Oleh :
NIM : 022.06.0043
KELOMPOK : SGD 2
BLOK : Digestive 1
BLOK : Kardiovaskular I
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022 / 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
kami dapat menyusun makalah SGD (Small Group Discussion) LBM 4 dan dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang hasil SGD (Small Group Discussion) LBM 4 terdapat
seven jumps steps dan ada dua kegiatan diskusi. Penyusunan tidak dapat berjalan lancar tanpa
bantuan dari beberapa pihak. Jadi pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dosen fasilitator SGD yang selalu memberikan saran dan kritik serta bimbingan selama proses
pelaksanaan SGD berlangsung.
2. Sumber-sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi penunjang dalam
kegiatan SGD LBM 4.
3. Keluarga dan teman-teman yang saya cintai yang selalu memberikan semangat serta dorongan
motivasi.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan karena
mengingat pengetahuan kami terbatas untuk menyelesaikan laporan ini, maka diperlukan kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun agar terciptanya kesempurnaan laporan
ini. Saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
1.1 Skenario........................................................................................................................... 1
1.2 Deskripsi Masalah .......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
PEMBUANGAN AKHIR
Freya adalah mahasiswi kedokteran semester 2 yang sedang menempuh blok system
Digestif. Sehari-hari Freya rutin sarapan dan makan buah-buahan terlebih dahulu dan
BAB setiap pagi. Pernah suatu waktu Freya sibuk mengerjakan tugas dan melewatkan
beberapa hari tanpa sarapan dan memakan buah-buahan. Hingga Freya menyadari kalau
ia sekarang tidak rutin lagi BAB setiap pagi dan harus mengedan dengan kuat terlebih
dahulu serta warna dan bau feses yang kadang berubah-ubah. Freya pun menyadari
kondisinya tidak seperti biasanya, dan mulai berpikir apa yang terjadi dengan dirinya.
1
gas ini mempunyai aroma yang khas dikarenakan gas ini merupakan hasil fermentasi dari
bakteri-bakteri yang ada di usus besar manusia, selain itu aroma yang khas ini dapat juga
disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi. Pada laporan LBM ini, untuk mengetahui
dan memahami proses defekasi secara rinci, maka laporan ini akan membahas dimulai
dari anatomi lower digestive tract, histologi lower digestive tract, proses defekasi,
mekanisme flatus, faktor yang mempengaruhi defekasi, dan biokimia dari lower
digestive tract.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Lubang dari ileum ke usus besar dijaga oleh lipatan membrane mukosa
yang dinamai finger (katup) ileosekum, yang memungkinkan bahan dari usus
halus mengalir ke usus besar. Sekum, kantong kecil dengan panjang sekitar 6
cm (2,4 in.) serta tergantung inferior dari katup ileosekum. Tabung terpuntir
menggulung dengan panjang sekitar 8 cm (3 in.) yang melekat ke sekum dinamai
apendiks atau apendiks vermiformis (berbentuk cacing). Mesenteriumapendiks,
yang dikenal sebagai mesoapendiks, melekatkan apendiks ke bagian inferior
mesenterium ileum. (Tortora, 2016).
3
Ujung terbuka sekum menyatu dengan saluran paniang yang dikenal colon
(saluran makanan), yang dibagi menjadi bagian asenadens, transversum,desendens,
dan sigmoid. Kolon asendens dan desendens terletak retroperitoneum sedangkan
kolon transversum dan sigmoid tidak. sesuai namanya, kolon asendens naik di sisi
kanan abdomen., mencapai permukaan inferior hati, dan membelok mendadak ke kiri
untuk membentuk fleksura koli (hepatika) kanan. Kolon berlanjut melintasi abdomen
ke sisi kiri sebagai kolon transversum. Kolon melengkung dibawah ujung inferior
limpa di sisi kiri sebagai fleksura koli (splenika) kiri dan berjalan ke inferior hingga
setinggi crista illiaca kolon desendens. Kolon sigmoid (berbentuk S) dimulai dekat
crista iliaka kiri, berproyeksi di medial ke garis tengah, dan berakhir sebagai rektum
seringgi kira-kira vertebra sakralis ketiga. (Tortora, 2016).
