Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH SISTEM PENGHANTARAN OBAT

“ SEDIAAN LEPAS TUNDA KOLON TARGETING “

DISUSUN OLEH :

ABDURROHMAN 201951019
DENAKURYA APRIJUWANTI 201951057
NOVA YANTI SITANGGANG 201951148
RIZKY ARDIANSYAH 201951176
ROSSY TRIASTUTY 201951181
SELPIA HANDAYANI 201951190
SUSI TAMBUNAN 201951249

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL
JAKARTA 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah berjudul Sediaan Lepas Tunda Kolon Tergeting.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas sistem
penghantaran obat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Sediaan Lepas Tunda Kolon Targeting” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun agar dalam penulisan makalah bisa lebih baik lagi dimasa mendatang.

Jakarta, Juli 2022

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................I

DAFTAR ISI....................................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1

1.1.Latar Belakang......................................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
1.3.Tujuan...................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3

2.1.Definisi Kolon..........................................................................................................3
2.1.1.... Anatomi Kolon.............................................................................................3
2.1.2.... Penyusun Kolon........................................................................................... 5
2.2.Drug Delivery System..............................................................................................5
2.2.1.... Uraian Drug Delivery System......................................................................5
2.2.2.... Colon Targeted Drug Delivery.....................................................................6
2.2.3.... Keuntunguna Colon Targeted Drug Delivery System................................. 8
2.2.4.... Kerugian Colon Targeted Drug Delivery System........................................8
2.3.Penyakit pada Kolon................................................................................................ 9
2.4.Mekanisme kerja obat pada Kolon.........................................................................12
2.4.1.... Kriteria Pemilihan Obat CDSS kandidat....................................................15
2.4.2.... Penyakit, obat, dan situs penargetan usus besar.........................................16
2.5. Prosedur Penelitian................................................................................................16
2.6. Formula Rancangan...............................................................................................16
2.7 Evaluasi Sediaan Tablet Hormphysa triquetra....................................................... 17
2.8 Prodrug Approach Drug Delivery to Colon........................................................... 18

BAB III KESIMPULAN..............................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemberian obat secara oral dikenal sebagai rute pemberian obat yang paling banyak
digunakan dibandingkan dengan rute pemberian obat lainnya dan telah dikembangkan untuk
penyampaian obat secara sistemik dengan berbagai bentuk sediaan dengan formulasi yang
berbeda (Kumar, dkk., 2012). Hal ini disebabkan oleh kemudahan dalam penggunaan serta
formulasi bentuk sediaan (Badoni dkk., 2012). Penyampaian obat secara oral dimaksudkan untuk
efek sistemik dari obat yang dihasilkan setelah terjadi absorpsi pada berbagai permukaan di
sepanjang saluran cerna. Beberapa obat ditelan untuk kerja lokal pada daerah yang tertentu
dalam saluran cerna (Ansel, 2008).
Colon Targeted Drug Delivery telah menjadi fokus dari sejumlah studi pada beberapa
tahun belakangan yang didasari oleh potensinya dalam meningkatkan pengobatan penyakit lokal
pada usus besar dan minimalisir efek samping obat secara sistemik. Penyakit lokal tersebut
adalah Crohn’s disease (CD), ulcerative colitis (UC), dan irritable bowel syndrome (IBS).
Penghantaran obat – obatan ini ke kolon tanpa di absorpsi terlebih dahulu di bagian atas saluran
pencernaan sehingga konsentrasi obat mencapai kolon lebih tinggi (Amidon dkk, 2015).
Eliminasi yang teratur dari sisa – sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang
normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian
tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pada
eliminasi dan kebiasaan masing – masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari
perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Pada keadaan sakit klien tidak
dapat menggunakan toilet dan tidak memiliki program yang teratur. Lingkungan rumah bisa
menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas.
Kolon adalah bagian ujung dari saluran pencernaan manusia, yang terdiri dari usus besar
rektum, dan anus. Kolon dimulai pada sisi kanan bawah perut, dimana usus kecil mengosongkan
isi pencernaan ke dalam bagian pertama dari usus besar (sekum). Kolon naik dari sekum ke atas
sehingga sejajar dengan hati, kemudian menikung tajam ke kiri dan melewati lambung secara
melintang.

1
Pada tingkat limpa, kolon turun dari sisi kiri lambung ke panggul, dimana ia menjadi
daerah sigmoid. Kolon sigmoid mengosongkan isinya ke dalam anus, dimana bahan limbah
akhirnya di buang dari tubuh anda.
Rektum dan kolon mampu menyerap banyak obat yang diberikan secara rektal untuk
tujuan memperoleh efek sistemik, hal ini dapat menghindari perusakan obat atau obat menjadi
tidak aktif karena pengaruh lingkungan perut dan usus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Anatomi kolon
2. Apa yang dimaksud dengan Sistem Penghantaran Obat di dalam kolon
3. Sediaan obat yang dapat digunakan untuk penyakit pada Kolon

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami Anatomi Kolon
2. Untuk memahami Sistem Penghantaran Obat didalam Kolon
3. Untuk mengetahui Sediaan Obat yang dapat digunakan untuk penyakit pada Kolon

