LSM di Indonesia
2021
0
Pembentukan Dana LSM di Indonesia
Kelompok Kerja Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia
Penulis Utama :
Mickael Bobby Hoelman
Penulis :
Sugeng Bahagijo
Danang Widoyoko
Wahyu Susilo
Sarwitri
Firdaus Cahyadi
Ah Maftuchan
Eka Nugraha Putra
Suraji Sukamzawi
Muharriroh
Misran Lubis
Aditya Perdana
Lia Wulandari
Roy Tjong
Anis Hidayah
Misiyah
Budhis Utami
Ai Mulyani
Justito Adiprasetio
Abdul Waidl
Bona Tua Parlinggomon P.
Denisa Amelia Kawuryan
Diterbitkan oleh:
International NGO Forum on Indonesian Development
2021
Alamat :
Jl. Jati Padang Raya Kav.3 No.105, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 - Indonesia
Telepon (62-21) 781 9734, 781 9735, 7884 0497
Email: office@infid.org
Laman: www.infid.org
Dokumen ini disusun dengan dukungan dari Ford Foundation. Isi dari dokumen ini sepenuhnya
menjadi tanggung jawab dari Tim Penulis, dan tidak sepenuhnya mencerminkan pendapat dari
Ford Foundation.
1
Ringkasan Eksekutif
1. Background paper ini disusun sebagai bahan referensi untuk mempersiapkan pembentukan
Dana Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia.
2. Kiprah LSM di Indonesia telah dikenal dalam berbagai dekade penting perjalanan bangsa
Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, LSM memiliki peran dan dampak politik
yang nyata. Berbagai gagasan pembangunan partisipatoris disumbangkan hingga diadopsi
dalam beragam kebijakan Pemerintah. Sekurangnya ada tiga peran penting LSM dalam
pembangunan dan demokratisasi yaitu; sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat,
pengadvokasi kebijakan publik, dan kontrol sosial.
3. Peranan paling berharga dari LSM adalah dukungannya terhadap peningkatan kualitas
demokrasi dengan mentransformasikan aspirasi dan tuntutan kolektif warga melalui
artikulasi ke dalam kerangka representasi demokrasi yang lebih terlembaga.
4. Indonesia sekarang telah menjadi kekuatan ekonomi baru dengan pengaruh regional dan
global. Sebagai negara anggota satu–satunya Kelompok 20 di Asia Tenggara, dengan
penghasilan menengah besar yang terus bertumbuh, Indonesia akan memiliki kapasitas
untuk menyediakan lebih banyak pembiayaan pembangunan. Indonesia bahkan telah
diproyeksikan menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat pada tahun 2050.
5. Seiring perubahan status ekonomi Indonesia, secara perlahan bantuan mitra pembangunan
atau donor internasional terus menurun dan tidak lagi menempatkan Indonesia sebagai
negara prioritas penerima bantuan pembangunan utama. Kondisi ini telah menjadi
tantangan bagi LSM untuk dapat melakukan diversifikasi sumber pendanaan lokal.
6. Di sisi lain, mulai berkembang sumber–sumber pendanaan baik di tingkat nasional maupun
daerah di mana beberapa turut diakses oleh LSM, di antaranya yang bersumber dari
anggaran pemerintah, sumbangan masyarakat hingga tanggung–jawab sosial perusahaan.
Masing–masing sumber pendanaan tersebut turut membawa berbagai prasyarat untuk
dipenuhi.
7. Selama satu dekade terakhir, Pemerintah juga telah mulai membuka ruang terhadap
peluang pendanaan bagi LSM seperti melalui Dana Bantuan Hukum, Dana Perwalian,
hingga pengadaan barang dan jasa melalui Swakelola Tipe III. Namun, ragam skema
pendanaan tersebut ditujukan untuk berbagai alasan, seperti kewajiban Negara untuk
melindungi warga miskin, menyediakan pendidikan bermutu, melestarikan lingkungan
hidup, hingga semata kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
8. Meski begitu, kebijakan yang mendukung ekosistem pendanaan bagi LSM Indonesia di
dalam negeri masih belum tersedia hingga hari ini baik secara nasional maupun daerah.
2
10. Agar dapat berfungsi secara optimal, Pendanaan LSM idealnya memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Terpusat dalam bentuk satu lembaga yang berperan sebagai penyedia layanan;
b. Sentralisasi anggaran;
c. Memiliki mekanisme koordinasi di internal kelembagaan yang baik sehingga
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat dan akurat;
d. Memiliki kejelasan tugas pokok dan fungsi serta target kinerja secara kelembagaan;
e. Fleksibilitas dalam hal pendanaan program;
i. Memiliki satuan kerja tersendiri;
ii. Berkelanjutan (multi tahun);
iii. Tidak terikat mata anggaran tertentu (belanja barang, belanja modal, dll.);
iv. Proses perencanaan dan penganggaran dapat dilakukan secara cepat;
v. Terjaminnya ketersediaan anggaran;
vi. Dapat menerima dan menggunakan dana yang berasal dari sumber lain,
seperti dari pihak swasta, masyarakat dan luar negeri;
vii. Dapat menyalurkan anggaran untuk digunakan oleh LSM;
viii. Dapat memupuk dana dalam bentuk investasi atau obligasi.
f. Memiliki kewenangan untuk melakukan perikatan perjanjian dengan pihak lain, seperti
mitra pembangunan, penyedia jasa layanan lain dan LSM penerima;
g. Memiliki kemampuan melakukan pengembangan kapasitas dan kelembagaan LSM;
h. Memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional;
i. Memiliki kewenangan untuk melakukan pemantauan dan penilaian terhadap
pelaksanaan kegiatan LSM.
11. Dalam kerangka tersebut, pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia memiliki
urgensi untuk:
a. Mengarahkan kegiatan peningkatan kualitas dan kapasitas LSM dalam suatu kebijakan
kelembagaan dan pendanaan yang lebih sistematis, selaras, terpadu dan berkelanjutan
sehingga kualitas dan kapasitas LSM Indonesia benar–benar dapat meningkat dan
optimal;
b. Mempercepat pemulihan rakyat paska–pandemi dengan lebih berkelanjutan, inklusif,
dan memihak warga;
c. Mewujudkan komitmen Pemimpin Nasional dalam memperkuat konsolidasi demokrasi
melalui Nawacita, RPJMN 2020–2024, RPJPN 2005–2025, dan Visi Indonesia Emas
2045;
d. Mewujudkan komitmen Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah dalam
berbagai forum global seperti OECD, PBB, dan G20.
3
12. Dibutuhkan kerangka hukum dan regulasi yang kuat untuk mendukung pembentukan Dana
Abadi LSM, yaitu adanya kebutuhan Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi dasar
pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia. Kerangka hukum tersebut memuat:
a. Mandat, tugas pokok dan fungsi, standar, prosedur dan mekanisme yang jelas agar
kelembagaan yang dibentuk dapat menjalankan perannya secara efektif dalam kerangka
perwujudan Nawa Cita dan pemenuhan arah, sasaran dan tujuan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025, dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024;
b. Pelaksanaan hibah pendanaan secara komprehensif yang meliputi pengaturan mulai
dari tahapan penetapan kebijakan, perencanaan, pengalokasian anggaran, pemantauan,
evaluasi dan pelaporan;
c. Mekanisme koordinasi di antara berbagai pihak seperti pemerintah daerah, pihak
swasta, dan mitra pembangunan.
13. Untuk mewujudkan kebijakan Pendanaan LSM, diperlukan masa transisi guna
mempersiapkan kerangka hukum dan regulasi yang kuat, Sumber Daya Manusia (SDM)
yang kompeten dan profesional, serta model pembiayaan yang transparan dan akuntabel:
a. Pada tahap pertama masa transisi (tahun 2021) atau periode jangka pendek dapat
dipertimbangkan pembentukan kanal pendanaan dari mitra pembangunan yang ada dan
tengah beroperasi di Indonesia saat ini terhadap komitmen untuk ketahanan LSM
Indonesia, terutama di masa pandemi Covid–19. Dana gabungan ini dapat dikelola
secara kolaboratif oleh konsorsium LSM Indonesia, maupun melalui perantara
kementerian/ lembaga yang memiliki komitmen, tugas, fungsi dan wewenang dalam
memobilisasi sumber daya untuk pemberdayaan LSM di Indonesia;
b. Pada tahap kedua (tahun 2022 hingga terbentuknya Badan Layanan Umum) atau
periode jangka menengah, kelembagaan konsorsium LSM Indonesia atau Kementerian/
Lembaga terkait dapat dipertimbangkan menjalankan fungsinya hingga terbentuk
Badan Layanan Umum di dalam lingkungan struktur Kemenkeu. Anggaran kegiatan
diajukan oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) dan
bertanggung–jawab dalam pengelolaan anggaran tersebut, serta penggunaan dan
pertanggung–jawaban keuangan untuk kegiatan di tahun 2022. Penyertaan dana abadi
dapat bersumber dari mitra pembangunan yang memiliki komitmen dan perhatian bagi
keberlanjutan LSM Indonesia;
c. Setelah Badan Layanan Umum terbentuk (2023–seterusnya), dapat dipertimbangkan
untuk memperluas penyertaan dana abadi yang bersumber dari APBN dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, Donasi Publik dan filantropi swasta
serta sumber–sumber lain yang sah termasuk melalui penerapan alokasi penerimaan
negara (revenue tagging) pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga penjualan
obligasi sosial.
4
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................................. 2
Daftar Tabel ............................................................................................................................... 7
Daftar Grafik .............................................................................................................................. 8
Kata Pengantar Kelompok Kerja Perpres Pendanaan LSM ....................................................... 9
Bab. I. Pendahuluan ................................................................................................................ 11
1.1. Latar belakang .............................................................................................................. 11
1.2. Tujuan, Keluaran dan Manfaat .................................................................................... 13
1.2.1. Tujuan Background Paper..................................................................................... 13
1.2.2. Keluaran dan Manfaat ........................................................................................... 13
1.3. Metode ......................................................................................................................... 13
Bab. II. Urgensi Pendanaan Pemerintah bagi LSM Indonesia................................................ 17
2.1. Peran LSM Indonesia dalam Pembangunan ................................................................ 17
2.2. Tantangan yang Dihadapi oleh LSM Indonesia........................................................... 19
2.3. Urgensi Pendanaan Pemerintah untuk LSM Indonesia ............................................... 24
2.3.1. Nawacita, RPJMN 2020–2024 dan RPJPN 2005–2025 ....................................... 24
2.3.2. Memperkuat Masyarakat di masa Paska–pandemi ............................................... 25
2.3.3. ACCRA, SDGs dan Mobilisasi Sumber daya Domestik ...................................... 26
2.3.4. Memenuhi tanggung jawab Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah 27
Bab. III. Praktik dan Sumber–sumber Pendanaan LSM di Indonesia .................................... 29
3.1. Sumber–sumber Pendanaan LSM di Indonesia ........................................................... 29
3.1.1. Skema Pendanaan dari Donor Internasional ......................................................... 31
3.1.2. Skema Pendanaan Negara melalui APBN/D ........................................................ 32
3.1.3. Skema Pendanaan dari Perusahaan Swasta........................................................... 35
3.1.4. Skema Pendanaan dari Filantropi ......................................................................... 36
3.1.5. Skema Pendanaan dari Publik ............................................................................... 37
3.2. Kondisi Pendanaan LSM di Indonesia ......................................................................... 37
3.2.1. Ketergantungan kepada Donor Internasional........................................................ 37
3.2.2. Minimnya Peran Pendanaan dari Negara .............................................................. 39
3.2.3. Potensi Pendanaan dari Publik .............................................................................. 40
Bab IV. Pembelajaran dan Pengalaman Pendanaan LSM ...................................................... 42
4.1. Pembelajaran dari mitra pembangunan dan lembaga donor internasional ................... 42
4.1.1. Dana Multi–mitra (pooling fund).......................................................................... 42
4.1.2. Dana Dukungan Inti (core support) ...................................................................... 43
4.1.3. Dana Campuran (blended finance) ....................................................................... 43
4.2. Pembelajaran dari skema kebijakan pendanaan oleh pemerintah ................................ 44
5
4.2.1. Dana Perwalian ..................................................................................................... 44
4.2.2. Dana Abadi ........................................................................................................... 44
4.3. Pembelajaran dari negara–negara–negara maju........................................................... 47
4.3.1. Pendanaan LSM di Korea Selatan ........................................................................ 47
4.3.2. Pendanaan LSM di Amerika Serikat..................................................................... 47
4.3.3. Pendanaan LSM di Inggris.................................................................................... 49
Bab V. Pilar Pembentukan Badan Pengelola Pendanaan LSM di Indonesia .......................... 51
5.1. Bentuk Kelembagaan ................................................................................................... 51
5.2. Kerangka Hukum dan Regulasi ................................................................................... 54
5.3. Pembangunan Kapasitas .............................................................................................. 54
5.4. Model Kerja sama ........................................................................................................ 57
5.5. Model Pembiayaan....................................................................................................... 60
Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................................................. 63
6.1. Kesimpulan .................................................................................................................. 63
6.2. Rekomendasi ................................................................................................................ 65
6.3. Periode Transisi Menuju Badan Pengelola .................................................................. 66
Daftar Referensi ....................................................................................................................... 68
6
Daftar Tabel
Tabel 1. Peran LSM dalam Pembangunan ............................................................................... 19
Tabel 2. Rincian Program dan Kegiatan LSM Lima Tahun Terakhir ..................................... 20
Tabel 3. Jumlah Tema Program Kerja sama LSM dengan Pemerintah ................................... 22
Tabel 4. Urgensi Pendanaan bagi LSM Indonesia oleh Penulis. ............................................. 28
Tabel 5. Proporsi Kontribusi Anggaran Pemerintah Daerah terhadap Total Dana LSM ........ 30
Tabel 6. Ketimpangan Akses Pendanaan LSM Indonesia kepada Donor Internasional .......... 38
Tabel 7. Tantangan Pendanaan Negara bagi LSM Indonesia .................................................. 39
Tabel 8. Tantangan Pendanaan Alternatif dari Publik bagi LSM Indonesia ........................... 41
Tabel 9. Contoh Perbandingan LPDP dan BPDLH ................................................................. 46
Tabel 10. Perbandingan Pendanaan LSM di Negara–Negara Maju ........................................ 50
Tabel 11. Karakteristik Badan Layanan Umum ...................................................................... 53
Tabel 12. Analisis Spesifikasi Kompetensi SDM untuk Mengisi Struktur Badan yang akan
dibentuk.................................................................................................................................... 57
Tabel 13. Prosedur Ideal Proses Seleksi untuk Dukungan Pendanaan .................................... 59
Tabel 14. Keunggulan dan Tantangan Model Pembiayaan oleh BLU .................................... 61
Tabel 15. Periode Transisi Menuju Badan Pengelola Pendanaan LSM Indonesia .................. 67
7
Daftar Grafik
Grafik 1. Peran LSM Melalui berbagai Intervensi Program .................................................... 19
Grafik 2. Tingkat Kecukupan Pembiayaan Program dan Operasional .................................... 20
Grafik 3. Indeks Keberlanjutan LSM Indonesia Tahun 2019 .................................................. 21
Grafik 4. Kerja sama LSM dengan Pemerintah serta Kecukupan Pendanaan ......................... 23
Grafik 5. Pengaruh Pandemi terhadap Pendanaan LSM berdasarkan Wilayah ....................... 24
Grafik 6. Sumber Dana LSM ................................................................................................... 29
Grafik 7. Sumber Utama dan Komposisi Pendanaan LSM dalam Lima Tahun Terakhir ....... 30
Grafik 8. Pengaruh Pandemi terhadap Pendanaan LSM .......................................................... 31
Grafik 9. Indonesia Total Official Development Flows .......................................................... 31
Grafik 10. Lini Masa Perjalanan Kebijakan Pendanaan Terkait dari Negara .......................... 40
Grafik 11. Pilihan Peraturan Perundangan Pendanaan LSM ................................................... 54
Grafik 12. Program Utama LSM dalam 5 Tahun Mendatang (kiri) dan Sikap terhadap
penyesuaian tema (kanan) ........................................................................................................ 56
Grafik 13. Aspek Pertimbangan dalam Kerja sama (kiri) dan Periode Program serta
Pendanaan (kanan) ................................................................................................................... 59
Grafik 14. Komposisi Komponen Pendanaan .......................................................................... 60
Grafik 15. Opsi Sumber Pembiayaan....................................................................................... 61
8
Kata Pengantar Kelompok Kerja Perpres Pendanaan LSM
Sejak 20 tahun terakhir, status Indonesia sudah berkembang dari negara berpendapatan rendah
menjadi negara berpendapatan menengah dalam kategori peringkat negara resmi yang
dikeluarkan Bank Dunia. Pada tahun 2020, posisi tersebut meningkat lebih baik menjadi negara
berpendapatan menengah atas. Meski demikian, kemajuan tersebut juga membawa beberapa
implikasi, terutama pada pendekatan dan besaran bantuan pembangunan. Indonesia perlu
memulai mendanai barang publik sendiri, termasuk memperkuat ekosistem, peran dan
keberlanjutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia.
