuhan perusahaan, serta kemudahaan teknologi untuk dapat digunakan karyawan.

3. Cultural environment, merupakan atmosfir lingkungan kerja yang dirasakan oleh karyawan.

Culture environment dalam suatu organisasi menentukan bagaimana karyawan diperlakukan,

jenis produk atau layanan yang diciptakan, bentuk kerjasama tercipta serta metode yang

digunakan karyawan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Culture sendiri merupakan elemen

yang bentuknya biasanya tercipta dari akumulasi metode kerja yang organisasi pergunakan

sehingga terkadang ada elemen-elemen yang tidak disadari muncul. Evaluasi cultural

8
environment di suatu organisasi bertujuan untuk mengontrol aspek apa yang harus dieliminasi

dan harus diciptakan untuk meningkatkan EX.

(Morgan, 2017)

Parasuraman et al. (1985) mengembangkan model Service Quality (SERVQUAL) dengan

didasarkan pada dua prinsip: mereka menyatakan bahwa kualitas jasa dapat dibagi menjadi

beberapa dimensi serta dapat diukur sebagai perbedaan (gap) antara ekspektasi dan persepsi.

Selanjutnya, Parasuraman et al. (1988) mengembangkan model pengukuran SERVQUAL yang

terdiri dari 5 dimensi, yakni Tangibles, Empathy, Reliability, Responsibility, dan Assurance.

Model ini menunjukkan aktivitas-aktivitas yang efektif di dalam organisasi yang mempengaruhi

persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa. Model SERVQUAL yang dikembangkan Parasuraman

et al. (1985) ditunjukkan pada

Evaluasi EX dalam suatu organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode dari

Jacob Morgan (2017) menggunakan survey dengan 17 pertanyaan. Pertanyaan yang sediakan

terbagi atas 3 (tiga) dimensi dengan bobot yang berbeda. Nilai Employee Experience (EX) Nilai

physical environment (P), culture environment (C) dan technological environment dapat dipakai

untuk melihat seberapa ada ditahap mana suatu organisasi dalam mengelola employee experience

yang turut berpengaruh terhadap kepuasaan karyawan terhadap organisasinya, yakni melalui

Employee Experience Index (EXI). Nilai EX dapat dihitung sebagai berikut:

𝐸𝑚𝑝𝑙𝑜𝑦𝑒𝑒 𝐸𝑥𝑝𝑒𝑟𝑖𝑒𝑛𝑐𝑒 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 (𝐸𝑋𝐼 )

= ((∑P + ( ∑P . 0.3)) + ((∑C + ( ∑C . 0.4)) + ((∑T + ( ∑T . 0.3))

9
Hasil interpretasi dari nilai EXI, yakni: EXI < 60% (Inexperienced Organization), 60 – 70%

(Emergent Organization), 70 -80% (Engaged Empowered/Enabled), dan > 80% (Experential

Organization).

Menurut Jacob Morgan (2017), ada 9 (sembilan) jenis interpretasi berdasarkan nilai EXI,

yaitu:

1. Inexperienced, merupakan tipe organisasi yang tidak aktif melakukan improvisasi EX.

2. Technologically emergent, merupakan tipe organisasi yang menawarkan penggunaan

teknologi mutakhir untuk membantu kinerja karyawan.

3. Physically emergent, merupakan tipe organisasi yang berfokus pada perbaikan kondisi fisik

lingkungan kerja, di mana organisasi ini lebih mementingkan interior lingkungan kerja.

4. Culturally emergent, merupakan tipe organisasi yang cenderung menekankan improvisasi

budaya kerja, baik itu bagaimana berkolaborasi antar karyawan, sistem penghargaan bagi

karyawaan atau peran aktif atasan dalam membantu bawahannya.

5. Engaged, merupakan tipe organisasi yang berfokus melakukan improvisasi terhadap aspek

budaya dan lingkungan kerja.

6. Empowered, merupakan tipe organisasi yang berfokus melakukan improvisasi terhadap aspek

teknologi dan budaya kerja.

7. Enabled, merupakan tipe organisasi yang berfokus terhadap aspek fisik lingkungan kerja dan

teknologi yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan karyawan.

8. preExperiential, merupakan tipe organisasi yang berupaya untuk meningkatkan kualitas

employee experience, namun belum menemukan kondisi yang ideal untuk meningkatkan

motivasi kerja karyawan.

10
9. Experiential, merupakan tipe organisasi yang menciptakan employee experience yang

membuat karyawan selalu ingin bekerja di organisasi ini tanpa diminta. Tipe organisasi ini

sudah memiliki metode maupun program untuk meningkatkan employee experience.

