Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

1. Definisi Demonstrasi (Unjuk Rasa)


1. Demo Damai dan Kekerasan
2. Tujuan Demonstrasi
3. Format Demonstrasi
2. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Demonstrasi
1. Ulama yang Membolehkan Demontrasi
2. Ulama Wahabi Mengharamkan Demonstrasi
3. Kesimpulan

PERTANYAAN
assalamualikum, mau tanya ustadz apa hukum berdemonstrasi. sebagian ada yang
membolehkan dengan berdalil Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan
demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw.
di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh
dakwah.

Rasulullan saw. dan para sahabatnya sambil melakukan Thawaf Qudum setelah
peristiwa Hudaibiyah melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan
kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan
memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba) sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau
secara tegas mengatakaan saat itu: Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang
zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan
dimain-mainkan).

apakah ini bisa dijadikan dalil untuk berdemonstrasi terima kasih atas jawabannya

JAWABAN

DEFINISI DEMONSTRASI (UNJUK RASA)

Demonstrasi atau unjuk rasa atau protes jalanan adalah aksi yang dilakukan
kelompok massa atau sekumpulan kelompok massa untuk tujuan politis atau yang
lain. Demonstrasi umumnya dilakukan dengan cara berjalan dalam format parade
massal yang biasanya diawali di suatu tempat dan menuju lokasi yang ditentukan.
Demonstrasi terkadang diakhiri dengan bacaan petisi oleh ketua demo atau tuntutan
untuk berbicara dengan perwakilan pihak yang didemo. Dalam bahasa Arab
demonstrasi disebut mudzaharah (‫)مظاهرة‬.
Aksi duduk-duduk atau memblokade jalan disebut juga dengan demontrasi
walaupun kurang umum.

DEMO DAMAI DAN KEKERASAN

Ada beberapa jenis aksi demo sebagai berikut:

a) Aksi damai (non-violent/peaceful demontration)


b) Aksi kekerasan (violent /militant demonstration)
c) Aksi damai yang berujung kekerasan.

TUJUAN DEMONSTRASI

Tujuan demonstrasi adalah sebagai berikut:

a) Untuk mengungkapkan pendapat (setuju atau tidak setuju) terkait isu publik
seperti ketidakadilan, penderitaan kaum dhuafa, dll.
b) Protes terkait isu politik
c) Protes terkait permasalahan ekonomi
d) Protes terkait isu sosial

FORMAT/BENTUK DEMONSTRASI

Bentuk demontrasi ada beberapa macam format seperti:

a) March atau berbaris yaitu berbaris dari satu tempat ke tempat lain yang dituju.
b) Rally atau penggalangan orang yaitu sekumpulan orang berkumpul di suatu
tempat untuk mendengarkan pembicara.
c) Picketing atau pengepungan yaitu sekekompok massa mengepung suatu tempat
tertentu.
d) Sit-ins atau duduk bersama yaitu peserta demo duduk bersama di suatu lokasi
untuk waktu tertentu atau tak terbatas sampai tuntutan dipenuhi atau sampai mereka
dipaksa meninggalkan tempat.
e) Hunger strike atau mogok makan yaitu peserta demo tidak makan apapun kecuali
minum air untuk waktu yang ditentutkan atau sampai tuntutan dipenuhi.
f) Nudity atau telanjang. Ini terjadi di negara-negara Barat (Eropa dan Amerika).
Demo dilakukan oleh sekolompok perempuan atau pria wanita dengan bertelanjang
dada atau telanjang bulat atau mengancam untuk bertelanjang apabila tuntutan tidak
dipenuhi.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG DEMONSTRASI


Demonstrasi adalah fenomena modern dan umumnya hanya terjadi pada negara
yang menganut sistem demokrasi. Karena itu demonstrasi tidak diijinkan dan tidak
terjadi di negara-negara otoriter yang berada di bawah penguasa diktator, kerajaan,
dan komunisme. Seperti, Arab Saudi, China, Korea Utara, Mesir sebelum revolusi,
Indonesia pada era pra-Reformasi, dan lain-lain.

Pendapat ulama pun berbeda sesuai dengan negara tempat di mana mereka
tinggal. Para ulama Arab Saudi, yang dikenal dengan sebutan ulama Wahabi Salafi,
mengharamkan demonstrasi dengan berbagai argumennya. Pendapat mereka tentu
dapat dimaklumi kalau dicurigai sarat dengan kepentingan untuk membela
penguasa. Maklum, gerakan Wahabi mendapat dukungan politik dan finanasial
penuh dari penguasa kerajaan. Kerajaan bubar, gerakan Wahabi akan bubar juga.
Atau minimal tidak akan berkembang.

Karena itu, demi mendapat pandangan dari ulama yang relatif obyektif dan netral,
kami lebih banyak membahas soal ini dari sudut pandang ulama di luar Arab Saudi.
Walaupun tetap kami kutip pandangan kalangan ulama Wahabi untuk sekedar
diketahui.

Karena demo merupakan fenomena negara modern yang demokratis, maka tidak
ada satupun dalil Quran dan hadits yang mengena persis dengan permasalahan.
Memang, ulama yang berargume--terutama yang mengharamkan-- memakai dalil
Quran dan hadits untuk mendukung pandangannya, namun apakah dalil yang
digunakan itu relevan atau tidak masih perlu kajian lebih lanjut.