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m
yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar sari
usus halus, yaitu sekitar 6,5 cm, tetapi makin dekat anus diamaternya semakin kecil.
2.1.1 Anatomi Kolon atau Usus Besar
Usus besar terdiri dari sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal
dan
spendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menepati dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah
terjadinya aliran balik bahan fekal ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden,
transversum, desenden dan sigmoid.
Usus besar atau kolon memiliki panjang + 1 meter dan terdiri atas kolon ascendes, kolon
transversum, dan kolon descendes. Di antara intestinum tenue (usus halus) dan intestinium
crassum (usus besar) terdapat sekum (usus buntu). Pada ujung sekum terdapat tonjolan kecil
yang disebut appendiks (umbai cacing) yang berisi massa sel darah putih yang berperan dalam
imunitas.
Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas secara
berturut – turut disebut sebagai feksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai
setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk S. Bagian utama usus besar yang
terakhir disebut sebagai rektum, yang membentang dari kolon sigmoid hingga anus. Satu inci
dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh sfingter ai internus dan an eksternus.
Panjang rektum da kanalis ani adalah sekitar 15 cm.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita
yang disebut sebagi taenia koli. Panjang taenia lebih pendek daripaa usus, sehingga usus tertarik
dan berkerut mebentuk kanting-kanting kecil yang disebut haustra. Apendises epiploika adalah
kantong- kantong kecil peritonium yang berisi lemak dan melekat sepanjag taenia. Usus besar
secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima.

3
Arteria mesentrika superior memperdarahi belahan kanan (sekum, kolon asenden, dan duapertiga
proksimal kolon tranversum), dan arteria mesentrika inferior mendarahi bagian kiri (sepertiga
distal kolon tranversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai
darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media an inferior yang dicabangkan
dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian sfingter
eksterna yang bersda dalam pengendalian volunter. Serabut parasimpatis bejalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon tranversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakra
menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf
splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian
serabut pasca ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi,
serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi
usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorbsi air dan elektrolit, yang sudah
hampir selsai dlam kolon dekstra. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung
masa feses yang sudah terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi. Banyaknya bakteri yang
terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-
zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K.
Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang
bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
Zat - zat sisa di dalam usus besar didorong ke bagian belakang dengan gerakan peristaltik.
Zat - zat sisa ini masih mengandung banyak air dan garam mineral yang diperlukan oleh tubuh.
Air dan garam mineral kemudian diabsorpsi kembali oleh dinding kolon, yaitu kolon ascendens.
Zat-zat sisa berada dalam usus besar selama 1 sampai 4 hari. Pada saat itu terjadi proses
pembusukan terhadap zat-zat sisa dengan dibantu bakteri Escherichia coli, yang mampu
membentuk vitamin K dan B12. Selanjutnya dengan gerakan peristaltik, zat-zat sisa ini terdorong
sedikit demi sedikit ke saluran akhir dari pencernaan yaitu rektum dan akhirnya keluar dengan
proses defekasi melewati anus.
Fungsi Usus Besar yaitu :
1. Menyimpan dan eliminasi sisa makanan.

4
2. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, dengan cara menyerap air.
3. Mendegradasi bakteri.
2.1.2 Penyusun Kolon
Colon terdiri dari atas empat lapisan dinding yang sama sepetri usus halus. Jaringan
penyusun usus besar terdiri dari Tunika mucosa (lapisan lendir), dengan bagian: epitel, lamina
propia, dan muscularis mucosa yang tidak memiliki villi. Jaringan epitel terdiri atas sel-sel
batang yang pada puncaknya terdapat banyak microvilli. Membran sel ke arah lumen diselaputi
oleh kutikula.
Kelenjar yang terdapat pada usus besar yaitu kelenjar Lieberkuhn. Kelenjar ini berbentuk
panjang dan banyak mengandung sel goblet. Kelenjar pada usus besar mengandung sel goblet,
sel Paneth, dan sel APUD. Namun yang dominan adalah sel goblet. Sel Paneth sukar ditemukan.
Sedangkan sel APUD terdapat cukup banyak. Pada usus besar, terdapat banyak lamina propia
yang mengandung nodul limfa dan menerobos masuk menuju ke tunika submukosa (Marieb,
2004).
Lapisan muscularis-mucosa mengandung dua lapis otot polos, longitudinal dan sirkuler. Fungsi
alat ini ialah absorpsi air, vitamin hasil sistesa simbiosis dengan bakteri colon, dan pembentukan
tinja. Tunika submucosa, mengandung terobosan nodul limfa. Tunika muscularis terdiri dari dua
lapisan otot, tetapi, lapisan longitudalnya membentuk tiga gumpal otot seperti pipa, disebut
teniae coli. Tunika serosa memiliki tonjolan jaringan lemak (Kerr, 1998).
Setidaknya ada 4 lapisan penyusun yang sama seperti usus halus untuk membentuk
dinding
usus besar. Serabut memanjang pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi
rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Sementara dinding selaput lendir yang lebih halus
dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki jonjot (pompa pendorong). Di dalam selaput
tersebut terdapat kelenjar yang serupa dengan kelenjar tubuler (berbentuk pipa) dan dilapisi oleh
epitel berbentuk silindris yang berisi sel cangkir.

