Disusun oleh:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan limpahan rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan dengan
tepat waktu. Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “rektal”.
Diharapkan makalah ini dapat memberi informasi kepada para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini menjadi lebih bermanfaat untuk para
mahasiswa sekalian dan bagi teman-teman Keperawatan khususnya.
17 september 2023
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
A. Kesimpulan...................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang
sebagai perawatan atau pengobatan bahkan pencegahan terhadap berbagai gangguan
yang dapat terjadi di dalam tubuh. Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi
pengobatan diantaranya absorpsi obat, distribusi obat dalam tubuh, metabolisme obat,
dan ekskresi (Pramesti, et al., 2017).
Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya:
oral, parenteral, rectal, vaginal, kulit, mata, telinga, dan hidung. Dengan menggunakan
prinsip enam tepat dalam pengobatan yaitu tepat pasien, obat, dosis, rute, waktu, dan
dokumentasi (Pramesti, et al., 2017). Rute sediaan oral adalah rute yang paling nyaman
untuk pemberian obat. Meskipun rute sediaan oral adalah jalur yang paling nyaman
untuk pemberian obat, ada sejumlah keadaan di mana hal ini tidak memungkinkan baik
dari perspektif klinis maupun farmasi. Dalam kasus ini, rute rektal mungkin merupakan
alternatif praktis dan dapat digunakan untuk memberikan obat untuk tindakan lokal dan
sistemik. Lingkungan dalam rektum dianggap relatif konstan, stabil, serta memiliki
aktivitas enzimatik yang rendah dibandingkan dengan bagian lainnya dari saluran
pencernaan. Selain itu, obat-obatan dapat melewati sebagian hati setelah absorpsi
sistemik, yang mengurangi efek jalur pertama hati. Oleh karena itu, pemberian obat
melalui rektal dapat memberikan tingkat lokal dan sistemik yang signifikan untuk
berbagai obat, meskipun luas permukaan mukosa rektal relatif kecil (Hua, 2019: 1).
Pengembangan lebih lanjut dan optimalisasi formulasi obat rektal telah
menyebabkan peningkatan ketersediaan hayati obat, retensi formulasi, dan kinetika
pelepasan obat. Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas pertimbangan
fisiologis dan farmasi yang dapat mempengaruhi pemberian obat secara rektal serta
pendekatan pemberian obat konvensional dan baru (Hua,2019: 1)
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan
PEMBAHASAN
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih
besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus
diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rectum. Rektum
terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat
kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai
kanalis ani adalah 5,9 inci.
Rectum memiliki panjang pada manusia dewasa rata-rata 15-19 cm, 12-14 cm bagian
pelvinal sampai 5-6 cm bagian perineal, pada bagian teratas dibungkus dengan lapisan
peritoneum. Sedang pada bagian bawah tidak dibungkus dengan peritoneum maka disebut
pula dengan rectal ampula.yaitu membrane serosa yang melapisi dinding rongga abdomen
dan pelvis dan melapisi visera.Kedua lapisan tersebut menutupi ruang potensial, rongga
peritoneum. Anal canal memiliki panjang 4-5 cm. Luas permukaan rectal 200-400 cm2 , pada
saat kosong rectum mengandung sejumlah kecil cairan (1-3 ml) dengan kapasitas buffer yang
rendah; pH sekitar 7,2 karena kD (kecepatan disolusi), pH akan bervariasi sesuai obat yang
terlarut di dalamnya
Rektum merupakan bagian ujung dari sistem pencernaan di mana kotoran menumpuk
tepat sebelum dibuang. Rektum menyambung dengan kolon sigmoid dan memanjang 13
sampai 15 cm (5 sampai 6 inci) ke anus. Selembar otot yang disebut diafragma panggul
berjalan tegak lurus ke persimpangan rektum dan anus dan mempertahankan penyempitan
antara dua segmen dari usus besar.
Rongga internal rektum dibagi menjadi tiga atau empat kamar; setiap ruang sebagian
tersegmentasi dari lainnya dengan lipatan melintang permanen (katup dari Houston) yang
membantu untuk mendukung isi rektum. Sebuah selubung otot memanjang mengelilingi
dinding luar rektum, sehingga memungkinkan bagi rektum untuk memperpendek dan
memanjang. Sampah makanan tetap dalam kolon sigmoid sampai mereka siap untuk
dikeluarkan dari tubuh. Saat feces memasuki rektum, dinding menggembung untuk
mengakomodasi materi. Ketika tekanan yang cukup menumpuk dalam rongga dubur
membesar, dorongan untuk menghilangkan limbah terjadi. Ketika reseptor sistem saraf dalam
dinding rektum dirangsang oleh peregangan yang, mereka mengirimkan impuls ke lubang
anus, dada dan otot perut-dinding, dan medulla oblongata otak, yang membuat orang tersebut
sadar akan kebutuhan untuk buang air besar.