DALIL DAN PENDAPAT ULAMA YANG MEMBOLEHKAN DEMONSTRASI

Yusuf Qardhawi termasuk salah satu ulama kontemporer yang membolehkan


demonstrasi. Bagi Qaradhawi unjuk rasa hukumnya boleh dalam Islam selagi
bertujuan baik dan di dalamnya tidak terkandung unsur-unsur yang bertentangan
dengan syariah Islam.[1]

Qardhawi mengatakan:
‫ أن يسيروا المسيرات وينشئوا‬-‫فمن حق المسلمين – كغيرهم من سائر البشر‬
،‫ وتبليغا بحاجاتهم إلى أولي األمر‬،‫ تعبيرا عن مطالبهم المشروعة‬،‫المظاهرات‬
،‫ فإن صوت الفرد قد ال يسمع‬.‫ بصوت مسموع ال يمكن تجاهله‬،‫وص ّناع القرار‬
‫ وكان‬،‫ وكلما تكاثر المتظاهرون‬،‫ولكن صوت المجموع أقوى من أن يتجاهل‬
‫ ألن إرادة‬.‫ كان صوتهم أكثر إسماعا وأشد تأثيرا‬:‫معهم شخصيات لها وزنها‬
‫ والمرء ضعيف بمفرده قوي بجماعته‬،‫الجماعة أقوى من إرادة الفرد‬
Arti kesimpulan: Adalah menjadi hak umat Islam untuk berdemonstrasi. Karena
tuntutan yang disampaikan secara bersama lebih kuat dibanding apabila dilakukan
sendirian.

Dalil yang dipakai Qardhawi antara lain

- QS Al-Maidah :2 ‫َو َت َع َاو ُنو ْا َع َلى ْالبرِّ َوال َّت ْق َوى‬


Artinya: Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa

- Hadits Nabi ‫ يشد بعضه بعضا‬،‫المؤمن للمؤمن كالبنيان‬


Artinya: Orang mukmin dengan mukmin lain itu ibarat bangunganyang saling
menguatkan.

- Kaidah fiqih ‫أن األصل في األشياء اإلباحة‬


Artinya: Hukum asal dalam semua hal itu adalah boleh (kecuali ada nash yang
menyatakan sebaliknya).

Menurut Qardhawi, seorang ulama hendaknya tidak mudah mengharamkan sesuatu


kecuali bdrdasarkan dalil nash Quran dan hatits sahih yang menetapkan atas
keharamannya. Adapun dalil hadits yang dha'if sanadnya atau sahih tapi penetapan
keharamannya tidak sharih (eksplisit), maka hukumnya tetap pada kebolehan
sehingga tidak terjebak pada mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah ( ‫ال نحرم‬
‫)ما أحل هللا‬

Menurut Qardhawi, dalam Islam perkara yang halal jauh lebih luas dari perkara yang
haram karena sesuatu yang tidak dinyatakan haram pada dasarnya adalah halal.
Nabi bersabda dalam sebuah hatits:
‫ وحرم أشياء فال‬،‫ وحد حدودا فال تعتدوها‬،‫إن هللا فرض فرائض فال تضيعوها‬
‫ وسكت عن أشياء رحمة بكم غير نسيان فال تبحثوا عنه‬،‫تنتهكوها‬
Artinya: Allah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kau sia-siakan.
Memberi batasan-batasan, jangan kau lewati. Mengharamkan beberapa hal, jangan
kau langgar. Diam atas beberapa hal sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa,
maka jangan kau cari-cari (status hukum -red) darinya.

ULAMA WAHABI SALAFI MENGHARAMKAN DEMONSTRASI

Seperti disinggung di muka, ulama Wahabi hampir pasti akan mengharamkan


demonstrasi. Karena demonstrasi dilarang di negara-negara non-demokrasi seperti
Arab Saudi. Sedang gerakan Wahabi Salafi mendapat dukungan penuh secara
politik dan finansial dan terintegrasi dalam sistem kerajaan Arab Saudi. Oleh karena
itu, para ulama Wahabi "berkewajiban" untuk mendukung rezim Ibnu Saud.
Berikut pendapat ulama Wahabi tentang demonstrasi.[2]

1. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan:


‫فالمسيرات في الشوارع والهتافات ليست هي الطريق الصحيح لإلصالح والدعوة‬
‫ بالزيارة والمكاتــــــــبات بالتي هي أحســن‬،‫فالطـــريق الصحيح‬
Artinya: Rally (berbaris) di jalan bukanlah jalan yang benar untuk melakukan ishlah
(perbaikan), dakwah. Cara yang benar adalah dengan kunjungan atau tulisan.

2. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:


‫ لم يكن معروفا ً في عهد النبي صلى هللا عليه وسلم‬،‫فان المظاهرات أمر حادث‬
‫وال في عهد الخلفاءـ‬
‫ ثم إن فيه من الفوضى والشغب ما‬.‫ وال عهد الصحابة رضي هللا عنهم‬،‫الراشدين‬
ً ‫يجعله أمرا ممنوعا‬
‫لذلك نرى إن المظاهرات أمر منكر‬
Artinya: Demonstrasi itu perkara baru yang tidak ada di zaman Nabi, masa Khalifah
Islam yang empat (khulafa-ur Rashidin), dan masa Sahabat. Unjuk rasa itu terlarang
karena menimbulkan kekacaaun dan kerusuhan.

Saya berpendapat bahwa demonstrasi itu perkara yang munkar.

3. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan mengatakan:


‫ودين‬، ‫وما كان المسلمون يعرفونها‬، ‫والمظاهرات ليست من أعمال المسلمين‬
‫اإلسالم دين هدوء ودين رحمة ودين اضباط الفوضى والتشويش والإثارة‬
‫والحقوق يتوصل إليها بالمطالبة الشرعية والطرق‬، ‫هذا هو دين اإلسالم‬، ‫فتن‬
‫فالتجوز هذه‬، ‫والمظاهرات تحدث سفك دماء وتحدث تخريب أموال‬، ‫الشرعية‬
‫األمور‬
Arti ringkasan: Demonstrasi bukan perilaku umat Islam dan tidak dikenal oleh umat
Islam zaman dahulu. Demonstrasi menimbulan pertumpahan darah dan kerusakan
harta benda. Maka, hal ini tidak boleh.

KESIMPULAN

Demonstrasi hukumnya boleh dalam Islam karena itu termasuk forum untuk
menyampaikan pendapat dan bentuk ekspresi amar makruf nahi munkar (menyeru
kebaikan, dan mencegah kemungkaran). Dengan syarat, dalam melaksanakan
demontrasi tidak terdapat perilaku atau perbuatan yang melanggar syariah Islam
seperti melakukan tindak kekerasan, terjadinya pengrusakan, atau menyebabkan
pelaku demo meninggalkan kewajiban agama seperti shalat 5 waktu, atau
melakukan pelanggaran dosa , dll.

Hukum Suap-Menyuap dan Gratifikasi dalam


Syariat Islam
Posted on Oktober 12, 2011 by Ibnu Dzulkifli As-Samarindy

Kata suap-menyuap pada hari-hari ini ini begitu akrab di


telinga dikarenakan seringnya media massa menukilnya, sampai-sampai kata suap-menyuap
lebih sering digunakan melebihi makna yang sebenarnya , suap makna sebenarnya adalah
memasukkan makanan dengan tangan ke dalam mulut (Kamus Besar bahasa Indonesia)
Maka pada hari-hari ini, apabila seseorang mendengar kata suap , bukanlah yang tergambar
di benaknya sesuatu yang terkait tangan, mulut dan makanan tapi yang langsung terbayang
adalah korupsi, sidang dan KPK.

Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia,
yang ditemukan adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang diartikan sebagai :  “dana
yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok para petugas” Sungguh pengertian yang
kurang sempurna, karena apabila pengertiannya seperti ini maka tentunya dana-dana kecil
tidak termasuk sebagai kategori sogok atau suap.

Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah, yang diartikan sebagai
“Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan
untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar “ (Mu’jamul Wasith) .

Dan dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan
ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :

‫لعنة هللا على الراشي والمرتشي‬


“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan
selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dalam
Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau lainnya)”

Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan
ini, dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal seperti ini,
yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk
kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dia bertaubat, adapun ketika dia mati
dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah kehendak Allah apakah akan mengadzabnya
atau tidak.

Akan tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan hawa nafsunya,
mereka akan mencari seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan perbuatan mereka itu
dapat dibenarkan. Begitu juga dengan riswah ini, mereka mempunyai seribu satu alasan
untuk membenarkan pemberian kepada mereka, diantara alasan mereka yang paling sering
dinukil adalah :

 Ini adalah uang lelah, uang tips atau hadiah


 Tidak ada pihak yang dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan .
 Kami hanya diberi, kami tidak pernah meminta.

Maka pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi , yaitu pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. (Wikipedia)

Maka sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah
sesuatu yang diperbolehkan untuk diterima ??

Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim :

‫ارسُوْ َل‬ َ َ‫ ي‬:‫ال‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِ ْستَ ْع َم َل عَا ِمالً فَ َجا َءهُ ْال َعا ِم ُل ِح ْينَ فَ َر َغ ِم ْن َع َملِ ِه فَق‬ َ ِ‫ي َأ َّن َرسُوْ َل هللا‬ ِ ‫ْث َأبِ ْي ُح َم ْي ِد الس‬
ِّ ‫َّاع ِد‬ ُ ‫َح ِدي‬
ِ‫ص ـلَّى هللا‬ َ ِ‫ك َأ ْم الَ ؟ ثُ َّم قَــا َم َر ُس ـوْ ُل هللا‬ َ ‫فَنَظَرْ تَ َأيُ ْهدَى لَ ـ‬  ‫ك‬ ‫ُأ‬
َ ‫ت َأبِ ْيكَ َو ِّم‬ِ ‫ َأفَالَ قَ َعدْتَ فِى بَ ْي‬:ُ‫ فَقَا َل لَه‬.‫ي لِ ْي‬ ‫ُأ‬
َ ‫هللاِ هـ َذا لَ ُك ْم وهـ َذا ْه ِد‬
َ‫ هـ ـذا‬:ُ‫ فَ َما بَا ُل ْال َعا ِم ِل نَ ْستَ ْع ِملُهُ فَيَْأتِـ ْينَا فَيَقُوْ ل‬،ُ‫ َأ َّما بَ ْعد‬:‫ ثُ َّم قَا َل‬،ُ‫صالَ ِة فَتَ َشهَّ َد َوَأ ْثنَى َعلَى هللاِ بِ َما هُ َو َأ ْهلُه‬ َّ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َِشيَّةً بَ ْع َد ال‬
‫ُأ‬
‫ت َأبِ ْي ِه َو ِّم ِه فَنَظَ َر هَلْ يُ ْهدَى لَهُ َأ ْم الَ؟ فَـ َو الَّ ِذيْ نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَـ ِد ِه الَيَ ُغــلُّ َأ َحـ ُد ُك ْم ِم ْنهَــا‬ِ ‫ي لِ ْي َأفَالَ قَ َع َد فِ ْي بَ ْي‬ َ ‫ِم ْن َع َملِ ُك ْم َوهـ َذا ُأ ْه ِد‬
‫َت َشاةً َجا َء‬ ْ ‫َت بَقَ َرةً َجا َء بِهَا ُخوْ ا ٌر َوِإ ْن َكان‬ ْ ‫َشيْـًأ ِإالَّ َجا َء بِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة يَحْ ِملُهُ َعلَى ُعنُقِ ِه ِإ ْن َكانَ بَ ِع ْيرًا َجا َء بِ ِه لَهُ ُرغَا ٌء َوِإ ْن َكان‬
ُ َ ِ‫ ثُ َّم َرفَ َع َرسُوْ ُل هللا‬:‫ت فَقَا َل َأبُوْ ُح َم ْي ٍد‬
‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ َدهُ َحتَّى ِإنَّا لَنَ ْنظ ُر ِإلَى ُع ْف َر ِة ِإ ْبطَ ْي ِه‬ ُ ‫بِهَا تَ ْي َع ُر فَقَ ْد بَلَّ ْغ‬

Abu Humaidi Assa’idy  Rhadiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi 


wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah
selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan
yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassallam . bersabda kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah atau
ibumu apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu
bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia
datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak
duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?.
Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu
(korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa
onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku
telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam
”.., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya

Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu  tentang hadits ini :

“Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan sesungguhnya hal
tersebut termasuk dari perkara-perkara besar yang sampai menyebabkan nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada manusia dan memperingatkan dari perbuatan
ini. Karena sesungguhnya apabila riswah merajalela di sebuah kaum maka mereka akan
binasa dan akan menjadikan setiap dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak
menghukumi dengan kebenaran dan tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah,
kita berlindung kepada Allah. Dan riswah , terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat pula
yang memberi kecuali apabila dalam keadaan yang mengambil riswah menghalangi hak-hak
manusia dan tidak akan memberikannya kecuali dengan riswah maka dalam keadaan seperti
ini laknat jatuh terhadap yang mengambil dan tidak atas yang memberi karena sesungguhnya
pemberi hanya menginginkan mengambil haknya, dan tidak ada jalan bagi dia untuk itu
kecuali dengan membayar riswah maka yang seperti ini mendapatkan udzur.  Sebagaimana
ditemukan sekarang (kita berlindung kepada Allah) di sebagian pejabat di Negara-negara
Islam yang  tidak menunaikan hak-hak manusia kecuali dengan riswah ini (kita belindung
kepada Allah) maka dia telah memakan harta dengan batil, dia telah menimpakan kepada
dirinya sendiri dengan laknat. Kita memohon kepada Allah ampunan, dan wajib bagi orang-
orang Allah telah mempercayakan kepadanya pekerjaan untuk melaksanakannya dengan
keadilan dan menegakkannya dengan perkara-perkara yang wajib ditegakkan di dalamnya
sesuai kemampuannya.( Syarah Riyadhus Sholihin , 1/187)

Berkata Ibnu Baaz Rahimahullahu  :

“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja untuk Negara
untuk menunaikan apa-apa yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh bagi dia untuk
menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaaanya. Dan apabila dia mengambilnya maka dia
harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak boleh bagi dia untuk mengambil bagi dirinya
sendiri berdasarkan hadits shohih ini karena sesungguhnya hal itu merupakan perantara
kejelekkan dan pelanggaran amanat.” (Fatawa Ulama Baladil Haram Hal. 655)

Mungkin sebagian orang akan mengatakan, bahwa ini adalah fatwa ulama-ulama masa kini,
maka kita butuh ucapan ulama-ulama terdahulu. Maka perhatikanlah ucapan para imam-
imam kita terdahulu :

Imam Bukhori membuat bab di dalam shohihnya yang mencantumkan hadits ini : “Bab
Hadiah untuk pegawai” dan di tempat lain  beliau membuat bab : “Bab orang-orang yang
tidak menerima hadiah dikarenakan sebab”

Imam Nawawi membuat bab dalam Shohih Muslim : “Bab haramnya hadiah untuk pegawai”

Maka sungguh benar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , seandainya saja kira-kira kita
duduk di rumah apakah akan ada yang datang orang yang tidak dikenal memberi kita
hadiah ??? seandainya kita tidak di posisi sedang memegang urusan atau proyek apakah kita
akan diberi hadiah?? apakah apabila kita tidak sedang berada di loket-loket pelayanan
masyarakat kita akan diberi hadiah sementara pegawai lain , pegawai biasa yang tidak
memegang urusan tidak diberi hadiah ???

Umar bin Abdil aziz Rahimahullahu  , beliau berkata ” Hadiah pada zaman Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam adalah hadiah, adapun hari ini hadiah (hakikatnya) adalah sogokan”
(Syarh Ibnu Bathol 7/111)

Lajnah Da’imah Lilbuhuts Wal Ifta’ ditanya tentang 3 bentuk pemberian dalam pekerjaaan :

Pertama,  Pemberian setelah ditunaikannya seluruh pekerjaan dengan baik, tanpa adanya
penyia-nyiaan, penipuan, penambahan atau pengurangan dan tanpa mengutamakan seseorang
dibanding yang lainnya

Kedua ,  Dengan diminta , baik secara jelas ataupun dengan isyarat.

Ketiga, Uang pemberian orang sebagai tambahan jam kerja yang sudah habis,. Misalnya jam
kerja sudah habis, tapi masyarakat atau rekanan masih minta dilayani dan mereka siap
membayar uang lembur kita.

Maka mereka menjawab :

Bentuk pertama adalah salah satu bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil

Bentuk kedua termasuk dalam hadits

‫لعنة هللا على الراشي والمرتشي‬

“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap”

Bentuk ketiga tetap tidak boleh, karena kita berkerja pada pimpinan dan Negara, kalau
memang mereka ingin kita berkerja lebih maka mereka harus meminta kepada pimpinan kita
secara resmi agar kita berkerja lebih dan kemudian kita dibayar oleh Negara atau perusahaan
bukan dari masyarakat atau rekanan.

(Sumber Fatwa No. 9374 dengan ringkasan dan perubahan)

Dan sebagai tambahan untuk penguat hati-hati yang masih ragu, sebuah hadits Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliau Shalallahu ‘alaihi
wassallam bersabda :

‫هدايا العمال غلول‬

“Hadiah untuk pegawai adalah khianat”

(HR. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy  Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-
Albani dalam Shohihul Jami’ No. 7021)

Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan apa-apa yang telah
diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk
mengikuti hawa nafsunya.
Allah berfirman :

َ ‫سولَهُ فَقَ ْد‬


‫ض َّل‬ ِ ‫سولُهُ َأ ْم ًرا َأنْ َي ُكونَ لَ ُه ُم ا ْل ِخيَ َرةُ ِمنْ َأ ْم ِر ِه ْم َو َمنْ يَ ْع‬
ُ ‫ص هَّللا َ َو َر‬ َ َ‫َو َما َكانَ لِ ُمْؤ ِم ٍن َواَل ُمْؤ ِمنَ ٍة ِإ َذا ق‬
ُ ‫ضى هَّللا ُ َو َر‬
‫ضاَل اًل ُمبِينًا‬
َ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)

 Wallahu a’lam

-- Bentuk gratifikasi di tengah-tengah masyarakat lazim dikenal  sebagai hadiah, tanda terima
kasih, tips, dan sebagainya.

Menurut pakar ekonom Islam Syafii Antonio, pemberian hadiah dinilai haram jika kondisi
pemberi dan penerima pada posisi dari "bawah" ke "atas". Misalkan, dari bawahan ke atasan,
dari wajib pajak ke petugas pajak, dari rakyat ke pejabat, dan seterusnya.

Pemberian dari bawah ke atas ini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu imbalan baik
secara materi atau non-materi. Misalnya, memperlancar kepentingan bisnis, naik jabatan,
pemberian wewenang atau keputusan dari atasan, dan semua hal yang berkaitan dalam ruang
lingkup "bawahan ke atasan" tersebut. Ia mengharapkan ada timbal balik dari "atas ke
bawah."

Namun, jika pemberian hadiah dari atas ke bawah atau kepada sesama, hal ini diperbolehkan.
Misalnya, dari orang kaya ke orang miskin, dari bos kepada karyawan atau sesama teman.
Alasannya, tidak ada "udang di balik batu" dari pemberian tersebut. Pemberian hadiah
didasarkan untuk memupuk persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang semata.

Sebagaimana gratifikasi dilarang dalam hukum bernegara, demikian juga pandangan hukum
Islam dalam bersikap.
Rasulullah SAW sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya untuk menerima gratifikasi.
Riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi dikisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama
Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan
zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal.

"Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari
wajib zakat kepada saya pribadi," ujar si Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan
memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya.

Rasulullah SAW bersabda, "Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau
ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?" (HR Bukhari Muslim).

Rasulullah SAW dalam hadisnya menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan
mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang.

Ancamannya sangat jelas, siapa yang makan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat
dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang
mengembik. (HR Bukhari Muslim).

Tidak bisa dipungkiri, pejabat berwewenang yang menerima gratifikasi akan berpengaruh
pada putusan dan kinerja apa yang diwewenanginya. Demikian juga pegawai pemerintahan.
Ketika ia meminta atau menerima gratifikasi, ia akan cenderung melayani pemberi
gratifikasi.

Demikian juga seorang hakim pasti akan terpengaruh dengan gratifikasi. Ia akan cendreung
membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya.