2.2 Drug Delivery System


2.2.1 Uraian Drug Delivery System
Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat yang paling
banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat lainnya dan telah

5
dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik dengan berbagai bentuk sediaan dengan
formulasi yang berbeda. Saat ini para ilmuwan farmasi berusaha mengembangkan sistem
pemberian obat “Drug Delivery System” yang ideal. Sistem pemberian obat yang ideal ini harus
memiliki kemampuan untuk satu dosis pemberian obat dapat digunakan selama pengobatan dan
harus menyampaikan obat langsung di lokasi tertentu yang diinginkan dalam pengobatan. Para
ilmuwan ini telah berhasil mengembangkan sistem penyampaian obat yang mendekati sistem
penyampaian yang ideal tersebut dan mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan sistem
penyampaian obat yang terkontrol atau “Controlled Release System” (Kumar, dkk. 2012).
Desain penyampaian obat secara oral ini, obat pelepasannya dipertahankan berlangsung
terus menerus ditujukan untuk mencapai pelepasan obat yang efektif, konsentrasi obat dalam
jaringan target dapat ditentukan dan mengoptimalkan efek terapetik obat yang dilakukan dengan
cara mengendalikan pelepasan obat di dalam tubuh dengan dosis obat tertentu. Biasanya obat
konvensional diberikan dalam dosis berkala yang diformulasikan sedemikian rupa untuk
memastikan stabilitas, aktivitas dan bioavalabilitas sediaan obat. (Kumar, dkk. 2012). Dengan
demikian penyampaian obat dengan cara ini dapat mengurangi frekuensi pemberian dosis obat.
Obat diberikan dalam dosis tunggal untuk memperpanjang aksi terapetiknya dan juga
meningkatkan efektivitas obat dengan penyampaian obat langsung di lokasi tempat kerjanya atau
lokasi target (Neetika dan Manish, 2012).
2.2.2 Colon Targeted Drug Delivery
Sistem penghantaran obat ke kolon cocok untuk pengobatan lokal untuk penyakit chron,
kolitis ulseratif, kanker kolon dan juga untuk penghantaran obat berupa protein dan peptid (Kolte,
dkk, 2012). Sistem penghantaran obat ke kolon banyak di teliti beberapa tahun terakhir karena
memiliki potensi untuk meningkatkan pengobatan penyakit pada kolon dengan meminimalkan
efek samping secara sistemik (Amidon, dkk, 2015). Sistem ini harus mampu melindungi obat
selama perjalanan menuju kolon. Pelepasan dan absorpsi harus terjadi pada saat sistem mencapai
kolon (Ranthone, dkk, 2013). Jika suatu sistem penghantaran obat ke kolon berfungsi dengan
sempurna maka obat tidak akan terlepas pada saluran cerna bagian atas (Ranthone, dkk, 2013).
Obat yang diberikan secara per oral akan melewati gradien pH pada saluran
gastrointestinal dengan kisaran 1,2 pada lambung sampai 6,6 pada usus halus bagian proksimal
dan mencapai 7,5 pada usus halus bagian distal. Perbedaan pH antara lambung dan usus yang
akan mempengaruhi penghantaran obat ke usus dapat diatasi dengan penyalutan obat dengan

6
polimer pH sensitif. Prinsip penggunaan polimer pada penghantaran obat ke kolon yang
pelepasannya dikendalikan oleh pH adalah berdasarkan nilai pH. Polimer yang digunakan tidak
larut pada pH rendah namun kelarutannya akan meningkat seiring dengan meningkatnya pH
(Kolte, dkk, 2012).
Sistem penghantaran tertarget ke kolon harus mampu melindungi obat selama perjalanan
obat menuju situs target, seperti pelepasan dan absorbsi obat tidak boleh terjadi di lambung
maupun usus halus. Kelebihan lain yang ditawarkan sistem ini adalah dapat mengurangi efek
samping yang dapat ditimbulkan pada pemberian sistemik, tidak hanya pada dosis rendah namun
juga yang terkait dengan dosis tinggi (Chourasia dan Jain, 2003).
Sistem penghantaran ini telah banyak dilakukan pengembangan, pengembangan yang
dilakukan dapat dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain karakteristik saluran pencernaan serta
metode penghantaran yang digunakan. Karakteristik saluran pencernaan yang dapat
mempengaruhi kontrol pelepasan obat antara lain waktu transit dan pH dari masing-masing
kompartemen saluran cerna. Perbedaan pH di lambung, usus halus, dan kolon masing – masing
berurutan adalah sekitar 1,5 – 3,5; 7-8; dan 5,5 – 7 dapat dijadikan pendekatan untuk pentargetan
obat di kolon, begitu juga dengan perbedaan waktu transit pada lambung, usus halus, dan kolon
yang masing – masing berurutan sebesar 2-6 jam, 3 + 1 jam dan hingga 27 jam (Li dan Jasti,
2006).
Pendekatan lain yang dapat digunakan berdasarkan karakteristik kolon adalah keberadaan
mikroflora di kolon yang dapat menghasilkan enzim – enzim tertentu, sehingga dapat digunakan
bahan – bahan spesifik yang dapat diuraikan oleh mikroflora di kolon tersebut (Amritpal, dkk,
2014). Sehingga pengembangan pendekatan pelepasan obat yang dipengerahui karakteristik
sistem pencernaan antara lain didasarkan pada perbedaan ph, waktu transit, serta keberadaan
mikroflora di dalam kolon. Sedangkan pengembangan pendekatan pelepasan obat yang di
pengaruhi metode penghantaran antara lain modifikasi kimia dan degradasi polimer.
Absorpsi dan degredasi bahan aktif (obat) pada bagian atas saluran cerna adalah masalah
utama pada sistem penghantaran obat melalui rute oral yang harus diatasi untuk mencapai
keberhasilan sistem penghantaran obat bersasaran colon (targeted colonic). Dalam
pengembangan sediaan bersasaran colon ini ada 4 elemen essensial yang saling terkait, yaitu :
penyakit, obat, tujuan (sasaran) dan sistem penghantaran obat. Jadi dalam pengembangan sediaan
sasaran colon ini perlu dipelajari dengan baik :

