Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan jiwa ialah sindrom atau pola prilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik
cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distres) atau
Zendaya (impairment/dissability) di dalam satu stay lebih fungsi yang penting dari manusia.
Sebagai tambahan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dari segi prilaku, psikllogik, biologik,
dan gangguan itu tidak semata mata terletak dalam hubungan antara orang itu dengan
masyarakat. (Ppdgj III)

Psikosis adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh gangbuan menilai realitas. Psikosis
terdiri dari beragam jenis antara lain skizofrenka, skizoafektif, gangguan waham menetap,
bipolar dengan ciri psikotik. Psikotik akut sementara juga merupakan gangguan yang sama,
tetapi merupakan gangguan yang akut dan mempunyai prognosis lebih baik.

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan psikiatri yang berefek pada apa yang pasien
rasakan, cara pikir, dan persepsi pasien terhadap lingkungan (Frankenburg, 2014). Efek yang
ditimbulkan dari penyakit ini biasanya parah dan lama. Pasien dan keluarga pasien biasanya
mendapatkan perhatian yang kurang dan bahkan dikucilkan oleh masyarakat sekitar karena
kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit ini. Skizofrenia merupakan salah satu
penyakit mental yang seius yang paling banyak ditemukan. Terkadang penyakit ini disebut juga
sebagai suatu sindrom atau pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi
kelima (DSM-5) disebut dengan spektrum skizofrenia (Sadock et al., 2015). Menurut Katona et
al (2012) Skizofrenia menggambarkan mispresepsi pikiran dan presepsi yang timbul dari pikiran
atau imajinasi dari kenyataan, mencakup waham dan halusinasi.

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. Megawati
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 24 tahun
Alamat : Jl. Pasar Baru
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Wiraswasta (Gamers)
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Suku : Bugis
Tanggal Masuk : UGD (28 Maret 2022)
Tanggal Pemerikaan : RU. CEMPAKA (30 Maret 2022)
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari :
- Autoanamnesis: 30 Maret 2022
A. Keluhan Utama
Gelisah
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Nunukan dibawa keluarga dengan keluhan
gelisah, pasien juga sering berbicara sendiri mengenai segala hal yang sedang
terjadi dunia sosial media, pasien tidak tidur malam selama 2 hari, tidak mau
makan dan minum hanya sedikit selama 2 hari, dan berbicara kacau.
Menurut keluarga, pasien bicara ngawur dan tidak berhenti bicara, pasien
gelida, tidak tidur, tidak mau makan dan hanya sedikit minum kemudian
dimuntahkan. Pasien sudah mulai sakit sejak bulan lalu dan dibawa ke IGD
RSUD Nunukan dengan keluhan yang sama, tapi pasien menolak untuk dirawat
inap karena hasil swab antigen covid posistif. Dari bulan lalu hingga sekarang
pasien tidak ada kontol ke dokter jiwa dan tidak pernah meminum obat jiwa yg
diberikan di IGD bulan lalu, obat selalu dibuang. Kemudian penyakit pasien
kambuh lagi dibulan ini dan meresahkan keluarga.
Saat ini pasien bekerja sebagai youtubers game mobile legend. Pasien sdh
4 tahun lebih bekerja sebagai gamers dan mendapat penghasilan dari bermain
game online dan youtube. Tapi sejak tahun ini uang dari bermain game tidak
keluar. Sudah 4 tahun selama menjadi youtubers game, pasien tidak pernah keluar
rumah sama sekali. Sebelumnya makan, minum, dan mandi rutin.
Pada saat dilakukan anamnesis dengan pasien, pasien mengatakan bahwa
dia tidak tau kenapa dirinya dibawa ke rumah Sakit Karena dia tidak merasa sakit.
Pasien mengaku tidak bisa tidur dan makan karena merasa ada seseorang yang
ingin mencekiknya dan membawanya pergi ke Sulawesi. Pasien juga
mengeluhkan pikirannya yang terasa penuh sehingga pasien terus berbicara tanpa
henti.. Pasien mengatakan tidak melihat hal yang ghaib ataupun mendegar suara
bisiskan hanya saja pasien selalu merasa takut dan tidak mau menjelaskan siapa
yang membuatnya takut.
C. Riwayat Penyakit Sebelumnya
1. Riwayat Gangguan Psikiatrik
Ini merupakan kali kedua pasien dibawa ke IGD RSUD Nunukan dengan
keluhan tidak bisa tidur dan gelisah serta tidak berhenti bicara. Bulan pasien
datang ke IGD RSUD Nunukan dengan keluhan yang sama seerti sekarang,
tapi pasien menolak untuk dirawat inap karena hasil swab antigen covid
posistif. Dari bulan lalu hingga sekarang pasien tidak ada kontol ke dokter
jiwa dan tidak pernah meminum obat jiwa yg diberikan di IGD bulan lalu,
obat selalu dibuang. Kemudian penyaki pasien kambuh lagi dibulan ini dan
meresahkan keluarga.
2. Riwayat Penyakit Medis Umum
Riwayat trauma disangkal
Riwayat penyakit tidak ada
3. Riwayat Penggunaan Zat
Pasien dan keluarga mengatakan bahwa tidak ada menggunakan zat
D. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah minum obat yang diberikan sejak bulan lalu saat
masuk IGD RSUD Nunukan, pasien membuang obat yang diberikan.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
F. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir SMA
G. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien mengaku hubungan baik dengan orang lain, tapi semenjak 4 tahun
ini kecanduan game, pasien tidak pernah keluar rumah sama sekali. Terkadang
ada teman pasien datang kerumah bermain hanya sangat jarang.
H. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Prenatal
Normal
2. Riwayat masa bayi
Normal
3. Riwayat masa kanak kanak
Normal
4. Riwayat masa remaja
Normal
5. Masa dewasa
Pasien mulai kecanduan game dan kurang lebih sudah 4 tahun tidak keluar
rumah