Pandemi COVID-19 pada Tahun 2020 membuka kembali urgensi kepada pertanyaan
pentingnya pengadaan dan pendanaan barang publik, dan secara khusus tentang keberlanjutan
LSM Indonesia. Pandemi yang menerjang Indonesia sejak 2020 tidak saja memberikan dampak
besar kepada ekonomi dan sosial, tetapi juga kepada pendanaan dan keberlanjutan LSM di
Indonesia. Survei INFID dan Tempo Institute yang dilansir tahun 2020 telah menemukan
bahwa 72% LSM terkena dampak negatif pada sektor keuangan akibat pandemi COVID-19,
yang 23% diantaranya mengalami kondisi kritis (tidak bisa berlanjut).
Sebelum Pandemi COVID-19, dapatlah kiranya dicatat Indonesia telah menjalankan dukungan
kebijakan dan pendanaan bagi LSM. Setidaknya melalui (i) Dana Bantuan hukum sebagai
pelaksanaan UU Bantuan Hukum; (ii) Skema Swakelola Tipe 3 sebagai pelaksanaan Perpres
Pengadaan Barang yang lebih melibatkan LSM. Namun demikian, kedua skema ini terlalu
terbatas dan terlalu kecil untuk bisa menolong beragamnya LSM di Indonesia.
Sejak tahun 2016, atau 4 tahun lalu, LSM Indonesia sudah memikirkan perlunya ekosistem
kebijakan dan pendanaan untuk LSM di Indonesia. Pengertian “pendanaan kepada LSM di
Indonesia” dalam arti, pengadaan barang publik oleh LSM, sebagaimana praktik dan
pengalaman di berbagai negara maju yang telah berjalan selama ini.
Dokumen ini memuat kajian pembentukan dana LSM di Indonesia, dengan cakupan; (i)
Urgensi Pendanaan LSM; (ii) Praktik dan Sumber–sumber Pendanaan LSM; (iii) Pembelajaran
dan Pengalaman Pendanaan LSM; (iv) Pilar Pembentukan Badan Pengelola Pendanaan LSM
di Indonesia; (v) Kesimpulan dan Rekomendasi Periode Transisi Menuju Badan Pengelola.
Penyusunan dokumen dilakukan selama 4 bulan (bulan Agustus sampai dengan November
2021), melalui pendekatan studi literatur, survei daring, analisa jejaring wacana, wawancara
mendalam, dan diskusi kelompok terarah. Total 197 informan telah terlibat dalam
pengumpulan data primer. Selain itu terdapat mekanisme peer review dengan mengundang
masukan dari multipihak bagi penyempurnaan penyusunan dokumen ini.
Dokumen disusun oleh Kelompok Kerja Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia
yang terdiri dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Konsil LSM
Indonesia, Perkumpulan Prakarsa, Institut KAPAL Perempuan, Transparansi Internasional
Indonesia (TII), Penabulu Foundation, Indonesia Untuk Kemanusiaan, dan REMDEC
9
Swaprakarsa, dengan didukung oleh Ford Foundation. Ucapan terima kasih diberikan kepada
Tim Penulis, Tim Enumerator, informan penelitian, dan semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu, dan telah mendukung selesainya penulisan dokumen ini.
10
Bab. I. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki sejarah panjang menjadi salah satu
pilar penting dalam perjalanan pembangunan Indonesia. Keberadaan LSM di Indonesia
dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi, yaitu generasi bantuan dan kesejahteraan, generasi
keswadayaan dalam skala lokal, serta generasi pembangunan yang berkelanjutan (Korten,
1987). LSM berperan penting khususnya dalam mengawasi jalannya pemerintahan,
terjaminnya pelayanan publik yang optimal, keterbukaan institusi publik serta peningkatan
berbagai dimensi kualitas hidup masyarakat. LSM memainkan peran di tengah, di antara
pemerintah dan masyarakat, di satu sisi melakukan pendampingan masyarakat agar hak–hak
mereka dapat terpenuhi dan di sisi lain menjadi mitra Pemerintah guna memastikan kinerja
pembangunan berjalan dengan efektif dan efisien mencapai tujuan–tujuan pembangunan.
Kerja–kerja LSM selama ini bermuara pada terciptanya manfaat pembangunan bagi kelompok
masyarakat marginal.
Sejak turunnya rezim Orde baru, jumlah LSM terus meningkat, namun sayangnya
belum diiringi dengan kualitas SDM dan kapasitas kelembagaan yang baik. Dalam kaitan
tersebut, kapasitas program dan organisasi dari LSM di Indonesia menghadapi tuntutan agar
dapat terus bertumbuh, yang memerlukan dukungan pembiayaan. Selama ini sebagian besar
sumber pendanaan LSM berasal dari hibah bantuan mitra–mitra pembangunan luar negeri.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah minimnya dukungan pendanaan, di mana
banyak LSM belum memiliki kemampuan secara finansial untuk membiayai kegiatan–
kegiatannya dan sangat bergantung kepada hibah bantuan yang bersumber dari berbagai
lembaga mitra–mitra pembangunan atau donor internasional. Sokongan pendanaan dari mitra
pembangunan atau donor internasional secara besar–besaran pernah dialami di era awal
Reformasi. Berbagai bantuan donor internasional terutama mendukung upaya demokratisasi
dengan LSM sebagai aktor utama penggerak perubahan. Hingga lebih dari satu dekade
kemudian, seiring dengan masuknya keanggotaan Indonesia ke dalam kategori negara
berpendapatan menengah, secara perlahan bantuan pembangunan terus menurun dan tidak lagi
menempatkan Indonesia sebagai negara prioritas penerima bantuan pembangunan utama.
LSM Indonesia kini menghadapi tantangan untuk mencari sumber–sumber pendanaan baru.
11
sosial perusahaan. Masing–masing sumber pendanaan membawa prasyarat di mana bagi
sebagian LSM yang sedang bertumbuh terutama di daerah sering kali sulit untuk dipenuhi.
Dari sumber pendanaan pemerintah, terdapat beberapa peluang bagi LSM antara lain
melalui skema anggaran bantuan bagi Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di Kementerian
Hukum dan HAM yang dimulai sejak tahun 2013 dan kebijakan skema pendanaan Swakelola
Tipe 3 dalam pengadaan barang dan jasa sejak tahun 2018. Sementara itu, sumber pendanaan
dari perusahaan melalui program tanggung–jawab sosial perusahaan dinilai belum efektif
dalam mendukung kerja–kerja LSM. Beragam sumber pendanaan lokal tersebut disertai
tantangan yang kompleks, di antaranya masalah akses dan birokrasi, hingga ketersediaan
anggaran yang masih sangat minim. Sebagian besar instansi pemerintah baik di tingkat pusat
maupun daerah bahkan belum menyediakan anggaran untuk kerja sama dengan LSM.
Pada satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia juga telah membentuk Dana Perwalian
sebagai salah satu model pendanaan pembangunan. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor
80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian menjadi tonggak awal dimulainya dana perwalian di
Indonesia yang bersumber dari dana hibah berbagai bantuan negara asing atau lembaga–
lembaga non–pemerintah yang kemudian ditampung serta dikelola oleh satu lembaga yang
dibentuk oleh Pemerintah sebagai Wali Amanat guna selanjutnya menyalurkan dana tersebut
kepada aktor–aktor pembangunan termasuk LSM. Model pendanaan ini sekaligus
menunjukkan bahwa Pemerintah telah menyadari bahwa untuk menjalankan dan mendanai
agenda pembangunan, dibutuhkan keterlibatan berbagai aktor, termasuk aktor–aktor
pembangunan non–pemerintah.
Pandemi dan perubahan iklim merupakan permasalahan global yang mendesak untuk
segera diatasi secara bersama–sama. Akibat yang ditimbulkannya berdampak luas dan
multidimensional sehingga memerlukan penanganan kolaboratif Multi–pihak. Pemerintah
tidak mampu menangani sendiri dampak krisis yang tengah berlangsung, dan memerlukan
peran organisasi bisnis dan LSM secara berimbang.
Pandemi global yang berkepanjangan sejak Maret 2020 menambah berat tantangan
yang dihadapi oleh LSM pada aspek pendanaan. Krisis kesehatan, restriksi mobilisasi,
perlambatan kegiatan ekonomi bertubi–tubi menguji ketahanan kelembagaan dan kapasitas
12
LSM. Pandemi telah membuat lebih dari separuh LSM di Indonesia mengalami masalah
pendanaan, yakni memasuki kondisi keuangan yang berisiko dan kritis.
Dalam kaitan tersebut, background paper turut menyajikan paparan tentang berbagai
penelaahan terhadap kerangka regulasi, kelembagaan dan tata kelola dari berbagai
skema pendanaan yang tengah berjalan dan memungkinkan untuk diakses oleh LSM.
Model–model kelembagaan yang telah berjalan diharapkan dapat menjadi referensi bagi
pembentukan kelembagaan Pengelola Pendanaan LSM Indonesia nantinya.
Selain itu, penyusunan background paper juga bertujuan untuk mendapatkan data dan
informasi mengenai ragam, skema dan operasi pendanaan LSM, baik yang bersumber
dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk berbagai kriteria yang diprasyaratkan.
Hasil kajian berupaya memberikan rekomendasi terhadap skema pendanaan yang terbuka bagi
LSM baru dan berskala kecil, sedang hingga besar, dengan disertai rekomendasi atas tema–
tema serta bidang kerja yang dipandang prioritas sebagai perhatian dalam lima tahun ke depan.
1.3. Metode
Penyusunan background paper ini mengacu kepada lima naskah kajian yang disusun
oleh Kelompok Kerja Koalisi LSM Indonesia untuk Perpres Pendanaan LSM yang
dikoordinatori dan difasilitasi oleh International NGO Forum on Indonesian Development
(INFID) dengan dukungan dari Ford Foundation. Penyusunan background paper dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman kontekstual terhadap situasi LSM Indonesia.
Kelompok kerja 1 melakukan kajian terhadap berbagai sumber pendanaan yang telah
dikucurkan dan memberikan dukungan bagi LSM; mengidentifikasi skema pendanaan
alternatif dari dana pemerintah, masyarakat dan sektor swasta (perusahaan); serta
13
mengidentifikasi kesenjangan aturan skema pendanaan alternatif terhadap praktik di lapangan.
Kelompok kerja 1 ini beranggotakan empat orang peneliti, yaitu Danang Widayoko, Wahyu
Susilo, Firdaus Cahyadi, Sarwitri, dan tiga enumerator, yaitu Nabhan Fadlan, Mia Dayanti
Fajar, dan Gesia Nurlita.
Kelompok Kerja 3 mengkaji data dan informasi mengenai ragam, skema dan operasi
pendanaan termasuk kriteria persyaratan baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar
negeri. Hasil kajian menyediakan rekomendasi skema pendanaan yang terbuka untuk diakses
oleh LSM kecil atau baru, sedang dan besar, dan disertai rekomendasi tema dan bidang kerja
prioritas untuk lima tahun ke depan. Pelaksanaan kajian menggunakan metode kualitatif
dengan studi literatur dan wawancara mendalam. Penelitian mewawancarai 26 informan yang
berasal dari berbagai latar belakang lembaga pemerintah maupun LSM internasional, nasional
dan lokal. Kelompok Kerja 3 beranggotakan empat orang peneliti, yaitu Misran Lubis, Aditya
Perdana, Roy Tjong, Lia Wulandari, dan tiga orang enumerator, yaitu Ema Mukarramah,
Asyikin dan William Umboh.
Kelompok Kerja 4 secara khusus melaksanakan studi tingkat dukungan LSM Indonesia
terhadap kemungkinan pendanaan yang bersumber dari pemerintah. Studi berupaya
mendapatkan data dan informasi pendukung terkait peran LSM dalam pembangunan,
tantangan atau kendala yang tengah dihadapi terutama dalam mengakses pendanaan, termasuk
tingkat urgensi dan pola hubungan dengan pemerintah. Selain itu, studi turut mengukur
persepsi, pengalaman dan tingkat kesetujuan atau dukungan terhadap wacana pendanaan LSM
yang bersumber dari pemerintah.
14
Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan antara metode kuantitatif dan kualitatif.
Metode kuantitatif dilaksanakan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
Sementara, metode kualitatif dilakukan dengan studi literatur, diskusi kelompok terarah serta
wawancara mendalam. Pengambilan sampel menggunakan teknik pengambilan sampel secara
sengaja, dengan sumber responden menggunakan basis data LSM seluruh Indonesia, melalui
pembobotan berdasarkan representasi dari berbagai wilayah bidang kerja. Responden
penelitian merupakan individu yang mewakili organisasi LSM dengan jumlah keseluruhan
responden yang mengisi kuesioner mandiri secara daring adalah 100 LSM. Sementara itu,
sebanyak 146 LSM dilanjutkan dengan wawancara mendalam. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara melalui telepon. Kuesioner disusun dalam format daring,
terstruktur dan merupakan gabungan dari pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban yang
sudah tersedia serta pertanyaan terbuka guna menangkap jawaban alternatif dan pendalaman
atas jawaban yang didapatkan dari pendekatan kuantitatif. Hasilnya kemudian ditabulasi dan
dianalisis untuk selanjutnya menjadi bahan diskusi kelompok terarah yang mengundang 20
responden terpilih melalui aplikasi pertemuan daring.
Seluruh proses ini menghasilkan dua bentuk data, yaitu data agregat kuantitatif pengisian
kuesioner daring yang berbentuk tabulasi serta transkrip verbatim rekaman diskusi kelompok
terarah. Untuk menjamin kualitas data, dilakukan tahapan kontrol agar seluruh proses
pengumpulan data sesuai protokol yang ditetapkan antara lain: brifing enumerator mengenai
tujuan dan latar belakang survei, prosedur pengisian kuesioner, validasi data, verifikasi
kelayakan responden yang dilibatkan dalam penelitian dan verifikasi konsistensi jawaban hasil
pengisian kuesioner mandiri. Seluruh data hasil penelitian kuantitatif dianalisis secara
deskriptif dan tematik untuk kemudian diberi label atau kode dan ditabulasi. Sementara hasil
penelitian kualitatif diolah melalui transkripsi dan klasifikasi atau kodifikasi. Seluruh proses
kodifikasi dilakukan oleh tim peneliti dengan bantuan perangkat lunak. Peneliti terlibat dalam
proses penyusunan kategori untuk membantu melakukan interpretasi dan analisis laporan.
Kelompok Kerja 4 beranggotakan empat orang peneliti, yaitu Budhis Utami, Ai Mulyani,
Justito Adiprasetio, dan Anis Hidayah. Selain keempat peneliti tersebut, kelompok kerja 4 juga
dibantu oleh delapan orang tim enumerator masing–masing Abdullah Faqih, Bella Sandiata,
Evie Permata Sari, Ina Irawati, Iva Hasanah, Khumairoh, Ririn Hayudiani dan Sinta Ristu
Handayani.
Naskah kajian terakhir secara khusus menyelidiki model dan mekanisme pendanaan yang
paling mungkin dikembangkan bagi LSM di Indonesia melalui berbagai sumber pendanaan,
termasuk yang berasal dari sumber–sumber pendanaan Pemerintah. Kajian ini disusun oleh
Yayasan Penabulu dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
kajian pustaka, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan para pemangku
kepentingan terkait. Penulisan naskah kajian dilaksanakan oleh Mickael B. Hoelman sebagai
peneliti utama dan pelaksanaannya dibantu oleh Tim Staf Penabulu.
Kelima naskah kajian kemudian mendapatkan masukan dan saran dari tim panel ahli untuk
perbaikan. Kelima naskah kajian menjadi rujukan utama penyusunan background paper ini.
Selain naskah–naskah tersebut, background paper juga mengacu kepada berbagai risalah
tinjauan panel ahli, diskusi kelompok terarah dan lokakarya terkait sepanjang September
hingga Oktober. Naskah background paper ini juga mengumpulkan pokok–pokok paparan
yang telah disampaikan oleh para narasumber dalam berbagai pertemuan tersebut. Sejumlah
peraturan perundangan terkait turut dipelajari dengan teliti dan komprehensif.
15
Penyusunan background paper ini pertama–tama menggali kembali temuan–temuan,
kesimpulan dan rekomendasi terkait, peran, kemajuan dan tantangan yang dihadapi oleh LSM
Indonesia dari kelima naskah kajian yang telah disusun sebelumnya oleh berbagai kelompok
kerja dan peneliti.
Background paper ini kemudian mengidentifikasi urgensi pendanaan LSM Indonesia dengan
melihat pada konteks nasional dan global, serta berbagai implikasi yang mungkin timbul dari
pembentukan badan pendanaan LSM Indonesia. Selanjutnya background paper ini menggali
pembelajaran yang dapat diperoleh dari pengalaman negara–negara maju dalam
mengembangkan pendanaan bagi LSM lokal mereka. Background paper ini kemudian fokus
mengidentifikasi dan merumuskan pilar–pilar utama dalam pembentukan badan pendanaan
LSM Indonesia yang mencakup: (1) bentuk kelembagaan; (2) kerangka hukum dan regulasi;
(3) pembangunan kapasitas; (4) model kerja sama; serta (5) model pembiayaan. Bagian akhir
dari background paper ini turut meringkas pokok–pokok temuan utama serta rekomendasi yang
dapat dipertimbangkan oleh LSM dan pemerintah dalam upaya pendanaan LSM Indonesia dan
pembentukan badan pendanaannya.