7
1. Memahami dengan baik masalah fisiologi salur cerna. Waktu transit sediaan melewati
segmen utama salur cerna. Sebagai kebalikan transit adalah waktu tinggal sediaan dalam
masing - masing segmen salur cerna. Faktor yang mempengaruhi sediaan di masing
masing lokasi dan kondisi termasuk : disintegrasi fisik, digesti intraluminal, ambilan
mucosal, biotransformasi dan absorpsi dan lain sebagainya.
2. Keterkaitan dengan sifat fisikokimia obat.
3. Mendesain formulasi yang sesuai untuk sistem colonic ini.
Rute oral obat administrasi adalah yang paling nyaman dan penting metode pemberian
obat
untuk efek sistemik. Hampir 50% dari pemberian obat sistem yang tersedia di pasar adalah DDS
lisan dan sistem ini memiliki keuntungan lebih karena pasien penerimaan dan kemudian
administrasi. Selama dekade terakhir telah ada minat mengembangkan spesifik lokasi formulasi
untuk menargetkan obat untuk usu besar. Colon drug delivery system telah memperoleh
pentingnya meningkat tidak hanya untuk pengiriman obat untuk pengobatan lokal penyakit yang
berhubungan dengan usus seperti Crohn penyakit, kolitis, ulserativa usus iritasi sindrom dan
sembelit, antihipertensi obat dan agen antidiabetes.
2.2.3 Keuntungan Colon Targeted Drug Delivery System
Keuntungan colon targeted drug delivery system meliputi :
1. Penghantaran obat bertarget ke kolon dalam mengobati penyakit pada kolon memastikan
obat masuk dan secara langsung bekerja pada area yang terpengaruh sehingga dengan hal
ini dosis obat yang digunakan menjadi lebih kecil dan secara tidak langsung
meminimalisir terjadinya efek samping secara sistemik.
2. Penghantaran obat ke kolon juga dapat digunakan sebagai ambang masuknya obat ke
dalam sistem peredaran darah dimana obat bertemu dengan protein dan peptida yang
dapat merusak atau menyebabkan obat terabsorbsi tidak sempurna pada bagian atas
saluran pencernaan.
3. Selain untuk mengobati penyakit lokal pada usus besar, penghantaran obat bertarget ke
kolon juga dapat digunakan untuk chronotherapy (sebuah metode dimana obat diberikan
pada waktu yang telah disesuaikan dengan jam biologis tubuh) sebagai pengobatan yang
efektif terhadap penyakit asma, angina, dan arthritis (Reddy, dkk, 2016).
2.2.4 Kerugian Colon Targeted Drug Delivery System

8
Kerugian Colon Targeted Drug Delivery System meliputi :
1. Variasi pH usus halus dan usus besar pada tiap individu menyebabkan obat mungkin
terlepas pada tempat yang tidak diinginkan. Pelepasan obat mungkin berbeda dari
individu yang satu dengan yang lainnya menyebabkan ketidak efektifan dalam terapi.
2. Level pH pada usus halus dan caecum hampir sama menyebabkan penurunan spesifitas
dalam formulasi.
3. Kerugian utama sistem penghantaran obat bertarget ke kolon adalah spesifisitas tujuan
yang rendah.
4. Dien dan penyakit dapat mempengaruhi mikroflora pada kolon yang dapat
mempengaruhi penghantaran obat ke kolon. Seperti adanya obat pada GIT dapat
mempengaruhi farmakokinetik obat. Pada keadaan terdapatnya penyakit level pH pada
saluran cerna akan berbeda dengan orang yang sehat. Hal ini mempengaruhi pelepasan
obat bergantung pH.
5. Degredasi secara enzimatik mungkin terjadi dalam kurun waktu yang sangat lambat
sehingga dapat menyebabkan interupsi pada degredasi polimer sehingga menyebabkan
perubahan profil pelepasan obat.
6. Variasi lain yang menyebabkan waktu retensi lambung meningkat dapat menyebabkan
obat terlepas pada tempat yang tidak diinginkan seperti pada kasus time dependent
colonic drug delivery system (Reddy, dkk, 2016).