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan mulai dari sekum
sampai dua pertiga proksimal kolon transversum. Arteri mesenterika superior
mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri
kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian
kiri mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal.
Arteri mesenterika inferiormempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri
hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. (Schunke, M., Schulte, E., &
Schumacher, U. 2021.)
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal
yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan
darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. (Schunke, M.,
Schulte, E., & Schumacher, U. 2021.)
Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta
pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe
melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena
subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma
gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher kelenjar limfe virchow. (Schunke,
4
M., Schulte, E., & Schumacher, U. 2021.)
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui
saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal
dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari
pars torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia
simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti
aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus Aurbach dan
submukosa meissner. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan
sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf
parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling
penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus
intramural Meissner dan Aurbach dan interkoneksinya. (Schunke, M., Schulte,
E., & Schumacher, U. 2021.)
2. Cecum
Cecum merupakan bagian pertama intestinum crassum, berupa kantung
berujung buntu. Cacum terletak inferior dari ileocecal junction di fossa iliaca
dextra. Cecum merupakan struktur intraperitoneal karena mobilitasnya, bukan
karena alat penggantung peritoneumnya. Cecum berlanjut menjadi colon
ascendens setinggi pintu masuk ileum ke cecum (Drake et al., 2018, Wineski,
2019).
3. Appendix Vermiformis
5
Gambar 2. Posisi Appendix Vermiformis
6
superior (simpatis). (Tortora, 2016).
4. Rektum
Rectum sendiri merupakan 20 cm terakhir dari saluran GI, terletak anterior dari
sakrum dan koksigis. Dua sampai 3 cm terakhir rektum disebut kanalis analis.
Membran mukosa kanalis analis tersusun dalam Lipatan-lipatan longitudinal yang
disebut kolumna amales yang mengandung anyaman arteri dan vena. Lubang kanals
analis ke eksterior, yang dinamai anus, dijaga oleh sfingter ani internus (otot polos,
involunter) dan sfingter ani eksternus (otot rangka, volunter). Dalam keadaan normal,
kedua sfingter ini menjaga anus tertutup kecuali sewaktu pengeluaran tinja. (Tortora,
2016).
Muskularis eksterna (tunica muscularis) adalah lapisan otot polos yang tebal yang
yang terletak inferior dari submukosa. Kecuali di usus besar, lapisan ini terdiri dari lapisan
otot polos sirkular (tunica muscularis stratum circulare) di sebelah dalam dan lapisan otot
polos longitudinal (tunica muscularis stratum longitudinale) di sebelah luar. Di antara
8
kedua lapisan otot polos muskulariseksterna terdapat jaringan ikat dan pleksus saraf lain
yang disebut pleksus saraf mienterikus (Auerbach). Pleksus ini juga mengandung
beberapa neuron parasimpatis pascaganglionik dan mengontrol motilitas otot polos di
muskularis eksterna. Serosa (tunica serosa) adalah lapisan tipis jaringan ikat longgar yang
membungkus organ viseral. Organ viseral mungkin atau tidak dibungkus oleh selapis tipis
epitel gepeng yang disebut mesotelium (mesothelium). Jika suatu organ dilapisi oleh
mesotelium, organ tersebut berada di dalam rongga abdomen atau pelvis (intraperitoneal)
dan lapisan luarnya disebut serosa. Serosa menutupi luar bagian abdominal di esogafus,
lambung, dan usus halus. Lapisan ini juga menutupi bagian kolon (kolon asendens dan
desendens) hanya dipermukaan anterior dan lateral karena permukaan posterior terikat
pada dinding posterior abdomen dan tidak dilapisi oleh mesotelium (DiFiore., 2017).
9
Gambar 4. Histologi Intestinum Tenue (Duodenum)
10
Gambar 5. Histologi Intestinum Tenue (Jejunum)
11
Gambar 6. Histologi Intestinum Tenue (Ileum)
Ciri khas ileum adalah agregasi nodulus limfoid yaitu nodulus lymphoideus
submucosus (Peyer's patch). Setiap bercak Peyer adalah agregasi banyak nodulus limfoid
yang terdapat di dinding ileum berseberangan dengan perlekatan mesenterium.