16
Bab. II. Urgensi Pendanaan Pemerintah bagi LSM Indonesia
2.1. Peran LSM Indonesia dalam Pembangunan
LSM adalah lembaga nirlaba yang beroperasi dalam kerangka hukum serta bekerja
melalui proyek pengembangan yang menguntungkan masyarakat selain anggota–anggota
mereka sendiri dan dibiayai oleh sumber di luar organisasi.1 Beberapa dari LSM tersebut lahir
dari berbagai kriteria hingga aspek atau orientasi tertentu (Sinaga, 1993). LSM dijiwai oleh
semangat bekerja untuk pelayanan dan tidak selalu menerima bayaran untuk hasil–hasil
pekerjaan mereka. Seiring perjalanannya, menurut Mansour Fakih (1991), LSM bertumbuh
kembang setidaknya ke dalam tiga kelompok utama, yaitu, mereka yang beradaptasi, mereka
yang melakukan reformasi, dan mereka yang berjuang untuk bertransformasi (Lounela, 2001).
Kategori LSM pertama menyesuaikan diri dengan berbagai kebijakan pembangunan negara
dan mencoba untuk berpartisipasi, sementara kelompok kedua merupakan para reformis yang
mencoba memperkuat masyarakat sipil, namun tidak mempersoalkan ideologi pembangunan,
serta mereka yang masuk dalam kategori terakhir, yaitu mereka yang sering kali berupaya
menantang ideologi pembangunan yang hegemonik, misalnya dengan menggunakan berbagai
metode partisipasi.2
Tumbangnya kediktatoran Soeharto pada 1998 menandai era baru demokrasi, dan
dalam berbagai kesempatan dipandang sebagai sumbangsih terbesar dari kelompok–
kelompok masyarakat sipil pro–demokrasi di mana sebagian di antara mereka adalah
LSM yang telah ikut serta membidani kebanyakan organisasi–organisasi masyarakat sipil di
Indonesia.3 Lebih dari dua dekade, LSM telah menjadi bagian dari keberhasilan Indonesia
beralih dari rezim otoritarian Soeharto menuju arah yang lebih demokratis (Scanlon dan
Alawiyah, 2015). Pendekatan partisipasi dan berbasis akar rumput yang digunakan oleh LSM
sebagai kritik terhadap pendekatan atasan–bawahan yang sebelumnya banyak digunakan oleh
Pemerintah Orde Baru dalam berbagai kegiatan pembangunan telah berhasil menggerakkan
berbagai komunitas warga sehingga berdaya di mana awam lebih mengenalnya sebagai
organisasi gerakan sosial.
Peranan paling berharga dari LSM adalah dukungan bagi proses transformasi
demokrasi yang telah dibuktikannya dalam berbagai dekade perjalanan sejarah
kebangsaan Indonesia. LSM memfasilitasi pelembagaan berbagai kepentingan politik, guna
menghindari munculnya figur pribadi agar tidak terjerumus ke dalam bentuk–bentuk baru Bos–
isme atau kepemimpinan yang kuat (Pratikno dan Lay, 2013).4 Di sinilah peran krusial LSM
dalam meningkatkan demokrasi. Keyakinan LSM atas dasar demokrasi sebagai konstruksi
rakyat (demos) melalui tuntutan kolektif, yang pada gilirannya berarti rakyat yang
mendefinisikan apa yang harus dipahami oleh publik. Oleh karena itu, peran paling penting
yang telah dan sedang dilakukan oleh LSM adalah mentransformasikan aspirasi dan tuntutan
kolektif warga tersebut melalui artikulasi ke dalam kerangka representasi demokrasi yang lebih
terlembaga. Partisipasi warga dalam konsolidasi demokrasi menjadi jauh lebih kuat dan
terorganisir, sebagian difasilitasi oleh program–program penguatan masyarakat sipil yang
dilaksanakan oleh LSM (ibid, Praktikno dan Lay, 2013).
1 Lihat Fakih, Mansour. NGOs in Indonesia: Issues in Hegemony and Social Change. Occasional Paper Series on Non–
Governmental Organizations. Center for International Education, University of Massachusetts Amherst, 1991.
2 Op. cit, Fakih, 1991.
3 Lihat INFID dan Konsil LSM, Pembiayaan Negara bagi Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Laporan Penelitian,
2016.
4 Lihat Pratikno dan Cornelis Lay, From Populism to Democratic Polity: Problems and Challenges in Solo, Indonesia
dalam Törnquist, O dan Stokke, K, Democratization in the Global South: The Importance of Transformative Politcs,
Palgrave Macmillan, 2013.
17
Paska runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, banyak LSM di Indonesia mengambil posisi
gerakan di tingkat lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Berbarengan, Bank Dunia juga mengembangkan strategi di tingkat daerah. Keduanya
mendayagunakan momentum demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia dengan mengusung
nilai–nilai tata kelola pemerintahan yang baik.5 Sebagai kekuatan sipil yang bekerja di akar
rumput, LSM membawa fungsi yang lebih strategis sebagai pelopor perubahan sosial di
berbagai daerah. Keragaman fokus isunya juga telah turut menjadi salah satu kekuatannya.
Pada periode Reformasi dan seterusnya, peranan LSM berkembang dalam sebuah
hubungan yang tetap mengedepankan daya kritis ketika berinteraksi dengan Negara.
Kedua belah pihak saling memahami perannya masing–masing, di mana Negara memerlukan
LSM untuk membantu menjalankan fungsi–fungsi pemberdayaan hingga pengawasan sampai
level terbawah, sedangkan LSM tetap memerlukan Negara guna memastikan demokratisasi
yang diperjuangkan dengan susah payah berjalan secara efektif di berbagai sektor masyarakat.
Pengalaman era kediktatoran Soeharto membuat LSM dan Pemerintah sama–sama menyadari
kebutuhan untuk saling membangun kemitraan dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Berbagai peran yang telah dijalankannya oleh LSM Indonesia selaras dengan pengakuan
terhadap LSM secara global sebagai salah satu aktor pembangunan. Pengakuan mengenai
pentingnya peranan LSM misalnya dinyatakan dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Ketiga yang
diselenggarakan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengenai
efektivitas bantuan yang diselenggarakan di Accra, Ghana, pada 2008. 6 Pengakuan serupa
kembali ditegaskan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Keempat yang berlangsung di Busan,
Korea pada 2011.
Bagi masyarakat sendiri, peran LSM dalam mendorong partisipasi dipandang sangat
bermanfaat. Peran tersebut mencakup berbagai bentuk pemberdayaan, pendampingan dan
penyampaian kepentingan masyarakat kepada pemerintah. Sementara bagi Pemerintah,
manfaat keberadaan LSM tidak banyak berbeda, namun dengan tekanan terkait pembangunan
kapasitas, terutama bagi lembaga pemerintahan serta pendampingan penyusunan kebijakan.
5 Lihat Harriss, J., Stokke, K. and Törnquist, O. (eds), Politicising Democracy: The New Local Politics of
Democratization (London: Palgrave), 2004.
6 Lihat The Accra Agenda for Action, OECD, 2008.
18
Tabel 1. Peran LSM dalam Pembangunan
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
Sepanjang lima tahun terakhir, berbagai peran tersebut telah dijalankan oleh LSM
Indonesia, dengan program utama yang terbanyak menyangkut isu perempuan. Tema
ini kemudian diikuti oleh berbagai program terkait tata kelola pemerintahan yang baik,
pendampingan bagi kelompok rentan, pelestarian lingkungan dan energi, riset dan dokumentasi
serta pemberdayaan masyarakat. Selain kelima program terbesar tersebut, masih terdapat
tema–tema yang lain, seperti menyangkut perlindungan anak, ketahanan terhadap bencana,
pemajuan hak–hak asasi manusia, hukum hingga advokasi kebijakan.
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
Temuan dari penelitian lain memperlihatkan bahwa dengan dana dan sumber daya yang
terbatas, LSM berjuang mencari solusi dan menemukan metode strategis guna
mengatasi tantangan yang mereka hadapi terutama dalam masalah sumber daya
manusia (Alawiyah, 2015). Keterbatasan pendanaan telah membuat masalah serius
manajemen sumber daya manusia di berbagai organisasi LSM Indonesia. Kecenderungan pada
umumnya, semakin kecil dan semakin daerah, tingkat kesenjangan LSM semakin melebar
dalam berbagai aspek pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi antara lain komposisi
staf, tingkat pengembangan kapasitas, hingga kaderisasi kepemimpinan.
19
Tabel 2. Rincian Program dan Kegiatan LSM Lima Tahun Terakhir
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
Hasil survei yang dilakukan baru–baru ini terhadap 100 LSM di Indonesia oleh Koalisi
LSM (2021) menggambarkan sepertiga dari LSM Indonesia mengalami kekurangan
pendanaan operasional mereka. Survei menyelidiki tingkat kecukupan pendanaan bagi
pembiayaan program dan operasional dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan
kecukupan pendanaan terhadap pembiayaan program. Sementara, pembiayaan untuk
operasional organisasi secara umum berada dalam keadaan tidak terpenuhi sebagaimana
ditunjukkan oleh mean score yang berada di bawah angka 3 (m.s. 2.94).
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
20
Kesenjangan kapasitas antar LSM di tingkat nasional dan daerah sekaligus
mencerminkan ketimpangan akses kepada pendanaan. LSM Nasional cenderung lebih
mudah membangun kemitraan dengan lembaga pemerintah dan perusahaan yang kebanyakan
memiliki kantor pusat di Jakarta (USAID, 2020). Meski mengalami penurunan kapasitas,
namun temuan Indeks yang sama turut memperlihatkan penguatan terutama pada aspek fungsi
pemberdayaan masyarakat sipil oleh LSM yang terutama didorong oleh peningkatan jumlah
penyedia layanan serta peningkatan kualitas dan keberagaman layanan yang disediakan.
Selain masalah lingkungan kebijakan dan aturan, kondisi kerentanan pendanaan yang
dibutuhkan bagi keberlanjutan LSM Indonesia juga menjadi tantangan kronis
sebagaimana ditunjukkan oleh Laporan Indeks Keberlanjutan LSM (CSOSI) sejak penilaian
pertama pada 2015 hingga 2019. Keberlanjutan LSM secara keseluruhan tidak mengalami
perubahan dengan nilai skor hanya 3.9.7 Empat dari tujuh dimensi penilaian mengalami sedikit
peningkatan yang mencerminkan ketahanan dan daya tanggap LSM, meski begitu, satu dimensi
tidak mengalami perubahan dan dua lainnya menggambarkan tren penurunan.8
Penguatan organisasi akan mendorong peningkatan fungsi LSM agar dapat menjadi
lebih optimal. Dalam kaitan tersebut, faktor utama pendorong penguatan organisasi adalah
terciptanya keberlanjutan pendanaan bagi LSM. Kesinambungan dan konsistensi menjadi
kunci dalam memastikan dampak penting bagi upaya konsolidasi demokrasi dan kemakmuran
berkelanjutan di Indonesia (Suzetta, Bappenas, 2006).
7 CSOSI, Skor 3.1–5 keberlanjutan LSM berkembang, LSM secara minimal dipengaruhi oleh kebijakan yang ada.
Kemajuan dapat terhambat oleh stagnan ekonomi, pemerintahan yang pasif, media yang tidak tertarik atau ketiadaan
pengalaman meski memiliki kemauan. Lihat Laporan Indeks Keberlanjutan LSM 2019.
8 Semakin tinggi angka skor menunjukkan kondisinya negatif.
21
Terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan bagi LSM di Indonesia menyangkut
pencapaian kesinambungan pendanaan yang dibutuhkan, di antaranya, siklus
pendanaan pendek dan umumnya berbasis proyek dari hibah yang diterima, minimnya
pendanaan yang tersedia untuk membiayai operasional, serta keterbatasan informasi mengenai
program pendanaan yang tersedia.
LSM Indonesia secara nyata menghadapi tantangan yang besar atas warisan bantuan
yang semakin menyusut. Sebagaimana dilaporkan oleh penelitian Konsil LSM dan INFID
(2016), berbagai dukungan kerja sama dengan lembaga–lembaga pemberi hibah bantuan resmi
pembangunan pada praktiknya belum banyak membantu memberikan dukungan solusi
strategis terhadap pendanaan.9 Struktur dukungan hingga sumber–sumber pendanaan alternatif
masih belum terbangun dengan baik guna mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan
LSM (ibid). Sumber pendanaan dari lembaga donor internasional masih menjadi andalan bagi
LSM Indonesia khususnya bagi LSM yang beroperasi di tingkat nasional atau provinsi dan
LSM tipe advokasi (Davis, 2015). Sebagian besar juga mengalami kesulitan dalam mengakses
dana pemerintah, sumber pendanaan swasta hingga dana–dana lainnya yang bersumber
langsung dari publik meski penggunaan platform media sosial untuk penggalangan dana telah
menjadi tren yang berkembang di berbagai negara lain.
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
9Lihat Pembiayaan Negara bagi Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Laporan Penelitian. Konsil LSM Indonesia
dan INFID, 2016.
22
Selama lima tahun terakhir, LSM telah melakukan berbagai kerja sama program
setidaknya dengan 16 kementerian dan 14 lembaga pemerintah. LSM paling banyak
melakukan kerja sama penyelenggaraan program dengan pemerintah kabupaten/ kota dengan
jumlah kerja sama mencapai 455 tema program. Di antara berbagai tema kerja sama program
tersebut, mayoritas (60%) atau sejumlah 274 tema program berjalan dengan melibatkan dana
dari pemerintah daerah. Selain dengan Pemda, LSM juga banyak yang bekerja sama dengan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Total terdapat 106 tema program kerja sama
dengan kementerian ini, di mana mayoritas (68%) atau sebanyak 72 program diikuti dengan
ketersediaan pendanaan. Urutan berikutnya, LSM juga bekerja sama dengan Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan berbagai jajarannya yang terdapat di
daerah di mana 88 persen atau sejumlah 73 tema program dilengkapi dengan pendanaan.
Bila pun tersedia dana dari pemerintah ketika melakukan kerja sama, namun jumlahnya
belum mencukupi bagi kebutuhan pendanaan program. Hasil survei Koalisi LSM (2021),
menunjukkan bahwa mayoritas LSM Indonesia yang pernah menerima dana dari pemerintah
menyatakan kekurangan pendanaan terhadap kebutuhan program.
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
23
Grafik 5. Pengaruh Pandemi terhadap Pendanaan LSM berdasarkan Wilayah
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
Ketiadaan infrastruktur pendukung perantara nasional sebagai pusat sumber daya bagi
LSM Indonesia yang dapat secara aktif memainkan peran strategis dalam memobilisasi
sumber daya (baik internasional maupun domestik) telah mengindikasikan inefisiensi pada
jaringan LSM di Indonesia (Lassa dan Elcid, 2015).
Pentingnya pemajuan demokrasi tersebut juga ditegaskan kembali dalam RPJMN 2020–
2024 melalui Penataan kapasitas lembaga demokrasi, penguatan kesetaraan dan kebebasan
(Agenda No. 7.2). RPJMN menegaskan bahwa pembangunan nasional mesti didasari pada
aspirasi masyarakat dan melalui proses–proses yang demokratis. Dalam mewujudkan aspirasi
masyarakat dibutuhkan umpan balik dari masyarakat selain tentu saja administrasi
pembangunan yang profesional. Kondisi ini akan berlangsung apabila didukung oleh situasi
yang kondusif berdasarkan tata kelola serta penegakan hukum yang baik.
Dalam kaitan tersebut, arah kebijakan pada bidang Konsolidasi Demokrasi menekankan
pentingnya kualitas representasi dan kesetaraan dan kebebasan. Guna memastikan
kualitas representasi, arah kebijakan konsolidasi demokrasi berupaya mengurangi jarak antara
wakil dan konstituen. Sementara, penguatan kesetaraan dan kebebasan akan dilaksanakan
salah satunya melalui peningkatan kualitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil.
Arah kebijakan tersebut juga selaras dengan visi RPJPN 2005–2025, yang menyebutkan
bahwa perwujudan demokrasi, hendaknya dilaksanakan melalui konsolidasi demokrasi
yang bertahap pada berbagai aspek sehingga demokrasi dapat diterima sebagai konsensus
24
dan pedoman politik dalam kehidupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana
turut diamanatkan dalam RPJPN, secara umum ada lima syarat utama demokrasi yang sudah
terkonsolidasi, yaitu; (i) Pemerintah yang berdasarkan hukum; (ii) birokrasi yang efisien dan
netral; (iii) masyarakat politik yang otonom; (iv) masyarakat ekonomi yang otonom; serta (v)
masyarakat sipil yang otonom.
Urgensi pembentukan Pendanaan LSM Indonesia dalam konteks nasional ini dapat
memperkuat kualitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil supaya sejalan dengan
pemenuhan Nawacita, RPJMN 2020–2024, dan RPJPN 2005–2025 menuju terwujudnya
Konsolidasi Demokrasi Indonesia yang dicita–citakan bersama.
Peranan LSM masih sangat dibutuhkan apalagi di masa pandemi dan paska–pandemi,
untuk membantu menanggulangi risiko yang dihadapi oleh warga miskin yang paling
terdampak. LSM dapat membantu dalam hal mengurangi ketidakpastian hingga ongkos
transisi yang dibutuhkan bagi kelompok–kelompok yang selama ini tereksklusi secara sosial,
terutama kelompok sosial tertentu, seperti minoritas lansia, anak–anak, penyandang disabilitas
dan perempuan yang paling mengalami ketimpangan sosial. Hal ini juga sejalan dengan arah
prioritas Presiden yang tertuang dalam Prioritas 1 dalam Nawacita Kedua, yang terkait dengan
Pembangunan Manusia. Percepatan pemulihan ekonomi harus dilakukan dengan tetap
mengutamakan kesehatan serta pembangunan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Presiden Jokowi agar pembangunan yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan
memihak warga harus menjadi landasan pada Forum Tingkat Tinggi Dewan Ekonomi Sosial
PBB (ECOSOC), Juli 2021.
Dalam jangka panjang, penurunan kualitas atau ketiadaan kapasitas LSM sebagai
perwakilan suara arus bawah dapat memicu resonansi masalah yang artifisial dan
mungkin menjadi sumbu ketegangan berikutnya manakala berjumpa dengan media sosial
virtual. Dalam kaitan tersebut, peranan krusial LSM sangat dibutuhkan untuk memastikan
dalam meningkatkan kualitas demokrasi sebagaimana pendapat Pratikno dan Lay (2013)
25
bahwa peran paling penting yang dilakukan oleh LSM adalah mentransformasikan aspirasi dan
tuntutan kolektif warga tersebut melalui artikulasi ke dalam kerangka representasi demokrasi
yang lebih terlembaga.10
Selain itu, pada tahun 2015 anggota–anggota Perserikatan Bangsa disabilitas (PBB) telah
mencapai kesepakatan internasional tentang Agenda 2030 atau Sustainable Development
Goals (SDGs) untuk mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Agenda 2030 disepakati
sebagai komitmen global masyarakat internasional untuk memastikan tidak ada seorang pun
yang ditinggalkan dari pembangunan. Indonesia telah terlibat secara aktif dalam proses
perumusan inisiatif Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 sejak awal melalui
keanggotaannya dalam UN Task Team di tahun 2012. Indonesia telah menjadi satu dari High
Level of Eminent Person di tahun 2013. Indonesia turut menjadi salah satu dari tiga puluh
anggota Kelompok Kerja SDGs pada tahun 2015. Indonesia juga telah mendeklarasikan
komitmennya untuk mengimplementasikan Agenda 2030 pada bulan September 2015.
Negara–negara anggota PBB juga telah menyepakati Addis Ababa Action Agenda
(AAAA) yang berisikan kerangka strategi untuk mendanai implementasi Agenda 2030
tersebut. Di antara 17 tujuan yang telah dicanangkan masyarakat internasional tersebut adalah
penekanan pentingnya mobilisasi sumber daya domestik (DRM) untuk mengimplementasikan
Agenda 2030 dan merevitalisasi kemitraan global bagi pembangunan berkelanjutan.
Selain sebagai anggota PBB, Indonesia juga merupakan anggota G20. G20 secara
eksplisit mendukung implementasi Agenda 2030 dan AAAA seperti dinyatakan oleh
pemimpin–pemimpin G20 di KTT Antalya, Turki pada tahun 2015. Pemimpin–pemimpin G20
26
juga berkomitmen untuk menyelaraskan agenda G20 dengan implementasi Agenda 2030.
Komitmen tersebut dipertegas kembali pada KTT Hangzhou di bulan September 2016.
Pemimpin–pemimpin G20 mengadopsi “G20 Action Plan on the 2030 Agenda for Sustainable
Development”. Sebagai negara yang sejak awal telah terlibat aktif dalam perumusan
Rancangan Agenda 2030, Indonesia perlu mempersiapkan diri secara optimal untuk
mengembangkan kemitraan yang efektif dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan 2030. Hal ini juga sejalan dengan pandangan Presiden Jokowi pada Konferensi
Tingkat Tinggi G20 Roma, yang mengajak seluruh negara Anggota G20 untuk melakukan
upaya bersama memastikan SDGs tercapai sesuai target, 9 tahun lagi.
Pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia menjadi suatu cara untuk mewujudkan
komitmen Indonesia bagi G20 maupun PBB. Selain itu, pembentukan badan tersebut juga
dapat meningkatkan kepercayaan diri Indonesia untuk semakin aktif dalam mendorong PBB
dalam mengagendakan efektivitas berbagai forum kerja sama pembangunan, termasuk G20.
27
sendiri. Pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia akan melengkapi citra Indonesia
sebagai negara menengah–maju.
Tabel berikut di bawah. merangkum urgensi pembentukan pendanaan bagi LSM yang telah
dibahas sebelumnya.
28
Bab. III. Praktik dan Sumber–sumber Pendanaan LSM di
Indonesia
3.1. Sumber–sumber Pendanaan LSM di Indonesia
Secara umum, sumber–sumber pendanaan LSM di Indonesia terdiri dari lima kelompok
utama, yaitu swadaya organisasi, publik atau masyarakat umum, perusahaan atau sektor
swasta, pemerintah dalam negeri serta pemerintah asing atau lembaga–lembaga internasional.
Hasil kajian dua dekade yang lalu, menunjukkan 65% sumber pembiayaan LSM di
Indonesia berasal dari luar negeri, selebihnya barulah dari domestik (Synergos Institute,
2002). Persentase tersebut menggambarkan banyak LSM belum mampu secara efektif
memenuhi kebutuhan pembiayaan yang diperlukan bagi pembangunan kapasitas organisasi
dan keterampilan para stafnya sendiri (IDEA, 2005). Di Indonesia, LSM–LSM yang bergerak
di bidang advokasi secara khusus, bahkan mengandalkan hingga 99% pembiayaan dari donor
internasional (Davis, 2015). Ketergantungan ini berpeluang menjadi tekanan yang berat
manakala donor internasional tidak lagi menempatkan Indonesia sebagai prioritas utama
penerima dana mereka.
Davis, Ben. Financial Sustainability and Funding Diversification: The Challenge for Indonesian NGOs.
NSSC Publication, 2015.
Hasil survei terbaru yang dilaksanakan oleh Koalisi LSM (2021) menunjukkan dalam
kurun waktu lima tahun terakhir, sumber pendanaan LSM tidak banyak berubah. Dana
terbesar berasal dari hibah internasional (87%) dengan persentase 51–100% dari seluruh
pendanaan organisasi.
29
Grafik 7. Sumber Utama dan Komposisi Pendanaan LSM dalam Lima Tahun Terakhir
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
Programmatic Study on Resource Mobilization and Financial Sustainability of Local CSOs in Indonesia │
Laporan, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), 2021.
Pandemi Covid–19 memberikan tantangan yang lebih besar terhadap pendanaan LSM.
Krisis kesehatan, pembatasan mobilisasi, hingga perlambatan kegiatan ekonomi telah menguji
30
daya tahan organisasi dan kapasitas LSM. Berdasarkan survei INFID (2020), pandemi telah
menyebabkan lebih dari separuh (72%) LSM di Indonesia terkena dampak negatif keuangan
dan sebagian masuk ke dalam fase kritis (23%). Hasil survei termutakhir lainnya yang
dilakukan baru–baru ini oleh Koalisi LSM (2021) menunjukkan sedikit perbaikan situasi di
mana hanya 41% LSM yang mengalami pengurangan pendanaan selama pandemi.
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
OECD Stat, dalam Hoelman, Laporan Final, Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu,
September, 2021.
Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, data Komite Hibah Pembangunan
menunjukkan penurunan hibah bantuan pembangunan ke Indonesia, terutama pada 2019
setelah pada tahun sebelumnya sempat mengalami kenaikan. Selain akibat perubahan status
ekonominya, penurunan volume bantuan pembangunan juga kerap dikaitkan dengan persepsi
bahwa sejak 2004, Indonesia dipandang telah berhasil mengkonsolidasikan demokrasi serta
berada pada posisi politik yang relatif stabil.
31
Sementara itu, strategi utama hibah bantuan pembangunan semakin bekerja sama lebih
erat dengan pemerintah ketimbang dengan kelompok–kelompok masyarakat sipil.
Kecenderungan ini terutama didorong oleh Komitmen Jakarta (2009) yang membimbing
mitra–mitra pembangunan untuk menyesuaikan diri dengan sistem nasional, mulai dari
mekanisme penganggaran, pengawasan dan evaluasi hingga pengadaan barang dan jasa. Hibah
bantuan pembangunan wajib menyesuaikan diri dengan prioritas pemerintah, mengandalkan
kerja sama dengan pemerintah, termasuk di dalamnya mengalirkan dana kepada kas
pemerintah. Sebagai respons terhadap penyesuaian tersebut, beberapa negara pemberi bantuan
pembangunan kemudian memilih menyalurkan hibah bantuan pembangunan mereka melalui
lembaga perantara baik kontraktor swasta maupun organisasi–organisasi multilateral.
Kontraktor proyek sosial pembangunan menjamur dengan keterikatan kepada masing–masing
asal negara pendonor. Sementara itu, penyaluran melalui organisasi multilateral umumnya
dilandasi pula oleh keinginan agar organisasi–organisasi multilateral ikut serta memperhatikan
masalah atau isu pembangunan yang dihadapi di Indonesia.
Selain finansial, skema pendanaan yang bersumber dari anggaran pemerintah juga
menyediakan bantuan tidak langsung, seperti pelatihan SDM untuk LSM, pemanfaatan
sarana dan prasarana hingga berbagai bentuk–bentuk lain. Skema ini kerap dimaknai sebagai
bantuan pemerintah, yaitu bantuan yang tidak memenuhi kriteria bantuan sosial yang diberikan
kepada perseorangan, kelompok masyarakat, atau lembaga pemerintah/ nonpemerintah.11
Konsil LSM Indonesia dan INFID (2016) mengelompokkan berbagai bantuan pemerintah
tersebut ke dalam empat jenis bantuan, yaitu bantuan operasional, sarana/ prasarana,
rehabilitasi/ pembangunan gedung/ bangunan, serta bantuan lain yang memiliki karakteristik
bantuan pemerintah dan ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga yang bertanggung–jawab
atas pengelolaan anggaran pada kementerian negara/ lembaga bersangkutan.
11Lihat: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran
Bantuan Pemerintah pada Kementerian Negara/ Lembaga.
32
daftar nama penerima hibah mesti tercatat, disertai alamat serta besaran hibah yang diterima.
Setiap penerima hibah juga harus terdaftar, berkedudukan dan memiliki sekretariat tetap di
wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan.12
Meski begitu, besarnya dana bantuan hukum tidak sebanding dengan biaya yang
dikeluarkan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Berdasarkan Keputusan Menteri
Hukum dan HAM No. M.HH–01.HN.03.03 Tahun 2017, kegiatan litigasi penanganan perkara
pidana dianggarkan sebesar 8 Juta rupiah mulai dari penyidikan di kepolisian hingga tahap
peninjauan kembali. Sedangkan kegiatan non–litigasi berupa penyuluhan hukum, hanya
sejumlah 3,7 Juta rupiah.15 Anggaran tersebut belum mencakup biaya operasional yang
dikeluarkan OBH saat penanganan perkara, misalnya biaya panjar, biaya perkara, biaya pindai
dokumen perkara, biaya visum et repertum dalam kasus kekerasan hingga biaya komunikasi
dengan pihak–pihak terkait perkara.16 Karenanya, penyesuaian biaya bantuan hukum dengan
kebutuhan riil sangat dibutuhkan. Kajian yang dilakukan terhadap sejumlah OBH
menunjukkan adanya biaya–biaya rutin yang secara periodik dikeluarkan OBH namun tidak
tercakup oleh dana bantuan hukum APBN.17
12 Lihat: Permendagri No. 32 Tahun 2011, Permendagri No. 39 Tahun 2012, Permendagri No. 14 Tahun 2016,
Permendagri No. 123 Tahun 2018, Permendagri No. 99 Tahun 2019, dan Permendagri No. 77 Tahun 2020.
13 Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 16 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. APBN yang dialokasikan
pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
14 Lihat Elnizar, Norman. Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019–2021
November, 2020.
16 Ibid.
17 Ibid.
33
Di bidang organisasi pemberian bantuan hukum, pemerintah telah melakukan verifikasi
dan akreditasi sebanyak 524 organisasi bantuan hukum yang tersebar di 215 kabupaten/
kota. Di bidang fasilitas, pemerintah telah mengembangkan sistem informasi dan data bantuan
hukum yang diterapkan secara daring, dan kanal hukum pintar, untuk memudahkan masyarakat
dalam mengakses layanan bantuan hukum (Asfinawati dkk., 2019).
Perseroan Terbatas maupun CV yang didirikan oleh LSM umumnya bergerak di isu dan
kegiatan yang relatif sama misalnya memproduksi kajian–kajian hingga menyelenggarakan
berbagai seminar namun berbayar. Para peneliti hingga pelaksana kegiatan merupakan
personil dari LSM yang bersangkutan. PT atau CV yang dibentuk juga mendapatkan kontrak
dari lembaga pemerintah, BUMN hingga perusahaan–perusahaan swasta. Pembentukan badan
hukum privat menjadi keniscayaan jika ingin mendapatkan dana dan bekerja sama dengan
pemerintah serta sektor swasta. Meski begitu, sebagaimana halnya skema hibah dan bantuan
sosial, kerja sama dengan pemerintah melalui tender juga tidak mudah, terutama karena relasi
patron–klien hingga aroma peluang korupsi yang kerap muncul dalam pengadaan barang dan
jasa melalui proses tender.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah menerbitkan revisi kebijakan melalui Perpres No.
12 Tahun 2021 dan Peraturan LKPP No. 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola.
34
Melalui kedua aturan ini, unsur Ormas diperluas dengan melibatkan Perguruan Tinggi Swasta
dan organisasi profesi. Selain itu, beberapa persyaratan seperti audit neraca keuangan selama
tiga tahun terakhir turut dihapuskan. Sedangkan standar biaya untuk gaji personil
diperkenankan mengacu kepada nilai yang tertera di dalam kontrak terdahulu atau sedang
berjalan, di samping menggunakan standar biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pada tahun 2011, jumlah dana tanggung–jawab sosial perusahaan dengan rata–rata
alokasi adalah 1,6 persen dari keuntungan perusahaan di mana bagi perusahaan BUMN
alokasi rata–rata mencapai 2,7 persen, sementara perusahaan swasta hanya 0,53 persen dari
keuntungan. Dengan demikian, meski jumlah total dana tanggung–jawab sosial perusahaan
dari 57 perusahaan tidak dapat diperoleh, namun dengan asumsi perusahaan mengalokasikan
dana antara 1–5 persen dari keuntungan, maka pada tahun 2011 dana dari 57 perusahaan
responden tersebut dapat mencapai antara 16–79 Triliun rupiah.
Merujuk pada penelitian Saidi dan Abidin (dalam Edi, 2006) terdapat setidaknya empat
model pengelolaan dana tanggung–jawab sosial perusahaan yang umumnya diterapkan
di Indonesia. Pertama, keterlibatan langsung di mana perusahaan menjalankan sendiri
program melalui berbagai kegiatan sosial hingga menyerahkan sumbangan kepada masyarakat
tanpa melalui perantara. Kedua, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Dalam
skema ini, perusahaan mendirikan yayasan sendiri sebagaimana lazim diterapkan oleh berbagai
perusahaan di negara maju. Umumnya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau
dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Ketiga, bermitra
dengan pihak lain di mana perusahaan bekerja sama dengan lembaga sosial atau organisasi
non–pemerintah, instansi pemerintah, universitas hingga media massa, baik dalam mengelola
dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosial mereka. Keempat, mendukung atau
bergabung dalam suatu konsorsium di mana perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota
atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan guna tujuan–tujuan sosial tertentu.
35
tersedia, kecenderungan perusahaan memilih mengimplementasikan kegiatan sendiri atau
menyalurkan dana kepada yayasannya sendiri, yang bertindak sebagai perantara ketimbang
bermitra dengan LSM yang memiliki keahlian di bidang tertentu, hingga keengganan dari LSM
untuk menerima dana dari pihak swasta karena alasan kemandirian serta legitimasinya.
Data tersebut menunjukkan bahwa para jutawan mulai mendirikan berbagai lembaga
filantropi di mana tingkat pertumbuhannya semakin tinggi dan diperkirakan akan terus
meningkat. Kajian PIRAC (2017) menyebutkan terdapat 226 organisasi filantropi di
Indonesia, dengan fokus pelaksanaan program di Jawa (186), Sumatera (132) Bali NTT, NTB
(101), Kalimantan (97), Sulawesi 990) dan Papua (82) dengan bidang program yang paling
banyak diminati adalah pendidikan atau riset (26%), kesehatan (18%), penyantunan (15%),
tanggap darurat (10%) serta pengembangan ekonomi produktif (10%).19 Kajian tersebut turut
menyebutkan kecenderungan yayasan perusahaan dan yayasan keluarga dalam melakukan
berbagai kegiatannya sendiri, sementara itu yayasan keagamaan, perantara dan yayasan media
cenderung memilih bermitra dengan lembaga–lembaga lain. Secara umum, mitra pelaksana
program yang banyak dipilih adalah LSM atau yayasan sosial (25%), yayasan perusahaan atau
yayasan sendiri (21%), Pemerintah atau Pemerintah Daerah (15%), Perguruan Tinggi (13%),
organisasi keagamaan (10%), BAZIS/LAZIS (10%), Organisasi Kepemudaan atau Ormas
(4%), serta TNI/ Polri (21%).
