Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH BIOFARMASETIKA

SEDIAAN OBAT PEMBERIAN MELALUI REKTUM

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6 :

HIKMAWATI (F201901044)
NURUL ELLA KHOLIFATUL AZIZ (F202001072)
WA ODE INTAN HARIANI (F202001087)
RISMAWATI (F202001089)
MUMUT APRILIANI (F202001092)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. atas curahan rahmat dan hidayahnya
kepada kita semua. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad Saw. Yang telah membimbing kita semua dari kegelapan menuju zaman yang
terang benderang seperti saat ini.
Kami mengucapkan banyak trimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami
dalam penyusunan makalah ini baik itu dosen maupun teman-teman yang telah membantu yang
kami.
Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bernilai baik, dan dapat digunakan dengan
sebaik-baiknya, kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini belumlah sempurna untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan untuk pembuatan
makalah selanjutnya.

Kendari, 28 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 2

1.3 Tujuan ................................................................................................................................... 2

BAB 2 ............................................................................................................................................. 3

2.1 Rektum .................................................................................................................................. 3

2.2 Anatomi dan Fisiologi Rektum ............................................................................................. 3

2.3 Penyerapan Obat Pada rektum .............................................................................................. 6

2.4 Pemberian Obat Secara Rektal .............................................................................................. 8

2.5 Obat Obat Pada Rektal ........................................................................................................ 13

2.6 Mekanisme Biofarmasi Sediaan Rectal (Supositoria) ........................................................ 14

2.7 Cara Menggunakan Sediaan Rektal .................................................................................... 17

2.8 Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Rektal ........................................................................ 18

BAB III ......................................................................................................................................... 19

PENUTUP..................................................................................................................................... 19

3.1 KESIMPULAN .............................................................................................................. 19

3.2 SARAN .......................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sediaan farmasi yang ada di pasaran sangat bervariasi, mulai yang berbentuk padat,
setengah padat, dan cair. Sediaan padat misalnya kapsul, tablet, supositoria dan serbuk.
Sediaan setengah padat misalnya salep, kream, pasta, dan gel. Sediaan cair misalnya sirup,
emulsi, elixir dan obat kumur. Semua sediaan dibuat dengan mempertimbangkan kestabilan
kandungan bahan berkhasiat, kenyamanan, keamanan, dan tujuan terapi yang maksimal
dengan efek samping yang minimal.
Rektum merupakan salah satu organ terakhir dari usus besar pada manusia dan
beberapa jenis mamalia lainnya yang berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi.
Pemberian obat baik bentuk padat maupun cair pada terapi pengobatan. maupun
perawatan di rektum akan mengalami suatu proses farmakodinamika (absorbsi, distribusi,
metabolisme, serta ekskresi) yang berupa serangkain system dari pemberian hingga
penyerapan molekul zat aktif pada reseptor. Rangkaian ini merupakan rincian dari DDS
(Drug Delivery System).
DDS adalah istilah yang terkait erat dengan penghantaran (delivery) senyawa
farmasetik (obat) pada manusia atau binatang. Sistem penghantaran ohat yang berkaitan
dengan jumlah zat aktif yang diharapkan dapat dilepaskan sesuai dengan kinetika yang
dikehendaki sehingga mencapai tempat tertentu dalam tubuh dimana titik penyerapan
optimal. Merupakan suatu kesatuan struktur yang mempengaruhi ketersediaan hayati zat
aktif.
Potensi untuk pengembangan bentuk sediaan oral sangat terbatas untuk bahan aktif
yang kurang diserap dalam saluran pencernaan bagian atas (Gl) dan tidak stabil untuk enzim
proteolitik. Populasi pasien tertentu, terutama anak-anak, orang tua, dan mereka dengan
masalah menelan, sering sulit diobati dengan tablet oral dan kapsul.
Selain itu, pengobatan beberapa penyakit yang terbaik dicapai dengan administrasi
langsung di dekat daerah yang terkena, terutama dengan penyakit yang melibatkan mata,
berhubung dgn telinga, kulit, rongga mulut. dan jaringan anorectal. Meskipun oral dapat
digunakan untuk obat yang ditargetkan untuk beberapa jaringan yang sakit, paparan wadah
1
seluruh tubuh terhadap obat diberikan tidak efisien dan dapat mengakibatkan efek samping
yang tidak diinginkan. Pemberian obat rektal ini bisa menerima, namun hanya untuk
pemberian obat lokal dan sistemik. Ini telah efektif digunakan untuk mengobati penyakit
lokal daerah anorectal serta memberikan obat sistemik. sebagai alternatif untuk pemberian
oral.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian rektum?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi rektum?
3. Bagaimana proses penyerapan obat pada rectal?
4. Bagaimana pemberian obat secara rektal?
5. Obat obat apa saja yang digunakan untuk pemerian secara rectal?
6. Bagaimana mekanisme biofarmasi sediaan rektal?
7. Bagaimana cara menggunakan sediaan rektal?
8. Apa keuntungan dan kerugiaan pemerian secara rectal?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian rektum?
2. Untuk mengetahu bagaimana anatomi dan fisiologi rektum
3. Untuk mengetahui bagaimana proses penyerapan obat pada rectal
4. Untuk mengetahui bagaimana pemberian obat secara rektal
5. Untuk mengetahui obat obat apa saja yang digunakan untuk pemerian secara rectal
6. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme biofarmasi sediaan rektal
7. Untuk mengetahui bagaimana cara menggunakan sediaan rektal
8. Untuk mengetahui apa keuntungan dan kerugiaan pemerian secara rectal