2.3 Penyakit – penyakit pada kolon


1. Proctosigmoiditas
Proctosigmoiditas melibatkan peradangan rektum dan sigmoid colon (suatu segmen yang
pendek dari usus besar yang berdekatan pada rektum). Gejala – gejala proctosigmoiditas,
seperti yang dari proctitis, termasuk perdarahan rektum, urgensi, dan tenesmus. Beberapa
pasien – pasien dengan proctosigmoiditas juga mengembangkan diare yang berdarah dan
kejang – kejang.
2. Kolitis
Kolotis (radang usus besar) sisi kiri melibatkan peradangan yang mulai pada rektum dan
memanjang keatas usus besar (kolon) kiri (sigmoid colon dan kolon yang menurun).

9
Gejala – gejala kolitis sisi kiri termasuk diare yang berdarah, kejang – kejang perut,
kehilangan berat badan, dan sakit / nyeri perut sebelah kiri.
3. Pancolitis
Pancolitis atau kolitis universal (universal colitis) merujuk pada peradangan yang
mempengaruhi seluruh kolon (usus besar, kolon kanan, kolon kiri, kolon transverse atau
melintang dan rektum). Gejala – gejala pancolitis termasuk diare berdarah, sakit perut
dan kejang – kejang, kehilangan berat badan, kelelahan, demam, dan keringat – keringat
malam. Beberapa pasien – pasien dengan pancolitis mempunyai peradangan derajat
rendah dan gejala – gejala ringan yang siap merespon pada obat – obat. Umumnya,
bagaimanapun, pasien – pasien dengan pancolitis menderita penyakit yang lebih berat
dan lebih sulit untuk dirawat daripada mereka yang dengan bentuk – bentuk radang borok
usus besar yang lebih terbatas.
4. Fulminat colitis
Fulminat colitis adalah suatu bentuk pancolitis yang jarang namun berat. Pasien – pasien
dengan fulminat colitis adalah sangat sakit dengan dehidrasi, sakit perut yang parah, diare
yang diperpanjang dengan perdarahan, dan bahkan shock. Mereka beresiko
mengembangkan toxic megacolon (dilatasi atau pelebaran kolon yang ditandai yang
disebabkan oleh peradangan yang parah) dan robek / pecahnya kolon (perforasi). Pasien –
pasien dengan fulminat colitis dan toxic megacolon dirawat dirumah sakit dengan obat –
obat intravenus (melalui urut nadi) yang berpotensi. Kecuali kalau mereka merespon pada
perawatan dengan segera, pengangkatan secara operasi dari kolon yang berpenyakit
adalah perlu untuk mencegah robek / pecahnya kolon.
Saat intensitas peradangan kolon pada radang borol usus besar berlapis lilin (wax) dan
menyusut melalui waktu, lokasi dan luasnya penyakit pada seorang pasien umumnya
tinggal konstan. Oleh karenanya, ketika seorang pasien dengan ulcerative proctitis
mengembangkan suatu kekambuhan penyakitnya, peradangan biasanya terbatas pada
rektum. Meskipun demikian, sejumlah kecil pasien – pasien (kurang dari 10%) dengan
ulcerative proctitis atau proctosigmoiditis dapat mengembangkan kolitis yang lebih
ekstensif di kemudian hari. Jadi, pasien – pasien yang pada awalnya hanya mempunyai
ulcerative proctitis dapat di kemudian hari mengembangkan kolitis sisi – kiri atau bahkan
pancolitis.

10
5. Kanker kolorectal
Kanker kolorectal sering juga disebut sebagai kanker kolon atau kanker usus besar.
Penyakit ini pertama – tama tumbuh di dalam usus besar atau rektum. Kanker usus besar
merupakan jenis kanker yang paling sering terjadi di Singapura. Insiden kanker ini terus
meningkat baik dikalangan pria maupun wanita. Di Singapura, kanker jenis ini
merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, bersama dengan Taiwan, Jepang dan
Australia. Berita bagusnya, jumlah kematian akibat kanker usus besar telah merosot
dalam 15 tahun terakhir. Ini berkat semakin banyak orang yang mengikuti skrining
kesehatan secara teratur, yang bisa mendeteksi kanker usus besar sejak dini. Pengobatan
kanker usus besar juga semakin baik, sehingga pasien dapat dirawat dengan lebih efektif.
Deteksi dini kanker usus besar biasanya dapat menyembuhkan secara total. Tidak ada
penyebab tunggal dari kanker usus besar, dan dalam sebagian besar kasus, kanker ini
dimulai dengan polip yang tumbuh menjadi kanker. Usus besar adalah bagian dari sistem
pencernaan. Sebagaimana kita ketahui sistem pencernaan dimulai dari mulut, lalu
kerongkongan (esofagus), lambung, usus halus (duodenum, yeyunum, ileum), usus besar
adalah bagian usus sesudah usus halus, terdiri dari kolon sebelah kanan (kolon asenden),
kolon sebelah tengah atas (kolon transversum) dan kolon sebelah kiri (kolon desenden).
Setelah kolon, barulah rektum yang merupakan saluran di atas dubur. Bagian kolon yang
berhubungan dengan usus halus disebut caecumm sedangkan bagian kolon yang
berhubungan dengan rektum disebut kolon sigmoid.
Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat terkena kanker colorectal untuk
kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan riwayat kanker di indung telur, uterus
(endometrium) atau payudara mempunyai tingkat resiko yang lebih tinggi untuk terkena
kanker colorectal. Kanker colorectal lebih bisa terjadi pada usia manusia yang semakin
tua. Lebih dari 90 persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah 50 tahun
ke atas. Gejala umum dari kanker colorectal adalah perubahan pada kebiasaan buang air
besar. Gejala antara lain :
 Perubahan kebiasaan buang air besar (diare atau sembelit/konstipasi)
 Usus besar anda terasa tidak kosong seluruhnya
 Ada darah (baik merah terang atau kehitaman) di kotoran anda
 Kotoran anda lebih sempit dari biasanya

