Anda di halaman 1dari 72

Pembentukan Dana

LSM di Indonesia

2021

Kelompok Kerja Perumusan


Perpres Pendanaan LSM di
Indonesia

0
Pembentukan Dana LSM di Indonesia
Kelompok Kerja Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia

Penulis Utama :
Mickael Bobby Hoelman

Penulis :
Sugeng Bahagijo
Danang Widoyoko
Wahyu Susilo
Sarwitri
Firdaus Cahyadi
Ah Maftuchan
Eka Nugraha Putra
Suraji Sukamzawi
Muharriroh
Misran Lubis
Aditya Perdana
Lia Wulandari
Roy Tjong
Anis Hidayah
Misiyah
Budhis Utami
Ai Mulyani
Justito Adiprasetio
Abdul Waidl
Bona Tua Parlinggomon P.
Denisa Amelia Kawuryan

Diterbitkan oleh:
International NGO Forum on Indonesian Development
2021

Alamat :
Jl. Jati Padang Raya Kav.3 No.105, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 - Indonesia
Telepon (62-21) 781 9734, 781 9735, 7884 0497
Email: office@infid.org
Laman: www.infid.org

Cetakan Pertama, November 2021


Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang

Dokumen ini disusun dengan dukungan dari Ford Foundation. Isi dari dokumen ini sepenuhnya
menjadi tanggung jawab dari Tim Penulis, dan tidak sepenuhnya mencerminkan pendapat dari
Ford Foundation.

1
Ringkasan Eksekutif

1. Background paper ini disusun sebagai bahan referensi untuk mempersiapkan pembentukan
Dana Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia.

2. Kiprah LSM di Indonesia telah dikenal dalam berbagai dekade penting perjalanan bangsa
Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, LSM memiliki peran dan dampak politik
yang nyata. Berbagai gagasan pembangunan partisipatoris disumbangkan hingga diadopsi
dalam beragam kebijakan Pemerintah. Sekurangnya ada tiga peran penting LSM dalam
pembangunan dan demokratisasi yaitu; sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat,
pengadvokasi kebijakan publik, dan kontrol sosial.

3. Peranan paling berharga dari LSM adalah dukungannya terhadap peningkatan kualitas
demokrasi dengan mentransformasikan aspirasi dan tuntutan kolektif warga melalui
artikulasi ke dalam kerangka representasi demokrasi yang lebih terlembaga.

4. Indonesia sekarang telah menjadi kekuatan ekonomi baru dengan pengaruh regional dan
global. Sebagai negara anggota satu–satunya Kelompok 20 di Asia Tenggara, dengan
penghasilan menengah besar yang terus bertumbuh, Indonesia akan memiliki kapasitas
untuk menyediakan lebih banyak pembiayaan pembangunan. Indonesia bahkan telah
diproyeksikan menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat pada tahun 2050.

5. Seiring perubahan status ekonomi Indonesia, secara perlahan bantuan mitra pembangunan
atau donor internasional terus menurun dan tidak lagi menempatkan Indonesia sebagai
negara prioritas penerima bantuan pembangunan utama. Kondisi ini telah menjadi
tantangan bagi LSM untuk dapat melakukan diversifikasi sumber pendanaan lokal.

6. Di sisi lain, mulai berkembang sumber–sumber pendanaan baik di tingkat nasional maupun
daerah di mana beberapa turut diakses oleh LSM, di antaranya yang bersumber dari
anggaran pemerintah, sumbangan masyarakat hingga tanggung–jawab sosial perusahaan.
Masing–masing sumber pendanaan tersebut turut membawa berbagai prasyarat untuk
dipenuhi.

7. Selama satu dekade terakhir, Pemerintah juga telah mulai membuka ruang terhadap
peluang pendanaan bagi LSM seperti melalui Dana Bantuan Hukum, Dana Perwalian,
hingga pengadaan barang dan jasa melalui Swakelola Tipe III. Namun, ragam skema
pendanaan tersebut ditujukan untuk berbagai alasan, seperti kewajiban Negara untuk
melindungi warga miskin, menyediakan pendidikan bermutu, melestarikan lingkungan
hidup, hingga semata kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

8. Meski begitu, kebijakan yang mendukung ekosistem pendanaan bagi LSM Indonesia di
dalam negeri masih belum tersedia hingga hari ini baik secara nasional maupun daerah.

9. Sementara itu, Pemerintah telah membentuk Lembaga Dana Kerjasama Pembangunan


Internasional (LDKPI atau IndonesianAID) pada 2019. Melalui kelembagaan tersebut,
Indonesia juga telah menyalurkan hibah bantuan pembangunan kepada berbagai negara dan
LSM Asing.

2
10. Agar dapat berfungsi secara optimal, Pendanaan LSM idealnya memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Terpusat dalam bentuk satu lembaga yang berperan sebagai penyedia layanan;
b. Sentralisasi anggaran;
c. Memiliki mekanisme koordinasi di internal kelembagaan yang baik sehingga
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat dan akurat;
d. Memiliki kejelasan tugas pokok dan fungsi serta target kinerja secara kelembagaan;
e. Fleksibilitas dalam hal pendanaan program;
i. Memiliki satuan kerja tersendiri;
ii. Berkelanjutan (multi tahun);
iii. Tidak terikat mata anggaran tertentu (belanja barang, belanja modal, dll.);
iv. Proses perencanaan dan penganggaran dapat dilakukan secara cepat;
v. Terjaminnya ketersediaan anggaran;
vi. Dapat menerima dan menggunakan dana yang berasal dari sumber lain,
seperti dari pihak swasta, masyarakat dan luar negeri;
vii. Dapat menyalurkan anggaran untuk digunakan oleh LSM;
viii. Dapat memupuk dana dalam bentuk investasi atau obligasi.
f. Memiliki kewenangan untuk melakukan perikatan perjanjian dengan pihak lain, seperti
mitra pembangunan, penyedia jasa layanan lain dan LSM penerima;
g. Memiliki kemampuan melakukan pengembangan kapasitas dan kelembagaan LSM;
h. Memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional;
i. Memiliki kewenangan untuk melakukan pemantauan dan penilaian terhadap
pelaksanaan kegiatan LSM.

11. Dalam kerangka tersebut, pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia memiliki
urgensi untuk:
a. Mengarahkan kegiatan peningkatan kualitas dan kapasitas LSM dalam suatu kebijakan
kelembagaan dan pendanaan yang lebih sistematis, selaras, terpadu dan berkelanjutan
sehingga kualitas dan kapasitas LSM Indonesia benar–benar dapat meningkat dan
optimal;
b. Mempercepat pemulihan rakyat paska–pandemi dengan lebih berkelanjutan, inklusif,
dan memihak warga;
c. Mewujudkan komitmen Pemimpin Nasional dalam memperkuat konsolidasi demokrasi
melalui Nawacita, RPJMN 2020–2024, RPJPN 2005–2025, dan Visi Indonesia Emas
2045;
d. Mewujudkan komitmen Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah dalam
berbagai forum global seperti OECD, PBB, dan G20.

3
12. Dibutuhkan kerangka hukum dan regulasi yang kuat untuk mendukung pembentukan Dana
Abadi LSM, yaitu adanya kebutuhan Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi dasar
pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia. Kerangka hukum tersebut memuat:
a. Mandat, tugas pokok dan fungsi, standar, prosedur dan mekanisme yang jelas agar
kelembagaan yang dibentuk dapat menjalankan perannya secara efektif dalam kerangka
perwujudan Nawa Cita dan pemenuhan arah, sasaran dan tujuan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025, dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024;
b. Pelaksanaan hibah pendanaan secara komprehensif yang meliputi pengaturan mulai
dari tahapan penetapan kebijakan, perencanaan, pengalokasian anggaran, pemantauan,
evaluasi dan pelaporan;
c. Mekanisme koordinasi di antara berbagai pihak seperti pemerintah daerah, pihak
swasta, dan mitra pembangunan.

13. Untuk mewujudkan kebijakan Pendanaan LSM, diperlukan masa transisi guna
mempersiapkan kerangka hukum dan regulasi yang kuat, Sumber Daya Manusia (SDM)
yang kompeten dan profesional, serta model pembiayaan yang transparan dan akuntabel:
a. Pada tahap pertama masa transisi (tahun 2021) atau periode jangka pendek dapat
dipertimbangkan pembentukan kanal pendanaan dari mitra pembangunan yang ada dan
tengah beroperasi di Indonesia saat ini terhadap komitmen untuk ketahanan LSM
Indonesia, terutama di masa pandemi Covid–19. Dana gabungan ini dapat dikelola
secara kolaboratif oleh konsorsium LSM Indonesia, maupun melalui perantara
kementerian/ lembaga yang memiliki komitmen, tugas, fungsi dan wewenang dalam
memobilisasi sumber daya untuk pemberdayaan LSM di Indonesia;
b. Pada tahap kedua (tahun 2022 hingga terbentuknya Badan Layanan Umum) atau
periode jangka menengah, kelembagaan konsorsium LSM Indonesia atau Kementerian/
Lembaga terkait dapat dipertimbangkan menjalankan fungsinya hingga terbentuk
Badan Layanan Umum di dalam lingkungan struktur Kemenkeu. Anggaran kegiatan
diajukan oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) dan
bertanggung–jawab dalam pengelolaan anggaran tersebut, serta penggunaan dan
pertanggung–jawaban keuangan untuk kegiatan di tahun 2022. Penyertaan dana abadi
dapat bersumber dari mitra pembangunan yang memiliki komitmen dan perhatian bagi
keberlanjutan LSM Indonesia;
c. Setelah Badan Layanan Umum terbentuk (2023–seterusnya), dapat dipertimbangkan
untuk memperluas penyertaan dana abadi yang bersumber dari APBN dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, Donasi Publik dan filantropi swasta
serta sumber–sumber lain yang sah termasuk melalui penerapan alokasi penerimaan
negara (revenue tagging) pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga penjualan
obligasi sosial.

4
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................................. 2
Daftar Tabel ............................................................................................................................... 7
Daftar Grafik .............................................................................................................................. 8
Kata Pengantar Kelompok Kerja Perpres Pendanaan LSM ....................................................... 9
Bab. I. Pendahuluan ................................................................................................................ 11
1.1. Latar belakang .............................................................................................................. 11
1.2. Tujuan, Keluaran dan Manfaat .................................................................................... 13
1.2.1. Tujuan Background Paper..................................................................................... 13
1.2.2. Keluaran dan Manfaat ........................................................................................... 13
1.3. Metode ......................................................................................................................... 13
Bab. II. Urgensi Pendanaan Pemerintah bagi LSM Indonesia................................................ 17
2.1. Peran LSM Indonesia dalam Pembangunan ................................................................ 17
2.2. Tantangan yang Dihadapi oleh LSM Indonesia........................................................... 19
2.3. Urgensi Pendanaan Pemerintah untuk LSM Indonesia ............................................... 24
2.3.1. Nawacita, RPJMN 2020–2024 dan RPJPN 2005–2025 ....................................... 24
2.3.2. Memperkuat Masyarakat di masa Paska–pandemi ............................................... 25
2.3.3. ACCRA, SDGs dan Mobilisasi Sumber daya Domestik ...................................... 26
2.3.4. Memenuhi tanggung jawab Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah 27
Bab. III. Praktik dan Sumber–sumber Pendanaan LSM di Indonesia .................................... 29
3.1. Sumber–sumber Pendanaan LSM di Indonesia ........................................................... 29
3.1.1. Skema Pendanaan dari Donor Internasional ......................................................... 31
3.1.2. Skema Pendanaan Negara melalui APBN/D ........................................................ 32
3.1.3. Skema Pendanaan dari Perusahaan Swasta........................................................... 35
3.1.4. Skema Pendanaan dari Filantropi ......................................................................... 36
3.1.5. Skema Pendanaan dari Publik ............................................................................... 37
3.2. Kondisi Pendanaan LSM di Indonesia ......................................................................... 37
3.2.1. Ketergantungan kepada Donor Internasional........................................................ 37
3.2.2. Minimnya Peran Pendanaan dari Negara .............................................................. 39
3.2.3. Potensi Pendanaan dari Publik .............................................................................. 40
Bab IV. Pembelajaran dan Pengalaman Pendanaan LSM ...................................................... 42
4.1. Pembelajaran dari mitra pembangunan dan lembaga donor internasional ................... 42
4.1.1. Dana Multi–mitra (pooling fund).......................................................................... 42
4.1.2. Dana Dukungan Inti (core support) ...................................................................... 43
4.1.3. Dana Campuran (blended finance) ....................................................................... 43
4.2. Pembelajaran dari skema kebijakan pendanaan oleh pemerintah ................................ 44

5
4.2.1. Dana Perwalian ..................................................................................................... 44
4.2.2. Dana Abadi ........................................................................................................... 44
4.3. Pembelajaran dari negara–negara–negara maju........................................................... 47
4.3.1. Pendanaan LSM di Korea Selatan ........................................................................ 47
4.3.2. Pendanaan LSM di Amerika Serikat..................................................................... 47
4.3.3. Pendanaan LSM di Inggris.................................................................................... 49
Bab V. Pilar Pembentukan Badan Pengelola Pendanaan LSM di Indonesia .......................... 51
5.1. Bentuk Kelembagaan ................................................................................................... 51
5.2. Kerangka Hukum dan Regulasi ................................................................................... 54
5.3. Pembangunan Kapasitas .............................................................................................. 54
5.4. Model Kerja sama ........................................................................................................ 57
5.5. Model Pembiayaan....................................................................................................... 60
Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................................................. 63
6.1. Kesimpulan .................................................................................................................. 63
6.2. Rekomendasi ................................................................................................................ 65
6.3. Periode Transisi Menuju Badan Pengelola .................................................................. 66
Daftar Referensi ....................................................................................................................... 68

6
Daftar Tabel
Tabel 1. Peran LSM dalam Pembangunan ............................................................................... 19
Tabel 2. Rincian Program dan Kegiatan LSM Lima Tahun Terakhir ..................................... 20
Tabel 3. Jumlah Tema Program Kerja sama LSM dengan Pemerintah ................................... 22
Tabel 4. Urgensi Pendanaan bagi LSM Indonesia oleh Penulis. ............................................. 28
Tabel 5. Proporsi Kontribusi Anggaran Pemerintah Daerah terhadap Total Dana LSM ........ 30
Tabel 6. Ketimpangan Akses Pendanaan LSM Indonesia kepada Donor Internasional .......... 38
Tabel 7. Tantangan Pendanaan Negara bagi LSM Indonesia .................................................. 39
Tabel 8. Tantangan Pendanaan Alternatif dari Publik bagi LSM Indonesia ........................... 41
Tabel 9. Contoh Perbandingan LPDP dan BPDLH ................................................................. 46
Tabel 10. Perbandingan Pendanaan LSM di Negara–Negara Maju ........................................ 50
Tabel 11. Karakteristik Badan Layanan Umum ...................................................................... 53
Tabel 12. Analisis Spesifikasi Kompetensi SDM untuk Mengisi Struktur Badan yang akan
dibentuk.................................................................................................................................... 57
Tabel 13. Prosedur Ideal Proses Seleksi untuk Dukungan Pendanaan .................................... 59
Tabel 14. Keunggulan dan Tantangan Model Pembiayaan oleh BLU .................................... 61
Tabel 15. Periode Transisi Menuju Badan Pengelola Pendanaan LSM Indonesia .................. 67

7
Daftar Grafik
Grafik 1. Peran LSM Melalui berbagai Intervensi Program .................................................... 19
Grafik 2. Tingkat Kecukupan Pembiayaan Program dan Operasional .................................... 20
Grafik 3. Indeks Keberlanjutan LSM Indonesia Tahun 2019 .................................................. 21
Grafik 4. Kerja sama LSM dengan Pemerintah serta Kecukupan Pendanaan ......................... 23
Grafik 5. Pengaruh Pandemi terhadap Pendanaan LSM berdasarkan Wilayah ....................... 24
Grafik 6. Sumber Dana LSM ................................................................................................... 29
Grafik 7. Sumber Utama dan Komposisi Pendanaan LSM dalam Lima Tahun Terakhir ....... 30
Grafik 8. Pengaruh Pandemi terhadap Pendanaan LSM .......................................................... 31
Grafik 9. Indonesia Total Official Development Flows .......................................................... 31
Grafik 10. Lini Masa Perjalanan Kebijakan Pendanaan Terkait dari Negara .......................... 40
Grafik 11. Pilihan Peraturan Perundangan Pendanaan LSM ................................................... 54
Grafik 12. Program Utama LSM dalam 5 Tahun Mendatang (kiri) dan Sikap terhadap
penyesuaian tema (kanan) ........................................................................................................ 56
Grafik 13. Aspek Pertimbangan dalam Kerja sama (kiri) dan Periode Program serta
Pendanaan (kanan) ................................................................................................................... 59
Grafik 14. Komposisi Komponen Pendanaan .......................................................................... 60
Grafik 15. Opsi Sumber Pembiayaan....................................................................................... 61

8
Kata Pengantar Kelompok Kerja Perpres Pendanaan LSM

Sejak 20 tahun terakhir, status Indonesia sudah berkembang dari negara berpendapatan rendah
menjadi negara berpendapatan menengah dalam kategori peringkat negara resmi yang
dikeluarkan Bank Dunia. Pada tahun 2020, posisi tersebut meningkat lebih baik menjadi negara
berpendapatan menengah atas. Meski demikian, kemajuan tersebut juga membawa beberapa
implikasi, terutama pada pendekatan dan besaran bantuan pembangunan. Indonesia perlu
memulai mendanai barang publik sendiri, termasuk memperkuat ekosistem, peran dan
keberlanjutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia.

Pandemi COVID-19 pada Tahun 2020 membuka kembali urgensi kepada pertanyaan
pentingnya pengadaan dan pendanaan barang publik, dan secara khusus tentang keberlanjutan
LSM Indonesia. Pandemi yang menerjang Indonesia sejak 2020 tidak saja memberikan dampak
besar kepada ekonomi dan sosial, tetapi juga kepada pendanaan dan keberlanjutan LSM di
Indonesia. Survei INFID dan Tempo Institute yang dilansir tahun 2020 telah menemukan
bahwa 72% LSM terkena dampak negatif pada sektor keuangan akibat pandemi COVID-19,
yang 23% diantaranya mengalami kondisi kritis (tidak bisa berlanjut).

Sebelum Pandemi COVID-19, dapatlah kiranya dicatat Indonesia telah menjalankan dukungan
kebijakan dan pendanaan bagi LSM. Setidaknya melalui (i) Dana Bantuan hukum sebagai
pelaksanaan UU Bantuan Hukum; (ii) Skema Swakelola Tipe 3 sebagai pelaksanaan Perpres
Pengadaan Barang yang lebih melibatkan LSM. Namun demikian, kedua skema ini terlalu
terbatas dan terlalu kecil untuk bisa menolong beragamnya LSM di Indonesia.

Sejak tahun 2016, atau 4 tahun lalu, LSM Indonesia sudah memikirkan perlunya ekosistem
kebijakan dan pendanaan untuk LSM di Indonesia. Pengertian “pendanaan kepada LSM di
Indonesia” dalam arti, pengadaan barang publik oleh LSM, sebagaimana praktik dan
pengalaman di berbagai negara maju yang telah berjalan selama ini.

Dokumen ini memuat kajian pembentukan dana LSM di Indonesia, dengan cakupan; (i)
Urgensi Pendanaan LSM; (ii) Praktik dan Sumber–sumber Pendanaan LSM; (iii) Pembelajaran
dan Pengalaman Pendanaan LSM; (iv) Pilar Pembentukan Badan Pengelola Pendanaan LSM
di Indonesia; (v) Kesimpulan dan Rekomendasi Periode Transisi Menuju Badan Pengelola.
Penyusunan dokumen dilakukan selama 4 bulan (bulan Agustus sampai dengan November
2021), melalui pendekatan studi literatur, survei daring, analisa jejaring wacana, wawancara
mendalam, dan diskusi kelompok terarah. Total 197 informan telah terlibat dalam
pengumpulan data primer. Selain itu terdapat mekanisme peer review dengan mengundang
masukan dari multipihak bagi penyempurnaan penyusunan dokumen ini.

Dokumen disusun oleh Kelompok Kerja Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia
yang terdiri dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Konsil LSM
Indonesia, Perkumpulan Prakarsa, Institut KAPAL Perempuan, Transparansi Internasional
Indonesia (TII), Penabulu Foundation, Indonesia Untuk Kemanusiaan, dan REMDEC

9
Swaprakarsa, dengan didukung oleh Ford Foundation. Ucapan terima kasih diberikan kepada
Tim Penulis, Tim Enumerator, informan penelitian, dan semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu, dan telah mendukung selesainya penulisan dokumen ini.

Jakarta, November 2021

10
Bab. I. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki sejarah panjang menjadi salah satu
pilar penting dalam perjalanan pembangunan Indonesia. Keberadaan LSM di Indonesia
dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi, yaitu generasi bantuan dan kesejahteraan, generasi
keswadayaan dalam skala lokal, serta generasi pembangunan yang berkelanjutan (Korten,
1987). LSM berperan penting khususnya dalam mengawasi jalannya pemerintahan,
terjaminnya pelayanan publik yang optimal, keterbukaan institusi publik serta peningkatan
berbagai dimensi kualitas hidup masyarakat. LSM memainkan peran di tengah, di antara
pemerintah dan masyarakat, di satu sisi melakukan pendampingan masyarakat agar hak–hak
mereka dapat terpenuhi dan di sisi lain menjadi mitra Pemerintah guna memastikan kinerja
pembangunan berjalan dengan efektif dan efisien mencapai tujuan–tujuan pembangunan.
Kerja–kerja LSM selama ini bermuara pada terciptanya manfaat pembangunan bagi kelompok
masyarakat marginal.

Sejak turunnya rezim Orde baru, jumlah LSM terus meningkat, namun sayangnya
belum diiringi dengan kualitas SDM dan kapasitas kelembagaan yang baik. Dalam kaitan
tersebut, kapasitas program dan organisasi dari LSM di Indonesia menghadapi tuntutan agar
dapat terus bertumbuh, yang memerlukan dukungan pembiayaan. Selama ini sebagian besar
sumber pendanaan LSM berasal dari hibah bantuan mitra–mitra pembangunan luar negeri.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah minimnya dukungan pendanaan, di mana
banyak LSM belum memiliki kemampuan secara finansial untuk membiayai kegiatan–
kegiatannya dan sangat bergantung kepada hibah bantuan yang bersumber dari berbagai
lembaga mitra–mitra pembangunan atau donor internasional. Sokongan pendanaan dari mitra
pembangunan atau donor internasional secara besar–besaran pernah dialami di era awal
Reformasi. Berbagai bantuan donor internasional terutama mendukung upaya demokratisasi
dengan LSM sebagai aktor utama penggerak perubahan. Hingga lebih dari satu dekade
kemudian, seiring dengan masuknya keanggotaan Indonesia ke dalam kategori negara
berpendapatan menengah, secara perlahan bantuan pembangunan terus menurun dan tidak lagi
menempatkan Indonesia sebagai negara prioritas penerima bantuan pembangunan utama.
LSM Indonesia kini menghadapi tantangan untuk mencari sumber–sumber pendanaan baru.

Perubahan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah telah


mempengaruhi arah dan lanskap pendanaan LSM. Seiring dengan masuknya pula
Indonesia dalam keanggotaan Kelompok Negara 20 pada tahun 2008, bantuan internasional
disertai jumlah organisasi internasional yang bekerja di Indonesia mengalami penurunan.
Penyusutan tersebut telah mempengaruhi berbagai organisasi lokal yang sebelumnya banyak
bekerja sama dengan LSM internasional, melakukan pertukaran informasi termasuk
mengandalkan sumber pendanaan melalui berbagai forum internasional. Kondisi ini menjadi
tantangan bagi LSM Indonesia, sekaligus mendorong upaya melakukan diversifikasi sumber
pendanaan lokal, baik dengan menghasilkan pendapatan sendiri, mengakses dana yang tersedia
dari sektor publik, perusahaan, dan perorangan hingga pendanaan yang bersumber dari
pemerintah.

Di sisi lain, mulai berkembang sumber–sumber pendanaan baik di tingkat nasional


maupun daerah di mana beberapa di antaranya telah turut diakses oleh LSM, seperti dana
yang bersumber dari anggaran pemerintah, sumbangan masyarakat hingga tanggung–jawab

11
sosial perusahaan. Masing–masing sumber pendanaan membawa prasyarat di mana bagi
sebagian LSM yang sedang bertumbuh terutama di daerah sering kali sulit untuk dipenuhi.

Dari sumber pendanaan pemerintah, terdapat beberapa peluang bagi LSM antara lain
melalui skema anggaran bantuan bagi Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di Kementerian
Hukum dan HAM yang dimulai sejak tahun 2013 dan kebijakan skema pendanaan Swakelola
Tipe 3 dalam pengadaan barang dan jasa sejak tahun 2018. Sementara itu, sumber pendanaan
dari perusahaan melalui program tanggung–jawab sosial perusahaan dinilai belum efektif
dalam mendukung kerja–kerja LSM. Beragam sumber pendanaan lokal tersebut disertai
tantangan yang kompleks, di antaranya masalah akses dan birokrasi, hingga ketersediaan
anggaran yang masih sangat minim. Sebagian besar instansi pemerintah baik di tingkat pusat
maupun daerah bahkan belum menyediakan anggaran untuk kerja sama dengan LSM.

Upaya untuk merawat keberlanjutan organisasi–organisasi masyarakat sipil, khususnya


LSM mulai dipikirkan secara serius dalam sepuluh tahun terakhir baik pada tingkat
internal organisasi, lembaga mitra pembangunan hingga pemerintah. Pemerintahan Presiden
Joko Widodo secara khusus, di awal periode administrasi kepemimpinannya telah meletakkan
gagasan pembentukan “Democratic Trust Fund” melalui RPJMN 2015–2019.

Pada satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia juga telah membentuk Dana Perwalian
sebagai salah satu model pendanaan pembangunan. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor
80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian menjadi tonggak awal dimulainya dana perwalian di
Indonesia yang bersumber dari dana hibah berbagai bantuan negara asing atau lembaga–
lembaga non–pemerintah yang kemudian ditampung serta dikelola oleh satu lembaga yang
dibentuk oleh Pemerintah sebagai Wali Amanat guna selanjutnya menyalurkan dana tersebut
kepada aktor–aktor pembangunan termasuk LSM. Model pendanaan ini sekaligus
menunjukkan bahwa Pemerintah telah menyadari bahwa untuk menjalankan dan mendanai
agenda pembangunan, dibutuhkan keterlibatan berbagai aktor, termasuk aktor–aktor
pembangunan non–pemerintah.

Pandemi telah mengakibatkan berkurangnya komitmen dana hibah dari berbagai


negara dan lembaga pemberi bantuan pembangunan asing kepada Indonesia termasuk
bagi LSM di Indonesia. Pandemi mengakselerasi menurunnya dukungan pendanaan bagi LSM
yang telah mulai menyurut sepanjang satu dekade terakhir. Kajian yang dilakukan oleh
Yayasan TIFA (2012) telah mengisyaratkan bahwa LSM yang bergerak di isu hak–hak asasi
manusia (HAM) akan mengalami kesulitan pendanaan disebabkan terjadinya penurunan dana
hibah akibat perubahan menjadi prioritas mitra–mitra pembangunan. Selain itu, menurunnya
komitmen bantuan pembangunan bagi LSM juga disebabkan lesunya ekonomi global terutama
pada krisis 2008 serta berbagai pergeseran pendekatan dan perubahan isu–isu prioritas.

Pandemi dan perubahan iklim merupakan permasalahan global yang mendesak untuk
segera diatasi secara bersama–sama. Akibat yang ditimbulkannya berdampak luas dan
multidimensional sehingga memerlukan penanganan kolaboratif Multi–pihak. Pemerintah
tidak mampu menangani sendiri dampak krisis yang tengah berlangsung, dan memerlukan
peran organisasi bisnis dan LSM secara berimbang.

Pandemi global yang berkepanjangan sejak Maret 2020 menambah berat tantangan
yang dihadapi oleh LSM pada aspek pendanaan. Krisis kesehatan, restriksi mobilisasi,
perlambatan kegiatan ekonomi bertubi–tubi menguji ketahanan kelembagaan dan kapasitas

12
LSM. Pandemi telah membuat lebih dari separuh LSM di Indonesia mengalami masalah
pendanaan, yakni memasuki kondisi keuangan yang berisiko dan kritis.

1.2. Tujuan, Keluaran dan Manfaat

1.2.1. Tujuan Background Paper


Penyusunan background paper ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai peluang
sumber pendanaan LSM Indonesia, khususnya skema pendanaan alternatif terhadap skema
yang tengah ada saat ini, baik yang bersumber dari masyarakat, pemerintah hingga sektor
swasta dan mengenali gap antara aturan terhadap praktiknya di lapangan. Hasil penelaahan
digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi perumusan kebijakan Peraturan Presiden tentang
Pendanaan LSM di Indonesia.

Dalam kaitan tersebut, background paper turut menyajikan paparan tentang berbagai
penelaahan terhadap kerangka regulasi, kelembagaan dan tata kelola dari berbagai
skema pendanaan yang tengah berjalan dan memungkinkan untuk diakses oleh LSM.
Model–model kelembagaan yang telah berjalan diharapkan dapat menjadi referensi bagi
pembentukan kelembagaan Pengelola Pendanaan LSM Indonesia nantinya.

Selain itu, penyusunan background paper juga bertujuan untuk mendapatkan data dan
informasi mengenai ragam, skema dan operasi pendanaan LSM, baik yang bersumber
dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk berbagai kriteria yang diprasyaratkan.
Hasil kajian berupaya memberikan rekomendasi terhadap skema pendanaan yang terbuka bagi
LSM baru dan berskala kecil, sedang hingga besar, dengan disertai rekomendasi atas tema–
tema serta bidang kerja yang dipandang prioritas sebagai perhatian dalam lima tahun ke depan.

Penyusunan background paper juga bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam


bagaimana aspirasi dari kalangan LSM sendiri dalam merespons gagasan pendanaan
LSM yang bersumber dari Pemerintah. Hasil kajian berupaya mengetahui alasan hingga
kekhawatiran yang mungkin muncul, yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pengambilan kebijakan, termasuk hal–hal yang mesti diantisipasi. Hal tersebut mencakup
informasi dan data primer serta persepsi, pengalaman dan penerimaan LSM terhadap wacana
pendanaan LSM yang bersumber dari Pemerintah.

1.2.2. Keluaran dan Manfaat


Hasil background studi ini adalah dokumen naskah kajian yang dapat dimanfaatkan
sebagai dasar pertimbangan skema pendanaan LSM Indonesia dan sekaligus rujukan bagi
perwujudan rencana pembentukan Badan Pendanaan terkait.

1.3. Metode
Penyusunan background paper ini mengacu kepada lima naskah kajian yang disusun
oleh Kelompok Kerja Koalisi LSM Indonesia untuk Perpres Pendanaan LSM yang
dikoordinatori dan difasilitasi oleh International NGO Forum on Indonesian Development
(INFID) dengan dukungan dari Ford Foundation. Penyusunan background paper dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman kontekstual terhadap situasi LSM Indonesia.

Kelompok kerja 1 melakukan kajian terhadap berbagai sumber pendanaan yang telah
dikucurkan dan memberikan dukungan bagi LSM; mengidentifikasi skema pendanaan
alternatif dari dana pemerintah, masyarakat dan sektor swasta (perusahaan); serta

13
mengidentifikasi kesenjangan aturan skema pendanaan alternatif terhadap praktik di lapangan.
Kelompok kerja 1 ini beranggotakan empat orang peneliti, yaitu Danang Widayoko, Wahyu
Susilo, Firdaus Cahyadi, Sarwitri, dan tiga enumerator, yaitu Nabhan Fadlan, Mia Dayanti
Fajar, dan Gesia Nurlita.

Metode penelitian yang digunakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik


pengumpulan data menggunakan study literatur serta wawancara mendalam. Hasil wawancara
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode Analisis Jaringan Wacana (DNA).

Responden penelitian mencakup 25 organisasi dengan narasumber sebanyak 30 orang.


Penentuan responden menggunakan analisis personal berdasarkan pengalaman dan keahlian
baik secara organisasional maupun individual dalam aktivisme LSM di Indonesia sekurangnya
minimal selama 10 tahun terakhir. Pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan secara daring
dengan durasi antara 45 – 60 menit menggunakan platform Zoom meeting (22 organisasi) dan
Google meet (1 organisasi) dan mengacu kepada pedoman wawancara yang telah disiapkan
sebelumnya sesuai ruang lingkup penelitian. Setiap responden mendapatkan intervensi
pertanyaan yang berbeda sesuai latar belakang keahlian masing–masing, sedangkan
pendalaman wawancara dikembangkan sendiri oleh enumerator berdasarkan instrumen yang
telah disiapkan sebelumnya. Beberapa responden turut mendapatkan pertanyaan tambahan.

Kelompok Kerja 2 melaksanakan penelitian terhadap regulasi, kelembagaan dan tata


kelola dari berbagai skema dana perwalian serta hibah yang sedang berjalan. Penelitian ini
menggunakan metode kajian kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka dan diskusi
kelompok terarah. Empat lembaga secara khusus dikaji dalam penelitian ini, yaitu Indonesian
Climate Change Trust Fund (ICCTF); Lembaga Dana Kerja sama Pembangunan Internasional
Indonesia (LDKPI; IndonesiaAID); Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH/
Indonesian Environment Fund); serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Selain
itu, penelitian juga mengkaji praktik–praktik dana perwalian dan bantuan pendanaan bagi LSM
di beberapa negara berkembang dan maju, yaitu Bolivia, Negara–negara Komunitas Karibia,
Korea Selatan, Irlandia, Inggris dan Amerika Serikat. Kelompok Kerja 2 beranggotakan empat
orang peneliti, yaitu Ah Maftuchan, Eka Nugraha Putra, Suraji Sukamzawi dan Muharriroh.

Kelompok Kerja 3 mengkaji data dan informasi mengenai ragam, skema dan operasi
pendanaan termasuk kriteria persyaratan baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar
negeri. Hasil kajian menyediakan rekomendasi skema pendanaan yang terbuka untuk diakses
oleh LSM kecil atau baru, sedang dan besar, dan disertai rekomendasi tema dan bidang kerja
prioritas untuk lima tahun ke depan. Pelaksanaan kajian menggunakan metode kualitatif
dengan studi literatur dan wawancara mendalam. Penelitian mewawancarai 26 informan yang
berasal dari berbagai latar belakang lembaga pemerintah maupun LSM internasional, nasional
dan lokal. Kelompok Kerja 3 beranggotakan empat orang peneliti, yaitu Misran Lubis, Aditya
Perdana, Roy Tjong, Lia Wulandari, dan tiga orang enumerator, yaitu Ema Mukarramah,
Asyikin dan William Umboh.

Kelompok Kerja 4 secara khusus melaksanakan studi tingkat dukungan LSM Indonesia
terhadap kemungkinan pendanaan yang bersumber dari pemerintah. Studi berupaya
mendapatkan data dan informasi pendukung terkait peran LSM dalam pembangunan,
tantangan atau kendala yang tengah dihadapi terutama dalam mengakses pendanaan, termasuk
tingkat urgensi dan pola hubungan dengan pemerintah. Selain itu, studi turut mengukur
persepsi, pengalaman dan tingkat kesetujuan atau dukungan terhadap wacana pendanaan LSM
yang bersumber dari pemerintah.

14
Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan antara metode kuantitatif dan kualitatif.
Metode kuantitatif dilaksanakan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
Sementara, metode kualitatif dilakukan dengan studi literatur, diskusi kelompok terarah serta
wawancara mendalam. Pengambilan sampel menggunakan teknik pengambilan sampel secara
sengaja, dengan sumber responden menggunakan basis data LSM seluruh Indonesia, melalui
pembobotan berdasarkan representasi dari berbagai wilayah bidang kerja. Responden
penelitian merupakan individu yang mewakili organisasi LSM dengan jumlah keseluruhan
responden yang mengisi kuesioner mandiri secara daring adalah 100 LSM. Sementara itu,
sebanyak 146 LSM dilanjutkan dengan wawancara mendalam. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara melalui telepon. Kuesioner disusun dalam format daring,
terstruktur dan merupakan gabungan dari pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban yang
sudah tersedia serta pertanyaan terbuka guna menangkap jawaban alternatif dan pendalaman
atas jawaban yang didapatkan dari pendekatan kuantitatif. Hasilnya kemudian ditabulasi dan
dianalisis untuk selanjutnya menjadi bahan diskusi kelompok terarah yang mengundang 20
responden terpilih melalui aplikasi pertemuan daring.

Seluruh proses ini menghasilkan dua bentuk data, yaitu data agregat kuantitatif pengisian
kuesioner daring yang berbentuk tabulasi serta transkrip verbatim rekaman diskusi kelompok
terarah. Untuk menjamin kualitas data, dilakukan tahapan kontrol agar seluruh proses
pengumpulan data sesuai protokol yang ditetapkan antara lain: brifing enumerator mengenai
tujuan dan latar belakang survei, prosedur pengisian kuesioner, validasi data, verifikasi
kelayakan responden yang dilibatkan dalam penelitian dan verifikasi konsistensi jawaban hasil
pengisian kuesioner mandiri. Seluruh data hasil penelitian kuantitatif dianalisis secara
deskriptif dan tematik untuk kemudian diberi label atau kode dan ditabulasi. Sementara hasil
penelitian kualitatif diolah melalui transkripsi dan klasifikasi atau kodifikasi. Seluruh proses
kodifikasi dilakukan oleh tim peneliti dengan bantuan perangkat lunak. Peneliti terlibat dalam
proses penyusunan kategori untuk membantu melakukan interpretasi dan analisis laporan.

Kelompok Kerja 4 beranggotakan empat orang peneliti, yaitu Budhis Utami, Ai Mulyani,
Justito Adiprasetio, dan Anis Hidayah. Selain keempat peneliti tersebut, kelompok kerja 4 juga
dibantu oleh delapan orang tim enumerator masing–masing Abdullah Faqih, Bella Sandiata,
Evie Permata Sari, Ina Irawati, Iva Hasanah, Khumairoh, Ririn Hayudiani dan Sinta Ristu
Handayani.

Naskah kajian terakhir secara khusus menyelidiki model dan mekanisme pendanaan yang
paling mungkin dikembangkan bagi LSM di Indonesia melalui berbagai sumber pendanaan,
termasuk yang berasal dari sumber–sumber pendanaan Pemerintah. Kajian ini disusun oleh
Yayasan Penabulu dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
kajian pustaka, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan para pemangku
kepentingan terkait. Penulisan naskah kajian dilaksanakan oleh Mickael B. Hoelman sebagai
peneliti utama dan pelaksanaannya dibantu oleh Tim Staf Penabulu.

Kelima naskah kajian kemudian mendapatkan masukan dan saran dari tim panel ahli untuk
perbaikan. Kelima naskah kajian menjadi rujukan utama penyusunan background paper ini.
Selain naskah–naskah tersebut, background paper juga mengacu kepada berbagai risalah
tinjauan panel ahli, diskusi kelompok terarah dan lokakarya terkait sepanjang September
hingga Oktober. Naskah background paper ini juga mengumpulkan pokok–pokok paparan
yang telah disampaikan oleh para narasumber dalam berbagai pertemuan tersebut. Sejumlah
peraturan perundangan terkait turut dipelajari dengan teliti dan komprehensif.

15
Penyusunan background paper ini pertama–tama menggali kembali temuan–temuan,
kesimpulan dan rekomendasi terkait, peran, kemajuan dan tantangan yang dihadapi oleh LSM
Indonesia dari kelima naskah kajian yang telah disusun sebelumnya oleh berbagai kelompok
kerja dan peneliti.

Background paper ini kemudian mengidentifikasi urgensi pendanaan LSM Indonesia dengan
melihat pada konteks nasional dan global, serta berbagai implikasi yang mungkin timbul dari
pembentukan badan pendanaan LSM Indonesia. Selanjutnya background paper ini menggali
pembelajaran yang dapat diperoleh dari pengalaman negara–negara maju dalam
mengembangkan pendanaan bagi LSM lokal mereka. Background paper ini kemudian fokus
mengidentifikasi dan merumuskan pilar–pilar utama dalam pembentukan badan pendanaan
LSM Indonesia yang mencakup: (1) bentuk kelembagaan; (2) kerangka hukum dan regulasi;
(3) pembangunan kapasitas; (4) model kerja sama; serta (5) model pembiayaan. Bagian akhir
dari background paper ini turut meringkas pokok–pokok temuan utama serta rekomendasi yang
dapat dipertimbangkan oleh LSM dan pemerintah dalam upaya pendanaan LSM Indonesia dan
pembentukan badan pendanaannya.

16
Bab. II. Urgensi Pendanaan Pemerintah bagi LSM Indonesia
2.1. Peran LSM Indonesia dalam Pembangunan
LSM adalah lembaga nirlaba yang beroperasi dalam kerangka hukum serta bekerja
melalui proyek pengembangan yang menguntungkan masyarakat selain anggota–anggota
mereka sendiri dan dibiayai oleh sumber di luar organisasi.1 Beberapa dari LSM tersebut lahir
dari berbagai kriteria hingga aspek atau orientasi tertentu (Sinaga, 1993). LSM dijiwai oleh
semangat bekerja untuk pelayanan dan tidak selalu menerima bayaran untuk hasil–hasil
pekerjaan mereka. Seiring perjalanannya, menurut Mansour Fakih (1991), LSM bertumbuh
kembang setidaknya ke dalam tiga kelompok utama, yaitu, mereka yang beradaptasi, mereka
yang melakukan reformasi, dan mereka yang berjuang untuk bertransformasi (Lounela, 2001).
Kategori LSM pertama menyesuaikan diri dengan berbagai kebijakan pembangunan negara
dan mencoba untuk berpartisipasi, sementara kelompok kedua merupakan para reformis yang
mencoba memperkuat masyarakat sipil, namun tidak mempersoalkan ideologi pembangunan,
serta mereka yang masuk dalam kategori terakhir, yaitu mereka yang sering kali berupaya
menantang ideologi pembangunan yang hegemonik, misalnya dengan menggunakan berbagai
metode partisipasi.2

Tumbangnya kediktatoran Soeharto pada 1998 menandai era baru demokrasi, dan
dalam berbagai kesempatan dipandang sebagai sumbangsih terbesar dari kelompok–
kelompok masyarakat sipil pro–demokrasi di mana sebagian di antara mereka adalah
LSM yang telah ikut serta membidani kebanyakan organisasi–organisasi masyarakat sipil di
Indonesia.3 Lebih dari dua dekade, LSM telah menjadi bagian dari keberhasilan Indonesia
beralih dari rezim otoritarian Soeharto menuju arah yang lebih demokratis (Scanlon dan
Alawiyah, 2015). Pendekatan partisipasi dan berbasis akar rumput yang digunakan oleh LSM
sebagai kritik terhadap pendekatan atasan–bawahan yang sebelumnya banyak digunakan oleh
Pemerintah Orde Baru dalam berbagai kegiatan pembangunan telah berhasil menggerakkan
berbagai komunitas warga sehingga berdaya di mana awam lebih mengenalnya sebagai
organisasi gerakan sosial.

Peranan paling berharga dari LSM adalah dukungan bagi proses transformasi
demokrasi yang telah dibuktikannya dalam berbagai dekade perjalanan sejarah
kebangsaan Indonesia. LSM memfasilitasi pelembagaan berbagai kepentingan politik, guna
menghindari munculnya figur pribadi agar tidak terjerumus ke dalam bentuk–bentuk baru Bos–
isme atau kepemimpinan yang kuat (Pratikno dan Lay, 2013).4 Di sinilah peran krusial LSM
dalam meningkatkan demokrasi. Keyakinan LSM atas dasar demokrasi sebagai konstruksi
rakyat (demos) melalui tuntutan kolektif, yang pada gilirannya berarti rakyat yang
mendefinisikan apa yang harus dipahami oleh publik. Oleh karena itu, peran paling penting
yang telah dan sedang dilakukan oleh LSM adalah mentransformasikan aspirasi dan tuntutan
kolektif warga tersebut melalui artikulasi ke dalam kerangka representasi demokrasi yang lebih
terlembaga. Partisipasi warga dalam konsolidasi demokrasi menjadi jauh lebih kuat dan
terorganisir, sebagian difasilitasi oleh program–program penguatan masyarakat sipil yang
dilaksanakan oleh LSM (ibid, Praktikno dan Lay, 2013).

1 Lihat Fakih, Mansour. NGOs in Indonesia: Issues in Hegemony and Social Change. Occasional Paper Series on Non–
Governmental Organizations. Center for International Education, University of Massachusetts Amherst, 1991.
2 Op. cit, Fakih, 1991.
3 Lihat INFID dan Konsil LSM, Pembiayaan Negara bagi Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Laporan Penelitian,

2016.
4 Lihat Pratikno dan Cornelis Lay, From Populism to Democratic Polity: Problems and Challenges in Solo, Indonesia

dalam Törnquist, O dan Stokke, K, Democratization in the Global South: The Importance of Transformative Politcs,
Palgrave Macmillan, 2013.

17
Paska runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, banyak LSM di Indonesia mengambil posisi
gerakan di tingkat lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Berbarengan, Bank Dunia juga mengembangkan strategi di tingkat daerah. Keduanya
mendayagunakan momentum demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia dengan mengusung
nilai–nilai tata kelola pemerintahan yang baik.5 Sebagai kekuatan sipil yang bekerja di akar
rumput, LSM membawa fungsi yang lebih strategis sebagai pelopor perubahan sosial di
berbagai daerah. Keragaman fokus isunya juga telah turut menjadi salah satu kekuatannya.

Dalam berbagai lintasan perjalanan kebangsaan tersebut, LSM setidaknya telah


menyumbangkan peran pemberdayaan masyarakat dalam membentuk organisasi sendiri
sesuai kebutuhannya, mewujudkan nilai–nilai universal dan melakukan pendekatan partisipasi
dalam pengembangan masyarakat, serta menjadi wakil dalam memperjuangkan kepentingan–
kepentingan masyarakat (lihat Eldridge, 1995).

Pada periode Reformasi dan seterusnya, peranan LSM berkembang dalam sebuah
hubungan yang tetap mengedepankan daya kritis ketika berinteraksi dengan Negara.
Kedua belah pihak saling memahami perannya masing–masing, di mana Negara memerlukan
LSM untuk membantu menjalankan fungsi–fungsi pemberdayaan hingga pengawasan sampai
level terbawah, sedangkan LSM tetap memerlukan Negara guna memastikan demokratisasi
yang diperjuangkan dengan susah payah berjalan secara efektif di berbagai sektor masyarakat.
Pengalaman era kediktatoran Soeharto membuat LSM dan Pemerintah sama–sama menyadari
kebutuhan untuk saling membangun kemitraan dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Berbagai peran yang telah dijalankannya oleh LSM Indonesia selaras dengan pengakuan
terhadap LSM secara global sebagai salah satu aktor pembangunan. Pengakuan mengenai
pentingnya peranan LSM misalnya dinyatakan dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Ketiga yang
diselenggarakan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengenai
efektivitas bantuan yang diselenggarakan di Accra, Ghana, pada 2008. 6 Pengakuan serupa
kembali ditegaskan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Keempat yang berlangsung di Busan,
Korea pada 2011.

Bagi masyarakat sendiri, peran LSM dalam mendorong partisipasi dipandang sangat
bermanfaat. Peran tersebut mencakup berbagai bentuk pemberdayaan, pendampingan dan
penyampaian kepentingan masyarakat kepada pemerintah. Sementara bagi Pemerintah,
manfaat keberadaan LSM tidak banyak berbeda, namun dengan tekanan terkait pembangunan
kapasitas, terutama bagi lembaga pemerintahan serta pendampingan penyusunan kebijakan.

5 Lihat Harriss, J., Stokke, K. and Törnquist, O. (eds), Politicising Democracy: The New Local Politics of
Democratization (London: Palgrave), 2004.
6 Lihat The Accra Agenda for Action, OECD, 2008.

18
Tabel 1. Peran LSM dalam Pembangunan

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

Sepanjang lima tahun terakhir, berbagai peran tersebut telah dijalankan oleh LSM
Indonesia, dengan program utama yang terbanyak menyangkut isu perempuan. Tema
ini kemudian diikuti oleh berbagai program terkait tata kelola pemerintahan yang baik,
pendampingan bagi kelompok rentan, pelestarian lingkungan dan energi, riset dan dokumentasi
serta pemberdayaan masyarakat. Selain kelima program terbesar tersebut, masih terdapat
tema–tema yang lain, seperti menyangkut perlindungan anak, ketahanan terhadap bencana,
pemajuan hak–hak asasi manusia, hukum hingga advokasi kebijakan.

Grafik 1. Peran LSM Melalui berbagai Intervensi Program

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

2.2. Tantangan yang Dihadapi oleh LSM Indonesia


Salah satu tantangan yang dihadapi oleh LSM agar dapat terus menjalankan berbagai
perannya dalam mengawal proses demokratisasi dan pembangunan berkelanjutan
Indonesia adalah berbagai isu yang terkait dengan kapasitas organisasinya. Indeks
Keberlanjutan LSM tahun 2019 menunjukkan terjadinya penurunan kapasitas organisasi LSM
bila dibandingkan dengan tahun–tahun sebelumnya (USAID, 2020).

Temuan dari penelitian lain memperlihatkan bahwa dengan dana dan sumber daya yang
terbatas, LSM berjuang mencari solusi dan menemukan metode strategis guna
mengatasi tantangan yang mereka hadapi terutama dalam masalah sumber daya
manusia (Alawiyah, 2015). Keterbatasan pendanaan telah membuat masalah serius
manajemen sumber daya manusia di berbagai organisasi LSM Indonesia. Kecenderungan pada
umumnya, semakin kecil dan semakin daerah, tingkat kesenjangan LSM semakin melebar
dalam berbagai aspek pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi antara lain komposisi
staf, tingkat pengembangan kapasitas, hingga kaderisasi kepemimpinan.

19
Tabel 2. Rincian Program dan Kegiatan LSM Lima Tahun Terakhir

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

Hasil survei yang dilakukan baru–baru ini terhadap 100 LSM di Indonesia oleh Koalisi
LSM (2021) menggambarkan sepertiga dari LSM Indonesia mengalami kekurangan
pendanaan operasional mereka. Survei menyelidiki tingkat kecukupan pendanaan bagi
pembiayaan program dan operasional dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan
kecukupan pendanaan terhadap pembiayaan program. Sementara, pembiayaan untuk
operasional organisasi secara umum berada dalam keadaan tidak terpenuhi sebagaimana
ditunjukkan oleh mean score yang berada di bawah angka 3 (m.s. 2.94).

Grafik 2. Tingkat Kecukupan Pembiayaan Program dan Operasional

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

20
Kesenjangan kapasitas antar LSM di tingkat nasional dan daerah sekaligus
mencerminkan ketimpangan akses kepada pendanaan. LSM Nasional cenderung lebih
mudah membangun kemitraan dengan lembaga pemerintah dan perusahaan yang kebanyakan
memiliki kantor pusat di Jakarta (USAID, 2020). Meski mengalami penurunan kapasitas,
namun temuan Indeks yang sama turut memperlihatkan penguatan terutama pada aspek fungsi
pemberdayaan masyarakat sipil oleh LSM yang terutama didorong oleh peningkatan jumlah
penyedia layanan serta peningkatan kualitas dan keberagaman layanan yang disediakan.

Hasil Indeks Keberlanjutan LSM (2019) mengungkapkan bahwa di tengah hambatan


dan keterbatasan, LSM Indonesia masih dapat mempertahankan berbagai peranannya.
Tentu saja terdapat berbagai catatan, terkait tantangan yang mesti diperhatikan sebagaimana
hambatan sumber daya manusia, fokus hingga upaya terus menerus untuk meningkatkan
akuntabilitasnya (Antlov, et.al, 2006).

Selain masalah lingkungan kebijakan dan aturan, kondisi kerentanan pendanaan yang
dibutuhkan bagi keberlanjutan LSM Indonesia juga menjadi tantangan kronis
sebagaimana ditunjukkan oleh Laporan Indeks Keberlanjutan LSM (CSOSI) sejak penilaian
pertama pada 2015 hingga 2019. Keberlanjutan LSM secara keseluruhan tidak mengalami
perubahan dengan nilai skor hanya 3.9.7 Empat dari tujuh dimensi penilaian mengalami sedikit
peningkatan yang mencerminkan ketahanan dan daya tanggap LSM, meski begitu, satu dimensi
tidak mengalami perubahan dan dua lainnya menggambarkan tren penurunan.8

Grafik 3. Indeks Keberlanjutan LSM Indonesia Tahun 2019

USAID, FHI 360 dan ICNL, 2020.

Penguatan organisasi akan mendorong peningkatan fungsi LSM agar dapat menjadi
lebih optimal. Dalam kaitan tersebut, faktor utama pendorong penguatan organisasi adalah
terciptanya keberlanjutan pendanaan bagi LSM. Kesinambungan dan konsistensi menjadi
kunci dalam memastikan dampak penting bagi upaya konsolidasi demokrasi dan kemakmuran
berkelanjutan di Indonesia (Suzetta, Bappenas, 2006).

7 CSOSI, Skor 3.1–5 keberlanjutan LSM berkembang, LSM secara minimal dipengaruhi oleh kebijakan yang ada.

Kemajuan dapat terhambat oleh stagnan ekonomi, pemerintahan yang pasif, media yang tidak tertarik atau ketiadaan
pengalaman meski memiliki kemauan. Lihat Laporan Indeks Keberlanjutan LSM 2019.
8 Semakin tinggi angka skor menunjukkan kondisinya negatif.

21
Terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan bagi LSM di Indonesia menyangkut
pencapaian kesinambungan pendanaan yang dibutuhkan, di antaranya, siklus
pendanaan pendek dan umumnya berbasis proyek dari hibah yang diterima, minimnya
pendanaan yang tersedia untuk membiayai operasional, serta keterbatasan informasi mengenai
program pendanaan yang tersedia.

Kondisi tersebut kian dipersulit dengan kecenderungan penurunan volume pendanaan


yang bersumber dari hibah bantuan pembangunan internasional akibat perubahan status
ekonomi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah. Sebelumnya, penurunan volume
pendanaan juga telah dirasakan banyak LSM Indonesia ketika mitra–mitra pembangunan
mengubah cara penyaluran hibah mereka melalui perusahaan–perusahaan kontraktor swasta
internasional ketimbang LSM.

LSM Indonesia secara nyata menghadapi tantangan yang besar atas warisan bantuan
yang semakin menyusut. Sebagaimana dilaporkan oleh penelitian Konsil LSM dan INFID
(2016), berbagai dukungan kerja sama dengan lembaga–lembaga pemberi hibah bantuan resmi
pembangunan pada praktiknya belum banyak membantu memberikan dukungan solusi
strategis terhadap pendanaan.9 Struktur dukungan hingga sumber–sumber pendanaan alternatif
masih belum terbangun dengan baik guna mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan
LSM (ibid). Sumber pendanaan dari lembaga donor internasional masih menjadi andalan bagi
LSM Indonesia khususnya bagi LSM yang beroperasi di tingkat nasional atau provinsi dan
LSM tipe advokasi (Davis, 2015). Sebagian besar juga mengalami kesulitan dalam mengakses
dana pemerintah, sumber pendanaan swasta hingga dana–dana lainnya yang bersumber
langsung dari publik meski penggunaan platform media sosial untuk penggalangan dana telah
menjadi tren yang berkembang di berbagai negara lain.

Selain itu, di banyak daerah, pemerintah daerah cenderung mengandalkan pendanaan


donor internasional untuk membiayai layanan LSM (atas nama pemerintah) melalui hibah
atau mengharapkan LSM untuk menyediakan layanannya secara cuma–cuma (ibid). Hal ini
berdampak pada kemampuan LSM lokal yang sebagian besar beroperasi dalam wilayah
administratif yang terbatas untuk mengakses pendanaan, mengembangkan kapasitas hingga
memperluas jaringan (ibid).

Tabel 3. Jumlah Tema Program Kerja sama LSM dengan Pemerintah

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

9Lihat Pembiayaan Negara bagi Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia. Laporan Penelitian. Konsil LSM Indonesia
dan INFID, 2016.

22
Selama lima tahun terakhir, LSM telah melakukan berbagai kerja sama program
setidaknya dengan 16 kementerian dan 14 lembaga pemerintah. LSM paling banyak
melakukan kerja sama penyelenggaraan program dengan pemerintah kabupaten/ kota dengan
jumlah kerja sama mencapai 455 tema program. Di antara berbagai tema kerja sama program
tersebut, mayoritas (60%) atau sejumlah 274 tema program berjalan dengan melibatkan dana
dari pemerintah daerah. Selain dengan Pemda, LSM juga banyak yang bekerja sama dengan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Total terdapat 106 tema program kerja sama
dengan kementerian ini, di mana mayoritas (68%) atau sebanyak 72 program diikuti dengan
ketersediaan pendanaan. Urutan berikutnya, LSM juga bekerja sama dengan Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan berbagai jajarannya yang terdapat di
daerah di mana 88 persen atau sejumlah 73 tema program dilengkapi dengan pendanaan.

Bila pun tersedia dana dari pemerintah ketika melakukan kerja sama, namun jumlahnya
belum mencukupi bagi kebutuhan pendanaan program. Hasil survei Koalisi LSM (2021),
menunjukkan bahwa mayoritas LSM Indonesia yang pernah menerima dana dari pemerintah
menyatakan kekurangan pendanaan terhadap kebutuhan program.

Grafik 4. Kerja sama LSM dengan Pemerintah serta Kecukupan Pendanaan

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

Pandemi COVID–19 telah mengungkap dampak nyata kerentanan kesinambungan LSM


Indonesia. Berdasarkan survei INFID (2020), pandemi menyebabkan lebih dari separuh
(72%) LSM di Indonesia terkena dampak negatif keuangan dan sebagian masuk ke dalam fase
kritis (23%). Hasil survei lainnya yang dilakukan oleh Koalisi LSM (2021) menunjukkan
sedikit perbaikan situasi di mana hanya 41% LSM yang mengalami pengurangan pendanaan
selama pandemi. Berkurangnya pendanaan selama pandemi paling dirasakan di Sumatera.
Selanjutnya, juga dirasakan di berbagai pulau lainnya di Indonesia. Dampak pandemi terhadap
pendanaan paling sedikit dirasakan oleh LSM di DKI Jakarta dan Pulau Jawa secara umum.

23
Grafik 5. Pengaruh Pandemi terhadap Pendanaan LSM berdasarkan Wilayah

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

Ketiadaan infrastruktur pendukung perantara nasional sebagai pusat sumber daya bagi
LSM Indonesia yang dapat secara aktif memainkan peran strategis dalam memobilisasi
sumber daya (baik internasional maupun domestik) telah mengindikasikan inefisiensi pada
jaringan LSM di Indonesia (Lassa dan Elcid, 2015).

2.3. Urgensi Pendanaan Pemerintah untuk LSM Indonesia

2.3.1. Nawacita, RPJMN 2020–2024 dan RPJPN 2005–2025


Presiden Joko Widodo memiliki visi dan komitmen untuk memperkuat sistem Demokrasi
Indonesia salah satunya dengan aktualisasi demokrasi Pancasila (Butir Nawacita No. 8.1).
Penguatan demokrasi tersebut dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya dengan
mendorong partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan
Badan Publik yang baik.

Pentingnya pemajuan demokrasi tersebut juga ditegaskan kembali dalam RPJMN 2020–
2024 melalui Penataan kapasitas lembaga demokrasi, penguatan kesetaraan dan kebebasan
(Agenda No. 7.2). RPJMN menegaskan bahwa pembangunan nasional mesti didasari pada
aspirasi masyarakat dan melalui proses–proses yang demokratis. Dalam mewujudkan aspirasi
masyarakat dibutuhkan umpan balik dari masyarakat selain tentu saja administrasi
pembangunan yang profesional. Kondisi ini akan berlangsung apabila didukung oleh situasi
yang kondusif berdasarkan tata kelola serta penegakan hukum yang baik.

Dalam kaitan tersebut, arah kebijakan pada bidang Konsolidasi Demokrasi menekankan
pentingnya kualitas representasi dan kesetaraan dan kebebasan. Guna memastikan
kualitas representasi, arah kebijakan konsolidasi demokrasi berupaya mengurangi jarak antara
wakil dan konstituen. Sementara, penguatan kesetaraan dan kebebasan akan dilaksanakan
salah satunya melalui peningkatan kualitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil.

Arah kebijakan tersebut juga selaras dengan visi RPJPN 2005–2025, yang menyebutkan
bahwa perwujudan demokrasi, hendaknya dilaksanakan melalui konsolidasi demokrasi
yang bertahap pada berbagai aspek sehingga demokrasi dapat diterima sebagai konsensus

24
dan pedoman politik dalam kehidupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana
turut diamanatkan dalam RPJPN, secara umum ada lima syarat utama demokrasi yang sudah
terkonsolidasi, yaitu; (i) Pemerintah yang berdasarkan hukum; (ii) birokrasi yang efisien dan
netral; (iii) masyarakat politik yang otonom; (iv) masyarakat ekonomi yang otonom; serta (v)
masyarakat sipil yang otonom.

Urgensi pembentukan Pendanaan LSM Indonesia dalam konteks nasional ini dapat
memperkuat kualitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil supaya sejalan dengan
pemenuhan Nawacita, RPJMN 2020–2024, dan RPJPN 2005–2025 menuju terwujudnya
Konsolidasi Demokrasi Indonesia yang dicita–citakan bersama.

2.3.2. Memperkuat Masyarakat di masa Paska–pandemi


Dalam situasi di tengah pandemi, masalah dalam negeri Indonesia mengalami banyak
tantangan yang hebat, misalnya peningkatan angka kemiskinan yang mencapai 10,14 persen
atau memundurkan capaian Indonesia hingga tiga tahun ke belakang, dengan rasio gini 0.384
persen atau sama dengan capaian pada empat tahun sebelumnya, serta tingkat pengangguran
terbuka yang mencapai 6,62 persen atau memundurkan capaian Indonesia hampir satu dekade
ke belakang (BPS, Maret 2021). LSM sejatinya memiliki andil besar bersama pemerintah,
sektor swasta dan aktor–aktor pembangunan lainnya dalam mengatasi tantangan Indonesia di
masa depan sebagaimana telah ditunjukkan di berbagai dekade perjalanan bangsa ini.

Indonesia kini mendapatkan tantangan berat akibat pandemi COVID–19. Keberhasilan


pembangunan yang cukup mengesankan di masa administrasi Pemerintahan Jokowi
seketika berada di bawah tekanan. Keadaan ini turut memicu refleksi terhadap berbagai
keterbatasan upaya Pemerintah dalam melindungi warga negaranya. Dalam situasi tersebut,
keberadaan LSM sangat relevan di tengah tantangan yang tak kalah vital menyangkut
kesinambungannya di tengah kondisi yang baru. LSM bertindak sebagai agen perantara yang
menginformasikan dan mengarahkan distribusi risiko dengan cara–cara yang berpihak kepada
masyarakat sipil. Karenanya, penting untuk memastikan kebertahanan LSM secara operasional
agar tetap efektif mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial ketika pandemi
dinyatakan berakhir dan masyarakat global bersiap untuk pulih dari dampak–dampaknya.

Peranan LSM masih sangat dibutuhkan apalagi di masa pandemi dan paska–pandemi,
untuk membantu menanggulangi risiko yang dihadapi oleh warga miskin yang paling
terdampak. LSM dapat membantu dalam hal mengurangi ketidakpastian hingga ongkos
transisi yang dibutuhkan bagi kelompok–kelompok yang selama ini tereksklusi secara sosial,
terutama kelompok sosial tertentu, seperti minoritas lansia, anak–anak, penyandang disabilitas
dan perempuan yang paling mengalami ketimpangan sosial. Hal ini juga sejalan dengan arah
prioritas Presiden yang tertuang dalam Prioritas 1 dalam Nawacita Kedua, yang terkait dengan
Pembangunan Manusia. Percepatan pemulihan ekonomi harus dilakukan dengan tetap
mengutamakan kesehatan serta pembangunan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Presiden Jokowi agar pembangunan yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan
memihak warga harus menjadi landasan pada Forum Tingkat Tinggi Dewan Ekonomi Sosial
PBB (ECOSOC), Juli 2021.

Dalam jangka panjang, penurunan kualitas atau ketiadaan kapasitas LSM sebagai
perwakilan suara arus bawah dapat memicu resonansi masalah yang artifisial dan
mungkin menjadi sumbu ketegangan berikutnya manakala berjumpa dengan media sosial
virtual. Dalam kaitan tersebut, peranan krusial LSM sangat dibutuhkan untuk memastikan
dalam meningkatkan kualitas demokrasi sebagaimana pendapat Pratikno dan Lay (2013)

25
bahwa peran paling penting yang dilakukan oleh LSM adalah mentransformasikan aspirasi dan
tuntutan kolektif warga tersebut melalui artikulasi ke dalam kerangka representasi demokrasi
yang lebih terlembaga.10

2.3.3. ACCRA, SDGs dan Mobilisasi Sumber daya Domestik


Pengakuan mengenai pentingnya peranan LSM telah diakui oleh masyarakat
internasional, sebagaimana tertuang dalam hasil Pertemuan Tingkat Tinggi Ketiga, Organisasi
Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) di Accra, Ghana, pada 2008. Pengakuan
tersebut menegaskan peran penting LSM dalam pembangunan. Pengakuan serupa kembali
ditegaskan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Keempat, OECD. Indonesia sendiri ikut
menandatangani kedua hasil kesepakatan tersebut.

Selain itu, pada tahun 2015 anggota–anggota Perserikatan Bangsa disabilitas (PBB) telah
mencapai kesepakatan internasional tentang Agenda 2030 atau Sustainable Development
Goals (SDGs) untuk mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Agenda 2030 disepakati
sebagai komitmen global masyarakat internasional untuk memastikan tidak ada seorang pun
yang ditinggalkan dari pembangunan. Indonesia telah terlibat secara aktif dalam proses
perumusan inisiatif Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 sejak awal melalui
keanggotaannya dalam UN Task Team di tahun 2012. Indonesia telah menjadi satu dari High
Level of Eminent Person di tahun 2013. Indonesia turut menjadi salah satu dari tiga puluh
anggota Kelompok Kerja SDGs pada tahun 2015. Indonesia juga telah mendeklarasikan
komitmennya untuk mengimplementasikan Agenda 2030 pada bulan September 2015.

Negara–negara anggota PBB juga telah menyepakati Addis Ababa Action Agenda
(AAAA) yang berisikan kerangka strategi untuk mendanai implementasi Agenda 2030
tersebut. Di antara 17 tujuan yang telah dicanangkan masyarakat internasional tersebut adalah
penekanan pentingnya mobilisasi sumber daya domestik (DRM) untuk mengimplementasikan
Agenda 2030 dan merevitalisasi kemitraan global bagi pembangunan berkelanjutan.

Mobilisasi Sumber daya Domestik adalah serangkaian proses di mana negara–negara


anggota PBB mengumpulkan dan membelanjakan dana mereka sendiri untuk memenuhi
kebutuhan rakyat mereka sebagai jalan jangka panjang menuju pembiayaan pembangunan
yang berkelanjutan. Mobilisasi Sumber daya Domestik tidak hanya menyediakan dana yang
dibutuhkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan memberikan layanan publik,
namun juga merupakan langkah penting untuk keluar dari ketergantungan terhadap dana–dana
bantuan.

Secara khusus, Tujuan No. 17 dalam Agenda Pembangunan Berkelanjutan turut


mengedepankan pula pentingnya kerja sama Multi–pihak yang memobilisasi dan
mempertukarkan pengetahuan, keahlian, teknologi serta sumber daya keuangan untuk
mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di semua negara, khususnya negara
berkembang (Tujuan 17.16). Kerja sama Multi–pihak dilakukan melalui kemitraan publik
yang efektif, pemerintah–swasta serta dengan masyarakat sipil dengan berlandaskan
pengalaman dan sumber daya kemitraan (Tujuan 17.17).

Selain sebagai anggota PBB, Indonesia juga merupakan anggota G20. G20 secara
eksplisit mendukung implementasi Agenda 2030 dan AAAA seperti dinyatakan oleh
pemimpin–pemimpin G20 di KTT Antalya, Turki pada tahun 2015. Pemimpin–pemimpin G20

10 Op. cit, Pratikno dan Lay (2013).

26
juga berkomitmen untuk menyelaraskan agenda G20 dengan implementasi Agenda 2030.
Komitmen tersebut dipertegas kembali pada KTT Hangzhou di bulan September 2016.
Pemimpin–pemimpin G20 mengadopsi “G20 Action Plan on the 2030 Agenda for Sustainable
Development”. Sebagai negara yang sejak awal telah terlibat aktif dalam perumusan
Rancangan Agenda 2030, Indonesia perlu mempersiapkan diri secara optimal untuk
mengembangkan kemitraan yang efektif dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan 2030. Hal ini juga sejalan dengan pandangan Presiden Jokowi pada Konferensi
Tingkat Tinggi G20 Roma, yang mengajak seluruh negara Anggota G20 untuk melakukan
upaya bersama memastikan SDGs tercapai sesuai target, 9 tahun lagi.

Pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia menjadi suatu cara untuk mewujudkan
komitmen Indonesia bagi G20 maupun PBB. Selain itu, pembentukan badan tersebut juga
dapat meningkatkan kepercayaan diri Indonesia untuk semakin aktif dalam mendorong PBB
dalam mengagendakan efektivitas berbagai forum kerja sama pembangunan, termasuk G20.

2.3.4. Memenuhi tanggung jawab Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah


Dalam Visi Indonesia Emas 2045, Indonesia mencita–citakan demokrasi substantif, yaitu
demokrasi yang bisa mengemban amanat rakyat bagi sebesar–besarnya kemakmuran
rakyat, dan demokrasi yang menghasilkan check and balances bagi berjalannya pemerintahan
secara efektif. Dalam kaitan tersebut, Visi Indonesia 2045 telah menetapkan salah satu sasaran
memperbaiki relasi atau interaksi antara negara (birokrasi pemerintah) dengan swasta (private
sector) dan masyarakat sipil (civil society) dalam ruang kesetaraan (equality) melalui; (i)
penegasan peran negara (birokrasi pemerintah) dengan swasta (private sector) dan masyarakat
sipil (civil society); serta (ii) pelibatan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan dan
pelayanan publik.

Sebagaimana di berbagai negara maju, pelibatan partisipasi publik tersebut juga


dicirikan dengan salah satunya dengan ketersediaan ekosistem kebijakan dan pendanaan
bagi LSM sebagai sektor ketiga pembangunan, di mana pengadaan barang dan jasa publik
dilaksanakan secara bersama–sama antara pemerintah dengan LSM. Saat ini, pengadaan
barang dan jasa telah mulai mengakui peran LSM, di mana LSM mendapatkan dana hibah dari
pemerintah untuk melakukan pengadaan barang/ jasa bagi publik dan mendapatkan manfaat
dari proses pengadaan tersebut sebagaimana dikenalkan oleh Kebijakan Swakelola Tipe 3. Ke
depan, kebijakan ini dapat diperkuat melalui peranan kelembagaan pendanaan LSM untuk
melaksanakan pengadaan barang/ jasa bersama antara Pemerintah dan LSM. Berbagai
karakteristik LSM mencerminkan sektor ketiga, di antaranya; (i) independen atau non–
pemerintah walaupun tidak membatasi untuk bekerja sama dengan pemerintah dan
memungkinkan untuk menerima pendanaan serta manfaat dari Pemerintah; (ii) nirlaba dalam
artian mengumpulkan dana dan menghasilkan keuntungan untuk berinvestasi dalam tujuan–
tujuan sosial, lingkungan, budaya, dsb.; dan (iii) berbasis nilai, yaitu mengejar tujuan–tujuan
spesifik yang selaras dengan perspektif manfaat sosial atau publik pada umumnya.

Peningkatan status ekonomi Indonesia menunjukkan Indonesia tidak lagi mengalami


kekurangan sumber daya sebagaimana ditunjukkan bahwa Indonesia bahkan telah
memberi bantuan hibah bagi LSM Asing. Dalam kurun waktu dua dekade, Indonesia
menyaksikan peningkatan pendapatan per kapita, perubahan status menjadi negara
berpendapatan menengah, bahkan mulai aktif mendukung negara atau LSM Asing dan
menyalurkan bantuan melalui IndonesianAID yang diluncurkan pertama pada 2019. Idealnya,
sebagaimana negara menengah–maju lainnya, Indonesia turut mendanai LSM Nasionalnya

27
sendiri. Pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia akan melengkapi citra Indonesia
sebagai negara menengah–maju.

Tabel berikut di bawah. merangkum urgensi pembentukan pendanaan bagi LSM yang telah
dibahas sebelumnya.

No. Konteks Urgensi


1. Kondisi saat ini ✓ Pelaksanaan peningkatan kualitas dan kapasitas organisasi
masyarakat sipil masih belum optimal, terfragmentasi dalam
berbagai kebijakan sektoral, belum berkelanjutan, kurang
sistematis dan belum selaras; Peraturan perundang–undangan
yang menjadi dasar pendanaan bagi LSM masih lemah;
Kapasitas institusi dan SDM yang mengelola pemberdayaan
bagi LSM masih terbatas;; Anggaran belum memadai untuk
memenuhi permintaan kerja sama kemitraan dengan LSM;
Pandemi memundurkan banyak capaian pembangunan yang
telah berhasil diraih pada periode pemerintahan sebelumnya
2. Komitmen ✓ Sangat pentingnya mewujudkan mandat yang tertuang dalam
kepemimpinan Nawacita, RPJMN 2020–2024 dan RPJPN 2005–2025.
nasional ✓ Komitmen pemimpin untuk memperkuat konsolidasi demokrasi
3. Komitmen Indonesia ✓ Sasaran memperbaiki relasi atau interaksi antara negara
untuk pencapaian visi (birokrasi pemerintah) dengan swasta (private sector) dan
Indonesia Emas 2045 masyarakat sipil (civil society) dalam ruang kesetaraan
(equality) melalui; (i) penegasan peran negara (birokrasi
pemerintah) dengan swasta (private sector) dan masyarakat
sipil (civil society); serta (ii) pelibatan partisipasi publik dalam
perumusan kebijakan dan pelayanan publik.
4 Komitmen dan ✓ Sebagai anggota PBB, pemerintah Indonesia harus
tanggung–jawab menunjukkan komitmen serius mewujudkan Agenda 2030
Indonesia sebagai tentang Pembangunan Berkelanjutan melalui Mobilisasi
negara berpendapatan Sumber daya Domestik
menengah ✓ Sebagai anggota G20, Indonesia harus menunjukkan komitmen
serius untuk mengakselerasi pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan melalui kemitraan Multi–pihak yang efektif
✓ Indonesia telah membentuk IndonesianAID sebagai badan
pembangunan milik Indonesia dan menyalurkan bantuan
kepada Negara dan LSM asing
5 Pentingnya Pembentukan Badan Pendanaan membantu; (i) memperkuat
pembentukan Badan kualitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil sehingga
Pendanaan LSM dapat mencapai tujuan yang diamanatkan Nawacita, RPJMN
2020–2024, RPJPN 2015–2025; (ii) memenuhi tanggung jawab
Indonesia dalam pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan; (iii) mempercepat pemulihan rakyat paska–
pandemi dengan lebih berkelanjutan, inklusif, dan memihak
warga
Tabel 4. Urgensi Pendanaan bagi LSM Indonesia oleh Penulis.

28
Bab. III. Praktik dan Sumber–sumber Pendanaan LSM di
Indonesia
3.1. Sumber–sumber Pendanaan LSM di Indonesia
Secara umum, sumber–sumber pendanaan LSM di Indonesia terdiri dari lima kelompok
utama, yaitu swadaya organisasi, publik atau masyarakat umum, perusahaan atau sektor
swasta, pemerintah dalam negeri serta pemerintah asing atau lembaga–lembaga internasional.

Hasil kajian dua dekade yang lalu, menunjukkan 65% sumber pembiayaan LSM di
Indonesia berasal dari luar negeri, selebihnya barulah dari domestik (Synergos Institute,
2002). Persentase tersebut menggambarkan banyak LSM belum mampu secara efektif
memenuhi kebutuhan pembiayaan yang diperlukan bagi pembangunan kapasitas organisasi
dan keterampilan para stafnya sendiri (IDEA, 2005). Di Indonesia, LSM–LSM yang bergerak
di bidang advokasi secara khusus, bahkan mengandalkan hingga 99% pembiayaan dari donor
internasional (Davis, 2015). Ketergantungan ini berpeluang menjadi tekanan yang berat
manakala donor internasional tidak lagi menempatkan Indonesia sebagai prioritas utama
penerima dana mereka.

Grafik 6. Sumber Dana LSM

Davis, Ben. Financial Sustainability and Funding Diversification: The Challenge for Indonesian NGOs.
NSSC Publication, 2015.

Hasil survei terbaru yang dilaksanakan oleh Koalisi LSM (2021) menunjukkan dalam
kurun waktu lima tahun terakhir, sumber pendanaan LSM tidak banyak berubah. Dana
terbesar berasal dari hibah internasional (87%) dengan persentase 51–100% dari seluruh
pendanaan organisasi.

29
Grafik 7. Sumber Utama dan Komposisi Pendanaan LSM dalam Lima Tahun Terakhir

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

Tingginya ketergantungan LSM di Indonesia kepada sumber–sumber pendanaan dari


luar negeri telah mempengaruhi kemandirian serta kemampuan untuk merancang
agenda yang hendak diprioritaskan oleh mereka. Dalam skema ketergantungan yang tinggi
tersebut, kekhawatiran yang muncul banyak terkait dengan siklus pendanaan yang pendek dan
berbasis proyek dari berbagai hibah internasional yang diterima, kurangnya sumber
pembiayaan yang dibutuhkan bagi biaya operasional, serta minimnya informasi dalam Bahasa
Indonesia terhadap ragam pembiayaan program yang tersedia. Akibatnya, sering kali LSM
menyesuaikan agenda mereka berdasarkan prioritas lembaga donor. Meski begitu, situasi
tersebut segera tampak berbeda di daerah, di mana sumber pendanaan dari swadaya lembaga
jauh lebih besar persentasenya terhadap sumber–sumber pendanaan yang lain, terutama dari
donor internasional. Namun secara umum, baik negara pemberi bantuan pembangunan
maupun LSM Internasional perantara bantuan pembangunan masih sangat berperan terhadap
sumber–sumber pendanaan LSM di Indonesia (Lassa dan Elcid, 2017).

Belakangan, sejalan dengan penurunan komitmen bantuan pembangunan dari berbagai


negara donor, sumber–sumber pendanaan internasional mulai menurun dan menuntut
lebih banyak sumber dana internal LSM sendiri, baik dari pendapatan iuran keanggotaan,
kontribusi staf hingga penerimaan dari kegiatan–kegiatan lembaga. Sumber pendanaan dari
pemerintah tidak banyak berkembang bahkan cenderung stagnan.

Kontribusi Anggaran Pemda Jumlah respons


25% atau di bawahnya 32
50% 12
70% ke atas 5
Total Responden LSM 49
Tabel 5. Proporsi Kontribusi Anggaran Pemerintah Daerah terhadap Total Dana LSM

Programmatic Study on Resource Mobilization and Financial Sustainability of Local CSOs in Indonesia │
Laporan, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), 2021.

Pandemi Covid–19 memberikan tantangan yang lebih besar terhadap pendanaan LSM.
Krisis kesehatan, pembatasan mobilisasi, hingga perlambatan kegiatan ekonomi telah menguji

30
daya tahan organisasi dan kapasitas LSM. Berdasarkan survei INFID (2020), pandemi telah
menyebabkan lebih dari separuh (72%) LSM di Indonesia terkena dampak negatif keuangan
dan sebagian masuk ke dalam fase kritis (23%). Hasil survei termutakhir lainnya yang
dilakukan baru–baru ini oleh Koalisi LSM (2021) menunjukkan sedikit perbaikan situasi di
mana hanya 41% LSM yang mengalami pengurangan pendanaan selama pandemi.

Grafik 8. Pengaruh Pandemi terhadap Pendanaan LSM

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

3.1.1. Skema Pendanaan dari Donor Internasional


Seiring perubahan status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah bawah
pada 2006, bantuan pembangunan ke Indonesia lambat laun mengalami tren penurunan.
Dengan keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan Kelompok Negara 20, beberapa survei
(OECD, 2012) menyarankan perubahan bentuk hibah bantuan pembangunan menjadi utang
lunak sebagaimana halnya negara–negara berpendapatan menengah lainnya di kawasan Asia.

Grafik 9. Indonesia Total Official Development Flows

OECD Stat, dalam Hoelman, Laporan Final, Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu,
September, 2021.

Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, data Komite Hibah Pembangunan
menunjukkan penurunan hibah bantuan pembangunan ke Indonesia, terutama pada 2019
setelah pada tahun sebelumnya sempat mengalami kenaikan. Selain akibat perubahan status
ekonominya, penurunan volume bantuan pembangunan juga kerap dikaitkan dengan persepsi
bahwa sejak 2004, Indonesia dipandang telah berhasil mengkonsolidasikan demokrasi serta
berada pada posisi politik yang relatif stabil.

31
Sementara itu, strategi utama hibah bantuan pembangunan semakin bekerja sama lebih
erat dengan pemerintah ketimbang dengan kelompok–kelompok masyarakat sipil.
Kecenderungan ini terutama didorong oleh Komitmen Jakarta (2009) yang membimbing
mitra–mitra pembangunan untuk menyesuaikan diri dengan sistem nasional, mulai dari
mekanisme penganggaran, pengawasan dan evaluasi hingga pengadaan barang dan jasa. Hibah
bantuan pembangunan wajib menyesuaikan diri dengan prioritas pemerintah, mengandalkan
kerja sama dengan pemerintah, termasuk di dalamnya mengalirkan dana kepada kas
pemerintah. Sebagai respons terhadap penyesuaian tersebut, beberapa negara pemberi bantuan
pembangunan kemudian memilih menyalurkan hibah bantuan pembangunan mereka melalui
lembaga perantara baik kontraktor swasta maupun organisasi–organisasi multilateral.
Kontraktor proyek sosial pembangunan menjamur dengan keterikatan kepada masing–masing
asal negara pendonor. Sementara itu, penyaluran melalui organisasi multilateral umumnya
dilandasi pula oleh keinginan agar organisasi–organisasi multilateral ikut serta memperhatikan
masalah atau isu pembangunan yang dihadapi di Indonesia.

3.1.2. Skema Pendanaan Negara melalui APBN/D


Ada beberapa skema pendanaan yang bersumber dari APBN/D yang umumnya diakses
oleh LSM Indonesia, seperti hibah dan bantuan sosial, swakelola, tender proyek
pemerintah hingga akses melalui regulasi tertentu. Setidaknya ada empat sumber
pendanaan potensial dari anggaran pemerintah yang dapat dimanfaatkan oleh LSM (Davis,
2015). Pertama, dana hibah dalam APBD. Kedua, dana sosial yang diakses dengan
mengajukan proposal kepada pemerintah kota/ kabupaten. Ketiga, dana belanja kegiatan tidak
terduga, seperti tanggap bencana alam. Dan, terakhir, dana pengadaan barang dan jasa melalui
swakelola, yakni berbagai proyek yang dibiayai oleh anggaran pemerintah dan
diimplementasikan oleh organisasi masyarakat.

Selain finansial, skema pendanaan yang bersumber dari anggaran pemerintah juga
menyediakan bantuan tidak langsung, seperti pelatihan SDM untuk LSM, pemanfaatan
sarana dan prasarana hingga berbagai bentuk–bentuk lain. Skema ini kerap dimaknai sebagai
bantuan pemerintah, yaitu bantuan yang tidak memenuhi kriteria bantuan sosial yang diberikan
kepada perseorangan, kelompok masyarakat, atau lembaga pemerintah/ nonpemerintah.11
Konsil LSM Indonesia dan INFID (2016) mengelompokkan berbagai bantuan pemerintah
tersebut ke dalam empat jenis bantuan, yaitu bantuan operasional, sarana/ prasarana,
rehabilitasi/ pembangunan gedung/ bangunan, serta bantuan lain yang memiliki karakteristik
bantuan pemerintah dan ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga yang bertanggung–jawab
atas pengelolaan anggaran pada kementerian negara/ lembaga bersangkutan.

3.1.2.A. Hibah dan Bantuan Sosial


Pendanaan hibah dan bantuan sosial diatur melalui Permendagri No. 32 Tahun 2011.
Aturan mengenai hibah dan bantuan sosial telah mengalami enam kali perubahan. peraturan
daerah masing–masing. Karenanya, LSM di daerah seyogyanya senantiasa mengikuti
perkembangan peraturan daerah terkait. Dalam mengakses dana hibah dan bantuan sosial,
LSM perlu mempertimbangkan beberapa hal di antaranya, ketersediaan anggaran sesuai
kemampuan keuangan pemerintah daerah, peruntukan yang secara spesifik telah ditetapkan
sebelumnya, bersifat tidak wajib, tidak mengikat, dan tidak terus menerus setiap tahun
anggaran dan memenuhi persyaratan sebagai penerima hibah. Selain itu, sebagaimana diatur,

11Lihat: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran
Bantuan Pemerintah pada Kementerian Negara/ Lembaga.

32
daftar nama penerima hibah mesti tercatat, disertai alamat serta besaran hibah yang diterima.
Setiap penerima hibah juga harus terdaftar, berkedudukan dan memiliki sekretariat tetap di
wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan.12

3.1.2.B. Dana Bantuan Hukum


Kebijakan dana bantuan hukum memberikan dukungan pendanaan bagi warga miskin
untuk mengakses keadilan dan advokat bisa mendapatkan pendanaan manakala
mendampingi warga miskin dalam proses peradilan. Dana Bantuan Hukum merupakan
sumber pendanaan untuk penyelenggaraan bantuan hukum yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara,13 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, hibah atau
sumbangan, serta sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Khusus untuk daerah
yang mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum selanjutnya akan diatur
dalam peraturan daerah. Syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana
bantuan hukum diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013.

Pemerintah menerbitkan Permenkumham RI No. 63 Tahun 2016 tentang Perubahan atas


Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.10 Tahun 2015 tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, yang mengatur soal kuantitas kegiatan
bantuan hukum yang menjadi dasar pembiayaan, serta Keputusan Menteri Hukum dan HAM
No. M.HH–01.HN.03.03 Tahun 2017 tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non
Litigasi yang merupakan perbaikan dari kebijakan sebelumnya.

Selama 2019–2021, menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) anggaran


pemerintah untuk program bantuan hukum masyarakat marginal meningkat dari 48
miliar menjadi 53 miliar.14 Sementara, dana bantuan hukum yang bersumber dari APBD diatur
melalui Peraturan Daerah (Perda). Beberapa daerah yang telah memiliki Perda Bantuan
Hukum, di antaranya, Provinsi Maluku, Kota Salatiga, Kabupaten Kuningan, dan Kota Depok.

Meski begitu, besarnya dana bantuan hukum tidak sebanding dengan biaya yang
dikeluarkan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Berdasarkan Keputusan Menteri
Hukum dan HAM No. M.HH–01.HN.03.03 Tahun 2017, kegiatan litigasi penanganan perkara
pidana dianggarkan sebesar 8 Juta rupiah mulai dari penyidikan di kepolisian hingga tahap
peninjauan kembali. Sedangkan kegiatan non–litigasi berupa penyuluhan hukum, hanya
sejumlah 3,7 Juta rupiah.15 Anggaran tersebut belum mencakup biaya operasional yang
dikeluarkan OBH saat penanganan perkara, misalnya biaya panjar, biaya perkara, biaya pindai
dokumen perkara, biaya visum et repertum dalam kasus kekerasan hingga biaya komunikasi
dengan pihak–pihak terkait perkara.16 Karenanya, penyesuaian biaya bantuan hukum dengan
kebutuhan riil sangat dibutuhkan. Kajian yang dilakukan terhadap sejumlah OBH
menunjukkan adanya biaya–biaya rutin yang secara periodik dikeluarkan OBH namun tidak
tercakup oleh dana bantuan hukum APBN.17

12 Lihat: Permendagri No. 32 Tahun 2011, Permendagri No. 39 Tahun 2012, Permendagri No. 14 Tahun 2016,
Permendagri No. 123 Tahun 2018, Permendagri No. 99 Tahun 2019, dan Permendagri No. 77 Tahun 2020.
13 Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 16 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. APBN yang dialokasikan

pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
14 Lihat Elnizar, Norman. Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019–2021

dalam Hukumonline.com, 7 Januari, 2019.


15 Lihat Yasin, Muhammad. Anggaran Bantuan Hukum Belum Sesuai Kebutuhan Riil dalam Hukumonline.com, 6

November, 2020.
16 Ibid.
17 Ibid.

33
Di bidang organisasi pemberian bantuan hukum, pemerintah telah melakukan verifikasi
dan akreditasi sebanyak 524 organisasi bantuan hukum yang tersebar di 215 kabupaten/
kota. Di bidang fasilitas, pemerintah telah mengembangkan sistem informasi dan data bantuan
hukum yang diterapkan secara daring, dan kanal hukum pintar, untuk memudahkan masyarakat
dalam mengakses layanan bantuan hukum (Asfinawati dkk., 2019).

3.1.2.C. Tender Proyek Pemerintah


Meski identik dengan karakteristik nirlaba, menanggapi kebutuhan pendanaan bagi
organisasinya, beberapa LSM mendirikan badan usaha kecil swasta dan/ atau Perseroan
Terbatas untuk dapat mengakses pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam skala
menengah hingga besar. Pada praktiknya, pengadaan barang dan jasa pemerintah memang
memberikan porsi lebih besar kepada badan hukum swasta, baik dalam bentuk Perseroan
Terbatas (PT), maupun Commanditaire Venootschape (CV) untuk usaha kecil. Dalam tender,
perusahaan swasta dikategorikan dalam kelas perorangan, kecil, menengah dan besar. Untuk
perorangan dan kecil, pemerintah hanya bisa memberikannya untuk proyek kecil, sedangkan
untuk proyek menengah dan besar harus dalam bentuk Perseroan Terbatas. Kebanyakan alasan
pendirian badan usaha seperti ini biasanya disebabkan karena LSM yang bersangkutan tidak
diizinkan untuk mendapatkan dana dan/ atau bekerja sama dengan pemerintah secara langsung,
meski di saat yang sama, kerap kali pemerintah dan sektor swasta memerlukan keahlian serta
pengetahuan yang dimiliki oleh LSM.

Perseroan Terbatas maupun CV yang didirikan oleh LSM umumnya bergerak di isu dan
kegiatan yang relatif sama misalnya memproduksi kajian–kajian hingga menyelenggarakan
berbagai seminar namun berbayar. Para peneliti hingga pelaksana kegiatan merupakan
personil dari LSM yang bersangkutan. PT atau CV yang dibentuk juga mendapatkan kontrak
dari lembaga pemerintah, BUMN hingga perusahaan–perusahaan swasta. Pembentukan badan
hukum privat menjadi keniscayaan jika ingin mendapatkan dana dan bekerja sama dengan
pemerintah serta sektor swasta. Meski begitu, sebagaimana halnya skema hibah dan bantuan
sosial, kerja sama dengan pemerintah melalui tender juga tidak mudah, terutama karena relasi
patron–klien hingga aroma peluang korupsi yang kerap muncul dalam pengadaan barang dan
jasa melalui proses tender.

3.1.2.D. Pengadaan Barang dan Jasa melalui Swakelola Tipe III


Swakelola merupakan cara memperoleh barang/ jasa yang dikelola sendiri oleh
pemerintah, baik kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah, Ormas, atau
kelompok masyarakat. Dalam Swakelola Tipe III, kegiatan direncanakan dan diawasi oleh
pemerintah dan dilaksanakan oleh organisasi masyarakat. Berdasarkan Perpres No. 16 Tahun
2018 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah, Swakelola Tipe III dipilih untuk
memenuhi kebutuhan barang/ jasa Pemerintah yang dalam pelaksanaannya membutuhkan
kompetensi Ormas, misalnya program pendampingan masyarakat miskin dan perempuan
pelaku usaha kecil dan mikro hingga penelitian untuk mendorong penguatan kebijakan.
Mengingat kebijakannya yang masih baru, skema pendanaan melalui Swakelola tipe III masih
belum banyak diakses oleh LSM. Selain itu, mekanisme ini turut membawa tantangan bagi
LSM setidaknya terhadap standar biaya, pembayaran di muka, biaya tidak langsung yang mesti
dikeluarkan bagi LSM yang hendak menjadi rekanan pengadaan barang dan jasa pemerintah,
serta berbagai persyaratan hingga ketentuan pelaporan yang menyertainya.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah menerbitkan revisi kebijakan melalui Perpres No.
12 Tahun 2021 dan Peraturan LKPP No. 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola.

34
Melalui kedua aturan ini, unsur Ormas diperluas dengan melibatkan Perguruan Tinggi Swasta
dan organisasi profesi. Selain itu, beberapa persyaratan seperti audit neraca keuangan selama
tiga tahun terakhir turut dihapuskan. Sedangkan standar biaya untuk gaji personil
diperkenankan mengacu kepada nilai yang tertera di dalam kontrak terdahulu atau sedang
berjalan, di samping menggunakan standar biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah.

3.1.3. Skema Pendanaan dari Perusahaan Swasta


Potensi pendanaan dari Dana Tanggung–jawab Sosial perusahaan sangat besar bila
dikelola dengan baik serta disertai keterbukaan informasi yang memadai. Sebuah kajian
terhadap 57 laporan perusahaan BUMN, swasta nasional dan swasta asing yang mewakili
sektor industri penting di Indonesia berdasarkan Laporan Tahunan (AR) dan Laporan
Keberlanjutan Usaha (SR) menunjukkan bahwa hanya 13 perusahaan pada tahun 2009, 16
perusahaan tahun 2010, dan 16 perusahaan di tahun 2011 yang mengungkapkan jumlah dana
tanggung–jawab sosial perusahaan mereka (Hayunta, dkk., 2013).

Pada tahun 2011, jumlah dana tanggung–jawab sosial perusahaan dengan rata–rata
alokasi adalah 1,6 persen dari keuntungan perusahaan di mana bagi perusahaan BUMN
alokasi rata–rata mencapai 2,7 persen, sementara perusahaan swasta hanya 0,53 persen dari
keuntungan. Dengan demikian, meski jumlah total dana tanggung–jawab sosial perusahaan
dari 57 perusahaan tidak dapat diperoleh, namun dengan asumsi perusahaan mengalokasikan
dana antara 1–5 persen dari keuntungan, maka pada tahun 2011 dana dari 57 perusahaan
responden tersebut dapat mencapai antara 16–79 Triliun rupiah.

Merujuk pada penelitian Saidi dan Abidin (dalam Edi, 2006) terdapat setidaknya empat
model pengelolaan dana tanggung–jawab sosial perusahaan yang umumnya diterapkan
di Indonesia. Pertama, keterlibatan langsung di mana perusahaan menjalankan sendiri
program melalui berbagai kegiatan sosial hingga menyerahkan sumbangan kepada masyarakat
tanpa melalui perantara. Kedua, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Dalam
skema ini, perusahaan mendirikan yayasan sendiri sebagaimana lazim diterapkan oleh berbagai
perusahaan di negara maju. Umumnya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau
dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Ketiga, bermitra
dengan pihak lain di mana perusahaan bekerja sama dengan lembaga sosial atau organisasi
non–pemerintah, instansi pemerintah, universitas hingga media massa, baik dalam mengelola
dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosial mereka. Keempat, mendukung atau
bergabung dalam suatu konsorsium di mana perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota
atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan guna tujuan–tujuan sosial tertentu.

Bentuk popular program dana tanggung–jawab sosial oleh perusahaan adalah


pelaksanaan program Pengembangan Masyarakat di daerah–daerah sekitar operasi
perusahaan yang biasanya dilakukan oleh yayasan milik perusahaan itu sendiri maupun
bekerja sama dengan LSM lokal. Hal tersebut turut sesuai dengan pengertian ISO 26000, yaitu
tanggung–jawab organisasi atas dampak keputusan dan kegiatannya terhadap masyarakat dan
lingkungannya melalui perilaku transparan dan beretika yang konsisten dengan pembangunan
berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan ekspektasi para pemangku
kepentingan, mematuhi hukum yang berlaku dan konsisten dengan aturan atau kesepakatan
internasional, serta diintegrasikan ke seluruh aktivitas perusahaan.

Dalam mengakses sumber pendanaan swasta seperti dana tanggung–jawab sosial


perusahaan, sebuah kajian baru–baru ini menemukan fakta bahwa terdapat beberapa
kesulitan yang dialami oleh LSM (Davis, 2015) di antaranya, akses informasi atas dana yang

35
tersedia, kecenderungan perusahaan memilih mengimplementasikan kegiatan sendiri atau
menyalurkan dana kepada yayasannya sendiri, yang bertindak sebagai perantara ketimbang
bermitra dengan LSM yang memiliki keahlian di bidang tertentu, hingga keengganan dari LSM
untuk menerima dana dari pihak swasta karena alasan kemandirian serta legitimasinya.

3.1.4. Skema Pendanaan dari Filantropi


Seiring dengan peningkatan status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah,
kelompok jutawan mulai bermunculan dibarengi dengan potensi kedermawanan.
Sebuah estimasi memperkirakan jumlah jutawan Indonesia (high net worth individuals) telah
mencapai 51,003 orang dengan total kekayaan mencapai US$ 336 Milyar pada tahun 2018
(WealthInsight dalam Davis, 2015). Sebelumnya, PIRAC dan Dompet Dhuafa (2014) merilis
tren kedermawanan perusahaan yang mencatat adanya kenaikan dana dari filantropi dari Rp.
8.6 triliun (US$ 860 Juta) pada tahun 2013 menjadi Rp. 12 triliun (US$1.2 milyar) pada 2014.18

Data tersebut menunjukkan bahwa para jutawan mulai mendirikan berbagai lembaga
filantropi di mana tingkat pertumbuhannya semakin tinggi dan diperkirakan akan terus
meningkat. Kajian PIRAC (2017) menyebutkan terdapat 226 organisasi filantropi di
Indonesia, dengan fokus pelaksanaan program di Jawa (186), Sumatera (132) Bali NTT, NTB
(101), Kalimantan (97), Sulawesi 990) dan Papua (82) dengan bidang program yang paling
banyak diminati adalah pendidikan atau riset (26%), kesehatan (18%), penyantunan (15%),
tanggap darurat (10%) serta pengembangan ekonomi produktif (10%).19 Kajian tersebut turut
menyebutkan kecenderungan yayasan perusahaan dan yayasan keluarga dalam melakukan
berbagai kegiatannya sendiri, sementara itu yayasan keagamaan, perantara dan yayasan media
cenderung memilih bermitra dengan lembaga–lembaga lain. Secara umum, mitra pelaksana
program yang banyak dipilih adalah LSM atau yayasan sosial (25%), yayasan perusahaan atau
yayasan sendiri (21%), Pemerintah atau Pemerintah Daerah (15%), Perguruan Tinggi (13%),
organisasi keagamaan (10%), BAZIS/LAZIS (10%), Organisasi Kepemudaan atau Ormas
(4%), serta TNI/ Polri (21%).

Tingginya persentase kemitraan lembaga filantropi dengan LSM di Indonesia


menunjukkan bahwa LSM dipandang cukup penting dan diminati untuk diajak bekerja
sama. Meski begitu, fokus perhatian yayasan filantropi umumnya hanya terbatas pada isu–isu
pembangunan tertentu dan menghindari bidang–bidang terkait pelayanan publik, anti korupsi,
tata kelola pemerintahan, demokrasi dan hak asasi manusia. Alih–alih, yayasan filantropi
internasional justru berbalikan dengan yayasan filantropi domestik tersebut. Yayasan Ford
misalnya telah berkontribusi besar bagi perjalanan LSM di Indonesia. Filantropi internasional
lainnya adalah Open Society Foundation (OSF) yang didirikan oleh George Soros, salah
seorang pialang saham terkemuka dunia. Di Indonesia, OSF menyalurkan dukungan
pendanaannya bagi LSM melalui entitas nasional, Yayasan TIFA. Meski begitu, belakangan
mulai bermunculan filantropi nasional yang bekerja sama dengan LSM Indonesia. Namun,
tantangan terbesar yang dihadapi oleh filantropi muncul dari oligarki dan kepemilikan modal
itu sendiri yang cenderung menyalurkan dana bagi kepentingan pribadi dan politik. Selain itu,
politisi dan partai politik lebih sering mendapatkan dukungan dari sektor swasta terhadap

18Lihat Pengembangan Riset Perlu Diberikan Insentif dalam Majalah CSR, 24 Mei 2017.
19Sebagai perbandingan adalah hasil riset Hayunta et.al. antara tahun 2012–2013 terhadap 28 perusahaan yang
menggambarkan bahwa sebagian besar perusahaan dalam melaksanakan CSR menaruh perhatian pada isu
pendidikan (19 %), lingkungan hidup (18 %) dan kesehatan (16 %), sementara program lain seperti ekonomi, seni
budaya, pertanian, infrastruktur (<10%). Lihat Hayunta et.al. │Menakar CSR: Memetakan Potensi Pendanaan dan
Peluang Kolaborasi Dengan LSM │ Kerja sama HIVOS, IBCSD dan Yayasan Penabulu. Jakarta: Jambatan Tiga, 2013.

36
pendanaan–pendanaan politik mereka. Beberapa filantropi yang berpotensi mendukung kerja–
kerja LSM di Indonesia, di antaranya (Davis, 2015):

i. Yayasan perusahaan domestik: Yayasan Dharma Bakti Astra; Ancora Foundation;


Putra Sampoerna Foundation; Yayasan Mitra Mandiri; Rajawali Foundation; Djarum
Foundation; Yayasan Rio Tinto; Yayasan Unilever Peduli; dan Coca–Cola Foundation
Indonesia.
ii. Yayasan filantropi internasional: Bill and Melinda Gates Foundation; Open Society
Foundation; Ford Foundation; William and Flora Hewlett Foundation; Aga Khan
Foundation; Wellcome Trust; dan Bloomberg Philanthropies.
iii. Yayasan keluarga: Eka Tjipta Foundation, The William Soeryadjaya Foundation
(WSF); Bakrie Center Foundation; Medco Foundation; Bosowa Foundation; Arsari
Djojohadikusumo; CT Foundation; dan Tanoto Foundation.
iv. Filantropi agama: Dompet Duafa dan Rumah Zakat.
v. Filantropi Komunitas: Social Trust Fund.
vi. Filantropi media massa: Metro TV, dan Kompas.

3.1.5. Skema Pendanaan dari Publik


Sebagai sebuah sumber pendanaan potensial, model penggalangan dana belum banyak
diakses oleh LSM Indonesia. Sebaliknya, organisasi penggalang dana keagamaan melalui
zakat justru yang paling banyak memanfaatkannya. Model penggalangan dana saat ini bahkan
disertai dengan dukungan platform teknologi informasi (crowdfunding). Peluang pendanaan
melalui crowdfunding juga telah dimanfaatkan oleh berbagai organisasi lainnya seperti yayasan
media massa terutama manakala terjadi bencana alam atau hendak membangun infrastruktur
publik tertentu, seperti jembatan, gedung sekolah, tempat keagamaan dan lain–lain. Dan
barulah kemudian diikuti oleh beberapa LSM Indonesia, seperti yang diinisiasi oleh ICW,
YAPPIKA–ActionAid, WWF, Green Peace dan lain sebagainya.

Meski bertumbuh dan semakin mengemuka di era digitalisasi, potensi penggalangan


dana publik di Indonesia masih sulit diperkirakan besarannya secara tepat, terutama
karena sektor filantropi ini sebagian besar didukung oleh donasi individu serta belum
terstruktur dengan baik, sulit untuk dilacak hingga sering kali bersifat sewaktu–waktu (Ad–
hoc). Dana yang terkumpul cenderung berfokus kepada isu–isu keagamaan, bencana serta
panti asuhan (Davis, 2015). Selain tentu saja, masih rendahnya aspek akuntabilitas
pertanggungjawaban pengelolaan dananya kepada publik, khususnya para donator.

3.2. Kondisi Pendanaan LSM di Indonesia

3.2.1. Ketergantungan kepada Donor Internasional


Hasil kajian yang dilakukan oleh Kelompok Kerja LSM menunjukkan hampir seluruh
responden LSM mengungkapkan organisasi mereka memiliki sumber pendanaan yang
beragam meskipun tidak merata.20 Hampir semua responden juga mengungkapkan bahwa
pendanaan yang paling dominan berasal dari donor internasional, umumnya berbasis proyek
dan menjadi sumber pendanaan utama di seluruh bidang. Selain itu, bantuan pendanaan yang
diterima kini lebih banyak disalurkan melalui perantara seperti kantor cabang LSM
20Kajian menggunakan Analisis Jejaring Wacana (Discourse Network Analysis; DNA) dilaksanakan oleh Kelompok
Kerja 1 Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. Lihat Laporan Final Pokja 1, 18 Oktober, 2021.

37
Internasional hingga kontraktor–kontraktor internasional swasta sebelum kemudian diterima
oleh LSM Indonesia.21 Ketergantungan kepada proyek pendanaan internasional dengan
berbagai tujuan jangka pendek telah membuat kerentanan bagi keberadaan LSM di Indonesia.

Dalam model penerima–pendonor, pendanaan tersebut turut mengandalkan


pembayaran di belakang, paska proses audit yang lama dan melelahkan hingga
penundaan manakala didapatkan temuan–temuan dalam pelaporan keuangan. LSM
Indonesia juga tidak memiliki bantuan hibah sewaktu maupun mekanisme pendanaan
antisipatif yang dapat dimanfaatkan pada kondisi–kondisi tertentu. Lembaga pendonor tidak
memberi kelonggaran dan sebaliknya kerap mengasumsikan LSM mampu menjaga arus kas
bahkan untuk menghadapi situasi krisis sekalipun yang tengah dihadapi bersama.

Pendanaan utama yang bergantung kepada donor internasional telah menempatkan


LSM Indonesia pada posisi yang dilematik, terutama menimbang bahwa Indonesia telah
keluar dari kategori negara berpenghasilan rendah (Anand dan Hayling, 2014), hal yang
membuat Indonesia bukan lagi menjadi negara prioritas bagi bantuan berbagai mitra
pembangunan internasional. LSM Indonesia memerlukan sumber daya pendanaan alternatif
guna menjamin program dan kegiatan mereka dapat senantiasa berkelanjutan serta memberi
sumbangan nyata bagi perkembangan masyarakat.

Tantangan Internal Tantangan Eksternal


Kapasitas LSM Indonesia sebagian besar masih Sumber pendanaan LSM masih bergantung
belum memadai terutama bagi LSM–LSM kecil dan di kepada donor internasional, namun pendanaan
daerah dalam penyusunan rancangan program untuk tersebut kini semakin berkurang. Pertengahan
dapat berkompetisi dengan LSM besar lainnya. tahun 2000–an sebagian donor internasional
Akibatnya, sering kali akses pendanaan kepada donor memutuskan menghentikan dukungan pendanaan
internasional didominasi oleh LSM besar nasional mereka menimbang Indonesia dipandang telah lebih
maupun LSM–LSM Asing yang berada maupun demokratis serta masuk dalam negara berpendapatan
memiliki program kerja di Indonesia. Akses ini pun menengah.
kadang kala mesti melalui rantai penyaluran yang lebih Sumber pendanaan dari donor internasional yang
panjang, misalnya melibatkan perusahaan–perusahaan makin berkurang ditambah dengan berbagai
kontraktor swasta pemenang tender donor persyaratan yang kerap berlebihan. Beberapa
internasional. mengakibatkan sulitnya akses LSM Indonesia terhadap
sumber pendanaan dari donor internasional.
Dinamika ekonomi–politik kontemporer, terutama
meningkatnya peran pengawasan pemerintah terhadap
berbagai operasi dan pembiayaan dari lembaga–
lembaga donor internasional. Kondisi ini telah turut
mempersulit ruang gerak pendanaan bagi LSM
Indonesia.
Tabel 6. Ketimpangan Akses Pendanaan LSM Indonesia kepada Donor Internasional

Laporan Final Pokja 1, 18 Oktober, 2021.

Di masa pandemi, sebuah kajian menunjukkan preferensi lembaga pendonor dalam


menyikapi konteks pandemi sembari memastikan tetap berjalannya pengawasan yang
efektif terhadap hibah bantuan mereka (lihat Nicaise, 2020).22 Setidaknya ada 3 (tiga)
model pendanaan yang dipilih oleh lembaga pendonor di masa pandemi. Pertama, Dana Multi–
21 PALLADIUM, RTI, MSI, CARDNO hingga COWATER adalah beberapa contoh kontraktor swasta internasional yang

menampung dana dari berbagai mitra pembangunan yang beroperasi di Indonesia seperti USAID, AUSAID dan lain
sebagainya.
22 Nicaise, Guillaume. Covid–19 and donor financing. Minimising corruption risks while ensuring efficiency. U4 Brief.

Bergen: U4 Anti–Corruption Resource Centre, Chr. Michelsen Institute, 2020.

38
mitra atau pooling fund, yaitu mekanisme pendanaan yang bersumber dari beberapa (lebih dari
satu) lembaga pendonor dan ditujukan untuk mewadahi kontribusi dari beberapa lembaga
pendonor untuk kemudian dialokasikan kepada entitas lembaga penerima hibah dan/ atau
pelaksana guna mendukung program prioritas tertentu. Kedua, Dana Dukungan Inti atau core
support, yaitu dukungan pendanaan kepada LSM untuk kemudian digunakan bagi pembiayaan
program dan kegiatan mereka. Dalam mekanisme ini, setiap LSM penerima hibah
bertanggung–jawab atas administrasi dan penggunaan dana yang mereka terima. Ketiga, Dana
Campuran atau blended finance, yaitu mekanisme pendanaan yang menggabungkan hibah
bantuan lembaga pendonor dengan lembaga sektor swasta demi tujuan bersama. Dalam
mekanisme ini, keterlibatan lembaga sektor swasta diimingi dengan imbal hasil yang
menguntungkan bagi pengembangan laba usaha mereka.

3.2.2. Minimnya Peran Pendanaan dari Negara


Sejarah perkembangan LSM di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika
hubungan masyarakat dan negara. Di masa Orde Baru, Negara berupaya mengkooptasi
hampir semua sendi kegiatan kemasyarakatan melalui pengawasan berbagai institusi
pemerintah terutama untuk alasan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi dan politik.
Warisan ketegangan tersebut telah memberi andil bagi minimnya perhatian Negara paska Orde
Baru terhadap upaya membangun skema pendanaan LSM dari Negara. Praktis, sejak era Orde
Baru hingga masa Reformasi, tantangan terbesar yang senantiasa muncul dan menjadi
perhatian dalam setiap refleksi mengenai peran dan posisi LSM Indonesia adalah soal
kemandirian dan keberlanjutannya.

Tantangan Internal Tantangan Eksternal


Membangun hubungan dan kepercayaan dari Memiliki sejarah hubungan yang kurang baik
pejabat pemerintah
Kesiapan organisasi terutama menyangkut Konflik kepentingan hingga prosedur
persyaratan lolos verifikasi, termasuk agenda administrasi yang rumit
khusus sosialisasi atau penyesuaian dengan Kendala tingkat pemahaman terhadap kebijakan
program bantuan pemerintah bantuan pemerintah yang masih rendah,
termasuk di level pemerintahan daerah
Tabel 7. Tantangan Pendanaan Negara bagi LSM Indonesia

Diadaptasi dari Laporan Final Pokja 1, 18 Oktober, 2021.

Meski anggapan LSM sebagai musuh negara tidak lagi mengemuka, namun upaya untuk
mendorong sumber pendanaan dari Negara masih tergolong rendah. Meski begitu,
beberapa kebijakan –terutama satu dekade terakhir, telah mulai membuka ruang terhadap
peluang pendanaan bagi LSM seperti melalui Dana Bantuan Hukum, Dana Perwalian, hingga
pengadaan barang dan jasa melalui tipe Swakelola III. LSM sejatinya diperhitungkan sebagai
aktor non negara yang berperan penting dalam penyusunan kebijakan, implementasi hingga
pengawasan dan evaluasinya.

39
Grafik 10. Lini Masa Perjalanan Kebijakan Pendanaan Terkait dari Negara

Hoelman, Laporan Final, Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu, September,
2021.

3.2.3. Potensi Pendanaan dari Publik


Skema pendanaan alternatif menjadi peluang bagi pendanaan LSM, namun penuh
dengan tantangan dalam implementasinya, mulai dari kapasitas sumber daya internal
organisasi yang masih kurang, informasi mengenai peluang pendanaan yang terbatas,
hambatan birokrasi serta administrasi dalam akses pendanaan. Situasi ini menuntut LSM untuk
lebih adaptif. Keadaan tersebut juga mensyaratkan kesiapan LSM menjadi organisasi yang
terbuka dan akuntabel terhadap penyelidikan hingga pertanggungjawaban publik. Kesiapan ini
perlu dibangun melalui pengembangan kapasitas dengan sumber anggaran yang khusus
ditujukan bagi peningkatan kapasitas organisasi. Meski memberi peluang sumber pendanaan,
skema–skema pendanaan alternatif terutama dari sektor publik menuntut citra atau brand
organisasi dan literasi dalam menggunakan platform digital. Sementara itu, regulasi perijinan
dalam menggalang dana publik belum cukup kuat tersedia dan tingkat kepercayaan masyarakat
Indonesia terhadap LSM beberapa tahun terakhir turut menunjukkan penurunan.

Ke depan, LSM dapat pula memerankan posisi perantara masyarakat sipil dengan sektor
swasta. Posisi ini bukanlah hal yang baru, namun mungkin akan semakin relevan di dalam
tatanan dunia yang baru. Secara sederhana, usulan ini mengusulkan mekanisme yang
memungkinkan investasi swasta terhadap hasil–hasil pembangunan. Pandangan tersebut
berangkat dari gagasan bahwa pada dasarnya semua bantuan pembangunan merupakan
investasi, yakni membelanjakan dana hari ini untuk harapan manfaat di masa depan. Meski
demikian, tingkat pengembalian itu umumnya bersifat sosial atau bukan finansial, dalam
jangka panjang –karenanya sering kali kurang menarik bagi para investor yang hanya
berorientasi keuntungan sebanyak–banyaknya dalam periode waktu yang sesingkat–
singkatnya. Di banyak negara berkembang, layanan sosial biasanya bergantung pada
pendanaan Pemerintah dengan semua keterbatasannya seperti dimensi waktu politik,
manajemen keuangan yang birokratis hingga kinerja yang tertutup dari pengawasan publik.

Skema pendanaan investasi sosial melalui pasar keuangan komersial ini disebut pula
sebagai Obligasi Dampak Sosial, di mana investor swasta menginvestasikan dana mereka

40
kepada kerja–kerja sosial yang dilaksanakan oleh LSM dalam menghasilkan jenis–jenis
manfaat sosial tertentu, misalnya menyediakan layanan–layanan sosial seperti pendidikan,
kesehatan, melindungi kawasan hutan konservasi paru–paru dunia, dan lain sebagainya.
Yayasan Ford misalnya, baru–baru ini menjadi Yayasan pertama yang menerbitkan Obligasi
Sosial di pasar obligasi Amerika (lihat Ford Foundation, 2021). Keputusan tersebut juga
dilandasi pertimbangan Yayasan Ford untuk menyelamatkan LSM, terutama yang bergerak
pada isu keadilan sosial agar bisa senantiasa bertahan secara operasional di masa pandemi serta
tetap efektif mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial ketika pandemi dinyatakan
berakhir dan masyarakat global bersiap untuk pulih dari dampak–dampaknya. Skema obligasi
dampak sosial dapat pula dipahami sebagai tanggung–rentengnya sektor swasta terhadap
peranan dan kontribusi LSM sejauh ini dalam menjaga demokrasi –yang telah memungkinkan
kepastian berusaha bagi sektor swasta, kestabilan politik hingga penerimaan sosial.

Tantangan Internal Tantangan Eksternal


Beberapa LSM ada yang sulit berkolaborasi Informasi mengenai peluang pendanaan dari
dengan sektor swasta perusahaan masih belum terbuka (tertutup)
Memerlukan tambahan sumber daya Pelaporan keuangan memerlukan penanganan
khusus
Perubahan kelembagaan organisasi misalnya unit Memerlukan regulasi perijinan tambahan
khusus hingga manajemen yang terbuka dan
akuntabel
Memerlukan citra organisasi yang kuat Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM
mulai mengalami penurunan
Persepsi kebanyakan bahwa LSM identik dengan Pendanaan publik untuk isu HAM dan demokrasi
gerakan sosial bahkan cenderung anti– masih sulit di Indonesia
administrasi
Tabel 8. Tantangan Pendanaan Alternatif dari Publik bagi LSM Indonesia

Diadaptasi dari Laporan Final Pokja 1, 18 Oktober, 2021 dan Hoelman, Laporan Final, Dua Dekade
Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu, September, 2021.

41
Bab IV. Pembelajaran dan Pengalaman Pendanaan LSM
4.1. Pembelajaran dari mitra pembangunan dan lembaga donor internasional

Komitmen Jakarta (2009) telah membawa banyak protokol penyesuaian operasi baru
bagi mitra pembangunan di Indonesia, beberapa negara pemberi bantuan pembangunan
resmi kemudian meresponsnya dengan memilih menyalurkan bantuan mereka melalui lembaga
perantara baik kontraktor swasta maupun organisasi multilateral. Perusahaan kontraktor
bantuan pembangunan menjamur dengan keterikatan kepada masing–masing asal negara
pendonor atas berbagai alasan seperti ketidaktersediaan keterampilan dan keahlian di negara
penerima bantuan pembangunan hingga soal tata cara yang umumnya digunakan di masing–
masing negara. Sementara itu, penyaluran melalui organisasi multilateral umumnya dilandasi
pula oleh keinginan negara–negara pemberi bantuan pembangunan agar organisasi–organisasi
multilateral tertentu ikut serta memperhatikan masalah atau isu pembangunan yang dihadapi di
negara–negara penerima bantuan.

Di sisi lain, seiring perkembangan status Indonesia sebagai negara berpendapatan


menengah bawah, hibah bantuan pembangunan resmi ke Indonesia lambat laun
mengalami tren penurunan. Dengan keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan Kelompok
Negara 20, beberapa survei (OECD, 2012) menyarankan perubahan bentuk hibah bantuan
pembangunan menjadi utang lunak sebagaimana halnya negara–negara berpendapatan
menengah (MIC) lainnya di kawasan Asia.

Dampak krisis akibat pandemi di tingkat implementasi telah mendorong banyak


lembaga pendonor terutama bilateral untuk menilai kembali isu–isu utama yang
mempengaruhi operasi mereka, dan mengkaji ulang tingkat fleksibilitas tertentu yang
mungkin dibutuhkan bagi pelaksanaan kegiatan kerjasama pembangunan (OECD, 2020). Kini,
selain menyesuaikan diri dengan prioritas pemerintah, mengandalkan kerjasama dengan
pemerintah, mengalirkan dana kepada kas pemerintah, akibat pandemi, hibah bantuan
pembangunan juga ikut menuntut koordinasi dan koherensi bagi LSM dan sektor swasta
kepada kerangka kerja pemerintah, –tentu saja untuk alasan–alasan menanggapi krisis.

Di masa pandemi, sebuah kajian menunjukkan preferensi lembaga pendonor dalam


menyikapi konteks pandemi sembari memastikan tetap berjalannya pengawasan efektif
terhadap bantuan pembangunan mereka (lihat Nicaise, 2020)23. Setidaknya ada 3 (tiga) model
pendanaan yang dipilih oleh lembaga pendonor di masa pandemi, yaitu dana Multi–mitra, dana
dukungan inti, serta dana campuran.

4.1.1. Dana Multi–mitra (pooling fund)


Dana Multi–mitra merupakan mekanisme pendanaan yang bersumber dari beberapa
(lebih dari satu) lembaga pendonor dan ditujukan untuk mewadahi kontribusi dari beberapa
lembaga pendonor untuk kemudian dialokasikan kepada entitas lembaga penerima hibah dan/
atau pelaksana guna mendukung program prioritas tertentu.

Dalam model pendanaan ini, masing–masing lembaga pendonor memberikan dana


bantuan hibah mereka ke dalam satu rekening otonom dan dikelola bersama oleh
lembaga pendonor lain dan/ atau lembaga penerima. Model Dana Multi–mitra menawarkan

23 Nicaise, Guillaume. Covid–19 and donor financing. Minimising corruption risks while ensuring efficiency. U4 Brief.

Bergen: U4 Anti–Corruption Resource Centre, Chr. Michelsen Institute, 2020.

42
fleksibilitas yang memungkinkan partisipasi berbagai lembaga pendonor untuk menangani
prioritas tertentu sesuai dengan mekanisme prosedur pengadaan, pengelolaan keuangan hingga
mekanisme pelaporan mereka masing–masing.

Mekanisme pendanaan multi–mitra setidaknya memerlukan struktur yang mencakup


administrator, badan pengawas serta entitas pelaksana dimana semuanya bekerja di
bawah naungan sekretariat teknis dan tata kelola pengaturan bersama. Dengan
mekanisme masing–masing berada di bawah atap bersama, seringkali model pendanaan multi–
mitra menghadapi tantangan dalam penyalurannya akibat keberagaman kualitas aturan hingga
tingkat kepatuhan yang berpeluang membuat efektifitas sekretariat teknis dan tata kelola
pengaturan bersama menjadi mandul atau kurang berfungsi optimal terutama karena
pembengkakan sumber daya dalam sekretariat teknis untuk tujuan pengawasan dana masing–
masing melalui penempatan lebih banyak personil dari masing–masing lembaga pendonor.

4.1.2. Dana Dukungan Inti (core support)


Dana Dukungan Inti adalah skema dukungan pendanaan kepada LSM untuk kemudian
digunakan bagi pembiayaan program dan kegiatan mereka. Dalam mekanisme ini, setiap
LSM penerima hibah bertanggung–jawab atas administrasi dan penggunaan dana yang telah
mereka terima.

Dana Dukungan Inti banyak dilatarbelakangi oleh alasan situasi darurat sebagai cara
cepat menyalurkan dana ke wilayah–wilayah bencana melalui sekelompok lembaga LSM
penerima hibah bantuan yang telah disetujui sebelumnya. Mekanisme dukungan inti lebih
banyak berfokus kepada penyaluran dana ketimbang administrasi penyalurannya sehingga
berisiko penyalahgunaan dana. Selain itu, mekanisme tersebut juga rentan terhadap alih daya,
potensi konflik kepentingan dalam pelaksanaan akibat salah kelola baik karena pelaksanaan
berulang hingga kecurangan yang disengaja.

4.1.3. Dana Campuran (blended finance)


Dana Campuran merupakan mekanisme pendanaan yang menggabungkan hibah
bantuan lembaga pendonor dengan lembaga sektor swasta demi tujuan bersama. Dalam
mekanisme ini, keterlibatan lembaga sektor swasta diimingi dengan imbal hasil yang
menguntungkan bagi pengembangan laba usaha mereka.

Tujuan utama dari model pendanaan ini adalah agar dapat memobilisasi volume dana
yang lebih besar guna merespon prioritas–prioritas pembangunan tertentu. Para pihak
yang terlibat pada mekanisme pendanaan ini ikut serta dalam penyusunan kebijakan,
penggalangan dana hingga pelaksanaannya baik untuk orientasi jangka pendek maupun jangka
panjang.

Meski berpeluang memobilisasi dana dalam jumlah besar, mekanisme pendanaan ini
rentan penyalahgunaan terutama manakala mencampurkan dana yang bersumber dari
para pembayar pajak dengan keuangan komersil. Selain itu, dana campuran sejak awal
membawa tantangan asal yaitu integritas terhadap peluang konflik kepentingan yang membuat
prosedur penilaian seringkali kurang independen atau mewakili penilaian yang semestinya.
Selain itu, keterlibatan entitas sektor swasta juga mendorong pengaturan yang lebih kompleks
dan berlapis yang kadangkala menyulitkan koordinasi pengawasan dan evaluasi hasil.

43
4.2. Pembelajaran dari skema kebijakan pendanaan oleh pemerintah

4.2.1. Dana Perwalian


Di Indonesia, inisiasi dana perwalian sudah dimulai sejak satu dekade yang lalu. Kala
itu, Pemerintah mendorong peruntukannya bagi upaya penanganan perubahan iklim
dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Pemerintah membentuk Dana Perwalian
Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF) sebagai instrumen pendanaan yang dikendalikan serta
dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah guna tujuan menanggulangi perubahan iklim melalui
implementasi kebijakan Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). ICCTF berdiri
melalui Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional No. KEP. 44/ M.PPN/ HK/
09/ 2009 tentang Pembentukan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan kemudian
diubah melalui Keputusan Menteri PPN No. KEP. 59/ M.PPN/ HK/ 09/ 20I0. Keputusan
menteri tersebut selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 80/ 2011 tentang Dana
Perwalian yang memberikan panduan lebih lanjut tentang dana perwalian.

Dalam skema Dana Perwalian tersebut, lembaga–lembaga swadaya masyarakat (LSM)


diberi peluang untuk menjadi pengelola dan pelaksana Dana Amanat, walaupun pada
praktiknya, hanya sedikit LSM yang bermitra dalam ICCTF sebagai mitra pelaksana atau
bukan pengelola. Meski begitu, ketersediaan skema pendanaan ini telah memungkinkan
beberapa LSM lingkungan di daerah–daerah konservasi dan daerah kaya sumber alam hayati
mendapatkan dukungan pendanaan bagi kegiatan–kegiatan mereka.

Sebagai instrumen dana perwalian, ICCTF dikelola secara nasional serta ditujukan
untuk mengoordinasikan kegiatan dan dukungan lembaga–lembaga internasional –dan
dalam banyak hal menjadi kanal dana gabungan. Dalam berbagai kesempatan, pembentukan
dana perwalian ketika itu turut dikaitkan sebagai pelaksanaan nyata dari Komitmen Jakarta,
yaitu upaya Pemerintah untuk mendorong mitra–mitra kerja sama pembangunan untuk sejalan
dengan prioritas pembangunan dalam negeri. Bagi Pemerintah upaya ini dibutuhkan untuk
mewujudkan kemitraan global untuk kerja sama pembangunan yang efektif, yakni kepemilikan
dari negara–negara penerima bantuan resmi pembangunan.

4.2.2. Dana Abadi


Salah satu terobosan yang layak diperhitungkan dalam mengatasi keterbatasan dana
APBN untuk layanan–layanan publik esensial ialah keputusan Pemerintah membentuk
Dana Abadi Pendidikan, yaitu dana yang tidak dapat digunakan untuk belanja, bersifat abadi
(endowment) dan bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi
generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antar generasi. Pengembangan dana
abadi dilakukan melalui bentuk investasi jangka pendek dan/ atau jangka panjang pada surat
berharga maupun non surat berharga di dalam dan/ atau di luar negeri. Hasil
pengembangannya, digunakan untuk melaksanakan program layanan, operasional, hingga
untuk menambah jumlah dana abadi itu sendiri.

Dana abadi merupakan titipan penyertaan modal awal negara untuk pemupukan dana
hingga batasan waktu tertentu dan/ atau tujuan–tujuan lainnya seperti kesiapan
kelembagaan, operasionalisasi, sumber daya manusia, dan sebagainya. Pihak yang menerima
penyertaan dana ini (lembaga atau badan) untuk seterusnya diharapkan dapat melaksanakan
investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung serta melakukan kerja sama dengan
pihak ketiga guna meningkatkan jumlah dana kelolaannya maupun nilai asetnya. Keuntungan
atau kerugian yang dialami oleh badan atau lembaga dalam melaksanakan investasi merupakan
keuntungan atau kerugian badan atau lembaga tersebut. Sebagian keuntungan dapat saja

44
diperuntukkan untuk menambah akumulasi modal, disetorkan sebagai laba maupun sebagai
dana cadangan untuk menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi.

Dana abadi menunjukkan urgensi ketersediaan dana dalam jangka panjang atau dalam
kata lain adanya kebutuhan untuk kesinambungan pendanaan. Dalam berbagai
praktiknya, dana abadi kemudian lebih banyak diminati sebagai alternatif skema pendanaan
karena sifatnya yang memungkinkan investasi atau pemupukan dana. Selain itu, dana abadi
juga tidak habis pakai sebagaimana hibah bantuan pembangunan resmi, namun terbuka untuk
pembiayaan lintas tahun hingga lintas program. Untuk mengakomodasi fleksibilitas tersebut,
Pemerintah memilih bentuk kelembagaan satuan kerja non eselon yang menerapkan pola
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU).

Dua contoh badan dan lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah baru–baru ini dengan
mencontoh skema pendanaan dana abadi adalah Indonesian Environment Fund dan
IndonesianAID. Badan yang pertama, yaitu Indonesian Environment Fund atau Badan
Pengelola Dana Lingkungan Hidup dibentuk pada 2019 untuk tujuan melakukan penggalangan
dan pengelolaan dana–dana lingkungan hidup di bidang kehutanan, energi dan sumber daya
mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan
perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup. Tak hanya dana abadi, badan ini juga
akan ikut mengambil alih pengelolaan dana bergulir (revolving fund) yang berasal dari Dana
Reboisasi yang saat dilaksanakan oleh BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU
Pusat P2H) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pemerintah tampaknya
berambisi untuk meningkatkan nominal dana tidak saja dari alokasi penyertaan modal baru
namun juga konsolidasi terhadap dana yang telah terkumpul sebelumnya.

Kecenderungan menggunakan pendekatan dana abadi juga tampak pada pembentukan


IndonesianAID. Sebagaimana halnya BPDLH, IndonesianAID atau Lembaga Pengelola
Dana Kerja sama Pembangunan Internasional (LPDKI) diluncurkan di tahun yang sama, yaitu
2019 dengan tugas mengelola dana abadi melalui penyertaan modal awal dari negara.
Pembentukan IndonesianAID juga mengonsolidasikan dana di berbagai kementerian/ lembaga
hingga pemerintah daerah yang sebelumnya melaksanakan kerja sama masing–masing dengan
mitra–mitra pembangunan internasional. Di bawah satu agensi IndonesianAID, konsolidasi
anggaran tersebut turut dibarengi dengan konsolidasi kebijakan satu pintu. Sebagai agensi
bantuan pembangunan milik Indonesia, IndonesianAID menjadi sarana Pemerintah untuk
memberikan hibah dalam rangka merespons komitmen maupun kebijakan luar negeri
Indonesia. Meski memberikan hibah kepada negara atau lembaga asing, dana IndonesianAID
belum dapat diakses oleh LSM Indonesia.

Dari perjalanan kebijakan dan skema pendanaan yang menyertainya dapat disimpulkan
kecenderungan Pemerintah dalam menanggapi kerja sama pembangunan merupakan
hal yang lebih dominan ketimbang perhatian kesinambungan pendanaan bagi LSM.
Keputusan untuk memulai skema pendanaan abadi nyatanya ditujukan untuk memberikan
stabilitas keuangan jangka panjang yang dibutuhkan Indonesia sebagai negara berkembang
daripada misalnya mempertahankan independensi LSM sebagai salah satu aktor penting
pembangunan.

Aspek LPDP BPDLH


Undang–undang Dasar Negara Republik UU 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Indonesia Tahun 1945 Lingkungan Hidup
Regulasi
UU 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional PP 46/ 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan
Hidup

45
UU 2/ 2010 tentang Perubahan atas UU 47/ 2009 PP 22/ 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Negara Tahun Anggaran 2010
UU 20/ 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Perpres 77/ 2018 tentang Pengelolaan Dana
Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 Lingkungan Hidup
Perpres 12/ 2019 tentang Dana Abadi Pendidikan PMK 137/PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
PMK 252/PMK.01/2011 tentang Organisasi Dan PMK 182/PMK.05/2019 tentang Standar Pelayanan
Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Minimum Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
PMK 143/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan PMK 24 /PMK.01/2021 tentang Perubahan atas
Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137
PMK 47/PMK.01/2020 tentang Organisasi dan /PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
KMK 18/KMK.05/2012 tentang Penetapan
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan pada
Kementerian Keuangan sebagai Instansi
Pemerintah yang menerapkan pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum
Badan Layanan Umum (BLU) Badan Layanan Umum (BLU)
Menyediakan pendanaan pendidikan Menyediakan pendanaan pengelolaan lingkungan
hidup
Mengelola Dana Abadi Pendidikan (DAP) Mengelola dana lingkungan hidup yang selama ini
sebesar 20% dari APBN tersebar di berbagai kementerian atau Lembaga yang
berbeda
Menyeleksi, mendanai dan mengembangkan dana Menghimpun, memupuk dan menyalurkan dana
Kelembagaan 4 Direksi. & Satuan Pemeriksaan Intern 5 Direksi dan 1 Internal Auditor
4 Direktorat (Direktur Keuangan dan Umum, 4 Direktorat (Keuangan, Umum dan Sistem
Direktur Investasi, Direktur Beasiswa dan Informasi; Pengumpulan Dana dan Pengembangan;
Direktur Fasilitasi Riset. Distribusi Dana; dan Hukum dan Manajemen Risiko)
Komite Pengarah diketuai Menko Perekonomian,
MenLHK (wakil), dan beranggotakan Menkeu,
Mendagri MenESDM, Menhub, Mentan, MenPPN,
Menperin dan MenKP
Sumber dana dari DPPN, APBN, hibah, hasil Sumber dana dari APBN, APBD, dan sumber dana
kerja sama dengan pihak lain, pendapatan alih lain seperti pajak dan retribusi lingkungan hidup
teknologi hasil riset, royalti atas hak paten, dana
pihak ketiga, dana perwalian, baik dari dalam
maupun luar negeri, dan/ atau lain–lain
Pengembangan Dana Abadi Pendidikan dapat Pemupukan dana melalui instrumen perbankan, pasar
dilakukan melalui bentuk investasi jangka pendek modal, dan/ atau instrumen keuangan lainnya
dan/ atau jangka panjang pada surat berharga
maupun non surat berharga di dalam dan/ atau di
luar negeri
Hasil pengembangan dana abadi digunakan untuk Dana Penanggulangan Pencemaran/ Kerusakan dan
Tata kelola melaksanakan program layanan, operasional, dan/ Pemulihan (APBN/D, dan lainnya seperti. pajak dan
atau untuk menambah nominal dana abadi itu retribusi)
sendiri. Dana Amanah/ Bantuan Konservasi (berasal dari
hibah dan donasi)
Dapat menunjuk bank kustodian
Prinsip transparansi, efisiensi, efektivitas,
proporsional dan bertanggung–jawab
Pemupukan dana terhadap Dana Amanah/ Bantuan
Konservasi (yang berasal dari hibah dan donasi)
Pemupukan dan penyaluran dana memerlukan
kontrak perjanjian
Tabel 9. Contoh Perbandingan LPDP dan BPDLH

Sumber: Laporan Pokja 2, 22 Oktober, 2021.

46
4.3. Pembelajaran dari negara–negara–negara maju

4.3.1. Pendanaan LSM di Korea Selatan


Hingga hari ini, komitmen dukungan terhadap aktivitas LSM di Korea Selatan tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan situasi rekonsiliasi di Semenanjung Korea, karena
berkaitan dengan kepercayaan yang dibangun oleh banyak entitas dan instansi pemerintahan
terkait.24 Dalam hal pendanaan, sebagaimana sebagian besar negara di Asia, Korea Selatan
mengandalkan prinsip kedermawanan yang diwujudkan dalam beberapa bentuk kebijakan.

Pada tahun 1999, Presiden Kim Dae–Jung mengesahkan Law to Promote Non–Profit Civil
Organizations yang mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk membantu
perkembangan LSM di Korea Selatan. Beberapa substansi penting dalam undang–undang
ini di antaranya memerintahkan Kementerian Dalam Negeri untuk membantu aktivitas LSM
terkait dengan program–program untuk publik, khususnya bantuan pendanaan. Selain itu,
undang–undang tersebut juga turut memberikan pembebasan pajak bagi LSM.25

Korea Selatan juga telah memiliki program bantuan pembangunan resmi atau Official
Development Assistance (ODA). Melalui skema ODA, telah banyak kerja sama internasional
yang berhasil dicapai oleh pemerintah Korea Selatan melalui Kementerian Luar Negeri Korea
Selatan selain berbagai pinjaman lunak (concessional lending) di bawah Kementerian
Keuangan bersama Korea Eximbank.26 Terdapat dua jenis pendanaan bantuan pengembangan
bagi LSM melalui program ODA. Pertama, adalah Aid to CSOs yang memberikan kontribusi
bantuan pendanaan terhadap program–program yang dikelola oleh LSM. Kedua, adalah Aid
Chanelled through CSOs, yakni bantuan pendanaan yang disalurkan kepada LSM atau
organisasi swasta guna mengimplementasikan proyek yang dapat menciptakan inisiatif
pendanaan (earmarked funding).27

4.3.2. Pendanaan LSM di Amerika Serikat


Amerika Serikat merupakan negara dengan tingkat kebebasan sipil yang cukup tinggi di
mana LSM dapat dengan bebas didirikan baik oleh warga negara maupun warga negara
asing yang tinggal di Amerika Serikat. Kebebasan sipil tersebut salah satunya ditunjukkan
dengan ketiadaan hingga kemudahan aturan (bilamana pun ada) bagi pendaftaran LSM di level
pemerintah negara bagian.28

Pada sisi pendanaan, LSM Amerika Serikat diperkenankan menerima pendanaan dari
entitas atau pemerintah negara lain. Pembatasan hanya akan diterapkan manakala LSM
terkait menerima pendanaan dari organisasi terlarang seperti terorisme atau politikus dari
negara lain.29 Meski tidak mensyaratkan registrasi atau pendaftaran LSM, namun Amerika
Serikat memiliki peraturan perundangan The Foreigns Agents Registration Act, di mana salah
satunya mengatur tentang afiliasi warga yang tinggal di Amerika Serikat dengan organisasi
asing dan terlibat pada kegiatan–kegiatan tertentu. Bagi mereka yang bekerja dengan
organisasi asing wajib untuk membuat pengungkapan publik secara berkala tentang hubungan

24 Lihat Kudlacova, South Korean Civil Society Organizations as Confidence–Builders? The Experience with South
Korean Civil Society Groupings in the Republic of Korea and the DPRK, Perspectives Vol. 22 No. 2, 2014.
25 Inchoon Kim dan Changsoon Hwang, Defining the Nonprofit Sector: South Korea, John Hopkins University Institute

for Policy Studies, 2002.


26 OECD, Development Co–operation Profiles: Korea, 2020. Diakses pada 11 September 2021.
27 The Development Assistant Committee, Aid for Civil Society Organizations, OECD, 2021.
28 The US Department of State, 2021, Non–Governmental Organizations (NGOs) in the United States. Diakses pada

3 September 2021.
29 Ibid, The US Department of State, 2021. Diakses pada 3 September 2021.

47
mereka dengan organisasi asing tersebut serta mengungkapkan kegiatan dan pendanaannya
baik sumber pemasukan maupun pengeluaran kegiatan–kegiatan mereka. Pengaturan
pendanaan cukup ketat diberlakukan terutama bagi pendanaan yang bersumber dari entitas atau
individu dari luar negeri sebagaimana diatur melalui Executive Order 13224 30 yang
menegaskan larangan bagi organisasi di Amerika Serikat terkait sumber pendanaan asing dari
individu atau organisasi yang masuk dalam daftar organisasi atau individu terlarang.31

Amerika Serikat juga memiliki badan pemerintahan yang bertugas mengelola


pendanaan baik untuk dalam negeri maupun dalam kerangka bantuan luar negeri, yaitu
United States Agency for International Development (USAID) yang menyalurkan bantuan
pendanaan internasional bagi kegiatan pembangunan di berbagai sektor, antara lain pendidikan
dan kemanusiaan. USAID sendiri dibentuk berdasarkan amanah the Foreign Assistance Act of
1961, yakni undang–undang yang menggabungkan program dan badan pemerintahan terkait
pengelolaan bantuan bagi masyarakat internasional. Sebelum lahirnya undang–undang
tersebut, program pendanaan dan bantuan tersebar di berbagai lembaga pemerintah. Melalui
konsolidasi program bantuan asing tersebut, USAID bertujuan untuk memperkuat demokrasi,
toleransi dan pengembangan kebebasan sipil.32

Pengelolaan pendanaan oleh USAID terbagi dalam beberapa bentuk mengingat bantuan
pendanaan USAID tidak hanya ditujukan bagi masyarakat sipil di dalam negeri, akan
tetapi juga di luar Amerika Serikat. Bentuk mekanisme tersebut terbagi menjadi tiga
kelompok, sebagai berikut. Pertama, host country managed mechanisms, di mana dokumen
dan perangkat bantuan keuangan diproses oleh negara penyelenggara dengan sedikit
pengembangan dari USAID. Kedua, USAID Managed Mechanisms, yakni mekanisme
pengelolaan sumber dana baik dalam bentuk USD maupun mata uang lokal dari negara
penyelenggara yang ditujukan sebagai dana abadi (endowment fund) yang digunakan untuk
meningkatkan pendapatan dari organisasi yang bekerja sama dengan USAID guna membiayai
pelaksanaan program–programnya. Ketiga, Third Party Managed Mechanisms, yakni
mekanisme skema pendanaan yang umumnya digunakan sebagai bantuan kepada negara–
negara yang tengah mengalami krisis. USAID sendiri hanya bertugas mengumpulkan dana,
sementara kegiatan spesifik diimplementasikan oleh pihak ketiga yang merupakan organisasi
publik internasional. Salah satu contoh penerapan mekanisme pendanaan terakhir dapat dilihat
pada skema Multi–Donor Trust Funds Administered by Public International Organizations.33

Dana Abadi Nasional untuk Demokrasi atau The National Endowment for Democracy
(NED) diluncurkan pada awal 1980–an adalah yayasan nirlaba independen Amerika
Serikat yang didedikasikan bagi pertumbuhan dan penguatan institusi demokrasi di
seluruh dunia.34 Pendiriannya didasari gagasan bahwa bantuan Amerika atas nama upaya
demokrasi di luar negeri akan berbuah kebaikan bagi Amerika Serikat sendiri.35 Setiap tahun,
NED menyalurkan lebih dari 2.000 bantuan hibah guna mendukung berbagai kegiatan LSM di
luar negeri untuk tujuan demokrasi di lebih dari 100 negara.36 Sejak didirikan pada tahun 1983,
NED senantiasa menjadi garda terdepan perjuangan demokrasi di dunia, dan berkembang

30 setara dengan Keputusan Presiden di Indonesia.


31 Executive Order 13224, Blocking Property and Prohibiting Transactions with Persons Who Commit, Threaten to
Commit or Support Terrorism, 66 FR 49079.
32 Pasal 499D 22 U.S.C.A. § 2296d (West).
33 USAID Implementing Mechanism, USAID, 2008.
34 About National Endowment for Democracy. Diakses pada 21 Juli, 2021.
35 Lowe, David. Idea to Reality: NED at 30. History of NED. Diakses pada 21 Juli, 2021.
36 NED Grants in Action. Diakses pada 21 Juli, 2021.

48
menjadi lembaga multifaset yang merupakan pusat aktivitas, sumber daya serta pertukaran
intelektual bagi para aktivis, praktisi, dan cendekiawan demokrasi di seluruh dunia.37

Kelembagaan NED sangat unik karena mempertahankan status badan hukumnya


sebagai lembaga independen atau non–pemerintah, yang telah terbukti efektif
memberikannya fleksibilitas untuk bisa bekerja dalam berbagai situasi paling sulit di dunia,
sembari senantiasa responsif memahami setiap perubahan dan dinamika politik yang
menyertainya. NED juga didedikasikan untuk mendorong pertumbuhan berbagai lembaga
demokrasi di luar Amerika Serikat, bahkan termasuk partai politik, serikat pekerja, organisasi
bisnis hingga berbagai elemen kritis kelompok masyarakat sipil lainnya.

Sebagian besar pendanaan NED bersumber dari anggaran negara yang disetujui
sebelumnya oleh Kongres Amerika Serikat, di mana setiap dukungan yang disalurkannya
turut mengirimkan pesan penting solidaritas kepada banyak demokrat di seluruh dunia yang
juga tengah berjuang bagi kebebasan dan hak asasi manusia di tengah ketidakjelasan bahkan
isolasi atau ketertutupan. Pesan lainnya turut menggarisbawahi bahwa demokrasi tidak melulu
didasarkan kepada model Amerika Serikat, akan tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan
serta tradisi budaya politik yang beragam di dunia.38

Sejak awal pendiriannya, NED didirikan bersama–bersama oleh Partai Demokrat dan
Partai Republik di Amerika Serikat dan mengusung nilai bipartisan dengan pengaturan
oleh sebuah Dewan yang jumlah keanggotaannya setara dan mewakili kedua partai politik
tersebut guna memungkinkan dukungan yang kuat bagi setiap pengambilan keputusan di
Kongres Amerika Serikat. NED juga secara berkala memublikasikan setiap informasi terkait
hibah dan kegiatan melalui laman resmi mereka serta tunduk kepada pengawasan berlapis oleh
Kongres, Departemen Luar Negeri serta audit keuangan independen.

4.3.3. Pendanaan LSM di Inggris


Sebagaimana halnya di kebanyakan negara di benua Eropa, di Inggris pemerintah dan
LSM menjalankan rencana aksi jangka panjang bersama yang dituangkan ke dalam
perjanjian yang di Inggris dikenal dengan nama “The Compact”. Perjanjian tersebut
mencakup tujuh pokok, yaitu; (i) tujuan organisasi; (ii) sumber pendanaan; (iii) bentuk dan
badan hukum; (iv) manajemen serta isu operasional terkait lainnya; (v) kriteria pendanaan; (vi)
prosedur pendanaan; dan (vii) pelaporan dan evaluasi.39

“The Compact” disusun untuk menggalang kolaborasi yang bertujuan memperkuat


masyarakat sipil, beragam dan mandiri, merancang dan mengembangkan kebijakan, program
dan pelayanan publik yang efektif dan transparan, program serta layanan yang responsif dan
berkualitas tinggi, hingga pengaturan yang jelas untuk mengelola perubahan program dan
layanan serta masyarakat yang setara dan adil.40

Pemerintah Inggris tidak memiliki unit organisasi dengan status badan layanan umum
sebagaimana halnya di Indonesia yang dapat berfungsi sebagai “perantara” pemerintah dengan
masyarakat sipil. Sebaliknya, pemerintah mendayagunakan “The Compact”, pada setiap poin

37 Op. cit. NED. Diakses pada 21 Juli 2021.


38 Ibid. NED. Diakses pada 21 Juli 2021
39 Bahagijo, et.al., Laporan Kajian Trust Fund/ Dana Perwalian dan Pendanaan CSO untuk Demokrasi di Indonesia,

Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan, 2014.


40 The UK Government, The Compact: The Coalition Government and Civil Society Organisations Working Effectively

in Partnership for the Benefit of Communities and Citizens in England, 2010. Diakses pada 2 September 2021.

49
tujuannya guna memastikan peran yang diambil baik oleh pemerintah maupun oleh LSM.
Salah satu contoh penerapan tujuan perancangan dan pengembangan kebijakan, program dan
pelayanan publik yang efektif dan transparan, misalnya mengatur kewajiban pemerintah untuk
melakukan tindakan–tindakan yang dapat memastikan bahwa LSM memiliki peran dan
peluang yang lebih besar dalam memberikan layanan publik melalui pembukaan pasar baru
sesuai dengan langkah–langkah reformasi layanan publik yang lebih luas. Sementara, LSM
memastikan pengaturan tata kelola yang kuat di internal organisasi mereka, agar setiap
organisasi dapat mengelola risiko terkait pemberian layanan dan model pembiayaan dengan
sebaik–baiknya, termasuk melakukan pemberitahuan dini manakala terdapat perubahan situasi
internal yang memerlukan adaptasi.

No. Negara Skema Pendanaan Peraturan Kelembagaan


1 Korea Aid to CSOs dan Aid Comprehensive Dikelola oleh pemerintah
Selatan chanelled through Engagement Policy towards (Kementerian Luar
CSOs di bawah North Korea / Sunshine Negeri, Kementerian
program Official Policy 1998 Keuangan bekerja sama
Development Law to Promote Non–Profit dengan Eximbank Korea
Assistance (ODA) Civil Organizations 1999 Selatan)
Official Development
Assistance (ODA)
2 Amerika Host Country The Foreign Assistance Act USAID (Badan Kerja
Serikat Managed of 1961 (Undang–Undang sama Pembangunan
Mechanisms, USAID Federal) Pemerintah)
Managed
Mechanisms dan
Third Party Managed
Mechanisms
National Endowment Statement of Principles and National Endowment for
for Democracy (dana Objectives, 1984 Democracy (yayasan
abadi untuk independen; non–
demokrasi) pemerintah)
3 Inggris Skema disusun The Compact (perjanjian Commision for the
berdasarkan prinsip– antara pemerintahan Inggris Compact (dibentuk oleh
prinsip yang diatur dengan LSM dan pemerintah, namun
dan disepakati di diaplikasikan dari level merupakan lembaga
dalam The Compact pusat hingga daerah) independen; 1998–2011)
The Office for Civil
Society and Compact
Voice (dikelola oleh
lembaga pemerintah;
2011–sekarang)
Tabel 10. Perbandingan Pendanaan LSM di Negara–Negara Maju

Sumber: Laporan Pokja 2, 22 Oktober, 2021 dan adaptasi oleh penulis.

50
Bab V. Pilar Pembentukan Badan Pengelola Pendanaan LSM di
Indonesia
5.1. Bentuk Kelembagaan
Dalam satu dekade terakhir, perubahan cara penyaluran hibah bantuan pembangunan
terutama dari mitra–mitra pembangunan internasional telah mempersempit ruang
gerak pendanaan LSM di Indonesia. Perubahan cara penyaluran terutama melalui
penggunaan kontraktor swasta kini diperberat dengan penurunan komitmen hingga volume
bantuan pembangunan sejalan dengan perkembangan status Indonesia sebagai negara
berpendapatan menengah.

Sebagai negara menengah, Indonesia dituntut untuk mulai membantu pembangunan


global di mana salah satunya ditunjukkan dengan pembentukan IndonesianAID atau
Lembaga Dana Kerjasama Pembangunan Indonesia (LDKPI) pada 2019. LDKPI merupakan
unit organisasi non–Eselon yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan
Umum (BLU). Melalui kelembagaan tersebut, Indonesia kini telah menyalurkan bantuan
pembangunan kepada negara dan LSM Asing.

Saat ini, dana kelolaan IndonesianAID telah mencapai Rp 6 Triliun. Dana ini didapatkan
dari alokasi APBN 2019, 2020 dan 2021 serta 2022 (Hoelman, 2021).41 Pada APBN 2022,
IndonesianAID atau LDKPI mendapatkan tambahan alokasi investasi sebesar Rp 1.000,0
miliar, sehingga total dana kelolaannya menjadi sebesar Rp 6.000,0 miliar (lihat UU 6/ 2021
tentang APBN 2022, Buku II). Melalui penyertaan dana abadi tersebut, IndonesiaAID
diharapkan dapat meningkatkan komitmen pemberian hibah dan melakukan inovasi
pemupukan dana melalui berbagai skema penempatan dana abadi, hingga pengembangan
sumber dan mekanisme pendanaan baru.

Idealnya, LSM di Indonesia turut mendapatkan perhatian yang sama sebagaimana


perhatian pemerintah kepada negara asing dan LSM Asing melalui penyaluran bantuan
lewat IndonesianAID. Dalam kerangka tersebut, LSM Indonesia memerlukan kelembagaan
pendanaan yang dapat mengelola sumber pendanaan yang cukup, memungkinkan pendanaan
multi tahun atau terus menerus guna memastikan keberkelanjutannya.

Selain fungsi utama mengelola pendanaan yang dibutuhkan bagi pembiayaan LSM di
Indonesia, kelembagaan yang akan dibentuk juga diharapkan dapat menjalankan fungsi
operasi manajemen perencanaan program dan penganggaran, monitoring dan evaluasi,
ditambah fungsi–fungsi pendukung (fasilitasi) seperti manajemen organisasi dan administrasi,
informasi dan teknologi, kesekretariatan umum, hukum, dan pusat data hingga pengembangan
kapasitas melalui berbagai balai penelitian atau universitas.

Mengacu kepada berbagai bentuk kelembagaan pendanaan yang telah ada sebelumnya,
diharapkan kelembagaan yang akan dibentuk juga memiliki fleksibilitas tidak saja ruang
gerak terhadap pembiayaan yang bersumber dari dana APBN akan tetapi juga dapat
menampung dana lain di luar APBN tanpa terikat tahun anggaran, seperti dana amanah atau

41 Penyertaan dana abadi LDKPI atau IndonesianAID pertama kali diinisasi oleh UU 12/ 2018 tentang APBN 2019,

di mana Pemerintah dan DPR menetapkan dana kerja sama pembangunan internasional sebesar Rp 2 Triliun (Pasal
32). Pada APBN tahun–tahun berikutnya, Pemerintah mengalokasikan tambahan dana abadi sejumlah Rp 1 Triliun
sebagaimana dinyatakan dalam UU 20/2019 tentang APBN 2020 (Lampiran I) dan sejumlah Rp 2 Triliun melalui UU
9/ 2020 tentang APBN 2021 (Lampiran I), serta Rp 1 Triliun melalui UU 6/2021 tentang APBN 2022 (Buku II).
Lihat Hoelman, Mickael, B. Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu, September, 2021.

51
dana abadi baik dari mitra pembangunan, sektor swasta maupun derma individu dan
masyarakat, hingga sumber pendanaan yang tersedia di mekanisme pasar, menerima
pendapatan dan bekerja sama dengan pihak lain termasuk pihak swasta atau potensi di masa
mendatang sebagai lembaga penjual obligasi. Karenanya, badan yang akan dibentuk
hendaknya mampu menjalin kerja sama antar–negara dengan mitra–mitra pembangunan
termasuk dengan sektor swasta. Dengan mempertimbangkan berbagai fungsi tersebut,
kelembagaan yang akan dibentuk idealnya memiliki struktur yang mencakup unit–unit atau
divisi yang mampu menangani bidang–bidang baik fasilitasi hinga implementasi.

Fungsi implementasi mensyaratkan bahwa kelembagaan yang akan dibentuk memiliki


tugas untuk perencanaan dan penganggaran sesuai Rencana Strategis dengan dana
APBN sebagai anggaran utamanya dan sebagai satuan kerja yang sepenuhnya diperuntukkan
bagi pengelolaan dana LSM. Adapun pemilik Renstra adalah badan yang dimaksud dapat
melakukan pengembangan kapasitas pelaksanaan terutama bagi LSM penerima bantuan
dengan standar biaya mandiri atau ditentukan sendiri. Laporan berkala disusun sebagai
mekanisme umpan balik terhadap Renstra. Dalam kaitan tersebut, badan yang akan dibentuk
memiliki wewenang mengumpulkan dan mendapatkan laporan pelaksanaan kegiatan dari
seluruh LSM penerima bantuan. Hasil pengawasan dan evaluasi akan turut menjadi umpan
balik perencanaan dan pelaksanaan. Struktur kelembagaan ini tidak memerlukan bidang
implementasi, akan tetapi mencakup perencanaan dan pengawasan nasional.

Dari berbagai karakteristik uraian kelembagaan yang diharapkan tersebut di atas,


model bentuk lembaga yang ideal mendekati Badan Layanan Umum di mana badan atau
lembaga yang akan dibentuk dapat merancang sendiri program dan pendanaan multi tahun,
memiliki fleksibilitas program dan pelaksanaan, serta memungkinkan menerima pemasukan
pendanaan dari berbagai pihak luar. Sekurangnya, badan yang akan dibentuk memiliki tiga
direktorat, yaitu; (i) penyaluran dana dan investasi; (ii) keuangan dan umum; serta (iii)
pengembangan kapasitas dan fasilitasi, serta dilengkapi dengan satuan pemeriksa intern.

Aspek Badan Layanan Umum (BLU)


BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual
Definisi
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
Tugas dan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberi
tanggung–
fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan
jawab
produktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat.
Pergeseran sistem penganggaran tradisional yang berbasis pembiayaan input ke
sistem penganggaran berbasis kinerja yang diarahkan pada pembiayaan hasil;
Latar perubahan pengelolaan keuangan sektor publik ini merupakan upaya
belakang “mewiraswastakan” pemerintah. Prinsip pengelolaan keuangan ini
pembentukan dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas kepada satuan kerja instansi
pemerintah tertentu terutama dalam pelaksanaan anggaran, termasuk
pengelolaan pendapatan dan belanja, kas dan pengadaan barang dan jasa.
1. Satker yang berstatus BLU Penuh diberikan seluruh fleksibilitas
pengelolaan keuangan BLU, yang meliputi Pengelolaan Pendapatan,
Pengelolaan Belanja, Pengadaan Barang/Jasa, Pengelolaan Barang,
Kekuatan
Pengelolaan Kas, Pengelolaan Utang dan Piutang, Pengelolaan Investasi,
Perumusan Kebijakan, Sistem, dan Prosedur Pengelolaan Keuangan
2. BLU dapat menggunakan surplus anggaran BLU di tahun anggaran

52
berikutnya.
3. Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri
sipil dan/atau tenaga profesional non–pegawai negeri sipil sesuai dengan
kebutuhan BLU.
Pengelolaan Memiliki independensi untuk mengelola keuangan termasuk
Keuangan menginvestasikannya dan menyalurkannya.
Nomenklatur Lembaga atau Badan atau lainnya (Rumah Sakit, Universitas)
BLU Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Badan Pengelola Dana
Contoh Kelapa Sawit, Universitas–universitas Negeri, Rumah Sakit Umum, LDKPI
(IndonesianAID)
Tabel 11. Karakteristik Badan Layanan Umum

Diadopsi dari Kajian Akademik Pembentukan Single Agency Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular
Indonesia │ Tim Koordinasi Nasional Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular didukung oleh Deutsche
Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, 2017.

Sejak awal administrasi pemerintahan Presiden Joko Widodo, LSM di Indonesia


sesungguhnya juga telah memikirkan perlunya ekosistem kebijakan dan pendanaan
yang mendukung LSM di Indonesia. Pemahaman ini mencakup; (a) pengadaan barang/ jasa
melalui LSM, di mana LSM mendapatkan dana hibah dari pemerintah untuk melaksanakan
pengadaan barang/ jasa bagi publik serta mendapatkan manfaat dari setiap proses pengadaan
tersebut; dan (b) pengadaan barang/ jasa publik bersama antara pemerintah dengan LSM
sebagaimana praktik dan pengalaman yang telah berjalan di negara–negara maju. Berbagai
Kertas Kebijakan dan hasil kajian LSM juga telah disampaikan kepada Pemerintah melalui
Kantor Staff Presiden (KSP) Republik Indonesia.

Pada saat yang sama Kementerian PPN/ Bappenas dan KSP juga telah memulai proses
untuk menyediakan dukungan bagi keberlanjutan pendanaan LSM di Indonesia. Isu–
isu yang mengemuka juga sudah dibahas dalam berbagai pertemuan antara lain menyangkut
bentuk kelembagaan, di mana usulan yang muncul dapat diringkas ke dalam dua kelompok,
yaitu: (i) model lembaga kuasi–negara, misalnya Komisi LSM, di mana pengelolanya dipilih
melalui seleksi terbuka oleh panitia seleksi dan disetujui oleh Pemerintah dan DPR; serta (ii)
model Badan Layanan Umum (BLU), di mana pengelola dan pengawasnya diangkat oleh
Pemerintah dan berkedudukan di bawah kementerian tertentu serta rekrutmen dan pengelolaan
sumber daya manusia dilakukan melalui mekanisme BLU. Demikian halnya dengan pelaporan
dan pertanggungjawaban program dilakukan kepada Dewan Direksi dan Dewan Pengarah.

LSM Indonesia menyambut baik proposal kebijakan di atas. Tanggapan dan aspirasi
sebagian besar LSM menghendaki model BLU, suatu lembaga yang lebih teknikal–
profesional namun fleksibel. Sekurangnya, terdapat tiga alasan yang mengemuka, di
antaranya; (a) proses pembentukan BLU akan lebih serta sejalan dengan semangat pendekatan
dana abadi; (b) lembaga baru model lembaga kuasi–negara dipandang memerlukan proses
pembahasan yang lebih panjang; dan (c) BLU dapat mengurangi kekhawatiran intervensi
maupun dinamika politik secara langsung karena tidak memerlukan keterlibatan DPR.

Dalam berbagai pertemuan, pejabat perwakilan KSP juga telah menyampaikan


pandangan Pemerintah yang selaras dengan aspirasi LSM Indonesia terkait model
kelembagaan BLU tersebut. Beberapa bentuk contoh kelembagaan BLU dibahas, di
antaranya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang di dalamnya memuat; (i) dana
abadi yang dapat dikembangkan; dan (ii) alokasi pendanaan bagi LSM secara berkala melalui
mekanisme undangan proposal secara terbuka. Selain itu, belajar dari beberapa BLU lainnya
seperti BPDLH maupun LDKPI (IndonesianAID), mekanisme undangan proposal hendaknya

53
dibarengi pemantauan dan evaluasi berkala guna memungkinkan pembelajaran, sehingga
setiap fungsi yang melekat dalam kelembagaan dapat bertumbuh dan mencerminkan
pengembangan sekaligus penataan terhadap tata kelola yang dibutuhkan.

5.2. Kerangka Hukum dan Regulasi


Hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi LSM (2021), menguji persepsi terkait level
peraturan yang dipandang paling dianggap tepat guna memayungi pendanaan
pemerintah bagi LSM.42 Dari hasil survei tersebut ditemukan preferensi bahwa Undang–
undang diindahkan sebagai aturan paling strategis karena lebih kuat mengikat dan tidak
bergantung kepada pergantian rezim pemerintahan selain tentu saja menjadi rujukan bagi
berbagai level pemerintahan dari nasional hingga kabupaten/ kota. Meski begitu, penyusunan
dan pengesahan Undang–undang memerlukan waktu lama serta mensyaratkan kemauan politik
yang tinggi tidak saja dari pemerintah akan tetapi juga dari kalangan parlemen.

Peraturan Presiden diperhitungkan dapat lebih tanggap dan akomodatif dalam


merespons situasi mendesak. Walaupun tidak sekuat Undang–undang, penyusunan
Peraturan Presiden relatif lebih cepat dan tak kalah strategis meski tidak senantiasa mampu
menjamin keberlanjutannya dalam melewati masa pergantian administrasi pemerintahan.
Adapun, Peraturan Pemerintah dianggap lebih rumit menimbang belum adanya aturan yang
lebih tinggi sebagai rujukannya mengingat Peraturan Pemerintah bersifat operasional.

Sedangkan Peraturan Menteri dipandang dapat mengakomodasi pengaturan yang lebih


rinci tentang tata cara, persyaratan hingga pengawasan dalam lingkup penandaan LSM.
Selain itu, Peraturan Menteri juga mampu lebih aplikatif karena berisi petunjuk implementasi
yang praktis ketimbang berbagai peraturan di atasnya.

Grafik 11. Pilihan Peraturan Perundangan Pendanaan LSM

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

5.3. Pembangunan Kapasitas


Pembangunan kapasitas menjadi perhatian banyak LSM dalam upaya pembentukan
badan yang akan dibentuk untuk mengelola pendanaan LSM Indonesia. Saat ini,
pengembangan kapasitas dari Pemerintah nyaris tidak tersedia di mana LSM membiayainya
secara mandiri atau melalui kerja sama dengan pihak lain. Badan yang akan dibentuk
karenanya perlu menempatkan pilar pembangunan kapasitas sebagai pilar prioritas termasuk

42 Survei dilaksanakan pada pertengahan Juli hingga akhir Oktober, 2021 dengan menggunakan metode mixed

methods dan teknik purposive sampling terhadap 100 pimpinan LSM di seluruh Indonesia. Lihat Laporan Final
Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia, 2021.

54
pengembangan kapasitas kelembagaan badan itu sendiri (internal) dalam memahami isu–isu
yang perlu ditangani dengan sumber daya manusia yang profesional dan handal. Karenanya,
pembentukan badan perlu memetakan kewenangan, inventarisasi organisasi dan tata kerja,
hingga identifikasi dan kategorisasi dari visi, misi dan strategi yang ditetapkan.

Dalam RPJMN 2020–2024, salah satu arah pembangunan lima tahun ke depan berupaya
menuju terwujudnya konsolidasi demokrasi, supremasi hukum dan penegakan hak asasi
manusia. Upaya perwujudan konsolidasi demokrasi tersebut menghadapi beberapa isu
domestik yang perlu diantisipasi selama lima tahun mendatang, yaitu intoleransi, demokrasi
prosedural, kompleksitas pelayanan birokrasi dan penegakan hukum, perilaku koruptif, hingga
potensi ancaman keamanan dan kedaulatan negara. Dalam kaitan tersebut, rencana
pembangunan telah menetapkan Agenda Ketujuh “Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan
Transformasi Pelayanan Publik”, yang menegaskan bahwa Negara wajib hadir dalam melayani
dan melindungi segenap bangsa, serta menegakkan kedaulatan negara salah satunya melalui
penguatan kesetaraan dan kebebasan, serta penataan kapasitas lembaga demokrasi.
Salah satu arah kebijakan pembangunan konsolidasi demokrasi tersebut adalah
penguatan kesetaraan dan kebebasan yang dilaksanakan di antaranya melalui
peningkatan kualitas dan kapasitas organisasi masyarakat sipil.43 Hal ini menunjukkan
urgensi pembentukan badan juga perlu memastikan peningkatan kapasitas dan kapabilitasnya.

Selain itu, hasil survei yang dilaksanakan oleh Koalisi LSM (2021) turut menekankan
kolaborasi antar LSM terutama dalam pengembangan kapasitas, pertukaran
pengetahuan dan keahlian. LSM skala besar diharapkan ikut membantu pengembangan
kelembagaan LSM skala kecil agar dapat mengembangkan program, kegiatan hingga skala
dampak dengan sumber pembiayaan yang menyertainya. Kerja sama antar LSM akan
memberikan pengayaan satu sama lain dan dapat meningkatkan keberlanjutan terutama bagi
LSM skala kecil.

Pendanaan bagi LSM diharapkan mengalokasikan pendanaan bagi pengembangan


kapasitas terkait perancangan, pelaksanaan hingga pemantauan dan evaluasi. Pendanaan
tersebut hendaknya mengafirmasi pula kapasitas serta program masing–masing LSM.
Afirmasi dibutuhkan terutama bagi organisasi yang sedang bertumbuh dalam bentuk fasilitas
pembangunan kapasitas. Dalam kaitan tersebut, survei juga menemukan lima tema utama
untuk lima tahun ke depan yang menjadi perhatian, yaitu perempuan, tata kelola pemerintahan
yang terbuka, lingkungan dan energi, kelompok rentan serta pemberdayaan masyarakat.

Meski begitu, dalam hal penentuan tema program, hasil survei juga menunjukkan bahwa
LSM Indonesia cukup lentur dalam melakukan penyesuaian. Pada satu sisi, LSM
mempertahankan konsistensinya terhadap nilai dan isu yang diperjuangkan sebagaimana visi
dan misi lembaga, namun di sisi yang lain mereka juga dituntut untuk memastikan
keberlanjutan organisasinya. Kelenturan ini dipahami sebagai kontekstualisasi terhadap tema
dan pendanaan sepanjang tema program tersebut tentu saja masih dapat diintegrasikan dengan
prioritas yang telah ditetapkan sebelumnya oleh lembaga.

43 Lihat RPJMN 2020–2024, Bappenas; hlm. 270.

55
Grafik 12. Program Utama LSM dalam 5 Tahun Mendatang (kiri) dan Sikap terhadap penyesuaian tema
(kanan)

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

Bidang Keahlian Kompetensi yang dibutuhkan


a) Penyusunan Rencana Strategis
Perencanaan b) Appraisal of Demand Proposals
dan c) Program berbasis outcome
Pengembangan d) Perencanaan
e) Pengadaan barang dan jasa
f) Pengembangan aplikasi terpadu
g) Project/ proposal screening
h) Komunikasi publik (public relations)
a) Programing, budgeting dan policy making (APBN)
Penganggaran b) Project Cycle Management (PCM)
dan Pendanaan c) Manajemen aset
d) Pengetahuan dan kemampuan tentang investasi dan bond market
(obligasi)
e) Trust fund
f) Pooling fund
g) Endowment fund
h) Blended finance
i) Crowdfunding
j) Pengembangan pangkalan data akuntabilitas keuangan
a) Pemantauan, Evaluasi dan Pembelajaran (PEP)
Pemantauan, b) Manajemen organisasi
Evaluasi, c) Manajemen program
Pelaporan dan d) Sistem Manajemen Anti Penyuapan (ISO 37001)
Publikasi e) Penyusunan laporan
f) Komunikasi publik (public relations)
g) Desain dan artistik
h) Teknologi Informasi
i) Pengembangan data base kegiatan mitra penerima hibah

56
Kesekretariatan a) Kemampuan komunikasi dan keterampilan interpersonal
b) Kemampuan diplomasi dan negosiasi
c) Kemampuan berjaringan (networking)
d) Pengetahuan tentang mitra pembangunan dan sektor swasta
e) Pengetahuan tentang penyusunan MoU dan legal drafting kerja sama
(kontrak)
f) Administrasi pendokumentasian program
g) Penguasaan informasi dan teknologi
Tabel 12. Analisis Spesifikasi Kompetensi SDM untuk Mengisi Struktur Badan yang akan dibentuk

oleh Penulis.

Dengan memperhatikan isu–isu terkait sumber daya manusia yang menjadi penopang
dan pendukung pelaksanaan badan yang akan dibentuk nantinya, dapat dirumuskan
sejumlah rekomendasi untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) guna memperkuat
kapasitas kelembagaan.

1. Pengelolaan badan perlu ditangani oleh personil yang berdedikasi penuh waktu.
2. Struktur SDM akan dipengaruhi penentuan struktur badan. Namun demikian, secara
ideal proporsi antara ASN, LSM, praktisi dan tokoh/ ahli harus seimbang.
3. Peningkatan kapasitas baik secara kelembagaan maupun personel menjadi hal yang
krusial. Fokus peningkatan kapasitas dapat merujuk pada penugasan di masing–masing
unit atau divisi.
4. Penyusunan organisasi dan tata kerja dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi,
identifikasi dan kategorisasi dari visi, misi dan strategi yang telah ditetapkan.
5. Pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan secara terbuka dan kompetitif.
6. Desain kelembagaan akan mempengaruhi pola karier pejabat. Perlu dipertimbangkan
konsep penugasan khusus sebagai bagian dari pola karier yang jelas.

5.4. Model Kerja sama


Selain pemberian hibah (dalam bentuk uang tunai atau pembiayaan kegiatan) dan
penyediaan program pelatihan berdasarkan spesifikasi kebutuhan (afirmatif), bentuk
kerja sama yang potensial dikembangkan oleh badan yang akan dibentuk adalah penyediaan
tenaga ahli, bantuan peralatan, studi banding, seminar, lokakarya, siding dan forum dalam
memperkuat substansi penguatan masyarakat sipil kesetaraan dan kebebasan. Bentuk–bentuk
kerja sama lainnya juga dapat mencakup pengembangan fasilitas dan pengembangan riset guna
membantu memastikan setiap usulan program atau kegiatan yang terseleksi dengan baik dan
memiliki hasil yang layak untuk diaplikasikan serta dapat menjadi percontohan pendanaan
program di masa yang akan datang.

Saat ini, bentuk kerja sama pemberian hibah telah memiliki instrumen hukum seperti
Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial.
Ke depan, instrumen hukum tersebut dapat dipertimbangkan untuk diperkuat misalnya melalui
Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada LSM.

Pengembangan kemitraan dengan beragam pemangku kepentingan sangat penting


untuk memperluas sumber serta bentuk program pendanaan, di antaranya:

57
1. Mitra pemerintah daerah sangat penting karena mereka turut menjadi penerima manfaat
akhir serta memiliki potensi yang besar untuk mengambil peran pembangunan
masyarakat sipil di daerah mereka.
2. Mitra swasta seperti sektor bisnis dan yayasan filantropi swasta sangat strategis
terhadap perluasan skala pendanaan, termasuk mekanisme pasar melalui obligasi sosial.
Sebagaimana pemerintah daerah, mitra swasta sejatinya merupakan penerima manfaat
akhir dari pembangunan kapasitas masyarakat sipil dan peningkatan kualitas
demokrasi.
3. Mitra pembangunan bilateral dan internasional sangat penting untuk senantiasa
dipertahankan komitmennya baik dari sisi pembiayaan program dan kegiatan maupun
keahlian yang dimiliki.
4. Mitra universitas dan lembaga–lembaga kajian bersifat strategis untuk mendukung
pengembangan kapasitas, termasuk balai penelitian dan pelatihan.

Model kerja sama dengan yang efektif dengan mitra pemerintah daerah dalam
pendanaan dan pelaksanaan program tertentu dapat berasal atau dikembangkan oleh
Pemerintah Daerah. Mekanisme pengadaan barang dan jasa melalui tipe swakelola 3 di
daerah misalnya dapat memperkuat upaya perluasan pendanaan LSM. Untuk itu diperlukan
sinergi kebijakan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar pelaksanaan program dapat
melibatkan Pemerintah Daerah secara lebih terlembaga dan terarah. Pemerintah perlu
memfasilitasi dan mensinergikan kebijakan dengan sektor strategis lainnya di tingkat
pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan program yang didanai turut memberikan dampak
terhadap perkembangan kualitas demokrasi di tingkat daerah.

Guna meningkatkan keterlibatan pihak swasta dalam program dan pendanaan,


Pemerintah perlu memberikan insentif bagi sektor bisnis agar mulai aktif terlibat.
Pemerintah perlu menyediakan kerangka hukum tentang mekanisme dan prosedur, hingga
rencana strategis dalam pelaksanaan program yang dapat mengakomodasi peran sektor swasta.
Selain dapat memelihara kesinambungan pendanaan yang melibatkan peran swasta,
Pemerintah juga perlu mengidentifikasi masalah–masalah yang dihadapi oleh pihak swasta
dalam kerjasama pendanaan, seperti masalah masih minimnya fasilitas perpajakan, perbankan,
hingga sistem informasi yang berlaku.

Bagi LSM Indonesia sendiri, model kerja sama diharapkan juga menjangkau
pembangunan jaringan antar organisasi agar dapat menjangkau organisasi–organisasi kecil
di berbagai daerah dan mendorong pemanfaatan pendanaan yang lebih optimal. Terkait hal
tersebut, prosedur dan mekanisme seleksi merupakan aspek yang paling perlu mendapatkan
pertimbangan yaitu terkait tim seleksi dan proses seleksi. Diharapkan prosedur dan mekanisme
seleksi dapat bersifat terbuka dengan panel ahli dan tim seleksi yang objektif atau independen
serta mewakili berbagai unsur pemerintah, tokoh/ ahli, sektor swasta dan terutama unsur LSM
independen. Keseluruhan lingkup proses seleksi juga diharapkan akuntabel dan mudah diakses
oleh LSM terutama dari daerah.

Aspek kedua yang juga prioritas untuk dipertimbangkan dalam seleksi adalah aspek
kriteria dan program. Pelaksanaan seleksi harus mengatur kriteria organisasi sekurangnya
mencakup; profil, kelengkapan atau kestabilan organisasi, legalitas organisasi, rekam jejak
usulan, kategori atau bidang kerja, hingga kesesuaian bidang dan wilayah. Pengaturan tersebut
diharapkan bersifat inklusif serta memberikan ruang bagi organisasi–organisasi yang

58
cenderung memiliki akses yang lebih rendah, untuk menghindari kecenderungan monopoli.
Pengaturan tersebut juga harus membatasi sasaran program, dan memberikan kriteria terkait
program sehingga peran Pemerintah, Pemerintah Daerah dan LSM baik di tingkat nasional
maupun daerah dapat lebih gamblang.

Aspek ketiga adalah aspek sumber dana dan tata kelola. Perlu ada kejelasan asal sumber
pendanaan yang akan diterima oleh LSM baik dari APBN/D, mitra pembangunan hingga
sumber–sumber pendanaan lainnya. Pada aspek tata kelola, penekanan paling penting adalah
terkait keterbukaan, akuntabilitas, proses kontrol dalam pengelolaan dana dan standar
pengelolaan dana. Aspek keempat dan kelima yang menjadi perhatian LSM adalah
pemantauan dan evaluasi terhadap kerja sama. Mekanisme pemantauan dan penilaian
diharapkan dapat turut melibatkan audit publik.

Tabel 13. Prosedur Ideal Proses Seleksi untuk Dukungan Pendanaan

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

Selain berbagai bentuk dan aspek kerja sama yang telah dijabarkan tersebut, hasil survei
Koalisi LSM (2021) juga menemukan pendapat LSM terkait periode dukungan program
dan pendanaan yang dibutuhkan. Lebih dari setengah LSM Indonesia menginginkan agar
periode pendanaan dapat menjangkau lebih dari 24 bulan. Beberapa bahkan menghendaki
waktu pendanaan berjalan dalam periode 36 bulan. Kecenderungan ini menunjukkan harapan
agar dukungan program dan pendanaan dapat bersifat terarah, jangka panjang, dan lebih
berkelanjutan.

Grafik 13. Aspek Pertimbangan dalam Kerja sama (kiri) dan Periode Program serta Pendanaan (kanan)

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

59
Temuan lainnya yang tidak kalah penting dari survei Koalisi LSM (2021) adalah
komposisi komponen pendanaan yang diharapkan dapat mencakup pembiayaan operasional
organisasi, program atau kegiatan, penguatan kapasitas serta keberlanjutan. Sebagaimana
dukungan pendanaan konvensional yang bersumber dari mitra pembangunan atau bahkan
pemerintah cenderung hanya menyantuni pembiayaan program atau kegiatan. Karenanya,
terdapat tegangan antara kebutuhan dana program dengan dana organisasi guna menjaga
kesinambungan. Pendanaan pemerintah diharapkan dapat memayungi keduanya, sehingga
LSM tidak lagi terpecah konsentrasinya pada aspek–aspek tertentu saja.

Berdasarkan hasil survei ditemukan alokasi paling besar ada pada pembiayaan program
atau kegiatan. Sementara itu, biaya operasional memiliki persentase yang seperempat dari
keseluruhan pendanaan yang akan diterima atau sama halnya dengan biaya lainnya terkait
penguatan kapasitas maupun biaya untuk keberlanjutan organisasi.

Grafik 14. Komposisi Komponen Pendanaan

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia.

5.5. Model Pembiayaan


Pada pembahasan bab sebelumnya (lihat Bab. 2), sumber pendanaan LSM Indonesia
masih sangat bergantung kepada pendanaan dari hibah internasional dan kemudian
diikuti oleh pendapatan dari kegiatan, hadiah atau sumbangan, bantuan atau hibah dari
Pemerintah termasuk pemerintah daerah, serta iuran anggota dan kontribusi barang atau jasa.

Berdasarkan dua opsi pengelolaan dana LSM yaitu berupa dana abadi (endowment fund)
dan dana amanah (trust fund), survei Koalisi LSM (2021) menunjukkan preferensi
mendua, sebagaimana ditunjukkan oleh keinginan agar pendanaan LSM dapat berlaku segera
dan bersifat likuid yang merupakan karakter dari dana amanah sekaligus menghendaki garansi
keamanan dan pembagian risiko untuk menjamin keberlanjutan sebagaimana ciri pendanaan
yang bersumber dari dana abadi.

60
Grafik 15. Opsi Sumber Pembiayaan

Laporan Final Kelompok Kerja 4 untuk Perumusan Perpres.

Walaupun begitu, hasil survei menyediakan gambaran terhadap model pembiayaan


yang diharapkan oleh LSM Indonesia, yakni secara berturut–turut mencerminkan prioritas
urgensi, likuid, membawa kepastian keamanan pendanaan dalam jangka panjang, serta
memiliki komponen berbagi risiko. Sebagaimana pembahasan pada model kerja sama
sebelumnya, LSM Indonesia juga menginginkan model pembiayaan tersebut dilengkapi
dengan tata kelola yang memberikan keterbukaan informasi atas sumber pendanaan,
mekanisme akuntabilitas, proses kontrol serta standar pengelolaan dana.

Kelembagaan Keunggulan Tantangan

BLU 1. Dana APBN sebagai dana abadi, sehingga 1. Mekanisme koordinasi dari
lebih fleksibel dari sisi pemanfaatan sisi kebijakan program dan
anggaran dan waktu pelaksanaan (multi administrasi dengan
tahun anggaran atau mekanisme Kementerian/ Lembaga terkait
perencanaan dan penganggaran organik (Kemendagri, Kemenkumham,
Kementerian/ Lembaga) Kemen PPN/ Bappenas)
2. Dapat menerima sumber pendanaan lain di 2. Memerlukan arahan
luar APBN pertimbangan kebijakan yang
bersifat strategis
3. Dapat dikembangkan untuk memupuk dana
dalam bentuk investasi atau obligasi 3. Tidak dapat berkoordinasi
secara sejajar dengan
4. Dapat disinergikan dengan pelaksanaan
Kementerian/ Lembaga
pemberian hibah yang dilakukan melalui
(bersifat koordinasi teknis)
DIPA BUN, karena secara administratif
berada di bawah Kemenkeu
Tabel 14. Keunggulan dan Tantangan Model Pembiayaan oleh BLU

oleh Penulis.

Hasil survei Koalisi LSM (2021) juga menekankan pentingnya skema prioritas
pendanaan (afirmasi) bagi LSM–LSM kecil yang sedang bertumbuh terutama di
berbagai daerah yang banyak bekerja di isu–isu kelompok minoritas namun belum memiliki
legalitas dari Pemerintah. Terkait afirmasi tersebut, LSM–LSM tersebut diharapkan
mendapatkan pendampingan tidak saja terhadap kapasitas kelembagaan serta keahlian, akan

61
tetapi juga terkait penguatan aspek legalitas terutama menyangkut akuntabilitas pelaporan
sesuai standar pelaporan keuangan pemerintah atau badan yang akan dibentuk nantinya.

Dalam kaitan tersebut, model pembiayaan diharapkan dapat mempertimbangkan skema


pengelompokan berdasarkan kriteria volume atau skala hibah seperti hibah kecil,
menengah hingga besar. Pengelompokan volume hibah ini diharapkan dapat memperluas
kesempatan bagi LSM–LSM kecil untuk mendapatkan pendanaan yang dibutuhkan bagi
peningkatan kapasitas baik dalam lingkup program maupun kelembagaan. Mekanisme seleksi
terhadap usulan program atau kegiatan turut diharapkan bersifat terbuka, independen dan
disertai informasi yang jelas terkait kriteria organisasi secara rinci, guna menghindari
munculnya konflik kepentingan.

Berdasarkan pembahasan dan usulan–usulan yang telah disampaikan melalui survei,


dapat disusun rekomendasi model pembiayaan program dan kegiatan–kegiatan BLU
sebagai berikut.

1. Untuk mendukung pengelolaan pendanaan LSM yang transparan, akuntabel dan efektif
dari sisi pembiayaan, perlu dilakukan sentralisasi anggaran melalui Badan Layanan Umum.
2. BLU akan berkoordinasi dengan Kementerian/ Lembaga dan Koalisi LSM Indonesia dalam
melaksanakan perencanaan, penetapan dan pengalokasian anggaran. Koordinasi ini
didasarkan pada arahan dari Tim Pengarah.
3. Terkait pembentukan BLU:
a. Pengelolaan anggaran dan dana sepenuhnya akan dikelola oleh badan yang akan
dibentuk yang menerapkan pola kelembagaan Badan Layanan Umum.
b. BLU akan dibentuk dengan dasar Perpres yang diharapkan dapat diundangkan pada
akhir tahun 2021.
c. Penyertaan dana abadi bagi BLU mempertimbangkan kondisi kemampuan
keuangan negara dan setidaknya sama dengan atau lebih tinggi dari penyertaan
modal awal yang diberikan oleh APBN kepada Lembaga Dana Kerja sama
Internasional/ LDKPI (IndonesianAID).
d. Perlu disusun mekanisme yang jelas tentang evaluasi dan pelaporan penggunaan
anggaran sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas anggaran BLU.
4. Setiap pengusulan anggaran perlu mendefinisikan keluaran masing–masing kegiatan yang
diturunkan dari fungsi yang jelas dan terukur serta menunjukkan peningkatan setiap tahun,
sebagai rasionalisasi peningkatan anggaran di tahun–tahun selanjutnya.
5. Perlunya regulasi mengenai mekanisme evaluasi sebagai bagian dari transparansi dan
akuntabilitas anggaran BLU.
6. Dibutuhkan mekanisme yang jelas dan lebih rinci mengenai kewenangan BLU untuk
membangun hubungan kerja sama dengan mitra pembangunan, termasuk standar biaya,
komponen, pengadaan, serta prosedur dan standar pelaporan pembiayaannya.
7. Mekanisme dan pengaturan teknis operasional lainnya akan disusun dalam Susunan
Organisasi dan Tata Kerja BLU.

62
Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
6.1. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan berbagai kajian yang dilakukan oleh Koalisi LSM, dapat dirumuskan
kesimpulan sebagai berikut:

▪ Sebagai bagian dari masyarakat, LSM Indonesia telah menyumbang banyak peran
sepanjang pembangunan kebangsaan. Selain melakukan pemberdayaan, pendampingan
hingga inovasi yang menginspirasi perubahan kebijakan, LSM juga telah nyata berperan
sebagai kekuatan penyeimbang. Dalam konteks pembangunan konsolidasi demokrasi,
peranan LSM setara dengan partai–partai politik. Hingga hari ini, peran pemberdayaan
masyarakat dan mitra pemerintah dalam melakukan pengawasan tersebut masih senantiasa
tinggi.

▪ Peranan LSM diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai program selama lima tahun
terakhir. Program utama yang paling banyak dilakukan adalah terkait isu–isu
perlindungan dan pemberdayaan perempuan, diikuti oleh perbaikan tata kelola
pemerintahan, pendampingan kelompok rentan, pelestarian lingkungan dan energi serta
berbagai riset atau kajian.

▪ Salah satu tantangan yang dihadapi oleh LSM agar dapat terus berkiprah mengawal
proses demokratisasi dan pembangunan Indonesia dalam berbagai isu terkait dengan
kapasitas organisasinya. Indeks Keberlanjutan LSM tahun 2019 menunjukkan terjadinya
penurunan kapasitas organisasi LSM bila dibandingkan dengan tahun–tahun sebelumnya
(USAID, 2020). Keterbatasan pendanaan telah membuat masalah serius manajemen
sumber daya manusia di berbagai organisasi LSM Indonesia.

▪ Dalam menjalankan berbagai programnya, mayoritas LSM Indonesia sejatinya telah


bekerja sama dengan pemerintah, meski masih minim mendapatkan alokasi dana
dari pemerintah dan volumenya pun belum signifikan terhadap pembiayaan program
apalagi keberlanjutan organisasi. Hasil survei Koalisi LSM (2021) menunjukkan hibah
atau bantuan pendanaan dari pemerintah itu baru hanya berkontribusi sebesar 25 persen
terhadap kebutuhan pembiayaan program.

▪ Sumber pendanaan LSM Indonesia dalam lima tahun terakhir karenanya masih
sangat mengandalkan hibah bantuan pembangunan internasional. Mayoritas LSM
mendapatkan dana dari hibah bantuan pembangunan untuk membiayai berbagai program
mereka. Kontribusi hibah internasional melebihi setengah dari seluruh pendanaan
organisasi. Sisanya bersumber dari berbagai pelaksanaan kegiatan serta sumbangan.
Ketergantungan kepada hibah internasional menjadi tantangan bagi keberlanjutan LSM di
Indonesia, seiring penurunan volume bantuan pembangunan dan cara kerja mitra–mitra
pembangunan yang lebih mengandalkan kontraktor–kontraktor swasta internasional.

▪ Pandemi global menambah tekanan pendanaan bagi LSM Indonesia. Lebih dari
separuh LSM di Indonesia terkena dampak negatif keuangan dan sebagian masuk ke
dalam fase kritis (INFID, 2020). Hasil survei terakhir yang dilakukan baru–baru ini
menunjukkan situasi tersebut tidak banyak mengalami perubahan (Koalisi LSM, 2021).
Penurunan pendanaan akibat pandemi telah menekan biaya operasional program dan
overhead lembaga untuk dapat terus melanjutkan peran mereka memberdayakan
masyarakat dan menjadi mitra pemerintah.

63
▪ Sementara itu, seiring dengan perubahan status ekonomi Indonesia sebagai negara
berpendapatan menengah, sejak 2019 Indonesia secara resmi telah meluncurkan
IndonesianAID sebagai badan pembangunan internasional milik Indonesia yang
bertujuan membantu negara–negara dan LSM Asing melalui berbagai skema kerja sama
internasional. Sebagai agensi bantuan pembangunan milik Indonesia, IndonesianAID
menjadi sarana Pemerintah untuk memberikan hibah dalam rangka merespons komitmen
maupun kebijakan luar negeri Indonesia. Idealnya, LSM di Indonesia turut mendapatkan
perhatian yang sama sebagaimana perhatian Pemerintah kepada negara asing dan LSM
Asing melalui penyaluran bantuan lewat IndonesianAID. Meski memberikan hibah kepada
negara atau lembaga asing, dana IndonesianAID belum dapat diakses oleh LSM Indonesia.

▪ Sepanjang kurun waktu satu dekade terakhir, Pemerintah sejatinya telah mulai
membuka ruang terhadap peluang pendanaan bagi LSM seperti melalui Dana Bantuan
Hukum, Dana Perwalian, hingga pengadaan barang dan jasa melalui tipe Swakelola III.
Namun, ragam kebijakan tersebut tidak ditujukan untuk membangun ekosistem pendanaan
bagi keberlanjutan LSM akan tetapi untuk alasan–alasan yang lain, seperti kewajiban
Negara untuk melindungi warga miskin, menyediakan pendidikan bermutu, melestarikan
lingkungan hidup, hingga semata kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
LSM sejatinya diperhitungkan sebagai aktor non negara yang berperan penting dalam
penyusunan kebijakan, implementasi hingga pengawasan dan evaluasinya.

▪ Sementara itu, skema pendanaan alternatif sesungguhnya dapat menjadi peluang


bagi pendanaan LSM, namun penuh dengan tantangan dalam implementasinya,
mulai dari kapasitas sumber daya internal organisasi yang masih kurang, informasi
mengenai peluang pendanaan yang terbatas, hambatan birokrasi serta administrasi dalam
akses pendanaan.

▪ Sejak awal administrasi Pemerintahan Presiden Joko Widodo, LSM Indonesia juga
telah memikirkan perlunya ekosistem kebijakan dan pendanaan yang mendukung
LSM di Indonesia. Pemahaman ini mencakup; (a) pengadaan barang/ jasa melalui LSM,
artinya LSM mendapatkan dana hibah dari pemerintah untuk melakukan pengadaan
barang/ jasa bagi publik serta mendapatkan manfaat dari setiap proses pengadaan tersebut;
dan (b) pengadaan barang/ jasa publik bersama antara Pemerintah dengan LSM
sebagaimana praktik dan pengalaman di berbagai negara maju yang telah berjalan saat ini.

▪ Pembentukan Badan Pendanaan LSM Indonesia memiliki urgensi untuk:


1) Mengarahkan kegiatan peningkatan kualitas dan kapasitas LSM dalam suatu
kebijakan kelembagaan dan pendanaan yang lebih sistematis, selaras, terpadu dan
berkelanjutan sehingga kualitas dan kapasitas LSM Indonesia benar–benar dapat
meningkat dan optimal;
2) Mempercepat pemulihan rakyat paska–pandemi dengan lebih berkelanjutan,
inklusif, dan memihak warga;
3) Mewujudkan komitmen Pemimpin Nasional dalam memperkuat konsolidasi
demokrasi melalui Nawacita, RPJMN 2020–2024, RPJPN 2005–2025, dan Visi
Indonesia Emas 2045;
4) Mewujudkan komitmen Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah dalam
berbagai forum global seperti OECD, PBB, dan G20.

64
6.2. Rekomendasi
Dari hasil pemaparan berbagai kajian yang dilakukan oleh Koalisi LSM, dapat dirumuskan
usulan–usulan sebagai berikut:

▪ LSM Indonesia memerlukan kelembagaan pendanaan yang dapat mengelola sumber


pendanaan yang cukup, memungkinkan pendanaan multi tahun atau terus menerus
guna memastikan keberkelanjutannya. Selain fungsi utama mengelola pendanaan yang
dibutuhkan bagi pembiayaan LSM di Indonesia, kelembagaan yang akan dibentuk juga
diharapkan dapat menjalankan fungsi operasi manajemen perencanaan program dan
penganggaran, monitoring dan evaluasi, ditambah fungsi–fungsi pendukung (fasilitasi)
seperti manajemen organisasi dan administrasi, informasi dan teknologi, kesekretariatan
umum, hukum, dan pusat data hingga pengembangan kapasitas melalui berbagai balai
penelitian, universitas dan sektor swasta.

▪ Kelembagaan yang akan dibentuk juga diharapkan memiliki fleksibilitas tidak saja
terhadap pembiayaan APBN akan tetapi juga dapat menampung dana lain di luar
APBN tanpa terikat tahun anggaran, seperti dana amanah atau dana abadi dari mitra
pembangunan, sektor swasta maupun derma individu dan masyarakat, hingga sumber
pendanaan yang tersedia di mekanisme pasar, menerima pendapatan dan bekerja sama
dengan pihak lain termasuk pihak swasta serta sebagai lembaga penjual obligasi di masa
mendatang.

▪ Dari berbagai kajian kelembagaan, model bentuk lembaga yang ideal mendekati
Badan Layanan Umum di mana badan atau lembaga yang akan dibentuk dapat merancang
sendiri program dan pendanaan multi tahun, memiliki fleksibilitas program dan
pelaksanaan, serta memungkinkan menerima pemasukan pendanaan dari berbagai pihak
luar. Sekurangnya, badan yang akan dibentuk memiliki tiga direktorat, yaitu; (i)
penyaluran dana dan investasi; (ii) keuangan dan umum; serta (iii) pengembangan kapasitas
dan fasilitasi, serta dilengkapi dengan satuan pemeriksa intern.

▪ Pendanaan bagi LSM diharapkan mengalokasikan pendanaan bagi pengembangan


kapasitas terkait perancangan, pelaksanaan hingga pemantauan dan evaluasi.
Pendanaan tersebut hendaknya mengafirmasi pula kapasitas serta program masing–masing
LSM. Afirmasi dibutuhkan terutama bagi organisasi yang sedang bertumbuh dalam bentuk
fasilitas pembangunan kapasitas.

▪ Pengelolaan badan perlu ditangani oleh personil yang berdedikasi penuh waktu dan
diisi oleh sumber daya manusia yang secara proporsional mewakili unsur pemangku
kepentingan terkait, yaitu unsur ASN, LSM, praktisi dan tokoh/ ahli. Pengisian jabatan
pimpinan tinggi dilakukan secara terbuka dan kompetitif.

▪ Selain pemberian hibah dan penyediaan program pelatihan berdasarkan spesifikasi


kebutuhan, badan yang akan dibentuk juga diharapkan dapat melaksanakan
berbagai bentuk kerja sama lainnya seperti pengembangan fasilitas dan pengembangan
riset hingga kemitraan dengan para pemangku kepentingan seperti Pemerintah Daerah,
sektor bisnis dan yayasan filantropi swasta, mitra pembangunan bilateral dan internasional,
hingga universitas dan lembaga–lembaga kajian guna tujuan–tujuan pembiayaan program
dan kegiatan, perluasan skala pendanaan maupun pertukaran keahlian yang dimiliki.

65
▪ Model pembiayaan diharapkan mencerminkan prioritas urgensi, likuid, membawa
kepastian keamanan pendanaan dalam jangka panjang, serta memiliki komponen
berbagi risiko. Model pembiayaan tersebut juga mesti dilengkapi dengan tata kelola yang
memberikan keterbukaan informasi atas sumber pendanaan, mekanisme akuntabilitas,
proses kontrol serta standar pengelolaan dana.

6.3. Periode Transisi Menuju Badan Pengelola


Dalam konteks transisi, terdapat tiga usulan tahapan proses yang dapat dipertimbangkan hingga
terbentuk dan berfungsinya Badan Layanan Umum yang terintegrasi:

1. Pada tahap pertama masa transisi (tahun 2021) atau periode jangka pendek dapat
dipertimbangkan pembentukan kanal pendanaan dari mitra pembangunan yang ada
dan tengah beroperasi di Indonesia saat ini terhadap komitmen untuk ketahanan LSM
Indonesia, terutama di masa pandemi Covid–19. Dana gabungan ini dapat dikelola secara
kolaboratif oleh konsorsium LSM Indonesia, maupun melalui perantara kementerian/
lembaga yang memiliki komitmen, tugas, fungsi dan wewenang dalam memobilisasi
sumber daya untuk pemberdayaan LSM di Indonesia.

2. Pada tahap kedua (tahun 2022 hingga terbentuknya Badan Layanan Umum) atau
periode jangka menengah, kelembagaan konsorsium LSM Indonesia atau
Kementerian/ Lembaga terkait dapat dipertimbangkan menjalankan fungsinya
hingga terbentuk Badan Layanan Umum di dalam lingkungan struktur Kemenkeu.
Anggaran kegiatan diajukan oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara
(BUN) dan bertanggung–jawab dalam pengelolaan anggaran tersebut, serta penggunaan
dan pertanggung–jawaban keuangan untuk kegiatan di tahun 2022. Penyertaan dana abadi
dapat bersumber dari mitra pembangunan yang memiliki komitmen dan perhatian bagi
keberlanjutan LSM Indonesia.

3. Setelah Badan Layanan Umum terbentuk (2023–seterusnya), dapat dipertimbangkan


untuk memperluas penyertaan dana abadi yang bersumber dari APBN dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, Donasi Publik dan filantropi swasta
serta sumber–sumber lain yang sah termasuk melalui penerapan alokasi penerimaan negara
(revenue tagging) pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga penjualan obligasi sosial.

Tahap I Tahap II Jangka Panjang


Fokus • Fleksibel dan • Mengurangi • Perluasan, alternatif,
pendanaan antisipatif keterikatan, pemupukan dan
meningkatkan investasi
keleluasaan, inklusif,
kolaboratif, dana
pemerintah dan
publik
Mekanisme • Dana Gabungan • Dana Amanah disertai • Dana Abadi APBN dan
pendanaan (pooling fund) Multi– Dana Abadi APBN, Donasi Publik serta
donor untuk dan Donasi Publik Obligasi Sosial
Ketahanan LSM
Aturan • N/A atau • Peraturan Presiden • Peraturan Menteri
kebijakan • Peraturan Menteri atau • Peraturan OJK
• Peraturan Menteri

66
Ketersediaan • Refocusing dana mitra • Penyertaan dana • Alokasi penyertaan
dana pembangunan yang abadi dari mitra–mitra dana awal dana abadi
tidak terserap karena pembangunan yang dalam APBN selama 3
pandemi (10–15 memiliki komitmen tahun minimal Rp 6
persen) • Donasi publik dan Triliun dimulai 2023
• Dana gabungan dari filantropi • Uji coba revenue
mitra pembangunan tagging pada Pajak
dan filantropi Pertambahan Nilai
internasional yang (PPN)
memiliki komitmen • Peluncuran obligasi
sosial dengan nilai
imbal hasil awal
setidaknya setara nilai
awal sukuk negara
tabungan (ST)
Model kerja • Dedicated • Call for Proposal • Call for Proposal
sama • Dikelola secara • Dikelola oleh BLU • Dikelola oleh BLU
kolaboratif oleh sebagai pengelola sebagai pengelola dana.
konsorsium LSM dana. Seleksi Seleksi dilakukan
Indonesia; atau dilakukan secara secara terbuka, inklusif
melalui perantara terbuka, inklusif dan dan akuntabel (bukan
kementerian/ lembaga akuntabel (bukan bersifat bantuan sosial
yang memiliki bersifat bantuan sosial atau hanya ditujukan
komitmen, tugas, atau hanya ditujukan bagi pembiayaan
fungsi dan wewenang bagi pembiayaan operasional LSM)
dalam memobilisasi operasional LSM)
sumber daya bagi
LSM di Indonesia
Akuntabilitas • Pelaporan • Pelaporan • Pelaporan dilaksanakan
dilaksanakan oleh dilaksanakan oleh oleh BLU dan diawasi
penerima dan diawasi BLU dan diawasi oleh oleh Dewan Pengawas
oleh konsorsium LSM Dewan Pengawas yang terdiri dari unsur
atau oleh yang terdiri dari unsur Pemerintah, perwakilan
kementerian/ lembaga Pemerintah, LSM, hingga sektor
terkait sesuai tugas, perwakilan LSM, swasta (tripartit)
fungsi dan hingga sektor swasta
wewenangnya (tripartit)
Tabel 15. Periode Transisi Menuju Badan Pengelola Pendanaan LSM Indonesia

oleh Penulis.

67
Daftar Referensi
Alawiyah, Tuti. Trends, Challenges and Strategies in Human Resource Management and Leadership
Regeneration: Findings from Mixed Methods Research on NGOs in Indonesia. Research
prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Cardno, 2015.
Anand, Prapti Upadhyay and Hayling, Crystal. Levers for Change: Philanthropy in Select South East
Asian Countries. Reports, Social Insight Research Series. Lien Centre for Social Innovation,
2014.
Antlov, Hans, et.all. NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a Newly
Democratizing Country dalam Jordan and Tuijl, NGO Accountability: Politics, Principles and
Innovations. London, Routledge, 2006.
Asfinawati, et.all. Perluasan Akses Keadilan Melalui Optimalisasi Layanan Bantuan Hukum yang
Berkualitas. Laporan Konferensi Nasional Bantuan Hukum I . Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), 2019.
Bahagijo, et.al., Laporan Kajian Trust Fund/ Dana Perwalian dan Pendanaan CSO untuk Demokrasi di
Indonesia, Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan, 2014.
Davis, Ben. Financial Sustainability and Funding Diversification: The Challenge for Indonesian NGOs.
Research prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Cardno, 2015.
Elnizar, Norman. Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019–
2021 dalam Hukumonline.com, 7 Januari, 2019.
Eldridge, Peter. Development democracy and non-government organizations in Indonesia dalam Asian
Journal of Political Science, 4: 1, 17 — 35, 1996.
Fakih, Mansour. NGOs in Indonesia: Issues in Hegemony and Social Change. Occasional Paper Series
on Non–Governmental Organizations. Center for International Education, University of
Massachusetts Amherst, 1991.
Harriss, J., Stokke, K. and Törnquist, O. (eds), Politicising Democracy: The New Local Politics of
Democratization. London, Palgrave, 2004.
Hayunta et.all. Menakar CSR: Memetakan Potensi Pendanaan dan Peluang Kolaborasi dengan LSM,
Kerja sama HIVOS, IBCSD dan Yayasan Penabulu. Jakarta: Jambatan Tiga, 2013.
Hoelman, Mickael B. Laporan Final, Dua Dekade Bantuan Pembangunan, Uni Eropa dan Penabulu,
September, 2021.
Hoelman, Mickael dan Bahagijo, Sugeng (Eds). Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran
Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia. Yayasan Tifa, 2012.
Humas, Setkab RI. Empat Pandangan Presiden Jokowi Terkait SDGs pada Forum Tingkat Tinggi Dewan
Ekonomi Sosial PBB. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 14 Juli, 2021.
Humas, Setkab RI. Presiden Jokowi Usulkan Tiga Upaya Bersama Percepat Pencapaian SDGs. Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia, 1 November, 2021.
Inchoon Kim dan Changsoon Hwang, Defining the Nonprofit Sector: South Korea, John Hopkins
University Institute for Policy Studies, 2002.
Kudlacova, South Korean Civil Society Organizations as Confidence–Builders? The Experience with South
Korean Civil Society Groupings in the Republic of Korea and the DPRK, Perspectives Vol. 22
No. 2, 2014.
Lassa, Jonatan and Elcid Li, Dominggus. NGO Networks and the Future of NGO Sustainability in
Indonesia. Research prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia.
Cardno, 2015.
Lounela, Anu. Take the Money or Die dalam Inside Indonesia 68: Oct – Dec 2001.
Lowe, David. Idea to Reality: NED at 30. History of NED. Diakses pada 21 Juli, 2021.
Lubis, Misran, et.all. Laporan Studi tentang Ragam dan Skema Pendanaan Organisasi Masyarakat Sipil
di Indonesia. Kelompok Kerja 3 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi LSM untuk Perumusan
Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on International
Development, November, 2021.
Maftuchan, Ah, et.all. Laporan Kajian Dana Perwalian dan Program Hibah bagi LSM di Indonesia:
Regulasi, Kelembagaan dan Tata Kelola. Kelompok Kerja 2 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi

68
LSM untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on
International Development, Oktober, 2021.
Nicaise, Guillaume. Covid–19 and donor financing. Minimising corruption risks while ensuring efficiency.
U4 Brief. Bergen: U4 Anti–Corruption Resource Centre, Chr. Michelsen Institute, 2020.
Pratikno dan Cornelis, Lay. From Populism to Democratic Polity: Problems and Challenges in Solo,
Indonesia dalam Törnquist, O dan Stokke, K, Democratization in the Global South: The
Importance of Transformative Politcs. Palgrave Macmillan, 2013.
Scanlon and Alawiyah. The NGO Sector in Indonesia: Context, Concepts and an Updated Profile.
Research prepared for the Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Cardno, 2015.
Suzetta, Paskah. Sambutan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
pada Seminar Demokrasi untuk Kemakmuran Rakyat, Jakarta 11 April, 2006. Bappenas,
2006.
Tim Penyusun Visi Indonesia 2045. Background Study, Visi Indonesia 2045 . Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, 2019.
Tommasoli, Massimo. Representative Democracy and Capacity Development for Responsible Politics.
Paper presented at the Sixth Global Forum on Reinventing Government, Seoul, Republic of
Korea 24-27 May 2005. International IDEA, 2005.
Utami, Budhis, et.all. Laporan Penelitian Tingkat Dukungan LSM terhadap Kemungkinan Pendanaan
Pemerintah untuk LSM di Indonesia. Kelompok Kerja 4 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi LSM
untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on
International Development, Oktober, 2021.
Widoyoko, Danang, et.all. Laporan Penelitian, Study Kualitatif : Trend, Peluang dan Tantangan
Pendanaan Civil Society di Indonesia. Kelompok Kerja 1 Perpres Pendanaan LSM, Koalisi LSM
untuk Perumusan Perpres Pendanaan LSM di Indonesia. International NGO Forum on
International Development, November 2021.
Yasin, Muhammad. Anggaran Bantuan Hukum Belum Sesuai Kebutuhan Riil dalam Hukumonline.com,
6 November, 2020.
________________. About National Endowment for Democracy. Diakses pada 21 Juli, 2021.
________________. Addis Ababa Action Agenda of the Third International Conference on Financing for
Development (Addis Ababa Action Agenda). United Nations, New York, 2015.
________________. Berita Resmi Statistik, 15 Februari 2021. BPS, 2021 .
________________. DAC Working Party on Development Finance Statistics: COVID-19 Survey – Main
Findings. OECD, 2020.
________________. Development: Aid to developing countries falls because of global recession . OECD,
4 April 2012.
________________. Executive Order 13224, Blocking Property and Prohibiting Transactions with
Persons Who Commit, Threaten to Commit or Support Terrorism, 66 FR 49079.
________________. Ford Foundation Announces Sale and Pricing of Landmark $1 Billion Social Bonds.
News. Ford Foundation, 23 June 2020.
________________. G20 Action Plan on the 2030 Agenda for Sustainable Development . G20 China
Presidency, 2016.
________________. Indeks Keberlanjutan OMS Tahun 2019 untuk Indonesia. USAID, FHI 360 and
ICNL, 2020.
________________. INFID dan Konsil LSM, Pembiayaan Negara bagi Organisasi Masyarakat Sipil di
Indonesia. Laporan Penelitian, 2016.
________________. Jakarta Commitment: Aid for Development Effectiveness Indonesia’s Road Map to
2014. Government of Indonesia and its Development Partners, January 12th, 2009.
________________. Kajian Akademik Pembentukan Single Agency Kerja Sama Selatan Selatan dan
Triangular Indonesia │ Tim Koordinasi Nasional Kerja Sama Selatan Selatan dan Triangular
didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, 2017.
________________. Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH–01.HN.03.03 Tahun 2017 tentang
Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi.
________________. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 18/KMK.05/2012 tentang Penetapan
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan pada Kementerian Keuangan sebagai Instansi
Pemerintah yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum.

69
________________. Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor Kep.59/M.PPN/HK/09/2010
tentang Perubahan atas Keputusan Menteri PPN Nomor Kep. 44/M.PPN/HK/09/2009 tentang
Pembentukan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
________________. Korea Development Cooperation Profiles. OECD, 2020.
________________. Laporan Survei Persepsi CSO atas Program Pemerintah dalam Penanganan Covid-
19. International NGO Forum on International Development, 2020.
________________. National Directory of Civil Society Resource Organizations: Indonesia. Series on
Foundation Building in Southeast Asia, 2002. The Synergos Institute, 2002.
________________. NED Grants in Action. Diakses pada 21 Juli, 2021.
________________. Pengembangan Riset Perlu Diberikan Insentif dalam Majalah CSR, 24 Mei 2017.
________________. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
________________. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian
________________. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa
Pemerintah.
________________. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan
Hidup.
________________. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2019 tentang Dana Abadi Pendidikan.
________________. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252/PMK.01/2011 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah pada Kementerian Negara/ Lembaga.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK.01/2016 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
________________. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.01/2019 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK.Ol/2019 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Dana Kerja sama Pembangunan Internasional.
________________. Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 182/PMK.05/2019 tentang Standar
Pelayanan Minimum Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/PMK.01/2020 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
________________. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 24 /PMK.01/2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137 /PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
________________. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun
2021 tentang Pedoman Swakelola.
________________. Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 14 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 123 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman

70
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
________________. Permendagri No. 99 Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
________________. Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan
Daerah.
________________. Permenhukham RI No. 63 Tahun 2016 Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana
Bantuan Hukum.
________________. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019.
________________. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024.
________________. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025.
Sinaga, Kastorius. Neither Merchant Nor Prince: A Study of NGOs in Indonesia. Sociological Bulletin
42 (1 & 2), March–September 1993.
________________. Sustainable Development Goals 2030. Goal 17: Revitalize the Global Partnership
for Sustainable Development. United Nations, New York, 2015.
________________. The Accra Agenda for Action, OECD, 2008.
________________. The Development Assistant Committee, Aid for Civil Society Organizations. OECD,
2021.
________________. The UK Government, The Compact: The Coalition Government and Civil Society
Organisations Working Effectively in Partnership for the Benefit of Communities and Citizens
in England, 2010.
________________. The US Department of State, 2021, Non–Governmental Organizations (NGOs) in
the United States.
________________. Undang–undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
________________. Undang–undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
________________. Undang–undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang–Undang
Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
2010.
________________. Undang–undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
________________. Undang–undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
________________. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang APBN 2022, Buku II.
________________. USAID Implementing Mechanism, USAID, 2008.
________________. Visi Misi Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin. Meneruskan Jalan
Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong Royong.

71

Anda mungkin juga menyukai