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rektum
Rektum adalah organ terakhir dari usus besar pada beberapa jenis mamalia yang
berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu
sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak
terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan
kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Rektum

Rektal atau rektum merupakan salah satu organ dalam saluran pencernaan yang
diketahui sebagai bagian akhir proses ekskresi feses sebelum anus. Rectal merupakan bagian
dari kolon.

Anatomi Rektum dan Anus

Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal.
Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter.
Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan

3
fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis
pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm
pada recto-sigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Rektum (Bahasa
Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus
besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Letaknya dalam rongga pelvis di depan os
sakrum dan os koksigius. Struktur rektum serupa dengan yang ada pada kolon, tetapi dinding
yang berotot lebih tebal dan membran mukosanya memuat lipatan lipatan membujur yang
disebut kolumna morgagni.
Semua ini menyambung ke dalam saluran anus Struktur rektum Bagian sepertiga atas
dari rectum, sisi samping dan depannya diselubungi peritoneum. Di bagian tengah, Hanya sisi
depannya yang diselubungi peritoneum. Di bagian bawah, tidak diselubungi peritoneum sama
sekali. Terbagi menjadi dua bagian: sfingter dan ampula. Memiliki panjang 10-15 cm
Ampula pada rectum memiliki bentuk seperti balon atau buah pir Dikelilingi oleh visceral
pelvic fascia. Memiliki empat lapisan: Mukosa, Submukosa, Muskular, dan Serosa
Kolumnalrektal Membantu dalam kontraksi dan dilatasi pada saluran anal dan otot sfingter
rectum. Terdiri atas sel-sel otot bermukosa yang cukup padat, dan mengandung lebih banyak
pembuluh limfa, pembuluh darah, dan jaringan saraf dari pada sel-sel penyusun dinding
rectum di sekitarnya. Anus adalah bukan pada bagian akhir dari usus besar. Saluran anal
merupakan pipa kosong yang menghubungkan rectum (bagian bawah akhir dari usus besar)
dengan anus dan luar tubuh. Letaknya di abdomen bawah bagaian tengah di dasar pelvis
setelah rektum-Anus manusia terletak di bagian tengah pantat, bagian posterior dari
periotoneum. Struktur anus saluran anal memiliki panjang sekitar 2- 4,5 cm. Saluran anal
dikelilingi oleh otot yang berbentuk seperti cincin yang disebut internal anal sphincters dan
external anal sphincters Saluran anal dilapisi oleh membrane mukosa, Bagian atas saluran
anal memiliki sel yang menghasilkan mucus yang membantu memudahkan ekskret keluar
tubuh. Bagian bawah saluran anal terdiri dari sel epitel berbentuk kubus Saluran anal
memiliki bagian berbentuk lipatan yang disebut anal colums (kolumnal anal) Bagian atas
kolumnal anal membentuk garis anorectal yang merupakan perbatasan antara rectum dengan
anus, Bagian bawah kolumnal anal memiliki garis dentate yang menjadi penanda dari daerah
dimana terdapat sel-sel saluran anal yang bisa berubah dari sel penghasil mucus menjadi
selepitelkubus, Sel-selepitel anus lebih tebal dari yang di saluran anal dan memiliki rambut
Ada area perianal yang merupakankulit di sekeliling anus sejauh 5 cm.

