Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH BIOFARMESTIKA DAN

FARMAKOKINETIKA
TENTANG SEDIAN OBAT PEMBERIAN
MELALUI REKTUM

D
I
S
U
S
U
N
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam saya sampikan ke hadiran tuhan yang maha esa, kerna
berkat kemurahannya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang di harapkan.dalam
makalah ini kami membahasBIOFARMASETIKA SEDIAN OBAT PEMBERIAN
MELALUI REKTUMMakalah ini di buat dalam rangka memenuhi tugas
BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKAyang di berikan oleh dosen untuk
memperluas pengetahuan mahasiswa dan mempermudah pemahaman tentang
PENGGUNAAN SEDIAN OBAT MELALUI REKTUM
Dalam proses pendalaman materi perkembangan atom, tentunya saya mendapatkan
bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-
dalamnya kepada dosen kami.
Kami menyadari bahwa masik banyak kesalahan yang ada dalam penyusunan dan
mempuatan makalah ini. Sekian dan terimah kasih.

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................1
1.3 Tujuan...........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Dan FisiologiRektum.....................................................................................2
2.2 Fisiologi Rektum Dan Anus..........................................................................................4
2.3 Pemberian Obat Secara Rektal......................................................................................4
2.4 Kinetika Pre-Disposisi Zat Aktif............................................................................................7
2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Kinetika Penyerapan ZatA ktif Yang DiberikanPer-
Rektum.................................................................................................................................8
2.6 Mekanisme Biofarmasi Sediaam Rectal (Suppositoria).......................................................8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rute peroral merupakan pemberian obat yang paling umum dalam penelitian dan
pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi pemberian oral tidak selalu
menghasilkan efek yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien. Obat yang
absorpsinya tidak baik di saluran gastrointestinal dan tidak stabil oleh enzim proteolitik
merupakan beberapa masalah pada pemberian obat pada rute oral. Beberapa obat
menyebabkan iritasi lokal pada lambung atau saluran gastrointestinal atas atau
membutuhkan dosis lebih dari 500 mg. Populasi pasien tertentu, umumnya anak-anak,
orang tua dan pasien yang sulit menelan, seringnya kesulitan untuk mengonsumsi tablet
dan kapsul oral.
Sebagai tambahan, pengobatan beberapa penyakit paling baik dilakukan dengan
pemberian langsung pada tempat yang sakit, umumnya pada penyakit di mata, mulut,
dermal, rongga oral, dan jaringan anorektal. Pemberian oral dapat digunakan untuk tujuan
drug targeted untuk jaringan yang terkena penyakit, namun terpaparnya seluruh
kompartemen tubuh pada pemberian obat melalui oral tidak efisien dan bisa memicu efek
yang tidak diinginkan. Pemberian obat rektal dapat diterima baik untuk penghantaran obat
lokal dan sistemik.Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit lokal
pada area anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari
pemberian oral.Obat-obat yang mengalami metabolismee lintas pertama ketika diberikan
oral, masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute rektal.
Formulasi penghantaran obat melalui rektal terdapat dalam berbagai bentuk sediaan, antara
lain supositoria, gel, aerosol, busa (foam), krim maupu controlled release. Meskipun
pemberian obatsecara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian yang umumnya diterima,
penggunaan teknologi penghantaran obat rektal untuk penggunaan tertentu dan masalah
terapeutik tertentu memberikan rute penghantaran obat alternative yang dapat sukses
diterapkan dalam terapi obat.
1.2 RumusanMasalah
Bagaimanakah studi biofarmasi pemberian obat melalui rectum ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi dari rectum
2. Untuk mengetahui mekanisme biofarmasi pemberian obat melalui rectum.
1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Rektum

Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis
anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus
levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3
ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm,
dengan keliling 15 cm pada recto-sigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang
terluas. Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Letaknya
dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os koksigius. Struktur rektum serupa dengan
yang ada pada kolon, tetapi dinding yang berotot lebih tebal dan membran mukosanya
memuat lipatan lipatan membujur yang disebut kolumna morgagni. Semua ini
menyambung ke dalam saluran anus Struktur rektum Bagian sepertiga atas dari rectum,
sisi samping dan depannya diselubungi peritoneum. Di bagian tengah, Hanya sisi
depannya yang diselubungi peritoneum. Di bagian bawah, tidak diselubungi peritoneum
sama sekali. Terbagi menjadi dua bagian: sfingter dan ampula. Memiliki panjang 10-15 cm
Ampula pada rectum memiliki bentuk seperti balon atau buah pir Dikelilingi oleh visceral