18Lihat Pengembangan Riset Perlu Diberikan Insentif dalam Majalah CSR, 24 Mei 2017.
19Sebagai perbandingan adalah hasil riset Hayunta et.al. antara tahun 2012–2013 terhadap 28 perusahaan yang
menggambarkan bahwa sebagian besar perusahaan dalam melaksanakan CSR menaruh perhatian pada isu
pendidikan (19 %), lingkungan hidup (18 %) dan kesehatan (16 %), sementara program lain seperti ekonomi, seni
budaya, pertanian, infrastruktur (<10%). Lihat Hayunta et.al. │Menakar CSR: Memetakan Potensi Pendanaan dan
Peluang Kolaborasi Dengan LSM │ Kerja sama HIVOS, IBCSD dan Yayasan Penabulu. Jakarta: Jambatan Tiga, 2013.
36
pendanaan–pendanaan politik mereka. Beberapa filantropi yang berpotensi mendukung kerja–
kerja LSM di Indonesia, di antaranya (Davis, 2015):
37
Internasional hingga kontraktor–kontraktor internasional swasta sebelum kemudian diterima
oleh LSM Indonesia.21 Ketergantungan kepada proyek pendanaan internasional dengan
berbagai tujuan jangka pendek telah membuat kerentanan bagi keberadaan LSM di Indonesia.
menampung dana dari berbagai mitra pembangunan yang beroperasi di Indonesia seperti USAID, AUSAID dan lain
sebagainya.
22 Nicaise, Guillaume. Covid–19 and donor financing. Minimising corruption risks while ensuring efficiency. U4 Brief.
38
mitra atau pooling fund, yaitu mekanisme pendanaan yang bersumber dari beberapa (lebih dari
satu) lembaga pendonor dan ditujukan untuk mewadahi kontribusi dari beberapa lembaga
pendonor untuk kemudian dialokasikan kepada entitas lembaga penerima hibah dan/ atau
pelaksana guna mendukung program prioritas tertentu. Kedua, Dana Dukungan Inti atau core
support, yaitu dukungan pendanaan kepada LSM untuk kemudian digunakan bagi pembiayaan
program dan kegiatan mereka. Dalam mekanisme ini, setiap LSM penerima hibah
bertanggung–jawab atas administrasi dan penggunaan dana yang mereka terima. Ketiga, Dana
Campuran atau blended finance, yaitu mekanisme pendanaan yang menggabungkan hibah
bantuan lembaga pendonor dengan lembaga sektor swasta demi tujuan bersama. Dalam
mekanisme ini, keterlibatan lembaga sektor swasta diimingi dengan imbal hasil yang
menguntungkan bagi pengembangan laba usaha mereka.
Meski anggapan LSM sebagai musuh negara tidak lagi mengemuka, namun upaya untuk
mendorong sumber pendanaan dari Negara masih tergolong rendah. Meski begitu,
beberapa kebijakan –terutama satu dekade terakhir, telah mulai membuka ruang terhadap
peluang pendanaan bagi LSM seperti melalui Dana Bantuan Hukum, Dana Perwalian, hingga
pengadaan barang dan jasa melalui tipe Swakelola III. LSM sejatinya diperhitungkan sebagai
aktor non negara yang berperan penting dalam penyusunan kebijakan, implementasi hingga
pengawasan dan evaluasinya.
39
Grafik 10. Lini Masa Perjalanan Kebijakan Pendanaan Terkait dari Negara
Hoelman, Laporan Final, Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu, September,
2021.
Ke depan, LSM dapat pula memerankan posisi perantara masyarakat sipil dengan sektor
swasta. Posisi ini bukanlah hal yang baru, namun mungkin akan semakin relevan di dalam
tatanan dunia yang baru. Secara sederhana, usulan ini mengusulkan mekanisme yang
memungkinkan investasi swasta terhadap hasil–hasil pembangunan. Pandangan tersebut
berangkat dari gagasan bahwa pada dasarnya semua bantuan pembangunan merupakan
investasi, yakni membelanjakan dana hari ini untuk harapan manfaat di masa depan. Meski
demikian, tingkat pengembalian itu umumnya bersifat sosial atau bukan finansial, dalam
jangka panjang –karenanya sering kali kurang menarik bagi para investor yang hanya
berorientasi keuntungan sebanyak–banyaknya dalam periode waktu yang sesingkat–
singkatnya. Di banyak negara berkembang, layanan sosial biasanya bergantung pada
pendanaan Pemerintah dengan semua keterbatasannya seperti dimensi waktu politik,
manajemen keuangan yang birokratis hingga kinerja yang tertutup dari pengawasan publik.
Skema pendanaan investasi sosial melalui pasar keuangan komersial ini disebut pula
sebagai Obligasi Dampak Sosial, di mana investor swasta menginvestasikan dana mereka
40
kepada kerja–kerja sosial yang dilaksanakan oleh LSM dalam menghasilkan jenis–jenis
manfaat sosial tertentu, misalnya menyediakan layanan–layanan sosial seperti pendidikan,
kesehatan, melindungi kawasan hutan konservasi paru–paru dunia, dan lain sebagainya.
Yayasan Ford misalnya, baru–baru ini menjadi Yayasan pertama yang menerbitkan Obligasi
Sosial di pasar obligasi Amerika (lihat Ford Foundation, 2021). Keputusan tersebut juga
dilandasi pertimbangan Yayasan Ford untuk menyelamatkan LSM, terutama yang bergerak
pada isu keadilan sosial agar bisa senantiasa bertahan secara operasional di masa pandemi serta
tetap efektif mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial ketika pandemi dinyatakan
berakhir dan masyarakat global bersiap untuk pulih dari dampak–dampaknya. Skema obligasi
dampak sosial dapat pula dipahami sebagai tanggung–rentengnya sektor swasta terhadap
peranan dan kontribusi LSM sejauh ini dalam menjaga demokrasi –yang telah memungkinkan
kepastian berusaha bagi sektor swasta, kestabilan politik hingga penerimaan sosial.
Diadaptasi dari Laporan Final Pokja 1, 18 Oktober, 2021 dan Hoelman, Laporan Final, Dua Dekade
Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu, September, 2021.
41
Bab IV. Pembelajaran dan Pengalaman Pendanaan LSM
4.1. Pembelajaran dari mitra pembangunan dan lembaga donor internasional
Komitmen Jakarta (2009) telah membawa banyak protokol penyesuaian operasi baru
bagi mitra pembangunan di Indonesia, beberapa negara pemberi bantuan pembangunan
resmi kemudian meresponsnya dengan memilih menyalurkan bantuan mereka melalui lembaga
perantara baik kontraktor swasta maupun organisasi multilateral. Perusahaan kontraktor
bantuan pembangunan menjamur dengan keterikatan kepada masing–masing asal negara
pendonor atas berbagai alasan seperti ketidaktersediaan keterampilan dan keahlian di negara
penerima bantuan pembangunan hingga soal tata cara yang umumnya digunakan di masing–
masing negara. Sementara itu, penyaluran melalui organisasi multilateral umumnya dilandasi
pula oleh keinginan negara–negara pemberi bantuan pembangunan agar organisasi–organisasi
multilateral tertentu ikut serta memperhatikan masalah atau isu pembangunan yang dihadapi di
negara–negara penerima bantuan.
23 Nicaise, Guillaume. Covid–19 and donor financing. Minimising corruption risks while ensuring efficiency. U4 Brief.
42
fleksibilitas yang memungkinkan partisipasi berbagai lembaga pendonor untuk menangani
prioritas tertentu sesuai dengan mekanisme prosedur pengadaan, pengelolaan keuangan hingga
mekanisme pelaporan mereka masing–masing.
Dana Dukungan Inti banyak dilatarbelakangi oleh alasan situasi darurat sebagai cara
cepat menyalurkan dana ke wilayah–wilayah bencana melalui sekelompok lembaga LSM
penerima hibah bantuan yang telah disetujui sebelumnya. Mekanisme dukungan inti lebih
banyak berfokus kepada penyaluran dana ketimbang administrasi penyalurannya sehingga
berisiko penyalahgunaan dana. Selain itu, mekanisme tersebut juga rentan terhadap alih daya,
potensi konflik kepentingan dalam pelaksanaan akibat salah kelola baik karena pelaksanaan
berulang hingga kecurangan yang disengaja.
Tujuan utama dari model pendanaan ini adalah agar dapat memobilisasi volume dana
yang lebih besar guna merespon prioritas–prioritas pembangunan tertentu. Para pihak
yang terlibat pada mekanisme pendanaan ini ikut serta dalam penyusunan kebijakan,
penggalangan dana hingga pelaksanaannya baik untuk orientasi jangka pendek maupun jangka
panjang.
Meski berpeluang memobilisasi dana dalam jumlah besar, mekanisme pendanaan ini
rentan penyalahgunaan terutama manakala mencampurkan dana yang bersumber dari
para pembayar pajak dengan keuangan komersil. Selain itu, dana campuran sejak awal
membawa tantangan asal yaitu integritas terhadap peluang konflik kepentingan yang membuat
prosedur penilaian seringkali kurang independen atau mewakili penilaian yang semestinya.
Selain itu, keterlibatan entitas sektor swasta juga mendorong pengaturan yang lebih kompleks
dan berlapis yang kadangkala menyulitkan koordinasi pengawasan dan evaluasi hasil.
43
4.2. Pembelajaran dari skema kebijakan pendanaan oleh pemerintah
Sebagai instrumen dana perwalian, ICCTF dikelola secara nasional serta ditujukan
untuk mengoordinasikan kegiatan dan dukungan lembaga–lembaga internasional –dan
dalam banyak hal menjadi kanal dana gabungan. Dalam berbagai kesempatan, pembentukan
dana perwalian ketika itu turut dikaitkan sebagai pelaksanaan nyata dari Komitmen Jakarta,
yaitu upaya Pemerintah untuk mendorong mitra–mitra kerja sama pembangunan untuk sejalan
dengan prioritas pembangunan dalam negeri. Bagi Pemerintah upaya ini dibutuhkan untuk
mewujudkan kemitraan global untuk kerja sama pembangunan yang efektif, yakni kepemilikan
dari negara–negara penerima bantuan resmi pembangunan.
Dana abadi merupakan titipan penyertaan modal awal negara untuk pemupukan dana
hingga batasan waktu tertentu dan/ atau tujuan–tujuan lainnya seperti kesiapan
kelembagaan, operasionalisasi, sumber daya manusia, dan sebagainya. Pihak yang menerima
penyertaan dana ini (lembaga atau badan) untuk seterusnya diharapkan dapat melaksanakan
investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung serta melakukan kerja sama dengan
pihak ketiga guna meningkatkan jumlah dana kelolaannya maupun nilai asetnya. Keuntungan
atau kerugian yang dialami oleh badan atau lembaga dalam melaksanakan investasi merupakan
keuntungan atau kerugian badan atau lembaga tersebut. Sebagian keuntungan dapat saja
44
diperuntukkan untuk menambah akumulasi modal, disetorkan sebagai laba maupun sebagai
dana cadangan untuk menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi.
Dana abadi menunjukkan urgensi ketersediaan dana dalam jangka panjang atau dalam
kata lain adanya kebutuhan untuk kesinambungan pendanaan. Dalam berbagai
praktiknya, dana abadi kemudian lebih banyak diminati sebagai alternatif skema pendanaan
karena sifatnya yang memungkinkan investasi atau pemupukan dana. Selain itu, dana abadi
juga tidak habis pakai sebagaimana hibah bantuan pembangunan resmi, namun terbuka untuk
pembiayaan lintas tahun hingga lintas program. Untuk mengakomodasi fleksibilitas tersebut,
Pemerintah memilih bentuk kelembagaan satuan kerja non eselon yang menerapkan pola
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU).
Dua contoh badan dan lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah baru–baru ini dengan
mencontoh skema pendanaan dana abadi adalah Indonesian Environment Fund dan
IndonesianAID. Badan yang pertama, yaitu Indonesian Environment Fund atau Badan
Pengelola Dana Lingkungan Hidup dibentuk pada 2019 untuk tujuan melakukan penggalangan
dan pengelolaan dana–dana lingkungan hidup di bidang kehutanan, energi dan sumber daya
mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan
perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup. Tak hanya dana abadi, badan ini juga
akan ikut mengambil alih pengelolaan dana bergulir (revolving fund) yang berasal dari Dana
Reboisasi yang saat dilaksanakan oleh BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU
Pusat P2H) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pemerintah tampaknya
berambisi untuk meningkatkan nominal dana tidak saja dari alokasi penyertaan modal baru
namun juga konsolidasi terhadap dana yang telah terkumpul sebelumnya.
Dari perjalanan kebijakan dan skema pendanaan yang menyertainya dapat disimpulkan
kecenderungan Pemerintah dalam menanggapi kerja sama pembangunan merupakan
hal yang lebih dominan ketimbang perhatian kesinambungan pendanaan bagi LSM.
Keputusan untuk memulai skema pendanaan abadi nyatanya ditujukan untuk memberikan
stabilitas keuangan jangka panjang yang dibutuhkan Indonesia sebagai negara berkembang
daripada misalnya mempertahankan independensi LSM sebagai salah satu aktor penting
pembangunan.
45
UU 2/ 2010 tentang Perubahan atas UU 47/ 2009 PP 22/ 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Negara Tahun Anggaran 2010
UU 20/ 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Perpres 77/ 2018 tentang Pengelolaan Dana
Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 Lingkungan Hidup
Perpres 12/ 2019 tentang Dana Abadi Pendidikan PMK 137/PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
PMK 252/PMK.01/2011 tentang Organisasi Dan PMK 182/PMK.05/2019 tentang Standar Pelayanan
Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Minimum Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
PMK 143/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan PMK 24 /PMK.01/2021 tentang Perubahan atas
Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137
PMK 47/PMK.01/2020 tentang Organisasi dan /PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
KMK 18/KMK.05/2012 tentang Penetapan
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan pada
Kementerian Keuangan sebagai Instansi
Pemerintah yang menerapkan pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum
Badan Layanan Umum (BLU) Badan Layanan Umum (BLU)
Menyediakan pendanaan pendidikan Menyediakan pendanaan pengelolaan lingkungan
hidup
Mengelola Dana Abadi Pendidikan (DAP) Mengelola dana lingkungan hidup yang selama ini
sebesar 20% dari APBN tersebar di berbagai kementerian atau Lembaga yang
berbeda
Menyeleksi, mendanai dan mengembangkan dana Menghimpun, memupuk dan menyalurkan dana
Kelembagaan 4 Direksi. & Satuan Pemeriksaan Intern 5 Direksi dan 1 Internal Auditor
4 Direktorat (Direktur Keuangan dan Umum, 4 Direktorat (Keuangan, Umum dan Sistem
Direktur Investasi, Direktur Beasiswa dan Informasi; Pengumpulan Dana dan Pengembangan;
Direktur Fasilitasi Riset. Distribusi Dana; dan Hukum dan Manajemen Risiko)
Komite Pengarah diketuai Menko Perekonomian,
MenLHK (wakil), dan beranggotakan Menkeu,
Mendagri MenESDM, Menhub, Mentan, MenPPN,
Menperin dan MenKP
Sumber dana dari DPPN, APBN, hibah, hasil Sumber dana dari APBN, APBD, dan sumber dana
kerja sama dengan pihak lain, pendapatan alih lain seperti pajak dan retribusi lingkungan hidup
teknologi hasil riset, royalti atas hak paten, dana
pihak ketiga, dana perwalian, baik dari dalam
maupun luar negeri, dan/ atau lain–lain
Pengembangan Dana Abadi Pendidikan dapat Pemupukan dana melalui instrumen perbankan, pasar
dilakukan melalui bentuk investasi jangka pendek modal, dan/ atau instrumen keuangan lainnya
dan/ atau jangka panjang pada surat berharga
maupun non surat berharga di dalam dan/ atau di
luar negeri
Hasil pengembangan dana abadi digunakan untuk Dana Penanggulangan Pencemaran/ Kerusakan dan
Tata kelola melaksanakan program layanan, operasional, dan/ Pemulihan (APBN/D, dan lainnya seperti. pajak dan
atau untuk menambah nominal dana abadi itu retribusi)
sendiri. Dana Amanah/ Bantuan Konservasi (berasal dari
hibah dan donasi)
Dapat menunjuk bank kustodian
Prinsip transparansi, efisiensi, efektivitas,
proporsional dan bertanggung–jawab
Pemupukan dana terhadap Dana Amanah/ Bantuan
Konservasi (yang berasal dari hibah dan donasi)
Pemupukan dan penyaluran dana memerlukan
kontrak perjanjian
Tabel 9. Contoh Perbandingan LPDP dan BPDLH
46
4.3. Pembelajaran dari negara–negara–negara maju
Pada tahun 1999, Presiden Kim Dae–Jung mengesahkan Law to Promote Non–Profit Civil
Organizations yang mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk membantu
perkembangan LSM di Korea Selatan. Beberapa substansi penting dalam undang–undang
ini di antaranya memerintahkan Kementerian Dalam Negeri untuk membantu aktivitas LSM
terkait dengan program–program untuk publik, khususnya bantuan pendanaan. Selain itu,
undang–undang tersebut juga turut memberikan pembebasan pajak bagi LSM.25
Korea Selatan juga telah memiliki program bantuan pembangunan resmi atau Official
Development Assistance (ODA). Melalui skema ODA, telah banyak kerja sama internasional
yang berhasil dicapai oleh pemerintah Korea Selatan melalui Kementerian Luar Negeri Korea
Selatan selain berbagai pinjaman lunak (concessional lending) di bawah Kementerian
Keuangan bersama Korea Eximbank.26 Terdapat dua jenis pendanaan bantuan pengembangan
bagi LSM melalui program ODA. Pertama, adalah Aid to CSOs yang memberikan kontribusi
bantuan pendanaan terhadap program–program yang dikelola oleh LSM. Kedua, adalah Aid
Chanelled through CSOs, yakni bantuan pendanaan yang disalurkan kepada LSM atau
organisasi swasta guna mengimplementasikan proyek yang dapat menciptakan inisiatif
pendanaan (earmarked funding).27
Pada sisi pendanaan, LSM Amerika Serikat diperkenankan menerima pendanaan dari
entitas atau pemerintah negara lain. Pembatasan hanya akan diterapkan manakala LSM
terkait menerima pendanaan dari organisasi terlarang seperti terorisme atau politikus dari
negara lain.29 Meski tidak mensyaratkan registrasi atau pendaftaran LSM, namun Amerika
Serikat memiliki peraturan perundangan The Foreigns Agents Registration Act, di mana salah
satunya mengatur tentang afiliasi warga yang tinggal di Amerika Serikat dengan organisasi
asing dan terlibat pada kegiatan–kegiatan tertentu. Bagi mereka yang bekerja dengan
organisasi asing wajib untuk membuat pengungkapan publik secara berkala tentang hubungan
24 Lihat Kudlacova, South Korean Civil Society Organizations as Confidence–Builders? The Experience with South
Korean Civil Society Groupings in the Republic of Korea and the DPRK, Perspectives Vol. 22 No. 2, 2014.