11
 Sering kembung atau keram perut, atau merasa kekenyangan atau begah
 Kehilangan berat badan tanpa alasan
 Selalu merasa sangat letih
 Mual atau muntah – muntah
6. Polip usus
Polip di usus : polip adalah pertumbuhan pola dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas. Sebagian besar polip bersifat jinak
(bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat menjadi kanker.
Berbagai polip colon dapat berdegenerasi maligna dan setiap polip kolon harus dicurigai,
normalnya kromosom sehat mengontrol pertumbuhan dari sel. Jika kromosomnya rusak,
pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol, tumbuh polip. Polip colon menunjukan jinak,
bila bertahun – tahun polip colon jinak dapat menjadi karsinoma.
7. Penyakit crohn
Colitis Ulcerativa atau penyakit Crohn : orang dengan kondisi yang menyebabkan
peradangan pada kolon (misalnya ulcerativa atau penyakit crohn) selama bertahun –
tahun memiliki resiko yang lebih besar.

2.4 Mekanisme kerja obat – obat pada kolon


Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau dengan
berinteraksi denga tempat reseptor. Jel alumunium hidroksida obat mengubah zat kimia suatu
cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung). Obat – obatan, misalnya
gas anestsimum. Berinteraksi dengan membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan
pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel.
Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena memiliki
bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya.
Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel
dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung
berespons pada preparaat digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akn melalui tiga fase : farmasetik (disolusi),
farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat
berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane biologis. Jika obat diberikan

12
melalui rute subkutan, intramuscular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase
kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase) : absorpsi, distribusi,
metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga,
terjadi respons biologis atau fisiologis.
A. Fase Farmasetik (Disolusi)
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik(disolusi) adalah
fase
pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat
diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel
kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam yang
dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan
mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat sperti ion kalium (K) dan
natrium (Na) dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat
tersebut. Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam
lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin maka obat lebih banyak
di absorbsi
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil,
dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal
untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk
berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk
cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada
umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam
yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua mempunyai keasaman
lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat
yang diabsorpsi terutama melalui lambung.
Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat disintegrasi oleh
asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada dalam suasana basa di dalam
usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama,
sehingga oleh karenanya obat-obat demikian kurang efektif atau efek mualnya menjadi lambat.

13
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat mengganggu pengenceran dan absorpsi
obat – obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan
diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
B. Fase Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai tempat
kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan perawat menggunakan pengetahuan
farmakokinetiknya ketika memberikan obat, memilih rute pemberian obat, menilai resiko
perubahan kerja obat, dan mengobservasi respons klien.Empat proses yang termasuk di
dalamnya adalah : absorpsi, distribusi, metabolism (biotransformasi), dan ekskresi(eliminasi).
1. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi dari saluran
gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif, absorpsi aktif, rinositosis atau
pinositosis.
Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa untuk bergerak melawan
konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH.
Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi
absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat
masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat
mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga
menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute pemberian obat,
daya
larut obat dan kondisi di tempat absorpsi.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Saat lambung
terisi
makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum, sehingga absorpsi melambat.
Beberapa makanan dan antasida membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat
melewati lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin.
Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama

14
makan. Selubung enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat
tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan
lambung dari iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan. Perawat dapat
meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien.
Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk
eliksir atau sirup. Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi
obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran
cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran cerna.
Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui
implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan. Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi,
dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan
atau segera setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat,
misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan
satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan. Sebelum
memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau
berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
C. Fase Farmakodinamik
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan
mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi primer atau sekunder
atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan
atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah
difenhidramin (benadryl) suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk
mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang
menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil,
tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.