2
pelvic fascia. Memiliki empat lapisan: Mukosa, Submukosa, Muskular, dan Serosa
Kolumnalrektal Membantu dalam kontraksi dan dilatasi pada saluran anal dan otot sfingter
rectum. Terdiri atas sel-sel otot bermukosa yang cukup padat, dan mengandung lebih
banyak pembuluh limfa, pembuluh darah, dan jaringan saraf dari pada sel-sel penyusun
dinding rectum di sekitarnya. Anus adalah bukan pada bagian akhir dari usus besar.
Saluran anal merupakan pipa kosong yang menghubungkan rectum (bagian bawah akhir
dari usus besar) dengan anus dan luar tubuh. Letaknya di abdomen bawah bagaian tengah
di dasar pelvis setelah rektum-Anus manusia terletak di bagian tengah pantat, bagian
posterior dari periotoneum. Struktur anus saluran anal memiliki panjang sekitar 2- 4,5 cm.
Saluran anal dikelilingi oleh otot yang berbentuk seperti cincin yang disebut internal anal
sphincters dan external anal sphincters Saluran anal dilapisi oleh membrane mukosa,
Bagian atas saluran anal memiliki sel yang menghasilkan mucus yang membantu
memudahkan ekskret keluar tubuh. Bagian bawah saluran anal terdiri dari sel epitel
berbentuk kubus Saluran anal memiliki bagian berbentuk lipatan yang disebut anal colums
(kolumnal anal) Bagian atas kolumnal anal membentuk garis anorectal yang merupakan
perbatasan antara rectum dengan anus, Bagian bawah kolumnal anal memiliki garis
dentate

3
yang menjadi penanda dari daerah dimana terdapat sel-sel saluran anal yang bisa
berubah dari sel penghasil mucus menjadi selepitelkubus, Sel-selepitel anus lebih tebal
dari yang di saluran anal dan memiliki rambut Ada area perianal yang merupakankulit di
sekeliling anus sejauh 5 cm. Dinding otot anus diperkuat oleh 3 sfingter yaitu :
1. Sfingter ani internus (tidak mengikuti keinginan)
2. Sfingter levator ani (tidak mengikuti keinginan)
3. Sfingter ani eksternus (mengikuti keinginan)
Rektum dialiri oleh tiga jenis haemorrhoidales :
1.venae haemorrhoidales superior yang bermuara ke vena mesentericum
inferior,Selanjutnya masuk kedalam vena porta, dan juga membawa darah langsung ke
peredaran umum.
2. venae haemorrhoidales medialis dan
3. vena haemorhoidales inferior yang bermuara kevenae cava inferior dengan perantara
venae iliaca interna selanjutnya membawadarah ke peredaran umum (kecuali hati).
Persarafan rektum terdiri dari:
1. Anyaman haemorrhoidales bagian atas (plexus harmorrhoidales superior)
2. Anyaman haemorrhoidales yang keluar dari plexus hipogastricum
3. Saraf haemorhoidales atau saraf anus yang merupakan cabang dari plexus sacralis.
2.2 Fisiologi Rektum dan Anus
Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.Biasanya rektum
ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens.
Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan
untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke
usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
2.3 Pemberian Obat Secara Rektal
Pemberian obat rektal adalah obat yang cara pemberiannya melalui dubur atauanus.
Maksudnya adalah mempercepat kerja obat serta bersifat lokal dan sistematik. Biasanya
adalah obat pencahar atau obat agar melancarkan buang air besar. Biasanya dalam lingkup
rumah sakit pada pasien yang akan operasi besar ataupun sudah lama tidak bisa buang air
besar. Dan pemberian obat yang benar juga harus diperhatikan.