25 Inchoon Kim dan Changsoon Hwang, Defining the Nonprofit Sector: South Korea, John Hopkins University Institute
3 September 2021.
29 Ibid, The US Department of State, 2021. Diakses pada 3 September 2021.
47
mereka dengan organisasi asing tersebut serta mengungkapkan kegiatan dan pendanaannya
baik sumber pemasukan maupun pengeluaran kegiatan–kegiatan mereka. Pengaturan
pendanaan cukup ketat diberlakukan terutama bagi pendanaan yang bersumber dari entitas atau
individu dari luar negeri sebagaimana diatur melalui Executive Order 13224 30 yang
menegaskan larangan bagi organisasi di Amerika Serikat terkait sumber pendanaan asing dari
individu atau organisasi yang masuk dalam daftar organisasi atau individu terlarang.31
Pengelolaan pendanaan oleh USAID terbagi dalam beberapa bentuk mengingat bantuan
pendanaan USAID tidak hanya ditujukan bagi masyarakat sipil di dalam negeri, akan
tetapi juga di luar Amerika Serikat. Bentuk mekanisme tersebut terbagi menjadi tiga
kelompok, sebagai berikut. Pertama, host country managed mechanisms, di mana dokumen
dan perangkat bantuan keuangan diproses oleh negara penyelenggara dengan sedikit
pengembangan dari USAID. Kedua, USAID Managed Mechanisms, yakni mekanisme
pengelolaan sumber dana baik dalam bentuk USD maupun mata uang lokal dari negara
penyelenggara yang ditujukan sebagai dana abadi (endowment fund) yang digunakan untuk
meningkatkan pendapatan dari organisasi yang bekerja sama dengan USAID guna membiayai
pelaksanaan program–programnya. Ketiga, Third Party Managed Mechanisms, yakni
mekanisme skema pendanaan yang umumnya digunakan sebagai bantuan kepada negara–
negara yang tengah mengalami krisis. USAID sendiri hanya bertugas mengumpulkan dana,
sementara kegiatan spesifik diimplementasikan oleh pihak ketiga yang merupakan organisasi
publik internasional. Salah satu contoh penerapan mekanisme pendanaan terakhir dapat dilihat
pada skema Multi–Donor Trust Funds Administered by Public International Organizations.33
Dana Abadi Nasional untuk Demokrasi atau The National Endowment for Democracy
(NED) diluncurkan pada awal 1980–an adalah yayasan nirlaba independen Amerika
Serikat yang didedikasikan bagi pertumbuhan dan penguatan institusi demokrasi di
seluruh dunia.34 Pendiriannya didasari gagasan bahwa bantuan Amerika atas nama upaya
demokrasi di luar negeri akan berbuah kebaikan bagi Amerika Serikat sendiri.35 Setiap tahun,
NED menyalurkan lebih dari 2.000 bantuan hibah guna mendukung berbagai kegiatan LSM di
luar negeri untuk tujuan demokrasi di lebih dari 100 negara.36 Sejak didirikan pada tahun 1983,
NED senantiasa menjadi garda terdepan perjuangan demokrasi di dunia, dan berkembang
48
menjadi lembaga multifaset yang merupakan pusat aktivitas, sumber daya serta pertukaran
intelektual bagi para aktivis, praktisi, dan cendekiawan demokrasi di seluruh dunia.37
Sebagian besar pendanaan NED bersumber dari anggaran negara yang disetujui
sebelumnya oleh Kongres Amerika Serikat, di mana setiap dukungan yang disalurkannya
turut mengirimkan pesan penting solidaritas kepada banyak demokrat di seluruh dunia yang
juga tengah berjuang bagi kebebasan dan hak asasi manusia di tengah ketidakjelasan bahkan
isolasi atau ketertutupan. Pesan lainnya turut menggarisbawahi bahwa demokrasi tidak melulu
didasarkan kepada model Amerika Serikat, akan tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan
serta tradisi budaya politik yang beragam di dunia.38
Sejak awal pendiriannya, NED didirikan bersama–bersama oleh Partai Demokrat dan
Partai Republik di Amerika Serikat dan mengusung nilai bipartisan dengan pengaturan
oleh sebuah Dewan yang jumlah keanggotaannya setara dan mewakili kedua partai politik
tersebut guna memungkinkan dukungan yang kuat bagi setiap pengambilan keputusan di
Kongres Amerika Serikat. NED juga secara berkala memublikasikan setiap informasi terkait
hibah dan kegiatan melalui laman resmi mereka serta tunduk kepada pengawasan berlapis oleh
Kongres, Departemen Luar Negeri serta audit keuangan independen.
Pemerintah Inggris tidak memiliki unit organisasi dengan status badan layanan umum
sebagaimana halnya di Indonesia yang dapat berfungsi sebagai “perantara” pemerintah dengan
masyarakat sipil. Sebaliknya, pemerintah mendayagunakan “The Compact”, pada setiap poin
in Partnership for the Benefit of Communities and Citizens in England, 2010. Diakses pada 2 September 2021.
49
tujuannya guna memastikan peran yang diambil baik oleh pemerintah maupun oleh LSM.
Salah satu contoh penerapan tujuan perancangan dan pengembangan kebijakan, program dan
pelayanan publik yang efektif dan transparan, misalnya mengatur kewajiban pemerintah untuk
melakukan tindakan–tindakan yang dapat memastikan bahwa LSM memiliki peran dan
peluang yang lebih besar dalam memberikan layanan publik melalui pembukaan pasar baru
sesuai dengan langkah–langkah reformasi layanan publik yang lebih luas. Sementara, LSM
memastikan pengaturan tata kelola yang kuat di internal organisasi mereka, agar setiap
organisasi dapat mengelola risiko terkait pemberian layanan dan model pembiayaan dengan
sebaik–baiknya, termasuk melakukan pemberitahuan dini manakala terdapat perubahan situasi
internal yang memerlukan adaptasi.
50
Bab V. Pilar Pembentukan Badan Pengelola Pendanaan LSM di
Indonesia
5.1. Bentuk Kelembagaan
Dalam satu dekade terakhir, perubahan cara penyaluran hibah bantuan pembangunan
terutama dari mitra–mitra pembangunan internasional telah mempersempit ruang
gerak pendanaan LSM di Indonesia. Perubahan cara penyaluran terutama melalui
penggunaan kontraktor swasta kini diperberat dengan penurunan komitmen hingga volume
bantuan pembangunan sejalan dengan perkembangan status Indonesia sebagai negara
berpendapatan menengah.
Saat ini, dana kelolaan IndonesianAID telah mencapai Rp 6 Triliun. Dana ini didapatkan
dari alokasi APBN 2019, 2020 dan 2021 serta 2022 (Hoelman, 2021).41 Pada APBN 2022,
IndonesianAID atau LDKPI mendapatkan tambahan alokasi investasi sebesar Rp 1.000,0
miliar, sehingga total dana kelolaannya menjadi sebesar Rp 6.000,0 miliar (lihat UU 6/ 2021
tentang APBN 2022, Buku II). Melalui penyertaan dana abadi tersebut, IndonesiaAID
diharapkan dapat meningkatkan komitmen pemberian hibah dan melakukan inovasi
pemupukan dana melalui berbagai skema penempatan dana abadi, hingga pengembangan
sumber dan mekanisme pendanaan baru.
Selain fungsi utama mengelola pendanaan yang dibutuhkan bagi pembiayaan LSM di
Indonesia, kelembagaan yang akan dibentuk juga diharapkan dapat menjalankan fungsi
operasi manajemen perencanaan program dan penganggaran, monitoring dan evaluasi,
ditambah fungsi–fungsi pendukung (fasilitasi) seperti manajemen organisasi dan administrasi,
informasi dan teknologi, kesekretariatan umum, hukum, dan pusat data hingga pengembangan
kapasitas melalui berbagai balai penelitian atau universitas.
Mengacu kepada berbagai bentuk kelembagaan pendanaan yang telah ada sebelumnya,
diharapkan kelembagaan yang akan dibentuk juga memiliki fleksibilitas tidak saja ruang
gerak terhadap pembiayaan yang bersumber dari dana APBN akan tetapi juga dapat
menampung dana lain di luar APBN tanpa terikat tahun anggaran, seperti dana amanah atau
41 Penyertaan dana abadi LDKPI atau IndonesianAID pertama kali diinisasi oleh UU 12/ 2018 tentang APBN 2019,
di mana Pemerintah dan DPR menetapkan dana kerja sama pembangunan internasional sebesar Rp 2 Triliun (Pasal
32). Pada APBN tahun–tahun berikutnya, Pemerintah mengalokasikan tambahan dana abadi sejumlah Rp 1 Triliun
sebagaimana dinyatakan dalam UU 20/2019 tentang APBN 2020 (Lampiran I) dan sejumlah Rp 2 Triliun melalui UU
9/ 2020 tentang APBN 2021 (Lampiran I), serta Rp 1 Triliun melalui UU 6/2021 tentang APBN 2022 (Buku II).
Lihat Hoelman, Mickael, B. Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu, September, 2021.
51
dana abadi baik dari mitra pembangunan, sektor swasta maupun derma individu dan
masyarakat, hingga sumber pendanaan yang tersedia di mekanisme pasar, menerima
pendapatan dan bekerja sama dengan pihak lain termasuk pihak swasta atau potensi di masa
mendatang sebagai lembaga penjual obligasi. Karenanya, badan yang akan dibentuk
hendaknya mampu menjalin kerja sama antar–negara dengan mitra–mitra pembangunan
termasuk dengan sektor swasta. Dengan mempertimbangkan berbagai fungsi tersebut,
kelembagaan yang akan dibentuk idealnya memiliki struktur yang mencakup unit–unit atau
divisi yang mampu menangani bidang–bidang baik fasilitasi hinga implementasi.
52
berikutnya.
3. Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri
sipil dan/atau tenaga profesional non–pegawai negeri sipil sesuai dengan
kebutuhan BLU.
Pengelolaan Memiliki independensi untuk mengelola keuangan termasuk
Keuangan menginvestasikannya dan menyalurkannya.
Nomenklatur Lembaga atau Badan atau lainnya (Rumah Sakit, Universitas)
BLU Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Badan Pengelola Dana
Contoh Kelapa Sawit, Universitas–universitas Negeri, Rumah Sakit Umum, LDKPI
(IndonesianAID)
Tabel 11. Karakteristik Badan Layanan Umum
Diadopsi dari Kajian Akademik Pembentukan Single Agency Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular
Indonesia │ Tim Koordinasi Nasional Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular didukung oleh Deutsche
Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, 2017.
Pada saat yang sama Kementerian PPN/ Bappenas dan KSP juga telah memulai proses
untuk menyediakan dukungan bagi keberlanjutan pendanaan LSM di Indonesia. Isu–
isu yang mengemuka juga sudah dibahas dalam berbagai pertemuan antara lain menyangkut
bentuk kelembagaan, di mana usulan yang muncul dapat diringkas ke dalam dua kelompok,
yaitu: (i) model lembaga kuasi–negara, misalnya Komisi LSM, di mana pengelolanya dipilih
melalui seleksi terbuka oleh panitia seleksi dan disetujui oleh Pemerintah dan DPR; serta (ii)
model Badan Layanan Umum (BLU), di mana pengelola dan pengawasnya diangkat oleh
Pemerintah dan berkedudukan di bawah kementerian tertentu serta rekrutmen dan pengelolaan
sumber daya manusia dilakukan melalui mekanisme BLU. Demikian halnya dengan pelaporan
dan pertanggungjawaban program dilakukan kepada Dewan Direksi dan Dewan Pengarah.
LSM Indonesia menyambut baik proposal kebijakan di atas. Tanggapan dan aspirasi
sebagian besar LSM menghendaki model BLU, suatu lembaga yang lebih teknikal–
profesional namun fleksibel. Sekurangnya, terdapat tiga alasan yang mengemuka, di
antaranya; (a) proses pembentukan BLU akan lebih serta sejalan dengan semangat pendekatan
dana abadi; (b) lembaga baru model lembaga kuasi–negara dipandang memerlukan proses
pembahasan yang lebih panjang; dan (c) BLU dapat mengurangi kekhawatiran intervensi
maupun dinamika politik secara langsung karena tidak memerlukan keterlibatan DPR.
53
dibarengi pemantauan dan evaluasi berkala guna memungkinkan pembelajaran, sehingga
setiap fungsi yang melekat dalam kelembagaan dapat bertumbuh dan mencerminkan
pengembangan sekaligus penataan terhadap tata kelola yang dibutuhkan.
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
42 Survei dilaksanakan pada pertengahan Juli hingga akhir Oktober, 2021 dengan menggunakan metode mixed
methods dan teknik purposive sampling terhadap 100 pimpinan LSM di seluruh Indonesia. Lihat Laporan Final
Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia, 2021.
54
pengembangan kapasitas kelembagaan badan itu sendiri (internal) dalam memahami isu–isu
yang perlu ditangani dengan sumber daya manusia yang profesional dan handal. Karenanya,
pembentukan badan perlu memetakan kewenangan, inventarisasi organisasi dan tata kerja,
hingga identifikasi dan kategorisasi dari visi, misi dan strategi yang ditetapkan.
Dalam RPJMN 2020–2024, salah satu arah pembangunan lima tahun ke depan berupaya
menuju terwujudnya konsolidasi demokrasi, supremasi hukum dan penegakan hak asasi
manusia. Upaya perwujudan konsolidasi demokrasi tersebut menghadapi beberapa isu
domestik yang perlu diantisipasi selama lima tahun mendatang, yaitu intoleransi, demokrasi
prosedural, kompleksitas pelayanan birokrasi dan penegakan hukum, perilaku koruptif, hingga
potensi ancaman keamanan dan kedaulatan negara. Dalam kaitan tersebut, rencana
pembangunan telah menetapkan Agenda Ketujuh “Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan
Transformasi Pelayanan Publik”, yang menegaskan bahwa Negara wajib hadir dalam melayani
dan melindungi segenap bangsa, serta menegakkan kedaulatan negara salah satunya melalui
penguatan kesetaraan dan kebebasan, serta penataan kapasitas lembaga demokrasi.
Salah satu arah kebijakan pembangunan konsolidasi demokrasi tersebut adalah
penguatan kesetaraan dan kebebasan yang dilaksanakan di antaranya melalui
peningkatan kualitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil.43 Hal ini menunjukkan
urgensi pembentukan badan juga perlu memastikan peningkatan kapasitas dan kapabilitasnya.
Selain itu, hasil survei yang dilaksanakan oleh Koalisi LSM (2021) turut menekankan
kolaborasi antar LSM terutama dalam pengembangan kapasitas, pertukaran
pengetahuan dan keahlian. LSM skala besar diharapkan ikut membantu pengembangan
kelembagaan LSM skala kecil agar dapat mengembangkan program, kegiatan hingga skala
dampak dengan sumber pembiayaan yang menyertainya. Kerja sama antar LSM akan
memberikan pengayaan satu sama lain dan dapat meningkatkan keberlanjutan terutama bagi
LSM skala kecil.