III. PEMERIKSAAN
1. FISIK
a. Status Present:
o Penampakan umum : Baik
o Kesadaran : Compos mentis
o Tekanan Darah : 120/60 mmHg
o Frekuensi Nafas : 20x/menit
o Frekuensi Nadi : 110x/menit
o Temperatur : 36,8’C
o Berat Badan : 50 kg
o Tinggi Badan : 150 cm
b. Kepala
o Rambut : Hitam, tidak rontok
o Wajah : Simetris, oedema (-)
o Mata : Conjunctiva anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sekret (-/-)
o Telinga : Serumen (-/-)
o Hidung : Sekret (-/-)
o Mulut : Dalam batas normal
c. Leher : Dalam batas normal
d. Paru : Dalam batas normal
e. Jantung : Dalam batas normal
f. Abdomen : Bising Usus (+), Periut kembung, Nyeri Tekan (-)
g. Turgor kulit : Dalam batas normal, CRT <2detik
h. Ektremitas : Tidak ada tanda kekerasan dan perlukaan diri
i. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status neurologis

a. GCS : composmentis berubah


b. Tanda Rangsang Meningeal : (-)
c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial : Tidak dilakukan pemeriksaan
d. Mata : Pupil bulat, isokor(+), Ꝋ3mm/3mm
e. Motorik : Dalam batas normal
f. Sensibilitas : Dalam batas normal
g. Fungsi fungsi luhur : Dalam batas normal
h. Gangguan khusus : (-)

IV. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Perempuan, penampilan sesuai usia
2. Kebersihan : Baik
3. Kerapian : Baik
4. Kesadaran : Composmentis berubah
5. Prilaku dan psikomotor : Hiperaktif, flight of idea
6. Sikap terhadap pemeriksa : Tidak kooperatif, kertakutan

B. Keadaan Emosi
1. Afek : Luas
2. Mood : Labil
3. Emosi
o Arus : Baik
o Pengendalian : Baik
o Stabilitas : Stabil
o Dalam/Dangkal : Dangkal

C. Pembicaraan
o Arus pembicaraan : logore
o Penekanan pada pembicaraan : Spontan, pasien mau menceritakan keluhan
o Isi Pembicaraa : Tidak sesuai

D. Pikiran
1. Proses dan bentuk pikir
o INkoheren : (+)
o Neologisme : (-)

Sirkumstansialis : (-)

o Asosiasi Longgar : (-)


o Flight of Ideas : (+)
o Blocking : (-)
2. Isi pikir
o Cukup ide : (+)
o Kemiskinan ide : (-)
o Preokupasi : (-)
o Waham
1. Waham bizarre : (-)
2. Waham Somatic : (-)
3. Waham paranoid
 Waham persekutorik : (-)
 Waham kebesaran : (-)
 Waham kejar :(
 Waham referensi : (-)
4. Thought
 Thought withdrawal : (-)
 Thought insertion : (-)
 Thought broadcasting : (-)
 Thought echo : (+) pasien mengeluhkan isi
pikirannya yang terasa penuh dan berulang sehingga membuat dia
gelisah dan susah tidur
5. Delusion
 Delusion of control : (-)
 Delusion of influence : (-)
 Delusion of passivity : (-)
 Delusion of perception : (-)
E. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi
o Halusinasi auditorik : (-)
o Halusinasi visual : (-)
o Halusinasi taktil : (-)
o Halusinasi olfaktorik : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Fungsi Inteletual
1. Intelektual : Cukup
2. Daya Konsentrasi : Baik
3. Orientasi
o Diri : Baik
o Tempat : Baik
o Waktu : Baik
4. Daya ingat
o Seketika : Baik
o Jangka pendek : Baik
o Jangka panjang : Baik
5. Pikiran abstrak : Baik
6. Bakat kreatif : Baik
G. RTA
1. Norma sosial : Baik
2. Uji daya nilai : Baik
3. Penilaian realitas : RTA terganggu
H. Tilikan (Insight)
Pasien sadar sedang berada di Rumah sakit, psien sadar bahwa fikirannya terasa
penuh yang mebuatnya gelisah, tapi pasien tidak merasa dirinya ada sakit jiwa.
I. Judgement: Baik

