Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH BIOFARMASETIKA

“BIOFARMASETIKA OBAT MELALUI REKTAL”

OLEH kelompok IV
SRIGIRA RAHAYU ARUNG LA’BI (51822011130)
KHAERUN NISA (51922011041)
RANTI ARSYAD RAUF (51922011142)
USWATUN HASANAH (51922011050)
HAWA ASRAWI ANDI PUTRI (51822011111)
C2 Konversi

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PANCASAKTI

MAKASSAR

2023/2024
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
Tugas Makalah Biofarmasi dengan judul “Biofarmasetika Obat melalui rektal” .

Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan baik itu dari segi
penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
guna perbaikan untuk pembuatan makalah untuk hari yang akan datang.

Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis
mengucapkan ribuan terima kasih yang tidak terhingga, semoga segala bantuan dari semua
pihak mudah – mudahan mendapat amal baik yang diberikan oleh Allah Ta’ala.

Makassar. 2023

Penyusun

2
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGATAR..............................................................................................................................1
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
1.1 Latar belakang dan masalah...............................................................................................3
1.2 Rumusan masalah................................................................................................................4
1.3 Tujuan..................................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................5
2.1 Anatomi dan fisiologi rektal................................................................................................5
2.2 Mekanisme pelepasan obat dalam tubuh...........................................................................8
BAB III................................................................................................................................................23
PEMBAHASAN.................................................................................................................................23
BAB IV...............................................................................................................................................27
KESIMPULAN...................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................28

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah

Rute per oral merupakan pemberian obat yang paling umum dalam penelitian
dan pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi pemberian oral tidak selalu
menghasilkan efek yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien. Obat yang
absorpsinya tidak baik di saluran gastrointestinal dan tidak stabil oleh enzim
proteolitik merupakan beberapa masalah pada pemberian obat pada rute oral.
Beberapa obat menyebabkan iritasi lokal pada lambung atau saluran gastrointestinal
atas atau membutuhkan dosis lebih dari 500 mg. Populasi pasien tertentu, umumnya
anak-anak, orang tua dan pasien yang sulit menelan, seringnya kesulitan untuk
mengonsumsi tablet dan kapsul oral. Sebagai tambahan, pengobatan beberapa
penyakit paling baik dilakukan dengan pemberian langsung pada tempat yang sakit,
umumnya pada penyakit di mata, mulut, dermal, rongga oral, dan jaringan anorektal.
Pemberian oral dapat digunakan untuk tujuan drug targeted untuk jaringan yang
terkena penyakit, namun terpaparnya seluruh kompartemen tubuh pada pemberian
obat melalui oral tidak efisien dan bisa memicu efek yang tidak diinginkan.
Pemberian obat rektal dapat diterima baik untuk penghantaran obat lokal dan
sistemik. Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit local
pada area anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari
pemberian oral. Obat-obat yang mengalami metabolisme lintas pertama ketika
diberikan oral, masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute
rektal. Formulasi penghantaran obat melalui rektal terdapat dalam berbagai bentuk
sediaan, antara lain supositoria, gel, aerosol, busa (foam), krim maupun controlled
release. Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian
yang umumnya diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal untuk
penggunaan tertentu dan masalah terapeutik tertentu memberikan rute penghantaran
obat alternatif yang dapat sukses diterapkan dalam terapi obat.

4
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana cara pelepasan obat per rektal ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi pelepasan obat per rektal ?
3. Fakto apa saja yang mempengaruhi bioavabilitas ?
4. Bagaimana perjalanan obatnya dalam tubuh ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara pelepasan obat per rektum
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pelepasan obat di rektum
3. Mengetahui perjalanan obat dalam tubuh
4. Mengetahui faktor yang mempengaruhi bioavabilitas

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi rektal
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi
makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon,
dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon
membentuk kelokan tajam, yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid dimulai dari krista
iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke
kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon
sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang
dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani
adalah 5,9 inci (Lindseth, 2005)
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, tunika serosa, muskularis, tunika
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-
gambaran yang khas berupa lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna,
tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid
distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut
membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia melekat
kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices
epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak
lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus. (Taylo,
2005).
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum
sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior
mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri

6
kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian
kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal).
Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri
hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum
diatur oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran
balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan
inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang
mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah
ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara
vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal
dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi
preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh
limfe melalui sisterna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena
subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma
gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran
balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah hemorroidalis superior
dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisiiliaka interna, sedangkan
aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum mengikuti aliran limfe inguinalis
superficialis. (Taylo, 2005).
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara volunter. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama
dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (Meissner).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang
berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan
interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya
tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai

7
fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus
aurbach dan meissner (Taylo, 2005)
Luas daerah absorpsi kolon diperkirakan sekitar 900cm2 Epitel kolon
menggunakan butirat yang dihasilkan oleh flora normal kolon dengan memfermentasi
karbohidrat sebagai bahan bakar. Butirat yang dihasilkan bakteri ini dapat membantu
penyerapan air dan sodium di kolon, stimulasi aliran darah di kolon, memperbaiki
mukosa kolon, dan meregulasi pH untuk menjaga homeostasis flora normal kolon.
(Fry et al, 2008) .
Sekitar 1000 hingga 1500 ml cairan mengalir dari ileum ke kolon setiap
harinya, sedangkan jumlah air yang berada dalam feses hanya sekitar 100 hingga 150
ml saja. Pengurangan hingga 10 kali lipat ini menunjukkan kolon merupakan tempat
pengabsorpsian paling baik pada saluran pencernaan. (Fry et al, 2008)

Gambar I : Anatomi Rektal

8
2.2 Mekanisme pelepasan obat dalam tubuh
Nasib obat dalam tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat
dalam tubuh. Aksi beberapa obat membutuhkan suatu proses untuk mencapai
konsentrasi yang cukup dalam jaringan sasarannya. Dua proses penting yang
menentukan konsentrasi obat di dalam tubuh pada waktu tertentu adalah :
• Translokasi dari molekul obat.
• Transformasi senyawa obat.
Translokasi obat yang menentukan proses absorpsi dan distribusi.
Transformasi obat menerangkan proses metabolisme obat atau proses eliminasi lain
yang terlibat dalam tubuh.

1. TRANSPORT OBAT
Transport merupakan suatu peristiwa perpindahan dari satu
tempat ke tempat yang lain disertai dengan penembusan membran
seluler. Kecuali metabolisme, proses farmakokinetika melibatkan
transport membran tersebut. Obat berpindah-pindah dalam tubuh
melalui dua jalan yaitu transfer difusional misalnya molekul ke
molekul, dengan jarak yang pendek, transfer beraliran misalnya dalam
aliran darah. Dalam aliran darah (sistem kardiovaskuler), transfer
beraliran tidak dipengaruhi oleh sifat kimiawi obat. Sedangkan pada
transfer difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul obat dan kelarutannya
dalam lipid. Semakin kecil ukuran partikel suatu obat maka proses
transport obat juga semakin besar dan semakin larut dalam lipid maka
transfer pada barrier hidrofobik semakin besar pula.
Membran Sel
Barrier antara dua kompartemen dalam tubuh terdiri dari membran sel.
Membran tersebut memisahkan antara kompartemen ekstraseluler
dengan intraseluler. Yang dimaksud dengan membran sel adalah suatu
organel yang memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya.
Komposisi dari membran sel dan fungsinya disajikan pada tabel I dan
gambaran membran sel disajikan pada gambar 2.

9
Tabel I. Komposisi membran sel dan fungsinya
Komposisi membran sel Fungsi Ketebalan ( A )
Protein lapisan hidrofilik 20-25
Trigliserida lapisan lipofilik 25-35
Steroid (kolesterol) barier bimoleuler 25-35
Fosfolipida (lesitin) barier bimoleuler 25-35
Protein lapisan hidrofilik 20-25

Gambar II : Struktur Membran sel

Dari gambar II dan tabel I, mebran sel mempunyai gugus yang dapat
membentuk ikatan ionik atau hidrogen dengan gugus yang sesuai dari
suatu obat. Sehingga sifat dari suatu membran adalah semipermiabel,
mempunyai tegangan permukaan yang rendah dan mempunyai
tegangan listrik (potensial membran). Terdapat dua macam model
membran sel yaitu model Davson Danielli dan Mosaik Cair. Pada
model Davson Danielli, membran sel terdiri dari 2 lapis lipid yaitu

10
gugus hidrofil pada permukaan mebran dan gugus hidrofob berada
dalam membran sel. llustrasi membran ini seperti pada gambar 10,
dimana kedua gugus tersebut diselubungi oleh protein. Bangunan
membran pada model ini adalh statis. Di lain pihak, model mosaik cair
terdiri dari matrik cair dengan dua lapis molekul lipid. Molekul protein
terletak menyebar secara tidak merata. Protein membran ini dapat
berfungsi sebagai pemerkuat membran, molekul pembawa, enzim, pori
senyawa larut dalam air atau reseptor. Bangunan membran bersifat
dinamis.
Mekanisme transport
Tabel II. Mekanisme absorpsi (Ritschel, 1992)

Mekanisme absorpsi Karakteristik Contoh


Difusi pasif
􀂃 Obat bergerak searah 􀂃 Asam organik lemah
gradien kadar – obat 􀂃 Basa organik lemah
􀂃 Keadaan seimbang 􀂃 Alkohol, urea,
tercapat jika kadar obat amidopirin
kedua kompartemen 􀂃 Glikosida jantung
sama
􀂃 Kecepatan difusi
tergantung pH medium
􀂃 Tergantung koefisien
partisi, pKa senyawa,
ketebalan membran dan
luas area.