Kebanyakan nodulus limfoid memperlihatkan pusat germinal. Nodulus limfoid biasanya
menyatu dan batas di antara nodulus menjadi tidak jelas. Nodulus limfoid berasal dari
jaringan limfoid difus lamina propria Vili tidak terdapat di daerah lumen usus tempat
nodulus mencapai permukaan mukosa. Nodulus limfoid biasanya meluas ke dalam
submucosa menembus muskularis mukosa dan menyebar di jaringan ikat longgar
submucosa. Dalam gambar juga terlihat epitel permukaan yang melapisi vili, kelenjar
intestinal, lacteal di vili, lapisan sirkular dalam dan lapisan longitudinal luar di muskularis
eksterna dan serosa (DiFiore., 2017).
12
Gambar 7. Histologi Intestinum Crassum
Dinding kolon memiliki lapisan-lapisan dasar yang serupa dengan lapisan yang
ada di usus halus. mukosa terdiri atas epitel selapis silindris, kelenjar intestinal, lamina
propria, dan muskularis mukosa. Submukosa di bawahnya mengandung sel dan serat
jaringan ikat, berbagai pembuluh darah, dan saraf. Muskularis eksterna dibentuk oleh dua
lapisan otot polos. Serosa (peritoneum viscerale dan mesen terium) melapisi kolom
transversum dan kolon signoid. Adanya beberapa modifikasi di dinding kolon yang
memebdakan bagian ini dari bagian lainnya di saluran pencernaan (DiFiore., 2017).
Kolon tidak memiliki vili atau plika sirkularis, dan permukaan luminal mukosa
licin. Di kolon yang tidak melebar, mukosa dan submukosa memperlihatkan banyak
lipatan temporer. Di lamina propria dan submucosa kolon dijumpai nodulus limfoid.
Lapisan otot polos di muskularis eksterna kolon mengalami modifikasi. Lapisan sirkular
dalam terlihat utuh di dinding kolon, sedangkan lapisan longitudinal luar otot polos dibagi
menjadi tiga pita memnajang yang lebar yaitu taenia coli. Lapisan otot longitudinal luar
yang sangat tipis, yang sering terputus-putus, dijumpai di antara taenia coli. Sel-sel
ganglion para
13
simpatis pleksus saraf mienterikus (Auerbach) terdapat di antara kedua lapisanotot polos
muskularis eksterna. Kolon transversum dan kolon sigmoid melekat pada dinding tubuh
melaui mesenterium. Oleh karena itu, serosa menjadi lapisan terluar (DiFiore., 2017).
Epitel permukaan lumen dilapisi oleh sel selapis silindris dengan limbus striatus
dan sel goblet. Kelenjar intestinal, sel adiposa dan nodulus limpoid di dalam lamina
propria serupa dengan yang ada di kolon. Kelenjar intestinal lebih panjang, lebih rapat,
dan terisi oleh sel goblet. Di bawah lamina propria adalahmuskularis mukosa. Lipatan
longitudinal di rektum bagian atas dan kolon temporer. Lipatan ini memiliki bagian
tengah submucosa yang dilapisi oleh mukosa. Lipatan longitudinal permanen (kolum
rektal) terdapat di rektum bagian bawah dan kanalis analis. Taenia coli di kolon berlanjut
ke dalam rektum, tempat muskularis eksterna terdiri atas lapisan otot polos sirkular dalam
dan longitudinal luar. Di antara kedua lapisan otot polos terdapat ganglion parasimpatis
pleksus mienterikus (Auerbach). Adventisia menutupi sebagian rektum, dan serosa
menutupi sisanya. Banyak pembuluh darah ditemukan di submukosa dan adventisia
(DiFiore., 2017).