4
Dinding otot anus diperkuat oleh 3 sfingter yaitu :
1. Sfingter ani internus (tidak mengikuti keinginan)
2. Sfingter levator ani (tidak mengikuti keinginan)
3. Sfingter ani eksternus (mengikuti keinginan)

Rektum dialiri 3 jenis pembuluh darah yaitu :


(a) Vena haemorrhoidales superior yang bermuara ke vena mesentericum inferior, selanjutnya
masuk kedalam vena porta, dan juga membawa darah langsung ke peredaran umum.
(b)Vena haemorrhoidales medialis dan vena hacmorhoidales inferior yang bermuara ke venae
cava inferior dengan perantara venac iliaca interna selanjutnya membawa darah ke
peredaran umum (kecuali hati).
(c) Vena haemorrhoidales anterior Vena haemorrhoidales medialis
 Volume cairan dalam rektum sangat sedikit ( 2 mL) sehingga laju difusi obat menuju
tempat absorpsi lebih lambat.
 pH cairan rektum netral 7,2 -7,4, sehingga kemungkinan obat melarut lebih kecil
dibanding oral yang terdiri dari beberapa bagian.
 Adanya feses menghambat penyerapan, sehingga sebaiknya pemberian sediaan setelah
defekasi. Rektum mempunyai dua peranan mekanik, yaitu sebagai tempat
penampungan feses dan mendorongnya saat pengeluaran.
Persarafan rektum terdiri dari:

5
1. Anyaman haemorrhoidales bagian atas (plexus harmorrhoidales superior).
2. Anyaman haemorrhoidales yang keluar dari plexus hipogastricum.
3. Saraf haemorhoidales atau saraf anus yang merupakan cabang dari plexus sacralis.
Rektum mempunyai dua peranan mekanik, yaitu sebagai tempat penampungan fesen
dan mendorongnya saat pengeluaran . Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di
tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu
sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak
terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan
kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasanfeses akan terjadi.
Pada bagian anus terdapat jaringan kulit subkutan yang tebal. Valve adalah lipatan
membrane di dalam saluran atau kanal yang mencegah aliran balik refluks isi yang
melaluinya. Levator berupa otot yang mengangkat organ atau struktur.

2.3 Penyerapan Obat Pada rektum


Penyerapan rektum dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang juga mempengaruhi
proses penyerapan pada cara pemberian lainnya, kecuali intravena dan intaarteri.
Penyerapan perektum dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Kedudukan sediaan obat setelah pemakaian
b. Penempatan sediaan obat di dalam rectum
c. pH cairan rectum
d. Konsentrasi zat aktif dalam cairan rectum
Penyerapan di rektum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
1. Lewat pembuluh darah secara langsung
2. Lewat pembuluh getah bening
3. Lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.
Menurut Ravaud Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung lewat
inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena iliaca ke
vena cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan dimulai dari vena
haemorrhoidalles inferior terutama vena haemorrhoidalles superior menuju vena porta
melalui vena mesentricum inferior. Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan

6
rektal yaitu melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre
dan Regnier pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.
Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeable sempurna. Penyerapan
rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu penyerapan juga
tergantung pada derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak dapat diberlakukan secara
umum. Bahkan bebrapa obat tertentu tidak diserap oleh mukosa rektum.

Kinetika Pre-Disposisi Zat Aktif


Penyerapan zat aktif terjadi setelah proses pelepasan, pemindahan, pelarutan dan
penembusan ke cairan rektum dan keseluruhan proses itu disebut " kinetik pelepasan atau
kinetik predisposisi" (A) sedangkan fenomena difusi dan penyerapan disebut " Kinetika
penyerapan" (B) Keseluruhan proses kinetik yang berurutan tersebut tidak dapat saling
dipisahkan dan terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh pada berbagai tahap tersebut.
Faktor yang mempengaruhi kinetik pre-disposisi zat aktif adalah karena pemberiannya secara
khusus ada kemungkinan terjadi refleks penolakan melebihi cara pemberian bentuk sediaan
lain maka supositoria harus melepaskan zat aktifnya agar segera menimbulkan efek seefektif
cara pemberian oral.
Kecepatan dan keefektifan sediaan supositoria sangat ditentukan oleh afinitas basis
terhadap zat aktif, parameter yang harus diperhatikan pada semua keadaan. Kinetik
predisposisi terdiri atas dua tahap yaitu:
1. Penghancur sediaan.Ini ditujukan untuk pemberian lavement yang mengandung larutan zat
aktif yang menimbulkan efek farmakologi jauh lebih cepat dari pemberian supositoria
yang mengandung zat akti yang sama. Ini telah dibuktikan bahwa semakin tinggi suhu
lebur zat pembawa maka efek farmakologik yang ditimbulkan semakin lambat, dan tentu
saja tidak terjadi untuk supositoria yang melebur pada suhu 42-430 C.
2. Pemindahan dan pelarutan zat aktif kedalam cairan rektum diikuti difusi menujumembran
yang akan dibacanya (untuk efek setempat) atau berdifusi melintasi embran agar dapat
mencapai sistem peredaran darah( efek sistemik).
Transfer zat aktif dari zat pembawa yang melebur atau terlarut pada mukosa rektum
(merupakan tahap penentu dalam rangkaian proses yang terkait) tidak hanya sebagai fungsi
dari sifat lapisan yang terpapar namun juga keadaannya dalam supositoria dan beberapa sifat
fisiko kimianya yaitu sifat zat aktifnya, kelarutan zat aktif, koefisien partisi zat aktif dalam
fase lemak dan cairan rektum.