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Nunukan dibawa keluarga dengan keluhan gelisah,
pasien juga sering berbicara sendiri mengenai segala hal yang sedang terjadi dunia
sosial media, pasien tidak tidur malam selama 2 hari, tidak mau makan dan minum
hanya sedikit selama 2 hari, dan berbicara kacau.
Menurut keluarga, pasien bicara ngawur dan tidak berhenti bicara, pasien
geliSAH, tidak tidur, tidak mau makan dan hanya sedikit minum kemudian
dimuntahkan. Pasien sudah mulai sakit sejak bulan lalu dan dibawa ke IGD RSUD
Nunukan dengan keluhan yang sama, tapi pasien menolak untuk dirawat inap karena
hasil swab antigen covid posistif. Dari bulan lalu hingga sekarang pasien tidak ada
kontol ke dokter jiwa dan tidak pernah meminum obat jiwa yg diberikan di IGD bulan
lalu, obat selalu dibuang. Kemudian penyaki pasien kambuh lagi dibulan ini dan
meresahkan keluarga.
Saat ini pasien bekerja sebagai youtubers game mobile legend. Pasien sdh 4 tahun
lebih bekerja sebagai gamers dan mendapat penghasilan dari bermain game online
dan youtube. Tapi sejak tahun ini uang dari bermain game tidak keluar. Sudah 4 tahun
selama menjadi youtubers game, pasien tidak pernah keluar rumah sama sekali.
Sebelumnya makan, minum, dan mandi rutin.
Pada saat dilakukan anamnesis dengan pasien, pasien mengatakan bahwa dia
tidak tau kenapa dirinya dibawa ke rumah Sakit Karena dia tidak merasa sakit. Pasien
mengaku tidak bisa tidur dan makan karena merasa ada seseorang yang ingin
mencekiknya dan membawanya pergi ke Sulawesi. Pasien juga mengeluhkan
pikirannya yang terasa penuh sehingga pasien terus berbicara tanpa henti.. Pasien
mengatakan tidak melihat hal yang ghaib ataupun mendegar suara bisiskan hanya saja
pasien selalu merasa takut dan tidak mau menjelaskan siapa yang membuatnya takut.
Ini merupakan kali kedua pasien dibawa ke IGD RSUD Nunukan dengan keluhan
tidak bisa tidur dan gelisah serta tidak berhenti bicara. Bulan lalu pasien datang ke
IGD RSUD Nunukan dengan keluhan yang sama seerti sekarang, tapi pasien menolak
untuk dirawat inap karena hasil swab antigen covid posistif. Dari bulan lalu hingga
sekarang pasien tidak ada kontol ke dokter jiwa dan tidak pernah meminum obat jiwa
yg diberikan di IGD bulan lalu, obat selalu dibuang. Kemudian penyaki pasien
kambuh lagi dibulan ini dan meresahkan keluarga.
Pasien saat ini merasa agak lebih enakan karena sudah bisa tidur, hanya saja
pasien masih merasa gelisah dan takut. Pasien merasa ada orang yang mencekiknya
dan membawanya pergi.
Status mental pasien: Afek: luas, Mood: labil, Koheren (+),Ilusi: (+), pasien selalu
merasa ada orang yang mau mencekiknya, RTA terganggu, Tilikan: Pasien sadar
sedang berada di Rumah sakit, psien sadar bahwa fikirannya terasa penuh yang
mebuatnya gelisah, tapi pasien tidak merasa dirinya ada sakit jiwa.

VI. DIAGNOSIS MULTIAXIAL

Axis I : Gangguan Psikotik Akut DD Skizofrenia Paranoid


Axis II : Gangguan Kepribadian Paranoid
Axis III : Tidak ditemukan
Axis IV : Masalah pekerjaan dan masalah psikososial
Axis V : Global Assesment of Functioning (GAF) scale 70-61, bebrapa
gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik

VII. TATALAKSANA
a. Psikofarmaka
o Clozapin 2x25mg
o Abilify 2x5mg
o Triaxiphenidyl 2x2mg
b. Psikoterapi terhadap pasien
Memberikan penjelasan kepada pasien tentang apa yang dialaminya saat
ini termasuk penyakit yang dideritanya, menyarankan pasien untuk bersosialisasi,
dan menekankan kepada pasien untuk mengurangi bermain game online.
c. Psikoterapi terhadap keluarga
Memberikan penjelasan kepada keluarga tentang penyakit pasien saat ini
dan meminta keluarga untuk mensupport atau mendukung dalam upaya
kesembuhan pasien, termasuk membantu agar pasien berhenti dari kecanduan
bermain game.

VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam
Prognosis pada pasien ini dipengaruhi oleh hal-hal berikut :
Hal-hal yang meringankan :
 Tidak ada faktor organik
 Support keluarga yang baik.
 Patuh pada pengobatan (kooperatif).
 Kondisi finansial pasien cukup
 Respon pengobatan cukup baik
 Faktor pencetus jelas
 Di tanggung oleh jaminan kesehatan
Hal-hal yang memberatkan :
 Pasien dengan ciri kepribadian paranoid
 Kecanduan bermain game online
 Tidak keluar rumah untuk bersosialisasi
 Ketidakpatuhan pada pengobatan

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi
Psikosis adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh gangbuan menilai realitas.
Psikosis terdiri dari beragam jenis antara lain skizofrenka, skizoafektif, gangguan
waham menetap, bipolar dengan ciri psikotik. Psikotik akut sementara juga
merupakan gangguan yang sama, tetapi merupakan gangguan yang akut dan
mempunyai prognosis lebih baik.1
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan psikiatri yang berefek pada apa yang
pasien rasakan, cara pikir, dan persepsi pasien terhadap lingkungan (Frankenburg,
2014). Efek yang ditimbulkan dari penyakit ini biasanya parah dan lama. Pasien dan
keluarga pasien biasanya mendapatkan perhatian yang kurang dan bahkan dikucilkan
oleh masyarakat sekitar karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit ini. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit mental yang seius yang
paling banyak ditemukan. Terkadang penyakit ini disebut juga sebagai suatu sindrom
atau pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi kelima (DSM-
5) disebut dengan spektrum skizofrenia (Sadock et al., 2015).

B. Etiologi
Puri et al. (2011) menjelaskan bahwa etiologi dari skizofrenia dapat muncul dari
beberapa faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor presipitasi, faktor penyebab
berkelanjutan, dan faktor perantara. Faktor predisposisi terdiri dari faktor genetika,
pranatal, perinatal, dan kepribadian. Faktor presipitasi terdiri dari stress psikososial.
Faktor penyebab berkelanjutan meliputi faktor sosial dan keluarga pasien. Faktor
neurotransmiter dan neurodegenerasi, serta faktor psikoneuroimunologis dan
psikoneuroendokrinologis termasuk dalam faktor perantara. Arieti dan Brodie(2015)
mengatakan bahwa studi mengenai peran genetik terhadap timbulnya skizofrenia
banyak difokuskan pada saudara kembar dan juga anak adopsi. Studi juga
mengungkapkan bahwa prevalensi seseorang mengalami skizofrenia adalah 10% bila
saudara kandungnya mengalami skizofrenia juga. Hal tersebut tidak berbeda secara
signifikan pada anggota tingkat pertama lainnya
Faktor presipitasi dapat berupa stress psikososial, tetapi banyak literatur yang
tidak menjawab peranan dari stress sebagai etiologi dari skizofrenia. Meskipun ada
keterbatasan studi, besar kemungkinan bahwa 10 10 episode akut skizofrenia
disebabkan meningkatnya stress yang dialami pasien (Arieti dan Brodie, 2015) Selain
itu, ada pula faktor penyebab berkelanjutan yang termasuk di dalamnya adalah faktor
sosial dan juga keluarga pasien. Salah satu faktor sosial yang dapat memengaruhi
timbulnya skizofrenia pada seseorang adalah kepadatan lingkungan di sekitar tempat
tinggal. Prevalensi seseorang mengalami skizofrenia yang tinggal di kota dengan
kepadatan penduduk lebih dari satu juta penduduk lebih besar daripada mereka yang
tinggal dengan kepadatan 100.000 hingga 500.000 penduduk. Korelasi bahkan tidak
ditemukan pada mereka yang tingga di kota dengan kepadatan kurang dari 10.000
penduduk. Efek dari kepadatan penduduk ini juga lebih besar pada penduduk yang
tinggal di kota dibandingkan dengan yang tinggal di desa. Kemungkinan besar
penyabab dari hal tersebut adalah tingginya stressor sosial di kota yang mampu
memberikan efek terhadap peningkatan risiko timbulnya skizofrenia (Sadock et al.,
2015).
C. Epidemiologi
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bahwa prevalensi
skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 7% per 1000 rumah tangga. Hal ini
menunjukkan bahwa dari 1000 rumah tangga, terdapat 70 rumah tangga yang
mempunyai anggota rumah tangga (ART) dengan pengidap skizofrenia/psikosis
berat. Berdasarkan catatan Kemenkes RI pada tahun 2019, prevalensi gangguan
kejiwaan tertinggi terdapat di Provinsi Bali dan DI
Yogyakarta dengan masing-masing prevalensi menunjukan angka 11,1% dan
10.4% per 1000 rumah tangga yang memiliki ART dengan pengidap
skizofrenia/psikosis. Selanjutnya diikuti oleh provinsi-provinsi lain diantaranya :
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Jawa
Tengah, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat secara berurutan.