Mukosa memiliki epitel usus yang khas dengan enterosit kolumnar sederhana. Pada
zona transisi anal, epitel kolumnar semakin rata dan akhirnya menjadi epitel skuamosa non-
keratin berlapis bertingkat. Lapisan epitel diikuti oleh lapisan jaringan ikat (lamina propria)
dengan pembuluh darah dan getah bening serta lapisan otot (lamina muskularis mukosa).
Submukosa mengandung jaringan ikat longgar dengan pembuluh darah, folikel getah bening,
dan pleksus Meissner. Ini memiliki jaringan vena yang padat (pleksus vena rektal) dan
menebal di lipatan transversal.
Sama seperti kolon, rektum berfungsi untuk mengabrorbsi elektrolit, seperti natrium,
kalium, dan klorida saat feses lewat, lalu elektrolit akan menyebar ke bagian tubuh lain.
Rektum adalah tempat pemberhentian feses sebelum dikeluarkan melalau anus. Makanan
yang sulit dicerna didekomposisi oleh bakteri anerobik. Rektum juga mengabsorbsi air dari
feses sehingga feses akan menebal. Jika feses masuk ke rectum yang biasanya kosong, makan
akan dikenali oleh reseptor regangan. Informasi tersebut ditransfer ke sistem saraf pusat
sehingga seseorang ingin buang air besar. Seseorang tersebut sekarang dapat memutuskan
untuk memulai atau menunda buang air besar dengan merelaksasikan atau menegangkan otot
levator ani dan otot sfingter ani eksternus.
Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut
dalam suatu pelarut (Shargel, 2004). Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai
proses melarutnya suatu solid. Bentuk sediaan farmasetik padat terdispersi dalam
cairan setelah dikonsumsi seseorang kemudian akan terlepas dari sediaannya dan
mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti dengan absorpsi zat aktif ke dalam
sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan respons klinis (Siregar, 2010).
Absorpsi obat adalah peristiwa masuknya molekul obat ke dalam pembuluh darah
melewati membran pembuluh darah. Absorpsi dapat berlangsung dengan cara filtrasi,
difusi pasif, difusi terfasilitasi, transpor aktif, transpor aktif terfasilitasi, pinositosis,
dan pembentukan kompleks netral (transpor pasangan ion).
C. Faktor Fisika Kimia Bahan Aktif Dan Eksipien
Sifat – sifat fisikokimia zat aktif memiliki peranan dalam pengendalian disolusinya
dari bentuk sediaan. Kelarutan zat aktif dalam air diketahui sebagai salah satu dari berbagai
faktor yang menentukan laju disolusi (Siregar, 2010). Faktor ini meliputi :
Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan
laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.
Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat
yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat. (Shargel dan Andrew,
1988)
Enema adalah bentuk sediaan cair utama untuk pemberian obat rektal, mengandung
obat dalam larutan, suspensi, atau emulsi yang biasanya diberikan dari botol plastik sekali
pakai dengan ujung yang diperpanjang untuk penyisipan rektal. Karakteristik kelarutan obat
dan zat terlarut tambahan harus dipertimbangkan selama formulasi farmasi, terutama untuk
larutan (Allen dkk., 2011 dalam Hua, 2019:6). Enema terutama digunakan untuk
mengantarkan obat untuk pengobatan kejang akut, IBD, sembelit, dan sebagai persiapan usus
untuk diagnosis gastrointestinal atau prosedur bedah
Bentuk Sediaan Padat
Supositoria merupakan bentuk dosis rektal yang paling umum digunakan secara
klinis, dimana termasuk dalam bentuk dosis padat yang mengandung obat-obat yang
terdispersi atau dilarutkan dalam basa yang sesuai (Allen dkk., 2011 dalam Hua, 2019: 7).
Obat biasanya dicampur dengan eksipien supositoria selama pembuatan untuk membentuk
sistem yang homogen. Supositoria umumnya terdiri dari basa lipofilik (misalnya, mentega
kakao, minyak kelapa, minyak nabati terhidrogenasi, dan lemak keras) atau basa hidrofilik
(misalnya gelatin gliserin dan polietilen glikol) (Allen dkk., 2011; Jannin dkk., 2014; Ham
dan Buckheit, 2017 dalam Hua, 2019: 7). Basa lipofilik tidak bercampur dengan cairan tubuh
dan meleleh kembali pada suhu tubuh untuk melepaskan obat pada permukaan mukosa
sedangkan basa hidrofilik perlu larut dalam cairan fisiologis untuk pelepasan obat (Allen
dkk., 2011; Jannin dkk., 2014; Ham dan Buckheit, 2017 dalam Hua, 2019: 7).