14
Gambar 9. Histologi Anorectal Junction
1. Absorpsi
15
Gambar 10. Absorbsi Colon
Makanan yang belum diserap di usus halus, sebagiannya akan diserapa di usus
besar, tetapi dengan tingkatan yang lebih rendah. Hal ini karena permukaan lumen
kolon cukup halus sehingga luas permukaan absorptifnya jauh lebih kecil daripada
usus halus. Selain itu, kolon tidak dilengkapi oleh mekanisme transpor khusus
seperti yang dimiliki oleh usus halus. Dalam keadaan normal, kolon menyerap
garam dan H2O. Selain itu, kolon juga menyerap sejumlah elektrolit lain serta
vitamin K yang disintesis oleh bakteri kolon. Kolon juga menyerap 350 mL air dan
meninggalkan 150 mL air untuk dikeluarkan dari tubuh. Melalui absorpsi garam dan
H2O terbentuk massa tinjayang padat yang disebut feses. Dimana, dari gambar diatas
dengan adanya absorbsi Na+ maka akan menciptakan gradien osmotic, sehingga
dapat terjadi absorbs air secara pasif. (Sherwood, 2019)
2. Motilitas
Pada bagian awal kolon yang terhubung dengan ileum terdapat katup
ileocecal. Di mana katup ini berfungsi untuk membatasi refluks isi kolon. Dalam
keadaan normal, katup ini akan tertutup. Katup akan terbbuka apabila terjadi
peningkatan tekanan ileum. Sedangkan jika terjadi peningkatan tekanandi kolon,
katup akan menutup. Setiap kali gelombang peristaltik mencap katup, katup ini
terbuka sebentar sehingga memungkinkan sebagian kimus ileum masuk ke
dalam sekum. Ketika makanan meninggalkan lambung, sekummelemas dan
terjadi peningkatan pemindahan kimus melalui katup ileosekum yang disebut
refleks gastroileum. (Guyton, 2019).
Motilitas yang terjadi di kolon mencakup kontraksi segmentasi dan
gelombang peristaltik seperti yang terjadi pada usus halus. Kontraksi segmentasi
16
merupakan gerakan mencampur isi kolon. Sedangkan gelombang peristaltik
merupakan gerakan mendorong isi kolon menuju rectum. Pada kolon juga
terdapat kontraksi kerja massal (mass action contraction) yang berlangsung
sekitar 10 kali sehari. Di mana terjadi kontraksi simultan otot polos di daerah-
daerah yang luas. Kontraksi ini mengakibatkan terdorongnya isi kolon dari satu
bagian kolon ke bagian lain. Kontraksi ini juga mendorong isi kolon ke rectum.
Ketika feses mencapai rectum dan terjadi peregangan rectum terjadilah refleks
defekasi. (Guyton, 2019).
Feses adalah produk akhir dari proses pencernaan dan penyerapan makanan yang
terjadi pada sistem pencernaan. Proses pembentukan feses terjadi di usus besar. Setiap hari
colon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus. Karena sebagian pencernaan dan
penyerapan telah selesai di usus halus, isi yang disalurkan ke colon terdiri dari residu makanan
yang tak tercerna seperti selulosa, komponen empedu yang tidak diserap, dan cairan. Ketika
kimus sudah berada di usus besar, akan terjadi proses absorpsi garam dan air. Proses tersebut
akan membentuk kimus menjadi massa yang padat disebut feses untuk dikeluarkan dari tubuh.
dari 500 mL bahan yang masuk ke colon setiap hari dari usus halus, colon normalnya
menyerap sekitar 350 mL, meninggalkan 150 mL feses untuk dikeluarkan dari tubuh setiap
harinya. (Sherwood, 2019).
Colon mengandung beragam bakteri yang bermanfaat. Jumlah bakteri yang hidup di
colon adalah sekitar 10 kali lebih banyak daripada jumlah sel yang ada di tubuh manusia.
Bakteri ini meningkatkan imunitas usus dengan berkompetisi memperebutkan nutrient da
ruang dengan mikroba yang herpotensi pathogen, mendorong motilitas colon, membantu
memelihara integritas mukosa colon, dan memberi kontribusi nutrisi. Secara kimiwi, feses
17
terdiri dari air, garam anorganik, sel epitel yang terkelupas, bahan makanan yang tidak diserap,
dan bagian makanan yang tidak tercerna (Sherwood, 2019).
Secara kimiawi, fesess terdiri dari, ¾ air dan ¼ zat padat yang terdiri dari sekitar30%
bakteri yang mati, 10-20% lemak, 10-20% zat organic, 2-3% protein, dan 30%sisa makana
yang tidak dapat dicerna dan unsur kering getah pencernaan seperti pigmen empedu dan epitel
yang mengelupas. Warna feses yang coklat disebabkan oleh urobilin dan sterkobilin. Warna
feces bisa berubah menjadi lebih coklat, hitam, hijau, kuning, abu-abu, biru, ataupun merah.