7
2.4 Pemberian Obat Secara Rektal
Pemberian obat rektal adalah obat yang cara pemberiannya melalui dubur atau anus.
Maksudnya adalah mempercepat kerja obat serta bersifat lokal dan sistematik. Biasanya
adalah obat pencahar atau obat agar melancarkan buang air besar. Biasanya dalam lingkup
rumah sakit pada pasien yang akan operasi besar ataupun sudah lama tidak bisa buang air
besar. Dan pemberian obat yang benar juga harus diperhatikan. Dengan tujuan memberikan
efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang
bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan
merangsang buang air besar. Contoh pemberian obat yang memiliki efek lokal seperti obat
dulcolac supositoria yang berfungsi secara lokal untuk meningkatkan defekasi dan contoh
efek sistemik pada obat aminofilin suppositoria dengan berfungsi mendilatasi bronkus.
Lima puluh persen aliran darah dari rektum melintas sirkulasi portal (melalui hati
biasanya pada rute oral), sehingga biotransfortasi obat oleh hati dikurangi. Bagian obat yang
diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung mencapai vena cava inferior dan tidak
melalui vena porta. Keuntungan pemberian melalui rektal (juga sublingual) dl mencegah
penghancuran obat oleh enzim usus atau pH dalam lambung.
Obat yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu
hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan obat terhindar
dari tidak aktif.
Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap dari rektum. sebaiknya
diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan digunakan pada rektum kosong. akan tetapi
setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan per oral,
berhubung vena-vena bawah dan tengah dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan
obat tidak melalui hati pada peredaran darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan
FPE (first pass effect). Pengecualian adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh
vena rectalis superior disalurkan ke vena portae dan kemudian ke hati, misalnya
thiazinamium.dengan demikian penyebaran obat didalam rektum yang tergantung dari basis
supositoria yang digunakan, dapat menentukanrutenya kesirkulasi darah. Supositoria dan
salep juga sering kali digunakan untuk efek lokal pada gangguan poros-urus, misalnya wasir.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal:
1. Faktor Fisiologis
Rektum mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas daparnya rendah. Epitel
rektum keadaannya berlipoid, maka diutamakan permiabel terhadap obat yang tak

8
terionisasi. Jumlah obat yang diabsorpsi dan masuk keperedaran darah umumnya
tergantung dimana obat itu dilepas direktum.
2. Faktor Fisika Kimia dari Obat atau Basis
a. Kadar obat dalam basis
b. Difusi obat dari basis supositoria merupakan fungsi kadar obat dan sifat kelarutan obat
dalam basis. Pengangkutan melewati mukosa rektum adalah proses difusi sederhana,
maka bila kadar obat dalam cairan renal tinggi maka absorpsi obat akan menjadi cepat
dan kecepatan absorpsi makin tinggi bagi bentuk obat yang tidak terdisosiasi.
c. Bila kelarutan obat dalam air terbatas dan tersuspensi didalam basis supositoria
maka ukuran partikel akan mempengaruhi kecepatran larutan dari obat ke cairan
renal.
d. Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan dilepas segera kecairan
renal bila basis cepat melepas setelah masuk kedalam rektum, dan obat akan segera
diabsorpsi serta kerja awal dari aksi obat akan segera nyata. Bila obat yang larut dalam
air dan berada dalam basis larut air kerja awal dari aksi obat akan segera nyata apabila
basis tadi segera larut dalam air.
Karakteristik fisika kimia obat yang mempengaruhi absorpsi :
1. Koefisien partisi lemak atau air
2. Derajat ionisasi
Bila jumlah obat dalam cairan rektal ada diatas level yang menentukan laju maka
peningkatan konsentrasi obat yang nyata tidak mempunyai peranan dalam mengubah laju
absorpsi obat yang ditentukan. Tetapi konsentrasi obat berhubungan dangan laju penglepasan
obat dari basis supositoria. Adanya surfaktan dapat atau tidak dapat mempermudah absorpsi
tergantung pada konsentrasi dan interaksi obat yang mungkin. terjadi. Ukuran partikel obat
secara langsung berhubungan dengan laju absorpsi.
Absorpsi obat dari daerah anorektal dipengaruhi oleh faktor fisiologis:
1. Isi kolon
2. Sirkulasi
3. pH
Kenyataan bahwa rektum atau kolom merupakan tempat absorpsi obat yang dapat
diandalkan terbukti dengan baik. Untuk menjaga keefektifan terapis obat dalam suatu sediaan
harus dilakukan pemilihan garam obat dan basis yang sesuai.