2.4.1 Kriteria Pemilihan Obat CDSS kandidat


Kriteria Kelas Farmakologi Obat non-peptida Obat peptida

15
Obat yang digunakan Obat anti inflamasi Oksiprenolol, Amylin,
untuk efek lokal di usus Metoprolol, Oligonukleotida
besar terhadap penyakit Nifedipin Antisense
GIT
Obat – obatan kurang Obat Antihipertensi Ibuprofen, Siklosporin,
diserap dari GIT atas dan antiangina Isosorbid, Desmopresin
teofilin
Obat kanker usus besar Obat antineoplastik Pseudoefedrin Epoetin, Glukagon
Obat – obatan yang Peptida dan protein Bromofenaramin, Gonadorelin,
terdegredasi di lambung 5 – Flourouracil, insulin, interferon
dan usus halus Doxorubicin
Obat yang mengalami Nitrogliserin dan Bleomisin, Protirelin,
metabolisme lintas kortikosteroid Nikotin Sermorelin,
pertama ekstensif Saloatonin

2.4.2 Penyakit, obat, dan situs penargetan usus besar


Situs Target Konidisi Penyakit Obat
Lokal Pankreatektomi dan Fibrosis Suplemen saluran digestif 5-
Kistik , Kanker Kolorektal fourouracil

Sistemik Untuk mencegah iritasi Steroid


lambung, untuk mencegah Insulin
aksi umpan metabolisme obat Penyakit tipus
yang ditelan secara oral,
pengiriman oral peptida,
pemberian vaksin secara oral

2.5. Prosedur Penelitian (Pembuatan Tablet Hormophysa Triquertra dengan Guar Gum)

16
Pembuatan tablet ini merupakan formula tablet Hormophysa triquetra menggunakan polimer
guan gum sebagai matriks dengan konsentrasi F1 : 7,5, F2:12,5% dan F3 : 17,5 %. Formula ini
dibuat dengan tujuan membandingkan polimer Guar gum yang terdiri dari F1, F2 dan F3
untuk melihat formula mana yang paling optimum di kolon. Proses pembuatannya adalah
dengan metode kempa langsung dengan bobot 500 mg per tablet.

2.6. Rancangan Formula


F1 adalah tablet Homophysa triquetra dengan konsentrasi polimer Guar gum sebagai matriks
sebesar 7,5%, F2 adalah tablet Hormophysa triquetra dengan konsentrasi polimer Guar gum
sebagai matriks sebesar 12,5%. Berikut ini adalah rancangan formula untuk penelitian ini :

NO NAMA BAHAN FUNGSI F1 F2 F3


(mg) (mg) (mg)
1 Mikrosfer ekstrak Bahan Aktif 100 100 100
Hormophysa Truquerta
2 Amilum Desintegran 15 15 15

3 Polivinil Pirolidon (PVP) Pengikat 25 25 25


4 Laktosa Spray Dry Pengisi 305 280 255
5 Talk Glidan 10 10 10
6 Mg Stearate Lubrikan 7,5 7,5 7,5
7 Guar Gum Polimer 57,5 62,5 87,5
pengontol
pelepasan

2.7. Evaluasi Sediaan Tablet Hormphysa triquetra


1. Uji Organoleptik
Uji organoleptic tablet hormphysa triquetra dilakukan dengan secara deskriptif dengan
menggunakan panca indera. Tablet kemudian diamati secara visual meliputi bentuk,
warna, adanya bitnik, dan ada atau tidaknya kecacatan pada tekstur permukaan.

17
Hasil nya : tablet hormphysa triquetra memiliki bentuk yang bulat, warna putih, bebas
dengan bitnik mikrosfer dari ekstrak, dan tidak berbau.
2. Uji keseragaman bobot
Ditimbang 20 tablet satu per satu dengan timbangan analitik, kemudian di hitung bobot
rata-ratanya dan penyimpangan masing-masing tablet yang ditimbang.
Hasil nya : jika tablet ditimbang satu per satu maka, untuk tablet dengan bobot tablet
lebih dari 250 mg maka tidak diperbolehkan lebih dari 2 tablet yang bobotnya
menyimpang 10% dari bobot rata-rata.
3. Uji keseragama ukuran
Uji keseragaman ukuran menggunakan jangka sorong menggunakan tablet sebanyak 20
tablet dan diukur diameter masing-masingnya selanjutnya hasil pengukuran dicatat dan
dihitung rerata dari kedua puluh tablet tersebut.
Hasil nya : diameter tablet tidak lebih dari 3 x tebal tablet rata – rata dan tidak kurang
dari 4/3 tebal tablet rata – rata.
4. Uji kerapuhan
Sepuluh tablet dibersihkan dari partikel yang menempel, ditimbang seksama dan
dimasukan ke dalam friabilator. Alat fijalankan selama 4 menit (25 rpm) yang artinya
100 kali putaran. Tablet dikeluarkan dari alat, kemudian ditimbang kerapuhan tablet
dihitung dari pengurangan berat tablet akibat perlakuan dibagi berat awal tablet awal
dikalikan 100%
Hasil nya : presentase kehilangan bobot sebelum dan sesudah perlakuan. Tablet
dianggap baik bila kerapuhan tidak lebih dari 1%.
5. Uji waktu hancur
Tablet yang akan diuji (sebanyak 6 tablet) dimasukan ke dalam tube, ditutup dengan
penutup dan dinaik turunkan keranjang tersebut dalam medium air dengan suhu 37c.
Waktu hancur dihitung berdasarkan tablet yang paling terakhir hancur.
Hasil nya : persyaratan waktu hancur untuk tablet tidak bersalut adalah kurang dari 15
menit.
6. Uji pelepasan

18
uji pelepasan pada tablet homophysa triquetra ini dilakukan untuk mengetahui jumlah
kandungan zat aktif yang dapat terlepas dari sediaan tablet untuk setiap satuan waktu
dalam kondisi pH tubuh.