Warna feces yang lebih kuning disebabkan oleh makanan yang melalui saluran pencernaan
relatif singkat, sebaliknya apabila waktu yang dihabiskan feces di dalam colon lebih lama dari
biasanya, maka warna feces akan menjadi lebih gelap. Warna feces abu-abu disebabkan oleh
keadaan cholecystitis, batu empedu, hepaptitis, sirosis yang menyebabkan bilirubin tidak
dapat diekskresikan melalui feces. Warna feces hijau dikarenakan banyaknya bilirubin yang
tidak diposes pada saluran pencernaan. Warna feces menjadi hitam apabila terdapat
perdarahan pada saluran cerna bagian atas, yang dikenal dengan sebutan melena. Warna
merah pada feces disebabkan oleh karena adanya darah yang berasal dari saluran pencernaan
bagian bawah. Bau feses disebabkan oleh kerja bakteri dan jenis makanan yang dikonsumsi.
Hasil sebenarnya memberi bau adalah skatol, indol, merkaptan, dan hydrogen (H2S).
(Guyton, 2019).
2.5 Proses Dari Defekasi
Defekasi merupakan proses pengeluaran sisa makanan yang tidak lagidicerna dan
dibutuhkan oleh tubuh melewati struktur rectum dan juga anus menuju keluar dari organ
tubuh. Refleks defekasi memerlukan koordinasi dengan sistem saraf, otot, dan juga motilitas
usus (Guyton, 2019).
18
Gambar 12. Refleks Defekasi Pada Mekanisme Parasimpatis
Pendorongan massa feses yang terus-menerus melalui anus dicegah oleh konstriksi
tonik dari sfingter ani internus, penebalan otot polos sirkular sepanjang beberapa sentimeter
yang terletak tepat di sebelah dalam anus, dan sfingter ani eksternus, yang terdiri atas otot
lurik volunter yang mengelilingi sfingter internus dan meluas ke sebelah distal. Sfingter
eksternus diatur oleh serat-serat saraf dalam nervus pudendus, yang merupakan bagian sistem
saraf somatis dan karena itu di bawah pengaruh volunter, dalam keadaan sadar atau
setidaknya dalam bawah sadar; secara bawah sadar, sfingter eksternal biasanya secara terus-
menerus mengalami konstriksi kecuali bila ada impuls kesadaran yang menghambat
konstriksi (Guyton, 2019).
Biasanya, defekasi ditimbulkan oleh refleks defekasi. Satu dari refleks- refleks ini
adalah refleks intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat di dalam dinding
rektum. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila feses memasuki rektum, distensi
dinding rektum menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus
mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristalik di dalam kolon desenden, sigmoid,
dan rektum, mendorong feses ke arah anus. Pada saat gelombang peristaltik mendekati anus,
sfingter ani internus relaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienterikus; jika
sfingter ani eksternus juga secara sadar, dan volunter berelaksasi pada waktu yang bersamaan,
terjadilah defekasi (Guyton, 2019).
Refleks defekasi mienterik intrinsik yang berfungsi dengan sendirinya secara normal
bersifat relatif lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi, refleks biasanya
19
harus diperkuat oleh refleks defekasi jenis lain, suatu refleks defekasi parasimpatis yang
melibatkan segmen sakral medula spinalis. Bila ujung-ujung saraf dalam rektum dirangsang,
sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam medula spinalis dan kemudian secara refleks
kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum, dan anus melalui serat-serat saraf parasimpatis
dalam nervus pelvikus. Sinyal-sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang
peristaltik dan juga merelaksasikan sfingter ani internus, dengan demikian mengubah refleks
defekasi mienterik intrinsik dari suatu usaha yang lemah menjadi suatu proses defekasi yang
kuat, yang kadang efektif dalam mengosongkan usus besar sepanjang jalan dari fleksura
splenikus kolon sampai keanus (Guyton, 2019).