2.2.3. Atribut Kualitas Employee Experience

Kualitas employee experience (EX) merupakan hasil perbandingan antara ekspektasi dan

persepsi karyawan terhadap kualitas lingkungan kerja. Karyawan memiliki sejumlah harapan

terhadap perusahaan mengenai lingkungan kerja seperti apa yang seharusnya perusahaan berikan

kepada mereka ketika melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, kualitas EX yang dirasakan oleh

karyawan merupakan perbedaan antara kondisi lingkukan kerja yang didapatkan atau dirasakan

dengan ekspektasi karyawan terhadap kondisi lingkungkan kerjanya.

Tabel 1. Dimensi dan Atribut Kualitas Employee Experience (Morgan, 2017)


Dimensi No Atribut
Perusahaan memiliki pilihan ruang kerja dengan suasana
1
variatif.
Pyhsical
2 Desain dan fisik kantor tergambar sesuai visi perusahaan.
Environment
Anda merasa percaya diri membawa kerabat untuk berkunjung
3
ke perusahaan.
4 Perusahaan memberika opsi jam kerja yang fleksibel.
5 Anda merasa memiliki tujuan datang ke kantor
6 Anda merasa diperlakukan secara adil di kantor
7 Anda merasa dihargai di kantor
Anda merasa manager/atasan anda adalah pembina/mentor
8
Anda di kantor
9 Anda merasa bahwa anda adalah bagian dari tim di kantor.
Cultural Apabila anda ingin belajar suatu hal yang baru atau ilmu baru
Environment 10 di dalam kantor Anda, maka Anda diberikan kesempatan dan
bantuan untuk melakukannya.
Anda mau merekomendasikan orang lain untuk bekerja di
11
tempat Anda.
12 Anda merasa kantor anda spesial
Perusahaan anda berinvestasi pada kesejahteraan karyawannya
13
(kesehatan fisik dan mental).
14 Perusahaan anda memiliki reputasi yang hebat.

11
Dimensi No Atribut
15 Anda familiar dengan teknologi yang Anda gunakan di kantor.
Secara umum, setiap karyawan boleh menggunakan teknologi
Technological 16
yang disediakan oleh perusahaan Anda
Environment
Teknologi yang digunakan di perusahaan Anda berfokus
17
mempermudah pekerjaan Anda.

2.2.4. Peran Employee Experience Terhadap Operasional Perusahaan

Berdasarkan penelitian McKinsey (2021), employee engagement yang berkaitan dengan

produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh kualitas employee experience (EX) yang disediakan

oleh organisasi kepada para karyawannya. Organisasi yang mampu memberikan EX yang sesuai

dengan kebutuhan karyawan memiliki employee engagement level 16 kali lebih besar

dibandingkan yang tidak. Hal ini juga mempengaruhi keputusan karyawan yang 8 kali lipat lebih

tinggi untuk tetap bertahan di organisasi tempat mereka bekerja sekarang, dibandingkan organisasi

yang belum membenahi kualitas EX yang dimilikinya (Emmett et al., 2021).

EX juga sangat mempengaruhi performa keuangan suatu organisasi, di mana organisasi yang

memiliki EX yang baik tercatat menghasilkan dua kali lipat return on sales daripada organisasi

yang belum membenahi EX yang dimilikinya. Selain itu, peningkatan 3 (tiga) kali lipat terjadi

pada return on assets pada perusahaan yang memperbaiki kualitas EX yang dimiliki. (International

Business Machines Corporation, 2016). Selain itu, organisasi yang membenahi EX nya mampu

berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pendapatan tahunan sebesar 2 – 4 kali dibandingkan

organisasi yang belum membenahi EX yang tercatat berpengaruh terhadap penurunan pendapatan

sebesar 6-10 % (Watson, 2020). Selain itu, peningkatan mutu EX pada suatu organisasi dapat

mempengaruhi komitmen kerja (employee engagement) yang mempengaruhi persentasi penurunan

terhadap angka ketidakhadiran, turnover, serta peningkatan kepuasan konsumen eksternal suatu

organisasi (Gallup, 2019).

12
2.3. Gap Analysis

Gap analysis merupakan teknik analisis dan metode pengujian untuk menilai aspek bisnis

yang diinginkan dibandingkan dengan kondisi saat ini (Kenton, 2020). Dengan menggunakan

pendekatan gap analysis, suatu organisasi dapat mengevaluasi kondisi manajemen dengan target

atau harapan terhadap aspek bisnis dan kemudian membuat rencana improvisasi untuk mencapai

target yang diinginkan. Gap analysis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi aspek bisnis pada

sebuah organisasi, baik melalui persepsi pengguna, observasi atau kajian khusus terhadap

performa organisasi dan menentukan harapan atau ekspektasi terhadap kondisi aspek bisnis yang

bersangkutan. Kesenjangan antara ekspektasi dan harapan diukur dan kemudian organisasi dapat

mengukur perubahan apa yang dapat dilakukan sesuai dengan kapabilitas organisasi (Kim & Ji,

2018).