D. Manifestasi Klinis
Frankenburg (2014) menjelaskan bahwa ada beberapa informasi yang perlu digali
dari pasien yang diagnosisnya mengarah ke skizofrenia. Informasi yang perlu digali
adalah riwayat psikiatri dan pengobatan pada keluarga, riwayat kehamilan dan masa
kanak- kanak, riwayat bepergian, dan riwayat penyalahgunaan obat- obatan.
Informasi- informasi tersebut dapat membantu untuk mengetahui penyebab dari
skizofrenia yang dialami pasien.
Gejala dari skizofrenia sendiri dapat dikelompokkan menjadi empat macam,
yaitu:
1. Gejala positif, yaitu gejala psikosis seperti halusinasi, delusi, dan kemampuan
bicara dan kelakuan yang tidak teratur;
2. Gejala negatif yang terdiri dari penurunan tingkat emosi, sedikit bicara, dan
menurunnya rasa ketertarikan serta ambisi. Penderita skizofrenia yang mengalami
gejala negatif akan merasa malas untuk melakukan berbagai hal;
3. Gejala kognitif seperti defisit neurokognitif di mana biasanya pasien akan
mengalami penurunan memori dan atensi. Pasien juga akan kesusahan dalam
memahami sesuatu yang detail;
4. Gejala mood yang ditunjukkan dengan kegembiraan atau kesedihan berlebihan
yang sulit untuk dipahami. Hal tersebut sering menimbulkan depresi pada pasien.
Sadock et al. (2015) mengatakan bahwa ada tiga kunci dalam mengetahui gejala
pada skizofrenia. Kunci pertama adalah tidak ada tanda atau gejala yang
patognomonik untuk skizofrenia. Setiap tanda atau gejala pada skizofrenia muncul
dikarenakan kelainan pada psikiatrik maupun neurologik. Kunci kedua menjelaskan
bahwa gejala yang dialami pasien akan berubah seiring berjalannya waktu. Kunci
ketiga adalah bagi evaluator yang harus dapat mengetahui tingkat pendidikan, tingkat
kecerdasan, dan budaya yang pasien anut. Pada pasien skizofrenia akan muncul
beberapa gangguan atau kelainan, seperti pada perspektif, pemikiran, tindakan, dan
pengetahuan mereka.
Gangguan pada perspektif pasien dapat dibedakan menjadi halusinasi dan ilusi.
Stefan et al. (2002) memaparkan bahwa halusinasi adalah persepsi yang salah dengan
ketidakadaan stimulus eksternal yang nyata. Persepsi tersebut memiliki kualitas yang
sama dengan persepsi nyata. Sadock et al. (2015) menjelaskan bila kelima indra yang
dimiliki pasien dapat mengalami halusinasi. Indra yang paling banyak mengalami
halusinasi adalah auditory dengan suara-suara yang mengancam, kasar, menuduh,
ataupun mengejek. Dua ataupun lebih suara dapat saling bercakap-cakap mengenai
meraka sendiri atau mengomentari hidup dan perilaku pasien. Halusinasi visual juga
dapat terjadi pada pasien skizofrenia dengan persentase yang lebih rendah, yaitu
sekitar 10%. Halusinasi olfaktori biasanya lebih banyak muncul pada epilepsi lobus
temporal dibandingkan dengan skizofrenia. Pada halusinasi taktil kemungkinan besar
banyak dirasakan oleh pasien tetapi masih sedikit pasien yang mengeluhkannya
(Stefan et al., 2002).
Ilusi juga kerap kali muncul pada pasien skizofrenia. Berbeda dengan halusinasi,
ilusi didefinisikan sebagai kesalahan dalam merepresentasi sesuatu yang nyata. Ilusi
biasanya sering muncul selama masa aktif, tetapi dapat pula muncul pada fase
prodormal ataupun fase remisi (Sadock et al., 2015) Kelainan pemikiran yang muncul
pada pasien skizofrenia merupakan gejala yang masih sukar dipahami baik oleh
psikiater maupun mahasiswa kedokteran. Kemungkinan besar kelainan pada
pemikiran ini merupakan gejala inti dari skizofrenia. Kelainan ini dikelompokkan
menjadi kelainan pada isi pikiran, bentuk pikiran, dan proses pikir. Kelainan pada isi
pikiran mencerminkan ide, kepercayaan, dan interpretasi pasien terhadap suatu
rangsangan. Salah satu contohnya adalah delusi yang dapat berbentuk kecemasan,
grandiose, religius, atau somatik (Sadock et al., 2015).
Delusi adalah anggapan atau kepercayaan dari pasien yang secara kuat dianutnya
meskipun semua bukti menunjukkan sebaliknya. Ada dua macam delusi, yaitu delusi
primer dan delusi sekunder. Delusi primer muncul tanpa ada hubungan dengan
peristiwa sebelumnya, sedangkan delusi sekunder dapat disebut juga sebagai
halusinasi (Stefan et al., 2002) Pridmore et al. (2015) menjelaskan bahwa kelainan
pada bentuk pikir pasien dapat dilihat dari bahasa yang pasien ucapkan dan perilaku