Meski begitu, dalam hal penentuan tema program, hasil survei juga menunjukkan bahwa
LSM Indonesia cukup lentur dalam melakukan penyesuaian. Pada satu sisi, LSM
mempertahankan konsistensinya terhadap nilai dan isu yang diperjuangkan sebagaimana visi
dan misi lembaga, namun di sisi yang lain mereka juga dituntut untuk memastikan
keberlanjutan organisasinya. Kelenturan ini dipahami sebagai kontekstualisasi terhadap tema
dan pendanaan sepanjang tema program tersebut tentu saja masih dapat diintegrasikan dengan
prioritas yang telah ditetapkan sebelumnya oleh lembaga.
55
Grafik 12. Program Utama LSM dalam 5 Tahun Mendatang (kiri) dan Sikap terhadap penyesuaian tema
(kanan)
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
56
Kesekretariatan a) Kemampuan komunikasi dan keterampilan interpersonal
b) Kemampuan diplomasi dan negosiasi
c) Kemampuan berjaringan (networking)
d) Pengetahuan tentang mitra pembangunan dan sektor swasta
e) Pengetahuan tentang penyusunan MoU dan legal drafting kerja sama
(kontrak)
f) Administrasi pendokumentasian program
g) Penguasaan informasi dan teknologi
Tabel 12. Analisis Spesifikasi Kompetensi SDM untuk Mengisi Struktur Badan yang akan dibentuk
oleh Penulis.
Dengan memperhatikan isu–isu terkait sumber daya manusia yang menjadi penopang
dan pendukung pelaksanaan badan yang akan dibentuk nantinya, dapat dirumuskan
sejumlah rekomendasi untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) guna memperkuat
kapasitas kelembagaan.
1. Pengelolaan badan perlu ditangani oleh personil yang berdedikasi penuh waktu.
2. Struktur SDM akan dipengaruhi penentuan struktur badan. Namun demikian, secara
ideal proporsi antara ASN, LSM, praktisi dan tokoh/ ahli harus seimbang.
3. Peningkatan kapasitas baik secara kelembagaan maupun personel menjadi hal yang
krusial. Fokus peningkatan kapasitas dapat merujuk pada penugasan di masing–masing
unit atau divisi.
4. Penyusunan organisasi dan tata kerja dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi,
identifikasi dan kategorisasi dari visi, misi dan strategi yang telah ditetapkan.
5. Pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan secara terbuka dan kompetitif.
6. Desain kelembagaan akan mempengaruhi pola karier pejabat. Perlu dipertimbangkan
konsep penugasan khusus sebagai bagian dari pola karier yang jelas.
Saat ini, bentuk kerja sama pemberian hibah telah memiliki instrumen hukum seperti
Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial.
Ke depan, instrumen hukum tersebut dapat dipertimbangkan untuk diperkuat misalnya melalui
Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada LSM.
57
1. Mitra pemerintah daerah sangat penting karena mereka turut menjadi penerima manfaat
akhir serta memiliki potensi yang besar untuk mengambil peran pembangunan
masyarakat sipil di daerah mereka.
2. Mitra swasta seperti sektor bisnis dan yayasan filantropi swasta sangat strategis
terhadap perluasan skala pendanaan, termasuk mekanisme pasar melalui obligasi sosial.
Sebagaimana pemerintah daerah, mitra swasta sejatinya merupakan penerima manfaat
akhir dari pembangunan kapasitas masyarakat sipil dan peningkatan kualitas
demokrasi.
3. Mitra pembangunan bilateral dan internasional sangat penting untuk senantiasa
dipertahankan komitmennya baik dari sisi pembiayaan program dan kegiatan maupun
keahlian yang dimiliki.
4. Mitra universitas dan lembaga–lembaga kajian bersifat strategis untuk mendukung
pengembangan kapasitas, termasuk balai penelitian dan pelatihan.
Model kerja sama dengan yang efektif dengan mitra pemerintah daerah dalam
pendanaan dan pelaksanaan program tertentu dapat berasal atau dikembangkan oleh
Pemerintah Daerah. Mekanisme pengadaan barang dan jasa melalui tipe swakelola 3 di
daerah misalnya dapat memperkuat upaya perluasan pendanaan LSM. Untuk itu diperlukan
sinergi kebijakan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar pelaksanaan program dapat
melibatkan Pemerintah Daerah secara lebih terlembaga dan terarah. Pemerintah perlu
memfasilitasi dan mensinergikan kebijakan dengan sektor strategis lainnya di tingkat
pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan program yang didanai turut memberikan dampak
terhadap perkembangan kualitas demokrasi di tingkat daerah.
Bagi LSM Indonesia sendiri, model kerja sama diharapkan juga menjangkau
pembangunan jaringan antar organisasi agar dapat menjangkau organisasi–organisasi kecil
di berbagai daerah dan mendorong pemanfaatan pendanaan yang lebih optimal. Terkait hal
tersebut, prosedur dan mekanisme seleksi merupakan aspek yang paling perlu mendapatkan
pertimbangan yaitu terkait tim seleksi dan proses seleksi. Diharapkan prosedur dan mekanisme
seleksi dapat bersifat terbuka dengan panel ahli dan tim seleksi yang objektif atau independen
serta mewakili berbagai unsur pemerintah, tokoh/ ahli, sektor swasta dan terutama unsur LSM
independen. Keseluruhan lingkup proses seleksi juga diharapkan akuntabel dan mudah diakses
oleh LSM terutama dari daerah.
Aspek kedua yang juga prioritas untuk dipertimbangkan dalam seleksi adalah aspek
kriteria dan program. Pelaksanaan seleksi harus mengatur kriteria organisasi sekurangnya
mencakup; profil, kelengkapan atau kestabilan organisasi, legalitas organisasi, rekam jejak
usulan, kategori atau bidang kerja, hingga kesesuaian bidang dan wilayah. Pengaturan tersebut
diharapkan bersifat inklusif serta memberikan ruang bagi organisasi–organisasi yang
58
cenderung memiliki akses yang lebih rendah, untuk menghindari kecenderungan monopoli.
Pengaturan tersebut juga harus membatasi sasaran program, dan memberikan kriteria terkait
program sehingga peran Pemerintah, Pemerintah Daerah dan LSM baik di tingkat nasional
maupun daerah dapat lebih gamblang.
Aspek ketiga adalah aspek sumber dana dan tata kelola. Perlu ada kejelasan asal sumber
pendanaan yang akan diterima oleh LSM baik dari APBN/D, mitra pembangunan hingga
sumber–sumber pendanaan lainnya. Pada aspek tata kelola, penekanan paling penting adalah
terkait keterbukaan, akuntabilitas, proses kontrol dalam pengelolaan dana dan standar
pengelolaan dana. Aspek keempat dan kelima yang menjadi perhatian LSM adalah
pemantauan dan evaluasi terhadap kerja sama. Mekanisme pemantauan dan penilaian
diharapkan dapat turut melibatkan audit publik.
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
Selain berbagai bentuk dan aspek kerja sama yang telah dijabarkan tersebut, hasil survei
Koalisi LSM (2021) juga menemukan pendapat LSM terkait periode dukungan program
dan pendanaan yang dibutuhkan. Lebih dari setengah LSM Indonesia menginginkan agar
periode pendanaan dapat menjangkau lebih dari 24 bulan. Beberapa bahkan menghendaki
waktu pendanaan berjalan dalam periode 36 bulan. Kecenderungan ini menunjukkan harapan
agar dukungan program dan pendanaan dapat bersifat terarah, jangka panjang, dan lebih
berkelanjutan.
Grafik 13. Aspek Pertimbangan dalam Kerja sama (kiri) dan Periode Program serta Pendanaan (kanan)
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
59
Temuan lainnya yang tidak kalah penting dari survei Koalisi LSM (2021) adalah
komposisi komponen pendanaan yang diharapkan dapat mencakup pembiayaan operasional
organisasi, program atau kegiatan, penguatan kapasitas serta keberlanjutan. Sebagaimana
dukungan pendanaan konvensional yang bersumber dari mitra pembangunan atau bahkan
pemerintah cenderung hanya menyantuni pembiayaan program atau kegiatan. Karenanya,
terdapat tegangan antara kebutuhan dana program dengan dana organisasi guna menjaga
kesinambungan. Pendanaan pemerintah diharapkan dapat memayungi keduanya, sehingga
LSM tidak lagi terpecah konsentrasinya pada aspek–aspek tertentu saja.
Berdasarkan hasil survei ditemukan alokasi paling besar ada pada pembiayaan program
atau kegiatan. Sementara itu, biaya operasional memiliki persentase yang seperempat dari
keseluruhan pendanaan yang akan diterima atau sama halnya dengan biaya lainnya terkait
penguatan kapasitas maupun biaya untuk keberlanjutan organisasi.
Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.
Berdasarkan dua opsi pengelolaan dana LSM yaitu berupa dana abadi (endowment fund)
dan dana amanah (trust fund), survei Koalisi LSM (2021) menunjukkan preferensi
mendua, sebagaimana ditunjukkan oleh keinginan agar pendanaan LSM dapat berlaku segera
dan bersifat likuid yang merupakan karakter dari dana amanah sekaligus menghendaki garansi
keamanan dan pembagian risiko untuk menjamin keberlanjutan sebagaimana ciri pendanaan
yang bersumber dari dana abadi.
60
Grafik 15. Opsi Sumber Pembiayaan
BLU 1. Dana APBN sebagai dana abadi, sehingga 1. Mekanisme koordinasi dari
lebih fleksibel dari sisi pemanfaatan sisi kebijakan program dan
anggaran dan waktu pelaksanaan (multi administrasi dengan
tahun anggaran atau mekanisme Kementerian/ Lembaga terkait
perencanaan dan penganggaran organik (Kemendagri, Kemenkumham,
Kementerian/ Lembaga) Kemen PPN/ Bappenas)
2. Dapat menerima sumber pendanaan lain di 2. Memerlukan arahan
luar APBN pertimbangan kebijakan yang
bersifat strategis
3. Dapat dikembangkan untuk memupuk dana
dalam bentuk investasi atau obligasi 3. Tidak dapat berkoordinasi
secara sejajar dengan
4. Dapat disinergikan dengan pelaksanaan
Kementerian/ Lembaga
pemberian hibah yang dilakukan melalui
(bersifat koordinasi teknis)
DIPA BUN, karena secara administratif
berada di bawah Kemenkeu
Tabel 14. Keunggulan dan Tantangan Model Pembiayaan oleh BLU
oleh Penulis.
Hasil survei Koalisi LSM (2021) juga menekankan pentingnya skema prioritas
pendanaan (afirmasi) bagi LSM–LSM kecil yang sedang bertumbuh terutama di
berbagai daerah yang banyak bekerja di isu–isu kelompok minoritas namun belum memiliki
legalitas dari Pemerintah. Terkait afirmasi tersebut, LSM–LSM tersebut diharapkan
mendapatkan pendampingan tidak saja terhadap kapasitas kelembagaan serta keahlian, akan
61
tetapi juga terkait penguatan aspek legalitas terutama menyangkut akuntabilitas pelaporan
sesuai standar pelaporan keuangan pemerintah atau badan yang akan dibentuk nantinya.
1. Untuk mendukung pengelolaan pendanaan LSM yang transparan, akuntabel dan efektif
dari sisi pembiayaan, perlu dilakukan sentralisasi anggaran melalui Badan Layanan Umum.
2. BLU akan berkoordinasi dengan Kementerian/ Lembaga dan Koalisi LSM Indonesia dalam
melaksanakan perencanaan, penetapan dan pengalokasian anggaran. Koordinasi ini
didasarkan pada arahan dari Tim Pengarah.
3. Terkait pembentukan BLU:
a. Pengelolaan anggaran dan dana sepenuhnya akan dikelola oleh badan yang akan
dibentuk yang menerapkan pola kelembagaan Badan Layanan Umum.
b. BLU akan dibentuk dengan dasar Perpres yang diharapkan dapat diundangkan pada
akhir tahun 2021.
c. Penyertaan dana abadi bagi BLU mempertimbangkan kondisi kemampuan
keuangan negara dan setidaknya sama dengan atau lebih tinggi dari penyertaan
modal awal yang diberikan oleh APBN kepada Lembaga Dana Kerja sama
Internasional/ LDKPI (IndonesianAID).
d. Perlu disusun mekanisme yang jelas tentang evaluasi dan pelaporan penggunaan
anggaran sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas anggaran BLU.
4. Setiap pengusulan anggaran perlu mendefinisikan keluaran masing–masing kegiatan yang
diturunkan dari fungsi yang jelas dan terukur serta menunjukkan peningkatan setiap tahun,
sebagai rasionalisasi peningkatan anggaran di tahun–tahun selanjutnya.
5. Perlunya regulasi mengenai mekanisme evaluasi sebagai bagian dari transparansi dan
akuntabilitas anggaran BLU.
6. Dibutuhkan mekanisme yang jelas dan lebih rinci mengenai kewenangan BLU untuk
membangun hubungan kerja sama dengan mitra pembangunan, termasuk standar biaya,
komponen, pengadaan, serta prosedur dan standar pelaporan pembiayaannya.
7. Mekanisme dan pengaturan teknis operasional lainnya akan disusun dalam Susunan
Organisasi dan Tata Kerja BLU.
62
Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
6.1. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan berbagai kajian yang dilakukan oleh Koalisi LSM, dapat dirumuskan
kesimpulan sebagai berikut:
▪ Sebagai bagian dari masyarakat, LSM Indonesia telah menyumbang banyak peran
sepanjang pembangunan kebangsaan. Selain melakukan pemberdayaan, pendampingan
hingga inovasi yang menginspirasi perubahan kebijakan, LSM juga telah nyata berperan
sebagai kekuatan penyeimbang. Dalam konteks pembangunan konsolidasi demokrasi,
peranan LSM setara dengan partai–partai politik. Hingga hari ini, peran pemberdayaan
masyarakat dan mitra pemerintah dalam melakukan pengawasan tersebut masih senantiasa
tinggi.
▪ Peranan LSM diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai program selama lima tahun
terakhir. Program utama yang paling banyak dilakukan adalah terkait isu–isu
perlindungan dan pemberdayaan perempuan, diikuti oleh perbaikan tata kelola
pemerintahan, pendampingan kelompok rentan, pelestarian lingkungan dan energi serta
berbagai riset atau kajian.
▪ Salah satu tantangan yang dihadapi oleh LSM agar dapat terus berkiprah mengawal
proses demokratisasi dan pembangunan Indonesia dalam berbagai isu terkait dengan
kapasitas organisasinya. Indeks Keberlanjutan LSM tahun 2019 menunjukkan terjadinya
penurunan kapasitas organisasi LSM bila dibandingkan dengan tahun–tahun sebelumnya
(USAID, 2020). Keterbatasan pendanaan telah membuat masalah serius manajemen
sumber daya manusia di berbagai organisasi LSM Indonesia.
▪ Sumber pendanaan LSM Indonesia dalam lima tahun terakhir karenanya masih
sangat mengandalkan hibah bantuan pembangunan internasional. Mayoritas LSM
mendapatkan dana dari hibah bantuan pembangunan untuk membiayai berbagai program
mereka. Kontribusi hibah internasional melebihi setengah dari seluruh pendanaan
organisasi. Sisanya bersumber dari berbagai pelaksanaan kegiatan serta sumbangan.
Ketergantungan kepada hibah internasional menjadi tantangan bagi keberlanjutan LSM di
Indonesia, seiring penurunan volume bantuan pembangunan dan cara kerja mitra–mitra
pembangunan yang lebih mengandalkan kontraktor–kontraktor swasta internasional.
▪ Pandemi global menambah tekanan pendanaan bagi LSM Indonesia. Lebih dari
separuh LSM di Indonesia terkena dampak negatif keuangan dan sebagian masuk ke
dalam fase kritis (INFID, 2020). Hasil survei terakhir yang dilakukan baru–baru ini
menunjukkan situasi tersebut tidak banyak mengalami perubahan (Koalisi LSM, 2021).
Penurunan pendanaan akibat pandemi telah menekan biaya operasional program dan
overhead lembaga untuk dapat terus melanjutkan peran mereka memberdayakan
masyarakat dan menjadi mitra pemerintah.
63
▪ Sementara itu, seiring dengan perubahan status ekonomi Indonesia sebagai negara
berpendapatan menengah, sejak 2019 Indonesia secara resmi telah meluncurkan
IndonesianAID sebagai badan pembangunan internasional milik Indonesia yang
bertujuan membantu negara–negara dan LSM Asing melalui berbagai skema kerja sama
internasional. Sebagai agensi bantuan pembangunan milik Indonesia, IndonesianAID
menjadi sarana Pemerintah untuk memberikan hibah dalam rangka merespons komitmen
maupun kebijakan luar negeri Indonesia. Idealnya, LSM di Indonesia turut mendapatkan
perhatian yang sama sebagaimana perhatian Pemerintah kepada negara asing dan LSM
Asing melalui penyaluran bantuan lewat IndonesianAID. Meski memberikan hibah kepada
negara atau lembaga asing, dana IndonesianAID belum dapat diakses oleh LSM Indonesia.
▪ Sepanjang kurun waktu satu dekade terakhir, Pemerintah sejatinya telah mulai
membuka ruang terhadap peluang pendanaan bagi LSM seperti melalui Dana Bantuan
Hukum, Dana Perwalian, hingga pengadaan barang dan jasa melalui tipe Swakelola III.