4
Dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan ini
disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat,
menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar. Contoh pemberian
obat yang memiliki efek lokal seperti obat dulcolac supositoria yang berfungsi secara lokal
untuk meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obat aminofilin suppositoria
dengan berfungsi mendilatasi bronkus.
Lima puluh persen aliran darah dari rektum melintas sirkulasi portal (melalui hati
biasanya pada rute oral), sehingga biotransfortasi obat oleh hati dikurangi. Bagian obat
yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung mencapai vena cava inferior dan
tidak melalui vena porta. Keuntungan pemberian melalui rektal (juga sublingual) dapat
mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH dalam lambung.
Obat yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu
hingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan obat
terhindar dari tidak aktif.
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
1. lewat pembuluh darah secara langsung
2. lewat pembuluh getah bening
3. lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.
Menurut Ravaud Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung
lewat inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena
iliaca ke vena cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan dimulai
dari vena haemorrhoidalles inferior terutama vena haemorrhoidalles superior menuju vena
porta melalui vena mesentricum inferior. Saluran getah bening juga berperan pada
penyerapan rektal yaitu melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra.
Menurut Fabre dan Regnier pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut
lemak.
Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeable sempurna. Penyerapan
rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu penyerapan
jugatergantung pada derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak dapat diberlakukan
secara umum. Bahkan bebrapa obat tertentu tidak diserap oleh mukosa rektum.
Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap dari rektum,
sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan digunakan pada rektum kososng,
akan tetapi setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat dan lebih kuat
dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah dari rektum tidak

5
tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati pada peredaran darah pertama,
sehingga tidak mengalami perombakan FPE (first pass effect). Pengecualian adalah obat
yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena rectalis superior disalurkan ke vena
portae dan kemudian ke hati, misalnya thiazinamium.dengan demikian penyebaran obat
didalam rektum yang tergantung dari basis supositoria yang digunakan, dapat
menentukanrutenya kesirkulasi darah. Supositoria dan salep juga sering kali digunakan
untuk efek lokal pada gangguan poros-urus, misalnya wasir.
Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal :
1. Faktor Fisiologis
Rektum mengandung sedikit cairan dengan pH 7,2 dan kapasitas daparnya rendah.
Epitel rektum keadaannya berlipoid, maka diutamakan permiabel terhadap obat yang
tak terionisasi. Jumlah obat yang diabsorpsi dan masuk keperedaran darah umumnya
tergantung dimana obat itu dilepas direktum.
2. Faktor Fisika Kimia dari Obat atau Basis
a. Kadar obat dalam basis
b. Difusi obat dari basis supositoria merupakan fungsi kadar obat dan sifat kelarutanobat
dalam basis. Pengangkutan melewati mukosa rektum adalah proses difusi sederhana
, maka bila kadar obat dalam cairan renal tinggi maka absorpsi obat akan menjadi cepat
dan kecepatan absorpsi makin tinggi bagi bentuk obat yang tidak terdisosiasi.
c. Bila kelarutan obat dalam air terbatas dan tersuspensi didalam basis supositoria maka
ukuran partikel akan mempengaruhi kecepatran larutan dari obat ke cairan renal.
d. Obat yang larut dalam air dan berada dalam basis lemak akan dilepas segera kecairan
renal bila basis cepat melepas setelah masuk kedalam rektum, dan obatakan segera
diabsorpsi serta kerja awal dari aksi obat akan segera nyata. Bila obat yang larut dalam
air dan berada dalam basis larut air kerja awal dari aksi obat akan segera nyata apabila
basis tadi segera larut dalam air.
Karakteristik fisika kimia obat yang mempengaruhi absorpsi :
1. Koefisisn partisi lemak atau air
2. Derajat ionisasi
Bila jumlah obat dalam cairan rektal ada diatas level yang menentukan laju maka
peningkatan konsentrasi obat yang nyata tidak mempunyai peranan dalam mengubah laju
absorpsi obat yang ditentukan. Tetapi konsentrasi obat berhubungan dangan laju
penglepasan obat dari basis supositoria. Adanya surfaktan dapat atau tidak dapat

6
mempermudah absorpsi tergantung pada konsentrasi dan interaksi obat yang mungkin
terjadi. Ukuran partikel obat secara langsung berhubungan dengan laju absorpsi.
absorpsi obat dari daerah anorektal dipengaruhi oleh faktor fisiologis :
1. isi kolon
2. sirkulasi
3. pH
Kenyataan bahwa rektum atau kolom merupakan tempat absorpsi obat yang dapat
diandalkan terbukti dengan baik. Untuk menjaga keefektifan terapis obat dalam suatu
sediaan harus dilakukan pemilihan garam obat dan basis yang sesuai.
Keuntungan pemberian obat secara rektal
1. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar diri.
2. bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam atau
olehenzim usus.
3. bila zat aktif mengalami kerusakan pada perlintasan pertama melalui hati.
4. Dapat menghindari iritasi lambung..
5. Obat dapat msauk langsung kedalam saluran darah sehungga obat dapat berefek lebih
cepat dari pada penggunaan obat per oral.