9
- Untuk mendapatkan efek dari suatu obat baik efek lokal maupun efek
sistemik terlebih dahulu zat aktif harus terlepas basisnya. Faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat:
1. Suhu peleburan

2. Laju pencairan dan peleburan pada supositoria dengan bahan pembawa berlemak

3. Laju pelarutan pada suposit oria dengan bahan pembawa larut air

4. Kemampuan penampakan leburan pembawa

Untuk mengetahui pelepasan zat aktif dari basis supositoria dapat diteliti secara in
vivo dan in vitro . Untuk mendapatkan hasil percobaan in vivo yang terkendali dengan
baik, maka cara pemberian per rektum tidak boleh dianggap sebagai cara pengganti rutin
untuk pemberian suatu obat. Bila zat aktif diserap dengan baik pada pemberian per oral,
maka tidak dapat dipastikan bahwa obat akan diserap denga n cara yang sama setelah
pemberian per rectum.

- Faktor formulasi
Berbagai bahan tambahan dalam bentuk obat juga mempengaruhi kinetika pelartan obat
dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Beberapa
jenis bahan tambahan seperti natrium bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat
yang bersifat asam dalam bentuk padat seperti aspirin, atau suatu media alkali yang
berdekatan dengan obat asam akan menyebabkan obat melarut secara cepat dengan
membentuk suatu asam garam yang larut dalam air. Proses ini disebut pelarutan dalam suatu
media reaktif. Obat dalam bentuk padat dapat melarut secara cepat dalam suatu pelarut yang
rektif yang mengelilingi partikel padat. Namun selama molekul obat terlarut terdifusi keluar
kebagian besar pelarut, maka obat dapat mengendap kembali dari larutan dengan ukuran
partikel sangat kecil
Pemberian Obat via Anus/Rektum
Pemberian Obat via Anus/Rektum
Merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan obat melalui anus atau
rektum,dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut
pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat,menjadikan
lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar. Contoh pemberian obat yang

10
memiliki efej lokal seperti obat dulcolac supositoria yang berfungsi secara lokal untuk
meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obataminofilin suppositoria dengan
berfungsi mendilatasi bronkus. Pemberian obatsupositoria ini diberikan tepat pada dinding
rektal yang melewati sfingter ani interna.Kontra indikasi pada pasien yang mengalami
pembedahan rektal.

Menurut sifat fisiknya basis supositoria dibagi menjadi:


a. Lemak
1. Lemak coklat
Lemak coklat merupakan basis supositoria yang paling banyak digunakan karena basis ini
mempunyai sifat-sifat fisik yang memenuhi persyaratan ideal. Namun lemak coklat memiliki
beberapa kelemahan yaitu dapat menjadi tengik, meleleh pada udara panas, menjadi cair bila
bercampur dengan obat-obatan tertentu dan pemanasan yang terlalu lama, terisomerisasi
dengan titik leleh yang terlalu rendah dan tidak dikehendaki (Coben dan Lieberman, 1994).
Lemak coklat sebagai lemak tumbuhan diperoleh dari pengepresan biji masak tanpa bungkus
dan telah disangrai dari Theobroma cacao. Lemak coklat bersifat retral secara kimia dan
fisiologis serta banyak digunakan karena daerah lebumnya 31-34°C, dan pada suhu kamar,
bentuk lemak coklat bagus.
Lemak coklat merupakan campuran trigliserida. Sekitar 78% adalah gliserol-1-palmitat-2-
oleat 3-stearat, gliserol-1,3-distearas 2-oleat dan gliserol 1,3-dipalmitat-2-oleat, dan sisanya
adalah komposisi berbagai campuran trigliserida.
2. Lemak keras.
Lemak keras banyak dimuat dalam farmakope farmakope sebagai masa supositoria yang
telah mendekati sifat ideal basis supositoria lemak keras terdiri dari mono-, di- dan
trigleserida asam-asam jenuh CHCOOH sampai CHCOOH. Lemak keras merupakan produk
semi sintesis yang di dominasi oleh asam laurat berwarna putih, mudah patah, tidak berbau,
tidak berasa, dan mempunyai kecenderungan yang sangat rendah untuk menjadi untuk
menjadi tengik (angka iod paling tinggi 3, angka iod untuk lemak coklat 35-39), Harga
viskositas leburan lemak coklat terletak sedikit lebih tinggi daripada lemak keras. Massanya
tidak larut air, melebur pada suhu 33.5-35.5°C. Interval antara titik lebur dan titik bekunya
lebih rendah daripada lemak coklat.
b. Basis yang larut dalam air dan basis yang bercampur dengan air
3. Basis gelatin gliserin