Inilah alasannya Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah secara keras
mengharamkan para pegawai/ pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi.

Pakar fikih kontemporer, Dr Ahmad Zain An-Najah mengatakan, masuk juga dalam kasus
gratifikasi, seorang pegawai yang kongkalikong dengan pihak lain. Misalkan, pegawai
pemerintahan yang ditugaskan untuk menyediakan alat-alat multimedia di kantornya.

Ketika penganggaran, harga alat-alat multimedia ini di-markup lebih tinggi. Kemudian saat
pembelian, dia memilih membeli alat-alat tersebut di toko yang mau menawarkan harga lebih
murah dari anggaran belanja yang ada. Alasannya, selisih uang pembelanjaan bisa masuk ke
kantong pribadinya.

Semasa Rasulullah SAW, hadiah-hadiah yang didapat para sahabat dari tugasnya di lapangan
selalu dilaporkan secara transparan. Misalkan, Muaz bin Jabal RA yang pulang bertugas dari
Yaman dan membawa hadiah budak-budak. Muaz sempat ditegur Allah SWT melalui mimpi
karena belum melaporkan budak-budak tersebut kepada khalifah Abu Bakar RA.
Keesokan harinya, Muaz langsung menyerahkan seluruh budak tersebut kepada Abu Bakar
RA. Bijaknya Abu Bakar, hadiah budak yang memang diperuntukkan untuk Muaz pun ia
perintahkan untuk dikembalikan kepada Muaz. Demikian atsar yang dikisahkan Ibnu Abdul
Barr dalam kitab At Tamhid (2/7).

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
tindakan semacam ini diistilahkan dengan Gratifikasi, yaitu uang hadiah yang
diberikan kepada pegawai abdi negara di luar gaji yang yang telah ditentukan. Lebih
lanjut, dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) gratifikasi diartikan sebagai bentuk
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Dalam hukum negara, sangat jelas bahwa tindakan gratifikasi ini merupakan sebuah
tindak pidana korupsi yang akan dikenakan hukuman negara. 
Islam dengan ajarannya yang syamil sejak dini telah melarang bahkan
mengharamkan tindakan seperti itu dan bagi pelakunya tidak hanya dikenakan
hukum dunia bahkan jika tidak bertobat diancam dengan hukuman yang sangat
pedih di akhirat. Dalam hadist Abu Humaid as-Sa’idi diceritakan :

‫صـلَّى هَّللا ُ َع َل ْيـ ِه َو َسـلَّ َم‬ َ ُّ‫اسـ َتعْ َم َل ال َّن ِبي‬ْ ‫َعنْ َأ ِبي ُح َم ْي ٍد السَّاعِ دِيِّ َرضِ َي هَّللا ُ َع ْنـ ُه َقــا َل‬
‫ِي‬َ ‫َر ُجاًل ِمنْ اَأْل ْز ِد ُي َقا ُل َل ُه ابْنُ اُأْل ْت ِب َّي ِة َع َلى الصَّدَ َق ِة َف َلمَّا َق ِد َم َقا َل َه َذا َل ُك ْم َو َهـ َذا ُأهْ ـ د‬
‫ظ َر ُي ْه َدى َل ُه َأ ْم اَل َوالَّذِي َن ْفسِ ي ِب َي ِد ِه‬ ُ ‫ت ُأ ِّم ِه َف َي ْن‬ِ ‫ت َأ ِبي ِه َأ ْو َب ْي‬
ِ ‫س فِي َب ْي‬ َ ‫لِي َقا َل َف َهاَّل َج َل‬
‫ـان َب ِعــيرً ا َلـ ُه‬ َ ‫اَل َيْأ ُخ ُذ َأ َح ٌد ِم ْن ُه َش ْيًئ ا ِإاَّل َجا َء ِب ِه َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة َيحْ ِملُ ـ ُه َع َلى َر َق َب ِتـ ِه ِإنْ َكـ‬
‫ُغا ٌء َأ ْو َب َق َر ًة َل َها ُخ َوا ٌر َأ ْو َشا ًة َتي َْع ُر ُث َّم َر َف َع ِب َي ِد ِه َح َّتى َرَأ ْي َنا ُع ْف َر َة ِإ ْب َط ْي ِه اللَّ ُه َّم َهــ ْل‬
َ ‫ر‬
‫ت َثاَل ًثا‬ ُ ‫ت اللَّ ُه َّم َهــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ ْل َبلَّ ْغ‬ ُ ‫َبلَّ ْغ‬

Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu
Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk
kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia
duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang
memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak
seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada
hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau
sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat
tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya
Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak
tiga kali. “ 

Berkata Ibnu Abdul Barr : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang
diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang ) dan
hukumnya haram, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala : 

‫ــــــــــــو َم ْال ِق َيا َمــــــــــــ ِة‬


ْ ِ ‫َو َمنْ َي ْغلُــــــــــــ ْل َيــــــــــــ ْأ‬
‫ت ِب َمــــــــــــا َغــــــــــــ َّل َي‬

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari
kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ 

Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah, menjelaskan bahwa hadist Abu
Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para
hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada pegawai (zakat ) tersebut,
dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya
menjadi kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-
orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia cenderungan
kepadanya ketika dalam persidangan.
Yang termasuk dalam larangan hadist di atas :
 
Pelajaran yang terkandung dalam hadits tersebut tidak hanya berlaku bagi seorang
pengumpul zakat yang notabenenya diangkat sebagai abdi negara dalam bidang
mengumpulkan zakat, hadits ini juga berlaku bagi tindakan-tindakan gratifikasi
lainnya baik yang berada dalam lingkuangan pemerintahan sendiri maupun yang
terdapat di dalam elemen-elemen masyarakat. 
Seperti seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki
saluran atau kabel telepon yang terputus atau mengalami gangguan. Dia tidak boleh
menerima atau meminta upah tambahan atas pekerjaan yang dia lakukan dari para
pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia
menghambil atau meminta upah lagi maka upah tersebut adalah uang yang
diharamkan baginya. 

Contoh lain, seperti seorang pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk
mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Makkah
dan Madinah. Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dengan
tujuan akan mendapatkan uang discount dari penyewaan tersebut yang akan masuk
ke kantong pribadinya. Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli
kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak
boleh mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan
kepada pengurus secara transparan. Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah
dari orang yang masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan mempengaruhi
di dalam keputusan hukum. Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah
dari para pembayar pajak, karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di
dalam menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban
pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya. Dan masih banyak lagi
contoh lainnya dalam masyarakat.
Tindakan gratifikasi di atas tentunya tidak diharamkan kecuali dibalik itu ada dampak
negatif yang akan ditimbulkan, banyak kerugian yang akan dirasakan khususnya
bagi masyarakat kecil. Jika kita teliti lebih dalam, tindakan gratifikasi dapat merusak
kinerja para pegawai abdi negara, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan
orang-orang yang memberikan uang lebih kepadanya dan membiarkan orang yang
tidak memberikan uang dalam kondisi kesulitan. Dampak lebih jauh dari itu, akan
terjadi banyak sekali kekacauan, baik dalam bidang politik, hukum, perekonomian
dan lain-lain. Politik akan berjalan dengan cara yang culas, siapa yang bayar lebih
tinggi akan menduduki tampuk pimpinan. Hukum akan menjelma menjadi hukum
rimba, yang kuat bayar lebih banyak akan muncul sebagai pemenang hukum.
Perekonomian akhirnya akan menjadi carut-marut, barang yang tidak berkualitas
dijual dengan harga normal. Tabung gas 4 liter tersebar di masyarakat hanya berisi
1 atau 2 liter. Minyak bersubsidi dijadikan ajang untuk mencari keuntungan. Hal ini
terjadi karena pengawas lapangan atau pihak-pihak yang terkait dengan masalah
distribusi tidak mengambil tindakan tegas. Tidak adanya tindakan tegas tersebut
diakibatkan karena mereka menerima keuntungan atau gratifikasi dari pihak-pihak
perusahaan yang mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak halal.

Mungkin cerita tentang sahabat rasulallah di bawah ini akan lebih memberikan
kesadaran kepada kita akan bahaya dan ancaman yang akan kita dapatkan jika kita
melakukan gratifikasi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam
mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar ,
beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar
bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak.

Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “


Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya
kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau
memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya
semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).” Muadz berkata : “
Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan
memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“

Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi
dengan Umar dan mengatakan: "Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk
neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang saya
taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian
budak adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan
kepadamu semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak
yang dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan kepadamu.” 

Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan


tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada
lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut akan
mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk kepentingan
lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga tersebut.

lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai
ini ?  
Jawab :
Pengertian Hadiah Pegawai (Gratifikasi )
Hadiah Pegawai atau sering disebut dengan Gartifikasi adalah uang hadiah yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang
yang telah ditentukan.[1]
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat
(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya.

Hukum Hadiah Pegawai (gratifikasi )


Hadiah Pegawai (gratifikasi ) hukumnya haram berdasarkan hadist Abu Humaid as-Sa’idi di bawah ini :

َّ ‫ة َعلَى ال‬
ِ ‫ص َد َق‬
‫ة‬ ِ َّ‫ن اُأْل ْتبِي‬ ُ ‫ِن اَأْل ْز ِد ُيق‬
ُ ‫َال لَ ُه ا ْب‬ ْ ‫جاًل م‬ َ َّ‫سل‬
ُ ‫م َر‬ َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى الل َُّه َعلَ ْي‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫ل ال َّنب‬
َ ‫م‬َ ‫اس َت ْع‬
ْ ‫ل‬ َ ‫ي اللَّ ُه َع ْن ُه قَا‬َ ‫ض‬ ِ ‫ي َر‬ِ ّ ‫ع ِد‬ِ ‫السا‬
َّ ‫م ْي ٍد‬ ُ ‫ن َأبِي‬
َ ‫ح‬ ْ ‫َع‬
‫خ= ُذ‬ ‫ْأ‬
ُ َ‫س=ي بِيَ= ِد ِه اَل ي‬ ِ ‫=ه ْم اَل َوالَّذِي نَ ْف‬ ‫َأ‬ ُ َ‫ه َفيَ ْنظُ َر ُي ْه= َدى= ل‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ت ِ ّم‬ ِ ‫ه ْو بَ ْي‬‫َأ‬ ‫َأ‬
ِ ‫ت بِي‬ ِ ‫س فِي بَ ْي‬ َ َ ‫جل‬ َ ‫ل َف َهاَّل‬
َ ‫ي لِي قَا‬ َ ‫ه ِد‬ ‫ُأ‬
ْ ‫هذَا‬ َ ‫ُم َو‬ ْ ‫هذَا لَك‬
َ ‫ل‬ َ ‫م قَا‬ َّ َ‫َفل‬
َ ‫ما َق ِد‬
‫ح َّتى َرَأ ْي َنا‬ َ =‫م َر َف‬
َ ‫ع بِيَ= ِد ِه‬ َّ ُ‫=ر ث‬ َ ‫ار َأ ْو‬
ُ =‫ش =ا ًة تَ ْي َع‬ ُ ‫اء َأ ْو بَ َق= َر ًة لَ َها‬
ٌ ‫خ= َو‬ ٌ َ‫ه ِإنْ َكانَ بَعِي ًرا لَ ُه ُرغ‬
ِ ِ‫مل ُُه َعلَى َر َقبَت‬
ِ ‫ح‬ ِ ‫م ا ْل ِقيَا َم‬
ْ َ‫ة ي‬ َ ‫ه يَ ْو‬ َ ‫ش ْيًئا ِإاَّل‬
ِ ِ‫جا َء ب‬ َ ‫َأ‬
َ ‫ح ٌد ِم ْن ُه‬
‫ْت ثَاَل ثًا‬
ُ ‫ل بَلَّغ‬
ْ ‫ه‬
َ ‫م‬ ُ ‫ل بَلَّغ‬
َّ ‫ْت الل َُّه‬ ْ ‫ه‬
َ ‫م‬ ِ ‫ُع ْف َر َة ِإ ْبطَ ْي‬
َّ ‫ه الل َُّه‬
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-
laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini
untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya
atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-
Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan
dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik".
Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah
bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali. “ [2]  
Berkata Ibnu Abdul Barr [3] : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang
curian dari harta rampasan perang ) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
ِ ‫م ا ْل ِقيَا َم‬
‫ة‬ َ ‫ل يَ ْو‬
َّ ‫ما َغ‬ ِ ‫ُل يَْأ‬
َ ِ‫ت ب‬ ْ ‫ن يَ ْغل‬
ْ ‫َو َم‬
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa
yang dikhianatkannya itu “ [4] 
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadist Abu Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan
bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada pegawai (zakat ) tersebut,
dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang pemberi, dan
bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia cenderungan
kepadanya ketika dalam persidangan. “ [5]
Yang termasuk dalam larangan hadist di atas :
Pertama: Seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telpun yang terputus
atau mengalami gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan,
karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa
merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih,
dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Kedua: Seorang pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama
jama’ah haji selama di Makka dan Madinah. Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dengan tujuan akan
mendapatkan uang discount dari penyewaan tersebut yang akan masuk ke kantong pribadinya, karena hal ini akan merugikan
jama’ah haji secara umum. Akibat ulah petugas tadi, jama’ah haji tersebut terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang
tidak standar dan jauh dari Masjidil Haram.

Ketiga: Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari
Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada
pengurus secara transparan.

Keempat: Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil
uang tambahan dari pembayar zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut, kecuali dia melaporkankan kepada
lembaga tersebut bahwa dia diberi uang tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan umat atau
diberikan kepada petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan dalam lembaga tersebut.
Kelima: Seorang pengurus sebuah arisan yang sudah mendapatkan gaji tetap dari peserta arisan, ketika membelikan sepeda
motor untuk salah satu peserta yang mendapatkan undian, maka dia tidak boleh mengambil discount dari pembelian tersebut,
dan harus dilaporkan kepada seluruh peserta.
Keenam: Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan
mempengaruhi di dalam keputusan hukum.
Ketujuh: Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para pembayar pajak, karena hal itu akan
menyebabkannya tidak disiplin di dalam menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban
pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada
pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu
dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak.
Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian
lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau
memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai
pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan
memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“
Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: "Wahai
Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang
saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian
lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun
budak-budak yang dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan kepadamu.” [6]  
Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya
dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut akan mengijinkannya
untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam
lembaga tersebut.
Dampak Negatif 
Hadiah pegawai (gratifikasi ) ini akan merusak tatanan negara secara keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta
mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci sebagai berikut :
1. Sang pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah.
Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal semua konsumen
mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai
tersebut sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
2. Sang pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi.
Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri.
3. Si pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan
buruk yang harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari
mengharap apa yang ada di tangan orang lain.
Islam juga mengharamkan umatnya untuk meminta-minta kecuali dalam keadaan darurat. Pegawai yang meminta hadiah
dari konsumen yang sebenarnya bukan haknya termasuk dalam katogori meminta-minta yang dilarang dalam Islam.
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan
keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak kepada instansi atau
lembaga yang mengutusnya, umpamanya dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi
membutuhkan pegawai tersebut.
Maka, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti
ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya
jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya
menjadia lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun
sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sesuatu yang
diharamkan dalam Islam. Wallahu A’lam.
oleh: Dr. Ahmad Zain An Najah

Anda mungkin juga menyukai