Namun, ragam kebijakan tersebut tidak ditujukan untuk membangun ekosistem pendanaan
bagi keberlanjutan LSM akan tetapi untuk alasan–alasan yang lain, seperti kewajiban
Negara untuk melindungi warga miskin, menyediakan pendidikan bermutu, melestarikan
lingkungan hidup, hingga semata kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
LSM sejatinya diperhitungkan sebagai aktor non negara yang berperan penting dalam
penyusunan kebijakan, implementasi hingga pengawasan dan evaluasinya.
▪ Sejak awal administrasi Pemerintahan Presiden Joko Widodo, LSM Indonesia juga
telah memikirkan perlunya ekosistem kebijakan dan pendanaan yang mendukung
LSM di Indonesia. Pemahaman ini mencakup; (a) pengadaan barang/ jasa melalui LSM,
artinya LSM mendapatkan dana hibah dari pemerintah untuk melakukan pengadaan
barang/ jasa bagi publik serta mendapatkan manfaat dari setiap proses pengadaan tersebut;
dan (b) pengadaan barang/ jasa publik bersama antara Pemerintah dengan LSM
sebagaimana praktik dan pengalaman di berbagai negara maju yang telah berjalan saat ini.
64
6.2. Rekomendasi
Dari hasil pemaparan berbagai kajian yang dilakukan oleh Koalisi LSM, dapat dirumuskan
usulan–usulan sebagai berikut:
▪ Kelembagaan yang akan dibentuk juga diharapkan memiliki fleksibilitas tidak saja
terhadap pembiayaan APBN akan tetapi juga dapat menampung dana lain di luar
APBN tanpa terikat tahun anggaran, seperti dana amanah atau dana abadi dari mitra
pembangunan, sektor swasta maupun derma individu dan masyarakat, hingga sumber
pendanaan yang tersedia di mekanisme pasar, menerima pendapatan dan bekerja sama
dengan pihak lain termasuk pihak swasta serta sebagai lembaga penjual obligasi di masa
mendatang.
▪ Dari berbagai kajian kelembagaan, model bentuk lembaga yang ideal mendekati
Badan Layanan Umum di mana badan atau lembaga yang akan dibentuk dapat merancang
sendiri program dan pendanaan multi tahun, memiliki fleksibilitas program dan
pelaksanaan, serta memungkinkan menerima pemasukan pendanaan dari berbagai pihak
luar. Sekurangnya, badan yang akan dibentuk memiliki tiga direktorat, yaitu; (i)
penyaluran dana dan investasi; (ii) keuangan dan umum; serta (iii) pengembangan kapasitas
dan fasilitasi, serta dilengkapi dengan satuan pemeriksa intern.
▪ Pengelolaan badan perlu ditangani oleh personil yang berdedikasi penuh waktu dan
diisi oleh sumber daya manusia yang secara proporsional mewakili unsur pemangku
kepentingan terkait, yaitu unsur ASN, LSM, praktisi dan tokoh/ ahli. Pengisian jabatan
pimpinan tinggi dilakukan secara terbuka dan kompetitif.
65
▪ Model pembiayaan diharapkan mencerminkan prioritas urgensi, likuid, membawa
kepastian keamanan pendanaan dalam jangka panjang, serta memiliki komponen
berbagi risiko. Model pembiayaan tersebut juga mesti dilengkapi dengan tata kelola yang
memberikan keterbukaan informasi atas sumber pendanaan, mekanisme akuntabilitas,
proses kontrol serta standar pengelolaan dana.
1. Pada tahap pertama masa transisi (tahun 2021) atau periode jangka pendek dapat
dipertimbangkan pembentukan kanal pendanaan dari mitra pembangunan yang ada
dan tengah beroperasi di Indonesia saat ini terhadap komitmen untuk ketahanan LSM
Indonesia, terutama di masa pandemi Covid–19. Dana gabungan ini dapat dikelola secara
kolaboratif oleh konsorsium LSM Indonesia, maupun melalui perantara kementerian/
lembaga yang memiliki komitmen, tugas, fungsi dan wewenang dalam memobilisasi
sumber daya untuk pemberdayaan LSM di Indonesia.
2. Pada tahap kedua (tahun 2022 hingga terbentuknya Badan Layanan Umum) atau
periode jangka menengah, kelembagaan konsorsium LSM Indonesia atau
Kementerian/ Lembaga terkait dapat dipertimbangkan menjalankan fungsinya
hingga terbentuk Badan Layanan Umum di dalam lingkungan struktur Kemenkeu.
Anggaran kegiatan diajukan oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara
(BUN) dan bertanggung–jawab dalam pengelolaan anggaran tersebut, serta penggunaan
dan pertanggung–jawaban keuangan untuk kegiatan di tahun 2022. Penyertaan dana abadi
dapat bersumber dari mitra pembangunan yang memiliki komitmen dan perhatian bagi
keberlanjutan LSM Indonesia.
66
Ketersediaan • Refocusing dana mitra • Penyertaan dana • Alokasi penyertaan
dana pembangunan yang abadi dari mitra–mitra dana awal dana abadi
tidak terserap karena pembangunan yang dalam APBN selama 3
pandemi (10–15 memiliki komitmen tahun minimal Rp 6
persen) • Donasi publik dan Triliun dimulai 2023
• Dana gabungan dari filantropi • Uji coba revenue
mitra pembangunan tagging pada Pajak
dan filantropi Pertambahan Nilai
internasional yang (PPN)
memiliki komitmen • Peluncuran obligasi
sosial dengan nilai
imbal hasil awal
setidaknya setara nilai
awal sukuk negara
tabungan (ST)
Model kerja • Dedicated • Call for Proposal • Call for Proposal
sama • Dikelola secara • Dikelola oleh BLU • Dikelola oleh BLU
kolaboratif oleh sebagai pengelola sebagai pengelola dana.
konsorsium LSM dana. Seleksi Seleksi dilakukan
Indonesia; atau dilakukan secara secara terbuka, inklusif
melalui perantara terbuka, inklusif dan dan akuntabel (bukan
kementerian/ lembaga akuntabel (bukan bersifat bantuan sosial
yang memiliki bersifat bantuan sosial atau hanya ditujukan
komitmen, tugas, atau hanya ditujukan bagi pembiayaan
fungsi dan wewenang bagi pembiayaan operasional LSM)
dalam memobilisasi operasional LSM)
sumber daya bagi
LSM di Indonesia
Akuntabilitas • Pelaporan • Pelaporan • Pelaporan dilaksanakan
dilaksanakan oleh dilaksanakan oleh oleh BLU dan diawasi
penerima dan diawasi BLU dan diawasi oleh oleh Dewan Pengawas
oleh konsorsium LSM Dewan Pengawas yang terdiri dari unsur
atau oleh yang terdiri dari unsur Pemerintah, perwakilan
kementerian/ lembaga Pemerintah, LSM, hingga sektor
terkait sesuai tugas, perwakilan LSM, swasta (tripartit)
fungsi dan hingga sektor swasta
wewenangnya (tripartit)
Tabel 15. Periode Transisi Menuju Badan Pengelola Pendanaan LSM Indonesia
oleh Penulis.
67
Daftar Referensi
Alawiyah, Tuti. Trends, Challenges and Strategies in Human Resource Management and Leadership
Regeneration: Findings from Mixed Methods Research on NGOs in Indonesia. Research
prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Cardno, 2015.
Anand, Prapti Upadhyay and Hayling, Crystal. Levers for Change: Philanthropy in Select South East
Asian Countries. Reports, Social Insight Research Series. Lien Centre for Social Innovation,
2014.
Antlov, Hans, et.all. NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a Newly
Democratizing Country dalam Jordan and Tuijl, NGO Accountability: Politics, Principles and
Innovations. London, Routledge, 2006.
Asfinawati, et.all. Perluasan Akses Keadilan Melalui Optimalisasi Layanan Bantuan Hukum yang
Berkualitas. Laporan Konferensi Nasional Bantuan Hukum I . Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), 2019.
Bahagijo, et.al., Laporan Kajian Trust Fund/ Dana Perwalian dan Pendanaan CSO untuk Demokrasi di
Indonesia, Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan, 2014.
Davis, Ben. Financial Sustainability and Funding Diversification: The Challenge for Indonesian NGOs.
Research prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Cardno, 2015.
Elnizar, Norman. Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019–
2021 dalam Hukumonline.com, 7 Januari, 2019.
Eldridge, Peter. Development democracy and non-government organizations in Indonesia dalam Asian
Journal of Political Science, 4: 1, 17 — 35, 1996.
Fakih, Mansour. NGOs in Indonesia: Issues in Hegemony and Social Change. Occasional Paper Series
on Non–Governmental Organizations. Center for International Education, University of
Massachusetts Amherst, 1991.
Harriss, J., Stokke, K. and Törnquist, O. (eds), Politicising Democracy: The New Local Politics of
Democratization. London, Palgrave, 2004.
Hayunta et.all. Menakar CSR: Memetakan Potensi Pendanaan dan Peluang Kolaborasi dengan LSM,
Kerja sama HIVOS, IBCSD dan Yayasan Penabulu. Jakarta: Jambatan Tiga, 2013.
Hoelman, Mickael B. Laporan Final, Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu,
September, 2021.
Hoelman, Mickael dan Bahagijo, Sugeng (Eds). Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran
Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia. Yayasan Tifa, 2012.
Humas, Setkab RI. Empat Pandangan Presiden Jokowi Terkait SDGs pada Forum Tingkat Tinggi Dewan
Ekonomi Sosial PBB. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 14 Juli, 2021.
Humas, Setkab RI. Presiden Jokowi Usulkan Tiga Upaya Bersama Percepat Pencapaian SDGs. Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia, 1 November, 2021.
Inchoon Kim dan Changsoon Hwang, Defining the Nonprofit Sector: South Korea, John Hopkins
University Institute for Policy Studies, 2002.
Kudlacova, South Korean Civil Society Organizations as Confidence–Builders? The Experience with South
Korean Civil Society Groupings in the Republic of Korea and the DPRK, Perspectives Vol. 22
No. 2, 2014.
Lassa, Jonatan and Elcid Li, Dominggus. NGO Networks and the Future of NGO Sustainability in
Indonesia. Research prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia.
Cardno, 2015.
Lounela, Anu. Take the Money or Die dalam Inside Indonesia 68: Oct – Dec 2001.
Lowe, David. Idea to Reality: NED at 30. History of NED. Diakses pada 21 Juli, 2021.
Lubis, Misran, et.all. Laporan Studi tentang Ragam dan Skema Pendanaan Organisasi Masyarakat Sipil
di Indonesia. Kelompok Kerja 3 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi LSM untuk Perumusan
Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on International
Development, November, 2021.
Maftuchan, Ah, et.all. Laporan Kajian Dana Perwalian dan Program Hibah bagi LSM di Indonesia:
Regulasi, Kelembagaan dan Tata Kelola. Kelompok Kerja 2 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi
68
LSM untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on
International Development, Oktober, 2021.
Nicaise, Guillaume. Covid–19 and donor financing. Minimising corruption risks while ensuring efficiency.
U4 Brief. Bergen: U4 Anti–Corruption Resource Centre, Chr. Michelsen Institute, 2020.
Pratikno dan Cornelis, Lay. From Populism to Democratic Polity: Problems and Challenges in Solo,
Indonesia dalam Törnquist, O dan Stokke, K, Democratization in the Global South: The
Importance of Transformative Politcs. Palgrave Macmillan, 2013.
Scanlon and Alawiyah. The NGO Sector in Indonesia: Context, Concepts and an Updated Profile.
Research prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Cardno, 2015.
Suzetta, Paskah. Sambutan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
pada Seminar Demokrasi untuk Kemakmuran Rakyat, Jakarta 11 April, 2006. Bappenas,
2006.
Tim Penyusun Visi Indonesia 2045. Background Study, Visi Indonesia 2045 . Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, 2019.
Tommasoli, Massimo. Representative Democracy and Capacity Development for Responsible Politics.
Paper presented at the Sixth Global Forum on Reinventing Government, Seoul, Republic of
Korea 24-27 May 2005. International IDEA, 2005.
Utami, Budhis, et.all. Laporan Penelitian Tingkat Dukungan LSM terhadap Kemungkinan Pendanaan
Pemerintah untuk LSM di Indonesia. Kelompok Kerja 4 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi LSM
untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on
International Development, Oktober, 2021.
Widoyoko, Danang, et.all. Laporan Penelitian, Study Kualitatif : Trend, Peluang dan Tantangan
Pendanaan Civil Society di Indonesia. Kelompok Kerja 1 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi LSM
untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on
International Development, November 2021.
Yasin, Muhammad. Anggaran Bantuan Hukum Belum Sesuai Kebutuhan Riil dalam Hukumonline.com,
6 November, 2020.
________________. About National Endowment for Democracy. Diakses pada 21 Juli, 2021.
________________. Addis Ababa Action Agenda of the Third International Conference on Financing for
Development (Addis Ababa Action Agenda). United Nations, New York, 2015.
________________. Berita Resmi Statistik, 15 Februari 2021. BPS, 2021 .
________________. DAC Working Party on Development Finance Statistics: COVID-19 Survey – Main
Findings. OECD, 2020.
________________. Development: Aid to developing countries falls because of global recession . OECD,
4 April 2012.
________________. Executive Order 13224, Blocking Property and Prohibiting Transactions with
Persons Who Commit, Threaten to Commit or Support Terrorism, 66 FR 49079.
________________. Ford Foundation Announces Sale and Pricing of Landmark $1 Billion Social Bonds.
News. Ford Foundation, 23 June 2020.
________________. G20 Action Plan on the 2030 Agenda for Sustainable Development . G20 China
Presidency, 2016.
________________. Indeks Keberlanjutan OMS Tahun 2019 untuk Indonesia. USAID, FHI 360 and
ICNL, 2020.
________________. INFID dan Konsil LSM, Pembiayaan Negara bagi Organisasi Masyarakat Sipil di
Indonesia. Laporan Penelitian, 2016.
________________. Jakarta Commitment: Aid for Development Effectiveness Indonesia’s Road Map to
2014. Government of Indonesia and its Development Partners, January 12th, 2009.
________________. Kajian Akademik Pembentukan Single Agency Kerja Sama Selatan Selatan dan
Triangular Indonesia │ Tim Koordinasi Nasional Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular
didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, 2017.
________________. Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH–01.HN.03.03 Tahun 2017 tentang
Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi.
________________. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 18/KMK.05/2012 tentang Penetapan
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan pada Kementerian Keuangan sebagai Instansi
Pemerintah yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum.
69
________________. Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor Kep.59/M.PPN/HK/09/2010
tentang Perubahan atas Keputusan Menteri PPN Nomor Kep. 44/M.PPN/HK/09/2009 tentang
Pembentukan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
________________. Korea Development Cooperation Profiles. OECD, 2020.
________________. Laporan Survei Persepsi CSO atas Program Pemerintah dalam Penanganan Covid-
19. International NGO Forum on International Development, 2020.
________________. National Directory of Civil Society Resource Organizations: Indonesia. Series on
Foundation Building in Southeast Asia, 2002. The Synergos Institute, 2002.
________________. NED Grants in Action. Diakses pada 21 Juli, 2021.
________________. Pengembangan Riset Perlu Diberikan Insentif dalam Majalah CSR, 24 Mei 2017.
________________. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
________________. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian
________________. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa
Pemerintah.
________________. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan
Hidup.
________________. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2019 tentang Dana Abadi Pendidikan.
________________. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252/PMK.01/2011 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah pada Kementerian Negara/ Lembaga.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK.01/2016 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
________________. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.01/2019 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK.Ol/2019 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Dana Kerja sama Pembangunan Internasional.
________________. Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 182/PMK.05/2019 tentang Standar
Pelayanan Minimum Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/PMK.01/2020 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 24 /PMK.01/2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137 /PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun
2021 tentang Pedoman Swakelola.
________________. Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 14 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 123 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman
70
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
________________. Permendagri No. 99 Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan
Daerah.
________________. Permenhukham RI No. 63 Tahun 2016 Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana
Bantuan Hukum.
________________. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019.
________________. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024.
________________. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025.
Sinaga, Kastorius. Neither Merchant Nor Prince: A Study of NGOs in Indonesia. Sociological Bulletin
42 (1 & 2), March–September 1993.
________________. Sustainable Development Goals 2030. Goal 17: Revitalize the Global Partnership
for Sustainable Development. United Nations, New York, 2015.
________________. The Accra Agenda for Action, OECD, 2008.
________________. The Development Assistant Committee, Aid for Civil Society Organizations. OECD,
2021.
________________. The UK Government, The Compact: The Coalition Government and Civil Society
Organisations Working Effectively in Partnership for the Benefit of Communities and Citizens
in England, 2010.
________________. The US Department of State, 2021, Non–Governmental Organizations (NGOs) in
the United States.
________________. Undang–undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
________________. Undang–undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
________________. Undang–undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang–Undang
Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
2010.
________________. Undang–undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
________________. Undang–undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
________________. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang APBN 2022, Buku II.
________________. USAID Implementing Mechanism, USAID, 2008.
________________. Visi Misi Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin. Meneruskan Jalan
Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong Royong.
71