Sinyal-sinyal defekasi yang masuk ke medula spinalis menimbulkan efek- efek lain,
seperti mengambil napas dalam, penutupan glotis, dan kontraksi otot- otot dinding abdomen
untuk mendorong isi feses dari kolon ke bawah dan pada saat yang bersamaan menyebabkan
dasar pelvis mengalami relaksasi ke bawah dan menarik keluar cincin anus untuk
mengeluarkan feses. Bila keadaan memungkinkan untuk defekasi, refleks defekasi secara
sadar dapat diaktifkan dengan mengambil napas dalam untuk menggerakkan diafragma turun
ke bawah dan kemudian mengontraksikan otot-otot abdomen untuk meningkatkan tekanan
dalam abdomen, jadi mendorong isi feses ke dalam rektum untuk menimbulkan refleks-
refleks yang baru. Refleksrefleks yang ditimbulkan dengan cara ini hampirtidak seefektif
seperti refleks yang timbul secara alamiah, karena alasan inilah orang yang terlalu sering
menghambat refleks alamiahnya cenderung mengalami konstipasi berat (Guyton, 2019).
2.6 Biokimia Dari Lower GI Tract
Terdapat beberapa zat yang berperan sebagai neurotransmitter berbeda yang
dilepaskan oleh ujung-ujung saraf dari neuron enterik. Beberapa neurotrassmiter yang sering
kita kenal adalah asetilkolin, norepineprin sedangkan yang lain adalah adenosis trifosfat,
serotonin, dopamin, Kolesistokinin, substansi P, vasoactive intestinal polypeptide,
somatostatin, leu-enkephalin, metenkephalin, dan bombesin. Hormon tiroid berpengaruh
terhadap motilitas saluran gastrointestinal, pada keadaan hipotiroid terjadi penurunan
aktivitas listrik dan motorik dari esophagus, lambung , usus halus dan usus besar, sehingga
pada keadaan hipotiroid dapat terjadi keadaan konstipasi. Sedangkan pada keadaan
hipertiroid akan terjadi keadaan sebaliknya yaitu diare (Guyton, 2019).
Hormon motilin adalah suatu suatu hormon polipeptida yang disekresi oleh sel
enterokromatin usus, terbukti dapat membantu meningkatkan motilitas usus sehingga
20
meningkatkan pula frekuensi defekasi. Motilin pada orang dewasa, diproduksi oleh sel
endokrin yang berada di atas usus halus. Hormon ini berperan pada pemendekan waktu transit
di usus halus . Kadar motilin plasma akan meningkat setelah mendapatkan diet secara enteral
pada bayi kurang bulan. Tingginya kadar motilin dalam darah saat masa neonatus
berhubungan dengan, efisiensi dari fungsi motorik saluran cerna. Absorbsi air di usus halus
disebabkan karena derajad osmolaritas yang terjadi apabila bahan terlarut ( khususnya
natrium) diabsorbsi secara aktif dari lumen usus oleh sel epitel vili. Ada beberapa mekanisme
penyerapan Na di usus halus (Guyton, 2019).
Natrium( Na+) terkait dengan penyerapan ion klorida atau diabsorbsi langsung
sebagai ion Na+ atau ditukar dengan ion hydrogen atau terkait dengan absorbsi bahan organik
seperti glukosa aatu asam amino tertentu untuk dapat masuk sel epitel. Penambahan glukosa
ke larutan elektrolit dapat meningkatkan penyerapan Natrium di usus halus sebanyak tiga
kali. Setelah disbsorbsi, natrium dikeluarkan dari sel epitel melalui pompa ion yang disebut
sebagai Na+ K+ ATPase. Pengeluaran Na+ ke cairan ekatraseluler ini meningkatkan
osmolaritasnya dan menyebabkan air dan elektrolit lainnya mengalir secara pasif dari lumen
usus halus melalui saluran interseluler ke dalam cairan ekstraseluler. Proses ini menjaga
keseimbangan osmotik antara cairan intraluminer usus dan cairan ekstraseluler (Guyton,
2019).
Usus besar menyerap hampir seluruh air yang berasal dari usus halus dan
meninggalkannya hanya sekitar 1 % untuk dieksresikan ke dalam tinja. Mukosa usus besar
seperti juga pada mukosa usus halus, mempunyai kemampuan absorbsi aktif natrium yang
tinggi, dan potensial aksi yang diakibatkan oleh absorbsi Na+ akan menyebabkan absorbsi
klorida. Saat kimus berada pada bagian distal usus halus, mukosa usus besar mensekresikan
ion bikarbonat bersama dengan proses absorbsi ion Cl-. Bikarbonat berfungsi menetralisir
produk akhir asam dari kerja bakteri dalam usus besar. Absorbsi ion Na+ dan Cl-
menciptakan gradien tekanan osmotik di sepanjang mukosa usus besar yang kemudian akan
menyebabkan absorbsi air (Murray, RK, Granner, DK, & Rodwell, VW., 2017).