Gel dan busa adalah bentuk sediaan semi padat yang paling umum digunakan untuk
pemberian obat rektal. Formulasi ini umumnya membutuhkan penggunaan aplikator yang
harus diisi dahulu dengan formulasi obat sebelum pemberian dosis (Allen dkk., 2011 dalam
Hua, 2019: 7-8).
Bentuk sediaan rektal nanopartikulat berbeda dari bentuk sediaan rektal konvensional
dengan membungkus atau memuat obat ke dalam nanopartikel sebelum dispersi dalam basa
formulasi (misalnya, gel, supositoria, dan enema). Dari perspektif farmasi, dapat
memungkinkan kemampuan untuk meningkatkan kelarutan dalam senyawa hidrofobik,
memodifikasi kinetika pelepasan obat (misalnya, pelepasan terkontrol atau pelepasan
berkelanjutan), dan melindungi senyawa yang sensitif terhadap degradasi. Dari sisi biologis,
keuntungannya :
Berikut merupakan bentuk sediaan obat rektal dalam bentuk sediaan nanopartikulasi:
Bentuk sediaan cair biasanya digunakan dalam studi awal untuk mengevaluasi potensi
sistem nanopartikulat untuk pengiriman obat rektal. Sebagai contoh evaluasi efek kimia
permukaan pada interaksi dan distribusi nanopartikel di saluran pencernaan setelah
pemberian oral dan rektal pada tikus sehat dan model tikus kolitis ulserativa. Studi tersebut
menunjukkan nanopartikel yang dilapisi dengan polietilen glikol (PEG) dari semua ukuran
dapat didistribusikan secara efisien ke lebih banyak permukaan jaringan kolorektal pada tikus
sehat dan mencit dengan kolitis yang diinduksi TNBS, yang kemungkinan akan memberikan
peningkatan pengiriman obat untuk keduanya aplikasi lokal dan sistemik.
Pemberian rute rektal memiliki keuntungan yang signifikan untuk pemberian obat
lokal dan sistemik. Namun, secara umum ada kekurangan penelitian di bidang formulasi obat.
Secara khusus, ada kebutuhan untuk studi komprehensif tentang interaksi biologis pemberian
obat rektal pada orang dewasa dan anak-anak, serta inovasi berkelanjutan dalam formulasi
obat rektal. Dari perspektif biologis, harus ada analisis yang komprehensif terhadap in vivo
nasib dan interaksi obat yang diberikan dalam bentuk sediaan rektal yang sudah ada dan yang
baru dengan darah, jaringan, sel, dan kompartemen intraseluler baik dalam maupun luar. Hal
ini termasuk farmakokinetik, stabilitas, permeabilitas, khasiat, dan keamanan formulasi.
Perhatian juga harus diberikan pada kinerja bentuk sediaan ini dalam sifat heterogen
lingkungan gastrointestinal manusia (Hua, 2019: 12-13 ).
Selain itu, evaluasi dari banyak formulasi sediaan rektal telah dibatasi in vitro (misal
pelepasan obat dan serapan seluler) atau ex vivo (misalnya pemeriksaan mukoadhesion).
Oleh karena itu, kehati-hatian harus dilakukan saat menafsirkan data, karena efek yang sama
pada hewan atau manusia tidak dapat dijamin. Penggunaan hewan pengerat untuk studi in
vivo juga dapat memiliki keterbatasan untuk memeriksa pemberian obat rektal untuk
penggunaan klinis. Misalnya, anatomi dan fisiologi hewan pengerat dapat mempengaruhi
distribusi bentuk sediaan serta jumlah formulasi yang dapat diberikan secara rektal. Bagi
manusia, hewan pengerat cenderung lebih sering buang air besar, buang air besar lebih intens,
dan perputaran lendir di rektum lebih cepat. Faktor-faktor ini harus diperhitungkan saat
mendesain studi in vivo (Hua, 2019: 12-13).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rute rektal untuk pemberian obat masih relatif kurang dimanfaatkan meskipun
memiliki kelebihan. Meskipun jalur oral adalah jalur yang paling nyaman dan disukai untuk
pemberian obat, ada sejumlah keadaan dimana hal ini tidak mungkin baik dari perspektif
klinis atau farmasi. Dalam kasus ini, rute rektal mungkin merupakan alternatif praktis dan
dapat digunakan untuk memberikan obat untuk tindakan lokal dan sistemik. Inovasi
berkelanjutan dalam formulasi obat rektal dan studi komprehensif yaitu tentang interaksi
biologis pemberian obat rektal diperlukan untuk sepenuhnya memanfaatkan potensi rute ini
untuk mengobati penyakit sistemik dan lokal.
DAFTAR PUSTAKA