Berdasarkan Sora Kim dan Yingru Ji, jenis kesenjangan (gap) terbagi menjadi 3 (tiga), yakni:

1. Expectation gap

Kesenjangan ini terjadi Ketika ada perbedaan pandangan antara konsumen dengan organisasi

mengenai “apa seharusnya” disediakan atau dimiliki organisasi dibandingkan dengan “kondisi

saat ini” yang dimiliki organisasi. Expectation gap terbagi menjadi tiga, yakni:

a. Factual gap, merupakan kesenjangan yang dinilai antar kedua grup, yaitu konsumen dan

organisasi. Kesenjangan ini mengukur kondisi saat ini yang dirasakan oleh organisasi dan

persepsi konsumen terhadap produk atau layanan organisasi tersebut.

b. Conformance gap, kesenjangan ini dilakukan oleh organisasi secara mandiri untuk

mengukur suatu kondisi aspek bisnis saat ini dan kondisi aspek bisnis yang harusnya

terjadi.

13
c. Ideal gap, merupakan kesenjangan antar dua subjek, yaitu organisasi dan konsumen.

Kesenjangan ini mengukur ekspektasi organisasi dan ekspektasi dari konsumen yang

menggunakan produk atau jasa dari organisasi tersebut.

2. Legitimacy gap, merupakan kesenjangan yang dirasakan konsumen mengenai “apa yang

harusnya ada” dengan persepsi konsumen mengenai kondisi aspek bisnis organisasi saat ini.

3. Performance gap, merupakan kesenjangan performa aspek bisnis yang dirasakan oleh

organisasi dengan performa bisnis organisasi.

2.4. Importance – Performance Analysis (IPA)

Kerangka Importance-Performance Analysis (IPA) diperkenalkan dalam riset pemasaran

untuk memahami kepuasan pelanggan dengan mencocokkan persepsi mereka terhadap tingkat

kepentingan dan kinerja atribut kualitas layanan (James, 1997). Penilaian tingkat kepentingan dan

kinerja ditampilkan pada matriks dua dimensi, dan dibagi ke dalam empat kuadran, yaitu keep up

the good work, potential overkill, low priority, dan concentrate here. Pendekatan klasifikasi lain

adalah dengan memasukkan garis diagonal 45 derajat ke atas kanan (iso-rating) untuk

mengidentifikasi prioritas manajemen. Atribut-atribut yang berada pada garis iso-rating memiliki

tingkat kinerja sama dengan kepentingan, sementara atribut-atribut yang berada di atas garis iso-

rating menandakan bahwa kinerja masih di bawah kepentingan sehingga diperlukan adanya

peningkatan (Bacon, 2003).

IPA merupakan teknik yang sederhana dan berguna dalam mengidentifikasi atribut-atribut

dari suatu produk atau jasa yang paling membutuhkan peningkatan atau yang biayanya dapat lebih

ditekan tanpa mengurangi kualitas keseluruhan secara signifikan (Huang & Kuo, 2008). Gambar

2 di bawah ini menunjukkan posisi relatif dari atribut-atribut dalam bentuk matriks, dengan nilai

kepentingan berada pada sumbu vertikal sedangkan nilai kinerja berada pada sumbu horizontal.

14
Atribut-atribut kualitas employee experience diklasifikasikan pada salah satu dari kuadran-kuadran

di dalam matriks IPA, yakni : Kuadran I (Keep up the good work), Kuadran II (Possible overkill),

Kuadran III (Low priority), dan Kuadran IV (Concentrate here).

Gambar 2. Model Matriks IPA dengan Iso-rating Line (Deng & Pierskalla, 2018).

Menurut Lee and Hu (2012) serta Tileng et al. (2013), penjelasan dari kuadran-kuadran pada

matriks IPA adalah sebagai berikut: - Kuadran I (Keep up the good work), pada kuadran ini tingkat

kepentingan dan kinerja sama-sama tinggi. Atribut-atribut pada kuadran ini sudah memenuhi

ekspektasi pelanggan sehingga kualitas jasa harus tetap dipertahankan. - Kuadran II (Possible

overkill), pada kuadran ini, tingkat kepuasan tinggi meskipun pelanggan menganggap atribut-

atribut kurang penting. Oleh karena itu, alokasi sumber daya untuk peningkatan kualitas atribut di

dalam kuadran ini dapat dikurangi sehingga biaya dapat lebih dihemat. - Kuadran III (Low

15
priority), pada kuadran ini, tingkat kepentingan dan kinerja dari atribut-atribut sama-sama rendah.