Transport aktif
􀂃 Obat bergerak 􀂃 Na+, K+, I-, heksosa,
melawan gradien kadar monosakarida,
atau potensial 􀂃 asam amino, asam
eiektrokimia organik kuat, basa
􀂃 Mebutuhkan energi organik kuat, fosfat
dan pembawa organic
􀂃 Proses dapat jenuh 􀂃 Glikosida jantung
􀂃 Proses satu arah 􀂃 Vit. B, testosteron,
􀂃 Bersifat spesifik estradiol, vit 812
􀂃 Berbagai obat dapat
Inhibitor kompetitif
􀂃 Racun metabolisme
(sianida, dinitrofenol)
menghambat transport

11
Transport konvektif
􀂃 Obat terlarut dalam 􀂃 Elektrolit organik
medium berair maupun anorganik (150
􀂃 Kecepatan tergantung - 400 MW)
pada koef. Filtrasi dan 􀂃 Ion yang bermuatan
terbalik dengan berbeda dg pori
viskositas 􀂃 Sulfonamid
􀂃 Diameter pori 7 A terisonisiasi
􀂃 Tergantung ketebalan
membran, jumlah pori,
perbedaan tekanan
hidrostatik

Transport fasilitatif
􀂃 Obat bergerak searah 􀂃 VitB12
gradien kadar – obat
􀂃 Membutuhkan karier
􀂃 Bersifat spesifik
􀂃 Proses dapat jenuh
􀂃 Berbagai obat dapat
inhibitor kompetitif
􀂃 Racun metabolisme
(sianida, dinitrofenol)
menghambat transport

Transport pasangan ion


 Komplek anion 􀂃 Asam sulfonat
organik dari 􀂃 Ammonium
suatu senyawa kuartener
dengan kation
dari medium /
membran

 Medium
biasanya musin
(seny. Endogen)

 Melalui difusi
pasif

Pinositosis
􀂃 Pergerakan dengan 􀂃 Lemal, gliserin, vit
bantuan vesikel dalam ADEK, partikel plastik,
membran sel insulin

12
2. ABSORPSI
Absoprsi menggambarkan kecepatan pada saat obat
meninggalkan tempat / sisi pemberian. Obat agar dapat diabsorpsi
harus dilepaskan dari bentuk sediaannya sebagai contoh apabila obat
dalam bentuk tablet maka harus mengalami disintegrasi sediaan dan
disolusi senyawa aktifnya. Pelepasan obat dari sediaannya tergantung
dari faktor fisika kimiawi obat, bentuk sediaan, dan lingkungan dalam
tubuh tempat obat diabsorpsi. Dalam hal ini, formulasi bentuk sediaan
adalah faktor paling penting dalam pelepasan obat.
Apabila molekul obat terikat pada permukaan kulit atau
mukosa oleh ikatan ion, ikatan hidrogen atau van der Waal dinamakan
adsorpsi. Sedangkan jika obat mencapai lapisan yang lebih dalam tapi
tidak mencapai kapiler darah dinamakan peristiwa penetrasi.
Kemudian, obat menembus melalui dinding kapiler dan menuju
sirkulasi sistemik dinamakan absorpsi. Secara ringkas, Defmisi
absorpsi adalah perpindahan obat dari tempat pemberian ke sirkulasi
sistemik (peredaran darah).
Obat harus berada dalam larutan air pada tempat absorpsi agar
dapar dapat diabsorpsi. Absorpsi suatu obat dapat terjadi pada bagian
bukal, sublingual (bawah lidah), gastrointestinal (saluran cerna), kulit
(kutan), otot (muskular), rongga perut (peritoneal), mata (okular), nasal
(hidung), paru atau rektal. Mekanisme absorpsi bisa dengan cara difusi
pastf, transport aktif, transport konvektif, difusi terfasilitasi, transport
pasangan ion dan pinositosis.
Faktor yang mempengaruhi Absorpsi
Proses awal farmakokinetika adalah absorpsi obat apabila obat
diberikan secara ekstravaskuler. Pada proses absorpsi obat melibatkan
transport melewati membran sel sebelum obat mencapai jaringan atau
organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain :
1. Kecepatan disolusi obat
Kecepatan disolusi obat merupakan syarat utama bagi obat-obat
dalam bentuk padatan misalnya tablet dan kecepatan disolusi ini
dipengaruhi oleh luas permukaan obat yang melarut.