Kerugian pemberian obat melalui rektum adalah :


1. Tidak menyenangkan.
2. Absorpsi obatnya tidak teratur.
3. Onset ofaction lebih lama.
4. Jumlah total zat aktif yang dapat diabsorbsi kadang - kadang lebih kecil dari
rutepemberian yang lain.
5. Dosis dan posisi absorbsi dapat menimbulkan peradangan bila digunakan secaraterus
menerus.

2.4 Kinetika Pre-Disposisi Zat Aktif


Penyerapan zat aktif terjadi setelah proses pelepasan, pemindahan, pelarutan dan
penembusan ke cairan rektum dan keseluruhan proses itu disebut ” kinetik pelepasan atau
kinetik predisposisi” (A) sedangkan fenomena difusi dan penyerapan disebut ” Kinetika
penyerapan” (B) Keseluruhan proses kinetik yang berurutan tersebut tidak dapat saling
dipisahkan dan terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh pada berbagai tahap tersebut.

7
Faktor yang mempengaruhi kinetik pre-disposisi zat aktif adalah karena
pemberiannya secara khusus ada kemungkinan terjadi refleks penolakan melebihi cara
pemberian bentuk sediaan lain maka supositoria harus melepaskan zat aktifnya agar segera
menimbulkan efek seefektif cara pemberian oral.Kecepatan dan keefektifan sediaan
supositoria sangat ditentukan oleh afinitas basis terhadap zat aktif, parameter yang harus
diperhatikan pada semua keadaan.
Kinetik predisposisi terdiri atas dua tahap yaitu:
1. Penghancur sediaan ini ditujukan untuk pemberian lavement yang mengandung larutan
zat aktif yang menimbulkan efek farmakologi jauh lebih cepat dari pemberian
supositoria yang mengandung zat akti yang sama. Ini telah dibuktikan bahwa semakin
tinggi suhu lebur zat pembawa maka efek farmakologik yang ditimbulkan semakin
lambat, dan tentu saja tidak terjadi untuk supositoria yang melebur pada suhu 42-430 C.
2. Pemindahan dan pelarutan zat aktif kedalam cairan rektum diikuti difusi menuju
membran yang akan dibacanya (untuk efek setempat) atau berdifusi melintasi embran
agar dapat mencapai sistem peredaran darah( efek sistemik).
Transfer zat aktif dari zat pembawa yang melebur atau terlarut pada mukosa rektum
(merupakan tahap penentu dalam rangkaian proses yang terkait) tidak hanya sebagai fungsi
dari sifat lapisan yang terpapar namun juga keadaannya dalam supositoriadan beberapa
sifat fisiko kimianya yaitu sifat zat aktifnya, kelarutan zat aktif, koefisien partisi zat aktif
dalam fase lemak dan cairan rektum.
2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Kinetika Penyerapan Zat Aktif Yang Diberikan Per-
Rektum
Penyerapan rektum dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang juga
mempengaruhi proses penyerapan pada cara pemberian lainnya, kecuali intra vena dan
intaarteri. Penyerapan perrektum dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Kedudukan supositoria setelah pemakaian
2. Waktu-tinggal supositoria didalam rectum
3. pH cairan rectum
4. konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum.

2.6 Mekanisme Biofarmasi Sediaan Rectal ( Supositoria )


Pemberian Obat anus/rektum merupakan cara memberikan obat dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum dengan tujuan memberikan efek lokal dan
sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan

8
untuk mendapatkan efek terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang
buang air besar. Bentuk sediaan obat melalui rectum diantaranya:
a) Salep (cream) adalah sediaan yang digunakan untuk pemberian topikal ke area perianal.
Sebagian besar digunakan untuk terapi kondisi lokal pruritis anorektal,inflamasi dan
nyeri atau ketidaknyamanan akibat wasir.
b) Cair (larutan) Rektal adalah sediaan rektal yang sangat sedikit digunakan, karenatidak
menyenangkan dan kepatuhan pasien rendah. Dalam banyak kasus, sediaan ini
digunakan untuk memasukkan media atau agen untuk rontgen saluran pencernaan
bagian bawah. Walaupun absorpsi obat dari larutan lebih baik dari pada dari
suppositoria solid, tetapi penggunaan jarang sekali. Contoh : ROWASA rectal
suspension enema (mesalamine), ASACOL rectal suspension enema (mesalazine).
c) Rektal aerosol atau busa rektal aerosol disertai dengan aplikator untuk memudahkan
penggunaannya.Aplikator dimasukkan ke dalam wadah berisi produk, serta terdapat alat
pengatur dosis obat aerosol. Aplikator dimasukkan ke dalam anus dan obat dapat
diberikan melalui rektal.
Beberapa contoh rektal aerosol : PROCTOFOAM HC (Hidrocortisone dan Pramoxine),
CORTIFOAM (Hidrocortisone).
d) Suppositoria merupakan obat luar karena penggunaannya tidak melewati mulut dan
tidak menuju ke arah lambung, hanya dimetabolisme dalam darah dan dinding usus.
Mekanisme kerja supositoria dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Supositoria Berefek Mekanik
Bahan dasar supositoria berefek mekanik tidak peka pada penyerapan.Supositoria mulai
berefek bila terjadi kontak yang menimbulkan refleks defikasi, namun pada keadaan
konstipasi refleks tersebut lemah. Pada efek kontak tersebut terutama pada supositoria
gliserin terjadi fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitas gliserin terhadap air.
Hal tersebut menimbulkan gerakan peristaltic.
2. Supositoria Berefek Setempat
Termasuk dalam kelopok ini adalah supositoria anti wasir. Yaitu senyawayang efeknya
disebabkan oleh adanya sifat astringen atau peringkas pori. Ke dalam basis supositoria
yang sangt beragam kadang-kadang ditambahkan senyawa peringkas pori baik dengan
cara penyempitan maupun hemostatik. Dalam formula supositoria sering terdapat
senyawa penenang. Obat tersebut bekerja secara rangkap baik terhadap perifer maupun
sentral yang terakhir ini sepenuhnya berefek sistemik.
3. Supositoria Berefek Sistemik

9
Adalah supositoria yang mengandung senyawa yang diserap dan berefek padaorgan
tubuh selain rektum. Pada kelompok ini termasuk supositoria nutritif, supositoria obat.
 Supositoria Nutritif
Digunakan pada penyakit tertentu dimana saluran cerna tidak dapat menyerap makanan.
Jumlah senyawa yang diserap tentu saja sedikit, namun sudah cukup untuk
mempertahankan hidup.
 Supositoria Obat
Supositoria tersebut mengandung zat aktif yang harus diserap, mempunyai efek
sistemik dan bukan efek setempat. Bila supositoria obat dimasukan ke dalam rektum
pertama-tama akan timbul efek refleks, selanjutnya supositoria melebur atau melarut
dalam cairan rektum hingga zat aktif tersebar dipermukaan mukosa, lalu berefek setempat
dan selanjutnya memasuki sistem getah bening. Obat yang masuk ke peredaran darah akan
berefek spesifik padda organ tubuh tertentu sesuai dengan efek terapetiknya.
Kemampuan penembusan dan penyerapan obat dengan pemberian secara rektal
terutama tergantung pada sifat fisika kimianya. peranan bahan pembawa pada peristiwa ini
sangat kompleks sehingga dengan pemilihan bahan pembawa yang sesuai maka
kemungkinan ketersediaan hayati dari zat aktif dapat diperbaikin

BAB III

10
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rektum merupakan organ saluran pencernaan yang memiliki panjang sekitar 10 –
15 cm yang terbentang dan vertebre sekrum ke 3 sampai garis anorebtal yang berfungsi
untuk tempat penyimpanan feses, penyerapan obat atau absorpsi obat pada pemberian
secara rectal yang dapat di absorpsi dengan 3 cara yaitu lewat pembuluh darah secara
langsung, lewat pembuluh getah bening, lewat pembuluh darah tidak langsung atau hati,
seperti sediaan suppositoria, cream rectal,, cairan / larutan rectal, aerosol rectal.

DAFTAR PUSTAKA

11
- Potter, Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Edisi 7 : Salemba Medika
-A.Aziz Alimul Hidayat, Musrifatul Uliyah. 2002. Buku Saku Praktikum Kebutuhan
DasarManusia : EGC
- Eny Retra Ambarwati, Tri Sunarsih. 2009.KDPKKebidanan. Jogjakarta : Nuha Medika
- A.Aziz Alimul Hidayat, Musrifatul Hidayat. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik :
Salemba Medika
- Dr. Lyndon Saputra. 2013. KeterampilanDasar Untuk Perawat dan Bidan : Binarupa
AksaraPublisher

12

Anda mungkin juga menyukai