Usus besar sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa tinja yang
sudah berkurang kandungan cairannya sampai dengan proses defekasi berlangsung. Proses
pencernaan yang terjadi di usus besar lebih banyak dikerjakan oleh bakteri usus (mikroflora)
bukan oleh enzim. Mikroflora ususbesar dapat memetabolisme nutrient yang tidak terserap.
Usus besar mengsekresikan mukus alkali yang tidak mengandung enzim. Mukus ini bekerja
21
untuk melumasi dan melindungi mukosa. Pembusukan oleh bakteri dari sisa-sisa protein
menjadi asam amino dan menjadi zat-zat yang lebih sederhana seperti indol,skatol dan fenol
dan asam lemak rantai pendek seperti asam aseta, asam butirat dan asam propionat.
Pembentukan zat gas seperti NH3, CO2, H2, H2S dan CH4 membantu pembentukan flatus
di usus besar. Beberapa substansi ini dikeluarkan dalam tinja sedangkan zat lainnya
diabsorbsi dan diangkut ke hati untuk dirubah menjadi senyawa yang kurang toksik dan
diekskresikan melalui kemih (Murray, RK, Granner, DK, & Rodwell, VW., 2017).
Kelebihan gas dapat terjadi pada eorofagia (menelan udara secatra berlebihan) dan
pada peningkatan gas didalam lumen usus, biasanya berkaitan dengan jenis makanan yang
dimakan. Makanan yang mudah membentuk gas seperti kacang- kacangan yang banyak
mengandung karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Zat-zat lain yang terbentuk akibat
aktivitas bakteri adalah vitamin K,B12, thiamin, riboflavin (Murray, RK, Granner, DK, &
Rodwell, VW., 2017).
2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Dari Motilitas Usus, dan Proses Defekasi
Faktor interna maupun eksterna yang mempengaruhi lancar tidaknya BAB yaitu
motilitas yang berlebihan terhadap dinding saluran cerna akibat intoleransi aktosa, stres, dan
mikroba yang mengiritasi mukosa.Selain itu faktor yang lain ada mengabaikan keinginan untuk
buang air besarberkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat dan
gangguan refleks defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang terlibat. (Sherwood.
2019)
Faktor lainnya yaitu serat. Serat dibedakan menjadi dua, serat larut dalam air dan tak
larut dalam air. Serat tak larut dalam air ini memiliki fungsi mempercepat gerak peristaltic
usus, memperbesar massa feses dan memperlunak feses sehingga mudah dikeluarkan. Sumber
serat tak larut dapat diperoleh dari padi, gandum dan sorgum. (Siti et al., 2019). Faktor- faktor
lain yang mempengaruhi defekasi yaitu :
• Faktor Interna :
1. Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya.
Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular
berkembang, biasanya antara umur 2 – 3tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan
pengalaman yangdapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah
atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat
22
berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan
menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses
pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi. (Ida, 2019).
2. Diet
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya
selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu
pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yangteratur
mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola
defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu
keteraturan waktu,respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas
peristaltik di colon. (Ida, 2019).
3. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan
yang adekuat ataupun pengeluaran yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras.
Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme di
sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme. (Ida, 2019).
4. Tonus Otot
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas tonus otot
abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantukelancaran proses defekasi, sehingga
proses gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik dan memudahkan
dalam membantu proses kelancaran proses defekasi. (Ida, 2019).
5. Faktor Psikologis
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit- penyakit
tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen
psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yang depresi
bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi. (Ida, 2019).
• Faktor Eksterna :
1. Gaya Hidup
Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara.Pelathan buang air
23
besar pada waktu dini dapat memupuk kebiasaan defekasi pada waktu yang teratur, seperti
setiap hari setelah sarapan, atau bisa juga digunakan pada pola defekasi yang ireguler.