13
2. Ukuran partikel
Untuk obat yang sukar larut dalam air, ukuran partikel sangat
mempengaruhi. Obat-obat dengan ukuran partikel kecil relatif
mudah larut dalam cairan dibandingkan partikel dengan ukuran
yang besar.
3. Kelarutan dalam lipid atau air
Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi. Telah
disampaikan bahwa medium absorpsi sebagian besar berupa air
sedangkan membran sel lebih bersifat lipofilik. Oleh karena itu,
suatu obat harus dapat larut dalam air maupun lipid.
4. lonisasi
Sebagian besar obat merupakan suatu elektrolit lemah sehingga
ionisasinya dipengaruhi oleh pH medium. Dalam mediumnya obat
tersebut dalam dua bentuk yaitu bentuk terion yang lebih mudah
larut dalam air dan bentuk tak terionkan yang mudah larut dalam
lipid dan lebih mudah diabsorpsi.
5. Aliran darah pada tempat absorpsi
Aliran darah pada tempat absorpsi adalah penting karena
membantu proses absorpsi yaitu mengambil obat menuju
sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka absorpsi juga
semakin besar.
6. Kecepatan pengosongan lambung
Lambung merupakan bagian dari sistem absorpsi suatu obat. Obat
yang diabsorpsi di usus akan meningkat proses absorpsinya jika
kecepatan pengosongan lambung besar dan sebaliknya.
7. Motilitas usus
Motilitias usus yang besar misalnya pada saat diare dapat
mengurangi absorpsi obat karena waktu kontak antara obat dengan
absorpsinya adalah pendek.
8. Pengaruh makanan atau obat lainnya.
Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi proses absorpsi
suatu obat lainnya. Pemberian makanan atau obat dapat

14
mempengaruhi variabel di atas sehingga mempengaruhi
keefektivan absorpsi obat.
9. Cara pemberian
Cara pemberian obat dapat dilakukan dengan jalur enteral dan
parenteral. Pemberian enteral adalah pemberian obat melalui
saluran cerna atau dari rongga mulut sampai poros usus contohnya
adalah peroral, sublingual, bukal dan rektal, sedangkan pemberian
parenteral adalah pemberian obat di luar saluran cerna misalnya
topikal, suntikan dan inhalasi. Selain itu, pemberian obat dibedakan
berdasarkan sistem vaskuler atau pembuluh darah menjadi
pemberian intravaskuler dan ekstravaskuler. Pemberian
intravaskuler adalah pemberian obat melalui sirkulasi sistemik
(pembuluh darah) misalnya intravena, intraarteri dan intrakardial,
sedangkan pemberian ekstravaskuler adalah pemberian obat diluar
sirkulasi sistemik misalnya subkutan, peroral dan intramuskular.

3. DISTRIBUSI
Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik
menuju ke suatu tempat di dalam tubuh (cairan dan jaringan). Tempat
distribusi adalah cairan pada berbagai jaringan yaitu protein plasma,
hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah otak, barter plasenta. Tempat
distribusi tersebut merupakan parameter kualitatif distribusi.
Sedangkan mekanisme distribusi dapat melalui transport konvektif,
pinosrtosis atau difusi pasif.
Komposisi cairan tubuh meliputi caitan ekstraseluler dan intraseluler.
Cairan ekstraseluler mengandung plasma darah (berkisar 4,5 % berat
badan), cairan interstitial (16 %) dan getah bening (1,2 %). Cairan
intraseluler (30-40 %) merupakan penjumlahan kandungan cairan dari
seluruh sel tubuh. Cairan transeluler (2,5 %) meliputi cairan synovial,
pleura, peritoneal, intraokular, serebrospinal dan sekresi digestif.
Supaya dapat masuk ke kompartemen transeluler dari kompartemen
ekstraseluler, obat harus dapat menembus barter seluler.

15
Barter darah otak
Barter mengandung beberapa lapisan sel endotelial yang
digabungkan oleh tight junction. Otak sulit ditembus oleh beberapa
obat misalnya beberapa obat antikanker dan antibiotik misalnya
aminoglikosida karena barter tersebut bersifat lipid solubel. Pada
kondisi inflamasi misalnya meningitis, dapat menggangu integritas
barter sehingga beberapa obat dapat menembusnya.
Volume distribusi
Volume distribusi adalah volume cairan tubuh tempat suatu obat pada
akhirnya terdistribusikan, dinotasikan Vd. Volume distribusi
menggambarkan luas distribusi obat dalam tubuh. Volume distribusi
merupakan parameter kuantitatif distribusi.

Q
Vd =
CP
Dimana Q adalah jumlah obat total dan Cp adalah konsentrasi obat
dalam darah. Volume distribusi dari beberapa obat disajikan pada tabel
III. Volume plasma berkisar 0,05 L/kg BB. Beberapa obat misalnya
heparin yang hanya didistribusikan pada kompartemen plasma karena
molekulnya terlalu besar untuk menembus dinding kapiler. Di samping
itu juga disebabkan karena ikatan yang kuat dengan protein plasma.
Volume ekstraseluler berkisar 0,2 L/kg dan tepat untuk obat-obat yang
bersifat polar misalnya vekuronium, gentamisin dan karbesilin. Obat
tersebut sulit menembus sel karena kelarutan lipid-nya rendah sehingga
tidak dapat menembus barier darah-otak dan plasenta. Cairan total
tubuh berkisar 0,55 L/kg dan volume distribusi dicapai oleh obat yang
larut dalam lipid misalnya fenitoin. Ikatan obat diluar kompartemen
plasma seperti pada lemak tubuh akan meningkatkan volume
distribusi.

16
Tabel III Volume distribusi beberapa obat dibandingkan volume
kompartemen cairan tubuh (Ritschel, 1992)
Volume (L/kg BB) Kompartemen Vd (L/kg BB) Obat
0,05 Plasma 0,05-0,1 Heparin, Insulin
0,2 Cairan 0,1 -0,2 Warfarin,
0,55 ekstraseluler 0,2 - 0,4 Sulfametoksasol,
Cairan total 0,4 - 0,7 Glibenklamid,
tubuh <1 Atenolol
1 -2 Tubokurarin
2-5 Teofilin
>10 Etanol,
Neostigmin,
Fenitoin
Metotreksat,
Indometasin,
Parasetamol,
Diazepam,
Lignokain
Morfin,
Propranolol,
Digoksin,
Klorpropamid
Nortriptilm,
Imipramin

Ikatan obat pada material biologi


Plasma darah mengandung 93 % air dan 7 % terdiri berbagai
senyawa terlarit terutama protein. Fraksi protein utama adalah albumin
(5 % dari total plasma). Protein tidak hanya ditemukan pada plasma
namun juga pada jaringan. Obat biasanya terikat pada albumin
meskipun beberapa obat terikat pada protein lainnya. Ikatan obat
dengan albumin bersifat reversibel dan ikatan yang terlibat biasanya
adalah lemah dan spesifik.
Albumin serum manusia mempunyai BM sebesar 67.500 dan
tersusun oleh 20 asam amino yang berbeda. Jenis asam amino dan
posisinya dalam molekul protein menentukan ikatannya dengan obat.
Kelompok basa misalnya arginin, histidin dan lisin bertanggung jawab
mengikat obat asam, sedangkan kelompok asam amino basa misanya
asam aspartat, asam glutamat dan tirosin mengikat obat basa. Pada pH

17
7,4 darah, kelompok karbonil asam terprotonasi menjadi ion positif
dan membentuk muatan positif maupun negatif pada permukaannnya.
Sehingga dapat menarik ion yang bermuatan ion beriawanan dengan
kekuatan elektrostatik. Obat dapat terikat albumin melalui ikatan
hidrogen, van der Waals dan hidrofobik. Obat asam terikat kuat pada
albumin sedangkan obat basa terikat lemah pada albumin. Ikatan
tersebut bersifat reversibel dan tidak spesifik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
Telah disampaikan bahwa efektivitas distribusi berkaitan langsung
dengan derajat pengikatan pada protein plasma. Derajat pengikatan
obat pada protein tergantung pada afinitas obat terhadap protein,
jumlah tempat pengikatan, kadar protein dan kadar obat. Keempat
faktor tersebut dipengaruhi oleh kondisi penyakit dan pendesakan.
Penyakit seperti pada organ hati, ginjal, atau luka bakar dan trauma
dapat mengakibatkan kondisi yang dinamakan hipoalbuminemia (kadar
albumin mengalami penurunan di dalam plasma). Oleh sebab itu, kadar
obat dalam bentuk bebas akan meningkat sehingga akan meningkatkan
efek farmakologi obat bersangkutan. Pendesakan dapat terjadi
manakala terdapat obat lain yang mempunyai afinitas yang lebih besar
terhadap protein plasma sehingga mengakibatkan kadar obat bebas
meningkat dan pada akhirnya efek obat juga meningkat. Pendesakan
akan bermakna klinik manakala ikatan obat dan protein sebesar lebih
dari 80-90 % dan volume distribusinya kecil ( < 0,15 mL/g). Sebagai
contoh warfarin dapat didesak oleh klofibrat atau asam mefenamat
sehingga meningkatkan efek antikoagulasi warfarin sehingga penderita
dapat mengalami pendarahan.
4. METABOLISME
Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama yaitu (1) menyediakan
energi bagi fungsi tubuh dan pemeliharaan, (2) memecah senyawa
yang tercema misalnya katabolisme, menjadi senyawa yang lebih
sederhana dan biosintesis molekul yang lebih komplek misalnya
anabolisme, biasanya membutuhkan energi, dan (3) mengubah

18
senyawa asing (obat) menjadi lebih polar, larut air dan terionisasi
sehingga lebih mudah diekskresi.
Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara
keduanya juga sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa
istilah metabolisme hanya ditujukan untuk perubahan-perubahan
biokimiawi atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa
endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa
eksogen (xenobiotika).
Metabolisme obat atau biotransformasi adalah suatu perubahan secara
biokimia atau kimiawi suatu senyawa di dalam organisme hidup.
Definisi lainnya adalah perubahan suatu senyawa menjadi senyawa
lainnya yang disebut metabolit yang terjadi pada sistem biologis.
Reaksi metabolisme obat tersebut sebagian besar terjadi pada oragn
hati khususnya pada sub-seluler retikulum endoplasma. Organ-organ
yang bertanggung jawab dalam metabolisme obat adalah hati, paru,
ginjal, mukosa dan darah merah.

Tabel IV. Sel yang mengandung enzim metabolisme obat pada berbagai organ
Organ Sel
Hati Sel parenkim (hepatosit)
Ginjal Sel tubulus proksimal (segmen S3)
Paru Sel Clara, Sel jenis II
Usus Sel batas mukosa
Kulit Sel epitel
Testis Tubulus seminrferus, set sertoli

Metabolisme obat adalah sangat komplek. Biasanya, metabolit obat


adalah lebih larut dalam air daripada obatnya karena mengandung
gugus fungsional yang dapat berkonjugasi dengan gugus hidrofilik.
Meskipum metabolit biasanya larut dalam air tetapi ada pengecualian
pada p-asam klorofenaseturat (metabolit p-asam klorofenilasetat) atau

N4-asetilsulfanilamid (metabolit sulfanilamid). Sering bahwa metabolit


obat lebih diionisasi pada pH fisiologi daripada obatnya sehingga
bentuk garam yang larut dalam air dapat menurunkan kelarutannya
dalam lipid sehingga mudah untuk diekskresikan
Jalur metabolisme obat

19
Enzim yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi
mitokondrial atau mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi
manakala enzim metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi
sistemik. Obat kemungkinan dimetabolisme dalam epitelium
gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati sebelum mencapai
sirkulasi sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas pertama
(first-pass effect) yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas.
Reaksi metabolisme obat atau biotransformasi dibagi menjadi 2 :
1. Metabolisme obat fase I (fase non sintetik)
2. Metabolisme obat fase II (fase sintetik)
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal
ini membawa dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang
bersangkutan, Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme
obat adalah :
1. Intrinsik obat
Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan
protein plasma, dosis yang digunakan dan cara pemberian.
2. Fisiologi organisme
Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis
kelamin, umur dan kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida,
pada mamalia dan manusia diubah menjadi malation diasid dan
mengalami dekarboksilasi dan dikonjugasikan dengan enzim
metabolisme fase II untuk diekskresikan, sedangkan pada insektisida
malation diubah menjadi malaokson yang bersifat toksik.

3. Farmakologi Faktor ini meliputi induksi dan inhibisi enzim


metabolisme. Beberapa obat yang dapat menginduksi senyawa lain
misalnya fenobarbital, progesteron dan tolbutamid. Obat tersebut dapat
menginduksi enzim metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam
tubuh menjadi berkurang mengakibatkan penurunan efen klinik obat.
Sedangkan inhibitor enzim misalnya aspirin, kloramfenikol,
fenilbutason yang masing-masing menghambat metabolisme fase I

20
klorpropamid, heksobarbital dan difenilhidantion. Adanya inhibitor
tersebut akan menghambat reaksi metabolisme obat sehingga
keberadaan obat dalam tubuh meningkat dan sebagai konsekuensi
klinik adalah kenaikan efek farmakologinya.
4. Kondisi patologi
Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat
mempengaruhi metabolisme suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati
merupakan organ utama bagi reaksi metabolisme obat sehingga apabila
terjadi kondisi patologi pada organ tersebut misalnya nekrosis hepar
atau hepatitis maka obat yang lebih dominan dimetabolisme di hati
seperti tolbutamid dapat mengalami gangguan metabolisme sehingga
efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam hal ini, pengetahuan
mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut adalah penting
bagi pada apoteker yang akan berkerja di rumah sakit.
5. Susunan makanan
Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin,
unsur runutan dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini
terkait bahwa unsur makanan tersebut dapat memacu kemampuan baik
secara kualitas maupun kapasitas enzim metabolisme obat khususnya
P-450 untuk mengkatalisis reaksi metabolisme obat.
6. Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan
insektisida yang berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari
faktor tersebut adalah juga terkait dengan kemampuannya menginduksi
atau menghambat enzim pemetabolisme.

5. EKSKRESI
Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah)
menuju ke organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi untuk keperluan
detokstfikasi obat tersebut. Apabila obat tidak diekskresi maka obat
akan tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada
organisme bersangkutan. Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui

21
ginjal (organ utama), hati atau empedu, paru, kelenjar saliva, kelenjar
susu dan kelenjar keringat, seperti disajikan pada tabel V. Pada
kesempatan ini hanya dibahas detail ekskresi melalui ginjal dan hati
karena dua mekanisme tersebut merupakan mekanisme ekskresi dari
kebanyakan obat.

Pola ekskresi
Jalur ekskresi Mekanisme Contoh
Urin Filtrasi glomerulus, sekresi Semua obat dalam
Empedu tubular aktif bentuk ion, penisilin,
Intestin / usus Transport aktif, difusi pasif diuretik merkurat organic
Saliva dan kuartener, pinositosis Senaya ammonium striknin,
Paru Difusi pasif dan sekresi kuinin, tetrasiklin
Keringat empedu Asam organic terionisasi
Susu Difusi pasif dan transport Penisilin, tetrasiklin,
aktif tiamin, etanol dan eter
Difusi pasif Kamfor, amonium klorida,
Difusi pasif iodida, natrium bikarbonat
Difusi pasif dan transport Asam dan basa lemah
aktif organik, tiamin
Basa organik lemah,
anastesi, eritromisin,
streptomisin, kanamisin dan
gentamisin

BAB III

PEMBAHASAN
Secara rektal supositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap
oleh mukosa dalam rektum. Aksi kerja awal dapat diperoleh secara cepat, karena obat
diabsorpsi melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam sirkulasi darah, serta terhindar
dari pengrusakan obat dari enzim didalam saluran gastro-intestinal dan perubahan obat secara

22
biokimia didalam hepar. Obat yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak
melalui hati dahulu hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang
mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif.
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
a. lewat pembuluh darah secara langsung

b. lewat pembuluh getah bening

c. lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.

Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung lewat inferior dan
vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena iliaca ke vena cava
inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan dimulai dari vena
haemorrhoidalles inferior terutama vena haemorrhoidalles superior menuju vena porta
melalui vena mesentricum inferior. Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan
rektal yaitu melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre
dan Regnier pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.

Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeabel sempurna. Penyerapan rektum
kadang-kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu penyerapan juga tergantung pada
derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak dapat diberlakukan secara umum. Bahkan
beberapa obat tertentu tidak diserap oleh mukosa rektum. Banyak obat yang tidak diresorbsi
secara teratur dan lengkap dari rektum, sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral
dan digunakan pada rektum kososng, akan tetapi setelah obat di absorbsi efek sistemisnya
lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah
dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati pada peredaran
darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan FPE (first pass effect). Pengecualian
adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena rektalis superior disalurkan ke
vena porta dan kemudian ke hati, misalnya thiazinamium. dengan demikian penyebaran obat
di dalam rektum yang tergantung dari basis supositoria yang digunakan dapat menentukan
rutenya ke sirkulasi darah.
Terdapat beberapa faktor yang harus diatasi untuk obat dapat diserap setelah
pemberian rektal. Jika obat diberikan dalam bentuk supositoria, pelelehan atau pencairan
basis harus terjadi dan hal ini akan menentukan penyebaran dosis ke seluruh rektum. Obat
juga harus melarut pada cairan rektal yang jumlahnya terbatas, antara 1 ml sampai 3 ml.

23
Jumlah obat yang tersedia untuk diserap bisa dikurangi oleh isi lumen, adsorpsi isi lumen dan
defekasi. Obat kemudian harus berdifusi melewati air dan lapisan mucus menuju epithelium.
Obat bisa diserap melalui sel epitel atau melalui tight junction, dengan mekanisme
transport pasif. Vena balik dari kolon dan vena di rektum atas merupakan vena portal menuju
ke hati. Jika obat diberikan pada bagian atas rektum, maka obat akan diangkut ke sistem porta
dan akan mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Satu-satunya cara menghindari
metabolisme lintas pertama adalah memberikan obat pada bagian bawah rektum.
Absorpsi obat melalui epitel rektal melibatkan dua rute transport yaitu rute transelular
dan rute paraselular. Mekanisme pengambilan pada rute transelular bergantung pada
lipofilisitas sedangkan rute paraselular adalah difusi obat melalui ruang antara sel-sel
epithelial. Absorpsi rektal dari obat bergantung pada beberapa sifat obat seperti koefisien
partisi dan ukuran molecular. Koefisien partisi yang kecil, ukuran molecular yang besar,
muatan dan kemampuan pembentukan ikatan hydrogen yang tinggi adalah faktor-faktor yang
menyebabkan absorpsi yang rendah dari obat. Faktor lainnya adalah adanya feses yang bisa
mengubah absorpsi obat. Larutan, suspensi dan supositoria merupakan bentuk sediaan yang
umum untuk pemberian rektal. Kandungan rektal umumnya bersifat basa dan larutan basa
biasanya cepat diserap dibandingkan larutan yang bersifat asam. Larutan berair dan alkohol
diserap dengan cepat sedangkan suspensi dan supositoria absorpsinya lambat dan kontinyu.
Metode utama yang digunakan untuk memperbaiki absorpsi rektal dari obat
termasuk :
 Modifikasi formulasi untuk memperbaiki tahap pelarutan dari obat-obat
yang kelarutannya dalam air kurang baik.

 Modifikasi fungsi barrier dari mukosa membran rektal.

 Modifikasi kimia dari obat untuk meningkatkan koefisien partisi.