Atribut pada kuadran ini tidak diprioritaskan karena pengaruhnya terhadap kepuasan cenderung

kecil.

Kuadran IV (Concentrate here), pada kuadran ini, tingkat kepentingan tinggi namun kinerja

masih rendah. Atribut-atribut yang masuk dalam kuadran ini dianggap penting oleh pelanggan.

Akan tetapi, atribut-atribut tersebut masih belum memenuhi ekpektasi pelanggan sehingga tingkat

kepuasan masih cenderung rendah. Dengan demikian, kualitas atribut-atribut di dalam kuadran ini

harus ditingkatkan. IPA dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk mengevaluasi posisi

kompetitif dari suatu perusahaan di dalam pasar, serta peluang-peluang peningkatan dan upaya-

upaya perencanaan strategis (Hawes & Rao, 1985). Kemudahan dalam penyajian data serta saran

dan implikasi strategis merupakan beberapa dari sekian keuntungan penggunaan teknik ini (Choi

& Chu, 2000). IPA mampu memberikan petunjuk bagi manajer untuk memfokuskan kekuatan

pada aspek-aspek penting dari layanan dan memotong anggaran dengan mengurangi biaya pada

area-area yang kurang penting (Frauman & Banks, 2011). Lebih lanjut lagi, menurut Rahman &

Islam (2018), IPA dapat membantu manajemen dalam mengevaluasi atribut-atribut jasa mana yang

dan mana yang tidak perlu perlu perhatian segera. Oleh karena itu, manajemen dapat

mengidentifikasi atribut-atribut jasa mana saja yang harus difokuskan untuk perbaikan ke depan

dan tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan (gap) antara tingkat

kepentingan (importance) dan kinerja (performance).

16
2.6. Kerangka Analisis

Berikut ini ada kerangka analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan peneitian di

dalam kerja praktek ini:

Penentuan Atribut
Kualitas Employee Experience

Analisis Kesenjangan (Gap Analysis)


Kualitas Employee Experience

Importance-Performance
Analysis (IPA)

Gambar 3. Kerangka Analisis

Pada tahap pertama, langkah yang dilakukan adalah menentukan atribut-atribut kualitas

Employe Experience (EX) yang relevan dengan kondisi perusahaan. Atribut-atribut ini diperoleh

melalui studi literatur berupa hasil penelitian mengenai model kualitas EX. Atribut-atribut kualitas

yang dihasilkan selanjutnya akan digunakan untuk memperoleh data primer dari surveu ke

karyawan PT. Armada Samudra Global

Kemudian, tahap kedua adalah melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara persepsi

dan ekspektasi karyawan. Data persepsi dan ekspektasi ini diperoleh dari survei karyawan

berdasarkan atribut-atribut kualitas EX yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah hasil survei

diperoleh, maka nilai rata-rata dari setiap atribut dapat dihitiung dan gap antara persepsi dan

17
ekspektasi dapat diperoleh. Dengan demikian, akan ditekaui atribut kualitas jasa mana saja yang

masih belum memenuhi ekspektasi karyawan. Pada tahap ini, nilai kepentingan (importance) juga

dapat diambil dari survei untuk melihat seberapa besar tingkat kepentingan relatif dari setiap

atribut.

Tahap selanjutnya adalah Importance-Performance Analysis (IPA). Pada tahap ini, hasil

survei berupa nilai rata-rata importance serta persepsi (performance) dari hasil survei digunakan

untuk membuat matriks IPA. Matiks IPA merupakan bidang 2 (dua) dimensi yang terbagi menjadi

empat kuadran. Setiap kuadran memiliki kriteria tertentu dalam penentuan prioritas atribut-atribut

kualitas EX yang harus ditingkatkan.

Tahap ke-empat adalah penentuan atribut kualitas employee experience. Setelah matriks IPA

terbentuk, maka atribut-atribut yang masuk ke kuadran I (concentrate here) dan kuadran II (keep

up the good work) ditentukan sebagai atribut kualitas jasa yang perlu ditingkatkan oleh

manajemen. Selain itu, jika atribut-atribut jasa tertentu pada kuadran tersebut belum ada layanan

yang diberikan oleh perusahaan, maka manajemen perlu mempertimbangkan untuk memasukkan

atribut tersebut dalam komponen EX yang dimiliki perusahaan.

18

Anda mungkin juga menyukai