2.8. PRODRUG APPROACH FOR DRUG DELIVERY TO COLON


Prodrug adalah turunan yang tidak aktif secara farmakologis dari molekul obat induk
yang
membutuhkan transformasi spontan atau enzimatik in vivo untuk melepaskan obat aktif. Untuk
pengiriman kolon, prodrug dirancang untuk menjalani hidrolisis minimal di saluran atas GIT,
dan menjalani hidrolisis enzimatik di usus besar di sana dengan melepaskan bagian obat aktif
dari pembawa obat. Pendekatan prodrug sering digunakan untuk mengetahui sifat sifat
fisikokimia yang buruk dan meningkatkan kinerja biofarmasi ( yaitu : sifat absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi (ADME). Contoh desain prodrug untuk sistem penghantaran obat
spesifik ke usus besar adalah sulfasalazine. Obat ini diakui oleh FDA dan digunakan untuk
Crohn’s disease and inflamasi usus besar. Struktur obat ini diketahui terdapat gugus azo (-N=N-).

19
BAB III
KESIMPULAN

Sistem penghantaran obat ke kolon cocok untuk pengobatan lokal untuk penyakit chron,
kolitis ulseratif, kanker kolon dan juga untuk penghantaran obat berupa protein dan peptid.
Sistem penghantaran obat ke kolon banyak di teliti beberapa tahun terakhir karena memiliki
potensi untuk meningkatkan pengobatan penyakit pada kolon dengan meminimalkan efek
samping secara sistemik.
Sistem penghantaran tertarget ke kolon harus mampu melindungi obat selama perjalanan
obat menuju situs target, seperti pelepasan dan absorbsi obat tidak boleh terjadi di lambung
maupun usus halus. Kelebihan lain yang ditawarkan sistem ini adalah dapat mengurangi efek
samping yang dapat ditimbulkan pada pemberian sistemik, tidak hanya pada dosis rendah namun
juga yang terkait dengan dosis tinggi.
Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat yang paling
banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat lainnya dan telah
dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik dengan berbagai bentuk sediaan dengan
formulasi yang berbeda. Saat ini para ilmuwan farmasi berusaha mengembangkan sistem
pemberian obat “Drug Delivery System” yang ideal.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. (2008). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: UI Press.
Halaman 217-218.
Amidon, S., Brown, J. E., dan Dave, V. S. (2015). Review Article Colon-Targeted
Oral Drug Delivery Systems : Design Trends and Approaches. AAPS PharmaSciTech.
16(4): 90-106.
Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI. Halaman
382.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Depkes RI. Hal 1066,
1084-1085, 1143-1144.
Jayaprakash R. P. V. dan Mathew, S. T. (2012). Colon Specific Drug Delivery Systems:
A Review On Various Pharmaceutical Approaches. Journal of Applied Pharmaceutical Science.
2(1): 163–169.
Jurnal Medis Oman 2010, Volume 25, Edisi 2, April 2010
Kolte, Bhushan P., Tele, Kalyani V., Mundhe, Vinayak S. (2012). Review Article Colon
Targeted Drug Delivery System – A Novel Perspective. Asian Journal of Biomedical &
Pharmaceutical Science. 8(1):525-538.
Krishnaiah, Y. S. R., Reddy, P. R. B., Satyanarayana, V., dan Karthikeyan, R. S. (2002).
Studies On The Development Of Oral Colon Targeted Drug Delivery Systems For
Metronidazole In The Treatment Of Amoebiasis. International Journal of Pharmaceutics. 236: 43-
55.
Kumar, M., dan Awasthi, R. (2015). Development of Metronidazole-Loaded Colon-
Targeted Microparticulate Drug Delivery System. Polim. Med. 45(2): 57-65.
Rathbone, M. J., Zealand, N., dan Roberts, M. S. (2003). Modified-Release Drug Delivery
Technology. New York. Halaman 1134-1136.
Reddy, Y. K., Valluri, G. S., Kishore, K., dan Kumar, G. V. (2016). Formulation and In
Vitro Evaluation of Metronidazole Tablets For Colon Targetted Drug Delivery System. Indo
American Journal of Pharmaceutical Sciences. 3(12):1534-1545.
Sukandar, Y.E., Andrajati, R., Setiadi, P., dan Kusnandar. (2008). ISO Farmakoterapi.
Jakarta: Penerbit PT. ISFI Penerbitan: Halaman 756-757.

Anda mungkin juga menyukai