Absorpsi obat dari supositoria rektal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: faktor
fisiologis, faktor fisika kimia dari obat dan bahan dasarnya.
1. Faktor fisiologis
a. Kandungan kolon
Efek sistemik dari supositoria yang mengandung obat, absorpsi yang lebih
besar lebih banyak terjadi pada rektum yang kosong dari pada rektum yang
digelembungkan oleh feses. Obat lebih mungkin berhubungan dengan
permukaan rektum dan kolon yang mengabsorpsi dimana tidak ada feses. Oleh

24
karena itu bila diinginkan suatu enema untuk mengosongkan dapat digunakan
dan dimungkinkan pemberiannya sebelum penggunaan supositoria dengan
obat yang diabsorpsi
b. Jalur sirkulasi
Obat yang diabsorpsi melalui rektum, tidak melalui sirkulasi portal
sewaktu perjalanan pertamanya dalam sirkulasi yang lazim, dengan cara
demikian obat dimungkinkan untuk dihancurkan dalam hati untuk
memperoleh efek sistemik. Pembuluh hemoroid bagian bawah yang
mengelilingi kolon menerima obat yang diabsorpsi lalu mulai
mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati.Sirkulasi melalui getah
bening juga membantu pengedaran obat yang digunakan melalui rektum
(Ansel, 1989).
c. pH dan tidak ada kemampuan dapar dari cairan rektum
Cairan rektum netral pada pH 7-8 dan kemampuan mendapar tidak
ada,
maka bentuk obat yang digunakan lazimnya secara kimia tidak berubah oleh
lingkungan rektum (Ansel, 1989).

2. Faktor fisika kimia dari obat dan basis supositoria


Faktor fisika-kimia dari basis melengkapi kemampuannya melebur, melunak
atau melarut pada suhu tubuh, kemampuannya melepaskan bahan obat dan sifat
hidrofilik atau hidrofobiknya.
a. Kelarutan lemak air
Obat dalam supositoria yang tidak larut, maka ukuran partikelnya akan
mempengaruhi jumlah obat yang dilepas dan melarut untuk absorpsi.
Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah melarut dan lebih besar
kemungkinannya untuk dapat lebih cepat diabsorpsi (Ansel, 1989).
b. Ukuran partikel
Obat dalam supositoria yang tidak larut, maka ukuran partikelnya akan
mempengaruhi jumlah obat yang dilepas dan melarut untuk absorpsi.
Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah melarut dan lebih besar
kemungkinannya untuk dapat lebih cepat diabsorpsi (Ansel, 1989).
c. Sifat basis

25
Basis harus mampu mencair, melunak atau melarut supaya melepaskan
kandungan obatnya untuk diabsorpsi. Apabila terjadi interaksi antar basis
dengan obat ketika dilepas, maka absorpsi obat akan terganggu bahkan
dicegahnya. Apabila basis mengiritasi membran mukosa rektum, maka ia
akan mulai respons kolon untuk segera buang air besar, mengurangi
kemungkinan penglepasan atau absorpsi dari obat dengan cermat. Interaksi
secara kimia atau fisika antar bahan obat dengan basis supositoria akan
dapat mempengaruhi stabilitas dan bioavaibilitas dari obat (Ansel, 1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat antara lain:
1) Sifat Fisikokimia Obat
• Ukuran partikel
• Luas permukaan obat
• Kelarutan obat
• Bentuk kimia obat, yaitu garam, bentuk anhydrous atau hidrous
• Lipofilisitas
• Stabilitas obat
2) Faktor Formulasi Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat
aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus
mempertimbangkan:
2.1. Jenis produk obat;
2.2 Sifat bahan tambahan dalam produk obat;
2.3. Sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel dan Yu, 2005).
3) Jalur Absospsi obat.
Jika obat di absorpsi melalui vena hemorroid superior obat akan menuju hati di mana
obat akan mengalami metabolisme di hati sehingga menurunkan bioavabilitasnya.

BAB IV

KESIMPULAN
Pelepasan obat per rektal jika dalam bentuk supositoria, pelelehan atau pencairan
basis harus terjadi dan hal ini kan menentukan penyebaran dosis ke seluruh rektum kemudian
molekul obat akan di absorpsi dengan mekanisme transport pasif.

26
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat per rektum antara lain Faktor
fisiologi (seperti kandungan kolon, pH dan tidak ada kemampuan dapar dari rektum) dan
faktor fisiko kimiadari obat.

Perjalanan obat melalui per rektal jika obat di absopsi di vena hemorroid
bawah/tengah obat akan di bawa ke vena cava melalui vena iliaca menuju jantung untuk di
distribusi sehingga akan menimbulkan efek (tanpa melewati hati terlebih dahulu) sementara
jika di absorpsi di vena hemoroid superior obat akan menuju vena porta melalui vena
mesentricum inferior yang selanjutnya ke organ hati sebelum di distribusi untuk memberikan
efek.

Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavabilitas nya adalah faktor fisiko kimia obat,
faktor formulasi dan tempat absopsi obat.

DAFTAR PUSTAKA

 Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (4th ed).


Diterjemahkan oleh Ibrahim, Farida. Jakarta: Universitas Indonesia Press
 Aulton, M. 2007. Pharmaceutics:The Science of Dosage Form Design.
Churchill Livingstone. London

27
 Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Farmakologi dan Terapi Edisi
5,Jakarta;2007
 Katzung BG,ed. Basic and Clinical Pharmacology, 7 th . London : Prentice Hall
Int ; 1998
 Leon Shargel dkk.Biofarmasetika dan Farmakokinetik terapan, 5th . Surabaya :
Airlangga university press ;2012

28

Anda mungkin juga menyukai