11
Basis gelatin gliserin ini paling sering digunakan dalam Supositoria vagina dimana yang
diharapkan efek setempat yang cukup lama dari unsur obatnya. Basis gelatin gliserin lebih
lambat melunak dan bercampur dengan cairan tubuh dari pada oleum cacao dan oleh karena
itu waktu pelepasan obatnya lebih lama. Oleh karena basis gelatin gliserin cenderung
menyerap uap air, akibat sifat gliserin yang higroskopis, maka basis ini harus dilindungi dari
lembab, supaya terjaga bentuk dan konsistensi supositorianya. Adanya air dalam formula
supositoria akan mengurangi kerjanya, tetapi jika perlu supositoria boleh dibasahi dengan air
sebelum pemakaiannya, untuk mengurangi kecenderungan basis tersebut menarik air dari
membran mukosa dan merangsang jaringan tubuh.
Keuntungan dari basis ini adalah melarut dengan cepat dalam rektum, Kerugiannya
adalah bahwa supositoria (basis gliserin-gelatin) khusus dengan konsentrasi yang rendah
merupakan meda makanan yang baik untuk bakteria. Sediaan ini harus dibuat segar, di
simpan dalam wadah tertutup rapat.
4. Polietilenglikol (PEG)
Polietilenglikol (PEG) merupakan polimer dari etilen oksida dan air, dibuat menjadi
bermacam-macam panjang rantainya. Bahan ini terdapat dalam berbagai macam berat
molekul dan yang paling banyak yang digunakan adalah polietilenglikol 200, 400, 600, 1000,
1500, 1540, 3350, 4000, dan 6000 Pemberian nomor menunjukkan berat molekul rata-rata
dari masing-masing polimernya. PEG yang memiliki berat molekul rata-rata 200, 400 dan
600) berupa cairan hening tidak berwarna dan mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari
1000 berupa lilin putih, padat. Macam-macam kombinasi dari PEG bisa digabung dengan
cara melebur, dengan memakai dua jenis atau lebih untuk memperoleh basis supostoria yang
diinginkan konsistensi dan sifat khasnya.
Supositoria dengan PEG tidak melebur ketika terkena suhu tubuh, tetapi perlahan-lahan
melarut dalam cairan tubuh. Oleh sebab itu basis tidak perlu diformulasi agar melebur pada
suhu tubuh. Jadi mungkin untuk menyiapkan supositoria dengan campuran PEG yang
mempunyai tik lebur lebih tinggi daripada suhu tubuh. Bahan ini bukan saja tidak
memungkinkan perlambatan obat dari basisnya begitu supositoria di masukkan, tetapi juga
memberi kemungkinan yang tepat bagi penyimpanannya di luur lemari pendingin dan tidak
melunak bila terkena udara panas. Kepadatannya pun memungkinkan untuk dimasukkan pada
waktu pemakaian secara perlahan-lahan tanpa akan melebur pada jari yang memasukkannya
(seperti pada supositoria dengan basis oleum cacao).Jika supositoria tidak mengandung
sedikitnya 20% air untuk mencegah rangsangan membran mukosa setelah dipakai, maka

12
suppositoria tersebut harus dicelupkan ke dalam air sebelum digunakan, ini mencegah
ditariknya cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan dan terjadi rasa menyengat.
5. Basis-basis Ininnya, umumnya mempunyai kombinasi dari bahan-bahan lipofilik dan
hidropobik.
Basis yang termasuk kelompok ini adalah campuran bahan bersifat seperti lemak dan
yang larut dalam air. Bahan-bahan ini diantaranya berbentuk emulsi, umumnya bertipe air
dalam minyak atau mungkin dapat menyebar dalam cairan berair. Salah satu contohnya
adalah poboksi 40 stearat. Bahan ini adalah campuran aster monostearat dan distearat dan
polioksietilendiol dan glikol bebas. Panjang polimer rata-rata sebanding dengan 40 unit
oksietilen. Bahan ini. menyerupai lilin, putih kecoklatan, padat, dan larut dalam air, titik leleh
antara 39-45°C. Basis ini mempunyai kemampuan menahan air atau larutan berair dan
kadang-kadang digabungkan sebagai basis supositoria yang hidropilik.

2.5 Obat Obat Pada Rektal

No Golongan Contoh obat Bentuk Sediaan Indikasi


1. Anti konvulsan Diazepam Gel Mengatasi gelisah
yang berlebihan,
gemetaran dan
kegilaan tiba-tiba
2. Obat pra operasi dan Pramoxine HCL Salep Anastesi lokal
induksi anastesi
3. Analgesik Pronalhes Suppositoria Mengobati nyeri
Ketoprofen Suppositoria arthritis atau sakit
gigi yang parah
4. Antiemetik Alizapride Suppositoria Mengobati rasa
mual dan muntah-
muntah
5. Senyawa anti bakteri Metronidazole Suppositoria Infeksi yang
disebabkan
trichomonolvagini
tis dan bacterial
vagionosis

13
6. Xantin Aminophilin Suppositoria Meringankan
penyakit asma
7. Obat untuk penyakit Mesalazine Suspensi Mengurangi
radang pembengkakan
pada radang usus
besar
8. Obat aktif Nifedipin Cream Pengobatan dan
kardiovaskular pencegahan
insufisiensi
koroner

2.6 Mekanisme Biofarmasi Sediaan Rectal (Supositoria)


Pemberian Obat anus/rektum merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan
obat melalui anus atau rektum dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan
pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek
terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar.
Bentuk sediaan obat melalui rectum diantaranya:
1. Salep (cream) adalah sediaan yang digunakan untuk pemberian topikal ke area perianal.
Sebagian besar digunakan untuk terapi kondisi lokal pruritis anorektal, inflamasi dan nyeri
atau ketidaknyamanan akibat wasir. Contoh :

2. Cair (larutan) Rektal adalah sediaan rektal yang sangat sedikit digunakan, karena tidak
menyenangkan dan kepatuhan pasien rendah. Dalam banyak kasus, sediaan ini digunakan
untuk memasukkan media atau agen untuk rontgen saluran pencernaan bagian bawah.
Walaupun absorpsi obat dari larutan lebih baik daripada dari suppositoria solid, tetapi

14
penggunaan jarang sekali. Contoh: ROWASA rectal suspension enema (mesalamine),
ASACOL rectal suspension enema (mesalazine).

3. Rektal aerosol atau busa rektal aerosol disertai dengan aplikator untuk memudahkan
penggunaannya.
Aplikator dimasukkan ke dalam wadah berisi produk, serta terdapat alat pengatur dosis
obat aerosol. Aplikator dimasukkan ke dalam anus dan obat dapat diberikan melalui rektal.
Beberapa contoh rektal aerosol PROCTOFOAM HC (Hidrocortisone dan Pramoxine),
CORTIFOAM (Hidrocortisone).

4. Suppositoria adalah obat solid (padat) berbentuk peluru yang dirancang untuk dimasukkan
ke dalam anus/rektum (suppositoria rektal), vagina (suppositoria vagina) uretra
(suppositoria uretra). Suppositoria umumnya terbuat dari minyak sayuran solid yang
mengandung obat. Contoh : Profeid supositoria, Dulcolax supositoria, Stesolid supositoria
Boraginol supositoria dll.

15
Mekanisme kerja supositoria dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Supositoria Berefek Mekanik
Bahan dasar supositoria berefek mekanik tidak peka pada penyerapan. Supositoria
mulai berefek bila terjadi kontak yang menimbulkan refleks defikasi, namun pada keadaan
konstipasi refleks tersebut lemah. Pada efek kontak tersebut terutama pada supositoria
gliserin terjadi fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitas gliserin terhadap air. Hal
tersebut menimbulkan gerakan peristaltic.
2. Supositoria Berefek Setempat
Termasuk dalam kelopok ini adalah supositoria anti wasir. Yaitu senyawa yang efeknya
disebabkan oleh adanya sifat astringen atau peringkas pori. Ke dalam basis supositoria yang
sangt beragam kadang-kadang ditambahkan senyawa peringkas pori baik dengan cara
penyempitan maupun hemostatik. Dalam formula supositoria sering terdapat senyawa
penenang. Obat tersebut bekerja secara rangkap baik terhadap perifer maupun sentral yang
terakhir ini sepenuhnya berefek sistemik.
3. Supositoria Berefek Sistemik
Adalah supositoria yang mengandung senyawa yang diserap dan berefek pada organ
tubuh selain rektum. Pada kelompok ini termasuk supositoria nutritive,supositoria obat.
 Supositoria Nutritif
Digunakan pada penyakit tertentu dimana saluran cerna tidak dapat menyerap makanan.
Jumlah senyawa yang diserap tentu saja sedikit, namun sudah cukup untuk
mempertahankan hidup.
 Supositoria Obat

16
Supositoria tersebut mengandung zat aktif yang harus diserap, mempunyai efek
sistemik dan bukan efek stempat. Bila supositoria obat dimasukan ke dalam rektum
pertama-tama akan timbul efek refleks, selanjutnya supositoria melebur atau melarut
dalam cairan rektum hingga zat aktif tersebar dipermukaan mukosa, lalu berefek
setempat dan selanjutnya memasuki sistem getah bening. Obat yang masuk ke
peredaran darah akan berefek spesifik padda organ tubuh tertentu sesuai dengan efek
terapetiknya.
Kemampuan penembusan dan penyerapan obat dengan pemberian secara rektal
terutama tergantung pada sifat fisika kimianya, peranan bahan pembawa pada peristiwa ini
sangat kompleks sehingga dengan pemilihan bahan pembawa yang sesuai maka kemungkinan
ketersediaan hayati dari zat aktif dapat diperbaiki.

2.7 Cara Menggunakan Sediaan Rektal


merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan obat melalui anus atau
rektum,dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut
pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat,menjadikan
lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar
Adapun cara penggunaan sediaan rectal ini yaitu :
1. Cuci tangan
2. Gunakan sarung tangan
3. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa
4. Olesi ujung obat supositoria dengan pelican
5. Minta pasien mengambil posisi tidur miring (sims) lalu regangkan bokong dengan tangan
kiri. Kemudian masukkan supositoria dengan perlahan melalui anus, sfingter interna dan
mengenai dinding rektal kurang lebih 10 em pada orang dewasa, dan kurang lebih 5 cm
untuk anak bayi
6. Setelah selesai, tarik jari tangan dan bersihkan daerah sekitar anal dengan tisu
7. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring telentang/miring selama kurang lebih 15 menit
8. Kemudian lepaskan sarung tangan
9. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan

17
2.8 Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Rektal
Adapun keuntungan pemberian obat secara rectal yaitu :
1. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar diri
2. Bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam atau oleh enzim
usus
3. Bila zat aktif mengalami kerusakan pada perlintasan pertama melalui hati
4. Dapat menghindari iritasi lambung
5. Obat dapat msauk langsung kedalam saluran darah sehungga obat dapat berefek lebih
cepat dari pada penggunaan obat per oral.
Adapun kerugian pemberian obat melalui rektum adalah :
1. Tidak menyenangkan
2. Absorpsi obatnya tidak teratur
3. Onset of action lebih lama
4. Jumlah total zat aktif yg dapat diabsorbsi kadang-kadang lebih kecil dari rute pemberian
yang lain
5. Dosis dan posisi absorbsi dapat menimbulkan peradangan bila digunakan secara terus
menerus

18
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Rektum adalah organ terakhir dari usus besar pada beberapa jenis mamalia yang
berakhir di anus. Rektal atau rectum merupakan salah satu organ dalam saluran
pencernaan yang diketahui sebagai bagian akhir proses ekskresi feses sebelum anus.
Rectal merupakan bagian dari kolon. Terdapat empat lapisan rektum dari arah luar ke
dalam berurutan: lapisan serosa peritoneal, lapisan otot, lapisan bawah mukosa, dan
lapisan mukosa.
2. Penyerapan rektum dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang juga mempengaruhi
proses penyerapan pada cara pemberian lainnya, kecuali intra vena dan intaarteri.
Penyerapan di rektum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu: lewat pembuluh darah
secara langsung, lewat pembuluh getah bening, dan lewat pembuluh darah secara
tidak langsung melalui hati.
3. Rektal dibagi menjadi rectal semisolid seperti cream dan gel, contohnya anusol; rektal
larutan, contohnya asacol rectal suspension enema (mesalazine); rektal aerosol,
contohnya Proctofoam HC, Cortifoam; dan supossitoria, contohnya dulcolax
supossitoria, dll.
3.2 SARAN
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan tentang makalah
dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan dapat lebih dipertanggung jawabkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2000. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Indonesia.
Ansel. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
A.Aziz Alimul Hidayat, Musrifatul Uliyah. 2002. Buku Saku Praktikan Kebutuhan Dasar
Manusia: EGC
A.Aziz Alimul Hidayat, Musrifatul Hidayat. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik:
Salemba Medika
Dr. Lyndon Saputra. 2013. Keterampilan Dasar Untuk Perawat dan Bidan: Binarupa
Aksara Publisher
Eny Retra Ambarwati, Tri Sunarsih. 2009.KDPK Kebidanan. Jogjakarta: Nuha Medika
Potter, Perry, 2010. Fundamental Keperawatan Edisi 7: Salemba Medika
Syamsuni, 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

20

Anda mungkin juga menyukai