pasien. Perilaku sendiri sebenarnya kurang dapat mencerminkan adanya kelainan
pada bentuk pikir karena perilaku sendiri bergantung pada beberapa faktor seperti
kepribadian, motivasi, memori, dan juga orientasi. Ada tujuh macam kelainan pada
bentuk pikir, yaitu:
1. Derailment merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Pasien yang sudah
mengikuti alur pikirannya sendiri secara tibatiba berbelok ke alur pikiran yang lain.
pada pemeriksaan neurologis, derailment ini dapat ditunjukkan dengan meminta
pasien berjalan menyebrangi ruangan lalu pada setengah perjalanan, pasien akan
berbelok;
2. Poverty content of thought merupakan adanya beberapa konten pikiran dalam otak
pasien yang tidak dapat diungkapkan oleh pasien secara urut, sehingga sulit untuk
dimengerti;
3. Inkoherensi;
4. Neologisme yang merupakan kata- kata baru yang diciptakan oleh pasien yang
tidak memiliki arti;
5. Echolalia merupakan pengulangan kata yang cepat dan involunter;
6. Poverty of thought merupakan salah satu gejala negatif yang ditandai dengan
pengurangan intensitas bicara pasien yang tidak spontan dan pasien akan menjawab
pertanyaan yang diberikan secara singkat;
7. Perkataan yang tidak logis. Kelainan pemikiran pasien skizofrenia yang terakhir
adalah kelainan pada proses pikir. Kelainan ini menilai bagaimana cara ide dan
bahasa dibentuk. Kelainan yang termasuk ke dalam kelainan proses pikir adalah flight
of ideas, thought blocking, menurunnya perhatian, konten pemikiran yang kurang
berkualits, kurangnya kemampuan konsentrasi, pengulangan yang tidak terkontrol,
idiosyncratic association, dan tidak relevan (Sadock et al., 2015).
Selain adanya kelainan pada pemikiran, gejala lainnya dari skizofrenia yang
mungkin muncul adalah kelainan pada tindakan atau perilaku. Tindakan yang masuk
dalam kelainan ini misalnya tindakan yang dilakukan secara berulang
(impulsiveness), tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan atau kesakitan
(violence), tindakan bunuh diri (suicide), atau tindakan menghilangkan nyawa orang
lain (homicide) (Sadock et al., 2015) Ahuja (2011) memaparkan bahwa bunuh diri
pada pasien skizofrenia dapat disebabkan oleh beberapa hal. Penyebab paling sering
adalah adanya komorbid gejala depresi, halusinasi yang memerintahkan pasien untuk
bunuh diri, perilalku impulsif, anhedonia, dan ketakutan terhadap penyakit
skizofrenia itu sendiri Kelainan lainnya yang dapat muncul adalah kelainan pada
fungsi kognitif. Kelainan ini kadang dapat dideteksi sebelum episode psikosis
pertama dan bertahan selama gangguan tersebut ada. Disfungsi kognitif ini terjadi
pada 60- 78% penderita skizofrenia. Aspek kognisi yang terganggu pada pasien
skizofrenia adalah IQ, memori, bahasa, fungsi eksekutif, dan atensi (Pridmore et al.,
2015).
Puri et al. (2011) menyatakan bahwa berdasarkan International Statistical
Classification of Disease and Related Health Problems (ICD10), ada sepuluh
klasifikasi atau subtipe dari skizofrenia, yaitu paranoid, hebefrenik, katatonik, tak
terinci (undifferenciated), depresi pascaskizofrenik, residual, simpel, skizofrenia lain-
lain, dan skizofrenia tak tergolongkan (unspecified). Gejala dari skizofrenia paranoid
adalah munculnya beberapa waham, yaitu:
1. Waham kejar (persecution) di mana pasien merasa orang lain bersekutu untuk
melawannya;
2. Waham rujukan (reference) yang menyebabkan pasien menganggap bahwa orang
asing atau media masa mengarah kepada pasien;
3. Waham merasa dirinya tinggi atau istimewa atau memiliki misi khusus;
4. Waham perubahan tubuh;
5. Waham cemburu;
6. Suara- suara halusinasi yang sifatnya mengancam atau memberikan perintah
kepada pasien untuk melakukan sesuatu;
7. Halusinasi pendengaran non verbal seperti tertawa, bersiul, dan bergumam;
8. Halusinasi bentuk lainnya misalnya penciuman, pengecapan, penglihatan, sensasi
somatik seksual, atau sensasi somatik lainnya.
E. Diagnosis
Penegakan diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan dengan melihat dua kriteria,
yaitu kriteria dari International Classification of Disease and Related Health Problems
(ICD- 10) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder(DSM- 5).
