Autobiografi Fatmawati Hamzading
Autobiografi Fatmawati Hamzading
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
3 Maret 2022
Aku lahir dengan nama Fatma, tetapi lebih sering dipanggil Patma atau Pamma. Beberapa
kali juga terdengar sahutan Pa’ma untuk membuatku menoleh. Meskipun teman adalah relasi
yang begitu peduli di saat kita terpuruk, tapi teman dapat menjadi manusia yang sangat
menyebalkan seketika. Aku sudah sangat sering mengeluh agar dipanggil Fatma sesuai namaku.
Situasi seperti ini akan memaksaku untuk mendengar alasan yang sama berulang kali,
“Terlalu resmi jika namamu dieja seperti itu, Pamma.”
Namun, kalau dipikir-pikir dipanggil Patma atau Pamma bagus juga. Sekurang-
kurangnya aku berhasil membuat orang lain tertawa melihat wajah kesalku yang tidak suka
dibuat menoleh dengan nama itu. Akan tetapi, tertawa seringkali berhasil membuat kita tertipu.
Ibu yang tertawa saat mengatakan bahwa ia baik-baik saja telah kehilangan tupperware-nya, lalu
ternyata sepersekian menit kemudian benda keras terdengar mendarat sempurna di kepala kita.
Di lain cerita misalnya, lawan bicara kita kerap tertawa santai menanggapi lelucon-lelucon yang
kita hadirkan di tengah-tengah pembicaraan. Namun, sebuah kenyataan mengejutkan adalah
ternyata dia sangat-sangat risih dengan sikap kita yang katanya, “Sok asik”. Begitulah hidup, apa
yang kita tunjukkan di depan semuanya terkadang hanyalah sebuah topeng yang sedang berusaha
kita sematkan pada diri kita.
Kejadian yang sama pernah menimpaku beberapa bulan yang lalu. Kurasa semua orang
tahu bahwa aku senang menjahili teman-temanku. Entah itu dengan membangunkan mereka saat
tidur lalu berkata, “Bukannya tadi kau ingin tidur?” Atau di lain hari aku akan pura-pura
berteriak bahwa ada kecoak yang sedang lalu lalang di lantai lalu semua teman perempuanku
akan menjerit kencang. Bagiku itu lucu sekali. Hingga suatu hari, aku iseng melempar seekor
laba-laba ke arah temanku yang sedang duduk-duduk santai di balkon rumahku ditemani camilan
makaroni. Sebenarnya itu hanya mainan dari plastik yang berbentuk laba-laba. Saat melihat
wajahnya yang ketakutan, aku tertawa keras. Di akhir barulah kuberitahu bahwa itu hanya
mainan. Dia terlihat menghela napas panjang lalu tertawa.
“Ada-ada saja kau,” ucapnya terengah-engah.
Dia tersenyum menanggapi lalu pamit hendak balik duluan. Aku mengiyakan dan setelah
itu semuanya kembali seperti biasa. Aku sering makan bersama, bersepeda keliling kompleks,
dan dia juga sering bertandang ke rumahku meski hanya sekadar numpang WiFi. Tepat tiga
bulan setelahnya, ia menelponku pada pukul tiga dini hari.
Aku yang masih setengah sadar hanya menjawab asal, “Bicara saja!”
“Kau ingat saat kita sedang berkumpul di balkon rumahmu dan kau iseng melempar laba-
laba ke arah kami lalu beralasan bahwa itu hanya laba-laba mainan dari plastik?”
“Tentu saja. Hari itu wajah ketakutanmu lucu sekali, seperti sedang menahan cepirit.”
Ujarku sambil tertawa.
“Apa maksudmu, bajingan?” kali ini aku berbicara padanya sambil memperbaiki
dudukku.