Ketersediaandari fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan kebutuhan akan privacyjuga
mempengaruhi pola eliminasi feses. Pasien yang berbagi saturuangan dengan orang lain
pada suatu rumah sakit mungkin tidak ingin menggunakan bedpan karena privacy dan
kegelisahan akan baunya. (Ida, 2019).
2. Obat – Obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi
yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari
tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasifeses.
Obat obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti
dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-kadang
digunakan untuk mengobatidiare. (Ida, 2019).
3. Prosedur Diagnostik
Prosedur diagnostik tertentu, seperti sigmoidoscopy, dibutuhkanagar tidak
ada makanan dan cairan setelah tengah malam sebagai persiapan pada pemeriksaan,
dan sering melibatkan enema sebelum pemeriksaan. Pada tindakan ini pasien biasanya
tidak akan defekasi secara normal sampai diizinkan makan. Barium (digunakan pada
pemeriksaan radiologi) menghasilkan masalah yang lebih jauh. Barium mengeraskan
feses jika tetap berada di colon, akan mengakibatkan konstipasi dan kadang-kadang
suatu impaksi. (Ida, 2019)
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, usus besar merupakan salah satu
organ yang penting dalam proses pencernaan dimana organ tersebut memiliki peran dalam
beberapa proses pada pencernaan. Adapun struktur colon itu terdiri dari beberapa bagian
yakni, bagian proksimal yang berfungsi untuk absorbs, dan bagian distal untuk proses
penyimanan. Sedangkan struktur histologinya itu terdiri dari 4 lapisan, yaitu mukosa,
submucosa, muskularis eksterna, dan serosa. Fungsi utama usus besar yaitu berperan dalam
proses pembentukkan feses yang kemudian dikeluarkan melalui proses defekasi. Feses ini
merupakan massa padat yang terbentuk dari sisa-sisa makanan yang tak tercerna, komponen
empedu yang tidak diserap dan cairan, semuanya diekstraksi oleh H2O dan garam dari isi
lumen di dalam kolon. Makanan yang masuk ke tubuh akan melewati saluran cerna untuk
mencapai dubur dimana proses defekasi akan berlangsung, sehingga dibutuhkan motilitas
saluran cerna untuk menunjang pergerakan makanan untuk melaluinya hingga dikeluarkan
dari dalam tubuh dalam bentuk tinja. Defekasi atau buang air besar adalah suatu tindakan atau
proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat
yang berasal dari sistem pencernaan. Proses defekasi diawali dengan adanya mass movement
dari usus besar desenden yang mendorong tinja ke dalam rektum, serta disebabkan oleh suatu
reflek pada bagian lambung yakni refleks gastrocolic, dan reflek dari duodenum yakni,
duodenicolic, sehingga akan mengaktivasi refleks intrinsic usus besar, dan refleks
parasimpatis untuk mendorong keluar feses dari tubuh. Adapun juga terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi dalam proses defekasi ini yaitu, motilitas kolon karena usia, emosi, atau
diet rendah serat dangangguan refleks defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang
terlibat, dan lain-lainnya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Drake RL, Vogl AW, dan Mitchell AWM 2018. Gray’s Basic Anatomy second ed.
Elsevier, Philadelphia
Eroschenko, V. P. 2017. Atlas Histologi diFiore dengan Kolerasi Fungsional, Edisi 12.
EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2019). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Revisi
Berwarna Ke-13.
Murray, RK, Granner, DK, & Rodwell, VW 2017. Biokimia harper (edisi 30), Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Schunke, M., Schulte, E., & Schumacher, U. 2021. “Atlas Anatomi Manusia
Prometheus: organ dalam” Edisi 5. Jakarta: EGC.
Sherwood, L.Z., (2019). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed: 9. Jakarta: EGC
Siti, A. Ur., I Made, A. G., & Rina, O. 2019. Konsumsi Sayur-Buah Dan AktivitasFisik
Sebagi Faktor Risiko Obesitas Pada Remaja di Wilayah Kota Madya
Yogyakarta.
Tortora, GJ, Derrickson, B. (2016). Principles of Anatomy & Physiology 15thEdition.
United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
Wineski LE 2019. Snell’s Clinical Anatomy by Regions 10th ed. Wolters Kluwer,
Philadelphia
26