Sadock et al. (2015) mengungkapkan bahwa ada enam poin dalam penegakan
diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-5 , yaitu:
1. Ada dua atau lebih tanda berikut yang muncul secara signifikan dalam tempo satu
bulan (atau kurang bila sudah diterapi). Minimal harus ada (a), (b), atau (c):
a. Delusi;
b. Halusinasi;
c. Berbicara secara tidak teratur, seperti berbicara hal yang tidak relevan atau
tidak koheren;
d. Berperilaku seperti anak kecil yang marah dan agresif atau berperilaku
katatonik;
e. Gejala negatif skizofrenia.
2. Adanya penurunan fungsi pada pekerjaan, hubungan interpersonal, atau self- care
yang sejak munculnya onset menurun secara signifikan;
3. Tanda- tanda dari skizofrenia yang mengganggu pasien yang lebih dari enam
bulan. Selama enam bulan tersebut, minimal harus ada satu bulan (atau kurang
apabila terapi berhasil) dari gejala pada poin pertama dan termasuk pula periode
gejala prodormal dan residual. Selama masa prodormal dan residual tersebut,
tandatanda dari gangguan bisa saja hanya bermanifestasi gejala negatif saja atau dua/
lebih gejala pada poin pertama dalam porsi yang lebih kecil;
4. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan gejala psikosis
telah disingkirkan karena:
a. Tidak ada depresi mayor atau episode manik yang dapat muncul secara
bersamaan dengan gejala fase aktif;
b. Apabila episode mood berlangsung selama fase aktif, hal tersebut hanya
berlangsung dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan total periode waktu aktif
dan residual.
5. Gangguan yang dialami tidak disertai dengan adanya efek fisiologis karena
substasnsi, misalnya penyalahgunaan obat dan kondisi kesehatan lainnya;
6. Apabila ada riwayat autism spectrum disorder atau gangguan dalam komunikasi
semasa kanak- kanak, tambahan diagnosis dari skizofrenia hanya ditegakkan bila ada
delusi atau halusinasi dalam kurun waktu minimal satu bulan (atau kurang bila terapi
berhasil).
F. Terapi
Tujuan dari pengobatan skizofrenia adalah untuk mengurangi gejala yang timbul,
meningkatkan fungsi psikososial dan mengembalikan aktivitas pasien menjadi lebih
produktif (pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari) serta tercapainya terapi
pengobatan yang sesuai. Mengurangi gejala merupakan tujuan utama terapi
skizofrenia dan pilihan obat yang tepat akan mengurangi gejala yang ada (Dipiro et
al., 2014).
Menurut Ikawati (2011) tujuan pengobatan skizofrenia adalah mengembalikan
fungsi normal pasien dan mencegah kekambuhan. Sasaran terapinya bervariasi
berdasarkan tahapan dan keparahan penyakit. Pada tahap akut, sasarannya adalah
mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal
pasien. Sedangkan pada tahap stabilisasi, sasarannya adalah mengurangi resiko
kekambuhan dan tahap stabil meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan
dalam masyarakat.
Pada pengobatan skizofrenia berupa obat antispikosis merupakan terapi dalam
kesembuhan penyakit skizofrenia. Namun, pengobatan farmakologi berupa
antipsikotik saja tidak cukup sehingga perlu adanya terapi nonfarmakologi berupa
psikososial. Terapi psikososial merupakan suatu pendukung yang dapat diterapkan
untuk kesembuhan pasien. Hal ini menjadikan pasien skizofrenia lebih efektif jika
meggunakan dua kombinasi terapi yaitu antipsikotik dan psikososial untuk
meningkatkan kesembuhan (Kaplan et al., 2016).
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola pikir yang
terjadi pada skizofrenia. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan
merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati skizofrenia
(Baihaqi, 2007). Terdapat 2 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu
antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal (dipiro et al, 2014). Antipsikotik
memiliki aktivitas yang hampir sama terutama dalam mengeblok aktivitas dari
neurotransmitter dopamin. Namun, terdapat berbagai tipe skizofrenia yang
menggambarkan penyebab fisiologi yang berbeda maka dapat dikatakan antipsikotik
ini memiliki tingkat efektivitas yang berbeda untuk setiap pasien yang berbeda.
Pemilihan jenis antipsikosik mempertimbangkan gejala psikosik yang dominan dan
efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya
adalah obat antipsikotik atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal
(golongan generasi pertama).
Obat antipsikotik bekerja dengan cara memblok aktivitas dopamin dan reseptor
serotonin (5-HT2A). Obat antipsikotik dibagi menjadi dua yaitu antipsikotik tipikal
dan antipsikotik atipikal. Obat antipsikotik atipikal mempunyai efek esktrapiramidal
yang lebih ringan. Kedua jenis obat menghambat beberapa reseptor antara lain
reseptor α adrenergic, asetilkolin muskarinik dan histamin (Nugroho, 2011).
Anti Psikotik Tipikal
Obat yang bekerja dengan menghambat reseptor dopamin terutama D2 dan juga
menghambat asetilkolin muskarinik, α adrenergic, histamine (H-1) dan serotonin (5-
HT2A). Aktivitas antipsikotik tipikal berkaitan dengan aktivitas pada eseptor D2.
Obat yang termasuk golongan tipikal adalah klorpromazin, haloperidon, asetofenazin,
klorprotiksen, mesoridazen, perfenazin, thioridazin dan proklorferazin. Efek yang
dihasilkan dari penggunaan obat yaitu ekstrapiramidal meliputi dystonia akut,
akatisia, gejala parkinsonism, dan tardive dyskinesia. Efek tersebut disebabkan karena
pengeblokan reseptor D2 di bagian striatum pada basal ganglia (Nugroho, 2011).
Nama Generik Nama Dagang Dosis awal Dosis Harian Bentuk
(mg/hari) (mg/hari) sediaan
Chlorpromazine Thorazine, 50-150 300-1000 Tablet 10, 25,
Promactil, 50, 100, 200
Cepezet mg
Fluphenazine Prolixin, 5 5-20 Tablet 1, 2.5,
Permitil, 5, 10 mg
Moditen HCl
Haloperidol Haldol, 2-5 2-20 Tablet 0.5, 1,
Govotil 2, 5, 10, 20
mg
Loxapine Loxitane 20 50-150 Kapsul 5, 10,
25, 50 mg
Perphenazine Trilafon 4-24 16-64 Tablet 2, 4, 8,
16 mg
Thioridazine Mellaril 50-150 100-800 Tablet 10, 15,
25, 50, 100,
150, 200 mg
Thiothixene Navane 4-10 4-50 Kapsul 1, 2, 5,
10, 20 mg
Trifluoperazine Stelazine, 2-5 5-40 Tablet 1,2,5,
Stelosi 10 mg
(dipiro et al., 2014)
Antipsikotik Atipikal
Obat antipsikotik atipikal memiliki efek farmakologi penghambatan pada reseptor
5-HT2A dan D2. Kemampuan lebih besar yaitu mengubah aktivitas resptor 5-HT2A
daripada mengintervensi efek reseptor D2. Obat bekerja sebagai agonis parsial terhadap
reseptor 5-HT1A, yang menghasilkan efek sinergistik dengan antagonism reseptor 5-
HT2A. Obat golongan antipsikotik atipikal adalah klozapin, asenapin, olanzapine,
kuetiapin, paliperidon, resperidon, sertindol, ziprasidon dan aripiprazol (Katzung, 2013).
Nama Generik Nama Dagang Dosis awal Dosis Harian Bentuk sediaan
(mg/hari) (mg/hari)
Aripiprazole Abilify 5-15 15-30 Tablet 2, 5, 10,
20, 30 mg
Asenapine Saphris 5 10-20 Tablet 10, 25,
50, 100, 200
mg
Clozapine Clozaril, 25 100-800 Tablet 25, 50,
Clorilex, sizoril 100, 200 mg
Iloperidone Fanapt 1-2 6-24 Tablet
Lurasidone Latuda 20-40 40-120 Tablet
Olanzapine Zyprexa, 5-10 10-20 Tablet 2.5, 5,
onzapin 7.5, 10, 15, 20
mg
Paliperidone Invega 3-6 3-12 Tablet lepas-
panjang 3, 6, 9
mg
Quetiapine Seroquel 50 300-800 Tablet 25, 50,
100, 200, 300,
400 mg
Resperidone Risperdal, 1-2 2-8 Tablet 0.25,
Rizodal, 0.5, 1, 2, 3, 4 m
Noprenia
Ziprasidone Geodon 40 80-160 Kapsul 20, 40,
60, 80 mg
(dipiro et al., 2014)
G. Efek Samping Antipsikotik
Pada pasien skizofrenia mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan munculnya berbagai efek samping yang tidak diinginkan. Efek
samping yang muncul berupa tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut dan
wajah yang tidak dapat dikontrol, untuk mengurangi efek samping ini dengan
menurunkan dosis dari obat antipsikotik. Selain itu, gangguan fungsi seksual untuk
mengatasinya biasanya menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan
obat antipsikotik yang efek sampingnya lebih sedikit (Irwan, 2008). Adanya efek
antikolinergik berupa mulut kering dan pandangan kabur, cara mengatasi mulut
kering yaitu dengan mengunyah permen karet (Dipiro et al., 2014)
Efek samping lain yang biasanya muncul penggunaan obat antipsikotik adalah
Ekstrapiramidal Sindrom. Ekstrapiramidal dapat berupa tremor pada tangan dan kaki.
Selain itu, adanya kekakuan pada pergerakan sehingga menjadi lebih lambat. Cara
mengatasinya pasien harus bergerak (berjalan) setiap waktu untuk mengatasi efek
samping yang ditimbulkan (Kaplan et al., 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai